Anda di halaman 1dari 45

TINJAUAN KEADILAN, KEPASTIAN HUKUM DAN KEMANFAATAN HUKUM

TERHADAP KETENTUAN PASAL 27 AYAT 3 JUNCTO 45 AYAT (3) UNDANG-


UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-
UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI
ELEKTRONIK

A. PENDAHULUAN
Salah satu instrumen internasional yang menjamin hak atas kebabasan
berpendapat adalah Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM)
yang menyatakan bahwa “Semua orang berhak atas kebebasan berpendapat dan
berekspresi; hak ini mencakup kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa intervensi serta
untuk mencari, menerima, dan berbagi informasi dan ide melalui media apapun yang
dikehendaki dan tanpa memandang batas negara.” Selanjutnya, dalam Konvensi
Internasional Tentang Hak Sosial dan Politik (ICCPR) ditegaskan pula bahwa hak atas
kebebasan berpendapat melingkupi berpendapat secara lisan, tertulis maupun cetak,
dalam bentuk seni, atau melalui media lainnya yang dikehendaki. Keyakinan bahwa
kebebasan berpendapat merupakan hak yang penting untuk diperjuangkan didasari pada
pemahaman bersama bahwa negara-negara dan masyarakatnya hanya dapat benar‐benar
berkembang dan maju jika ada suatu wadah ekspresi yang bebas dan terbuka.1
Dalam konteks nasional, kebebasan berekspresi memiliki batasan tertentu
sepanjang dilakukan tanpa melawan hak. Pihak yang merasa dirugikan akibat penghinaan
oleh orang lain memiliki hak untuk mengajukan gugatan ganti rugi. Dalam KUHPerdata,
ketentuan Penghinaan dikelompokkan dalam Buku Ketiga tentang Perikatan, Bab II
tentang Perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang. Secara Umum, Penghinaan
dalam KUHPerdata dianggap dikelompokkan dalam genus Perbuatan Melawan Hukum
yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, sementara ketentuan Penghinaan secara
khusus diatur dalam Pasal 1372 sampai dengan 1380 KUHPerdata. Hak atas kebebasan
berpendapat juga dibatasi dengan adanya ketentuan pidana pada pasal 310-321 KUHP
mengenai penghinaan. Pembatasan tersebut tetap dipertahankan dan dapat berupa
macam‐ macam bentuk. Ada yang menista termasuk menista dengan tulisan. Ada yang
memfitnah, melapor secara memfitnah, dan menuduh secara memfitnah. Hampir
diseluruh dunia, pasal-pasal yang berkaitan dengan penghinaan masuh tetap
dipertahankan. Alasannya, hasil dari penghinaan dalam wujud pencemaran nama baik
adalah character assassination dan dalam hal ini dianggap sebagai pelanggaran hak asasi
manusia.2
1
R Herlambang, Konstitusionalitas Kebebasan Berekspresi & Pembatasan Atas dasar Keagamaan, Jurnal,
2010, hlm. 2-6.
2
Ibid
Menurut Jimly Asshidiqie konsep demokrasi memberikan landasan dan
mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia.
Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal
dengan prinsip kedaulatan rakyat. Berdasarkan pada teori kontrak sosial ,untuk
memenuhi hak-hak tiap mansusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing secara
individual, tetapi harus bersamasama,batas-batas hak individual dan siapa yang
bertanggungjawab,untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian yang
telah dibuat dengan batas-batasnya. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk
konstitusi sebagai hukum tertinggi disuatu negara, kemudian di elaborasi secara konsisten
dalam hukum dan kebijakan negara.3
Salah satu hal yang sangat penting dalam demokrasi adalah kebebebasan warga
negara dalam berbagai aspek, baik itu kebebasan berpendapat,kebebasan berserikat dan
kebebasan beragama menurut agama dan keyakinan masing, semua aspek kebebasan
tersebut telah dicantumkan dalam konstitusi negara kita serta dilindungi hak kebebasan
warga negara tersebut. Selain itu hal yang sangat penting dalam demokrasi adalah
keadilan bagi setiap warga Negara yang kemudian dituangkan dalam konstitusi dan
hukum positiv di Indonesia Pengaturan tentang Hak Asasi Manusia didalam Undang-
Undang dasar 1945 dapat dilihat dalam amandemen kedua dari Undang-Undang Dasar
1945 pada tahun 2000. Pada amandemen tersebut dimasukkan bab baru yang khusus
mengatur hak asasi manusia yang terdiri dari 10 (sepuluh) pasal, mulai dari Pasal 28A
sampai dengan Pasal 28J. Dengan dilakukannya amandemen tersebut, materi muatan
UUD 1945 khususnya yang mengatur Hak Asasi Manusia semakin lengkap dan rinci.
Namun harus diakui bahwa pada pelaksanaanya sering terjadi penyimpangan bahkan
pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Dalam upaya perlindungan dan penegakan
Hak Asasi Manusia pemerintah mempunyai tugas untuk menghormati melindungi
menegakan dan memajukannya. Upaya yang telah dilakukan pemerintah diantaranya
melakukan langkah implementasi efektif dan konkrit atas berbagai instrumen hukum
maupun kebijakan dibidang Hak Asasi Manusia dari segi hukum, politik,ekonomi sosial
budaya,hankam,serta segi lainnya yang terkait. Bukan hanya sekedar retorika politik
ataupun dekorasi hukum.4
Dalam Negara yang menjadikan demokrasi ukuran utama, kebebasan
mengeluarkan pendapat mempunyai satu tempat yang khusus, hak untuk memilih
bersuara kritis dan tidak bersuara saat mendapat informasi yang cukup memadai
mengenai gagasan dan program oposisi dan jika mengemukakan pendapat sendiri tidak
dimungkinkan. Alasan yang sama terletak di belakang kemerdekaan pers dan kebebasan
berkumpul. Hak untuk mengemukakan pendapat dan untuk berkumpul guna membahas
bersama-sama masalah politik, merupakan hak-hak yang fundamental jika rakyat
diharapkan untuk memberikan suara secara kritis dan tepat. Hak untuk memberikan suara
3
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI,
Jakarta, 2006, hlm 18
4
Ibid
mengadung pula suatu hak atas nformasi dari kebebasan mengeluarkan pendapat baik
lisan maupun tertulis. Kebebasan mengeluarkan pendapat menuntut kebebasan berserikat
dan berkumpul, kebebasan berbicara tidak ada artinya tanpa massa pendengar.5
Oleh karena itu, kebebasan berbicara merupakan bidang kebebasan manusia yang
tepat. Bidang ini, pertama-tama terdiri dari bidang kesadaran batin, yang menuntut
adanya kebebasan kata hati dalam artian yang paling sempurna, kebebasan pemikiran dan
perasaan, kebebasan mengungkapkan pendapat dan perasaan terhadap semua hal, yang
bersifat praktis atau spekulatif, keilmuan, moral, atau teologi. Kebebasan
mengungkapkan atau mempublikasikan pendapat tampaknya dapat digolongkan dalam
prinsip yang berbeda, karena hal itu termasuk dalam bagian perilaku individu yang
memikirkan orang lain, tetapi karena Hak Asasi Manusia hampir sama pentingnya
dengan kebebasan berpikir itu sendiri dan cenderung berlandaskan pada alasan yang
sama, maka secara praktis ia tidak dapat dipisahkan darinya. Tanpa kebebasan berbicara
kebenaran akan hilang, tidak pernah ditemukan atau melemah. Dengan mengasumsikan
bahwa kebenaran dapat ditemukan, kebebasan berbicara adalah penting, sekalipun tidak
ada kebenaran yang harus ditemukan kebebasan berbicara tetap masih penting sebagai
satu-satunya alat yang tersedia untuk memilih yang terbaik dari yang terburuk. Pendapat
secara umum diartikan sebagai buah gagasan atau buah pikiran. Mengemukakan
pendapat berarti mengemukakan gagasan atau mengeluarkan pikiran. Dalam kehidupan
negara Indonesia, seseorang yang mengemukakan pendapatnya atau mengeluarkan
pikirannya dijamin secara konstitusional.6
Menyampaikan pendapat di muka umum merupakan salah satu hak asasi
manuasia yang dijamin dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
menentukan “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang”. Kemerdekaan
menyampaikan pendapat tersebut sejalan dengan salah satu Pasal Deklarasi Universal
Hak-Hak Asasi Manusia yang menjelaskan: “Setiap orang berhak atas kebebesan
mempunyai dan mengeluarkan pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk
mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apa pun
juga dan dengan tidak memandang batas-batas”. Perwujudan kehendak agar seluruh
tatanan sosial dan kelembagaan baik infrastruktur maupun suprastruktur tetap terbebas
dari penyimpangan atau pelanggaran hukum yang bertentangan dengan maksud, tujuan
dan arah dari proses keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum sehingga
tidak menciptakan disintegrasi sosial, tetapi justru harus dapat menjamin rasa aman
dalam kehidupan masyarakat.7
Dengan demikian, kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum harus
dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, sejalan dengan ketentuan peraturan
5
Azhari, Aidul Fitriciada, Tafsir Konsitusi: Pergulatan Mewujudkan Demokrasi di Indonesia, Solo: Jagat
Abjad, 2010, hlm 33
6
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2008, hlm 23
7
Ibid
perundang-undangan yang berlaku dan prinsip hukum internasional sebagaimana
tercantum dalam Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang antara lain
menetapkan sebagai berikut:8
1. Setiap orang memiliki kewajiban terhadap masyarakat yang memungkinkan
pengembangan kepribadiannnya secara bebas dan penuh;
2. Dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk semata-
mata pada pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang dengan maksud
untuk menjamin pengakuan dan penghargaan terhadap hak serta kebebasan
orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil bagi moralitas, serta
kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis;
3. Hak dan kebebasan ini sama sekali tidak boleh dijalankan secara bertentangan
dengan tujuan dan asas Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dikaitkan dengan pembangunan bidang hukum yang meliputi materi hukum,
aparatur hukum, sarana dan prasarana hukum, budaya hukum dan Hak Asasi Manusia,
pemerintah Republik Indonesia berkewajiban mewujudkan dalam bentuk sikap politik
yang aspiratif terhadap keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum.
Bertitik tolak dari pendekatan perkembangan hukum, baik yang dilihat dari sisi
kepentingan nasional maupun dari sisi kepentingan hubungan antar bangsa, maka
kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum harus berlandaskan:9
a. Asas keseimbangan antar hak dan kewajiban;
b. Asas musyawarah antara hak dan mufakat;
c. Asas kepastian hukum dan keadilan;
d. Asas proposionalitas;
e. Asas manfaat.

Kelima asas tersebut merupakan landasan kebebasan yang bertanggungjawab


dalam berfikir dan bertindak untuk menyampaikan pendapat di muka umum.

Berlandaskan atas kelima asas kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka


umum tersebut maka pelaksanaanya diharapkan dapat mencapai tujuan untuk:10

1. Mewujudkan kebebasan yang bertanggungjawab sebagai salah satu Hak Asasi


Manusia sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
2. Mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan
dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat;
3. Mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan
kreativitas setiap warga negara sebagai perwujutan hak dan tanggung jawab
dalam kehidupan berdemokrasi;

8
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Tahun 1948
9
Majda El-Muhtaj, HAM Dalam Konstitusi Indonesia, Kencana, Jakarta, 2009, hlm 12
10
Ibid
4. Menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau
kelompok;

Sejalan dengan tujuan tersebut di atas rambu-rambu hukum harus memiliki


karakteristik otonom, responsif, dan mengurangi atau meninggalkan karakteristik
represif. Dengan berpegang teguh pada karakteristik tesebut, maka Undang-Undang
tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum merupakan ketentuan
perundang-undangan yang bersifat regulatif, sehingga di satu sisi dapat melindungi hak
warga negara sesuai dengan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, dan di sisi lain dapat
mencegah tekanan-tekanan, baik fisik maupun psikis, yang dapat mengurangi jiwa dan
makna dari proses keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum.11

Menurut Soemarno Partodihardjo, Hukum dalam konsep law as a tool social


engineering sebagaimana yang telah dikemukakan Roscoe Pound, bahwa hukum harus
menjadi faktor penggerak ke arah perubahan masyarakat yang lebih baik dari sebelumnya
sesuai dengan fungsi-fungsi hukum yang telah disebutkan. Oleh karena itu, dalam
perubahan hendaknya harus direncanakan dengan baik dan terarah, sehingga tujuan dari
perubahan itu dapat tercapai dengan baik. Perkembangan Teknologi Informasi.
Pengertian teknologi informasi, menurut Pasal 1, Bab Ketentuan Umum dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; adalah:
Suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses,
mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi. Salah satu sarana
implementasi dari penggunaan teknologi tersebut adalah dengan menggunakan media
seperangkat komputer yang dapat mengolah semua data, sistem jaringan untuk
menghubungkan komputer satu dengan lainnya dan teknologi informasi dan
telekomunikasi (TIK) yang digunakan agar data dapat disebar dan dapat diakses secara
global.12

Perkembangan teknologi informasi melahirkan sistem baru dalam kehidupan


sehari-hari dikenal dengan e-life, artinya kehidupan sudah dipengaruhi oleh berbagai
kebutuhan secara elektronik, dan sekarang ini sudah marak dengan dengan berbagai kata
yang diawali dengan huruf “e” seperti; e-commerce, e-government, eeducation, e-library,
e-medicine dan lain-lain. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kini telah banyak
membantu semua kalangan dalam menjalankan setiap aktivitasnya, banyak sekali
pekerjaan yang terselesaikan dengan lebih cepat karena penggunaan sistem media yang
baru, canggih dan berteknologi tinggi. Kemajuan teknologi telah banyak memberi
kebebasan kepada para penggunanya untuk melaksanakan setiap aktivitasnya dengan
sebebas mungkin sesuai dengan hak azasinya. Misalnya, pengiriman surat melalui kantor
11
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center
Cetakan kedua, Jakarta, 2014, hlm 20
12
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm 44
pos yang biasanya paling cepat dihitung dengan hari kepada si penerima, kini surat sudah
dapat terkirim dan diterima dalam hitungan beberapa menit bahkan hitungan detik.
Dalam skala tertentu dampak kemajuan teknologi tersebut menimbulkan pengangguran
sebab yang sebelumnya pekerjaan yang dikerjakan manusia mulai digantikan dengan
sistem teknologi baru dan canggih yang banyak membantu pencepatan penyelesaian
pekerjaan, keakuratan data lebih terjamin dan terjadi penghematan biaya. Interaksi
perubahan sosial di satu sisi dan perubahan hukum di sisi lain merupakan suatu kesatuan
yang tidak terpisahkan seperti dua sisi keeping mata uang. Interaksi tersebut membawa
konsekuensi ilmiah karena akan dilihat dari sudut pandang yang berbeda.13

Menurut Soerjono Soekanto, bahwa paradigma yang berkembang dalam


memberikan format atas hubungan interaksi perubahan sosial dan perubahan hukum
adalah:14

1. Hukum akan melayani kebutuhan masyarakat, agar supaya hukum itu tidak
akan ketinggalan oleh lajunya perkembangan masyarakat. Ciri-ciri yang
terdapat dalam paradigma pertama ini yaitu:
a. Perubahan yang cenderung diikuti oleh sistem lain karena dalam kondisi
ketergantungan.
b. Ketertinggalan hukum di belakang perubahan sosial.
c. Penyesuaian yang cepat dari hukum kepada keadaan baru.
d. Hukum sebagai fungsi pengabdian.
e. Hukum berkembang mengikuti kejadian berarti tempatnya adalah di
belakang peristiwa bukan mendahuluinya.
2. Hukum dapat menciptakan perubahan sosial dalam masyarakat atau setidak-
tidaknya dapat memacu perubahan-perubahan yang berlangsung dalam
masyarakat. Ciri-ciri yang terdapat dalam paradigma kedua ini adalah:
a. Law as a tool of social engineering (hukum sebagai alat perubahan).
b. Law as a tool of direct social control (hukum sebagai alat kontrol sosial).
c. Forward looking (berorientasi ke masa depan).
d. Ius Constituendum (hukum yang akan berlaku untuk masa akan datang)
e. Hukum berperan aktif dengan masyarakat.
f. Tidak hanya sekedar menciptakan ketertiban tetapi menciptakan dan
mendorong terjadinya perubahan dan perkembangan tersebut.

Berkaitan dengan aktivitas dan kegiatan bisnis masyarakat pengguna transaksi


atau perdagangan elektronik (e-commerce), UU ITE merupakan Payung Hukum yang
melingkupi kegiatan transaksi atau perdagangan elektronik di dunia maya (cyberspace)
tersebut. Namun sejak kelahiran Undang-Undang No. 11 tahun 2008 Tentang Informasi
13
Danrivanto Bhudiyanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran & Teknologi Informasi, Refika Aditama,
Bandung, 2010, hlm 21
14
Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm 55
dan Transaksi Elektronik tersebut, permasalahan dalam undang-undang tersebut dan
pasal-pasal pencemaran nama baik atau delik reputasi pada undang-undang tersebut
memiliki banyak cacat bawaan, kesimpang siuran rumusan, dan inkonsistensi hukum
pidana. Sebenarnya undang-undang tersebut di atas khusus diperuntukkan mengatur
perdagangan elektronik di internet, akan tetapi ternyata undang-undang ini ikut mengatur
hal-hal yang sebenarnya telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP), khususnya tentang penghinaan dan pencemaran nama baik. Hal ini
mengindikasikan adanya penduplikasian tindak pidana yang justru rentan terhadap
terjadinya ketidak pastian hukum sehingga menimbulkan gejolak dalam masyarakat.
Duplikasi ini akhirnya dapat merugikan masyarakat sendiri karena tidak tahu perbuatan
mana yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan dilakukan menurut hukum.
Korban dari kekaburan rumusan pasal tersebut telah dapat terlihat, namun kejadian ini
merupakan suatu hal yang postitif dengan adanya reaksi sebagian besar masyarakat yang
telah melakukan penolakan terhadap bentuk kriminalisasi tersebut. Khususnya yang
dilakukan aparat hukum atas kasus pencemaran nama baik.15

Indonesia saat ini belum mencapai pada pelaksanaan demokrasi yang subtansial
yaitu sikap-sikap dan prilaku demokratis, sebagai contoh kasus Prita yang meramaikan
stasiun Televisi yang menggugah hati nurani Hak Asasi Manusia hampir seluruh
masyarakat Indonesia. Permasalahan tersebut terjadi karena hal yang sifatnya sepele,
yaitu pengalaman tidak menyenangkan Prita sebagai seorang pasien dari sebuah rumah
sakit, berkirim email pada temannya, namun tanpa diduga berdampak hukum dengan
dijerat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, sehingga harus mendekam di penjara. Hanya karena memberi kritik seseorang
bisa ditahan. Bila ditilik secara cermat, pengalaman seperti ini banyak sekali dialami baik
oleh pasien dan pihak rumah sakit. Cukup sering dijumpai seorang pasien mengadukan
ketidak puasan layanan seorang dokter dan rumah sakit baik di media cetak, elektronik
dan internet. Fenomena yang biasa terjadi ini menjadi sesuatu yang sangat besar karena
baru pertama kali sebuah rumah sakit berani menuntut dengan dugaan pencemaran nama
baik yang dilakukan pasien. Bagi sebagian masyarakat hal itu merupakan sekedar sebuah
kritikan untuk pelayanan rumah sakit. Seorang ibu rumah tangga harus dipisahkan dari ke
dua anak kecilnya di rumah. Lantas dimana letak keadilan di negeri ini bila Hak Asasi
Manusia dalam kebebasan mengemukakan pendapat dibatasi, dipasung, bahkan terancam
pidana. Pihak rumah sakit yang berseteru dengan Prita tetap bersikeras bahwa tulisan
sang ibu jelas-jelas sebuah pencemaran nama baik. Kasus Prita tersebut ternyata
berdampak besar dan menjadi sesuatu kontroversi yang tiada berhenti ujungnya.16

15
Anggara, Supriyadi W.E., Ririn Syafrani, Kontroversi Undang-Undang I.T.E.,Degraf Publishing, Jakarta,
2010, hlm 12
16
https://icjr.or.id/amicus-brief-prita-mulyasari-vs-negara-republik-indonesia/ Diakses pada tanggal 05
November 2019 jam 17.00 Wib
Muhammad Hidayat Simanjutak merupakan tersangka kasus ujaran kebencian.
Dia mengunggah video yang menayangkan Kapolda Metro Jaya Mochammad Iriawan
tengah berbicara dengan sejumlah pendemo pada aksi 4 November 2016. Warga Bekasi
itu menuding Iriawan memprovokasi para pendemo dalam aksi yang juga dikenal dengan
nama beken 411 tersebut. Dan ada beberapa kasus seperti yang terjadi bahwa Direktur
Tindak Pidana Siber Bareskrim Mabes Polri Brigadir Jenderal Fadil Imran mengatakan
Sri diamankan karena diduga menyebarkan berbagai konten yang menghina Presiden
Joko Widodo, lambang negara, sejumlah partai politik, serta organisasi kemasyarakatan.
Tersangka mendistribusikan puluhan foto-foto dan tulisan dengan konten penghinaan
terhadap Presiden Joko Widodo, beberapa partai, organisasi kemasyarakatan dan
kelompok dan konten hoax lainnya, Dengan demikian, Sri masuk ke dalam barisan
orang-orang yang juga pernah ditangkap karena diduga melakukan penghinaan kepada
Presiden. Dia melakukan itu melalui akun Facebooknya yang diberi nama Sri Rahayu
Ningsih.17

Subdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menciduk Faisol Abod
Batis, Rabu (17/7/2019). Ia disangka melanggar UU ITE menyusul unggahan di akun
Instagram pribadinya, yang mengkritik Joko Widodo soal konflik agraria dengan
menggunakan data. Faisol diringkus di Perumahan Permata Jingga, Blok I Nomor 4, Kota
Malang, Jawa Timur, Rabu siang, sekitar pukul 14.00 WIB. Kasubdit II Direktorat
Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes Rickynaldo Chairul mengatakan,
penangkapan Faisol dilakukan berdasarkan pantauan siber bukan laporan masyarakat.
Adapun tulisan yang ia unggah ke akun Instagram, antara lain:18

a. Kebohongan Demi Kebohongan Dipertontonkan oleh Seorang Pemimpin


Negara. Bagaimana Rakyat akan Percaya terhadap Pemimpin seperti ini.
b. Konflik agraria rezim Jokowi: 41 orang tewas, 51 orang tertembak, 546
dianiaya, dan 940 petani; pejuang lingkungan dikriminalisasi. Terjadi 1.769
kasus konflik agraria sepanjang pemerintahan tahun 2015 - 2018. Kasus
tersebut meliputi konflik perkebunan, properti, hutan, laut, tambang, dan
infrastruktur.
c. Polisi gagal melindungi hak asasi manusia saat Aksi 21-23 Mei 2019.

Soal data riset yang digunakan Faisol, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA) Dewi Kartika mengakui data tersebut hasil riset lembaganya. Data
tersebut dirilis KPA pada catatan akhir tahun KPA 2018.

17
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170807102123-12-232920/gejala-anti-kritik-rezim-jokowi
Diakses pada tanggal 05 November 2019 jam 17.00 WIB
18
https://tirto.id/faisol-kritik-jokowi-pakai-data-agraria-kok-malah-jadi-tersangka-eeyp Diakses pada
tanggal 05 November 2019 jam 17.00 WIB
Saat ini, setiap orang juga dapat dijerat dengan ancaman pidana atas perbuatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik di internet. Khusus untuk pengguna internet,
ancaman pidana dirumuskan melalui Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 UU ITE. Melalui
ketentuan ini, pengguna internet juga dapat dikenakan upaya paksa mengingat ancaman
pidananya maksimal 5 tahun penjara. Penerapan ketentuan hukum tersebut mengundang
banyak protes dari masyarakat karena dinilai merupakan kriminalisasi terhadap
kebebasan berekspresi. Ketentuan hukum mengenai penghinaan tersebar di beberapa
peraturan. Jika dilihat dari sejarahnya, pengaturan terhadap penghinaan di indonesia
pertama kali ditemukan pada KUHP dan juga KUHPerdata yang merupakan warisan dari
sistem hukum yang berlaku pada masa Hindia Belanda. Selain itu, beberapa
undangundang organik juga mengatur mengenai penghinaan dan ancaman hukuman
terhadap pelakunya. Pengaturan tentang penghinaan pada dasarnya berupa batasan atas
hak kebebasan berekspresi yang diwujudkan dengan cara menuduh seseorang telah
melakukan perbuatan tertentu. Namun demikian, pengertian penghinaan dan perbuatan
turuannya belum bisa ditemukan pengaturannya di Indonesia secara definitif. Sehingga,
untuk memahami penghinan, kita hanya dapat merujuk pada perumusan delik-delik
pidana pada Bab Penghinaan di KUHP.
Sebelum membahas tentang pengaturan penghinaan di lingkup nasional, perlu
juga dibahas mengenai konsep pembatasan kebebasan berekspresi yang terdapat pada
Kovenan Hak Sipil dan Politik. Dalam praktiknya, pelaksanaan dari suatu jaminan
perlindungan hak memang kerap melahirkan ketegangan. Secara khusus pada kasus ini
ialah antara ketentuan Pasal 19 ICCPR yang melindungi setiap bentuk opini dan ekspresi,
dengan ketentuan Pasal 17 ICCPR yang memberikan perlindungan bagi privasi seseorang
termasuk reputasinya. Dalam rangka menyeimbangkan ketegangan itu dilahirkanlah
prinsip pembatasan, termasuk dalam pelaksanaan hak atas kebebasan berekspresi.
Dengan alasan itu pula, kemudian menjadi pembenar bagi eksisnya hukum pencemaran
nama baik. Tujuan utama hadirnya hukum pencemaran nama bai adalah untuk menjaga
dan melindungi reputasi serta privasi seseorang. Kendati begitu, jika diterapkan dengan
tidak hatihati justru akan menghambat penikmatan hak atas kebebasan berekspresi dan
berpendapat, juga menghambat akses pihak lain untuk menerima informasi. Oleh karena
itu, dalam konteks pembatasan berekspresi dikenal pengujian tiga bagian, yaitu:19
- Pembatasan tersebut harus diatur oleh hukum, yang jelas dan dapat diakses
oleh semua orang.
- Pembatasan tersebut harus memenuhi salah satu tujuan yang diatur pada Pasal
19 ayat (3) Kovenan Hak Sipil dan Politik yaitu: 1) melindungi hak-hak dan
reputasi orang lain, 2) untuk melindungi keamanan nasional atau ketertiban
umum, atau kesehatan, atau moral publik. Pembatasan tersebut harus
ditujukan untuk perlindungan kepentingan yang sah dan lebih penting dari
kebebasan tersebut.
19
The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Tahun 1966 yang diratifikasi oleh
Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005
- Pembatasan itu harus dapat dibuktikan bahwa penting dilakukan dan cara‐cara
pembatasan seminimal mungkin diperlukan untuk mencapai tujuan utama
(prinsip-prinsip kepentingan dan keberimbangan/proposionalitas)

Sedangkan dalam prakteknya, Komite Hak Asasi Manusia PBB selalu


menekankan bahwa hukum pencemaran nama baik harus dibuat dengan sangat hati-hati
untuk memastikan bahwa mereka tidak akan menghambat kebebasan berekspresi. Komite
mengatakan, bahwa hukum pencemaran nama baik tidak dapat dikenakan terhadap suatu
ekspresi yang menurut sifatnya merupakan aplikasi dari kebebasan berependapat. Harus
ditegaskan pula di dalamnya, ada tujuan yang lebih luas bagi kritik terhadap pejabat
negara, dalam setiap peristiwa, kepentingan publik dapat diakui sebagai pembelaan.
Sejalan dengan penegasan ini, Pengadilan HAM Eropa pada tahun 2010, di dalam
putusannya menyatakan bahwa hukuman atas tindakan pidana pencemaran nama baik,
terhadap seseoran yang mengkritik seseorang yang menyandang mandat publik adalah
tidak proporsional dengan tujuan yang sah untuk melindungi reputasi dan hak-hak orang
lain. Di Indonesia, ketentuan mengenai pembatasan kebebasan berekspresi diatur dan
diancam pidana sebagaimana diatur dalam KUHP. Namun demikian, KUHP tidak
mendefinisikan penghinaan dalam penjelasan pengertian sebagaimana diatur dalam pasal
86 sampai dengan 102 KUHP yang memuat definisi beberapa istilah yang dipakai.
Penghinaan diatur secara tersendiri dalam Bab Penghinaan pasal 310-321 KUHP.20

Saat ini, penggunaan internet berkembang sangat pesat tetapi kemajuan Teknologi
Informasi justru menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi
peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus dapat menjadi
sarana efektif perbuatan melawan hukum. Seiring perkembangan zaman, variasi
pengaturan terhadap penghinaan tidak hanya dilakukan berdasarkan bentuknya saja, tapi
juga terhadap media yang digunakan. Dengan diberlakukannya UU ITE pada tahun 2008,
maka bentuk-bentuk aktivitas di media maya juga dapat dikenakan ancaman pidana
termasuk penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Khusus untuk pengguna internet,
ancaman pidana terhadap pelaku penghinaan dirumuskan melalui pasal 27 ayat (3) jo
pasal 45 ayat (1) UU ITE. Ketentuan ini memungkinkan pengguna internet untuk
dikriminalisasi dalam hal yang bersangkutan terbukti melakukan penghinaan di media
online dengan cara mendistribusikan dan/atau mentransmisikan, dan/atau membuat dapat
diakses Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik yang memiiki muatan penghinaan
dan/ atau pencemaran nama baik. Ketetentuan ini juga tidak secara definitif menjelaskan
mengenai pengertian Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik. Dengan demikian,
pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak mengatur norma hukum pidana baru, melainkan hanya
mempertegas berlakunya norma hukum pidana penghinaan dalam KUHP ke dalam

20
Albert Hasibuan. “Politik Hak Asasi Manusia (HAM) dan UUD 1945”. Law Review Fakultas Hukum
Universitas Pelita Harapan. Vol. VIII, No. 1. 2013, hlm 21.
Undang-Undang baru karena terdapat unsur tambahan yang khusus karena terdapat
perkembangan hukum di bidang teknologi informasi/siber.21

Nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum adalah nilai-nilai yang


mendasari berlakunya hukum. Tidak ditegaskannya asas keadilan dalam UU ITE dapat
dikatakan sebagai pengabaian keadilan sebagai dasar atas berlakunya hukum.
Mengesampingkan asas keadilan dalam teks undang-undang sama saja dengan tidak
berupaya untuk menegakkan keadilan. Keadilan sangat penting mengingat UU ITE
banyak memuat rumusan pidana yang ditujukan kepada warga negara. Alpa
mencantumkan asas keadilan dalam UU ITE sama saja dengan berpikiran bahwa keadilan
di ruang-maya tak perlu diwujudkan melalui undang-undang tersebut.

1. Identifikasi Masalah
a. Bagaimana Tinjauan Keadilan, Kepastian Hukum Dan Kemanfaatan Hukum
Terhadap Ketentuan Pasal 45 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
Dan Transaksi Elektronik?
b. Bagaimana Implementasi Keadilan, Kepastian Hukum Dan Kemanfaatan Hukum
Terhadap Ketentuan Pasal 45 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
Dan Transaksi Elektronik?
2. Metode Penelitian
Metode penelitian ini dilakukan menggunakan metode penelitian hukum normative,
melalui studi kepustakaan, dengan tipologi penelitian preskriptif yaitu melakukan
pedekatan secara intensif, mendalam dan mendetail serta komperhensif untuk menggali
secara mendalam mengenai penelitian. Penelitian ini mengkaji aspek hukum terhadap
Tinjauan Keadilan, Kepastian Hukum Dan Kemanfaatan Hukum Terhadap Ketentuan
Pasal 45 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
guna memberikan pemahaman dan penguatan dalam amelihat suatu pasal/ delik yang
akan diterima oleh masyarakat.

B. KEADILAN
“Tinjauan Keadilan Terhadap Ketentuan Pasal 45 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi Dan Transaksi Elektronik.”

21
Jurnal Hukum Bisnis, Efektifitas UU ITE Dalam Penyelesaian Sengketa E- Commerce,Volume 29, Nomor 1,
2006.
Menurut Francis Fukuyama, Keadilan adalah sebuah nilai yang ingin dicapai
dengan parameter yang abstrak. Oleh karena masih susahnya menyebar luaskan sikap
fairness pada masyarakat, sehingga sebenarnya nilai keadilan yang ingin dicapai adalah
keadilan sebagai fairness. Dalam hukum modern yang dianut Negara liberal sifatnya
yang menonjol adalah rasionalitas. Sehingga tidak mengherankan jika para
penyelenggara hukum, baik legislator, penegak hukum, dan lainnya, akan mengambil
“sikap rasional” . Misalnya bukan keadilan yang ingin diciptakan tetapi “cukup”
menjalankan dan menerapkannya secara rasional. Akan tetapi Francis Fukuyama
berpendapat keadilan tetap merupakan nilai yang harus diciptakan dari adanya norma
informal yang ada dan justru rasionalitas ini yang akan mendukung terciptanya keadilan.
Oleh karena itu bisa dikatakan norma informal yang didukung dengan rasionalitas
memiliki tujuan menciptakan keadilan. Hubungan antara norma dan rasionalitas dapat
ditunjukkan dalam masyarakat yang tertata, rencana kehidupan rasional seseorang
mendukung dan memperkuat rasa keadilannya. Orang dalam masyarakat tertata dapat
menunjukkan ciri-ciri mendasar dari perkembangan perasaan keadilan dan bagaimana
akhirnya moralitas prinsip-prinsip hendak dipahami. Terlebih lagi, pendidikan moralnya
sendiri telah diatur oleh prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu bisa
dikatakan masyarakat modern yang telah tertata dan memiliki rasionalitas yang tinggi
akan lebih mendukung terciptanya suatu keadilan.22
Berdasarkan buku John Rawls yang berjudul “A Theory Of Justice”, terdapat tiga
(3) ide pokok penting sebagai komponen adanya teori keadilan John Rawls. Yaitu : 1)
Utilitarianisme Klasik, 2) Keadilan Sebagai Fairness, 3) Dua Prinsip Keadilan.23
Bahwa fairness (dalam bahasa Inggris) adalah ‘kejujuran, kewajaran, kelayakan’.
Jadi dengan kata lain, keadilan itu suatu kejujuran, suatu kewajaran dan kelayakan. Teori
Rawls ini sering disebut Justice as fairness (keadilan sebagai kelayakan). Jadi yang
pokok adalah prinsip keadilan mana yang paling fair, dan harus dipedomani bahwa
orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan
kepentingan- kepentingannya hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada
saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk
memasuki perhimpunan yang mereka kehendaki. Beragam pengertian keadilan yang
demikian banyaknya, merupakan konsekuensi dari substansi teori keadilan yang
dikembangkan oleh pemikir-pemikir tentang keadilan itu sendiri. Tiap pemikir
mempunyai substansi (teori) keadilan yang pasti berbeda, tergantung dari pendekatannya
masing-masing.24
Tapi berkenaan dengan teori keadilan, John Rawls berusaha membangun teorinya
secara teliti. Menurutnya, keadilan itu tidak saja meliputi konsep moral tentang
individunya, tetapi juga mempersoalkan mekanisme dari pencapaian keadilan itu sendiri,
22
Francis Fukuyama, TRUST : Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran, Penerbit Qalam, Jogjakarta,
2007, Hlm. 55
23
John Rawls, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2006, Hlm. 672.
24
E. Fernando Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Kompas, Jakarta, 2007, Hlm. 99.
termasuk juga bagaimana hukum turut serta mendukung upaya tersebut. Dengan keadaan
demikian, jelas sekali bahwa dalam menentukan pengertian keadilan, baik secara formal
dan substansial, hal ini rasanya amat sulit ditentukan secara definitif. Keadilan itu dapat
berubah-ubah isinya, tergantung dari pihak siapa yang menentukan isi keadilan itu,
termasuk juga faktor-faktor lainnya yang turut membentuk konteks keadilan itu, seperti
tempat dan waktunya.25
Namun secara umum, ada unsur-unsur formal dari keadilan (sesuai dengan
pembagian aliran keadilan menurut Kelsen dan Rawls) yang pada dasarnya terdiri atas:26
1. Bahwa keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk memberikan
perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak).
2. Bahwa perlindungan ini pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap
individu (unsur manfaat).

Dengan unsur nilai keadilan yang demikian, yang dikaitkan dengan unsur hak dan
manfaat serta ditambahkan bahwa dalam diskursus hukum, perihal realisasi hukum itu
berwujud lahiriah, tanpa mempertanyakan terlebih dahulu itikad moralnya. Maka nilai
keadilan disini mempunyai aspek empiris juga, disamping aspek idealnya. Maksudnya
adalah apa yang dinilai adil, dalam konteks hukum, harus dapat diaktualisasikan secara
kongkret menurut ukuran manfaatnya. Dengan adanya ukuran manfaat nilai keadilan ini
pada akhirnya keadilan dapat dipandang menurut konteks yang empiris juga. Sebagai
contoh seorang terdakwa misalnya, dapat merasakan suatu nilai keadilan jika apa yang
dilakukan sebagai tindak pidana menurut hukumnya, dihukum sesuai dengan berat dari
kesalahannya. Dengan demikian, si terdakwa merasakan bahwa hukumannya adalah
sebanding atau setimpal dengan kesalahan yang telah diperbuat, dan apa yang
dianggapnya sebagai hal yang setimpal atau sebanding itu, merupakan pencerminan dari
nilai keadilan yang ideal. Jika hukumannya dirasakan tidak sebanding atau setimpal,
maka hukuman itu dapat dinyatakan sebagai perwujudan yang melawan nilai-nilai ideal
dalam keadilan. Disinilah nilai keadilan berfungsi menentukan secara nyata, apa yang
pantas (sebanding atau setimpal) diterima oleh seseorang sebagai konsekuensi lanjutan
dari norma hukum yang mengaturnya.27

Teori Rawls Justice as fairness cukup keras mengkritik konsep Jeremy Bentham
tentang utilitisme. Pertama-tama John Rawls mulai dengan gambaran tentang teori
utilitis, seperti sebelumnya telah diuraikan pada sub bab di atas bahwa doktrin ini
menganjurkan the greatest happiness principle (prinsip kebahagiaan yang semaksimal
mungkin). Tegasnya menurut teori ini, masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang
mencoba memperbesar kebahagiaan dan memperkecil ketidak-bahagiaan, atau
masyarakat yang mencoba memberi kebahagiaan yang sebesar mungkin kepada rakyat
25
Ibid, Hlm. 100.
26
John Rawls, Teori Keadilan..Op Cit, Hlm. 27.
27
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) termasuk
Interpretasi Undang-undang (Legisprudende),Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, Hlm. 273.
pada umumnya. Teori ini tampak sederhana, yaitu untuk memperbesar kebahagiaan,
tetapi sebenarnya tidak sesederhana yang diperkirakan sebagian orang. Jadi tampak
bahwa prinsip keadilan dan kemafaatan kaun utilitis itu, untuk memperbesar
kebahagiaan, bukan suatu persoalan yang pasti. Masih ada satu problem lagi dengan
utilitarianism sebagai tambahan atas fakta bahwa teori ini, tidak melengkapi definisi yang
jelas tentang kebahagiaan, tidak ada cara untuk mengukurnya dan tidak ada bimbingan
moral yang pasti. Problem ini ialah bahwa teori keadilan utilitis ini, tidak selalu sesuai
dengan perasaan umum tentang keadilan.28

Konon ada teka-teki di Amerika yang bunyinya : “Kalau ada sebuah kue dan ada dua
orang yang lapar, bagaimana cara yang teradil untuk membagi kue itu?”. Jawabannya,
sesorang harus memotong kue itu dan orang lain dapat memilih dahulu potongan mana
yang ia inginkan. Inti dari teka-teki ialah pemotongan kue yang rasional akan memotong
kue itu dengan adil, yaitu ia akan memotong setengah-setengah, karena ia belum tahu
potongan yang mana dari keduanya yang akan dia ambil. Pasti ia tidak ingin mengambil
resiko bahwa ia akan menerima potongan yang lebih kecil. Rawls berpikir, dengan cara
yang sama tentang keadilan. Orang yang rasional akan menyeimbangkan kepentingan-
kepentingan secara netral, seperti ia akan memotong sebuah kue secara netral atau jujur,
jika ia belum mengetahui bagian mana yang akan diterimanya sendiri. Orang yang
rasional, dan belum mengetahui bagian mana yang akan diterimanya, tentu akan
memotong kue secara sama, yaitu setengah-setengah. Rawls mengatakan bahwa seorang
yang rasional, tanpa mengetahui bagian mana yang akan diterimanya dari masyarakat,
akan memilih prinsip-prinsip keadilan yang fair (netral, jujur, dan adil). Semua teori
keadilan adalah merupakan teori tentang cara untuk menyatukan kepentingan-
kepentingan yang berbeda dari seluruh warga masyarakat.29

Menurut Rawls, ada dua prinsip dasar dari keadilan. Prinsip yang pertama, dinamakan
prinsip kebebasan. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap orang berhak mempunyai
kebebasan yang terbesar, sebesar kebebasan yang sama bagi semua orang, sepanjang ia
tidak menyakiti orang lain. Tegasnya, menurut prinsip kebebasan ini, setiap orang harus
diberikan kebebasan memilih, menjadi pejabat, kebebasan berbicara dan berpikir,
kebebasan memiliki kekayaan, dan sebagainya. Prinsip ini adalah prinsip yang
dibenarkan oleh orang-orang yang fair (netral). Tidak ada seorangpun yang rasional, yang
ingin membatasi kebebasan bagi suatu kelompok kalau ia telah mengetahui adanya
kesempatan, yang mungkin digunakannya untuk menjadi anggota dari kelompok tersebut.
Misalnya, tidak seorangpun akan memilih untuk tinggal di dalam suatu masyarakat,
dimana disitu terdapat perbudakan, jika ia berpikir bahwa disitu ada kemungkinan ia
menjadi budak. Seseorang mungkin memilih suatu masyarakat yang demikian, jika ia
telah yakin, bahwa ia akan menjadi orang yang memiliki budak. Pemisalan ini yang

28
John Rawls, Teori Keadilan, Op Cit, Hlm. 29
29
Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal Theory) ,Op.cit, Hlm. 281
menunjukkan, mengapa teori Rawls menghendaki kita untuk membayangkan diri kita
sendiri dalam keadaan tidak mengetahui, dalam kedudukan mana kita akan berada dalam
suatu masyarakat.30

Prinsip keadilan kedua adalah ketidaksamaan sosial dan ekonomi meski diatur
sedemikian rupa sehingga (a) dapat diharapkan memberi keuntungan semua orang, dan
(b) semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang. Bahwa ketidaksamaan sosial dan
ekonomi, harus menolong seluruh masyarakat serta para pejabat tinggi garus terbuka bagi
semuanya. Tegasnya, ketidaksamaan sosial dan ekonomi, dianggap tidak ada kecuali jika
ketidaksamaan ini menolong seluruh masyarakat. Maka, prinsip keadilan kedua ini yang
akan dibenarkan oleh semua orang yang fair.31

Prinsip pertama yaitu kebebasan, mencoba membagi antara aspek-aspek sistem sosial
yang mendefinisikan dan menjamin kebebasan warga negara dan aspek-aspek yang
menunjukkan dan mengukuhkan perbedaan sosial-ekonomi. Seperti kebebasan warga
negara adalah kebebasan politik (hak untuk memilih dan dipilih menduduki jabatan
publik) bersama dengan kebebasan berbicara dan berserikat; kebebasan berkeyakinan dan
kebebasan berpikir; kebebasan seseorang seiring dengan kebebasan untuk
mempertahankan hak milik (personal). Kebebasan- kebebasan ini oleh prinsip pertama
diharuskan setara, karena warga suatu masyarakat yang adil mempunyai hak-hak dasar
yang sama.32

Prinsip kedua berkenaan dengan distribusi pendapatan dan kekayaan serta dengan
desain organisasi yang menggunakan perbedaan dalam otoritas dan tanggungjawab, atau
rantai komando. Sementara distribusi pendapatan dan kekayaan tidak perlu sama,
masyarakat yang menerapkan prinsip kedua dengan membuat posisi-posisinya terbuka
bagi semua orang, sehingga tunduk dengan batasan ini, akan mengatur perbedaan sosial-
ekonomi sedemikian sehingga semua orang diuntungkan. Mungkin dapat lebih
memahami prinsip keadilan yang kedua ini, jika menyelidiki beberapa penerapannya.
Dibawah prinsip ini, apakah ketidaksamaan dalam kekayaan dan pendapatan itu adil?
Jawabannya ialah bahwa ketidaksamaan memang adil, karena ketidaksamaan pendapatan
dapat merangsang orang-orang bekerja lebih keras, agar mereka menjadi orang yang
paling kaya. Sebagai akibatnya, menghasilkan yang lebih banyak, yang akan bermanfaat
bagi semua orang didalam masyarakatnya. Bagaimana dengan fakta bahwa hanya
beberapa orang yang dapat menjadi presiden dari suatu negara? Apakah ini adil? Sekali
lagi jawabannya adalah: “ya!”. Asalkan semua orang mempuyai kesempatan yang sama
untuk menjadi presiden. Suatu kondisi dimana hanya beberapa orang yang dapat menjadi
presiden, sangatlah adil, karena lembaga kepresidenan bermanfaat bagi seluruh rakyat.
Bagi teori Rawls, setiap orang mempunyai hak yang sama untuk kaya, bukan hak untuk
30
Ibid, hlm. 279.
31
John Rawls, Teori Keadilan, Op.cit, hlm. 80
32
Ibid
memiliki kekayaan yang sama. Bagaimana dengan perbudakan? Apakah lembaga
perbudakan itu adil? Jawabnya: “tidak!”. Ketidaksamaan yang tidak bermanfaat bagi
semua orang, adalah tidak adil. Perbudakan sangat bermanfaat bagi para pemilik budak,
tetapi tidak bermanfaat bagi para budak sendiri, tidak bermanfaat bagi semua orang,
karena itulah merupakan sesuatu yang tidak adil.33

Menurut Rawls, bagaimanapun juga, cara yang adil untuk mempersatukan berbagai
kepentingan yang berbeda adalah melalui krseimbangan kepentingan- kepentingan
tersebut, tanpa memberikan perhatian istimewa terhadap kepentingan itu sendiri.
Tegasnya prinsip-prinsip keadilan adalah prinsip-prinsip dimana orang yang rasional
akan memilih jika ia belum tahu kedudukannya dalam masyarakat (apakah ia kaya atau
miskin, berstatus tinggi atau berstatus rendah, cerdas atau bodoh). Prinsip keadilan inilah
yang akan kita pilih, jika belum mengetahui status sosial kita. Karena orang-orang akan
selalu bertindak menurut kepentingannya sendiri, maka kita tidak dapat membiarkan
seseorang dengan kepentingan- kepentingannya memutuskan persoalan atau kasusnya
sendiri. Satu-satunya cara yang dapat kita putuskan mengenai keadilan itu, adalah
membayangkan keadaan dimana kita tidak atau belum mempunyai kepentingan-
kepentingan. Dalam keadaan ini tidak ada pilihan lain, kecuali memutuskan dengan jujur.
Rawls mengemukakan suatu ide dalam bukunya A Theory of Justice bahwa teori keadilan
merupakan suatu metode untuk mempelajari dan menghasilkan keadilan. Ada prosedur-
prosedur berfikir untuk menghasilkan keadilan. Teori Rawls didasarkan atas dua prinsip
yaitu Ia melihat tentang Equal Right dan juga Economic Equality. Dalam Equal Right
dikatakannya harus diatur dalam tataran leksikal, yaitu different principles bekerja jika
prinsip pertama bekerja atau dengan kata lain prinsip perbedaan akan bekerja jika basic
right tidak ada yang dicabut (tidak ada pelanggaran HAM) dan meningkatkan ekspektasi
mereka yang kurang beruntung. Dalam prinsip Rawls ini ditekankan harus ada
pemenuhan hak dasar sehingga prinsip ketidaksetaraan dapat dijalankan dengan kata lain
ketidaksetaraan secara ekonomi akan valid jika tidak merampas hak dasar manusia.34

Bagi Rawls, rasionalitas ada 2 bentuk yaitu Instrumental Rationality dimana akal
budi yang menjadi instrument untuk memenuhi kepentingan-kepentingan pribadi dan
kedua yaitu Reasonable, yaitu bukan fungsi dari akal budi praktis dari orang per orang.
Selain itu, Rawls percaya bahwa ada kemampuan orang untuk revising. Person moral
adalah warga negara yang sama dalam 2 daya moral. Pertama, membentuk, merevisi,
menjalankan gagasan keuntungan atau keadilan yang rasional untuk kebaikan atau tujuan
final. Kedua, daya untuk memahami, menerapkan dan bertindak pada kesepakatan yang
telah dicapai yang mencerminkan keikhlasan untuk mencapai kepentingan atau
keuntungan bersama. Dalam suatu masyarakat tentunya tidak akan pernah lepas dari

33
Ibid
34
John Rawls, Teori Keadilan, Op.cit, Hlm. 74
banyak ukuran keadilan yang diturunkan dari doktrin komprehensif yang berbeda-beda
baik dari institusi agama, politik, pendidikan dan lain sebagainya.35

Reasonable disagreement sifatnya permanent dalam masyarakat demokratis,


sehingga Rawls menawarkan ada 2 penyelesaian, yaitu:36

a. Koersif dimana yang dominant diberlakukan (terdapat doktrin tunggal)


b. Secara procedural kelompok-kelompok yang ada masuk dalam original position
lalu memilih konsep tentang keadilan dengan kata lain disini ada hal mmbatasi
sekaligus memfasilitasi doktrin-doktrin keadilan yang berbeda itu bias beririsan
sehingga dapat tercapai konsep public tentang keadilan. (procedural of justice
yang mengusung fairness).

Menurut Penulis Keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial,


sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan
ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar, demikian juga hukum
dan institusi, tidak peduli betapapun efisien dan rapinya, harus direformasi atau
dihapuskan jika tidak adil.

1. SUBTANSI
Hukum dan masyarakat adalah suatu hal yang tidak bisa dipisahan satu sama lain.
Berlakunya hukum itu berlangsung di dalam suatu tatanan sosial yang disebut dengan
masyarakat. Adigium bangsa romawi yang menyatakan ubi societas ibi ius telah
menggambarkan betapa eratnya hubungan antara hukum dan masyarakat. Oleh karena itu
hukum harus ditempatkan sebagai kerangka proses yang terus mengalami perkembangan
(law in the making). Hukum bukanlah dogma yang bersifat final. Hukum tentu saja akan
bergerak secara simultan sesuai dengan tuntutan zamannya (continue on progress).
Sebagai contoh, tentang perbuatan melawan hukum dalam “Arrest Hoge Raad” atau
putusan Mahkamah Agung Belanda pada bulan Januari 1919 atau sering juga diistilahkan
dengan “Revolusi Bulan Januari”.37
Putusan tersebut tidak hanya mendefinisikan ulang terhadap makna perbuatan
melawan hukum, tapi juga memberikan suatu lompatan besar dalam sejarah
perkembangan hukum yang selalu mengalami progresifitas. Mahkamah Agung Belanda
pada tanggal 13 Januari 1919 membuat putusan yang mengatakan bahwa, “melawan
hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tapi juga bertentangan dengan
tata susila dan kepatutan menurut masyarakat”. Hal ini menjadi landasan kuat yang
menegaskan bahwa hukum harus mengalami proses adaptasi sesuai dengan zamannya
masing-masing. Inilah salah satu makna dasar dari hukum bergerak menuju tuntutan
masyarakat. Hukum bukanlah sebagai sebuah sistem yang stagnan dan status quois,

35
Ibid
36
John Rawls, Teori Keadilan,Op.cit, Hlm. 77
37
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 158
namun mengikuti jejak perkembangan sejarah sesuai dengan tuntunan perubahan sosial
masyarakat.38
Masyarakat menghendaki hukum tidak lagi menjadi alat untuk kepentingan
penguasa, ataupun kepentingan politik. Oleh karena itu dibutuhkan penegakan hukum
yang berkeadilan. Sejalan dengan hal tersebut, realita dalam penegakan hukum seringkali
mengabaikan rasa keadilan masyarakat mengingat secara tekstual substansi hukum lebih
mensyaratkan pada adanya kepastian hukum. Bagaimana pun juga, hukum itu
sesungguhnya berhakikat sebagai organisme yang hidup (es ist und wird mit dem volke)
seperti yang dikatakan Von Savigny bahwa hukum akan tetap hidup dan berkembang
berseiring dengan perkembangan masyarakat, atas dasar otoritasnya sendiri yang moral.
Dalam hal ini hukum harus tetap berfungsi atau berarti bagi kemaslahatan, keteraturan,
serta ketertiban masyarakat.39
Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem Substansial
yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi juga berarti
produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup
keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga
mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab
undang-undang (law books). Sebagai negara yang masih menganut sistem Cicil Law
Sistem atau sistem Eropa Kontinental (meski sebagaian peraturan perundangundangan
juga telah menganut Common Law Sistem atau Anglo Sexon) dikatakan hukum adalah
peraturan-peraturan yang tertulis sedangkan peraturan-peraturan yang tidak tertulis bukan
dinyatakan hukum. Sistem ini mempengaruhi sistem hukum di Indonesia. Salah satu
pengaruhnya adalah adanya asas Legalitas dalam KUHP. Dalam Pasal 1 KUHP
ditentukan “tidak ada suatu perbuatan pidana yang dapat di hukum jika tidak ada aturan
yang mengaturnya”. Sehingga bisa atau tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi
hukum apabila perbuatan tersebut telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan
perundang-undangan.40
Lebih lanjut Soerjono Soekanto menyatakan bahwa efektif atau tidaknya suatu
penegakan hukum ditentukan oleh legal subantce (Undang-undang). Undang-undang
dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh
Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Mengenai berlakunya Undang-undang
tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar Undang-undang tersebut
mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara lain:41
a. Undang-undang tidak berlaku surut.

38
Ibid
39
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: memahami dan memahami hukum, Laksbang Pressindo,
Yogyakarta, 2010, hlm 59
40
Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction Second Edition (Hukum Amerika Sebuah
Pengantar) Penerjemah Wisnu Basuki, PT. Tatanusa, Jakarta, 2001, hlm 33
41
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, CV. Rajawali, Jakarta, 1986,
hlm 12
b. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi pula.
c. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang
bersifat umum, apabila pembuatnya sama.
d. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan Undang-undang yang
berlaku terdahulu.
e. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.
f. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan
spiritual dan material bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestarian
ataupun pembaharuan (inovasi).

Dari segi materi/substansi hukumnya pembenahan perlu dilakukan tidak hanya


mencakup kemungkinan mengadopsi pranata-pranata hukum baru yang muncul dalam
kerangka globalisasi ekonomi yang dapat memunculkan kecenderungan terjadinya
globalisasi hukum, namun juga adaptasi kemungkinan berlakunya ketentuan-ketentuan
hukum adat setempat bagi hubungan-hubungan hukum atau peristiwa-peristiwa hukum
tertentu. Pembenahan materi/substansi hukum tersebut bisa dilaksanakan melalui 3
alternatif, yaitu:42

a. Merumuskan dan menetapkan ketentuan-ketentuan hukum baru untuk hal-hal


yang sama sekali belum diatur.
b. Melakukan transformasi dari ketentuan-ketentuan hukum internasional
menjadi ketentuan hukum nasional melalui instrument pengesahan/ratifikasi
perjanjian-perjanjian internasional terkait.
c. Memodifikasi ketentuan-ketentuan hukum yang sudah ada untuk mengikuti
perkembangan kesadaran dan kebutuhan hukum yang berkembang dalam
masyarakat.

Ketidakhormatan terhadap hukum semakin menjadi-jadi manakala hukum hanya


dipandang secara tekstual dan sangat positifistik menafikkan aspek keadilan yang
menjadi ruhnya. Institusi dan aparatur hukum hanya mengedepankan formal justice
semata tanpa memperdulikan substansial justice sehingga segala sesuatu dilihat secara
hitam-putih.43

Regulasi dalam sektor teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia


sebenarnya berawal dari sejumlah penelitian. Bila dicermati, penelitian tersebut lebih
merupakan penelitian dengan tema terbatas dalam rangka pengembangan dan
pemanfaatan telekomunikasi. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Direktorat
Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Komunikasi dan Informatika RI

42
Riduan Syahrani, rangkuman intisari ilmu hukum, penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm 23
43
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra
Aditya Bakti, Bandung , 2005, hlm 28
bekerjasama dengan pusatpusat studi di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran tentang
implikasi teknologi dalam kegiatan telekomunikasi dan penyusunan cetak-biru sektor
telekomunikasi dalam kerangka kerja WTO. Terkait regulasi di bidang teknologi
informasi, penelitian dilakukan sejak 1999 oleh Pusat Studi Cyberlaw Universitas
Padjadjaran bekerjasama dengan Jurusan Teknologi Elektro Institut Teknologi Bandung
dan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Perhubungan RI dalam
rangka menyusun Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pemanfaatan
Teknologi Informasi (RUU PTI).148 Pada tahun 2000, Lembaga Kajian Hukum dan
Teknologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerjasama dengan Departemen
Perindustrian dan Perdagangan RI juga melakukan penelitian untuk menyusun Naskah
Akademik Rancangan Undang-Undang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik
(RUU IETE). Pada tahun 2003, kedua naskah akademik tersebut diselaraskan menjadi
satu rancangan undang undang dengan nama Rancangan Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (RUU ITE). Sejak Departemen Komunikasi dan Informatika RI
terbentuk tahun 2005, wacana untuk menindaklanjuti Rancangan UU ITE kembali
digelindingkan, dan akhirnya diselesaikan Pada Maret 2008. 44

UU ITE yang terdiri dari 13 bab dan 54 pasal merupakan rezim hukum baru
dalam khazanah peraturan perundang-undangan RI. Asas-asas baru yang kurang lazim
atau belum dikenal dalam regulasi nasional menjiwai rumusan pasal UU ITE, semisal
asas yurisdiksi ekstrateritorial dan asas kebebasan memilih teknologi atau netral
teknologi. Cakupan materi UU ITE pun tergolong baru. Dalam undang-undang ini
dikenal informasi dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah,
pengakuan atas tanda tangan elektronik, penyelenggaraan sertifikasi dan sistem
elektronik, nama domain, hak kekayaan intelektual di ruang-maya, dan sebagainya.45

Dalam UU ITE terdapat sejumlah pasal yang memuat ancaman pidana terhadap
pelanggarnya. Di bawah judul “Bab VII: Perbuatan yang Dilarang”, termuat sejumlah
tindak pidana di ruang maya menurut UU ITE yang termaktub dalam Pasal 27 sampai
Pasal 36 dengan ketentuan pidana yang terdapat dalam Pasal 45 sampai 52. Delik-delik
tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan. Pertama, delik yang menggunakan
teknologi informasi sebagai sarana. Kedua, delik yang menjadikan teknologi informasi
sebagai sasaran.46

Di antara pasal-pasal tersebut terdapat pasal yang bersifat kontroversial karena


sering dimohonkan pengujian materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi RI.
Pasal-pasal itu adalah Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal 45 Ayat (1)166 UU ITE yang
mengatur tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik di ruang-maya dan Pasal

44
Anggara dkk, Kontrofersi Undang-Undang ITE; Menggugat Pencemaran Nama Baik di Ranah Maya,
Penebar Swadaya, Jakarta, 2010, hlm 21
45
Ibid
46
Ibid
28 Ayat (2) juncto Pasal 45 Ayat (2)167 UU ITE yang mengatur tentang penyebaran rasa
kebencian atau permusuhan di ruang-maya. Delik tersebut menimbulkan kontroversi
karena disertai dengan sanksi pidana yang besar dan berat. Untuk delik penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik sanksi pidana maksimalnya adalah pidana penjara enam
dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000, sementara untuk delik penyebaran rasa
kebencian atau permusuhan sanksi pidana maksimalnya adalah penjara enam tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000. Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal 45 Ayat
(1) UU ITE telah menyeret banyak pelaku (atau korban) ke pengadilan. Kasus populer
berkenaan dengan itu di antaranya adalah kasus Prita Mulyasari.47

Prita Mulyasari dilaporkan ke kepolisian atas tuduhan pencemaran nama baik oleh
Rumah Sakit Omni International. Duduk perkaranya adalah surat elektronik Prita
Mulyasari yang berisi soal kualitas pelayanan Rumah Sakit Omni International. Ia
menyebar surat itu ke sejumlah sejawat dengan tujuan supaya pengalamannya dapat
menjadi pelajaran bagi pihak pengelola rumah sakit ataupun calon pasien. Namun, surat
yang kemudian tersebar luas di Internet itu malah membuat pengelola rumah sakit merasa
dirugikan dan mengadukan Prita Mulyasari ke kepolisian. Kasus-kasus lain juga
bermunculan sejak berlakunya Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal 45 Ayat (1) UU ITE.
Misalnya saja kasus Narliswandi Piliang, Yudi Latif, EJA (inisial), Agus Hamonangan,
Indra Sutriadi Pipii, Nur Farah, Satria Lasmana Kusuma, Kho Seng Seng, Luna Maya,
Fifi Tanang, Alex Jhoni Polii, Rignolda Djamaluddin, Yani Sagaroa dan Salamuddin,169
dan Musni Umar.

Menarik untuk mengungkap pandangan para ahli mengenai pengujian materi


Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal 45 Ayat (1) UU ITE. Soetandyo Wignjosoebroto
mengemukakan bahwa hal yang menjadi sumber keberatan terhadap Pasal 27 Ayat (3)
UU ITE adalah Pertama, ketidakjelasan mengenai siapa yang menjadi sasaran
pengaturan norma pasal itu: mereka yang membuat dapat diaksesnya informasi ataukah
mereka yang membuat muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik (dader).
Kedua, pasal tentang penghinaan merupakan suatu pasal yang mengandung unsur delik
yang sangat subyektif, berbeda dengan rumusan delik lain yang selalu dirumuskan secara
lebih obyektif, misalnya pencurian. Penghinaan selalu subyektif karena harus ada pihak
yang merasa menjadi korban dan merasa dihinakan.48

Meskipun menimbulkan beragam kontroversi, Mahkamah Konstitusi RI menolak


permohonan pengujian materi Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal 45 Ayat (1) UU ITE yang
diajukan pada 28 Desember 2008 (Putusan Nomor 50/PUU-VI/2008). Kendati pada 29
Januari 2009 diajukan permohonan serupa (namun hanya menguji Pasal 27 Ayat [3] UU

47
Majalah Konstitusi MK berita Makamah Konstitusi.”Permohonan Uji ITE tidak memiliki dasar hukum, Hal 49-
50.29 MEI 2009. Jakarta
48
M Arif Mansur, Didik dan Gultom, Elisatris, Cyber Law; Aspek Hukum dan teknologi Informasi,
Bandung; Refika Aditama, 2009.
ITE), Mahkamah Konstitusi RI menyatakan bahwa permohonan pengujian materi Pasal
27 Ayat (3) UU ITE tidak dapat diterima (Putusan Nomor 2/PUU-VII/2009). Mahkamah
Konstitusi RI menegaskan bahwa norma Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal 45 Ayat (1) UU
ITE adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi
manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum.

Sementara itu, pada tanggal 26 April 2013 juga telah diajukan pengujian materi
terhadap Pasal 28 Ayat (2) UU ITE. Dalam Putusan Nomor Nomor 52 PUU-XI/2013,
Mahkamah Konstitusi RI memutuskan menolak permohonan untuk seluruhnya.
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi RI antara lain:

“Apabila seseorang menyebarkan informasi dengan maksud untuk menimbulkan


rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) adalah sesuatu yang
bertentangan dengan jaminan pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain, dan bertentangan pula dengan tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat yang demokratis.”

Penulis ingin mengajukan beberapa hal yang patut menjadi pokok perhatian
bersama. Pertama, Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal 45 Ayat (1) UU ITE dinilai oleh para
pegiat hak asasi manusia yang memperjuangkan kebebasan internet (HAM internet)
sebagai pasal karet yang rentan disalahgunakan penguasa. Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal
45 Ayat (1) UU ITE dikatakan sebagai kelanjutan dari Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) sebab pasal tersebut merujuk pada ketentuan Bab XVI Buku II KUHP
tentang penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 dan 311 KUHP. Kedua, khusus
mengenai delik yang termaktub dalam Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE,
mekanisme kriminalisasi seyogianya diubah karena delik yang dikualifikasikan sejatinya
bukan delik biasa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan mesti diutamakan. Menurut
Satjipto Rahardjo, penyelesaian perkara di luar pengadilan (out of court settlement)
bukanlah sesuatu yang aneh, tabu, dan luar biasa bagi mereka yang melihat persoalan
tersebut melalui optik sosiologi hukum. Sebab bagi sosiologi hukum, fungsi lebih utama
ketimbang sekadar bentuk.49 Dengan kata lain, keadilan dan kemanfaatan harus
diprioritaskan daripada kepastian hukum. Ketiga, karena sifat delik penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik yang subyektif, seyogianya penyidik membedakan delik tersebut
dalam dua penafsiran, yakni (1) penghinaan dan/atau pencemaran nama baik terhadap
lembaga atau organisasi dan (2) penghinaan dan/atau pencemaran nama baik terhadap
individu atau perorangan. Merupakan delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
hanya jika perbuatan itu ditujukan untuk individu atau perorangan.

2. STRUKTUR
49
Ibid
Struktur hukum atau legal structure yang merupakan institusionalisasi ke dalam
entitas-entitas hukum, seperti struktur pengadilan tingkat pertama, pengadilan tingkat
banding, dan pengadilan tingkat kasasai, jumlah hakim serta integrated justice system.
Friedman menegaskan bahwa hukum memiliki elemen pertama dari sistem hukum adalah
struktur hukum, tatanan kelembagaan, dan kinerja lembaga.50
Penegakan hukum menurut Badra Nawawi Arief, sebagaimana dikutip Heni
Siswanto adalah: (a) keseluruhan rangkaian kegiatan penyelenggara/ pemeliharaan
keseimbangan hak dan kewajiban warga masyarakat sesuai harkat dan martabat manusia
serta pertanggungjawaban masing-masing sesuai fungsinya secara adil dan merata,
dengan aturan hukum dan peraturan hukum dan perundang-undangan yang merupakan
perwujudan Pancasilan dan UndangUndang Dasar 1945; (b) keseluruhan kegiatan dari
para pelaksana penegak hukum ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman dan kepastian hukum
sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.51
Menurut Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip Heni Siswanto, pada
hakikatnya kebijakan hukum pidana (penal policy), baik dalam penegakan in abstracto
dan in concreto, merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan system (penegakan)
hukum nasional dan merupakan bagian dari upaya menunjang kebijkaan pembangunan
nasional (national development). Ini berarti bahwa penegakan hukum pidana in abstracto
(pembuatan/perubahan UU; law making/law reform) dalam penegakan hukum pidana in
concreto (law enforcement) seharusnya bertujuan menunjang tercapainya tujuan, visi dan
misi pembangunan nasional (bangnas) dan menunjang terwujudnya sistem (penegakan)
hukum nasional.52
Penegakkan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan
hukum menjadi kenyataan. Yang disebut keinginan hukum disini tidak lain adalah
pikiran-pikiran badan pembuat Undang-Undang yang dirumuskan dalam peraturan
hukum. Peraturan hukum itu. Perumusan pemikiran pembuat hukum yang dituangkan
dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu
dijalankan. Penegakan hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia.
Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum
dapat berlangsung secara normal, damai tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran
hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar harus ditegakkan. Melalui penegakan
hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan.53
Penegak hukum dalam menyelesaikan suatu perkara juga tidak dapat dilepaskan
dari pengaruh sistem nilai yang dianutnya. Oleh karena itu, penegak hukum harus dapat
menghindarkan diri dari kepentingan pribadi dan hawa nafsunya, serta mempunyai

50
Barda Nawawi Arief, Kapita selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm 10
51
Ibid
52
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm 23
53
Ibid
kepekaan moral dan hati nurani dalam menyelesaikan suatu perkara. Sejarah perjalanan
bangsa Indonesia mencatat bahwa upaya penegakan hukum telah dihambat oleh mereka
yang terindikasi melakukan perbuatan melanggar hukum dengan mencerabut moral dan
rasa keadilan dari hukum itu sendiri. Hukum telah kehilangan nilai moral dan rasa
keadilan yang seharusnya menjadi ruh dari hukum. Ruh dari hukum yang berupa moral
dan keadilan telah berbelok ke arah formal prosedural. Banyak kasus hukum yang terjadi
tanpa penegakan hukum yang berkeadilan karena secara formal prosedural kasus
hukumnya belum terbukti. Mereka yang melakukan pelanggaran moral dan etika merasa
bahwa secara formal prosedural tidak ada persoalan. 54
Oleh karena itu, hukum yang dibentuk selain harus menampung aspirasi
masyarakat juga harus memperhatikan moral, etika, dan keadilan sehingga formalitas
hukum merupakan wadah dari nilai-nilai moral, etika, dan keadilan. Hukum yang
demikian itu yang dapat diimplementasikan oleh aparat penegak hukum dalam
menyelesaikan suatu perkara. Faktor struktur hukum ini mempunyai peran yang sangat
penting, karena orang sering berpikiran bahwa meskipun substansi hukumnya tidak
sempurna, akan tetapi apabila struktur hukum atau aparat penegak hukum jujur, adil, dan
mempunyai integritas yang tinggi, maka hukum yang berperikemanusiaan dan
berkeadilan tetap dapat ditegakkan. Tuntutan terhadap integritas aparat penegak hukum
inilah yang kemudian melahirkan teori hukum progresif oleh Prof Satjipto Rahardjo dan
teori hukum integratif oleh Prof. Romli Atmasasmita.55
Penegakan hukum yang diskriminatif menjadikan hukum di negeri ini persis
seperti yang dideskripsikan Plato bahwa hukum adalah jaring laba-laba yang hanya
mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat (laws
are spider webs, they hold the weak and delicated who are caught in their meshes but are
torn in pieces by the rich and powerful). Buramnya wajah hukum merupakan anak
kandung penegakan hukum (law enforcement) yang stagnan. Kalaupun hukum telah
dicoba ditegakkan maka penegakannya yang diskriminatif. 56
Perkembangan teknologi informasi termasuk internet di dalamnya juga
memberikan tantangan tersendiri bagi perkembangan hukum di Indonesia. Hukum di
Indonesia dituntut untuk dapat menyesuaikan dengan perubahan sosial yang terjadi.
Perubahan-perubahan sosial dan perubahan hukum atau sebaliknya tidak selalu
berlangsung secara bersama-sama, artinya pada keadaan tertentu perkembangan hukum
mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya dari masyarakat serta
kebudayaannya atau sebaliknya.57
Tindak Pidana penghinaan atau pencemaran nama baik tersebut dilakukan secara
lisan sebagaimana terdapat dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP, supaya dapat dihukum maka
54
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang,
2002, hlm 11
55
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Kencana Prenada Media Group, Semarang, hlm 52
56
Prasetyo, Teguh, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Nusa Media, Bandung, 2010, hlm 77
57
M Ramli, Ahmad, Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum Pidana, Bandung, Refika Aditama, 2006,
hlm 33
pencemaran nama baik itu harus dilakukan dengan cara menuduh seseorang telah
melakukan perbuatan tertentu dengan maksud tuduhan itu akan tersiar (diketahui orang
banyak). Sedangkan, penghinaan atau pencemaran nama baik dengan tulisan, yang
menggunakan media dalam melakukan penghinaan tersebut dapat berupa tulisan atau
gambar. Dalam hal ini penghinaan dengan tulisan maka surat atau gambar tersebut
dibutuhkan sebagai bukti adanya penghinaan atau pencemaran nama baik tersebut.58
Mengingat dalam penggunaan suatu sistem elektronik dan teknologi informasi
kerap menimbulkan suatu permasalahan, maka lahirlah suatu peraturan yaitu Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik. Dalam kajian
penelitian ini adalah khusus Pasal 27 Ayat (3) UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi Transaksi Elektronik. Tindak pidana pencemaran nama baik adalah
tindak pidana yang sangat perlu diperhatikan, sehingga diperlukannya suatu peraturan
yang khusus untuk mengaturnya. Pada saat ini banyak berkembangnya kasus-kasus
pencemaran nama baik seiring dengan berkembangnya media elektronik seperti
Facebook, Path, Twitter dan sosial media lainnya.59
UU ITE mengatur perbuatan yang dilarang berupa penghinaan dan pencemaran
nama baik dalam Pasal 27 ayat (3), yang berbunyi “setiap orang dengan sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya data Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Secara historis ketentuan Pasal
27 ayat (3) UU ITE tersebut mengacu pada Kitab UndangUndang Hukum Pidana
(KUHP), Pasal 310 dan Pasal 311. KUHP memuat penghinaan dalam bab tersendiri,
yaitu Bab XVI. Penghinaan merupakan delik aduan diatur dengan tegas dalam Pasal 319
KUHP, bahwa penghinaan yang diancam dengan pidana, tidak dituntut jika tidak ada
pengaduan dari orang yang terkena kejahatan. Sementara itu, UU ITE tidak
mencantumkan penghinaan sebagai delik aduan, sehingga dipermasalahkan dalam
penerapannya. 60
Namun, dari Putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008 mengenai konstitusionalitas
Pasal 27 ayat (3) UU ITE telah ada penegasan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE
merupakan delik aduan. Dalam pertimbangan MK dijelaskan keberlakuan dan tafsir atas
Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal
310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan
(klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang
dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal juga harus ditafsirkan sebagai delik yang
mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan. Oleh karena

58
Ibid
59
Ibid
60
Subroto, Al wisnu, Strategi Penanggulangan Kejahatan Telematika, Yogyakarta; Atma jaya, 2010, hlm
20
itu, dalam UU Perubahan UU ITE, ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) merupakan delik
aduan ditegaskan dalam Pasal 45 ayat (5). 61
Ketentuan tersebut memang sebagai konsekuensi dari Putusan MK, sebagaimana
ditegaskan dalam Naskah Akademik RUU bahwa “penambahan pasal delik aduan
sesuai pendapat Mahkamah Konstitusi sehingga perbuatan pidana pencemaran dalam
Pasal 27 ayat (3) yang dilakukan tidak dituntut jika tidak ada pengaduan dari orang
yang terkena kejahatan itu.” Selain itu, sebagai perbandingan UU ITE dengan KUHP,
UU ITE mengancam penghinaan dengan ancaman pidana yang lebih berat daripada
KUHP. Salah satu perbedaan antara komunikasi di dunia nyata dengan dunia maya
(cyberspace) adalah media yang digunakan, sehingga setiap komunikasi dan aktivitas
melalui internet, misalnya melalui transfer data, melalui distribusi, transmisi, dan/atau
dapat diaksesnya informasi dan dokumen elektronik, akan memiliki dampak bagi
kehidupan manusia dalam dunia nyata, dapat menimbulkan dampak negatif yang lebih
ekstrem dan masif di dunia nyata. Pada kenyataannya, seringkali masyarakat tidak
menyadari adanya aturan ini, sehingga dalam pelaksanaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE telah
menjerat lebih dari 100 orang.62
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) menjamin
hak kebebasan berekspresi seseorang. Pasal 28E ayat (2) menyatakan, “setiap orang
berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya.” Selanjutnya pada ayat (3) ditegaskan lagi bahwa, “setiap orang
berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Jaminan
konstitusional ini dielaborasi lebih jauh dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, bahwa “setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan
pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun
media cetak elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban,
kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.” Karena adigium hukum memberikan
keterangan bahwa rapport du droit, inberng van recht (bahwa hakekat hukum adalah
membawa aturan yang adil dalam masyarakat).

3. BUDAYA HUKUM
Dalam konteks penegakan hukum, budaya hukum (legal culture) menjadi elemen
yang sangat penting. Budaya hukum adalah meliputi pandangan, kebiasaan maupun
perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistem
hukum yang berlaku, dengan perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim dari
pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau
dilaksanakan. Setiap masyarakat, negara dan komunitas mempunyai budaya hukum
sendiri yang dipengaruhi nilai-nilai budaya yang hidup dimasyrakat baik itu sukusuku
atau adat maupun pengaruh agama. Melihat kenyataan yang demikian, para penegak
61
Putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008
62
Putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008
hukum semestinya tidak boleh hanya mengedepankan aspek hukum formil semata.
Dalam praktik kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, secara mendasar
(grounded dogmatic) dimensi kultur seyogianya mendahului dimensi lainnya, karena
dalam dimensi budaya itu tersimpan seperangkat nilai (value system). Selanjutnya sistem
nilai ini menjadi dasar perumusan kebijakan (policy) dan kemudian disusul dengan
pembuatan hukum (law making) sebagai rambu-rambu yuridis dan code of conduct dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari, yang diharapkan akan mencerminkan nilai-nilai luhur
yang dimiliki oleh bangsa yang bersangkutan. Dari ketiga unsur pembentuk sistem
hukum menurut Friedman, kultur hukumlah (legal culture) yang mendahului dua unsur
lainnya.63
Alasan pembentukan UU ITE dalam merespon dan penguatan budaya hukum
yang terus berkembang dapat dilihat konsiderannya, yaitu:64
a. Pembangunan nasional adalah suatu proses yang berkelanjutan yang harus
senantiasa tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat;
b. Globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian
masyarakat informasi dunia, sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan
mengenai pengelolaan Informasi dan Transaksi Elektronik di tingkat nasional
sehingga pembangunan Teknologi Informasi dapat dilakukan secara optimal,
merata, dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan
kehidupan bangsa;
c. Perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah
menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang
yang secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan
hukum baru;
d. Penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi harus terus dikembangkan
untuk menjaga, memelihara, dan memperkukuh persatuan dan kesatuan
nasional berdasarkan Peraturan Perundang-undangan demi kepentingan
nasional;
e. Pemanfaatan Teknologi Informasi berperan penting dalam perdagangan dan
pertumbuhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat;
f. Pemerintah perlu mendukung pengembangan Teknologi Informasi melalui
infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi
Informasi dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan
memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia.

63
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 33
64
Lihat konsideran Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
Tetapi dalam muatan pasal UU ITE jauh dari apa yang ditercantum dalam
konsiderannya karena Ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang menyatakan bahwa
“setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ataupencemaran nama
baik” tidak mencerminkan aturan yang jelas, mudah dipahami, dan dilaksanakan secara
adil (fair).

C. KEPASTIAN HUKUM
“Tinjauan Kepastian Hukum Terhadap Ketentuan Pasal 45 Ayat (3) Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.”
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan
yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa
peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi
manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum
menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam
hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat.
Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan
tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut
menimbulkan kepastian hukum.65
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan
diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak
menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir) dan logis. Jelas dalam artian ia menjadi suatu
sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik
norma. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap,
konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-
keadaan yang sifatnya subjektif. Kepastian dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan
moral, melainkan secara factual mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan
tidak mau adil bukan sekedar hukum yang buruk. Menurut Utrecht, kepastian hukum
mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat
individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua,
berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan
adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh
dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.66
Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang
didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat
hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini,

65
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni : Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif, Penerbit Nusamedia, Bandung,
2007, hlm 10
66
Ibid
hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain
dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan
oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat
umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak
bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk
kepastian.67
Kepastian hukum merupakan jaminan mengenai hukum yang berisi keadilan.
Norma-norma yang memajukan keadilan harus sungguh-sungguh berfungsi sebagi
peraturan yang ditaati. Menurut Gustav Radbruch keadilan dan kepastian hukum
merupakan bagian-bagian yang tetap dari hukum. Beliau berpendapat bahwa keadilan
dan kepastian hukum harus diperhatikan, kepastian hukum harus dijaga demi keamanan
dan ketertiban suatu negara. Akhirnya hukum positif harus selalu ditaati. Berdasarkan
teori kepastian hukum dan nilai yang ingin dicapai yaitu nilai keadilan dan kebahagiaan.
Herlien Budiono mengatakan bahwa kepastian hukum merupakan ciri yang tidak
dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai
kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat dijadikan sebagai pedoman perilaku
bagi semua orang. Apeldoorn mengatakan bahwa kepastian hukum memiliki dua segi
yaitu dapat ditentukannya hukum dalam hal yang konkret dan keamanan hukum. Hal ini
berarti pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui apa yang menjadi hukum dalam
suatu hal tertentu sebelum ia memulai perkara dan perlindungan bagi para pihak dalam
kesewenangan hakim.68
Dalam penegakan hukum pidana, baik materiil maupun formil, para pihak yang
terkait perlu untuk memperhatikan kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan
(zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechtigkeit). Pengaturan yang terdapat di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana merupakan kaedah-kaedah umum karena diatur di dalam
suatu undang-undang. Sebagai kaedah umum, hal-hal yang diatur di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana tidak diajukan kepada orang-orang atau pihak-pihak
tertentu, akan tetapi kepada siapa saja yang dikenai perumusan kaedah-kaedah umum.
Kepastian hukum juga merupahan hal yang sangat penting dalam hukum. Setelah
keadilan hukum tercapai maka hal yang selanjutnya harus terpenuhi adalah kepastian
hukum. Tanpa adanya kepastian hukum masyarakat tidak pernah mengerti apakah
perbuatan yang akan masyarakat perbuat benar atau salah dan tanpa adanya suatu
kepastian hukum akan menimbulkan berbagai permasalahan yaitu timbulnya suatu
keresahan dalam masyarakat. Dengan adanya suatu kepastian hukum maka masyarakat
memperoleh perlindungan dari tindakan yang sewenang-wenang dari berbagai aparat
penegak hukum dalam menjalankan tugasnya yang ada dalam masyarakat. Kepastian
hukum menjadi tolak ukur dalam kejelasan hak dan kewajiban mereka di dalam suatu

67
Kusumohamidjojo, Budiono, 2011, Filsafat Hukum, Penerbit Mandar Maju, Bandung
68
Ibid
hukum. Kepastian hukum harus dapat mengedepankan pembuktian sehingga hukum
tersebut dapat di pertanggungjawabkan.69
Kepastian hukum menurut Jan Michiel Otto mendefenisikan sebagai
kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu:70
a. Tersedia aturan-aturan yang jelas (jernih), konsisten dan mudah diperoleh,
diterbitkan oleh dan diakui karena (kekuasaan) nagara.
b. Instansi-instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan-aturan hukum
tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya.
c. Warga secara prinsipil menyesuaikan prilaku mereka terhadap aturanaturan
tersebut.
d. Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpikir menerapkan aturan-
aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan
sengketa hukum.
e. Keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.

Kemajuan dan perkembangan teknologi, khususnya telekomunikasi, multimedia


dan teknologi informasi (telematika) pada akhirnya dapat merubah tatanan organisasi dan
hubungan sosial kemasyarakat. Hal ini tidak dapat dihindari, karena fleksibilitas dan
kemampuan telematika dengan cepat memasuki berbagai aspek kehidupan manusia.
Dalam merespon kepastian hukum untuk menjawab perkembangan zaman maka
Pembentukan peraturan perundangan di era teknologi informasi ini harus dilihat dari
berbagai aspek. Misalnya dalam hal pengembangan dan pemanfaatan rule of law dan
internet, jurisdiksi dan konflik hukum, pengakuan hukum terhadap dokumen serta tanda
tangan elektronik, perlindungan dan privasi konsumen, cybercrime, pengaturan konten
dan cara-cara penyelesaian sengketa domain.71

Tindak pidana pencemaran nama baik merupakan kejahatan hukum yang perlu
untuk diperhatikan dan perlu hati-hati dalam melakukan penegakan hukum. Banyak
kasus-kasus pencemaran nama baik yang saat ini berkembang luas seiring terdapatnya
media, baik media cetak maupun media elektronik. Pencemaran nama baik seseorang
atau fitnah adalah ketentuan hukum yang paling sering digunakan untuk melawan media
masa. Pencemaran nama baik yang disebarkan secara tertulis dinekal sebagai libel,
sedangkan yang diucapkan disebut slander. Kejahatan penghinaan oleh Adami Chazawi
membedakannya menjadi: panghinaan umum (diatur dalam bab XVI buku II KUHP), dan
penghinaan khusus (tersebar diluar bab XVI buku II KUHP). Objek penghinaan umum
adalah berupa rasa harga diri atau martabat mengenai kehormatan dan mengenai nama
baik orang pribadi (bersifat pribadi). Sebaliknya penghinaan khusus, objek penghinaan
69
Van Apeldoorn, L.J., Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, hlm 77
70
Jan Michael Otto, Kepastian Hukum di Negara Berkembang, Terjemahan Tristam Moeliono, Komisi
Hukum Nasional Jakarta, hlm 22
71
M Arif Mansur, Didik dan Gultom, Elisatris, Cyber Law; Aspek Hukum dan teknologi Informasi, Refika
Aditama, Bandung, 2009, hlm 33
adalah rasa/perasaan harga diri atau martabat mengenai kehormatan dan nama baik yang
bersifat komunal atau kelompok. Berdasarkan pasal 310 KUHP dalam bukunya R.
Soesilo menerangkan bahwa, “menghina” adalah “menyerang kehormatan dan nama baik
sesorang”. Pihak yang di serang ini biasanya merasa “malu”, “kehormatan” yang
diserang di sini hanya mengenai kehormatan tentang “ nama baik”, bukan “kehormatan”
dalam lapangan seksual.72

1. SUBSTANSI

Pengaturan mengenai delik pencemaran nama baik dapat dijumpai dalam KUHP
maupun Undang-Undang di luar KUHP, yaitu UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
(UU Penyiaran) dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE). Dalam KUHP, pencemaran nama baik diatur melalui Pasal 310-320 Buku
Kedua (Kejahatan) Bab XVI tentang Penghinaan. Ada tiga catatan penting terkait dengan
delik pencemaran nama baik. Pertama, delik itu bersifat amat subyektif. Kedua,
pencemaran nama baik merupakan delik penyebaran. Ketiga, orang yang melakukan
pencemaran nama baik dengan menuduh suatu hal yang dianggap menyerang nama baik
seseorang atau pihak lain harus diberi kesempatan untuk membuktikan tuduhan itu.
Ketentuan hukum penghinaan bersifat delik aduan, yakni perkara penghinaan terjadi jika
ada pihak yang mengadu. Artinya, masyarakat yang merasa dirugikan yang dianggap
mencemarkan nama baiknya atau merasa terhina dapat mengadu ke aparat hukum agar
perkara bisa diusut, artinya aparat hukum tidak bisa berinisiatif melakukan penyidikan
dan pengusutan apabila tidak ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.73

Namun dalam tataran praktek, penegakan hukum pidana dengan UU ITE ini
ternyata menimbulkan masalah hukum bagi orang-orang yang menggunakan sarana
teknologi informasi untuk menyampaikan kritik terhadap pemerintah berupa jeratan
hukum pidana maupun jeratan sanksi lainnya. Hal tersebut di atas terjadi karena UU ITE
tidak saja mengatur masalah cybercrime sebagaimana yang diatur dalam convention on
cybercrime, tetapi juga mengatur perbuatan pidana tradisional berupa penghinaan yang
menggunakan media teknologi informasi. Ketentuan tersebut dapat ditemukan dalam
Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya
informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik”. Atas perbuatan tersebut, seseorang dapat dituntut
dengan pidana penjara maksimal 6 (enam) tahun dan/atau denda Rp.1.000.000.000 (satu
milyar) sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE.74

72
Adami Chazawi. Tindak Pidana dan Transaksi Elektronik, Bayu media. Malang, 2011, hlm 33
73
Halim, Muhammad, Menggugat Pasal-Pasal Pencemaran Nama Baik, LBH Pers, Jakarta, hlm 11
74
Magdalena Merry, UU ITE: Don’t be the next victim!, Gramedia, Jakarta, 2016, hlm 33
Pencemaran nama baik terbagi menjadi 2 macam yaitu, pencemaran nama baik
secara lisan dan percemaran nama baik tertulis. Dalam buku Oemar Seno Adji
pencemaran nama baik dikenal dengan istilah penghinaan, dimana dibagi menjadi 2
yaitu:75

a. Penghinaan materiil
Penghinaan yang terdiri dari suatu kenyataan yang meliputi pernyataan
yang objektif dalam kata -kata secara lisan maupun secara tertulis, maka yang
menjadi faktor menentukan adalah isi dari pernyataan baik yang digunakan
secara tertulis maupun lisan. Ada kemungkinan hal tersebut dilakukan untuk
kepentingan umum.
b. Penghinaan formil
Dalam hal ini tidak ditemukan isi dari penghinaan, melaingkan bagaimana
pernyataan yang berseangkutan itu dikeluarkan. Bentuk dan caranya yang
merupakan faktor menentukan. Pada umumnya cara untuk menyatakannya
adalah dengan cara kasar dan tidak objektif. Kemungkinan untuk
membuktikan kebenaran dari tuduhan tidak ada dan dapat dikatakan bahwa
kemungkinan tersebut adalah ditutup.

Semua penghinaan ini hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang atau
korban, yang dikenal dengan istilah delik aduan, kecuali bila penghinaan ini dilakukan
terhadap seseorang pegawai negeri pada waktu sedang menjalankan tugasnya secara sah.
Dan pada KUHP merupakan delik formil dan delik materiil, sedangkan pada Undang-
Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan delik materil saja.
Untuk dapat dikategorikan sebagai penghinaan atau pencemaran nama baik, maka
sebenarnya unsur -unsur yang harus dipenuhi adalah:76

1. Adanya hal atau keadaan yang tidak benar yang dikomunikasikan lewat
internet
2. Hal atau keadaan tersebut mengenai diri seseorang atau suatu badan
3. Hal atau keadaan tersebut dipublikasikan kepada pihak lain
4. Publikasi tersebut mengakibatkan kerugian bagi seseorang yang menjadi
objek.

Hal atau keadaan yang di komunikasikan atau dipublikasikan lewat internet dapat
dikatakan merupakan penghinaan atau pencemaran nama baik bila hal atau keadaan itu
adalah tidak benar dan bersifat merugikan bagi pihak yang menjadi korban, baik itu
merupakan suatu yang merusak reputasi ataupun yang membawa kerugian material bagi
pihak korban. Penghinaan atau pencemaran nama baik harus ditujukan kepada orang atau

75
Oemar Seno Adji, Perkembangan Delik Pers di Indonesia: Profesi Wartawan, Erlangga, Jakarta, 2010,
hlm 66
76
Sianipar, R.H.,Delik Pers Dalam Hukum Pidana, Dewan Pers dan LIN, Jakarta, 2003, hlm 15
badan tertentu. Dengan demikian, tidak dapat dituntut oleh orang atau badan lain
meskipun orang atau badan lain tersebut turut dirugikan. Oleh sebab itu yang berhak
menuntut adalah orang dan badan kepada siapa publikasi atau komunikasi tersebut
ditujukan, bukan oleh siapa yang menjadi korban.77

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi dan Elektronik


Pasal 27 Ayat 3 UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi dan Elektronik
berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi elektronik dan/atau
dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik” Junto “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal
27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) di pidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).78

Menurut Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 Tentang Informasi


Transaksi dan Elektronik terdapat 2 unsur, yaitu unsur obyektif dan unsur subyektif.
Unsur-unsur obyektif di dalam pasal tersebut adalah:79

a. Perbuatan:
- Mentransmisikan
- Mendstribusikan
- Membuat dapat di aksesnya.
b. Melawan hukum, yaitu yang dimaksud dengan “tanpa hak”
c. Obyeknya adalah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang membuat
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Adapun unsur-unsur dari


pencemaran nama baik adalah menurut KUHP pasal 310 adalah:

a) Barangsiapa;
b) Dengan sengaja;
c) Menyerang kehormatan atau nama baik ”seseorang”;
d) Dipertunjukkan pada umum atau ditempelkan.

Unsur-unsur Pasal 310 ayat (1) KUHP, dibagi dua yaitu unsur objektif dan unsur subjektif yaitu:

Unsur-Unsur Objektif:80
77
Ibid
78
Llihat Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 Tentang Informasi Transaksi dan Elektronik
79
Llihat Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 Tentang Informasi Transaksi dan Elektronik
80
Lihat Pasal 310 ayat (1) KUHP
a. Barangsiapa;
b. Menyerang kehormatan atau nama baik ”seseorang”;
c. Dengan menuduhkan suatu hal.

Unsur Subjektif:81

a. Dengan maksud yang nyata (kenlijk doel) supaya tuduhan itu diketahui umum
(ruchtbaarheid te geven);
b. Dengan sengaja (opzettelijk);

Maka untuk dapat dikategorikan sebagai penghinaan atau pencemaran nama baik dalam
prespektif UU ITE haruslah hati-hati untuk menjamin kepastian hukum, maka sebenarnya
unsur-unsur yang harus dipenuhi adalah:82

a) Adanya hal atau keadaan yang tidak benar yang dikomunikasikan lewat internet
b) Hal atau keadaan tersebut mengenai diri seseorang atau suatu badan.
c) Hal atau keadaan tersebut dipublikasikan kepada pihak lain
d) Publikasi tersebut mengakibatkan kerugian bagi seseorang yang menjadi objek

Rasa kehormatan ini harus diobjektifkan sedemikian rupa dan harus ditinjau
dengan suatu perbuatan tertentu, seseorang pada umumnya akan merasa tersinggung atau
tidak. Dapat dikatakan pula bahwa seorang anak yang masih sangat muda belum dapat
merasakan tersinggung ini, dan bahwa seorang yang sangat gila tidak dapat merasa
tersinggung itu. Maka, tidak ada tindak pidana penghinaan terhadap kedua jenis orang
tadi. Pencemaran nama baik sangatlah berbeda dengan penghinaan, seharusnya ada pasal
yang baru mengatur tentang kedua hal yang berbeda tersebut, seseorang dapat di
kategorikan melakukan tindak pidana pencemaran nama baik yang sudah pasti masuk ke
dalam delik penghinaan, tetapi seseorang dapat melakukan penghinaan namun belum
tentu mencemarkan, dalam hal ini pelaku dapat saja menghina seseorang tanpa harus
mendistribusikannya ke orang lain, melainkan hanya menghina secara personal
langsung.83

2. STRUKTUR
Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 Tentang Infomasi dan
Transaksi Elektronik tidak ada satu pasalpun dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) yang mengatur tentang bagaimana kejahatan atau tindak pidana yang terjadi di
dunia dunia cyber (maya). untuk kasus tentang pencemaran nama baik hanya kita
81
Lihat Pasal 310 ayat (1) KUHP
82
Adami Chazawi, Undang-undang ITE (informasi dan Transaksi Elektronik), Galang Press, 2009,
Surabaya, hlm 33
83
Barda Nawawi, Tindak Pidana Mayantara; Kajian Perkembangan Cyber Crime di Indonesia, Raja
Grafindo Persada, Semarang, 2006, hlm 66
temukan dalam media masa, bukan media elektronik, namun berkembangnnya zaman
muncullah kejahatan - kejahatan baru yang terjadi di dunia cyber (maya) yang
mengakibatkan sulitnya para penegak hukum untuk mencari pasal-pasal yang akan di
tuntutkan kepada nara pidana, para penegak hukum menggunakan pasal 310 KUHP yang
sudah jelas pengaturan hukumnya mengenai sanksi, norma hukum yang ada dalam pasal
tersebut. Pada tahun 2002, ada satu kasus yang berkaitan dengan cyber crime di
Indonesia. Kasus tersebut di putus di Pengadilan Negeri Sleman dengan terdakwa Petrus
Pangkur (23) alias Bonny Diobok Obok. Kasus tersebut disidangkan oleh majelis hakim
Cicut Sutriarso SH, dengan Anggota Sarjiman SH dan Jupriadi SH. Selaku Jaksa
Penuntut Umum (JPU) adalah Oemar Dhani SH. Dalam kasus tersebut terdakwa di
dakwa melakukan cyber crime, dalam amar putusannya, majelis hakim berkeyakinan
bahwa Petrus alias Boni Diobok-obok, telah membobol kartu kredit milik warga AS,
hasil kejahatannya digunakan untuk membeli barang-barang, seperti helm, dan sarung
tangan merek AGV. Total harga yang dibelinya mencapai Rp. 4 Juta Rupiah. Sementara
itu, penasihat hukum terdakwa, dalam pembelaannya menyatakan secara hukum putusan
hukuman selama 18 bulan itu tidak adil. Alasannya, dalam perkara tersebut belum ada
aturan hukum yang menjangkau perbuatan yang dilakukan oleh kliennya. Bahkan unsur
yang termuat dalam Pasal 378 KUHP, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Oleh
karenanya terdakwa juga harus dibebaskan dari segala tuntutan.23 Hukum bersifat
dinamis yang akan berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman, sulitnya mencari
pasal-pasal yang dapat dipakai sebagai landasan tuntutan di pengadilan mengakibatkan
perlunya keberanian hakim menggali undang-undang yang ada dengan membuat
ketetapan hukum (yurisprudensi) sebagai landasan keputusan pengadilan. Pasal 310
menyatakan:84
(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik
seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang
supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan,
dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam
karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu
tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah.
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika
perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena
terpaksa untuk membela diri.
Berdasarkan Pasal 310 ayat (1) KUHP, penghinaan yang dapat dipidana harus
dilakukan dengan cara 'menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu,

84
Adami Chazawi, Hukum Pidana Positif Penghinaan, ITS Press, Surabaya, 2009, hlm 12
dengan maksud tuduhan itu akan tersiar (diketahui orang banyak).' Perbuatan tertentu
dimaksud, tak terbatas pada perbuatan yang dilarang hukum, artinya perbuatan apapun
dapat menjadi tuduhan dapat menjadi tuduhan. Implikasi penggunaan Pasal 27 ayat (3)
UU ITE terhadap Pasal 310 KUHP adalah Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus didahulukan
jika terjadi pencemaran nama baik melalui internet mengingat UU ITE merupakan aturan
hukum yang lebih khusus. Namun tidak mengesampingkan begitu saja terhadap Pasal
310 KUHP karena sebenarnya sifat keduanya adalah saling melengkapi. Hal tersebut
berlandaskan pendapat bahwa UU ITE tidak memberi keterangan apapun mengenai
istilah “penghinaan” dan “pencemaran”. Membuktikan bahwa pembentuk UU ITE
menghendaki berlakunya hukum penghinaan yang ada di dalam Bab XVI Buku II KUHP
ke dalam penghinaan menurut UU ITE. Pembentuk UU ITE menghendaki penghinaan
menurut UU ITE ini merupakan lex specialistpenghinaan. Sementara jenis-jenis
penghinaan dalam Bab XVI Buku II KUHP sebagai lex generalis penghinaan.85
Oleh karena itu untuk menerapkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak mungkin tanpa
sekaligus menerapkan- dalam arti menyesuaikan dengan salah satu jenis penghinaan
dalam Bab XVI Buku II KUHP sebagai lex generalisnya. Undang-undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jika ditinjau dalam perspektif
kebijakan pidana, secara umum dalam perumusan tindak pidana, perumusan sanksi
pidana dan prosedur atau mekanisme pradilan pidana ada beberapa hal yang dapat
diperhatikan:86
a. Pertama, dalam hal perumusan tindak pidana merupakan pengakomodasian
tindak pidana dari KUHP yang diperluas pada dunia maya. Disamping itu,
juga terdapat tindak pidana baru, yaitu intersepsi atau penyadapan. Selain
berkenaan dengan bermacam-macam tindak pidana tersebut, dalam undang-
undang ini juga mengatur masalah yurisdiksi berbeda dengan hukum pidana
konvensional (KUHP).
b. Kedua, dalam hal perumusan sanksi pidana. Secara umum dalam undang-
undang ini menggunakan sanksi pidana berupa penjara dan denda yang lebih
berat dibandingkan dengan KUHP. Sanksi pidana tersebut bersifat maksimum
khusus. Pemberatan pidana dikenakan terhadap korporasi yang menjadi
pelaku, juga jika sasaran kejahatannya merupakan lembaga/intansi
pemerintah. Demikian pula apabila dilakukan berkenaan dengan anak sebagai
korban kejahatan, maka dikenakan pemberatan sanksi pidana.
c. Ketiga, dalam hal prosedur sistem peradilan pidana. Undang-Undang ini
mengatur masalah prosedur penyidikan saja. Dalam hal ini terdapat beberapa
hal yang berbeda dengan hukum acara yang konvensional (KUHAP).
85
Ibid
86
Mudzakkir, “Aspek Hukum Pidana Pasal 27 ayat (3) Undangundang Nomor 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Analisis Putusan 146 Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 6, Desember 2010 Elektronik”,
Makalah disampaikan pada Sosialisasi UU No 11 tahun 2008 tentag ITE yang diselenggarakan oleh Ditjen Aplikasi
Telekomunikasi Departemen Komunikasi dan Informatika bekerjasama dengan FH UII, Yogyakarta, tanggal 7
Desember 2009
Diantaranya diakuinya alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah di
persidangan dan diatur juga mengenai penyidik pegawai negeri sipil yang
dapat melakukan penyidikan terhadap cybercrime. Selain itu, juga terdapat
prosedur penggeledahan, penangkapan, dan penahanan yang berbeda dari
KUHAP, yaitu mengenai ketentuan penetapan kepada ketua pengadilan
selama satu kali dua puluh empat jam.

Sanksi pidana dalam UU ITE tergolong sebagai ultimum remedium. Hal ini dapat
dilihat dari sistematika UU ITE yang meletakkan penyelesaian menggunakan hukum
pidana sebagai hal yang terakhir. UU ITE masih mengedepankan cara penyelesaian yang
lain. Penegakan hukum pidana merupakan cara represif untuk menanggulangi tindak
pidana pencemaran nama baik. Cara yang lain yang dapat digunakan untuk
menanggulangi hal ini adalah dengan cara preventif. Pendidikan merupakan salah satu
sarana strategis yang dapat digunakan sebagai alat penegakan hukum preventif, dengan
penanaman nilai-nilai akhlak dan pengetahuan tentang ITE sejak dini dalam masa
pendidikan dapat mengurangi terjadinya tindak pidana pencemaran nama baik.87

3. BUDAYA HUKUM
Masalah pembinaan kesadaran hukum erat kaitannya dengan berbagai faktor,
khususnya sikap para pelaksana hukum artinya para penegak hukum memiliki peranan
yang besar dalam membina pertumbuhan kesadaran masyarakat. Kesadaran hukum dalam
konteks ini berarti kesadaran untuk bertindak sesuai dengan ketentuan hukum dan
berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan
tingkah laku anggota masyarakatnya berbicara mengenai pembangunan hukum tentunya
dari keberadaan kehidupan masyarakat dimana hukum tersebut berlaku dan berubah
sesuai dengan dinamika yang terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat. Hingga saat ini
masih ada kesenjangan antara hukum yang seharusnya (das sollen) dengan hukum yang
senyatanya (das sein).88
Kesenjangan ini tentunya terjadi karena adanya ketidakharmonisan antara law in
the books dengan law in action. Sejalan dengan itu, maka diperlukan upaya pembangunan
hukum, yang sering diartikan sebagai penyelenggaraan perubahan tertentu terhadap
masyarakat (law is a tool of social engineering), dan tentunya pembangunan yang
diharapkan oleh hukum adalah perubahan masyarakat yang secara teratur, terkendali,
efektif dan efisien. Dapat diidentifikasi bahwa masalah pembangunan hukum nasional
tidak hanya menyangkut materi hukum, struktur hukum tetapi juga masalah peningkatan
kesadaran hukum masyarakat dan budaya hukum masyarakat. Malah peningkatan
kesadaran hukum masyarakat ini seharusnya mendahului unsur pembentuk sistem hukum
lainnya. Dalam melaksanakan pembinaan hukum ke depan, justru yang perlu mendapat
perhatian utama adalah masalah kesadaran hukum masyarakat dan budaya hukum
87
Didik dan Gultom, Elisatris, Formulasi Undang-undang ITE (informasi dan Transaksi Elektronik),
Jakarta; Galang Press, 2009.
88
Jawardi, Strategi pengembangan budaya hukum. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 16(1), 2010, 77–93.
masyarakat ini. Hal ini disebabkan karena masyarakat Indonesia merupakan masyarakat
majemuk atau pluralistik, yang mencakup pelbagai kesadaran baik yang bersifat pribadi
maupun kelompok. Dengan demikian terdapat kesadaran hukum yang tidak tunggal atau
seragam, meski harus diakui bahwa atas dasar studi perbandingan, terdapat
bermacammacam persamaan di dalam masyarakat majemuk tersebut.89
Teori Pound mengenai kepentingan-kepentingan sosial merupakan sebuah usaha
yang lebih eksplisit untuk mengembangkan suatu model hukum responsif yang mana
dalam perspektif ini, hukum yang baik seharusnya memberikan sesuatu yang lebih
daripada sekadar prosedur hukum. Hukum tersebut harus kompeten dan juga adil, hukum
seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen terhadap
tercapainya keadilan substantif.90
Setiap warga negara seharusnya dapat berpikir kritis untuk mengidentifikasi
kepentingan-kepentingan sosial ini dan melibatkan diri di dalam pencapaian kepentingan-
kepentingan tersebut. Untuk dapatnya hukum berfungsi sebagai pengayom masyarakat,
maka diperlukan faktor pendukung yaitu fasilitas yang diharapkan akan mendukung
pelaksanaan norma hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Selain dari itu,
berfungsinya hukum sangat tergantung pada hubungan yang serasi antara hukum itu
sendiri (perangkat aturan hukum, aparat penegak hukum dan kesadaran masyarakat.
Kekurangan salah satu dari unsur ini akan mengakibatkan seluruh sistem hukum akan
berjalan pincang.91

D. KEMANFATAN HUKUM
“Tinjauan Kemanfaatan Hukum Terhadap Ketentuan Pasal 45 Ayat (3) Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.”
Aliran Utilitarianisme mempunyai pandangan bahwa tujuan hukum adalah
memberikan kemanfaatan kepada sebanyak-banyaknya orang. Kemanfaatan di sini
diartikan sebagai kebahagiaan (happines), sehingga penilaian terhadap baik-buruk atau
adil-tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan
kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Dengan demikian berarti bahwa setiap
penyusunan produk hukum (peraturan perundang-undangan) seharusnya senantiasa
memperhatikan tujuan hukum yaitu untuk memberikan kebahagiaan sebanyakbanyaknya
bagi masyarakat.
Menurut para ahli Hukum :
a. Jeremy Bentham (1748-1832)
Bentham membangun sebuah teori hukum komprehensif di atas landasan yang
sudah diletakkan, tentang asas manfaat. Bentham merupakan tokoh radikal
89
Makmur, S, Budaya hukum dalam masyarakat multikultural, Media grafika, 2010, hlm 34.
90
Roscou Pound, Pengantar Filsafat Hukum (terjemahan Mohammad Radjab), Cetakan Ketiga Bharatara
Karya Aksara, Jjakarta, 2010, hlm 44
91
A. Manan, Aspek-aspek pengubah hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006, hlm 15
dan pejuang yang gigih untuk hukum yang dikodifikasikan, dan untuk
merombak hukum yang baginya merupakan sesuatu yang kacau. Ia
merupakan pencetus sekaligus pemimpin aliran kemanfaatan. Menurutnya
hakikat kebahagiaan adalah kenikmatan dan kehidupan yang bebas dari
kesengsaraan. Bentham menyebutkan bahwa “The aim of law is The Greatest
Happines for the greatest number” Dengan kata-kata Bentham sendiri, inti
filsafat disimpulkan sebagai berikut: Alam telah menempatkan manusia di
bawah kekuasaan, kesenangan dan kesusahan. Karena kesenangan dan
kesusahan itu kita mempunyai gagasangagasan, semua pendapat dan semua
ketentuan dalam hidup kita dipengaruhinya. Siapa yang berniat untuk
membebaskan diri dari kekuasaan ini, tidak mengetahui apa yang ia katakan.
Tujuannya hanya untuk mencari kesenangan dan menghindari kesusahan
perasaan-perasaan yang selalu ada dan tak tertahankan ini seharusnya menjadi
pokok studi para moralis dan pembuat undang-undang. Prinsip kegunaan
menempatkan tiap sesuatu di bawah kekuasaan dua hal ini.92
b. John Stuar Mill (1806-1873)
Penganut aliran Utilitarianisme selanjutnya adalah John Stuar Mill. Sejalan
dengan pemikiran Bentham, Mill memiliki pendapat bahwa suatu perbuatan
hendaknya bertujuan untuk mencapai sebanyak mungkin kebahagian. Menurut
Mill, keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas
kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri maupun oleh siapa saja yang
mendapatkan simpati dari kita, sehingga hakikat keadilan mencakup semua
persyaratan moral yang hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.Mill setuju
dengan Bentham bahwa suatu tindakan hendaklah ditujukan kepada
pencapaian kebahagiaan, sebaliknya suatu tindakan adalah salah apabila
menghasilkan sesuatu yang merupakan kebalikan dari kebahagiaan. Lebih
lanjut, Mill menyatakan bahwa standar keadilan hendaknya didasarkan pada
kegunaannya, akan tetapi bahwa asal-usul kesadaran akan keadilan itu tidak
diketemukan pada kegunaan, melainkan pada dua hal yaitu rangsangan untuk
mempertahankan diri dan perasaan simpati. Menurut Mill keadilan bersumber
pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita,
baik oleh diri sendiri maupun oleh siapa saja yang mendapat simpati dari kita.
Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak
hanya atas dasar kepentingan individual, melainkan lebih luas dari itu sampai
kepada orang lain yang kita samakan dengan diri kita sendiri, sehingga
hakikat keadilan mencakup semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi
kesejahteraan umat manusia.93
1. SUBSNTANSI
92
Jeremy Bentham, A Fragment on Goverment , Montague, M.A., Oxford University Press, London, 1951, hlm 12
93
John Stuart Mill, On Liberty : Perihal Kebebasan (terjemahan oleh Alex Lenur), yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2005, hlm 12
Ketentuan Pasal 27 ayat (3) melanggar prinsip-prinsip kedaulatan rakyat. Salah
satu prinsip dalam sebuah negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat adalah
terselenggaranya suatu mekanisme yang secara teratur dapat dipertanggung jawabkan
dalam memilih para penyelenggara negara. Untuk dapat memilih para penyelenggara
negara, maka masyarakat berhak untuk dapat memiliki informasi latar belakang yang
cukup tentang calon-calon tersebut. Dengan memiliki informasi latar belakang yang
cukup tersebut, maka masyarakat dapat menentukan pilihan secara bijak dan tepat dalam
memilih para calon penyelenggara negara. Kehadiran Pasal 27 ayat (3) UU ITE
berpotensi dapat menyumbat saluran informasi yang terpenting bagi masyarakat untuk
mengetahui informasi latar belakang dari para calon penyelenggara Negara, karena
dengan rumusan materi seperti itu hak dari para Pemohon untuk mengirim, menerima,
mengolah, mempergunakan, dan menyebarluaskan informasi latar belakang dari para
calon penyelenggara negara melalui seluruh media dan saluran komunikasi yang tersedia,
termasuk media Internet, kepada orang lain dan/atau masyarakat secara kesuluruhan,
berpotensi terhambat.94

Faktor hukum atau peraturan yang dimaksud untuk mewujudkan perubahan sosial
adalah hukum yang progresif. Penegakan hukum progresif menekankan pada dua hal,
yaitu hukum ada untuk manusia dan bukan manusia ada untuk hukum. Hukum tidak bisa
bekerja sendiri, hukum membutuhkan institusi atau manusia untuk menggerakannya.
Hukum bukan hanya urusan peraturan atau undang-undang semata, melainkan juga
mengenai peranan manusia atau perilaku manusia sebagai bagian dari perwujudan
hukum. Melibatkan peranan manusia adalah cara berhukum untuk keluar dari stagnasi
dominan yang membabi buta kepada teks undang-undang. Adapun pokok-pokok
pemikiran model hukum progresif ini dapat diuraikan sebagai berikut ini: 95

1. Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada idealnya


hukum;
2. Hukum menolak status-quo, serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai
teknologi yang tidak berhati nurani, melainkan suatu institusi yang bermoral;
3. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada
kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat manusia bahagia;
4. Hukum progresif adalah, “hukum pro rakyat dan pro keadilan”;
5. Asumsi dasar hukum progresif adalah untuk manusia, bukan sebaliknya.
berkaitan dengan hal ini, maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri,
melainkan untuk sesuatu yang lebih besar;
6. Hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law
in the making);
94
Bajari, Atwar, & Saragih, S. Sahala Tua, Komunikasi Kontekstual, Teori dan Praktik Komunikasi
Kontemporer, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2011, hlm 67
95
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan(Judicialprudence); Termasuk
Interprestasi UndangUndang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm 22
2. STRUKTUR
Penegakan hukum dalam arti sempit merupakan kegiatan penindakan terhadap
setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan, melalui
proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan, advokat atau
pengacara, dan juga badan-badan peradilan. Penegakan hukum (law enforcement) dalam
arti luas merupakan kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta
melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan
mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative desputes or conflicts resolution).
Dalam pengertian yang lebih luas, kegiatan penegakan hukum mencakup pula segala
aktifitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaidah normatif yang
mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat
dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dilaksanakan sebagaimana
mestinya.96
Untuk meletakkan pondasi penegakan hukum, maka pilar yang utama adalah
penegak hukum yang mampu menjalankan tugasnya dengan jujur, adil, dan mempunyai
integritas yang tinggi. Aparat penegak hukum dalam memahami dan menjalankan aturan
harus berlandaskan pada prinsip nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat. Artinya aparat penegak hukum bukan hanya menjadi
corongnya Undang-undang, akan tetapi dapat mengimplementasikan hukum sesuai
dengan rasa kemanusiaan dan keadilan. Salah satu subsistem yang perlu mendapat
sorotan saat ini adalah struktur hukum (legal structure). Hal ini dikarenakan struktur
hukum memiliki pengaruh yang kuat terhadap warna budaya hukum. Budaya hukum
adalah sikap mental yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau
bahkan disalahgunakan. Struktur hukum yang tidak mampu menggerakkan sistem hukum
akan menciptakan ketidakpatuhan (disobedience) terhadap hukum. Dengan demikian
struktur hukum yang menyalahgunakan hukum akan melahirkan budaya menelikung dan
menyalahgunakan hukum. Berjalannya struktur hukum sangat bergantung pada
pelaksananya yaitu aparatur penegak hukum. 97
Rumusan materi Pasal 27 ayat (3) UU ITE jauh lebih lentur dari rumusan pada
BAB XVI KUHP tentang Penghinaan menyebabkan masyarakat ketakutan untuk
mengirim, menerima, mengolah, mempergunakan, dan menyebarluaskan informasi latar
belakang dari para calon penyelenggara negara melalui seluruh media dan saluran
komunikasi yang tersedia, termasuk media Internet, kepada orang lain dan/atau
masyarakat secara kesuluruhan. Ketakutan tersebut akan menyebabkan kerugian bagi
masyarakat secara luas, karena masyarakat tidak mampu lagi untuk memperoleh
informasi latar belakang dari para calon penyelenggara negara. Namun berdasarkan
pengaturan di KUHP maupun di UU ITE diketahui memiliki perbedaan yang dimaksud
96
Nonet, P., & Selznick, P, Hukum responsif pilihan di masa transisi, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hlm 22
97
Ibid
subyek hukum dimana KUHP berorientasi pada “orang” sebagai pelaku/ subyek tindak
pidana saja sedangkan dalam UU ITE lebih rinci dengan menambahkan badan usaha.
Badan usaha yang dimaksud adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan
persekutuan, baik yang, berbadan hukum dan tidak berbadan hukum. Pada beberapa
kasus, masyarakat mengadukan badan hukum/ korporasi dengan mengeluhkan dan
memberikan komentar terhadap fakta yang terjadi di lapangan. Hal ini mengingat bahwa
penghinaan tersebut hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang merasa
kehormatannya atau nama baiknya diserang dan merasa dirugikan terhadap perbuatan
penghinaan tersebut. 98
Dalam naskah akademik RUU ITE, BAB V tentang materi muatan regulasi dan
transaksi elektronik, Bagian XII tentang perbuatan yang dilarang, tindak pidana
penghinaan/pencemaran nama baik menggunakan internet tidak pernah disinggung.
dalam naskah akademik tersebut perbuatan yang dilarang hanyalah penyebaran materi
pornografi, pornoaksi, perjudian dan atau tindakan kekerasan, tindakan lain berupa
hacking atau cracking. Bentuk lain dari kejahatan yang termaktub dalam naskah
akademis itu adalah merusak sistem transmisi yang dilindungi oleh Negara,
menggunakan atau mengakses komputer di luar kewenangan, dan kejahatan
menyebarkan, memperdagangkan dan atau memanfaatkan kode akses atau informasi
lainnya yang dapat digunakan untuk menerobos komputer atau sistem elektronik yang
dilindungi oleh pemerintah. Selain tidak pernah menjadi bagian yang dibahas dalam
naskah akademik, masalah tindak pidana penghinaan/pencemaran nama baik telah
menjadi sorotan khusus di dunia Internasional. Keberadaannya sering dijadikan “benteng
pertahanan” oleh pemerintah atau penguasa dari kritik dan protes warga negara atau
pekerja. Selain itu kriminalisasi perbuatan penghinaan/pencemaran nama baik juga
dijadikan senjata yang mematikan untuk membungkam pendapatpendapat tajam yang
mengkritisi penguasa.99
Sebagai salah satu Negara yang pernah berada di bawah jajahan Belanda,
Indonesia mengikuti sistem hukum yang berlaku bagi Belanda, yaitu civil law system,
dengan sumber hukum utama adalah hukum yang tertulis, dan peraturan-peraturan
hukum disusun secara sistematis dan menyeluruh ke dalam kodifikasi. Salah satu
kodifikasi yang masih berlaku di Indonesia adalah KUHP sebagai sumber hukum dalam
bidang hukum pidana dan KUHPerdata sebagai sumber hukum bidang hukum perdata.
Pada kedua aturan tersebut juga telah pengatur terkait dengan penghinaan/pencemaran
nama baik. Dalam praktik pelaksanaan UU ITE, muncul berbagai kasus dengan tuduhan
penghinaan/ pencemaran nama baik sebagai bentuk pengekangan terhadap kebebasan
berekspresi. Berbagai kasus tersebut berujung pada pelaporan ke polisi, tindakan
penahanan dan pemenjaraan. Konsekuensi lain yang muncul juga terjadi berupa
pengajuan gugatan pada pengadilan dan permintaan maaf serta ancaman pengeluaran dari
98
M Ramli Ahmad, Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum Pidana, Bandung, Refika Aditama, 2006,
hlm 44
99
Ibid
institusi tempat bekerja atau sekolah. Setidaknya tercatat ada 71 kasus pengguna internet
yang dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sejak Undang-Undang diberlakukan, dan
tahun 2014 adalah jumlah kasus tertingi, yaitu 40 kasus.100

3. BUDAYA HUKUM
Jika suatu masyarakat diperhatikan, maka akan tampak walaupun sifat-sifat
individu berbeda-beda, namun para warga keseluruhannya akan memberikan reaksi yang
sama terhadap gejala-gejala tertentu. Dengan adanya reaksi yang sama itu maka mereka
memiliki sikap yang umum sama. Hal-hal yang merupakan milik bersama tersebut dalam
antropologi budaya dinamakan Kebudayaan. Ditarik dari pengertian yang demikian,
maka budaya hukum merupakan salah satu bagian dari kebudayaan manusia yang
demikian luas. Budaya hukum adalah tanggapan umum yang sama dari masyarakat
tertentu terhadap gejala-gejala hukum. Tanggapan itu merupakan kesatuan pandangan
terhadap nilai-nilai dan perilaku hukum. Jadi suatu budaya hukum menunjukkan tentang
pola perilaku individu sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan tanggapan
(orientasi) yang sama terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat
bersangkutan. Hukum yang dibuat pada akhirnya sangat ditentukan oleh budaya hukum
yang berupa nilai, pandangan serta sikap dari masyarakat yang bersangkutan. Jika budaya
hukum diabaikan, maka dapat dipastikan akan terjadi kegagalan dari sistem hukum
modern yang ditandai dengan munculnya berbagai gejala seperti: kekeliruan informasi
mengenai isi peraturan hukum yang ingin disampaikan kepada masyarakat, muncul
perbedaan antara apa yang dikehendaki oleh undang-undang dengan praktik yang
dijalankan oleh masyarakat. Masyarakat lebih memilih untuk tetap bertingkah laku sesuai
dengan apa yang telah menjadi nilai-nilai dan pandangan dalam kehidupan mereka.
Gambaran mengenai budaya hukum dalam unsur-unsur sistem hukum adalah struktur
hukum diibaratkan sebagai mesin yang menghasilkan sesuatu, substansi hukum
diibaratkan produk yang di hasilkan oleh mesin, dan budaya hukum merupakan apa saja
atau siapa saja yang memutuskan untuk menjalankan mesin serta membatasi penggunaan
mesin.101
Penegakan hukum yang hanya bertitik tolak dari substansi norma hukum formil
yang ada dalam undang-undang (law in book’s), akan cenderung mencederai rasa
keadilan masyarakat. Seyogyanya penekanannya harus juga bertitik tolak pada hukum
yang hidup (living law). Lebih jauh para penegak hukum harus memperhatikan budaya
hukum (legal culture), untuk memahami sikap, kepercayaan, nilai dan harapan serta
pemikiran masyarakat terhadap hukum dalam sistem hukum yang berlaku.102

100
Sunarso, Siswanto, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik; Study Kasus Prita Mulyasari, Jakarta;
Rineka Cipta, 2009.
101
Ibid
102
Manullang E.fernando M, Menggapai hukum berkeadilan, buku kompas, Jakarta, 2007 hlm.57

Anda mungkin juga menyukai