Anda di halaman 1dari 7

Semangat menegakkan keadilan substantif yang dimiliki oleh sistem

peradilan pidana terdapat peran pejabat mulai dari penyelidik hingga hakim
yang tentu akan dapat menggali kebenaran materiil, yang pada akhirnya
mampu mewujudkan keadilan substantif.
I. TERDAKWA TIDAK DI DAMPINGI OLEH PENASEHAT HUKUM
1. Pengajuan Eksepsi atau keberatan ini juga didasarkan pada hak
Terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP yang
mengatur sebagai berikut: "Dalam hal Terdakwa atau penasihat hukum
mengajukan keberatan bahwa Pengadilan tidak berwenang mengadili
perkara atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus
dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan oleh Jaksa Penuntut Umum
untuk menyatakan pendapatnya Hakim mempertimbangkan keberatan
tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan”;
2. Bahwa Hak-hak tersangka pidana sangat penting untuk dilindungi
oleh hukum, karena tersangka merupakan orang yang kemerdakaan
pribadinya dirampas seperti penangkapan, penahanan, penyitaan dan
lain sebagainya. Padahal itu semua merupakan bagian dari hak
penting bagi seseorang. Sehingga hukum sangat dibutuhkan untuk
menjamin agar pengambilan hak dari tersangka tersebut tidak
dilakukan sewenang wenang;
3. Bahwa Implementasi lebih lanjut terdapat dalam Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang
Impelementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam
Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
Pasal 17 ayat (1) huruf g yang mengatakan “dalam melakukan tugas
penangkapan setiap petugas wajib untuk memberitahu hak-hak
tersangka dan cara menggunakan hak-hak tersebut berupa hak untuk
diam, mendapatkan bantuan hukum dan/atau didampingi penasehat
hukum, serta hak-hak lainnya sesuai KUHAP.”
4. Bahwa untuk memenuhi prinsip-prinsip due proses of law maka harus
melewati beberapa tahapan dan posedural dalam menemukan peristiwa
pidana, maka Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 mengatur tentang
tentang manajemen penyidikan tindak pidana, yang di dalam pasal 15
undang-undang tersebut mengatakan tersangka penyidikan diawali
dengan urutan yang benar sesuai dengan undang-undang yang berlaku
dari mulai proses penyelidikan, pengiriman surat pemberitahuan,
dimulainya penyidikan (SPDP), upaya paksa, pemeriksaan, gelar
perkara, penyelesaian berkas perkara, penyerahan berkas perkara ke
penuntut umum. Penyerahan tersangka dan barang bukti; dan
penghentian penyidikan;
5. Namun apa yang dilakukan oleh Pihak Kepolisian Daerah Banten
justru melakukan hal yang berbeda karena pada semua tingkat
pemeriksaan yang harusnya didampingi oleh Penasehat Hukum justru
tidak dilakukan dan yang seharusnya memberikan pengiriman surat
pemberitahuan, dimulainya penyidikan (SPDP) tidak dilakukan oleh
Kepolisian Daerah Banten dan artinya bahwa pada semua tingkat
Pemeriksaan yang dilakukan oleh Pihak Kepolisian adalah pemeriksaan
yang tidak berdasarkan Hukum dan Hukum Acara didalam KUHAP
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 56 KUHAP artinya Pemeriksaan
yang dilakukan adalah Pemeriksaan yang tidak sah dan berdasarkan
hukum;
6. Bahwa Dakwaan ini sangat dipaksakan mulai dari tindak Penyelidikan
dan penyidikan hingga dakwaan sehingga bukan murni untuk mencari
kebenaran materiil atau bahkan untuk tujuan lain, hal ini merupakan
upaya target semata untuk melakukan upaya Kriminalisasi dalam hal
berdemonstrasi dan penyampaian pendapat dimuka umum oleh para
Terdakwa;
7. Bahwa terdapat upaya paksa yang tidak terukur dan tidak sesuai
dengan ketentuan Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 tentang
menejemen pendidikan dalam hal ini, upaya paksa penangkapan oleh
pihak kepolisian tidak berdasarkan Hak Asasi Manusia;
1. Bahwa Dakwaan berlandaskan pada berita acara pemeriksaan (BAP) di
kepolisian, BAP itu haruslah benar dan sah, salah satu indikator benar
dan sah nya BAP adalah dipenuhinya hak-hak terdakwa yaitu hak dia
didampingi Penasihat Hukum pada saat diperiksa (hak atas bantuan
hukum). Sehingga, jika hak tersebut tidak dipenuhi, maka BAP Terdakwa
tidak sah. Berita Acara Pemeriksaan yang tidak sah dan cacat hukum
sehingga surat Dakwaan Jaksa yang dibuat atas dasar Berita Acara
tersebut menjadi tidak sah dan cacat hukum pula. Sebagaimana Putusan
Mahkamah Agung RI No 367 K/Pid/1998 tertanggal 29 Mei 1998 yang
pada pokoknya menyatakan : “bahwa bila tak didampingi oleh
penasihat hukum di tingkat penyidikan maka bertentangan
dengan Pasal 56 KUHAP, hingga BAP penyidikan dan penuntut
umum batal demi hukum dan karenanya tuntutan penuntut umum
tidak dapat diterima, walaupun pemeriksaan di sidang pengadilan
di dampingi penasihat hukum.”
2. Sebagaimana Putusan Mahkamah Agung RI No. 545 K/Pid.Sus/2011
menyatakan: “Bahwa selama pemeriksaan Terdakwa tidak
didampingi oleh Penasehat Hukum, sedangkan Berita Acara
Penggeledahan dan Pernyataan tanggal 15 Desember 2009
ternyata telah dibuat oleh Pejabat yang tidak melakukan
tindakan tersebut namun oleh petugas yang lain; Dengan
demikian Berita Acara Pemeriksaan Terdakwa, Berita Acara
Penggeledahan tidak sah dan cacat hukum sehingga surat
Dakwaan Jaksa yang dibuat atas dasar Berita Acara tersebut
menjadi tidak sah dan cacat hukum pula”
3. Bahwa Surat Dakwaan Jaksa Penuntun Umum ini, telah melanggar
prinsip “Exclusionary Rules” sebagaimana diakui dalam Konvensi
Menentang Penyiksaan yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1998, yang menyatakan alat bukti
dalam hal ini BAP dan Tidak didampingi oleh Penasehat Hukum yang
diperoleh melalui cara-cara kekerasan tidak sah secara hukum dan
harus dikeluarkan dari alat bukti; yang seharusnya dari awal Jaksa
Penuntut Umum lebih cermat melihat persoalan hukum secara objkeitf
sebagaimana pasal 144 KUHAP menyatakan: ayat (1) “Penuntut Umum
dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari
sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak
melanjutkan pentuntutannya.”;
4. Bahwa pada faktanya Pihak Kuasa Hukum tidak diberikan ruang untuk
melakukan pendampingan hukum dan atau melakukan advokasi
hukum bagi para Terdakwa dan dihalang-halangi oleh Pihak Kepolisian
Daerah Banten untuk memberikan rasa aman serta bantuan hukum,
hal ini bertentangan dengan hak bantuan hukum dan akses bantuan
hukum seperti yang ada didalam KUHP dan Undang-Undang Bantuan
Hukum;
5. Sebelum melangkah pada proses yang lebih jauh lagi maka
perkenankan kami selaku kuasa hukum untuk memberikan suatu
adagium yang mungkin bisa dijadikan salah satu pertimbangan majelis
hakim yaitu “ dakwaan merupakan unsur penting hukum acara pidana
karena berdasarkan hal yang dimuat dalam surat itu hakim akan
memeriksa surat itu “. ( Prof. Andi Hamzah, S.H );
6. Dalam hal ini maka Penuntut Umum selaku penyusun Surat Dakwaan
harus mengetahui dan memahami benar kronologi peristiwa yang
menjadi fakta dakwaan, apakah sudah cukup berdasar untuk dapat
dilanjutkan ke tahap pengadilan ataukah fakta tersebut tidak
seharusnya diteruskan karena memang secara materiil bukan
merupakan tindak pidana. Salah satu fungsi hukum adalah menjamin
agar tugas Negara untuk menjamin kesejahteraan rakyat bisa
terlaksana dengan baik dan mewujudkan keadilan yang seadil adilnya
dan hukum menjadi panglima untuk mewujudkan sebuah kebenaran
dan keadilan. Melalui uraian ini kami mengajak majelis hakim yang
terhormat dan jaksa penunutut umum bisa melihat permasalahan
secara menyeluruh (komprehensif) dan tidak terburu-buru serta bijak,
agar dapat sepenuhnya menilai ulang Dakwaan Para terdakwa dalam
perkara ini dan kami selaku kuasa hukum juga memohon kepada
Majelis Hakim dalam Perkara ini untuk memberikan keadilan hukum
yang seadil adilnya;
II. BERITA ACARA PEMERIKSAAN YANG DIDAPATKAN DENGAN CARA
MELAWAN HUKUM
1. Bahwa di dalam Pasal 52 KUHAP dan penjelasannya yang
mengharuskan agar tersangka diperiksa dalam situasi bebas
dari rasa takut atau ketakutan akibat intimidasi dan
perlakuan kasar dari penyidik. Oleh karena itu, wajib dicegah
adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka atau terdakwa.
Kalau kita lihat juga dalam saat penyidikan akan dimulai,
tersangka harus benar-benar dalam keadaan bebas dari rasa takut
atau bebas dari intimidasi penyidik. Tegasnya tersangka tersebut
harus benar-benar dalam keadaan bebas dari segala tekanan
dalam bentuk apa pun baik fisik maupun psikis;
2. Bahwa dalam asas praduga tak bersalah dijumpai dalam
penjelasan umum butir 3 huruf c UU No. 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang menyatakan: “Setiap orang
yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan
di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai
adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum tetap.”
3. Mengenai penerapan asas praduga tak bersalah, M. Yahya
Harahap dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan Dan
Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan” (hlm..134)
menjelaskan, “Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan
manusia yang memiliki hakikat martabat. Dia harus dinilai
sebagai subjek, bukan objek. Yang diperiksa bukan manusia
tersangka. Perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang
menjadi objek pemeriksaan. Ke arah kesalahan tindak pidana yang
dilakukan pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap
tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai
diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap.”
Bahwa Hal ini juga sejalan dengan pengaturan Bab III angka
8.3.e.6 Bujuklak Penyidikan Tindak Pidana yang menyatakan:
“Pada waktu dilakukan pemeriksaan, dilarang
menggunakan kekerasan atau penekanan dalam bentuk
apapun dalam pemeriksaan.”
4. Bahwa dalam Pengaturan lain soal penyelenggaraan tugas
kepolisian ini juga antara lain terdapat dalam Pasal 11 ayat (1)
huruf b Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang
Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan
Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 8/2009”)
yang menegaskan bahwa setiap petugas/anggota Polri
dilarang melakukan penyiksaan tahanan atau terhadap
orang yang disangka terlibat dalam kejahatan;
5. Sesuai pengaturan Bab III angka 8.3.d jo. angka 8.3.a Juklak dan
Juknis Penyidikan, hasil pemeriksaan dituangkan dalam Berita
Acara Pemeriksaan (BAP). Mengenai BAP ini M. Yahya Harahap
dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP Penyidikan dan Penuntutan” menjelaskan (hlm. 137)
bahwa jika suatu BAP adalah hasil pemerasan, tekanan,
ancaman, atau paksa, maka BAP yang diperoleh dengan
cara seperti ini tidak sah;
6. Bahwa Penuntut Umum tidak mempertimbangkan fakta bahwa
para terdakwa tidak pernah di-BAP sebagai tersangka tanpa
pemeriksaan pendahuluan. Bahkan dalam BAP Para Tersangka
yang didapat terdakwa terdapat kejanggalan, dimana judul dari
BAP adalah BAP Tersangka, namun pada isi BAP, masih
digunakan terminologi saksi, seperti didengarkan keterangannya
sebagai saksi, sehingga kecacatan penyidikan berujung pada
kecacatan dakwaan yang tidak teliti dan lengkap;
7. Bahwa petugas kepolisian dilarang mengejar pengakuan baik saksi
maupun tersangka. (Pasal 27 Ayat 2 Huruf h, Perkap 8/2009 Jo
Pasal 66 KUHAP) Karena melanggar asas non-self incrimination.
Seharusnya petugas kepolisian mengumpulkan bukti-bukti seperti
keterangan saksi-saksi lain, ahli, surat, dsb, bukan pengakuan
hanya tersangka (Pasal 184 KUHAP). Bahwa Faktanya, pihak
penyidik kepolisian yang tidak bertanggung jawab mengejar
pengakuan saksi ataupun tersangka untuk mentersangkakan
saksi dan/atau mempersalahkan tersangka. Hal ini dilakukan
karena bukti-bukti seperti saksi-saksi lain, surat dan sebagainya
tidak ada/cukup dan tidak kuat, sehingga dikejarlah pengakuan
secara melawan hukum;
8. Bahwa Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Para Terdakwa pada
tingkat Kepolisian tidak sah sebab terdapat kekerasan fisik, psikis,
dan itimidasi pada saat proses pengambilan BAP dan ini
bertentangan dan telah melanggar prinsip “Exclusionary Rules”
sebagaimana diakui dalam Konvensi Menentang Penyiksaan yang
telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5
tahun 1998, yang menyatakan alat bukti dalam hal ini Berita
Acara Pemeriksaan yang diperoleh melalui cara-cara kekerasan
tidak sah secara hukum dan harus dikeluarkan dari alat bukti;

Anda mungkin juga menyukai