Anda di halaman 1dari 6

Hak Berpendapat

a. Latar Belakang
Hak dan kewajiban warga negara Indonesia diatur dan dijamin dalam Undang-undang
Dasar (UUD) 1945. Hak dan kewajiban ini, dillindungi oleh dasar hukum tertinggi
Indonesia, yakni UUD 1945.
Apa yang dimaksud dengan hak? Hak adalah kuasa untuk menerima atau melakukan
sesuatu yang mestinya individu terima atau bisa dikatakan sebagai hal yang selalu
dilakukan dan orang lain tidak boleh merampasnya entah secara paksa atau tidak.
Demokrasi merupakan pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan
kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Awal istilah
“demokrasi” dapat dilihat melalui peradaban Yunani kuno yang bercorak polis. Sistem
ini didasarkan pada mayoritas dalam pemungutan suara. Demokrasi secara luas mampu
diterima dibandingkan dengan sistem lainnya. Sebagian besar negara di dunia telah
melaksanakan praktek dari sistem demokrasi. Sistem ini lebih unggul dibanding dengan
sistem lainnya disebabkan karena demokrasi memberikan perlindungan terhadap hak
asasi manusia (HAM). (Faridah, 2019)
Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan salah satu aspek penting
demokrasi. Negara yang demokratis tercermin dari adanya perlindungan terhadap
kebebasan berkumpul, mengemukakan pendapat, dan diskusi terbuka.1 Sebagai negara
dengan kedaulatan yang berada di tangan rakyat, perlindungan terhadap kebebasan
berekspresi dan berpendapat dapat mendukung pengawasan, kritik, dan saran terhadap
penyelenggaraan pemerintahan.
Kebebasan berpendapat merupakan hak setiap individu sejak dilahirkan yang telah
dijamin oleh konstitusi. Oleh karena itu, Negara Republik Indonesia sebagai negara
hukum dan demokratis berwenang untuk mengatur dan melindungi pelaksanaannya.
Kemerdekaan berpikir dan mengeluarkan pendapat tersebut diatur dalam perubahan
keempat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28 E ayat (3).
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat. Kebebasan berekspresi termasuk kebebasan berpendapat merupakan salah
satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Pengaturan tentang
kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dalam Undang-Undang No. 9
Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, bertujuan
untuk mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan
hak asasi manusia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar RI 1945. Selain itu,
undang-undang ini diharapkan juga mampu mewujudkan iklim yang kondusif bagi
berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak
dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi dan merupakan perwujudan
perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin
kemerdekaan menyampaikan pendapat. Pasal 1 ayat (1) menegaskan bahwa setiap
warga negara memiliki hak untuk menyampaikan pikiran dengan lisan dan tulisan secara
bebas serta bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Kemudian Pasal 5 menjamin kebebasan dan perlindungan
hukum terhadap seluruh warga negara dalam hal mengeluarkan pendapat secara bebas
di muka umum.
b. Permasalahan
1. UU ITE
UU ITE dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2008,
yaitu 10 tahun setelah perjuangan reformasi yang memberikan perlindungan
kepada warga untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat.
Ironisnya, UU ITE justru terus mengancam kebebasan berekspresi yang telah
diperjuangkan pada era reformasi 1998.
Pemerintahan SBY mengeluarkan UU ITE dengan niat untuk melindungi
konsumen dalam melakukan transaksi elektronik di tengah meluasnya
penggunaan internet dalam perekonomian nasional. Namun, dalam
pelaksanaannya, pemerintah dan aparat justru menyalahgunakan UU tersebut
untuk membungkam para pihak yang mengkritik negara. Hal ini tentu saja
mencederai kebebasan berekspresi warga yang terus merosot.
Organisasi pengawas independen untuk demokrasi dan kebebasan Freedom
House menyatakan status Indonesia turun dari bebas menjadi separuh bebas
menjelang akhir pemerintahan SBY pada 2014. Peringkat Indonesia dalam indeks
kebebasan internet turun dari posisi 41 tahun 2013 menjadi 42 pada tahun
berikutnya.
Kondisi bertambah buruk pada pemerintahan Jokowi, figur presiden yang
diharapkan dapat membawa perubahan baru dalam lanskap kebebasan
berekspresi di Indonesia dengan latar belakang yang bebas dari militer dan
politik.
Di bawah pemerintahan Jokowi, indikator kebebasan sipil turun dari 34 pada
2018 menjadi 32 pada 2019. Sementara indeks kebebasan berekspresi turun dari
12 dari tahun 2015 menjadi 11 pada 2019.

2. Mengkritik Presiden
Merosotnya kebebasan tampaknya disebabkan oleh menguatnya peran
kepolisian dan penggunaan wewenang yang berlebihan dalam menjaga nama
baik institusi pemerintah khususnya presiden.
Menurut data Amnesty International Indonesia yang belum dipublikasikan, ada
241 orang yang dikriminalisasi karena mengkritik otoritas atau pemerintahan
Jokowi selama periode Oktober 2014 hingga Juli 2019.
Tidak tanggung-tanggung, pemidanaan terbanyak adalah mereka-mereka yang
dianggap “membenci” dan “menghina” Presiden Jokowi. Jumlahnya 82 dari total
241 kasus atau lebih dari sepertiganya.
Dari total 82 tersebut, mayoritas (65 orang) dipidana karena menghina Jokowi di
media sosial. Sisanya terjadi lewat medium offline seperti orasi dan demonstrasi.
Mayoritas pemidanaan ekspresi di media sosial tersebut berasal dari inisiatif
kepolisian yang melakukan pemantauan media siber.
Rencana untuk menghidupkan lagi pasal penghinaan presiden melalui revisi
KUHP akan mendorong represi atas kritik pejabat negara menjadi lebih intens.
Hal ini tentu akan semakin mengancam kebebasan berekspresi warga.
3. Kebebasan berpendapat dan berekspresi tetapi dipidana
Meski jaminan atas kebebasan berpendapat sudah diatur dalam UUD 1945,
namun sistem hukum kita juga menerapkan batasan terhadap pelaksanaan hak
tersebut yang salah satunya diatur dalam Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE). Sejak diundangkan pada 2008, UU ITE telah
digunakan secara jamak oleh penegak hukum untuk menindak penyalahgunaan
teknologi informasi utamanya melalui media internet. Di antara beberapa pasal
yang mengatur mengenai tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik, UU ITE mengatur mengenai pemidanaan terhadap aktivitas
berpendapat di internet. Pembatasan tersebut berulang kali mengundang
perhatian publik, selain karena sering kali melibatkan figur publik, juga karena
dianggap secara berlebihan mengekang publik dalam berpendapat.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat kebebasan
berpendapat dan berekspresi secara langsung maupun di dalam ruang siber
terbatasi, seperti dalam penyampaian keberatan atas pengesahan undang-
undang yang dinilai kontroversial.
Dalam aksi tolak UU Cipta Kerja sejak 5 Oktober 2020, Polri mencatat lebih dari
5.198 orang ditangkap. Sedangkan terkait dengan UU Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE), sampai dengan April 2020, menurut data Safe-Net, sebanyak 209
orang menjadi korban dari UU ITE karena ketentuan dalam UU ITE yang bisa
menjerat pihak yang menyampaikan pendapat dan ekspresi.
Yang terbaru terjadi pada aktivis KAMI yang dijerat dengan UU ITE, karena
dituduh memprovokasi masyarakat dan menyebarkan hoaks terkait dengan RUU
Cipta Kerja. Selain itu, berdasarkan laporan Komnas HAM RI dan Litbang Kompas
pada Agustus 2020 terhadap 1.200 responden di 34 provinsi, sebanyak 36 persen
responden menyatakan ketakutannya dalam menyampaikan pendapat dan
ekspresi melalui internet. Hal itu mencerminkan ranah digital belum memberikan
rasa aman bagi masyarakat dalam menyampaikan pendapatnya.

c. Solusi

1. Analisis ke depan
UU ITE telah tujuh kali digugat di Mahkamah Konstitusi (MK).Gugatan yang
terkait kebebasan berekspresi selalu ditolak. Hanya sekali saja gugatan terhadap
pasal penyadapan dikabulkan pada tahun 2010.

MK selalu menolak gugatan yang dilayangkan terkait UU ITE karena mereka


masih percaya pentingnya UU ini. Mereka berpikir “kalau tidak ada pasal ini
orang bebas menghina orang lain”. Selain itu, ada kepentingan politik dari
penguasa untuk mempertahankan UU ini karena mereka dapat mengkriminalisasi
suara-suara kritis yang dianggap “menghina” atau “membenci” presiden dan
otoritas dengan menggunakan UU ini.

Yang bisa dilakukan adalah mendorong penghapusan pasal-pasal UU ITE yang


rentan disalahgunakan untuk membatasi kebebasan berpendapat.
Setidaknya, langkah yang perlu diambil lebih jauh oleh pemerintah adalah
mendorong jalur-jalur non-pidana, seperti perdata, sehingga pelaku tidak
diganjar hukuman penjara tapi harus membayar denda.

2. Komnas HAM RI menyerukan agar setiap perbedaan pendapat disikapi secara


bijak dengan membuka dialog yang setara dan transparan, sebagai bagian dari
kedewasaan berdemokrasi.

Penindakan berlebihan, apalagi mempidanakan kebebasan menyampaikan


pendapat dan ekspresi dinilai tidak perlu dilakukan, karena berpotensi
memberangus perbedaan pendapat dan demokrasi.
d. Daftar Pustaka
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt586343ded838b/pro-dan-kontra-arah-kebijakan-uu-
ite-baru/

https://www.antaranews.com/berita/1797257/komnas-ham-mencatat-kebebasan-berpendapat-
dan-berekspresi-terbatasi

https://theconversation.com/uu-ite-dan-merosotnya-kebebasan-berekspresi-individu-di-indonesia-
126043

https://news.detik.com/kolom/d-4647796/kebebasan-berpendapat-di-internet-dan-hukum-pidana

Anda mungkin juga menyukai