Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebebasan berekspresi di muka umum baik secara lisan maupun

tertulis dan kebebasan dalam berorganisasi merupakan hak setiap warga

negara yang dilindungi oleh konstitusi. Indonesia sebagai negara

demokrasi tentu sudah seharusnya melindungi hak-hak warga negaranya

untuk bebas mengemukakan pendapat. Demokrasi sebagai dasar hidup

bernegara memberi pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat

memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok mengenai

kehidupannya termasuk kebijaksanaan negara, karena kebijaksanaan

tersebut menentukan kehidupan rakyat.1 Mustahil negara demokrasi bisa

berjalan dengan baik tanpa memperhatikan kebebasan berekspresi warga

negaranya.

Kebebasan berekspresi diatur dalam perubahan keempat Undang-

Undang Dasar 1945 Pasal 28, menyebutkan bahwa kemerdekaan

berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan

dan sebagainya ditetapkan oleh undang-undang. Dalam kebebasan

berekspresi, hak untuk menyampaikan pandangan, gagasan atau opini,

1
Septi Nurwijayanti dan Nanik Prasetyoningsih, 2009, Politik Ketatanegaraan,
Yogyakarta, Lab Hukum UMY, hlm. 35.

1
hak mencari, tanpa adanya intervensi dan menerima informasi melalui

media apapun, tanpa melihat batasan-batasan wilayah.2

Ketentuan mengenai frasa “melalui media apapun” atau “melalui

media lainnya”, dapat dipahami bahwa pola kebebasan berekspresi dapat

dilakukan melalui penggunaan teknologi komunikasi dan informasi,

termasuk juga didalamnya media internet. Frasa dalam hak untuk

“mencari” dan menyebarkan luaskan informasi dan melakukan “posting”

informasi melalui media internet agar dapat dibaca oleh semua orang.

Sebagai zoon politicon (makhluk sosial), tentunya manusia

mempunyai konsekuensi logis dan hakikatnya sebagai manusia yaitu

keinginan untuk mengekspresikan apa saja yang bisa membuat diri

manusia tersebut menjadi bebas dalam menjalin komunikasi. Kemudian

Abraham Maslow menjelaskan bahwa manusia mempunyai prioritas

kebutuhan yang puncaknya adalah kebutuhan untuk merealisasikan diri

dengan kata lain menyampaikan kebebasan berekspresinya dimuka

umum.3

Kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia yang sangat vital,

oleh karena itu negara demokrasi wajib mendengarkan kebebasan

berpendapat warga negaranya. Bila dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia

(HAM), perlindungan hak asasi manusia merupakan implementasi akibat

adanya sistem demokrasi yang menjamin kebebasan berpolitik sebagai

2
Tim Penulis ELSAM, Buku Saku Kebebasan Berekspresi di Internet, ELSAM, Jakarta,
2013, hlm. 17
3
C.George Boeree, General Psychology, Prismashopie, Yogyakarta, 2008, hlm. 133

2
salah satu syaratnya. Kemudian, hak asasi manusia mengandung prinsip-

prinsip kebebasan berpendapat dan berpolitik. Supaya masyarakat

dianggap benar-benar demokratis, harus ada perlindungan dalam derajat

tinggi untuk penyampaian ide-ide dalam ranah media masa, apakah

melalui majalah, koran, film, televisi atau mungkin juga melalui media

digital.4

Ketentuan hak mengenai kebebasan berekspresi diatur amanat dari

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

khususnya pasal 28F (amandemen ke-2, yang ditetapkan pada Agustus

2000) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan

memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan

sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,

mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala

jenis saluran yang tersedia”. Undang –Undang Nomor 39 Tahun 1999

tetang Hak Asasi Manusia pada pasal 14 ayat (2) menyatakan bahwa

“Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,

mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala

jenis sarana yang tersedia”.

Dewasa ini, perkembangan teknologi informasi berkembang

dengan sangat pesat. Dengan lahirnya modernisasi dalam dunia teknologi

informasi, memberikan dampak terhadap kehidupan masyarakat secara

4
John W. Johnson, Peran Media Bebas, Office of International Information Programs
U.S. Departement of State, 2001, hlm.51

3
global. Kemudian, dengan perkembangan tersebut, menyebabkan

perubahan dalam struktur sosial di masyarakat dengan sangat cepat.

Masyarakat yang dahulu hanya mengetahui suatu informasi melalui media

cetak, media radio, dan media televisi, kini bisa dengan mudah

mendapatkan akses informasi dengan sangat cepat dan mudah melalui

gadget.

Dengan hadirnya dunia internet, telah membuka wawasan baru

bagi masyarakat, karena dengan internet masyarakat dapat dengan mudah

menembus batas-batas wilayah negara untuk mencari sesuatu yang bahkan

belum pernah mereka temukan sebelumnya. Tetapi kecepatan informasi

yang di dapat di media sosial tidak menjamin kredibilitas status informasi

tersebut. Memang media sosial memberikan kemerdekaan penuh bagi

para pengguna untuk mengekspresikan dirinya, pendapatnya, atau hanya

untuk sekedar meluapkan unek-uneknya. Keadaan tersebut di satu sisi bisa

menjadi potensi yang menguntungkan, namun di sisi lainnya bisa menjadi

sebuah ancaman atau setidaknya malah memberikan dampak negatif yang

berdampak perpecahan.

Media sosial juga seringkal menjadi media kritik paling ampuh

terhadap sebuah organisasi ataupun lembaga tertentu, tak terkecuali

pemerintah. Bagaimana tidak, kicauan seseorang di media sosial jauh lebih

luas jangkauannya jika dibanding dengan sebuah aksi demonstrasi.

Apalagi jika kritik tersebut sukses di viralkan, sehingga informasi kritik

tersebut menjadi lebih cepat dan efektif diterima oleh pihak terkait.

4
Namun, seringkali kita dapati kasus dimana seseorang yang merasa

dirugikan oleh pihak tertentu dan mencoba mengekspresikannya di media

sosial dengan harapan akan mendapat banyak dukungan dan perlindungan

dari pemerintah, justru malah menimbulkan masalah baru.

Seperti kasus Ahmad Dhani, karena telah dianggap

mengungkapkan kalimat ujaran kebencian dalam tulisannya di media

sosial, yang kemudian menjadikannya mendekam di penjara denga vonis 1

tahun 6 bulan. Ada juga seorang dosen di Aceh, yang mencoba

mengekspresikan pandangan akademiknya mengenai sistem hukum qonun

di Aceh melalui media sosial, itu juga berakhir dengan tidak manusiawi,

sampai-sampai kediaman beliau menjadi sasaran amukan warga yang

menilai tindakan mirza cenderung bermuatan SARA.

Seperti contoh lainnya, yaitu kasus Prita Mulyasari, seorang pasien

yang mendapatkan pelayanan buruk di RS. Omni Internasional yang

mencoba membagikan pengalamannya di media sosial dengan harapan,

kejadian yang dialaminya tidak terjadi terhadap pasien-pasien yang lain.

Tetapi, pihak rumah sakit malah melaporkan Prita dengan pasal

pencemaran nama baik UU ITE.

Contoh yang lain ialah kasus penyebaran meme Setya Novanto

terkait drama tabrak tiang listrik yang sempat menghebohkan tanah air.

Pengacara Setya Novanto melaporkan akun-akun penyebar meme tersebut

yang berjumlah 31 akun media sosial yang terdiri dari 15 akun twitter, 9

5
akun instagram, dan 8 akun facebook.5 Padahal, meme tersebut merupakan

kritik sosial dalam negara demokrasi yang mestinya dilindungi, bukan

dibungkam. Sebagai pejabat publik, Setya Novanto harusnya legowo

menerima kritikan tersebut, apalagi masyarakat sudah capek dengan

berbagai drama yang diperankan Setya Novanto untuk menghindari jeratan

hukum yang menimpanya.

Undang-Undang Dasar sudah memberikan ruang kepada warga

negara untuk mengekspresikan kebebasan berpendapat, akan tetapi belum

memberikan batasan-batasan yang jelas mengenai perlindungan

konstitusional kebebasan berekspresi di Indonesia. Artinya, kebebasan

mengemukakan pendapat sah secara konstitusional dan dilindungi. Jika

kebebasan berpendapat di kekang dan dibungkam, lalu apa gunanya hak

asasi manusia di negara demokrasi Indonesia. Berdasarkan uraian diatas,

penulis memilih judul penelitian KEBEBASAN BEREKSPRESI DI

MEDIA SOSIAL MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945.

5
https://www.theindonesianinstitute.com/kasus-meme-setya-novanto-dan-ancaman-
kebebasan-berekspresi/ diakses pada tanggal 30 November 2018 Pukul 22.12 WIB

6
B. Rumusan Masalah

Bagaimana Batasan Konstitusional Kebebasan Berekspresi Menurut

Undang-Undang Dasar 1945 ?

C. Tujuan Peneitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

Untuk Mengetahui Batasan Konstitusional Kebebasan Berekspresi

Menurut Undang-Undang Dasar 1945.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan

pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum nasional pada umumnya

dan batasan hukum kebebasan berekspresi di media sosial pada

khususnya.

7
2. Bagi pemerintah, di harapkan penelitian ini dapat dijadikan masukan

untuk memperbaiki batasan hak konstitusional terkait kebebasan

berekspresi di media sosial.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Hak Asasi Manusia

1.) Definisi Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah anugrah yang diberikan

Tuhan Yang Maha Esa sejak manusia itu dilahirkan. Dan salah satu

ciri negara hukum adalah menjunjung tinggi perlindungan terhadap

hak asasi manusia. Sesuai dengan landasan hukum Negara Indonesia di

pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi : “Negara Indonesia adalah

negara hukum”.

Hak Asasi manusia adalah hak yang melekat atau

kewarganegaraan yang dasar pada individu sejak ia lahir secara kodrat

karena itu adalah pemberian langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa

yang tidak dapat dicabut dan dirampas keberadaannya dan wajib

dijunjung tinggi, dihormati, dan dilindungi oleh hukum, pemerintah,

dan negara demi perlindungan harkat dan martabat manusia.

Perlindungan hak asasi manusia semakin efektif dengan

diwujudkannya Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 tahun

1999, tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Konsiderans dan ketentuan

Umum pasal 1 dijelaskan, bahwa “Hak Asasi Manusia adalah

seperangkat hak yang melekat pada hakikiat dan keberadaan manusia

9
sebagai Makhluk Tuhan Yang Maha Esa, dan merupakan

anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi

oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan

serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Selain hak asasi,

diatur juga dalam UU No, 39 tahun 1999 mengenai kewajiban dasar

manusia, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi

manusia.

2.) Prinsip Hak Asasi Manusia

A. Persamaan harkat dan martabat

Persamaan bukan berarti serupa atau bahkan mirip dari sudut

jasmani dan rohani, atau bakat dan ciri-cirinya. Tetapi maksudnya

adalah perbedaan yang melekat sejak manusia itu dilahirkan, seperti

raut muka, warna kulit, ras, suku, dan bangsa tidak berpengaruh

terhadap haknya sebagai manusia. Membeda-bedakan mereka

berdasarkan warna kulit, ras atau suku bangsa merupakan suatu

perlawanan terhadap nilai persamaan dan juga merupakan

ketidakadilan.6

B. Derogable dan Non Derogable Right

Merupakan hak asasi manusia yang bersifat dasar dan telah ada

sejak lahir, hak-hak tersebut berlaku bagi semua manusia tanpa

6
Leah Levin.1987. Hak-Hak Asasi Manusia Tanya Jawab. Jakarta: PT. Pradnya
Paramita, hlm.43

10
membeda-bedakan agama, ras, suku, jenis kelamin atau kebangsaan.

Hak-hak itu tidak bergantung khusus terhadap suatu negara atau

undang-undang dasar maupun peraturan-perundang undangan lainnya,

dan bukan karena pemberian dan kemurahan negara, tetapi memang

berasal dari sumber yang lebih unggul daripada hukum buatan manusia,

yaitu pemberian Allah SWT.7

Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa hak asasi manusia

bukanlah bersumber dari negara dan hukum, tetapi karena semata-mata

karunia dari Allah SWT sebagai pencipta alam semesta sehingga hak

asasi manusia tidak dapat dikurangi (non derogable right). Maka, yang

perlu diberikan oleh negara adalah status pengakuan dan jaminan

perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia tersebut.8

Hak-hak yang termasuk kedalam hak non derogable right atau

hak-hak mutlak yang tidak dapat dikurangi ialah :

a) Hak bebas dari perbudakan;

b) Hak bebas dari penyiksaan;

c) Hak hidup;

d) Hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi

perjanjian(utang);

e) Hak sebagai subjek hukum;

7
Shad Saleem Furuqui.1998. Apakah Hak-Hak Asasi Manusia Itu? Beberapa
Penjelasan Tentang Berbagai Konsep dan Sudut Pandang. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia. Soejono Soekanto, hlm.13
8
Rozali Abdulah dan Syamsir.2002. Perkembangan HAM danKeberadaan
Peradilan HAM Di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm.10

11
f) Hak bebas dari pemidanaan yang surut;

g) Hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama.

Tetapi, bukan berarti semua yang disebut hak asasi manusia

bersifat tidak terbatas alias mutlak, karena ada beberapa hak yang

disebut dengan derogable right (hak-hak yang dapat dikurangi atau

dibatasi pemenuhannya).

Hak-hak tersebut diantaranya adalah :

a) Hak kebebasan berkumpul secara damai;

b) Hak kebebasan berserikat termasuk membentuk dan

menjadi anggota serikat buruh, dan;

c) Hak kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat, termasuk

didalamnya adalah kebebasan mencari, menerima, dan memberikan

segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (tertulis atau lisan).9

C. Anti Diskriminasi

Merupakan prinsip yang dasar sebagaimana dimuat dalam

seluruh deklarasi, yaitu tidak ada perbedaan kebebasan dan hak

berdasarkan perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin atau agama

dalam sistem hukumnya.

9
Ifdhal Kasim.2001. Hak Sipil dan Politik, Esai-Esai Pilihan. Jakarta: ELSAM, hlm.
24

12
D. Universalitas

Hak asasi manusia bersifat universal, maksudnya adalah

masyarakat menghargai keberagaman kebudayaan dan tradisi

masyarakat yang berkembang, perkembangan sosial, ekonomi dan

politik, sehingga tidak ada kesamaan penafsiran di seluruh dunia

tentang hak mana yang betul-betul mendasar bagi keberadaan

masyarakat. Perbedaan kebudayaan adalah fakta sosial, tetapi hak asasi

manusia merupakan doktrin moral. Hal ini berarti kausalitas terhadap

nilai universalitas dalam hak asasi manusia tidak mampu menjelaskan

ajakan lintas budaya.10

E. Equality before the Law

Semua orang berhak untuk mendapat perlindungan dengan harkat

dan martabat kemanusiaan.11

F. Perlindungan Hak Asasi Manusia

Negara harus hadir untuk melindungi segala bentuk diskriminasi

karena itu merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap Hak

Asasi Manusia.12

10
Shad Saleem Furuqui, Op.cit. hlm.26
11
Darwin Prinst.2001. Sosialisasi dan Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia.
Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti, hlm.13
12
Leah Levin, Op.cit, hlm.41

13
B. Tinjauan Kebebasan Berekspresi Menurut UUD 1945

Tentang kebebasan berekspresi, perjalanannya di Indonesia tidak

dapat dilepaskan dari keberadaan hak asasi manusia secara universal.

Kebebasan berekspresi menjadi satu bagian diantara bagian-bagian lain

dari hak asasi manusia, yang kemudian sejarah pemikiran dan

perkembangannya berjalan beriringan. Kebebasan berekspresi sebagai hak

yang penting dan diakui secara universal dalam Universal Declaration of

Human Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights.

Sebagai sebuah pengakuan atas keberadaan hak kebebasan berekspresi,

maka ratifikasi yang dilakukan dapat menjadi acuan dasar dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan yang memiliki muatan yang

sesuai dengan prinsip-prinsip internasional yang universal.

Konstitusi sebagai landasan berbangsa dan bernegara, memuat

segala hal yang berkaitan dengan kehidupan negara yang diaturnya.

Prinsipprinsip hak asasi manusia juga diakomodasi di dalam dasar negara

tersebut. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang

sudah diamandemen beberapa kali, memberikan arahan arahan tentang

kehidupan berbangsa yang menghargai hak asasi manusia. Di dalam

batang tubuh UUD 1945 Amandemen telah disebutkan secara jelas di

Pasal 28 yang berbunyi:

“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan

lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.

14
Di samping itu, Pasal 28E ayat (3) juga menyatakan bahwa “setiap

orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan

pendapat. Pasal ini mengindikasikan bahwa ada penghargaan kepada

warga negara untuk bebas merdeka berpendapat”, kemudian lebih

ditegaskan lagi dalam Pasal 28F: “setiap orang berhak untuk

berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi

dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,

memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan

menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Era pengakuan di

dalam konstitusi, membuat kehidupan masyarakat semakin berkembang

dan dikenal sebagai era kebebasan media. Berlandaskan pada Pasal 28F

UUD 1945 Amandemen, maka pemahaman warga negara tentang

kebebasan berubah. Dari yang terintervensi secara sistematis melalui

kebijakan politis, menjadi berpeluang berpendapat sejak secara regulatif

diakui sebagai hak konstitusional.

Kebebasan berekspresi bermakna, hak publik untuk

mengekspresikan sesuatu (public’s right to expression) dan hak publik

untuk tahu (public’s right to know). Keduanya merupakan sebuah

penegasan bahwa syarat wajib negara demokrasi ialah harus menganut dua

hal tersebut. Kedua hak tersebut merupakan bagian yang yang terpisahkan

dari pengakuan universal terhadap Hak asasi Manusia (HAM). Apa arti

masyarakat dapat menerima informasi dengan sangat melimpah tetapi

tidak bebas untuk mengekspresikan pendapatnya.

15
Kemudian, kebebasan berekspresi memberikan pengertian bahwa

setiap orang memiliki hak alamiah untuk mengekspresikan diri mereka,

salah satunya adalah kebebasan berpendapat tanpa campur tangan,

menerima, mencari dan berbagi ide serta informasi melalui berbagai media

dan tanpa rasa takut terhadap pembalasan serta tanpa memandang batas

negara serta.13

Kebebasan berekspresi merupakan prinsip hak asasi yang

mempunyai nilai fundamental, sebagai bagian penting dan tidak

terpisahkan dari nilai-nilai demokrasi dan otonomi pribadi. Terdapat

hubungan langsung antara kebebasan untuk berfikir dengan kebebasan

berekspresi dan penyaluran ide serta gagasan oleh setiap individu atau

kelompok.

Kebebasan berekspresi sangat luas jika dilihat sebagai hak asasi

manusia. bagaimana tidak, kebebasan berekspresi menjamin pertukaran

pendapatat antar individu maupun antar kelompok guna menambah

wawasan dan pengetahuan suatu informasi tertentu. gagasan yang tertuang

dalam sebuah ekspresi tentunya memerlukan media yang cukup efektif

agar dapat diterima oleh publik, salah satunya melalui media sosial.

Melalui media yang efektif, diharapkan informasi tersebut dapat menyebar

dengan cepat dan tentunya menjadi sebuah nilai positif bagi peradaban

kebebasan berekspresi.

13
UNESCO, Glosarium Toolkit Kebebasan Berekspresi bagi Aktivis Informasi tetang
kebebasan berekspresi, hal.77.

16
Salah satu ciri mutlak yang harus dimiliki negara demokrasi adalah

kebebasan masyarakat untuk meyampaikan ide maupun gagasannya secara

terbuka dan tanpa dibatasi oleh media apapun.14 Tentunya ini merupakan

esensi sebuah negara dengan sistem demokrasi yang memberikan hak

individu atas negaranya. kebebasan ini tentunya harus dijamin oleh

Undang-Undang negara yang bersangkutan.

Kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia yang sangat vital,

dengan demikian negara demokrasi wajib mendengarkan kebebasan

berpendapat warga negaranya. Bila dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia

(HAM), perlindungan hak asasi manusia merupakan implementasi dari

adanya demokrasi yang menjamin kebebasan berpolitik sebagai

standarnya. Negara dikatakan menjunjung tinggi nilai demokrasi jika ada

perlindungan dalam derajat tinggi untuk penyampaian ide-ide dalam

bentuk yang terpublikasikan, apakah melalui majalah, koran, film, televisi

atau mungkin juga melalui media digital.15

Salah satu tokoh reformasi Indonesia, Amien Rais memberikan

kriteria negara demokrasi yang harus dipenuhi diantaranya adalah

kebebasan pers, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berkumpul,

dan kebebasan beragama. Jika rakyat sudah di batasi hak kebebasan

berekspresinya, maka itu pertanda demokrasi telah tiada.16

Wise, David dan Milito C, Mass Media Law, McGraw-Hill Companies.Inc. New York,
2008, hlm.40.
15
Ibid, Hal. 2
16
Krisna Harahap, HAM dan Upaya Penegakanya di Indonesia, Grafiti, Bandung, 2003,
hlm.73

17
Sedangkan Menurut Bonaventure Rutinwa: “freedom of expression

consist of twi elements : the first is the freedom to speak, receive and

impart informasion and ideas of all kinds, regardless of frontiers and the

second is the right to choose the means to do so. Thusthe freedom of

expression protects not only the substance of ideas and informaion, but

also their form, their carrier and the means of transmission and

reception”.17 Maksudya adalah Kebebasan berekspresi terdiri dari dua

elemen: yang pertama adalah kebebasan untuk berbicara, menerima dan

menyampaikan informasi dan ide-ide dari semua jenis informasi, terlepas

dari batasan-batasan yang ada. Dan yang kedua adalah hak untuk memilih

sarana atau media untuk melakukannya. Dengan demikian kebebasan

berekspresi tidak hanya melindungi substansi ide dan informasi, tetapi

juga bentuknya, inovasi dalam menyampaikan, sarana transmisi dan

media penyalur informasi

Yang menjadi perhatin Rutinwa terdapat pada perlindungan

substansi ide dan bentuk pendistribusian yang bisa bermacam-macam

sehingga pemerintah sebagai pemegang otoritas harus dapat mengaturnya

secara baik.

17
Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan MK,
Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 17

18
C. Fungsi Kebebasan Berekspresi di Media Sosial

Media berpijak pada ideologi yang berorientasi kepada massa,

sehingga media Sosial menjadi sarana atau lembaga sosial yang memiliki

pengaruh dalam perkembangan kehidupan masyarakat dewasa ini. Media

dalam kerangka yang demikian memiliki beberapa fungsi yang antara

lain:18

1. Fungsi informasi : bahwa media telah menjadi alat untuk

mencari dan mendapatkan informasi bagi masyarakat.

2. Fungsi agenda : bahwa media menjadi agenda kerja bagi

masyarakat, dimana masyarakat memiliki rencana-rencana oleh

karena pengaruh media.

3. Fungsi penghubung orang : bahwa media memberikan peluang

bagi masyarakat untuk mengetahui keadaan, posisi dan

kegiatan orang lain di tempat lain, sehingga dengan demikian

media menjadi alat untuk menghubungkan manusia yang satu

dengan yang lainnya.

4. Pendidikan : bahwa media memberikan pesan tentang

pendidikan.

18
Hari Wiryawan, Dasar-Dasar Hukum Media, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007. hlm.
60-62

19
5. Fungsi membujuk : bahwa media memiliki kekuatan untuk

membujuk atau merayu pendengar, penonton atau pembacanya

demi melakukan sesuatu.

Elemen yang paling penting dalam negara demokrasi adalah

adanya kebebasan berekspresi. Bahkan, sebelum disahkannya Universal

Declaration on Human Rights atau traktat-traktat diadopsi dalam sidang

pertama PBB pada tahun 1946, , Majelis Umum PBB melalui Resolusi

Nomor 59 terlebih dahulu telah menyatakan bahwa “hak atas informasi

merupakan hak asasi manusia fundamental dan standar dari semua

kebebasan yang dinyatakan ‘suci’ oleh PBB”. Salah satu syarat penting

yang memungkinkan berlangsungnya demokrasi dan partisipasi publik

dalam setiap pembuatan kebijakan adalah dengan adanya Kebebasan

berekspresi.

Jika tidak ada kebebasan berekspresi, warga negara tidak bisa

berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan publik maupun dalam

pemungutan suara. Pertanyaannya adalah, apabila sebenarnya kebebasan

berekspresi itu?..

Kebebasan berekspresi merupakan alat untuk mencari,

menyebarluaskan dan menerima dan menyaring informasi untuk kemudian

20
mendiskusikannya sebagai sebuah proses untuk menghapus kesalah

pahaman kita atas fakta dan nilai.19

D. Tinjauan Tentang Media Sosial

Seperti kita ketahui, perkembangan teknologi informasi dewasa ini

berjalan dengan sangat cepat. Komunikasi yang dulu hanya bisa dilakukan

memalui tatap muka langsung, sekarang bisa dilakukan dengan jarak jauh

memalui media yang bernama media sosial. Di media sosial, seseorang

bisa bebas berkenalan dengan siapapun, kapanpun, dan dengan penguna

dari negara manapun tanpa batas waktu. Tentunya, etika di dunia maya

harus tetap di jaga, seperti beretika di dunia nyata. Menurut McGraw Hill

Dictionary, Media sosial adalah sarana yang digunakan oleh orang-orang

untuk berinteraksi satu sama lain dengan cara menciptakan, berbagi, serta

bertukar informasi dan gagasan dalam sebuah jaringan dan komunitas

virtual.

Media sosial adalah sebuah media dimana setiap orang bisa

membuat web page pribadi, dan bisa terhubung dengan teman-teman

19
Toni Yuri Rahmanto, “Kebebasan Berekspresi dalam Perspektif Hak Asasi Manusia :
Perlindungan, Permasalahan Dan Implementasinya Di Provinsi
Jawa Barat”. Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM
Kementerian Hukum dan HAM RI. vol.7 no. 1 , hal. 48

21
untuk bertukar informasi dan berkomunikasi. Media sosial terbesar antara

lain Facebook, Myspace, dan Twitter, dan Instagram. Jika media

tradisional membutuhkan media cetak dan media broadcast, maka media

sosial membutuhkan jaringan internet.

Media sosial menarik seseorang agar ikut memberi komentar, serta

membagi informasi dalam waktu yang cepat dan tak terbatas. Keberadaan

internet secara tidak langsung menghasilkan sebuah generasi yang baru,

yaitu generasi milenial. Generasi ini dipandang menjadi sebuah generasi

masa depan yang diasuh dan dibesarkan dalam lingkungan budaya baru

media digital yang interaktif, yang berwatak menyendiri (desosialisasi),

berkomunikasi secara personal, melek komputer, dibesarkan dengan

videogames, dan lebih banyak waktu luang untuk mendengarkan radio dan

televisi.

Andreas M. Kaplan dan Michael Haenlein membagi berbagai jenis

media sosial ke dalam 6 (enam) jenis, yaitu :20

a. Collaborative projects memungkinkan adanya kerjasama

dalam kreasi konten yang dilakukan oleh beberapa pengguna

secara simultan, misalnya adalah Wikipedia. Beberapa situs

jenis ini mengizinkan penggunanya untuk melakukan

20
Kaplan, Andreas M.; Michael Haenlein, Users of the world, unite! The challenges and
opportunities of Social Media, Business Horizons, 2010. hlm. 59–68.

22
penambahan, menghilangkan, atau mengubah konten. Bentuk

lain dari collaborative projects adalah social bookmarking yang

mengizinkan koleksi berbasis kelompok dan peringkat kaitan

internet atau konten media.

b. Blogs merupakan salah satu bentuk media sosial yang paling

awal yang tumbuh sebagai web pribadi dan umumnya

menampilkan date-stamped entries dalam bentuk kronologis.

Jenis blog yang sangat populer adalah blog berbasis teks.

c. Content communities memiliki tujuan utama untuk berbagi

konten media diantara para pengguna, termasuk didalamnya

adalah teks, foto, video, dan powerpoint presentation. Para

pengguna tidak perlu membuat halaman profil pribadi.

d. Social networking sites memungkinkan para pengguna untuk

terhubung dengan menciptakan informasi profil pribadi dan

mengundang teman serta kolega untuk mengakses profil dan

untuk mengirim surat elektronik serta pesan instan. Profil pada

umumnya meliputi foto, video, berkas audio, blogs dan lain

sebagainya. Contoh dari social networking sites adalah

Facebook, MySpace, dan Google+.

e. Virtual games worlds merupakan platform yang mereplikasi

lingkungan ke dalam bentuk tiga-dimensi yang membuat para

pengguna tampil dalam bentuk avatar pribadi dan berinteraksi

berdasarkan aturan-aturan permainan.

23
f. Virtual sosial worlds memungkinkan para inhabitan untuk

memilih perilaku secara bebas dan untuk hidup dalam bentuk

avatar dalam sebuah dunia virtual yang sama dengan kehidupan

nyata. Contohnya adalah Second Life.

Ada banyak macam media sosial, tetapi pengguna berikut

adalah macam-macam media sosial yang popular di Indonesia :

a. Facebook

b. Twitter

c. Instagram

d. Line

e. Whatsapp

f. Youtube

g. Tumblr

h. Kaskus

Contoh diatas merupakan media sosial dengan jumlah pengguna terbanyak

di indonesia.

Adapun perkembangan media sosial di Indonesia berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh We Are Social yang bekerjasama dengan

Hootsuite, mencatat bahwa ada sekitar 130 juta warga negara Indonesia

sebagai pengguna aktif di media sosial. Laporan We Are Social

mengungkapkan bahwa total populasi Indonesia mencapai 265,4 juta jiwa,

24
Jika dilihat dari jumlah pengguna internetnya, maka dapat disimpulkan

bahwa seluruh pengguna internet di Indonesia sudah tentu mengakses

medsos. We Are Social mengatakan 132,7 juta pengguna internet, 130 juta

diantaranya pengguna aktif di medsos dengan penetrasi 49%. Sedangkan

dari jumlah perangkat, We Are Social mengatakan unique mobile users

menyentuh angka 177,9 juta dengan penetrasi 67%. Dari data diatas, bisa

dikatakan masyarakat Indonesia cukup maju dalam hal penggunaan

transaksi informasi. Fakta lainnya, pengguna medsos di Indonesia rata-rata

menghabiskan waktu kurang lebih 8 jam 51 menit perhari. Mengenai

kecepatan koneksi internet, We Are Social mengatakan rata-rata kecepatan

untuk fixed broadband mencapai 13,79 Mbps dan rata-rata kecepatan

untuk mobile broadband mencapai 9,82 Mbps, Platform medsos yang

paling digandrungi oleh orang Indonesia, di antaranya YouTube 43%,

Facebook 41%, WhatsApp 40%, Instagram 38%, Line 33%, BBM 28%,

Twitter 27%, Google+ 25%, FB Messenger 24%, LinkedIn 16%, Skype

15%, dan WeChat 14%.21 Proses untuk menjalin hubungan di media

sosial sering disebut dengan social networking (jejaring sosial). Menurut

Eko Priyo Utomo22 jejaring sosial adalah hubungan antar individu atau

organisasi yang di bentuk karena adanya kesamaan, misalnya kesamaan

visi, misi, pertemanan, keturunan, suku, dan sebagainya.

Ada banyak manfaat media sosial, diantaranya :

21
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2018/02/06/inilah-perkembangan-digital-
indonesia-tahun-2018 diakses pada 9 Desember pukul 19.55 WIB
22
Ibid

25
a. menambah pertemanan di dunia maya

b. Meningkatkan Hubungan yang ada di dunia nyata melalui

dunia maya

c. Membuka akses informasi kepada semua orang

Selain mempunyai manfaat positif, efek negatif media sosial juga

harus di waspadai seperti :

a. Isolasi sosial.

b. Produktivitas menurun

c. Cenderung susah beradaptasi dengan dunia nyata

Sehingga, kita di tuntut untuk bijak dalam bermedia sosial.

Selanjutnya, media sosial juga mempunyai karakteristik diantaranya :

a. Kualitas distribusi pesan melalui media sosial memiliki

berbagai variasi yang tinggi, mulai dari kualitas yang

sangat rendah hingga kualitas yang sangat tinggi

tergantung pada konten.

b. Tidak berifat hierarki,

c. Frekuensi menggambarkan jumlah waktu yang digunakan

oleh pengguna untuk mengakses media sosial tiap harinya.

d. kemudahan untuk diakses oleh pengguna.

26
e. Kegunaan menggambarkan siapapun yang memiliki akses

internet dapat mengerjakan berbagai hal dengan

menggunakan media sosial seperti mem-posting foto

digital, menulis online dan lain-lain.

f. Roaming time.

g. Tidak permanen.

27
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto, “penelitian hukum merupakan suatu

kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran

tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala

hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga

diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut,

untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan masalah yang timbul

dalam gejala yang bersangkutan”. Peter Mahmud Marzuki menegaskan23,

bertujuan memecahkan problema hukum dan sekaligus memberikan

preskripsi mengenai apa yang sepatutnya diperlukan sebagai sumber-

sumber penelitian. Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan

menjadi sumber-sumber yang berupa bahan-bahan hukum primer dan

bahan bahan hukum sekunder.

23
Peter Mahmud Marzuki, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, 2005, hlm. 141

28
Dalam penulisan ini, tipe penelitian yang digunakan ialah :

1. Penelitian hukum Yuridis Normatif atau kepustakaan yang

dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mempelajari data

yang terdapat dalam buku dan literatur, tulisan-tulisan ilmiah,

dokumen-dokumen atau tulisan para ahli, yurisprudensi serta

berbagai macam peraturan perundang-undangan yang

berhubungan dengan materi atau isi dari permasalahan.

2. Metode penelitian hukum empiris adalah suatu metode

penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam

sudut pandang realitas di kehidupan masyarakat. Dikarenakan

dalam penelitian ini, meneliti orang dalam hubungan hidup di

masyarakat maka metode penelitian hukum empiris dapat

dikatakan sebagai penelitian hukum sosiologis. Dapat

dikatakan bahwa penelitian hukum yang diambil dari fakta-

fakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan hukum atau

badan pemerintah.

B. Sumber-Sumber Penelitian Hukum

1. Bahan hukum primer meliputi : perundang-undangan, catatan-catatan

resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan

dan putusan-putusan hakim.

29
2. Bahan hukum sekunder meliputi : semua publikasi tentang hukum

yang meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal

hukum, artikel-artikel hukum dan komentar atas putusan pengadilan

C. Teknik Pengumpulan Data

Suatu penelitian dibutuhkan data yang lengkap, supaya hasil

penelitian memiliki tingkat validitas dan realitas yang cukup tinggi.

Adapun teknik pengumpulan data meliputi :

a. Inventarisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengan perlindungan dan hak kebebasan berekspresi. Di

antarnya dengan penelitian terhadap asas-asas hukum, Undang-

Undang Dasar 1945, Undang-Undang No.39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No.9 Tahun

1998, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi

danTransaksi Elektronik serta Deklarasi Universal Hak Asasi

Manusia (DUHAM) 1948, Kovenan Hak Sipil dan Politik

1966, Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan

International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan

Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) dan lain

sebagainya yang berkaitan dengan penelitian ini.

30
b. wawancara dengan sejumlah narasumber yang berkompeten

dan berkaitan dengan kebebasan berekspresi di Indonesia.

D. Analisis Data

Analisis data merupakan tahap yang penting dalam sebuah

penelitian, karena peneliti harus mengolah data dan mendapatkan jawaban

dari permasalahan yang diteliti untuk kemudian dijadikan sebagai

kesimpula. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan

adalah analisis data kualitatif. Artinya, peneliti mendapatkan makna

hubungan variabel-variabel sehingga dapat digunakan untuk menjawab

masalah-masalah yang dirumuskan dalam penelitian. Teknik pokok

analisis data kualitatif ialah mengolah dan menganalisis data-data yang

terkumpul menjadi data yang sistematik, teratur, tersruktur dan

mempunyai makna.

31
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kebebasan Berekspresi Di Media Sosial

Menyampaikan pendapat di media sosial adalah bentuk upaya untuk

mendapatkan perhatian kepada objek yang dituju, dengan harapan bisa dengan

mudah dan lebih cepat mendapatkan sesuatu ataupun pemenuhan terhadap

haknya.24 Kebebasan berekspresi dimaknai sebagai suatu hak atas kebebasan

pribadi yang menuntut pemenuhan dan perlindungannya, serta dijamin dalam

konstitusi. Kebebasan berpendapat merupakan suatu indikator bagi suatu

Negara demi keberlangsungan demokrasi di negara tersebut serta dapat

menggambarkan akan perlindungan dan pengakuan terhadap Hak Asasi

Manusia dalam suatu negara. Seperti yang dikatakan oleh John W. Johnson25

”Sebuah negara dianggap benar-benar demokratis, ia harus siap memberikan

perlindungan substansial untuk ide-ide pengeluaran pendapat di media

elektronik”

Pengertian diatas menjelaskan bahwa, pentingnya sebuah perlindungan

sebuah gagasan yang disampaikan oleh seseorang melalui media internet

sebagai bentuk penghormatan hak warga negara dalam sebuah proses negara

demokrasi.

24
Hasil Wawancara dengan : Husen Asyhari, Direktur LPTI PELATARAN MATARAM
Yogyakarta, 22 September 2019.
25
W.Johnson John, Freedom of expression, Jakarta, 2001, hlm 56

32
Namun, yang perlu diketahui adalah seberapa efektif penggunaan

media sosial sebagai sarana mengekspresikan pendapat? Jika melihat

kecepatan informasi yang bisa di dapat, maka media sosial sangat membantu

untuk menyalurkan berbagai keluh-kesah seseorang. Tetapi, kecepatan

informasi, tentu tidak dibarengi dengan tingkat validitasnya. 26 Akibatnya,

akan banyak sekali segala jenis informasi di media sosial yang bisa

disimpulkan secara sepihak, menurut selera pembaca.

Seperti yang telah kita ketahui, peraturan mengenai media elektronik

diatur dalam UU ITE No. 11 Tahun 2008. Tetapi, dalam Undang-Undang ini,

kebebasan berpendapat tidak diatur secara tegas, sebab ketentuan yang

berkaitan dengan kebebasan menyampaikan pendapat hanya terdapat dalam

satu pasal, yaitu Pasal 27, khususnya ayat (3) yang menyatakan larangan

untuk “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau

mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik

yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Ketentuan dalam pasal inilah yang kemudian mendapatkan

pertentangan dari para pihak yang berkepentingan karena dianggap telah

mencederai dan membungkam hak kebebasan dalam berpendapat sebagai

salah satu bagian dari Hak Asasi Manusia yang sudah seharusnya dilindungi.

Sehingga ada beberapa pihak yang mengajukan Judicial Review (Peninjauan

Kembali) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pasal tersebut karena

26
Hasil Wawancara dengan : Husen Asyhari, Direktur LPTI PELATARAN MATARAM
Yogyakarta, 22 September 2019.

33
dianggap telah mengekang kebebasan berpendapat dan melanggar Hak Asasi

Manusia. Tetapi dalam putusannya, MK menyatakan bahwa Undang-Undang

ITE, yaitu Pasal 27 ayat (3) tidak bertentangan terhadap hak atas kebebasan

berpendapat yang dimiliki oleh seseorang dan tidak melanggar Hak Asasi

Manusia.

Pada dasarnya, kebebasan berekspresi di Indonesia melalui media

sosial cukup baik. Baik dalam artian, setiap orang bisa dengan mudah

menggunakan media sosial tanpa syarat tertentu, tetapi tidak dengan jaminan

hak perlindungannya.27 Ini memberikan pengertian bahwa, mudahnya

seseorang mengakses media sosial mengakibatkan banyaknya informasi yang

bisa dengan mudah didapatkan di media, tanpa memandang sisi intelektualitas

penggunanya. Akibatnya, banyak sekali celotehan di media sosial yang bisa

saja berupa informasi hoax , tetapi dianggap menjadi fakta. Atau sebaliknya,

ini semua tergantung dari sisi penerima informasi yaitu pengguna media

sosial.

Ada banyak sekali kasus kebebasan berekspresi di media sosial yang

berakhir dengan hukuman penjara. Alih-alih ingin mendapatkan pemenuhan

hak nya sebagai warga negara, tetapi justru berbalik menjadi sebuah ancaman.

Dan ini sangat mencederai proses demokrasi di negara kita.

27
Hasil Wawancara dengan Despan, Peneliti Pusat Studi hak Asasi Manusia (PUSHAM)
Universitas Islam Indonesia, Sabtu 21 September 2019

34
Penulis memberikan 2 contoh kasus yang cukup menghebohkan di

tanah air yaitu :

1. Kasus Ahmad Dhani, ini merupakan kasus yang cukup ramai

diperbincangkan. Bagaimana tidak, sebuah kebebasan berkspresi

untuk menyampaikan pendapatnya justru berbalik menjadi vonis 1

tahun 6 bulan penjara. Cuitan dia di Twitter berbunyi: "Siapa saja

yang dukung Penista Agama adalah Bajingan.…" Cuitan inilah

yang membuat pendiri Basuki Tjahaja Purnama Network-

melaporkan yaitu Jack Boyd Lapian melaporkan Dhani sehingga

dia dipenjarai karena dinilai menyebarkan ujaran kebencian.

Padahal, pasal yang menjerat ahmad dhani yaitu pasal 27 ayat 3

UU ITE merupakan yang sudah sering mendapat kritikan karena,

tidak adanya kejelasan status seseorang apabila terjerat dalam pasal

tersebut.

2. Yang kedua adalah Apa yang dialami Mirza Alfath, dosen hukum

di Universitas Malikussaleh Lhokseumawe Aceh yang diamankan

aparat karena komentarnya di Facebook, adalah bagian dari

ancaman kebebasan berekspresi di Internet. Ia mengkritik

pelaksanaan Hukum Syariah di Aceh, keberpihakannya kepada

Israel, dan pemikirannya yang mengedepankan rasionalitas. Mirza

dituduh melakukan penghinaan/penodaan agama Islam. Rumah

35
Mirza sempat menjadi sasaran amuk massa dengan dilempari batu.

Majelis Permusyawarahan Ulama (MPU) Aceh, mengadilinya dan

meminta Mirza meminta maaf, bersyahadat dan mengulang

pernikahannya. Kemudian, Mirza juga dilarang oleh Rektor

UNIMAL untuk mengajar, membimbing skripsi sampai batas

waktu yang belum bisa di tentukan. Mirza juga dicopot dari

sekretaris bagian Hukum tata Negara di kampusnya. Lagi lagi,

pasal 27 ayat (3) UU ITE ini telah salah dalam menyasar para

korban, karena tidak adanya batasan yang jelas.

Mengkaji mengenai ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) , penulis

melakukan penafsiran secara gramatikal atau secara bahasa. Dari

ketentuan Pasal 27 ayat (3) yang berbunyi “setiap orang dengan sengaja

dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau

membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan

penghinaan dan/atau pencemaran nama baik,” dapat kita bagi menjadi

beberapa unsur yang dapat dibahas, yakni :

1. Unsur “…dengan sengaja dan tanpa hak”

Frasa ini dianggap menimbulkan multitafsir, jika dilihat dalam

konteks kesengajaan, tentu harus ada unsur niat yang melatar

belakangi perbuatan tersebut. Tetapi bagaimana jika suatu pendapat

36
seseorang yang sebenarnya tidak memiliki maksud menyerang pribadi

atau nama baik seseorang, namun ada orang lain yang merasa

dicemarkan nama baiknya atas pendapatnya kemudian menggugat?.

Hal ini sangatlah bersifat subjektif, karena sebuah ukuran dan batasan

terhadap suatu pendapat yang dikatakan menyerang dan mencemarkan

nama baik seseorang tidak diatur secara tegas dalam UU ITE ini.

Imbasnya, seseorang hanya akan bermodalkan prasangka terhadap

suatu pendapat orang terebut.

Menurut penulis, Dhani hanya mencoba mengungkapkan

kekesalannya atas peristiwa yang terjadi di pulau seribu ketika Basuki

Tjahaya Purnama alias Ahok dianggap menista agama islam karena

menggunakan ayat Al-qur’an sebagai hujjah atau argumen dalam

sebuah kampanye. Hal ini sah-sah saja, karena apa yang dhani

sampaikan itu merupakan ekspresi pembelaan dan penghormatan

sebagai seorang muslim terhadap ayat di Kitab Suci Al-qur’an.

Disatu sisi, perlindungan dan jaminan hak untuk menyampaikan

pendapat yang dimiliki seseorang ini juga tertuang ke dalam konstitusi

UUD NKRI Tahun 1945 Pasal 28 yang menyatakan bahwa

“kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran

dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-

undang.” Ketentuan ini memberi pengertian bahwa negara Indonesia

menjunjung tinggi perlindungaan dan jaminan kebebasan berekspresi.

Kemudian, karena jaminan dan perlindungan mengenai kebebasan

37
berekspresi ini diatur dalam konstusi, maka sudah sewajarnya

peraturan perundang-undangan dibawahnya tidak bertentangan

dengannya.

Selanjutnya mengenai “tanpa hak“. Dalam unsur tanpa hak ini,

menurut Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya No. 2/PUU-

VII/2009 menyatakan bahwa “unsur dengan sengaja dan tanpa hak

merupakan satu kesatuan yang dalam tataran penerapan hukum harus

dapat dibuktikan oleh penegak hukum.” Unsur “dengan sengaja” dan

“tanpa hak” berarti pelaku “menghendaki” dan “mengetahui” secara

sadar bahwa tindakannya dilakukan tanpa hak. Dengan kata lain,

pelaku secara sadar menghendaki dan mengetahui bahwa perbuatan

“mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat

dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik”

adalah memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Adapun unsur tanpa hak merupakan unsur melawan hukum.

Pencantuman unsur tanpa hak dimaksudkan untuk mencegah orang

melakukan perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan

dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau

dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau

pencemaran nama baik“ (Putusan MK No. 2/PUU-VII/2009).

Sehingga unsur tanpa hak yang dimaksud adalah berkaitan dengan

unsur melawan hukum. Jadi unsur ini dianggap terpenuhi jika

seseorang melanggar ketentuan dalam perundang-undangan. Lalu

38
bagaimana jika belum diatur dalam suatu peraturan perundang-

undangan. Saya ambil contoh jika seseorang mengambil suatu

pendapat dari grup whatsapp, lalu kemudian dikirimkan kepada teman-

temannya melalui, apakah hal tersebut juga dikatakan tanpa hak?

Mengingat bahwa tulisan atau pendapat seseorang dalam grup

whatsapp tersebut merupakan suatu hal yang bersifat publik dan dapat

diakses oleh siapapun. Padahal yang dimaksud dengan kebebasan

berpendapat disini tidak hanya terbatas pada penyampaian suatu

pendapat atau gagasan kepada orang lain, tetapi juga meliputi usaha

untuk mencari dan mendapatkan suatu informasi yang juga tidak

terbatas pada media apapun.

Berdasarkan atas putusan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK)

tersebut yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tanpa hak

adalah perbuatan melawan hukum, maka penulis mencoba

membandingkan dengan ketentuan Pasal 30 UU ITE ini yang dengan

tegas menyebutkan secara eksplisit kata-kata “melawan hukum“. Jadi

terdapat suatu perbedaan penggunaan kata di dalam satu Undang-

Undang, tetapi menurut MK mengandung makna yang sama, sehingga

terjadi ketidakkonsistensian dalam penggunaan kata-kata dalam satu

Undang-Undang. Sebab terdapat dua kata dalam satu Undang-Undang,

tetapi memiliki makna atau arti yang sama, jelas hal ini sangat

membingungkan.

39
Jadi jika seseorang mengungkapkan pendapatnya melalui suatu

data atau informasi miliknya sendiri, seperti email, dan jasa layanan

pertemanan yang lain, dan ia memiliki suatu “pasword“ pribadi yang

telah menjadi haknya, sebab hanya si pemilik yang memilikinya, maka

tidak dapat dikenai Pasal 27 ayat (3) ini.

2. Unsur “…mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau

membuat dapat diaksesnya informasi elektronik“

Unsur ini tidak dijabarkan lebih lanjut dalam ketentuan Undang-

Undang No. 11 Tahun 2008 tersebut. Jadi apakah yang dimaksud

dengan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan. Dalam kamus

besar bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan mendistribusikan ialah

kegiatan menyalurkan (membagikan, mengirimkan) kepada beberapa

orang atau beberapa tempat Sedangkan pengertian mentransmisikan

dalam kamus besar bahasa Indonesia menyebutkan bahwa

mengirimkan (meneruskan) pesan dan sebagainya dari seseorang

kepada orang lain.

Kedua unsur tersebut berdasarkan atas pengertian dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia berarti mengatur terhadap upaya penyaluran

suatu informasi atau pendapat seseorang. Lalu bagaimana dengan si

pembuat, dalam hal ini adalah pemilik hak atas pendapat atau

informasi tersebut. Sedangkan unsur “dapat diaksesnya“ memang lebih

mengarah kepada si pemilik hak atas informasi atau pendapat tersebut,

40
tetapi bagaimana dengan penyelenggara sistem elektronik atau

penyedia layanan (Provider) yang menyediakan layanan sehingga

informasi tersebut dapat diakses, apakah unsur ini juga mencakup hal

tersebut (penyedia layanan/Provider). Hal tersebut diatas belum diatur

secara terperinci dalam ketentuan Undang-Undang Informasi dan

Transaksi Elektronik tersebut. Dengan pengaturan yang lebih condong

kepada suatu upaya menyampaikan atau mengirim suatu informasi

seseorang kepada orang lain tersebut, suatu saat akan banyak

informasi-informasi yang tidak akan dapat tersampaikan kepada

khalayak publik. Bahkan akan banyak para penyampai informasi yang

akan terkena ancaman pidana jika dianggap telah menghina atau

mencemarkan nama baik seseorang atau korporasi lain. Padahal

penyampaian informasi atau pendapat tersebut merupakan suatu upaya

dalam hal kontrol sosial dan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa

sesuai dengan tujuan dalam pembukaan Konstitusi UUD NKRI 1945.

Jika upaya ini dikekang, maka bagaimana dengan kehidupan

demokrasi yang ada dalam negara Indonesia ini.

3. Unsur “... memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran

nama baik”

Seperti yang telah dikatakan diatas, bahwa pengertian terhadap

suatu pendapat atau informasi yang memiliki muatan penghinaan dan

pencemaran nama baik merupakan suatu pengertian yang sangat

subjektif, sehingga parameter dan patokan dalam ketentuan ini masih

41
sangat luas. Batasan seperti apa yang dapat dikatakan bahwa pendapat

seseorang tersebut dapat dikatakan menghina atau mencemarkan nama

baik seseorang. Terdapat banyak penggolongan dan jenis-jenis dari

muatan penghinaan dan pencemaran nama baik ini. Berdasarkan

ketentuan dalam KUHP, apabila dihubungkan dengan objeknya maka

terhadap kejahatan ini dapat digolongkan ke dalam beberapa bagian,

yaitu :

a. Penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap pejabat negara,

seperti terhadap Presiden atau Wakil Presiden (Pasal 134 KUHP);

b. Penghinaan terhadap wakil negara asing di Indonesia (Pasal 143

KUHP);

c. Penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia (Pasal 154 KUHP);

d.Penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap suatu kelompok

atau golongan (Pasal 156 KUHP);

e. Penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap individu (Pasal

310 KUHP) , dan;

f. Penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap Pejabat atau

Pegawai negeri (Pasal 316 KUHP).

Apabila dihubungkan dengan jenisnya maka penghinaan dapat

digolongkan kedalam 5 jenis yaitu :

42
a. Menista atau Pencemaran Nama Baik secara lisan {Pasal 310

ayat (1)

KUHP};

b. Menista atau Pencemaran Nama Baik secara tertulis {Pasal 310

ayat

(2) KHUP};

c. Fitnah {Pasal 311 ayat (1) KUHP};

d. Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP);

e. Pengaduan {Pasal 313 KUHP};

f. Tuduhan {Pasal 310 KUHP};lxi

g. Persangkaan palsu {Pasal 318 ayat (1) KUHP}.

Namun dalam UU ITE, penghinaan dan pencemaran nama baik

tersebut tidak lagi dibedakan berdasarkan objek, gradasi hukumnya

dan juga berdasarkan jenisnya, namun hanya disatukan dan juga

menyamaratakan seluruh muatan penghinaan dan pencemaran nama

baik tersebut dalam satu Pasal 27 ayat (3). Lebih lanjut mengenai

muatan jenis penghinaan yang terdapat dalam KUHP diatas,

khususnya Pasal 310 ayat (1) ”Barang siapa sengaja menyerang

kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu

hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam

karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan

atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

43
Sedangkan ayat (2) menyatakan ”Jika hal itu dilakukan dengan tulisan

atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka

umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana

penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak

empat ribu lima ratus rupiah”. Dari ketentuan diatas yang dengan tegas

menyatakan bahwa penghinaan dengan secara lisan, tulisan atau

gambar maka dapat dikatakan bahwa ketentuan tentang penghinaan

yang terdapat dalam KUHP tersebut masih relevan untuk diterapkan

dalam hal perbuatan yang dilakukan dalam dunia cyber sebab jika

kembali kepada apa yang dimaksud dengan Informasi dan/atau

Dokumen Elektronik, maka semua itu merupakan bagian dari lisan,

tulisan atau gambar, dan lagi Informasi dan/atau Dokumen Elektronik

yang tersaji dalam layar komputer pastilah dalam bentuk tulisan, atau

gambar, dan apabila dapat didengar adalah dalam bentuk lisan. Maka

dengan adanya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut banyak

terjadi duplikasi dan saling tumpang tindih pengaturan yaitu dalam

KUHP dan UU ITE

Perlu diketahui bahwa, Hak seseorang itu dibagi menjadi dua,

yaitu:28

1. Hak internum : Hak Kebebasan berfikir, beropini, menyatakan

kehendak. Dan ini termasuk non derigable right artinya hak

28
Hasil Wawancara dengan Despan, Peneliti Pusat Studi hak Asasi Manusia (PUSHAM)
Universitas Islam Indonesia, Sabtu 21 September 2019

44
yang tidak dapat dibatasi, karena ini muncul dalam fikiran

setiap manusia. Jadi, selama seseorang tidak mengutarakan

pendapatnya di ranah publik, maka itu jelas tidak boleh

dibatasi.

2. Hak Eksternum : Hak untuk mengekspresikan fikiran kita,

kehendak, maupun beropini. dan ini yang sering disebut

derigable right, artinya bisa dibatasi. Karena, ketika seseorang

ingin mengekspresikan pendapatnya, maka dia akan

bersentuhan langsung dengan hak orang lain. Dan ini

tergantung Negara dalam hal penerapannya.

Dengan demikian, kebebasan berekspresi di media sosial

merupakan bagian dari hak eksternum, yaitu hak yang dapat

dibatasi. Tetapi, ketiadaan batasan tentang ujaran kebencian dalam

UU ITE inilah yang kemudian membuat siapa saja, bahkan dalam

kapasitas apapun berhak melaporkan seseorang atas sesuatu yang

menurut dugaannya itu jelas bersalah.

Era pengakuan di dalam konstitusi, membuat kehidupan

masyarakat semakin berkembang dan dikenal sebagai era kebebasan

media. Berlandaskan pada Pasal 28F UUD 1945 Amandemen, maka

pemahaman warga negara tentang kebebasan berubah. Dari yang

terintervensi secara sistematis melalui kebijakan politis, menjadi

berpeluang berpendapat sejak secara regulatif diakui sebagai hak

konstitusional. Bahkan, sebagai warga negara, mereka diperkenankan

45
(secara konstitusional pula) untuk memperoleh informasi dari berbagai

saluran. Adanya perlindungan dan jaminan hukum terhadap kebebasan

berekspresi di berbagai peraturan-perundang-undangan, tidak melulu

menjadi sumber perlindungan secara teknis, namun yang perlu dilihat

adalah bagaimana hukum dasar (baca: konstitusi) memberikan jaminan

yang paling mendasar dan substansial. Meskipun sebagai landasan

hukum konstitusional, bukan berarti bahwa hak atas kebebasan

berekspresi juga tidak dibatasi.

B. Batasan Konstitusional Kebebasan Berekspresi Di Media Sosial

Dalam Konstitusi Negara Indonesia, pembatasan terhadap

kebebasan berekspresi Sebagaimana termuat dalam Pasal 28J UUD 1945

Amandemen, yang pada pokoknya menyatakan bahwa:

(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam

tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap oran wajib tunduk

kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan

maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas

hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil

sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan

ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

46
Disamping pembatasan yang ditentukan secara otentik di dalam

konstitusi, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asas

Manusia, sebagai payung hukum hak asasi manusia, memberikan

pengaturan dalam beberapa pasal sebagai berikut:

Pasal 70

Dalam menjalankan hak dan kewajiban, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan oleh dengan maksud untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tuntutan yang adli sesuai dengan pertimbangan moral,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Pasal 73

Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat
dibatasi oleh dan berdasarkan undangundang, semata-mata untuk
menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia
serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan
kepentingan bangsa.

Dalam kasus Dhani dan Mirza, karena ini merupakan Hak Eksternum

memang sudah sepantasnya untuk dibatasi. Sebagaimana dalam Di dalam

UUD 1945 kita tahu bahwa , setiap orang bebas untuk berekspresi, tetapi

kemudian pernyataan ini di kunci oleh pasal 28 J yang berbunyi: bahwa

kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak orang lain dengan ketentuan

Undang-undang. Masalahnya, pasalnya sudah benar, tetapi cara

47
penafsirannya salah. Seolah-olah, jika sudah dibatasi oleh UU, itu sudah

sah pembatasannya29.

Padahal, pembatasan dibenarkan jika memenuhi unsur :

1. Melindungi hak orang lain,

2. Tidak bertentangan dengan moral,

3. Tidak menyinggung agama orang lain

4. dan ketertiban umum.

Jika dipahami, cuitan Dhani yang berbunyi : "Siapa saja yang dukung

Penista Agama adalah Bajingan.…" tidak ada yang melanggar unsur

batasan diatas. Frasa “siapa saja” ditujukan kepada orang yang “merasa”

telah mendukung penista agama. Faktanya, simpatisan Ahok sendiri yaitu

pelapor tidak merasa bahwa dia merupakan pendukung penista agama.

Karena, jika memang benar Ahok disebut sebagai penista Agama, sudah

sepantasnya dia tidak melakukan pembelaan dalam kasus yang menjerat

Ahok.

Memang, apa yang Dhani cuitkan dalam twitter cenderung kasar,

terlebih sudah dilihat oleh jutaan warganet, tapi tidak serta merta di

simpulkan bahwa itu merupakan ujaran kebencian, apalagi berdasar suku,

agama, ras dan antar golongan seperti yang diatur dalam pasal 28 ayat 2

Undang-Undang ITE.

29
Hasil Wawancara dengan Despan, Peneliti Pusat Studi hak Asasi Manusia (PUSHAM)
Universitas Islam Indonesia, Sabtu 21 September 2019

48
Dalam UU ITE, banyak dilakukan over kriminalisasi. sesuatu yang

harusnya tidak kriminal, tetapi malah dikriminalkan. Secara etika, Dhani

memang salah, tetapi di hukum penjara juga tidak dibenarkan. Mengapa ?

karena ini tidak masuk dalam tataran HAM yang sebenarnya.30

Sebenarnya pasal karet seperti pasal 27 ayat 3 itu jika diperhatikan,

semua orang yang terkena dengan pasal tersebut pasti ada kaitanya dengan

masalah politik. Sebenarnya dia itu adalah korban politik. Jadi memang

karena momentumnya politik saja.31

Termasuk juga Mirza, berkat komentarnya karena ketidak setujuannya

terhadap hukum qonun, juga tidak memenuhi pelanggaran terhadap unsur

batasan seperti diatas. Pertama, Perlu dipahami, Kebebasan akademik beda

dengan kebebasan berekspresi. Dalam akademik, jika seseorang menolak

suatu argumen, maka tidak boleh langsung di laporkan polisi, tetapi

tolaklah secara akademik juga yaitu dengan melakukan penelitian. 32 mirza

di dholimi, karena pihak kampus telah mencederai secara akademik, dan

juga secara kebebasan berekspresi.Kedua, apa yang mirza ekspresikan

semata-mata itu hanya sebuah pendapat. Bagaimana mungkin pendapat

seseorang itu harus sesuai atau sama dengan pendapat semua orang.

30
Hasil Wawancara dengan Despan, Peneliti Pusat Studi hak Asasi Manusia (PUSHAM)
Universitas Islam Indonesia, Sabtu 21 September 2019
31
Hasil Wawancara dengan Despan, Peneliti Pusat Studi hak Asasi Manusia (PUSHAM)
Universitas Islam Indonesia, Sabtu 21 September 2019
32
Hasil Wawancara dengan Despan, Peneliti Pusat Studi hak Asasi Manusia (PUSHAM)
Universitas Islam Indonesia, Sabtu 21 September 2019

49
Lalu apakah ini murni bentuk kekurangan dari ketentuan UU itu

sendiri? Jawabannya tidak selalu. Perlu dipahami bahwa media sosial

adalah alat untuk mendapat informasi, menyimpan, mendistribukan

informasi. Sudah sepantasnya pengguna media sosial mendapatkan

perhatian atas segala yang menjadi keluh kesahnya. Karena,

bagaimanapun, kecepatan informasi dalam media sosial akan sangat

membantu tercapainya hajat orang tersebut dengan segera.33

Menurut penulis imbasnya adalah, kecepatan informasi tidak selalu

diimbangi dengan tingkat validitasnya. Hal ini yang menyebabkan

perdebatan mengingat dalam media sosial semua orang bisa

mengkonsumsi informasi kemudian menyimpulkan pandangannya sesuai

dengan tingkat intelektualitasnya. Artinya, harus ada self control dari

pengguna media sosial itu sendiri, supaya, bisa mengantisipasi terjadi

penjabaran makna mengingat atas apa yang mereka sampaikan dalam

media sosial.

Namun masalahnya adalah, media internet belum ada regulasi yang

cocok. Artinya, tidak ada standar hak-hak pengguna internet. Kita tahu

bahwa, di zaman modern ini, kita mempunyai dua kehidupan. Yang

pertama adalah kehidupan nyata, dan yang kedua adalah kehidupan di

dunia Maya. Padahal, menurut data terbaru mengatakan bahwa, sebagian

besar masyarakat indonesia, cenderung menghabiskan waktunya di dunia

33
Hasil Wawancara dengan : Husen Asyhari, Direktur LPTI PELATARAN MATARAM
Yogyakarta, 22 September 2019.

50
maya lebih lama dibandingkan dalam kehidupan nyata. Artinya, ini semua

sudah terbalik.34 Sudah sepantasnya, perlindungan di media sosial harus

lebih diperhatikan, atau paling tidak harus sama dengan perlindungan

dalam ranah hukum di kehidupan nyata. Banyak sekali korban yang dalam

artian sebenarnya dia pelaku tetapi karena penggunaan pasal dalam UU

ITE tersebut, dia akhirnya menjadi korban,35

. Dengan begitu, sudah seharusnya kelemahan soal aturan alam pasal

UU ITE segera di benahi, agar tidak muncul lagi korban ketidak adilan

karena tiadanya aturan dan batasan yang jelas.. Dua pasal ini sering

dipakai untuk mengkriminalisasi warga negara. Southeast Asia Freedom

of Expression Network mencatat 259 kasus Undang-Undang ITE

sepanjang Agustus 2008 -Januari 2019. Lebih dari 90 persen di antara

mereka dijerat dengan delik ujaran kebencian dan pencemaran nama.

Masalahnya yaitu pembatasan dimaknai hanya sebatas dibatasi dengan

UU, tapi tidak dilanjutkan untuk melindungi hak orang lain, kebebasan

orang lain, moral dan agama serta ketertiban masyarakat. Jadi, mentang-

mentang sudah ada UU ITE, disahkan oleh DPR kemudian itu dijadikan

cambuk. Sehingga, terlihat bahwa UUD 1945 tidak diikut sertakan dalam

melindungi hak kebebasan berekspresi seseorang.

34
Hasil Wawancara dengan : Husen Asyhari, Direktur LPTI PELATARAN MATARAM
Yogyakarta, 22 September 2019.
35
Hasil Wawancara dengan : Husen Asyhari, Direktur LPTI PELATARAN MATARAM
Yogyakarta, 22 September 2019.

51
Fakta konkritnya memang, dalam ranah media elektronik seperti

media sosial, yang berlaku itu UU ITE, bukan UUD 1945. Karena

didlmnya ada ketentuan sanksi, tautan dasar norma-norma di bawahnya.

Jika ingin melakukan pembelaan, caranya adalah dengan dibatalkan UU

tersebut36. Pertanyaanya, apakah hakim punya perspektif HAM ?

Ada yang mengatakan , penegak konstitusi itu hanya hakim MK,

padahal kan tidak. hakim biasa pun menegakkan konstitusi, walaupun dia

mengakkan UU, tapi tetap sumbernya itu kan dari UUD. kalo dia

menerima kasus, kemudian melihat UU ini bertentangan dengan UUD,

harusnya jangan dipakai UU itu, tanpa harus dibatalkan dulu oleh MK.

tapi itu bergantung hakimnya, berani atau tidak. UUD bisa dilakukan

pembelaan atas UU ITE, bisa asal dibatalkan dulu UU nya, tetapi menurut

kami, harusnya tidak.37

Jika hakim menerima kasus, kemudian melihat UU ini

bertentangan dengan UUD, harusnya jangan dipakai UU itu, tanpa harus

dibatalkan dulu oleh MK. Problemnya, seandainya hakimnya berani, kita

pun punya masalah baru, yaitu tidak adanya kepastian hukum. karena itu

tergantung hakim. yang paling tepat yaitu Judicial review undang-undang

nya.

36
Hasil Wawancara dengan Despan, Peneliti Pusat Studi hak Asasi Manusia (PUSHAM)
Universitas Islam Indonesia, Sabtu 21 September 2019
37
Hasil Wawancara dengan Despan, Peneliti Pusat Studi hak Asasi Manusia (PUSHAM)
Universitas Islam Indonesia, Sabtu 21 September 2019

52
Jalan satu-satunya adalah, dengan segera melalukan revisi terhadap

UU ITE karena beberapa kali sudah diajukan untuk Peninjauan Kembali,

dan selalu di tolak oleh MK. Sebagai wakil rakyat, pemerintah dan DPR

tidak boleh berpangku tangan melihat kejadian ini. terlebih, korban yang

jumlahnya sudah sangat banyak bisa menjadi pertimbangan sendiri .

Setidaknya, jika tidak dapat revisi atau diganti dengan yang lain, lebih

baik dihapus.

53
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Nurwijayanti, Septi dan Nanik Prasetyoningsih.2009. Politik Ketatanegaraan.

Yogyakarta: Lab Hukum UMY.

Boeree, C.George. 2008. General Psychology. Yogyakarta: Prismashopie.

Asshiddiqie, Jimly. 2006. Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik

dan MK. Jakarta: Konstitusi Press.

Harahap, Krisna. 2003. HAM dan Upaya Penegakanya di Indonesia. Bandung;

Grafiti.

Wiryawan, Hari. 2007. Dasar-Dasar Hukum Media. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana

Riswandi, Budi Agus. 2003. Hukum dan Internet di Indonesia. Yogyakarta: UII

Press

54
Jurnal atau Majalah

Watie, Errika Dwi Setya. 2011. “Komunikasi dan Media Sosial”. The Messenger.

Vol. 3, No. 1.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang No.12 Tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik

Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi, Transaksi dan Elektronik

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948

Internet

http://theindonesiainstitute.com.

http://goodnewsfromindonesia.org.

55
:

56

Anda mungkin juga menyukai