Anda di halaman 1dari 41

TINJAUAN KEADILAN, KEPASTIAN HUKUM DAN KEMANFAATAN HUKUM

TERHADAP KETENTUAN PASAL 88 JUNCTO PASAL 119 UNDANG-UNDANG


NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN
LINGKUNGAN HIDUP

A. PENDAHULUAN
“Clouds bellied out in the sultry heat, the sky cracked open with a crimson gash,
spewed flame –
and the ancient forest began to smoke. By morning there was a mass of booming,
fiery tongues, a hissing, crashing, howling all around, half the sky with smoke, and the
bloodied sun just barely visible. And what can little men do with their spades, ditches,
and pails? The forest is no more, it was devoured by fire: stumps and ash…Perhaps a
city will grow up – alive with ringing sound and motion, all stone and crystal and iron –
and winged men will come here flying over seas and mountains from all ends of the
world.
But never again the forest, never again the blue winter silence and the golden
silence of summer. …and only the tellers of tales will speak in many-colored patterned
words about what had been…about green-coated century…to those winged men, who
will come in a hundred years to listen and to marvel at it all as at a fairy tale.” 1
(Yevgeny Zamyatin)
Begitu yang ditulis oleh Zamyatin pada tulisan klasiknya yang berjudul In Old
Russia. Ia dengan puitis bercerita mengenai begitu indah dan berharganya hutan bagi
kehidupan manusia. Dalam tulisannya, ia menggambarkan bahwa suatu kawasan hutan
telah habis terbakar akibat tersambar oleh fenomena alam bermuatan listrik jutaan volt
berupa petir. Apabila dicermati, di balik puitisnya tulisan tersebut, ia juga
mengemukakan secara implisit bahwa mengelola hutan bukanlah suatu hal yang mudah,
dan keberadaan ekosistem hutan mungkin hanya akan menjadi suatu dongeng indah bagi
generasi yang akan datang. Kebakaran hutan telah menjadi perhatian internasional
sebagai isu lingkungan dan ekonomi. Di Indonesia, pada akhir tahun 1997 dan awal tahun
1998, telah terjadi perisitiwa kebakaran hutan yang dahsyat, di mana api telah
membinasakan berjuta-juta hektar hutan tropika di Indonesia. Peristiwa kebakaran yang
merusak tersebut mengakibatkan terjadinya lintasan panjang di pulau Sumatera dan
Kalimantan, berbentuk selimut asap yang tebal dan secara serius membahayakan
kesehatan manusia. Bahkan, kebakaran ini juga membahayakan keamanan perjalanan
udara serta menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar di seluruh kawasan dan
menimbulkan banyak kecaman dari Negara tetangga.2
Barber dan Schweithelm secara khusus mengemukakan dampak yang disebabkan
oleh kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatra pada tahun 1997 hingga 1998. Mereka
1
Yevgeny Zamyatin, “In Old Russia”, dalam The Dragon: Fifteen Stories, diterjemahkan oleh Mirra
Ginsburg, Chicago: The University of Chicago Press, 1976, hlm. 161-162.
2
Popi Tuhulele, “Kebakaran Hutan di Indonesia dan Proses Penegakan Hukumnya Sebagai Komitmen
dalam Mengatasi Dampak Perubahan Iklim”, Supremasi Hukum Desember 2014, Volume 3, hlm. 127.
membaginya dalam empat bagian besar, yaitu dampak terhadap fauna dan flora yang ada
di hutan, dampak terhadap aliran dan kualitas air, dampak terhadap atmosfer, dan dampak
terhadap kesehatan manusia. Adapun, dampak terhadap fauna dan flora di hutan (effects
on forest fauna and flora), terbagi lagi menjadi beberapa bagian yaitu dampaknya
terhadap vegetasi hutan, primata, populasi burung, reptil dan amfibi, serta serangga dan
invertebrata. Dalam hal ini, mereka mendasarinya dengan penelitian yang dilakukan
setelah fenomena kebakaran hutan di Kalimantan yang terjadi pada 1982 hingga 1983.
Terkait dengan vegetasi hutan, mereka mengemukakan bahwa siklus pembakaran
berulang yang terjadi, selain benar-benar dapat mengubah suatu kawasan hutan menjadi
padang rumput dan semak belukar, ternyata juga dapat mendegradasi kawasan hutan
yang bahkan tidak terbakar. Selain itu, kebakaran hutan juga memiliki dampak negatif
terhadap fauna yang ada di dalam hutan, seperti primata, burung, reptil, hingga serangga
beserta dengan habitat-habitatnya.3
Kemudian, kebakaran hutan ternyata juga memiliki dampak terhadap aliran dan
kualitas air (effects on water flows and water quality). Dalam hal ini, kebakaran hutan
dinilai telah meningkatkan potensi terjadinya erosi. Selain itu, ketika kebakaran hutan
diikuti dengan hujan lebat, maka jumlah abu, tanah, dan unsur-unsur vegetatif yang ikut
terbawa ke dalam sistem aliran air akan meningkat secara dramatis. Hal ini tentunya
dapat menyebabkan terjadinya pencemaran biologis, karena endapan-endapan yang
masuk ke dalam sistem aliran air tersebut dapat mencemari air. Sedangkan, dampak
terhadap atmosfer (effects on the atmosphere) juga terjadi, karena gas yang dihasilkan
oleh kebakaran hutan secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi atmosfer
bumi, selain itu gas tersebut juga berkontribusi besar atas tingginya kadar emisi gas
rumah kaca yang diketahui merupakan penyebab dari terjadinya global warming. Terkait
hal ini, mereka juga mengutip pernyataan dari World Bank yang memperlihatkan begitu
parahnya akibat yang ditimbulkan dari kebakaran hutan di Indonesia pada tahun 1997,
sebagai berikut “Indonesia’s fires in 1997 were estimated to have contributed about 30
percents of all man-made carbon emissions globally – more than the entire emissions
from man-made sources from North America.”4
Selanjutnya, terkait dampak terhadap kesehatan manusia (effects on human
health), tampaknya tidak perlu diperdebatkan lagi. Terhirupnya asap yang kemudian
masuk dalam sistem pernafasan manusia tentu akan berdampak secara negatif bagi paru-
paru, belum lagi dampaknya terhadap kesehatan mata dan tubuh secara umum. Bahkan,
hasil wawancara reporter CNN kepada penduduk lokal di Jambi menunjukkan begitu
menderitanya para penduduk sekitar akibat kebakaran hutan tersebut. Dalam wawancara
tersebut, narasumber berkata bahwa “this morning, like most mornings, I woke with a
headache. In my stomach I feel strange, and my eyes, they sting. Jambi cannot handle
these things. This has gone on too long. We have not seen the sun for more than a month.
3
Ibid
4
Charles Victor Barber dan James Schweithelm, Trial by Fire: Forest Fires and Forestry Policy in
Indonesia’s Era of Crisis and Reform, Washington DC: World Resource Institute, 2000, hlm. 16.
We are suffocating.” Dengan demikian, dapat dilihat begitu luasnya dampak negatif
yang dapat terjadi akibat kebakaran hutan, bukan hanya efeknya terhadap kelangsungan
hidup manusia, hewan, dan tumbuhan, namun juga terhadap lingkungan secara umum.5
Sebagaimana dikutip dari personifikasi puitis Zamyatin di atas, kebakaran hutan
memang seringkali terjadi karena gejala dan fenomena alam, seperti petir atau panasnya
suhu di musim kemarau. Tetapi, pada kenyataannya manusia juga mempunyai peran
dalam memulai kebakaran tersebut. Pada awalnya, para peladang tradisional atau
peladang berpindah sering melakukan pembakaran terhadap hutan dan/atau lahan ini
salah satunya adalah untuk membuka lahan atau bahkan menyuburkan tanah. Namun,
karena biayanya yang murah, praktek ini banyak diadopsi oleh korporasi-korporasi yang
bergerak di bidang kehutanan maupun perkebunan sebagai suatu metode praktis dan
ekonomis untuk membuka lahan dan menyuburkan tanah.
Indonesia, negara yang memiliki hutan nomor 5 terbesar di dunia, Brasil
(1.800.000 mil), Republik Demokratik Kongo (683.400 mil), Indonesia (490.349 mil),
Peru (289.576 mil) dan kolombia (258.688 mil). Luas kawasan hutan Indonesia mencapai
99,6 juta ha atau 52,3 % dari luas seluruh wilayah Indonesia (Statistik Kehutanan RI
2011:1) kehidupan sosial ekonomi dan sumber pendapatan negara yang terbesar berasal
dari hutan. Namun tumpuan terhadap hutan sebagai sumber devisa negara serta pant-paru
dunia semakin sulit diharapkan. Laju deforestasi hutan di Indonesia mencapai 1,6 sampai
2,1 juta ha per tahun dan tercatat sebagai negara ketiga tercepat didunia yang mengalami
deforestasi. Setiap menit hutan Indonesia berkurang seluas 6 kali lapangan sepak bola,
dengan kerugian setiap tahunnya mencapai 31 trilyun rupiah, dengan demikian hilangnya
hutan Indonesia cukup signifikan, yaitu sekitar 130.000 km2 setiap tahunnya, setara
dengan luas negara Inggris. Kebakaran hutan tahun 2015 berdampak pada bidang
ekonomi, kesehatan, sosial budaya, pengangguran, kemiskinan dan kerusakan
lingkungan. Kajian Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional mengestimasi luas
hutan terbakar di seluruh Indonesia periode 1 Juli 2015 hingga 20 Oktober 2015
mencapai 2.089.911 hektar, meliputi areal terbakar di Sumut 1.836 hektar, Riau 43.190
hektar, Jambi 20.512 hektar, dan Babel 4.519 hektar. Lalu, Sumsel 68.948 hektar, Kalbar
16.136 hektar, Kalteng 26.664 hektar, Kaltim 5.196 hektar, Kaltara 1.533 hektar dan
Kalsel 946 hektar dan Papua seluas 353.191 hektar. Luas hutan tahun 2015 menurut
BNPB, setara 32 kali wilayah Provinsi DKI Jakarta atau empat kali Pulau Bali.6
Tanggung jawab perusahaan dalam kasus kebakaran hutan dan lahan menjadi
masalah yang mengemuka akhir-akhir ini seiring dengan maraknya kebakaran hutan dan
lahan di beberapa wilayah di tanah air. Sebagaimana dikemukakan oleh Direktur
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK), Raffles B Panjaitan, luas hutan dan lahan yang terbakar di seluruh

5
Ibid
6
Andri Gunawan Wibisana, “Penegakan Hukum Pidana Kebakaran Hutan/Lahan: Pertanggungjawaban
Pidana dan Jenis Tindak Pidana”, (Makalah disampaikan pada Lokakarya dan Pelatihan Nasional tentang
Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan dengan Pendekatan Multidoor, Jakarta, 14-18 Maret 2016, hlm. 2.
Indonesia dari Januari sampai lahan gambut. Selama tujuh periode kabinet pemerintah,
izin yang dikeluarkan mencapai 42.253.234 ha.7
Berdasarkan rekapitulasi pelepasan kawasan hutan, izin terbesar terjadi sepanjang
periode 2005-2014. Bahkan di Kalimantan Tengah ada perusahaan perkebunan yang
memiliki perkebunan kelapa sawit yang luasnya puluhan ribu ha di atas kawasan hutan
yang sejak awal melakukan penyiapan lahan dengan pembakaran. Pembakaran hutan dan
lahan banyak dilakukan oleh perusahaan perkebunan dan kehutanan karena biayanya
sangat murah, selain lebih efektif jika dibandingkan dengan cara konvensional, yaitu
dengan penebasan dan bahan kimia. Pembakaran hutan juga dapat menaikkan PH hingga
5-6 sehingga cocok untuk ditanami kelapa sawit. Selain terindikasi melakukan
pembakaran hutan, perusahaan juga banyak yang tidak menjaga lahannya dari kebakaran.
Sebagaimana dikemukakan oleh Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Khalisah Khalid, tercatat banyak
kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di wilayah konsesi perkebunan sawit dan hutan
tanaman industri. Manajer Kampanye Keadilan Iklim WALHI Yuyun Harmono juga
mengungkapkan bahwa pada periode 1 Januari hingga 25 Agustus 2018 muncul ribuan
titik panas di Sumatera dan Kalimantan. Tercatat ada 2.423 titik panas di Kalimantan dan
1.155 titik api di Sumatera, 765 titik panas diantaranya berada di kawasan konsesi
korporasi (konsesi kehutanan dan perkebunan). Titik panas juga terdeteksi pada wilayah
Kesatuan Hidrologi Gambut, di mana 783 titik ada di Sumatera dan 536 titik di
Kalimantan.
Sayangnya, penerapan sanksi administratif atau pidana serta penggunaan
pertanggungjawaban perdata bagi para pembakar hutan/lahan dan korporasi masih dirasa
belum menghasilkan efek jera yang cukup. Hal ini tentu saja mengkhawatirkan, karena
minimnya penjatuhan sanksi yang memadai dapat mengurangi atau bahkan
menghilangkan insentif bagi potential injurer (dalam hal ini calon pelaku kegiatan yang
menjadi penyebab kebakaran) untuk bertindak secara hati-hati. Dari sisi peraturan
perundang-undangan, sebenarnya telah terdapat banyak perubahan terkait upaya
pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan akibat kebakaran hutan dan lahan.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia juga telah cukup komprehensif dalam
membuka kemungkinan diterapkannya sanksi administratif dan pidana di satu sisi, serta
gugatan perdata di sisi lain, untuk berbagai kasus kebakaran hutan/lahan di Indonesia.
Namun demikian, penerapan peraturan perundang-undangan tersebut tampaknya
menemukan berbagai kendala, yang kemudian berimbas pada minimnya penerapan
sanksi. Bahkan, pada saat itu, hal ini menjadi sorotan dunia internasional dan membuat
Tay mengkritik mengenai lemahnya penegakan hukum atas kasus kebakaran hutan/lahan
di Indonesia. Ia menyatakan bahwa: “Despite Indonesian decrees against the use of fire
to clear land and international principle against causing environmental harm to
neighboring countries, (only) little has changed… The fires and haze have their roots in

7
Ibid
cronyism and nepotism amongst corporate citizens – the same problem that continue to
beset relations between government and business in Indonesia and which contributed to
Mr. Suharto’s downfall. Laws and decrees against the use of fires to clear land are on
the books, but remained unenforced.”8
Terkait hal ini, Barber dan Schweithelm merekomendasikan beberapa perbaikan
yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal ini, antara lain mengembangkan kapasitas
monitoring oleh pemerintah dan masyarakat untuk menghasilkan dasar yang kuat untuk
meminta pertanggungjawaban dari korporasi. Sedangkan, khusus ntuk penegakan hukum
pidana dan perdata, mereka bahkan merekomendasikan diterapkannya pembalikan beban
pembuktian (shifting the burden of proof) dan pengurangan standar pembuktian (standart
of proof), sehingga apabila terjadi kebakaran hutan/lahan di arealnya, korporasi dapat
dianggap bertanggungjawab.9
Selanjutnya, perlu dipahami bahwa kebakaran hutan dan atau lahan sangatlah sulit
untuk ditanggulangi, baik dalam hal pemadaman kebakaran maupun pemulihan dampak
kebakaran. Hal ini seringkali disebabkan oleh keterbatasan sarana dan prasarana,
kemampuan sumber daya manusia, dana, dan letak lokasi yang sulit untuk dapat segera
dijangkau serta memerlukan waktu yang cukup lama, padahal pemadaman kebakaran
memerlukan kecepatan untuk mengatasinya. Untuk itu, maka tindakan pencegahan
(preventive) merupakan upaya yang sangat penting dan harus dikedepankan. Dengan
demikian, sebagai wujud dari komitmen Negara untuk mengelola dan melindungi hutan
dengan baik, maka dituangkan sanksi-sanksi pidana dalam berbagai peraturan perundang-
undangan di bidang lingkungan, khususnya yang mengatur mengenai dampak kerusakan
dan pencemaran lingkungan yang disebabkan kebakaran hutan/lahan. Salah satu tujuan
diterapkannya sanksi pidana terhadap tindak pidana kebakaran hutan/lahan adalah untuk
memberikan efek jera (deterrence effect). terhadap para pelaku atau siapapun yang
berpotensi menjadi pelaku di kemudian hari. Adapun yang dimaksud pelaku di sini
berbeda-beda, mulai dari orang, persekutuan, hingga badan hukum atau korporasi,
tergantung dari bagaimana peraturan perundang-undangan terkait merumuskannya.
Berbicara tentang efek jera dalam dimensi hukum lingkungan, Thornton, Guningham,
dan Kagan dalam Review of Environmental Law Enforcement in Eight Jurisdiction in
USA berpendapat bahwa “The threat of strong sanctions does have a detterent effect,
manifested in both a ‘reminder’ and a ‘reassurance’ function. The thread of prosecution
reminds managers that they should review their compliance strategies regularly, and at
the same time it reassures them that their competitors who violate the law are unlikely to
get away with it.” 10

8
Ana-Maria Pascal, “A Legal Person’s Conscience: Philosophical Underpinnings of Corporate Criminal
Liability” dalam European Developments in Corporate Criminal Liability, (Newyork: Routledge, 2011), hlm. 45.
9
Muhammad Ainul Syamsu, Pergeseran Turut Serta Melakukan dalam Ajaran Penyertaan, Kencana
Prenadamedia Group, Jakarta 2013, hlm. 18.
10
Rick Sarre, “Penalising Corporate Culture: The Key to Safer Corporate Activity?” Grafika, Jakarta,
2010, hlm. 86
Lembaga Swadaya Masyarakat Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) telah
melakukan perhitungan kerugian multidimensi dampak kebakaran hutan dan lahan serta
kabut asap, salah satunya di provinsi Jambi. Kerugian finasial dari indikasi kerugian
lingkungan saja di jambi diperkirakan telah mencapai Rp 7 triliun pada tahun 2015.
Jumlah tersebut diperkirakan meningkat dari kerugian yang diderita tahun lalu sebesar Rp
4 triliun. Kerugian tersebut belum termasuk masyarakat yang pernapasannya terganggu
karena pencemaran udara, anak-anak dan sekolah diliburkan serta arus transportasi yang
terhambat, gagal panen bagi petani serta lahan menjadi tidak produktif akibat asap.
Sedangkan di Riau, kerugian ekonomi pada tahun 2015 dari kebakaran hutan mencapai
Rp 20 triliun yaitu 2.398 Ha cagar biosfer terbakar, 21.914 Ha lahan terbakar, 58.000
orang menderita gangguan pernapasan, ditambah pekerja dan aktifitas sekolah
terganggu.11
Berdasarkan tipe bahan bakar dan sifat pembakarannya, kebakaran hutan dan
lahan dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe, yaitu:12
1. Kebakaran bawah (ground fire) merupakan tipe kebakaran dimana api
membakar bahan organik dibawah permukaan. Oleh karena sedikit udara dan
bahan organik maka kebkaran ini tidak terlihat apinya namun asap.
Penyebaran api juga sangat lambat dan terjadi dalam waktu yang lama
(biasanya terjadi pada lahan gambut yang ketebalannya mencapai 10 meter).
2. Kebakaran permukaan (surface fire) yaitu tipe kebakaran dimana api
membakar bahan bakar permukaan yang berupa serasah, semak belukar,
anakan, pancang, dan limbah pembalakan. Sifat api permukaan cepat
merambat, nyalanya besar dan panas, namun cepat padam.
3. Kebakaran tajuk (crown fire) merupakan tipe kebakaran yang membakar tajuk
pohon (bagian atas pohon). Kebakaran ini akan parah jika terjadi di tanaman
yang daunnya mudah terbakar dan rapat.

Kebakaran hutan dan lahan antara lain karena faktor alam, biasanya terjadi pada
musim kemarau ketika cuaca sangat panas dan faktor pembakaran oleh manusia. Sebab
utama dari kebakaran adalah pembukaan lahan yang meliputi:13

1. Pembakaran lahan yang tidak terkendali sehingga merembet ke masyarakat


maupun perusahaan. Namun bila pembukaan lahan dilaksanakan dengan
pembakaran dalam skala besar, kebakaran tersebut sulit terkendali.
Pembukaan lahan tersebut sering dilaksanakan untuk usaha perkebunan,
(Hutan Tanaman Industri) HTI, pertanian lahan kering, sonor dan mencari
ikan. Pembukaan lahan yang paling berbahaya adalah di daerah rawa/gambut.

11
https://www.cifor.org/publications/pdf_files/OccPapers/OP-038i.pdf diakses pada tanggal 19 November
2019 pada pukul 18.00 WIB
12
Takdir Rahmadi, “Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia” (2014),
https://www.mahkamahagung.go.id/rbnews.asp?bid=4084, diakses pada 19 November 2019 pada pukul 18.00 WIB
13
Absori, Penegakan Hukum Lingkungan Di Era Reformasi, Jurnal Ilmu Hukum, Vol 8 No.2, 2005.
2. Penggunaan lahan yang menjadikan lahan rawan kebakaran, misalnya dilahan
bekas (Hak Pengusahaan Hutan) HPH dan di daerah yang beralang-alang.
3. Konflik antara pihak pemerintah, perusahaan dan masyarakat karena status
lahan sengketa perusahaan-perusahaan kelapa sawit kemudian menyewa
tenaga kerja dari luar untuk bekerja dan membakar lahan masyarakat lokal
yang lahannya ingin diambil alih oleh perusahaan, untuk mengusir
masyarakat. Kebakaran mengurangi nilai lahan dengan cara membuat lahan
menjadi terdegradasim dan dengan demikian perusahaan akan lebih mudah
mengambil alih lahan dengan melakukan pembayaran ganti rugi yang murah
bagi penduduk asli.
4. Dalam beberapa kasus, penduduk lokal juga melakukan pembakaran untuk
memprotes pengambil-alihan lahan mereka oleh perusahaan kelapa sawit.
5. Tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah, sehingga terpakasa
memilih alternatif yang mudah, murah dan cepat untuk pembukaan lahan.
6. Kurangnya penegakan hukum terhadap perusahaan yang melanggar
peraturanpembukaan lahan.
7. Faktor alam seperti sambaran petir, lahar dari letusan gunung dan lain-lain.

Rezim penegakan hukum pidana lingkungan saat ini, mulai mengakomodir


kepentingan perlindungan lingkungan di era modern dengan mengakui korporasi sebagai
subjek hukum yang dapat berbuat dan bertanggungjawab secara pidana. Hal ini salah
satunya dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 Angka 32 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur bahwa
frasa ‘setiap orang’ dalam undangundang tersebut harus dimaknai sebagai orang
perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan
hukum. Namun, sebagaimana diketahui, korporasi merupakan entitas artificial yang di
dalamnya terdapat interaksi yang kompleks antara perusahaan dan aktor manusianya.
Melihat hal tersebut, kemudian timbul pertanyaan menarik “Kapan suatu korporasi
dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana?” dan “Siapa yang harus menanggung
pertanggungjawaban pidana tersebut?”.14
Penyebab kebakaran hutan adalah proses land clearing yaitu kebakaran hutan
karena pembukaan lahan untuk perkebunan sawit, pembangunan industri kayu yang tidak
diikuti dengan pembangunan hutan tanaman, besarnya kesempatan yang diberikan
pemerintah kepada pengusaha untuk melakukan konvensi lahan menjadi perkebunan
monokultur skala besar seperti perkebunan kayu dan perkebunan sawit serta penegakan
hukum yang lamban untuk mensikapi tindakan konvensi dan pembakaran yang
dilakukan. Meskipun demikian, besarnya kerugian dan dampak tersebut tak mampu
membuat penegakan hukum terkait kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap disikapi
dengan bijak dan tuntas. Padahal kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap telah terjadi

14
Gatot. P. Soemartono. Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta 2011, hlm 22
selama bertahun-tahun tanpa ada perlindungan terhadap hutan sebagai bagian dari
lingkungan hidup buat masyarakat dan penegakan hukum terhadap penyebab kebakaran
hutan dan lahan. Selain itu, hal ini juga merefleksikan bahwa ada sesuatu yang salah
dengan pengelolaan kehutanan dan perkebunan di Indonesia15
Hambatan selanjutnya, belum satupun pelaku pembakar hutan di tahun 2015,
diproses di pengadilan dan mendapat putusan hakim yang tetap. Padahal kejahatan
pembakaran hutan masuk katagori kejahatan White Collar Crime, Corporate Crimes dan
Exlra Ordinary Crimes karena itu perlu penanganan yang luar biasa. Kegagalan
penegakan dapat dilihat, tahun 1998- 2003 terdapat 49 kasus, hanya 2 kasus telah
mendapat putusan pengadilan yaitu PT. Adei Plantation & Industry, terbukti membakar
hutan seluas 40 hektar, vonis satu tahun penjara dandendapidana 15 milyar rupiah, PT.
National Sago Plantation membakar tiga ribu hektar, kerugian senilai 1,04 triliun rupiah,
vonis bebas denda dua milyar rupiah.16
Pemerintah belum mempunyai resolusi kebijakan jangka panjang untuk
menangani kebakaran yang hampir setiap tahun terjadi. Penanggulangan kebakaran yang
ada masih berkutat seputar teknis pencegahan dan pemadaman kebakaran. Kasus
kebakaran hutan di Indonesia merupakan masalah struktural pengelolaan sumber daya
alam, yang hanya dapat diselesaikan dengan pendekatan skema kebijakan, hukum, dan
kelembagaan secara progresif. Tanpa ada intervensi di level kebijakan, hukum, dan
kelembagaan, masalah kebakaran di Indonesia tidak akan pernah selesai secara
permanen. Kebakaran sebagian besar terjadi di lahan-lahan konsesi perkebunan dan hutan
tanaman industri (HTI). Ini merupakan bentuk kegagalan pengelolaan yang dilakukan
oleh para pemegang konsesi yang tidak melibatkan masyarakat sekitar kawasan sebagai
mitra kerja dengan posisi sejajar.17
Dalam konteks kebakaran hutan ini menurut Elviandri terdapat beberapa hal yang
menjadi landasan pembenar bagi multinasional/Multi-National Corporation (MNC) untuk
melanjutkan kegiatan ini dalam perspektif hukum dan ekonomi yaitu:18
1. Motivasi ekonomi memang menjadi faktor dominan pada tataran yang lebih
massif dengan modal serendahrendahnya, mendapatkan untung
setinggitingginya dan menjadi trigger dalam praktek adanya pembakaran
lahan yang dilakukan oleh beberapa perusahaan besar.
2. Kecenderungan dari lemahnya upaya penegakan hukum yang terjadi pada saat
ini membuat multinasional/Multi-National Corporation (MNC) menganggap
kemungkinan mereka untuk dikenakan sanksi lebih sedikit. Ini membuktikan
bahwa hukum belum menjadi panglima yang dapat diandalkan untuk
memberikan efek jera atas pembakar lahan penyebab kabut asap.

15
Ibid
16
Kartono, Penegakan Hukum Lingkungan Administratif Dalam UndangUndang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jurnal Dinamika Hukum, Vol.09 No. 3, Purwekerto : FH UNSOED, 2009.
17
Ibid
18
Elviandri, Tanda Ketidak Berdayaan Pemerintah, Grafika sinar, Riau, 2015, hlm 10
3. Diskursus hukum kebakaran hutan di Indonesia saat ini masih menempatkan
korporasi sebagai subyek hukum hanya dalam tataran normatif belaka
semakin memperkecil peluang untuk menghukum dari para pelaku kejahatan
kebakaran hutan.
4. Kelalaian, dan minimnya kontrol baik dari pemerintah pusat maupun daerah,
menambah terbukanya peluang bagi perusahaan multinasional/Multi-National
Corporation (MNC) yang bercokol dan bernaung dibawah bendera
kapitalisme dan mengabaikan aspek kebakaran hutan
5. Ketidak berdayaan pemerintah dalam menjatuhkan sanksi tegas seperti
pencabutan izin operasional atau pembekuan aktivitas perusahaan. Hal hal ini
disebabkan adanya tekanan dari multinasional/MultiNational Corporation
(MNC) yang mengatasnamakan masyarakat. Karena dengan diberikan izin
operasional maka dapat menyerap tenaga kerja dan mengurangi
pengangguran.

Perusahaan multinasional/Multi-National Corporation (MNC) dengan bendara


kapitalisme telah menjadi ancaman terhadap Indonesia terutama dalam eksploitasi hutan
sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yang sistemik, mulai dari
pembakaran hutan, alih fungsi lahan hingga membabat habis hutan lindung dan kawasan
konservasi. Hal tersebut tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan dampaknya bagi
jutaan masyarakat. Kabut asap yang sedang kita alami ini merupakan puncak dari
fenomena gunung es atas faktor keserakahan kapitalisme dalam mengekploitasi SDA
sehingga mengesampingkan kearifan terhadap lingkungan hidup.19

Roberto M. Unger mengatakan bahwa pemahaman hukum tidak bisa bebas dari
konteksnya. Hukum bekerja tidak di ruang hampa tetapi bekerja dalam realitas yang tidak
netral dari pengaruh lain, dan nilai yang ada di belakangnya adalah subjektif. Hukum
bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah, melainkan dikontruksi secara sosial.
Karena itu, penggunakan hukum yang hanya bersifat formal akan gagal untuk mengatasi
problem kemasyarakatan. Dia mencoba mengetengahkan visinya mengenai tatanan
masyarakat dan tatanan hukum masa mendatang melalui gerakan aktivitas transformatif
yang dilakukan atas dasar hak-hak individu yang dilindungi hukum dan menyadarkan
birokrasi kekuasan untuk bekerja dengan penuh tanggung jawab. Selama ini lembaga
pengadilan sebagai lembaga negara penegak keadilan dalam melakukan penegakan
hukum kebakaran hutan dinilai tidak memberi rasa keadilan masyarakat, dan keadilan
lingkungan hidup. Berbagai kasus penyelesaian sengketa pencemaran dan kebakaran
hutan yang diajukan ke pengadilan keputusannya amat mengecewakan masyarakat, dan
jauh dari rasa keadilan. Lembaga pengadilan dalam menyelesaikan kasus kebakaran
hutan selama ini masih berorientasi pada hukum formal. Analisis studi menunjukan
bahwa dalam menyelesaikan kasus kebakaran hutan hakim masih belum mampu keluar

19
Ibid
dari pendekatan text books yang memahami hukum sebatas aturan yang bersifat hitam
putih, diterapkan laksana buku telepon.20

Hakim sama sekali tidak melihat pada petimbangan hukum lain yang terdapat
dalam asas-asas hukum yang hidup di masyarakat atau asas hukum mempunyai
kedudukan lebih tinggi, seperti prinsip pencegahan secara dini, prinsip kehati-hatian
(precautionary), prinsip pembelaan melalui “due diligence” dan prinsip
pertangungjawaban ketat (strict liability.) Padahal prinsip-prinsip tersebut amat
dibutuhkan untuk menjawab persoalan hukum dalam perkara yang tidak terakomodasi
dalam perundang-undangan. Di samping itu, hakim juga tidak melihat fakta hukum yang
terungkap di persidangan sehingga keputusan hakim dalam menyelesaikan kebakaran
hutan dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan. Kegagalan lembaga pengadilan dalam
menyelesaikan kasus kebakaran hutan karena aparat penegak hukum (hakim) dalam
memahami dan menerapkan hukum baru sebatas menggunakan logika peraturan dan
prosedur yang bersifat legal formal. Penegakan hukum kebakaran hutan yang dilakukan
lembaga formal, seperti pengadilan dan pemerintah selama ini belum bergesar dari
pendekaatan positivis formal dan prosedural. Aparat penegak hukum dalam merespon
dan menyelesaikan berbagai persoalan kebakaran hutan menunjukan sikap yang formalis,
deterministik, dan memberi peluang terjadinya perilaku eksploitatif di kalangan pelaku
usaha (investor).21

Instrumen hukum yang dipakai hanya berorientasi prosedur dan tidak dapat
diandalkan sebagai pilar utama untuk mengatasi problem kebakaran hutan, sementara
kebakaran hutan dalam proses waktu semakin sulit untuk dapat dikendalikan. Karena itu,
pendekatan seperti itu kiranya perlu segera diakhiri, diganti dengan semangat pendekatan
progresif yang dimulai dari kesadaran yang tumbuh dari semua kalangan yang
mempunyai kepedulian terhadap pelestarian hutan dan lingkungan untuk memahami
bahwa persoalan kebakaran hutan sudah mencapai tarap yang mengkhawatirkan. Karena
itu, perlu ada terapi kejut (shock therapy) yang segera digulirkan dalam berbagai upaya
dan langkah dalam rangka memberikan dorongan yang lebih kuat lagi. Untuk
mengatasinya perlu dilakukan gerakan penyadaran secara progresif dengan melibatkan
pertisipasi masyarakat, aparat penegak hukum, dan pemerintah akan tugas dan tangung
jawabnya dalam menyelesaikan dan memecahkan masalah-masalah kebakaran hutan.22

Nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum adalah nilai-nilai yang


mendasari berlakunya hukum. Tidak ditegaskannya asas keadilan dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dapat
20
Roberto M Unger, The Critical Legal Studies Movement (1983), diterjemahkan Ifdhal Kasim, Jakarta:
Elsam, 2000, hlm 22.
21
Andri Gunawan Wibisana, “Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi: Mencari Bentuk
Pertanggungjawaban Korporasi dan Pemimpin/Pengurus Korporasi Untuk Kejahatan Lingkungan di Indonesia”,
Sinar Grafika, Bandung, hlm. 177-178.
22
Ibid
dikatakan sebagai pengabaian keadilan sebagai dasar atas berlakunya hukum.
Mengesampingkan asas keadilan dalam teks undang-undang sama saja dengan tidak
berupaya untuk menegakkan keadilan. Keadilan sangat penting mengingat Undang-
Undang Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup banyak memuat
rumusan pidana yang ditujukan kepada warga negara bukan kepada korporasi besar yang
melakuka pembukaan lahan dengan membkar lahan. Alpa mencantumkan asas keadilan
dalam UU Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sama saja dengan
berpikiran bahwa keadilan tak perlu diwujudkan melalui undang-undang tersebut.

1. Identifikasi Masalah
a. Bagaimana Tinjauan Keadilan, Kepastian Hukum Dan Kemanfaatan Hukum
Terhadap Ketentuan Pasal 88 Juncto Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup?
b. Bagaimana Implementasi Keadilan, Kepastian Hukum Dan Kemanfaatan Hukum
Terhadap Ketentuan Pasal 88 Juncto Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup?
2. Metode Penelitian
Metode penelitian ini dilakukan menggunakan metode penelitian hukum
normative, melalui studi kepustakaan, dengan tipologi penelitian preskriptif yaitu
melakukan pedekatan secara intensif, mendalam dan mendetail serta komperhensif untuk
menggali secara mendalam mengenai penelitian. Penelitian ini mengkaji aspek hukum
terhadap Tinjauan Keadilan, Kepastian Hukum Dan Kemanfaatan Hukum Terhadap
Ketentuan Ketentuan Pasal 88 Juncto Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup guna memberikan
pemahaman dan penguatan dalam amelihat suatu pasal/ delik yang akan diterima oleh
masyarakat dan korporasi.

B. KEADILAN
“Tinjauan KeadilanTerhadap Ketentuan Pasal 88 Juncto Pasal 119 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.”
Keadilan merupakan sesuatu yang abstrak, berada dalam dunia sollen tumbuh
secara filsafati dalam alam hayal manusia, namun tidak bisa diingkari bahwa semua
orang mendambakan keadilan.23 Di dalam Ilmu hukum keadilan itu merupakan ide dan
23
Bahder Johan Nsution, Hukum dan Keadilan, Mandar Maju, Bandung, 2015, hlm.174.
tujuan hukum namun secara pasti dan gramatikal keadilan itu tidak dapat didefinisikan
oleh ilmu hukum. Plato mendefinisikan keadilan sebagai “the supreme virtue of the good
state”, sedang orang yang adil adalah “the self diciplined man whose passions are
controlled by reasson”. Bagi Plato keadilan tidak dihubungkan secara langsung dengan
hukum. Baginya keadilan dan tata hukum merupakan substansi umum dari suatu
masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya. Dalam konsep Plato tentang
keadilan dikenal adanya keadilan individual dan keadilan dalam negara. Untuk
menemukan pengertian yang benar mengenai keadilan individual, terlebih dahulu harus
ditemukan sifat-sifat dasar dari keadilan itu dalam negara, untuk itu Plato mengatakan: 24
“let us enquire first what it is the cities, then we will examine it in the single man, looking
for the likeness of the larger in the shape of the smaller”. Walaupun Plato mengatakan
demikian, bukan berarti bahwa keadilan individual identik dengan keadilan dalam negara.
Hanya saja Plato melihat bahwa keadilan timbul karena penyesuaian yang memberi
tempat yang selaras kepada bagian-bagian yang membentuk suatu masyarakat. Keadilan
terwujud dalam suatu masyarakat bilamana setiap anggota melakukan secara baik
menurut kemampuannya fungsi yang sesuai atau yang selaras baginya.25
Jadi fungsi dari penguasa ialah membagi bagikan fungsi-fungsi dalam negara
kepada masing-masing orang sesuai dengan asas keserasian. Pembagian kerja sesuai
dengan bakat, bidang keahlian dan keterampilan setiap orang itulah yang disebut dengan
keadilan. Konsepsi keadilan Plato yang demikian ini dirumuskan dalam ungkapan
“giving each man his due” yaitu memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi
haknya. Untuk itu hukum perlu ditegakkan dan Undang-undang perlu dibuat. Dalam
kaitannya dengan hukum, obyek materianya adalah masalah nilai keadilan sebagai inti
dari asas perlindungan hukum, sedangkan obyek formanya adalah sudut pandang
normatif yuridis dengan maksud menemukan prinsip dasar yang dapat diterapkan untuk
menyelesaikan masalah yang timbul di bidang penggunaan nilai keadilan dimaksud.
Tentang nilai keadilan yang dimaksud terutama yang berkenaan dengan obyeknya yaitu
hak yang harus diberikan kepada warga masyarakat. Biasanya hak ini dinilai dan
diperlakukan dari berbagai aspek pertimbangan politik dan budaya, namun intinya tetap
tidak berubah yaitu suum cuique tribuere.26
Dari ungkapan di atas, terlihat dengan jelas Plato memandang suatu masalah yang
memerlukan pengaturan dengan undang-undang harus mencerminkan rasa keadilan,
sebab bagi Plato hukum dan undang-undang bukanlah semata-mata untuk memelihara
ketertiban dan menjaga stabilitas negara, melainkan yang paling pokok dari undang-
undang adalah untuk membimbing masyarakat mencapai keutamaan, sehingga layak
menjadi warga negara dari negara yang ideal. Jadi hukum dan undang-undang bersangkut
paut erat dengan kehidupan moral dari setiap warga masyarakat.

24
The Liang Gie, Teori-teori Keadilan, Sumber Sukses, Yogyakarta, 2002, hlm. 22.
25
Ibid
26
Anthon F. Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik: Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum
Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm 138.
Namun secara umum, ada unsur-unsur formal dari keadilan (sesuai dengan
pembagian aliran keadilan menurut Kelsen dan Rawls yang pada dasarnya terdiri atas:27
1. Bahwa keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk memberikan
perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak).
2. Bahwa perlindungan ini pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap
individu (unsur manfaat).

Dengan unsur nilai keadilan yang demikian, yang dikaitkan dengan unsur hak dan
manfaat serta ditambahkan bahwa dalam diskursus hukum, perihal realisasi hukum itu
berwujud lahiriah, tanpa mempertanyakan terlebih dahulu itikad moralnya. Maka nilai
keadilan disini mempunyai aspek empiris juga, disamping aspek idealnya. Maksudnya
adalah apa yang dinilai adil, dalam konteks hukum, harus dapat diaktualisasikan secara
kongkret menurut ukuran manfaatnya. Dengan adanya ukuran manfaat nilai keadilan ini
pada akhirnya keadilan dapat dipandang menurut konteks yang empiris juga. Sebagai
contoh seorang terdakwa misalnya, dapat merasakan suatu nilai keadilan jika apa yang
dilakukan sebagai tindak pidana menurut hukumnya, dihukum sesuai dengan berat dari
kesalahannya. Dengan demikian, si terdakwa merasakan bahwa hukumannya adalah
sebanding atau setimpal dengan kesalahan yang telah diperbuat, dan apa yang
dianggapnya sebagai hal yang setimpal atau sebanding itu, merupakan pencerminan dari
nilai keadilan yang ideal. Jika hukumannya dirasakan tidak sebanding atau setimpal,
maka hukuman itu dapat dinyatakan sebagai perwujudan yang melawan nilai-nilai ideal
dalam keadilan. Disinilah nilai keadilan berfungsi menentukan secara nyata, apa yang
pantas (sebanding atau setimpal) diterima oleh seseorang sebagai konsekuensi lanjutan
dari norma hukum yang mengaturnya.28

Aristoteles membedakan keadilan menjadi keadilan distributif dan keadilan


komutatif. Keadilan distributif adalah keadilan yang menuntut bahwa setiap orang
mendapat apa yang menjadi haknya, jadi sifatnya proporsional. Di sini yang dinilai adil
adalah apabila setiap orang mendapatkan apa yang menjadi haknya secara proporsional.
Jadi keadilan distributif berkenaan dengan penentuan hak dan pembagian hak yang adil
dalam hubungan antara masyarakat dengan negara, dalam arti apa yang seharusnya
diberikan oleh negara kepada warganya.29

Hak yang diberikan dapat berupa benda yang tak bisa dibagi (undivided goods) yakni
kemanfaatan bersama misalnya perlindungan, fasilitas publik baik yang bersifat
administratif maupun fisik dan berbagai hak lain, di mana warga negara atau warga
masyarakat dapat menikmati tanpa harus menggangu hak orang lain dalam proses
penikmatan tersebut. Selain itu juga benda yang habis dibagi (divided goods) yaitu hak-

27
John Rawls, Teori Keadilan..Op Cit, Hlm. 27.
28
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) termasuk
Interpretasi Undang-undang (Legisprudende),Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, Hlm. 273.
29
Ibid
hak atau benda-benda yang dapat ditentukan dan dapat diberikan demi pemenuhan
kebutuhan individu pada warga dan keluarganya, sepanjang negara mampu untuk
memberikan apa yang dibutuhkan para warganya secara adil, atau dengan kata lain
dimana terdapat keadilan distributif, maka keadaan tersebut akan mendekati dengan apa
yang disebut keadaan dimana tercapainya keadilan sosial bagi masyarakat. Sebaliknya
keadilan komutatif menyangkut mengenai masalah penentuan hak yang adil diantara
beberapa manusia pribadi yang setara, baik diantara manusia pribadi fisik maupun antara
pribadi non fisik. Dalam hubungan ini maka suatu perserikatan atau perkumpulan lain
sepanjang tidak dalam arti hubungan antara lembaga tersebut dengan para anggotanya,
akan tetapi hubungan antara perserikatan dengan perserikatan atau hubungan antara
perserikatan dengan manusia fisik lainnya, maka penentuan hak yang adil dalam
hubungan ini masuk dalam pengertian keadilan komutatif. 30

Obyek dari hak pihak lain dalam keadilan komutatif adalah apa yang menjadi hak
milik seseorang dari awalnya dan harus kembali kepadanya dalam proses keadilan
komutatif. Obyek hak milik ini bermacam-macam mulai dari kepentingan fisik dan
moral, hubungan dan kualitas dari berbagai hal, baik yang bersifat kekeluargaan maupun
yang bersifat ekonomis, hasil kerja fisik dan intelektual, sampai kepada hal-hal yang
semula belum dipunyai atau dimiliki akan tetapi kemudian diperoleh melalui cara-cara
yang sah. Ini semua memberikan kewajiban kepada pihak lain untuk menghormatinya
dan pemberian sanksi berupa ganti rugi bila hak tersebut dikurangi, dirusak atau dibuat
tidak berfungsi sebagaimana mestinya.31

Mengenai persamaan ini, berkembang suatu pengertian bahwa persamaan bukan


hanya menyangkut dengan seberapa jauh konstribusi warga negara terhadap negara atau
sifat dari kontribusi tersebut, akan tetapi juga telah berkembang konsep persamaan dalam
hal kemampuan, atau besar kecilnya halangan yang dialami oleh warga negara dalam
memberikan konstribusinya. Orang-orang yang tidak mempunyai modal, tidak
berpendidikan, cacat tubuh dan sebagainya yang tetap menjadi warga negara harus
mendapat jaminan dalam keadilan distributif untuk memperoleh bagian, minimal dapat
memberikan kesejahteraan hidup baginya dan keluarganya. Hal ini merupakan bagian
dari prinsip hak asasi manusia yang telah memperoleh pengakuan internasional. Dalam
hal yang demikian tentu saja konsep persamaan itu diartikan dalam bentuk yang
proporsional, karena tidak mungkin diberikan hak-hak yang secara aritmatik sama
mengingat kontribusinya berbeda. Keadilan komutatif bertujuan untuk memelihara
ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum, sebab disini dituntut adanya kesamaan
dan yang dinilai adil ialah apabila setiap orang dinilai sama oleh karena itu sifatnya
mutlak.32
30
Poejawijatna dalam Mohammad Nursyam, Penjabaran Filsafat Pancasila Dalam Filsafat Hukum.
Sebagai Landasan Pembinaan Hukum Nasional. Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya2000, hlm. 45
31
Ibid
32
The Liang Gie, Teori-teori Keadilan, Sumber Sukses, Yogyakarta, 2002, hlm. 22.
Dari konstruksi konsep keadilan Aristoteles tersebut, dapat ditarik benang merah
bahwa keadilan distributif merupakan tugas dari pemerintah kepada warganya untuk
menentukan apa yang dapat dituntut oleh warga negara dalam negaranya. Konstruksi
keadilan yang demikian ini membebankan kewajiban bagi pembentuk Undang-undang
untuk memperhatikannya dalam merumuskan konsep keadilan kedalam suatu Undang-
undang.

1. SUBSTANSI
Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem Substansial
yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi juga berarti
produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup
keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga
mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab
undang-undang (law books). Sebagai negara yang masih menganut sistem Civil Law
Sistem atau sistem Eropa Kontinental (meski sebagaian peraturan perundangundangan
juga telah menganut Common Law Sistem atau Anglo Sexon) dikatakan hukum adalah
peraturan-peraturan yang tertulis sedangkan peraturan-peraturan yang tidak tertulis bukan
dinyatakan hukum. Sistem ini mempengaruhi sistem hukum di Indonesia. Salah satu
pengaruhnya adalah adanya asas Legalitas dalam KUHP. Dalam Pasal 1 KUHP
ditentukan “tidak ada suatu perbuatan pidana yang dapat di hukum jika tidak ada
aturan yang mengaturnya”. Sehingga bisa atau tidaknya suatu perbuatan dikenakan
sanksi hukum apabila perbuatan tersebut telah mendapatkan pengaturannya dalam
peraturan perundang-undangan.33

Dari segi materi/substansi hukumnya pembenahan perlu dilakukan tidak hanya


mencakup kemungkinan mengadopsi pranata-pranata hukum baru yang muncul dalam
kerangka globalisasi ekonomi yang dapat memunculkan kecenderungan terjadinya
globalisasi hukum, namun juga adaptasi kemungkinan berlakunya ketentuan-ketentuan
hukum adat setempat bagi hubungan-hubungan hukum atau peristiwa-peristiwa hukum
tertentu. Pembenahan materi/substansi hukum tersebut bisa dilaksanakan melalui 3
alternatif, yaitu:34

a. Merumuskan dan menetapkan ketentuan-ketentuan hukum baru untuk hal-hal


yang sama sekali belum diatur.
b. Melakukan transformasi dari ketentuan-ketentuan hukum internasional
menjadi ketentuan hukum nasional melalui instrument pengesahan/ratifikasi
perjanjian-perjanjian internasional terkait.

33
Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction Second Edition (Hukum Amerika Sebuah
Pengantar) Penerjemah Wisnu Basuki, PT. Tatanusa, Jakarta, 2001, hlm 33
34
Riduan Syahrani, rangkuman intisari ilmu hukum, penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm 23
c. Memodifikasi ketentuan-ketentuan hukum yang sudah ada untuk mengikuti
perkembangan kesadaran dan kebutuhan hukum yang berkembang dalam
masyarakat.
Masyarakat menghendaki hukum tidak lagi menjadi alat untuk kepentingan
penguasa, ataupun kepentingan politik. Oleh karena itu dibutuhkan penegakan hukum
yang berkeadilan. Sejalan dengan hal tersebut, realita dalam penegakan hukum seringkali
mengabaikan rasa keadilan masyarakat mengingat secara tekstual substansi hukum lebih
mensyaratkan pada adanya kepastian hukum. Bagaimana pun juga, hukum itu
sesungguhnya berhakikat sebagai organisme yang hidup (es ist und wird mit dem volke)
seperti yang dikatakan Von Savigny bahwa hukum akan tetap hidup dan berkembang
berseiring dengan perkembangan masyarakat, atas dasar otoritasnya sendiri yang moral.
Dalam hal ini hukum harus tetap berfungsi atau berarti bagi kemaslahatan, keteraturan,
serta ketertiban masyarakat.35
Sebelum adanya perubahan kedua dan keempat UUD 1945, satu-satunya
ketentuan konstitusi yang menjadi landasan hukum bagi pengelolaan lingkungan dan
sumber daya alam adalah Pasal 33 ayat (3), yang lebih banyak ditafsirkan sebagai
pemanfaatan dan ekploitasi sumber daya alam dengan justifikasi untuk mencapai
kesejahteraan rakyat, sehingga aspek perlindungan dan keberlanjutan lingkungan dan
sumber daya alam menjadi terabaikan. Perubahan kedua dan keempat UUD 1945, telah
memasukkan ketentuan baru terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup dan
pemanfaatan sumber daya alam, yaitu Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) dan (5)
UUD 1945. Pasal 28H ayat (1) menyatakan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Pasal 33 ayat 4 UUD 1945
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.” Sementara Pasal 33 ayat (5) menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut diatur
dengan undang-undang.36

Dikaitkan dengan pendapat Teuku Muhammad Radhie mengenai politik hukum


sebagai arah (tujuan) ke mana hukum hendak dikembangkan, maka UUPLH menetapkan
arah (tujuan) kemana hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup hendak
dikembangkan. Menurut Pasal 3 UU 32 tahun 2009, perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup bertujuan:37

a. Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran


dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
35
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: memahami dan memahami hukum, Laksbang Pressindo,
Yogyakarta, 2010, hlm 59
36
Lihat Pasal 33 ayat (3) dan 28 UUD 1945
37
Lihat Pasal 3 UU 32 tahun 2009, Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
b. Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
c. Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
d. Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
f. Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
g. Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai
bagian dari hak asasi manusia;
h. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
i. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan;
j. Mengantisipasi isu lingkungan global;

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup (UUPPLH) mengatur permasalahan lingkungan sebagai dasar
pedoman bagi aparat penegak hukum untuk menjerat pelaku tindak pidana lingkungan
dikenakan hukuman pidana sesuai aturan yang berlaku. Pasal 1 angka 16, menyatakan
definisi perusakan lingkungan hidup adalah “Tindakan orang yang menimbulkan
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan atau hayati
lingkungan hidup sehingga melampaui ktriteria baku kerusakan lingkungan hidup”.
Rumusan Pasal ini mencantumkan kalimat “tindakan orang” yang tidak ada di dalam
UUPLH sebelumnya, sehingga memberikan keleluasan aparat untuk segera menindak
bagi pelaku perusakan lingkungan baik itu perseorangan maupun kelompok (perusahaan).
Pasal 1 angka 17 juga menyatakan bahwa kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan
langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan
hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Dengan demikian di
dalam undang-undang ini, perbuatan yang menimbulkan pencemaran lingkungan dan
atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja atau
kealpaan diarahkan menjadi perbuatan tindak pidana yang dalam undangundang ini
merupakan kejahatan.38

Dalam kenyataannya, pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia masih


menghadapi problem yang sama yaitu adanya benturan antara berbagai peraturan
perundang-undangan, terutama antara undang-undang sektoral terkait sumber daya alam
(yang lebih berorientasi pada pemanfaatan sumber daya ekonomi dan undang-undang
lingkungan hidup (yang dianggap terlalu menekankan pada aspek perlindungan
lindungan hidup). Akibatnya, pengelolaan dan pengendalian lingkungan hidup di bawah
kontrol pemerintah melalui ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai umbrella
provision belum mampu mencapai tujuan pengelolaan lingkungan hidup, terwujudnya
kelestarian fungsi lingkungan hidup dan tercapainya kesejahteraan rakyat.39

38
Setiyono, Kejahatan Korporasi: Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam
Hukum Pidana Indonesia , Bayumedia Publishing, Malang, 2003, hlm. 2.
39
Ibid
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup juga telah mengakomodir mengenai asas pertanggung jawaban mutlak
atau Strict Liability pada ketentuan Pasal 88 yang menyatakan:40

“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan


B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman
serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi
tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”

Jika melihat dalam ketentuan Pasal 88 tersebut, maka akan timbul pertanyaan
apakah asas pertanggung jawaban mutlak atau Strict Liability di dalam bidang
lingkungan hidup hanya sebatas tindakan, usaha, dan/atau kegiatan menggunakan,
menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3. Lalu, bagaimana dengan tindakan, usaha,
dan/atau kegiatan yang menimbulkan ancaman serius seperti begitu banyak kasus
pembakaran hutan dan lahan. Dalam Putusan Tinggi Palembang Nomor
51/Pdt/2016/Pt.Plg telah membuktikan bahwa penerapan asas strict liability ini tidak
hanya terhadap kasus Limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3), namun dalam putusan a
quo memberlakukan penerapan asas pertanggung jawaban mutlak atau strict liability
terhadap peristiwa yang menimbulkan ancaman serius yakni peristiwa pembakaran hutan
dan lahan yang seperti yang terjadi di areal konsesi PT. Bumi Mekar Hijau.41

Dalam kasus tersebut, nyatalah bahwa kebakaran hutan dan lahan telah
mengakibatkan banyak korban jiwa dari asap kebakaran hutan dan lahan yang terjadi
serta menimbulkan keresahan masyarakat. Tidak hanya itu, areal yang terbakar juga
berpotensi tidak dapat dimaksimalkan atau bahkan dipergunakan sebagaimana
peruntukannya karena terbakarnya lahan gambut dan vegetasi yang ada diatasnya
sehingga dapat menurunkan tingkat pelestarian lingkungan hidup serta menimbulkan
ancaman serius dalam lingkungan maupun masyarakat yang berada disekitarnya. Melihat
kondisi tersebut, maka perlu dipahami lebih dalam lagi bagaimana penerapan asas Strict
Liability ini dalam kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang
menimbulkan ancaman serius seperti halnya kasus pembakaran hutan dan lahan.42

2. STRUKTUR
Struktur hukum atau legal structure yang merupakan institusionalisasi ke dalam
entitas-entitas hukum, seperti struktur pengadilan tingkat pertama, pengadilan tingkat
banding, dan pengadilan tingkat kasasai, jumlah hakim serta integrated justice system.

40
Lihat Ketentuan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
41
Muhammad Ainul Syamsu, Pergeseran Turut Serta Melakukan dalam Ajaran Penyertaan, Kencana
Prenadamedia Group, Jakarta, 2013, hlm. 18.
42
Ibid
Friedman menegaskan bahwa hukum memiliki elemen pertama dari sistem hukum adalah
struktur hukum, tatanan kelembagaan, dan kinerja lembaga.43
Penegakkan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan
hukum menjadi kenyataan. Yang disebut keinginan hukum disini tidak lain adalah
pikiran-pikiran badan pembuat Undang-Undang yang dirumuskan dalam peraturan
hukum. Peraturan hukum itu. Perumusan pemikiran pembuat hukum yang dituangkan
dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu
dijalankan. Penegakan hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia.
Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum
dapat berlangsung secara normal, damai tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran
hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar harus ditegakkan. Melalui penegakan
hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan.44
Oleh karena itu, penegak hukum harus dapat menghindarkan diri dari kepentingan
pribadi dan hawa nafsunya, serta mempunyai kepekaan moral dan hati nurani dalam
menyelesaikan suatu perkara. Sejarah perjalanan bangsa Indonesia mencatat bahwa upaya
penegakan hukum telah dihambat oleh mereka yang terindikasi melakukan perbuatan
melanggar hukum dengan mencerabut moral dan rasa keadilan dari hukum itu sendiri.
Hukum telah kehilangan nilai moral dan rasa keadilan yang seharusnya menjadi ruh dari
hukum. Ruh dari hukum yang berupa moral dan keadilan telah berbelok ke arah formal
prosedural. Banyak kasus hukum yang terjadi tanpa penegakan hukum yang berkeadilan
karena secara formal prosedural kasus hukumnya belum terbukti. Mereka yang
melakukan pelanggaran moral dan etika merasa bahwa secara formal prosedural tidak ada
persoalan. 45
Penegakan hukum yang diskriminatif menjadikan hukum di negeri ini persis
seperti yang dideskripsikan Plato bahwa hukum adalah jaring laba-laba yang hanya
mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat (laws
are spider webs, they hold the weak and delicated who are caught in their meshes but are
torn in pieces by the rich and powerful). Buramnya wajah hukum merupakan anak
kandung penegakan hukum (law enforcement) yang stagnan. Kalaupun hukum telah
dicoba ditegakkan maka penegakannya yang diskriminatif. 46
Kebakaran lahan dan hutan yang terjadi akhir-akhir ini di beberapa wilayah
Indonesia telah menjadi perhatian serius baik nasional maupun internasional. Dampak
kebakaran tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Indonesia tapi juga beberapa Negara
tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Berdasarkan pantauan satelit NASA yang ada
561 titik api yang tersebar di 18 provinsi seluruh Indonesia. Luas kerusakan hutan akibat
kebakaran, perambahan, pembalakan liar sepanjang 2014-2015 mencapai 10,5 juta Ha.

43
Barda Nawawi Arief, Kapita selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm 10
44
Ibid
45
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang,
2002, hlm 11
46
Prasetyo, Teguh, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Nusa Media, Bandung, 2010, hlm 77
Selain itu, lebih dari 60.000 orang menderita infeksi saluran pernafasan atas (ISPA).
Bencana asap ini bukan yangpertama kali, mestinya pemerintah bisa menjadikan
pembelajaran dari bencana sebelumnya. Hal ini menunjukan lemahnya kapasitas
pemerintah dalam mengelola sumber daya alam. Selain itu, tidak adanya review dan audit
perizinan terutama pada lahan gambut yang selama ini terjadi proses pengeringan oleh
konsesi perusahan menjadi salah satu faktor utama penyebab bencana ini terjadi.
Kejadian ini akan terus berulang ditahuntahun mendatang apabila penegakan hukum
terhadap pelaku pembakaran masih lemah dan tidak menimbulkan efek jera. Pemerintah
berkewajiban menjamin hak warga negaranya dalam mendapatkan layanan lingkungan
yang sehat. 47
Beberapa putusan pengadilan menunjukkan bahwa hukum yang diputuskan tidak
berkeadilan seperti berikut:
a. Putusan Pengadilan Negeri Palembang
Pengadilan Negeri Palembang, Sumatera Selatan, menjadi tenar. Prestasinya
menolak gugatan perdata pemerintah senilai Rp7,8 triliun terhadap PT Bumi Mekar
Hijau (BMH) akhir Desember lalu, jadi pembicaraan dari tingkat menteri sampai
masyarakat kecil. Putusan Pengadilan Negeri Palembang 30 Desember 2015 yang
menolak gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ke
PT. Bumi Mekar Hijau (BMH), anak perusahaan Asia Pulp and Paper (APP) hakim
tidak berpihak kepada rakyat yang terkena dampak kebakaran hutan.17 Pemerintah,
diwakili Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ingin menegakkan
pasal Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal dan mendapatkan kebakaran hutan hidup yang baik dan
sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” KLHK menduga perusahaan
tersebut sengaja melakukan pembakaran dalam membuka lahan. Gugatan itu
ringkasnya berbunyi “perbuatan melawan hukum”, karena membuka lahan dengan
cara membakar, dan karena tidak lengkapnya sarana penanggulangan kebakaran,
menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan kebakaran lingkungan hidup, sehingga
menimbulkan kerugian. Pasal 69 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, jelas melarang pembukaan lahan
dengan cara membakar. Karenanya BMH dituntut membayar ganti rugi material
Rp2,6 triliun dan biaya pemulihan kebakaran hutan Rp5,6 triliun. Namun semua dalil
gugatan KLHK dimentahkan oleh majelis hakim. Dalam pertimbangan keputusan,
majelis hakim yang diketuai Parlas Nababan, dengan anggota Kartidjo dan Eli Warti,
antara lain menyebut: Pertama, benar telah terjadi kebakaran hutan di lahan BMH,
tetapi kebakaran tersebut tidaklah menimbulkan kerugian ekologi atau kerusakan
kebakaran hutan. Tidak ada kausalitas (sebab-akibat) antara kebakaran hutan dan
pembukaan lahan, sehingga kesengajaan melakukan pembakaran tidak terbukti.

47
Aditjonoro, George Junus, Kebohongan-Kebohongan Negara, Prihal Kondisi Obyektif Lingkungan
Hidup Di Nusantara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2016, hlm 12
Kedua, Dari hasil laboratorium diketahui, tidak ada indikasi tanaman rusak karena
setelah lahan terbakar, tanaman akasia masih dapat tumbuh dengan baik.48
Bila dicermati secara lengkap putusan majelis hakim, memang ada dua faktor
yang menjadi penyebab kandasnya gugatan tersebut. Pertama, lemahnya gugatan.
Misalnya, kesengajaan membakar lahan tak bisa dibuktikan. Juga, soal pencemaran
kebakaran hutan, hanya menyoal soal fungsi lahan, tak menyinggung pencemaran
udara akibat asap. Faktor lainnya, majelis hakim juga terkesan tak punya kepekaan
terhadap isu kebakaran hutan. Misalnya, saat sidang pemeriksaaan lapangan (1-2
Desember 2015), hakim melihat sendiri bahwa dalam konsesi BMH terjadi kebakaran
lagi pada 2015. Kebakaran yang berulang di lahan yang sama tak menjadi
pertimbangan putusan. Hal yang lain soal implementasi UndangUndang No. 32/2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Kebakaran hutan Hidup. Hakim sebenarnya
bisa mengartikan pasal 88 UU ini dengan: Pemilik izin harus bertanggung jawab
mutlak (strict liability) terhadap lahannya.49
Meski doktrin ini memungkinkan pelaku membela diri, namun syaratnya tak
mudah. Regulasi lingkungan hidup di Indonesia, memang sering dituding tidak
komprehensif. Padahal sesungguhnya persoalannya bukan pada regulasi, tapi lebih
pada penegakan hukumnya. Tak hanya di pengadilan tentunya, tapi sejak pemberian
izin, pengawasan, sampai penegakan hukum administrasi oleh KLHK. Apa pun,
keputusan majelis hakim PN Palembang ini harus menjadi titik balik keberpihakan
semua pihak terhadap kebakaran hutan. Kebakaran hutan di Indonesia, adalah tragedi
kebakaran hutan terbesar dan berulang setiap tahun. Asap yang dihasilkan juga bagian
dari aib Indonesia dalam pergaulan internasional. Kebakaran hutan Juni hingga
Oktober 2015, setidaknya sudah menghanguskan lebih dari 2,6 juta hektare lahan. Ini
setara dengan empat kali lebih luas dari Pulau Bali. Kerugiannya mencapai USD16,1
miliar. Jika tiap dolar dihitung Rp14 ribu, kerugian ini setara Rp225,4 triliun, alias
sama dengan 1,9 persen PDB Indonesia. Kekecewaan akan putusan tersebut
disuarakan aktivis lingkungan hidup. Putusan Pengadilan Negeri Palembang dinilai
sebagai “preseden buruk,” dan merupakan kegagalan lain untuk meminta keadilan
bagi korban kabut asap.50
Oleh karena itu, hukum yang dibentuk selain harus menampung aspirasi
masyarakat juga harus memperhatikan moral, etika, dan keadilan sehingga formalitas
hukum merupakan wadah dari nilai-nilai moral, etika, dan keadilan. Hukum yang
demikian itu yang dapat diimplementasikan oleh aparat penegak hukum dalam
menyelesaikan suatu perkara. Faktor struktur hukum ini mempunyai peran yang sangat
penting, karena orang sering berpikiran bahwa meskipun substansi hukumnya tidak
sempurna, akan tetapi apabila struktur hukum atau aparat penegak hukum jujur, adil, dan
mempunyai integritas yang tinggi, maka hukum yang berperikemanusiaan dan
48
Tempo, Hukum Pembakaran Hutan, 31 Januari 2016. hlm. 64-65
49
Ibid
50
Tempo, Hukum Pembakaran Hutan, 31 Januari 2016. hlm. 65-67
berkeadilan tetap dapat ditegakkan. Tuntutan terhadap integritas aparat penegak hukum
inilah yang kemudian melahirkan teori hukum progresif oleh Prof Satjipto Rahardjo dan
teori hukum integratif oleh Prof. Romli Atmasasmita.51

3. BUDAYA HUKUM
Setiap masyarakat, negara dan komunitas mempunyai budaya hukum sendiri yang
dipengaruhi nilai-nilai budaya yang hidup dimasyrakat baik itu sukusuku atau adat
maupun pengaruh agama. Melihat kenyataan yang demikian, para penegak hukum
semestinya tidak boleh hanya mengedepankan aspek hukum formil semata. Dalam
praktik kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, secara mendasar (grounded
dogmatic) dimensi kultur seyogianya mendahului dimensi lainnya, karena dalam dimensi
budaya itu tersimpan seperangkat nilai (value system). Selanjutnya sistem nilai ini
menjadi dasar perumusan kebijakan (policy) dan kemudian disusul dengan pembuatan
hukum (law making) sebagai rambu-rambu yuridis dan code of conduct dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari, yang diharapkan akan mencerminkan nilai-nilai luhur yang
dimiliki oleh bangsa yang bersangkutan. Dari ketiga unsur pembentuk sistem hukum
menurut Friedman, kultur hukumlah (legal culture) yang mendahului dua unsur lainnya.52
Dari ketentuan Pasal 28 H ayat (1), Pasal 33 ayat (3), (4) dan (5) UUD 1945,
terdapat 5 hal penting yang menjadi kebijakandalam meningkatkan budaya hukum negara
dalam pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam:53
a. Pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam harus diletakkan
dalam kerangka pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi setiap
warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dengan kata lain
hak asasi atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dikorbankan
akibat pelaksanaan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam;
b. Pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam merupakan
tanggung jawab negara, di mana melalui hak menguasai negara, negara
membuat aturan-aturan dan kebijakan pemanfaatan lingkungan dan sumber
daya alam;
c. Kesejahteraan rakyat menjadi dasar filosofis dan sosiologis bagi segala
aktivitas dan kegiatan pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber
daya alam dipergunakan bagi kesejahteraan rakyat;
d. Pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam merupakan
sarana untuk mencapai pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan
hidup, dalam arti sasaran pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan
sumber daya alam tidak saja mencakup kesejahteraan rakyat, melainkan juga
aspek keberlanjutan lingkungan hidup dan kemajuan ekonomi nasional;

51
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Kencana Prenada Media Group, Semarang, hlm 52
52
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 33
53
Asdak, Chay, Kajian Lingkungan Hidup Strategis: Jalan Menuju Pembangunan Berkelanjutan, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 2012, hlm 15
e. Adanya pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai pengelolaan
lingkungan hidup dengan undang-undang. UUD 1945 menyatakan bahwa
lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak
konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup (UUPLH) sebagai pengganti UU No. 23 Tahun 1997 membawa
perubahan mendasar dalam pengaturan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.
Karena dilihat dari judul UUPLH 2009 adanya penekanan pada upaya perlindungan
lindungan hidup yang diikuti dengan kata pengelolaan lingkungan hidup. Padahal dari
segi kaidah bahasa, dalam kata pengelolaan telah termasuk didalamnya kegiatan atau
aktivitas perlindungan. Dengan adanya penekanan pada upaya perlindungan, di samping
kata pengelolaan lingkungan hidup, UU 32 Tahun 2009 memberikan perhatian serius
pada kaidah-kaidah pengaturan yang bertujuan memberikan jaminan bagi terwujudnya
pembangunan berkelanjutan dan memastikan lingkungan hidup dapat terlindungi dari
usaha atau kegiatan yang menimbulkan kerusakan atau pencemaran lingkungan hidup.54

Tetapi bila dibandingkan setiap putusan hakim sebagai sebuah struktur penegakan
dalam kaitannya untuk penguatan budaya hukum perlindungan dan pegelolaan
lingkungan hidup maka untuk kasus pencemaran dan pembakaran hutan. Maka menurut
penulis masyarakat pasti sangat kecewa dengan putusan-putusan hakim, korporasi
sepertinya sangat kebal hukum. Sementara masyarakat kecil menjadi pihak yang terus
sebagai korban kebijakan. Untuk itu, perlu adanya review peradilan oleh pihak yang
berkewenangan yang dalam hal ini seperti Pengadilan Tinggi dan sangat penting
pemerintah menyiapkan hakim-hakim yang paham benar dengan substansi peradilan
lingkungan hidup, sehingga keputusan-keputusan yang diambil independen dan
berkeadilan.

C. KEPASTIAN HUKUM
“Tinjauan Kepastian Hukum Terhadap Ketentuan Pasal 88 Juncto Pasal 119
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.”
Kepastian hukum merupakan jaminan mengenai hukum yang berisi keadilan.
Norma-norma yang memajukan keadilan harus sungguh-sungguh berfungsi sebagi
peraturan yang ditaati. Menurut Gustav Radbruch keadilan dan kepastian hukum
merupakan bagian-bagian yang tetap dari hukum. Beliau berpendapat bahwa keadilan
dan kepastian hukum harus diperhatikan, kepastian hukum harus dijaga demi keamanan
dan ketertiban suatu negara. Akhirnya hukum positif harus selalu ditaati. Berdasarkan
teori kepastian hukum dan nilai yang ingin dicapai yaitu nilai keadilan dan kebahagiaan.
Herlien Budiono mengatakan bahwa kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat

54
Ibid
dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai
kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat dijadikan sebagai pedoman perilaku
bagi semua orang. Apeldoorn mengatakan bahwa kepastian hukum memiliki dua segi
yaitu dapat ditentukannya hukum dalam hal yang konkret dan keamanan hukum. Hal ini
berarti pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui apa yang menjadi hukum dalam
suatu hal tertentu sebelum ia memulai perkara dan perlindungan bagi para pihak dalam
kesewenangan hakim.55
Dalam penegakan hukum pidana, baik materiil maupun formil, para pihak yang
terkait perlu untuk memperhatikan kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan
(zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechtigkeit). Pengaturan yang terdapat di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana merupakan kaedah-kaedah umum karena diatur di dalam
suatu undang-undang. Sebagai kaedah umum, hal-hal yang diatur di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana tidak diajukan kepada orang-orang atau pihak-pihak
tertentu, akan tetapi kepada siapa saja yang dikenai perumusan kaedah-kaedah umum.
Kepastian hukum juga merupahan hal yang sangat penting dalam hukum. Setelah
keadilan hukum tercapai maka hal yang selanjutnya harus terpenuhi adalah kepastian
hukum. Tanpa adanya kepastian hukum masyarakat tidak pernah mengerti apakah
perbuatan yang akan masyarakat perbuat benar atau salah dan tanpa adanya suatu
kepastian hukum akan menimbulkan berbagai permasalahan yaitu timbulnya suatu
keresahan dalam masyarakat. Dengan adanya suatu kepastian hukum maka masyarakat
memperoleh perlindungan dari tindakan yang sewenang-wenang dari berbagai aparat
penegak hukum dalam menjalankan tugasnya yang ada dalam masyarakat. Kepastian
hukum menjadi tolak ukur dalam kejelasan hak dan kewajiban mereka di dalam suatu
hukum. Kepastian hukum harus dapat mengedepankan pembuktian sehingga hukum
tersebut dapat di pertanggungjawabkan.56
Kepastian hukum menurut Jan Michiel Otto mendefenisikan sebagai
kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu:57
a. Tersedia aturan-aturan yang jelas (jernih), konsisten dan mudah diperoleh,
diterbitkan oleh dan diakui karena (kekuasaan) nagara.
b. Instansi-instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan-aturan hukum
tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya.
c. Warga secara prinsipil menyesuaikan prilaku mereka terhadap aturanaturan
tersebut.
d. Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpikir menerapkan aturan-
aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan
sengketa hukum.
e. Keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.

55
Ibid
56
Van Apeldoorn, L.J., Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, hlm 77
57
Jan Michael Otto, Kepastian Hukum di Negara Berkembang, Terjemahan Tristam Moeliono, Komisi
Hukum Nasional Jakarta, hlm 22
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menimbulkan dampak negatif
diantaranya polusi udara hasil dari pembakaran hutan dan lahan. Salah satu provinsi di
Indonesia yang mengalami permasalahan polusi udara dari kebakaran hutan dan lahan
adalah provinsi Kalimantan Tengah. Akibat dari kebakran hutan dan lahan tersebut
menimbulkan asap yang menyebabkan kerugian bagi masyarakat baik materil maupun
immateril. Data Posko Karhutla provinsi Kalimantan Tengah dan Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika, terdapat beberapa daerah krisis yang terkepung asap dengan
jarak pandang (visibility) di bawah 500 meter diantaranya adalalah kota Palangkaraya,
Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Kapuas, Kabupaten Pulang Pisau dan
Kabupaten Kotawaringin Barat. Kabut asap telah mengakibatkan Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) di 14 (empat belas) Kabupaten/kota dengan jumlah kasus sekitar
11.751 (sebelas ribu tujuh ratus lima puluh satu) kasus di bulan Agustus 2015, sekitar
23795 kasus di bulan September 2015 dan sekitar 13.949.58
Pemaparan di atas menggambarkan kerusakan lingkungan hidup di Indonesia
semakin hari semakin memperhatinkan, bahkan telah membahayakan kehidupan
manusia. Padahal Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut dalam konvensi
Stockholm di swedia 1972 yang telah berkomitmen melakukan pembangunan
berwawasan. Oleh karenanya diperlukan konsep yang mampu menyeimbangkan konsep
lingkungan tersebut. Filosofi lahirnya Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 1997 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakn hasil dari konvensi tersebut. Hukum
Lingkungan dibentuk tidak untuk menghalangi ataupun menghambat terjadinya
pembangunan maupun industrilisasi di daerah maupun di kota, ataupun mengabaikan
kenyataan bahwa sumber daya alam untuk dimanfaatkan. Sesungguhnya hukum
lingkungan mendasarkan dirinya pada upaya sinergis pemanfaatan alam, pembangunan
dan penataan lingkungan.59
Ketentuan tersebut membawa konsekuensi sebagai titik awal ketetapan
konstitusional dalam sistem kenegaraan Indonesia yang menjadi dasar acuan untuk
perlindungan terhadap lingkungan hidup di Indonesia. Pemerintah pun mulai mengambil
langkah dengan membuat kebijakan untuk penegakan hukum lingkungan hidup ini.
Dimulai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang kemudian diubah dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan
diubah kembali dengan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

58
Endarmiyati, Zonasi Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan Beserta Strategi Pencegahannya,
Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta 2016, hlm 22
59
Ibid
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup:60
“Pengertian perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya
sistematis dan terpadu yang dapat dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup
dan mencegah terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi
perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan
hukum”
Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan dan
pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut dikembangkannya
berbagai perangkat kebijakan dan program serta kegiatan yang didukung oleh sistem
pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem tersebut mencakup kemantapan
kelembagaan, sumberdaya manusia dan kemitraan lingkungan, disamping perangkat
hukum dan perundangan, tersedianya informasi serta pendanaan. Sifat keterkaitan
(interdependensi) dan keseluruhan (holistik) dari esensi lingkungan telah membawa
konsekuensi bahwa pengelolaan lingkungan, termasuk sistem pendukungnya tidak dapat
berdiri sendiri, akan tetapi terintegrasikan dan menjadi roh serta bersenyawa dengan
seluruh pelaksanaan pembangunan sektor dan daerah.61
1. SUBSTANSI
Istilah tindak pidana sering dikenal dengan istilah strafbaar feit. Simons dan
P.A.F Lamintang merumuskan strafbaar feit sebagai suatu tindakan melawan hukum
yang telah dilakukan (sengaja/tidak sengaja) oleh seseorang yang dapat dipertanggung
jawabkan atas tindakannya dan yang oleh undangundang telah dinyatakan sebagai suatu
tindakan yang dapat dihukum.62 Prof. Mulyatno, SH menerjemahkan istilah strafbaar feit
dengan perbuatan pidana, yang berarti adanya suatu kelakuan manusia yang
menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum dimana pelakunya dapat dikenakan
sanksi pidana. Dalam ilmu hukum lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 97
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, merumuskan bahwa tindak pidana dalam bidang lingkungan hidup
termasuk dalam kategori kejahatan. Terkait dengan tindak pidana lingkungan yang
dinyatakan sebagai kejahatan, maka perbuatan tersebut dipandang secara esensial
bertentangan dengan tertib hukum atau perbuatan yang bertentangan atau membahayakan
kepentingan hukum. Kejahatan yang dimaksud sebagai tindak pidana lingkungan dapat
dikategorikan menjadi 2 (dua) yakni pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.63

60
Lihat Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
61
Dwiyanto Agus, Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusif dan Kolaboratif, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, hlm 33
62
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm 66
63
Dalam hal ini, Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa sebenarnya hampir tidak ada perbedaan antara
kesengajaan yang bersifat tujuan (opzet als oogmerk) dan kesengajaan dengan keinsyafan kepastian (opzet bij
zekerheids-bewustzijn). Lihat ibid., hlm. 69.
Perusakan lingkungan hidup dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 16 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
yang menyatakan: “Tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak
langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga
melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.”

Pengintergrasian prinsip pertanggung jawaban mutlak atau strict liability ke


dalam sistem hukum positif di Indonesia telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketentuan Pasal
88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup merupakan suatu ketentuan pasal yang mengatur secara jelas
mengenai dianutnya pertanggung jawaban mutlak atau strict liability dalam undang-
undang lingkungan hidup. Namun, klausula ancaman serius yang tertulis dalam
Ketentuan Pasal 88 harus dapat dipahami dan diterapkan secara bijak serta arif oleh
penegak hukum agar pasal tersebut memiliki fungsi antisipasif (pencegahan) maupun
represif bagi pelaku perusakan dan/pencemaran lingkungan hidup.64

Ketentuan Pasal 88 telah mengakomodir asas strict liability dan tidak hanya
sebatas kasus limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3), sebagaimana tertulis: “Setiap
orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,
menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman
serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi
tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”

Lebih lanjut, dalam perkara lingkungan hidup baik melalui penyelesaian sengketa
tuntutan pidana maupun perdata, ketentuan Peraturan Ketua Mahkamah Agung Nomor
36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan
Hidup ini dapat dijadikan pedoman. Meskipun dalam ketentuan Pasal 88 Undang
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan
Lingkungan Hidup menekankan penyelesaiannya ke ranah perdata, namun tidak menutup
kemungkinan apabila masyarakat menuntut pelaku-pelaku usaha atau korporasi ini ke
ranah pidana dengan menggunakan pertanggung jawaban ini. Karena disisi lain,
perbuatan (actus reus) pidananya tidak dapat dilepaskan dari perkara yang
bersangkutan.65
Peraturan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang
Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup telah memberi
kontribusi besar dalam penanganan perkara lingkungan hidup di Indonesia. Asas
pertanggung jawaban mutlak atau strict liability sangat penting, mengingat suatu
peristiwa pidana yang mengancam kelangsungan hidup masyarakat atau ketertiban umum
64
Fauzi, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Teori dan Aplikasi. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2010, hlm 22
65
Lihat ketentuan Peraturan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/SK/II/2013
dan pembuktian terhadap perkara tersebut termasuk sulit untuk diketahui keakuratannya
sebab membutuhkan pembuktian yang ilmiah (scientific evidence) dan mengesampingkan
unsur kesalahan. Dengan kata lain, apabila korporasi sebagai perusahaan yang beroperasi
disekitar areal konsesinya, maka bertanggung jawab secara mutlak atas pencegahan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan maupun setelah peristiwa pidana tersebut
terjadi. Hadirnya peraturan ini, dapat dijadikan pedoman oleh Majelis Hakim yang
memeriksa perkara lingkungan hidup dalam penerapan asas pertanggung jawaban mutlak
atau strict liability.66

Dalam UUPPLH, konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dituangkan


dalam Pasal 116 hingga Pasal 119. Pasal 116 UUPPLH mengatur mengenai kriteria bagi
lahirnya delik pertanggungjawaban korporasi dan siapa-siapa saja yang harus
bertanggungjawab. Jika melihat rumusan pasalnya, pertanggungjawaban korporasi timbul
dalam salah satu kondisi berikut:67

1. Tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh badan usaha, atau atas nama
badan usaha; atau
2. Oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan
lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha.

Selanjutnya, akan timbul pertanyaan menarik mengenai siapakah yang harus


bertanggungjawab ketika sebuah tindak pidana lingkungan hidup dinyatakan telah
dilakukan oleh suatu korporasi? Dalam hal ini, pasal 116 ayat (1) UUPPLH memang
mengatur bahwa tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:68

a. Badan Usaha dan/atau


b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau
Orang yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana tersebut.

Namun, penerapan konsep pertanggungjawaban dalam Pasal 116 ayat (1) tersebut
juga harus memperhatikan ketentuan Pasal 118 UUPPLH yang mengatur bahwa
“Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a,
sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang
berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan selaku pelaku fungsional”.

Terkait hal ini, Rahmadi berpendapat bahwa pada dasarnya, tanpa rumusan Pasal
118 UUPPLH pun, pengurus tetap dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana atas
dasar kriteria “orang yang memberi perintah atau orang yang bertindak sebagai
66
Ibid
67
Lihat Pasal 116 hingga Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
68
Lihat Pasal 116 hingga Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
pemimpin dalam tindak pidana” sebagaimana telah dirumuskan dalam Pasal 116 ayat (1)
huruf b UUPPLH. Namun, tetap terdapat perbedaan dalam penegakannya, di mana
konstruksi Pasal 116 ayat (1) UUPPLH mengharuskan penyidik dan penuntut umum
untuk membuktikan bahwa penguruslah yang telah bertindak sebagai orang yang
memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana, sehingga
memerlukan kerja keras penyidik dan penuntut umum untuk membuktikan peran apa
yang diemban oleh para Pengurus Korporasi dalam tindak pidana lingkungan yang
dilakukan oleh Korporasi.69
Lebih lanjut, Ia berpendapat bahwa jika ketentuan Pasal 116 ayat (1) huruf b
UUPPLH dikaitkan dengan Pasal 118 UUPPLH dan penjelasannya, maka pengurus
karena jabatannya secara serta merta atau otomatis memikul pertanggungjawaban pidana.
Hal ini dapat dilihat dari penjelasan Pasal 118 UUPPLH yang mengatur bahwa “Tuntutan
pidana dikenakan terhadap pemimpin badan usaha dan badan hukum karena tindak
pidana badan usaha dan badan hukum adalah tindak pidana fungsional sehingga pidana
dikenakan dan sanksi dijatuhkan kepada mereka yang memiliki kewenangan terhadap
pelaku fisik dan menerima tindakan pelaku fisik tersebut.” Penjelasan tersebut semakin
memperkuat interpretasi bahwa jika badan usaha melakukan pelanggaran pidana
lingkungan, maka tuntutan dan hukumannya dikenakan terhadap pimpinan badan usaha
atas dasar pimpinan perusahaan memiliki kewenangan terhadap pelaku fisik dan
menerima tindakan tersebut.70
Adapun pengertian frasa ‘menerima tindakan tersebut’ adalah ‘menyetujui,
membiarkan, atau tidak cukup melakukan pengawasan terhadap tindakan pelaku fisik,
atau memiliki kebijakan yang memungkinkan terjadinya tindak pidana tersebut’. Hal ini
berarti, apabila pengurus perusahaan yang mengetahui dan membiarkan karyawan
perusahaan melepas pembuangan limbah tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu,
dianggap melakukan tindak pidana atas nama badan usaha, sehingga dirinya harus
bertanggungjawab. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa, ketentuan tersebut dibuat untuk
memudahkan jaksa dalam melakukan penuntutan karena tidak membutuhkan pembuktian
peran para pengurus secara spesifik dalam sebuah peristiwa pidana lingkungan.71
Selain itu, Bab IV bagian Pembuktian Peraturan Ketua Mahkamah Agung Nomor
36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan
Hidup, telah memberi defenisi yang lebih jelas lagi mengenai apa yang dimaksud dengan
ancaman serius, sebagaimana tertulis yaitu: “Yang dimaksud ancaman serius adalah
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dampaknya
berpotensi tidak dapat dipulihkan kembali dan/atau komponen-komponen lingkungan
hidup yang terkena dampak sangat luas, seperti kesehatan manusia, air permukaan, air
bawah tanah, tanah, udara, tumbuhan dan hewan.”72

69
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hlm. 246-247.
70
Ibid
71
Andri Gunawan Wibisana, Op.Cit., hlm. 34.
Namun, perlu diperhatikan, menurut Remmelink, pada prakteknya yang dimaksud
sebagai ‘yang memberi perintah’ atau ‘yang memimpin’ adalah para Pengurus. Seseorang
dapat dikatakan secara faktual memimpin dilakukannya tindak pidana badan usaha atau
korporasi jika ia mengetahui terjadinya tindak pidana tersebut, atau secara faktual
dikatakan ada perbuatan memimpin tindak pidana yang terjadi apabila pengurus yang
bersangkutan tidak mengambil langkah-langkah apapun untuk mencegah dilakukannya
perbuatan terlarang oleh para pegawainya, sekalipun ia berwenang untuk melakukan hal
itu dan dapat melakukan pencegahan yang dimaksud, atau bahkan secara sadar
membiarkan perbuatan terlarang itu terlaksana sekalipun ada kesempatan untuk
melakukan pencegahan atas terlaksananya perbuatan yang dilarang tersebut.73
Ketentuan tersebut lebih menjelaskan lagi bahwa yang termasuk ke dalam
kategori ancaman serius adalah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang
dampaknya tidak dapat dipulihkan kembali atau bahkan komponen lingkungan hidup
baik biotik (manusia, hewan dan tumbuhan) maupun abiotik (air, tahah dan udara) yang
terkena dampak akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sangat luas.74
Dengan demikian, Penulis melihat sebenarnya masih terdapat ketidakjelasan
apakah UUPPLH secara murni mengenal pertanggungjawaban pidana korporasi atau
tidak (lebih khusus lagi, apakah UUPPLH benar-benar mengenal korporasi sebagai
subyek hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana atau hanya
menganggap korporasi sebagai entitas artifisial yang pertanggungjawaban pidananya
justru dibebankan kepada pengurus-pengurusnya). Selain itu, Penulis juga berpendapat
bahwa apabila pembentuk undang-undang memang benar-benar ingin menggunakan
konstruksi vicarious/derivative liability dalam pembebanan pertanggungjawaban pidana
korporasi dalam UUPPLH, maka terdapat miskonsepsi dari konstruksi
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam undang- undang tersebut.
2. STRUKTUR
Penegakan hukum lingkungan merupakan mata rantai terakhir dalam siklus
pengaturan perencanaan kebijakan tentang lingkungan yang urutannya sebagai berikut:75
1) Perundang-undangan,
2) Penentuan standar,
3) Pemberian izin,
4) Penerapan,
5) Penegakan hukum.

Menurut Mertokusumo, kalau dalam penegakan hukum, yang diperhatikan hanya


kepastian hukum, maka unsur-unsur lainnya dikorbankan. Demikian pula kalau yang
72
Lihat Peraturan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman
Penanganan Perkara Lingkungan Hidup
73
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Gramedia, Jakarta, 2003, hlm. 110.
74
Ibid
75
Muslim, Aspek Hukum Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan atau Lahan.
Universitas Gadjah Mada press. Yogyakarta, 2007, hlm 22
diperhatikan hanyalah kemanfaatan, maka kepastian hukum dan keadilan dikorbankan.
Oleh karena itu dalam penegakan hukum lingkungan ketiga unsur tersebut yaitu
kepastian, kemanfaatan, dan keadilan harus dikompromikan.76

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup (UUPPLH) mengatur permasalahan lingkungan sebagai dasar
pedoman bagi aparat penegak hukum untuk menjerat pelaku tindak pidana lingkungan
dikenakan hukuman pidana sesuai aturan yang berlaku. Pasal 1 angka 16, menyatakan
definisi perusakan lingkungan hidup adalah “Tindakan orang yang menimbulkan
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan atau hayati
lingkungan hidup sehingga melampaui ktriteria baku kerusakan lingkungan hidup”.
Rumusan Pasal ini mencantumkan kalimat “tindakan orang” yang tidak ada di dalam
UUPLH sebelumnya, sehingga memberikan keleluasan aparat untuk segera menindak
bagi pelaku perusakan lingkungan baik itu perseorangan maupun kelompok (perusahaan).
Pasal 1 angka 17 juga menyatakan bahwa kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan
langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan
hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.77

Dengan demikian di dalam undang-undang ini, perbuatan yang menimbulkan


pencemaran lingkungan dan atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukan dengan
sengaja atau tidak sengaja atau kealpaan diarahkan menjadi perbuatan tindak pidana yang
dalam undang-undang ini merupakan kejahatan. Sesuai Pasal 71 ayat (1) Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan
pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan
yang ditetapkan dalam peraturan perundang undangan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup; ayat (2) menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat
mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi
teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup; ayat (3) dalam melaksanakan pengawasan, menteri, gubernur, bupati/walikota
menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional. Di
dalam Pasal 76 UUPPLH ini mengatur tentang sanksi administrasi. menteri, gubernur,
atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin
lingkungan. Sanksi administratif terdiri atas; teguran tertulis, paksaan pemerintah,
pembekuan izin lingkungan atau pencabutan izin lingkungan.78
Pasal 80 ayat (1) mengatur tentang paksaan pemerintah kepada penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan yang yang melanggar izin lingkungan berupa:79

76
Ibid
77
Andika Dodi. Hutan Bagi Ketahanan Nasional, Muhammadiah University Press, Surakarta, 2011, hlm
33
78
Ibid
79
Lihat Pasal Pasal 80 ayat (1)
a)
Penghentian sementara kegiatan produksi;
b)
Pemindahan sarana produksi;
c)
Penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
d)
Pembongkaran;
e)
Penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan
pelanggaran;
f) Penghentian sementara seluruh kegiatan;
g) Tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan
pemulihan fungsi lingkungan hidup.
Penegakan hukum melalui ranah pidana di Pengadilan akan berujung pada adanya
pemidanaan terhadap terdakwa yang terbukti melakukan tindak pidana di bidang
lingkungan hidup. Adanya penerapan pidana tambahan, memilki andil agar korporasi
dapat jera atas tindakan korporasi yang telah dilakukan oleh korporasi sendiri. 80
Sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada ketentuan Pasal 119 lebih diatur
secara khusus, yaitu: “Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini,
terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib
berupa:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c. perbaikan akibat tindak pidana;
d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.”

Mencermati ketentuan Pasal 119 tersebut,maka sudah jelas dan nyata bahwa
sanksi pidana tambahan atau tindakan tata tertib hanya dijatuhkan terhadap badan usaha.
Dengan kata lain, bahwa Pasal 119 memberi kebebasan kepada hakim yang memutuskan
perkara untuk menjatuhkan pidana tambahan atau tindakan tata tertib atau tidak terhadap
terdakwa. Diharapkan dengan adanya ketentuan Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dapat memberikan
hukuman moril terhadap badan usaha, yang tidak hanya sebatas pidana denda. Menyikapi
kasus pencemaran dan perusakan lingkungan hidup khususnya pembakaran hutan lahan
yang dampaknya mengakibatkan ancaman serius yang cukup luas bagi lingkungan hidup
itu sendiri dan makhluk hidup lainnya, maka seyogyanya Majelis Hakim yang mengadili
dan memutus perkara tidak memiliki keraguan untuk menjatuhkan pidana tambahan ini
terhadap badan usaha yang bersangkutan dengan kegiatan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup. Sebab penerapan pidana denda saja tidak mampu
memulihkan lingkungan yang sudah rusak dan berpotensi kuat untuk tidak dapat
dipulihkan kembali.81
80
Takdir Rahmadi, Op.Cit., hlm. 246.
81
Takdir Rahmadi, Op.Cit., hlm. 246.
Demikian halnya pada peristiwa pembakaran hutan dan lahan yang telah
mengakibatkan begitu banyak kerugian yang dialami baik langsung maupun tidak
langsung oleh makhluk hidup dan lingkungan hidup. Pasal 119 huruf c Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
pemberian pidana tindakan tata tertib berupa perbaikan akibat tindak pidana dapat
dijadikan salah satu solusi atas permasalahan tersebut. Meskipun tidak ada penjelasan
secara yuridis dalam ketentuan Pasal 119 mengenai apa saja perbaikan akibat tindak
pidana, namun tidak menjadi masalah untuk mengkategorikan wujud perbaikan tersebut
sepanjang mampu disampaikan secara spesifik melalui Jaksa Penuntut Umum di dalam
surat dakwaannya. Perbaikan akibat tindak pidana dapat berarti perbaikan terhadap
korban manusia, perbaikan terhadap fasilitas publik, maupun perbaikan terhadap
lingkungan itu sendiri.82

Agar dapat berlaku efektif, maka hukum dalam kegiatannya ditegakkan dengan
dukungan sanksi baik administrasi, sanksi perdata, maupun sanksi pidana. Sehingga
untuk menjamin dukungan sanksi tersebut, maka haruslah dijalin hubungan harmonisasi
dan sinkronisasi pada semua lintas kehidupan bersama, dengan menjadikan satu panduan
sebagai pedoman berkaitan mengenai bagaimana seharusnya bertindak dan diharapkan
bertindak. Salah satu cara efektivitas dalam penegakan hukum lingkungan adalah dengan
menggunakan pendekatan multi door system, yaitu penggunaan berbagai macam
peraturan perundang-undangan untuk menangani kasus terkait lingkungan hidup, karena
dengan penegakan hukum yang konsisten akan mengaktifkan juga instrumen
pencegahan.83

3. BUDAYA HUKUM
Teori Pound mengenai kepentingan-kepentingan sosial merupakan sebuah usaha
yang lebih eksplisit untuk mengembangkan suatu model hukum responsif yang mana
dalam perspektif ini, hukum yang baik seharusnya memberikan sesuatu yang lebih
daripada sekadar prosedur hukum. Hukum tersebut harus kompeten dan juga adil, hukum
seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen terhadap
tercapainya keadilan substantif.84
Setiap warga negara seharusnya dapat berpikir kritis untuk mengidentifikasi
kepentingan-kepentingan sosial ini dan melibatkan diri di dalam pencapaian kepentingan-
kepentingan tersebut. Untuk dapatnya hukum berfungsi sebagai pengayom masyarakat,
maka diperlukan faktor pendukung yaitu fasilitas yang diharapkan akan mendukung
pelaksanaan norma hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Selain dari itu,
82
Takdir Rahmadi, Op.Cit., hlm. 246.
83
Purmono Agus, Menjaga Hutan Kita, Pro-kontra Kebijakan Moratorium Hutan dan Gambut, Gramedia,
Jakarta, 2010. hlm 21
84
Roscou Pound, Pengantar Filsafat Hukum (terjemahan Mohammad Radjab), Cetakan Ketiga Bharatara
Karya Aksara, Jakarta, 2010, hlm 44
berfungsinya hukum sangat tergantung pada hubungan yang serasi antara hukum itu
sendiri (perangkat aturan hukum, aparat penegak hukum dan kesadaran masyarakat.
Kekurangan salah satu dari unsur ini akan mengakibatkan seluruh sistem hukum akan
berjalan pincang.85
Untuk melakukan suatu perlindungan dan pengelolaan maka diperlukan suatu asas.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Pasal 2 mengenai Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup:86
“Tanggung jawab negara, kelestarian dan keberlanjutan, keserasian dan
keseimbangan, keterpaduan, manfaat, kehati-hatian, keadilan, ekoregion,
keanekaragaman hayati, pencemar membayar, partisipatif, kearifan lokal, tata kelola
pemerintahan yang baik, dan otonomi daerah”
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan secara terpadu mencakup
seluruh di bidang-bidang lingkungan hidup untuk berkelanjutan fungsi lingkungan hidup.
Dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, tidak terlepas untuk
dilakukan pembangunan yang sifatnya berkelanjutan untuk mencapai kesejahteraan
rakyat. Salah satu tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana
termuat dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat dengan UUPPLH adalah
menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari
hak asasi manusia. Ada delapan hak yang diakui dalam Undang-Undang Pengelolaan
dan Pelindungan Lingkungan Hidup, yaitu:87
1. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai hak asasi manusia,
2. Hak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup,
3. Hak akses informasi
4. Hak akses partisipasi
5. Hak mengajukan usul atau keberatan terhadap rencana usaha dan atau kegiatan yang
diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup,
6. Hak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
7. Hak untuk melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan atau perusakan
lingkungan hidup.
8. Hak untuk tidak dapat dituntut secara pidana dan perdata dalam memperjuangkan hak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan, maka salah satu cara yang


diberikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dalam pasal 70 adalah dengan
mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Pasal ini menguraikan beberapa peran yang bisa dilakukan oleh masyarakat,
85
A. Manan, Aspek-aspek pengubah hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006, hlm 15
86
Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
87
Suratmo, F. Gunawan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Jakarta,
2012, hlm 23
diantaranya pengawasan sosial, memberikan saran pendapat, usul, keberatan, pengaduan
serta menyampaikan informasi dan atau laporan. Dengan demikian, secara normatif
Undang-Undang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup sudah sejalan dengan
atau telah mengadopsi Prinsip 10 Deklarasi Rio 1992 yang menekankan pentingnya peran
serta masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Lothar
Gundling, sebagaimana dirujuk dari Koesnadi Hardjasoemantri, telah mengemukakan
beberapa manfaat dari adanya peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan
hidup yaitu: memberikan informasi kepada pemerintah, meningkatkan kesediaan
masyarakat untuk menerima keputusan pemerintah, mencegah terjadinya pengajuan
gugatan oleh masyarakat dan mendemokratisasikan pengambilan keputusan. Untuk
melindungi kepentingan masyarakat, Pasal 66 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009
memberikan suatu garansi terhadap peran serta masyarakat bahwa setiap orang yang
memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut
secara pidana maupun perdata.88

D. KEMANFAATAN
“Tinjauan Kemanfaatan Terhadap Ketentuan Pasal 88 Juncto Pasal 119 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.”
Aliran Utilitarianisme mempunyai pandangan bahwa tujuan hukum adalah
memberikan kemanfaatan kepada sebanyak-banyaknya orang. Kemanfaatan di sini
diartikan sebagai kebahagiaan (happines), sehingga penilaian terhadap baik-buruk atau
adil-tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan
kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Dengan demikian berarti bahwa setiap
penyusunan produk hukum (peraturan perundang-undangan) seharusnya senantiasa
memperhatikan tujuan hukum yaitu untuk memberikan kebahagiaan sebanyakbanyaknya
bagi masyarakat.
Menurut para ahli Hukum :
a. Jeremy Bentham (1748-1832)
Bentham membangun sebuah teori hukum komprehensif di atas landasan yang
sudah diletakkan, tentang asas manfaat. Bentham merupakan tokoh radikal
dan pejuang yang gigih untuk hukum yang dikodifikasikan, dan untuk
merombak hukum yang baginya merupakan sesuatu yang kacau. Ia
merupakan pencetus sekaligus pemimpin aliran kemanfaatan. Menurutnya
hakikat kebahagiaan adalah kenikmatan dan kehidupan yang bebas dari
88
Ibid
kesengsaraan. Bentham menyebutkan bahwa “The aim of law is The Greatest
Happines for the greatest number” Dengan kata-kata Bentham sendiri, inti
filsafat disimpulkan sebagai berikut: Alam telah menempatkan manusia di
bawah kekuasaan, kesenangan dan kesusahan. Karena kesenangan dan
kesusahan itu kita mempunyai gagasangagasan, semua pendapat dan semua
ketentuan dalam hidup kita dipengaruhinya. Siapa yang berniat untuk
membebaskan diri dari kekuasaan ini, tidak mengetahui apa yang ia katakan.
Tujuannya hanya untuk mencari kesenangan dan menghindari kesusahan
perasaan-perasaan yang selalu ada dan tak tertahankan ini seharusnya menjadi
pokok studi para moralis dan pembuat undang-undang. Prinsip kegunaan
menempatkan tiap sesuatu di bawah kekuasaan dua hal ini.89
b. John Stuar Mill (1806-1873)
Penganut aliran Utilitarianisme selanjutnya adalah John Stuar Mill. Sejalan
dengan pemikiran Bentham, Mill memiliki pendapat bahwa suatu perbuatan
hendaknya bertujuan untuk mencapai sebanyak mungkin kebahagian. Menurut
Mill, keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas
kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri maupun oleh siapa saja yang
mendapatkan simpati dari kita, sehingga hakikat keadilan mencakup semua
persyaratan moral yang hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.Mill setuju
dengan Bentham bahwa suatu tindakan hendaklah ditujukan kepada
pencapaian kebahagiaan, sebaliknya suatu tindakan adalah salah apabila
menghasilkan sesuatu yang merupakan kebalikan dari kebahagiaan. Lebih
lanjut, Mill menyatakan bahwa standar keadilan hendaknya didasarkan pada
kegunaannya, akan tetapi bahwa asal-usul kesadaran akan keadilan itu tidak
diketemukan pada kegunaan, melainkan pada dua hal yaitu rangsangan untuk
mempertahankan diri dan perasaan simpati. Menurut Mill keadilan bersumber
pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita,
baik oleh diri sendiri maupun oleh siapa saja yang mendapat simpati dari kita.
Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak
hanya atas dasar kepentingan individual, melainkan lebih luas dari itu sampai
kepada orang lain yang kita samakan dengan diri kita sendiri, sehingga
hakikat keadilan mencakup semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi
kesejahteraan umat manusia.90

1. SUBSTANSI

Faktor hukum atau peraturan yang dimaksud untuk mewujudkan perubahan sosial
adalah hukum yang progresif. Penegakan hukum progresif menekankan pada dua hal,
89
Jeremy Bentham, A Fragment on Goverment , Montague, M.A., Oxford University Press, London, 1951,
hlm 12
90
John Stuart Mill, On Liberty : Perihal Kebebasan (terjemahan oleh Alex Lenur), yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2005, hlm 12
yaitu hukum ada untuk manusia dan bukan manusia ada untuk hukum. Hukum tidak bisa
bekerja sendiri, hukum membutuhkan institusi atau manusia untuk menggerakannya.
Hukum bukan hanya urusan peraturan atau undang-undang semata, melainkan juga
mengenai peranan manusia atau perilaku manusia sebagai bagian dari perwujudan
hukum. Melibatkan peranan manusia adalah cara berhukum untuk keluar dari stagnasi
dominan yang membabi buta kepada teks undang-undang. Adapun pokok-pokok
pemikiran model hukum progresif ini dapat diuraikan sebagai berikut ini: 91

1. Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada idealnya


hukum;
2. Hukum menolak status-quo, serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai
teknologi yang tidak berhati nurani, melainkan suatu institusi yang bermoral;
3. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada
kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat manusia bahagia;
4. Hukum progresif adalah, “hukum pro rakyat dan pro keadilan”;
5. Asumsi dasar hukum progresif adalah untuk manusia, bukan sebaliknya.
berkaitan dengan hal ini, maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri,
melainkan untuk sesuatu yang lebih besar;
6. Hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law
in the making);

2. STRUKTUR
Untuk meletakkan pondasi penegakan hukum, maka pilar yang utama adalah
penegak hukum yang mampu menjalankan tugasnya dengan jujur, adil, dan
mempunyai integritas yang tinggi. Aparat penegak hukum dalam memahami dan
menjalankan aturan harus berlandaskan pada prinsip nilai-nilai kemanusiaan dan
keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Artinya aparat penegak
hukum bukan hanya menjadi corongnya Undang-undang, akan tetapi dapat
mengimplementasikan hukum sesuai dengan rasa kemanusiaan dan keadilan. Salah
satu subsistem yang perlu mendapat sorotan saat ini adalah struktur hukum (legal
structure). Hal ini dikarenakan struktur hukum memiliki pengaruh yang kuat terhadap
warna budaya hukum. Budaya hukum adalah sikap mental yang menentukan
bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau bahkan disalahgunakan. Struktur hukum
yang tidak mampu menggerakkan sistem hukum akan menciptakan ketidakpatuhan
(disobedience) terhadap hukum. Dengan demikian struktur hukum yang
menyalahgunakan hukum akan melahirkan budaya menelikung dan
menyalahgunakan hukum. Berjalannya struktur hukum sangat bergantung pada
pelaksananya yaitu aparatur penegak hukum. 92

91
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan(Judicialprudence); Termasuk
Interprestasi UndangUndang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm 22
92
Ibid
Faktor-faktor yang memengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto.
Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum bergantung pada faktor-faktor:
a. faktor hukumnya sendiri, yang dibatasi pada undang-undang saja;
b. faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum;
c. faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
d. faktor masyarakat yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan;
e. faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Beberapa putusan pengadilan menunjukkan bahwa hukum yang diputuskan tidak
bernilai kemanfaatan dalam penegakan hukum lingkungan seperti berikut:
a. Putusan Pengadilan Negeri Bengkalis
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengajukan gugatan
perbuatan melawan hukum terhadap PT. NSP sehubungan dengan peristiwa bencana
kebakaran yang menimpa lahan konsesi IUPHHBK HTI (Hutan Tanaman Industri)
dan tanaman milik PT. NSP yang terjadi pada akhir Januari 2014 sampai dengan
Maret 2014. KLKH menggugat secara perdata PT. Nasional Sago Prima yang
pemegang sahamnya adalah PT. Sampoerna Agro TBK lagi-lagi hakim tidak
berpihak kepada rasa keadilan bagi rakyat yang terkena dampak kebakaran hutan.
Dari tuntutan perdata KLHK sebesar Rp. 1,079 triliun dengan rincian membayar ganti
kerugian kebakaran hutan hidup Rp 319,16 miliar dan biaya pemulihan kebakaran
hutan sebesar Rp 753,74 miliar. Majelis Hakim yang dipimpin Sarah Loui
menghukum PT. Nasional Sago Prima dengan denda hanya Rp. 2 Miliar berdasarkan
Putusan Pengadilan.93
b. Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan
Terdakwa karhutla divonis bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Pelalawan – Riau
dalam sidang putusan Kamis, 9 Juni 2016. Manajer Operasional PT. Langgam Inti
Hibrido (LIH) Frans Katihotang divonis bebas oleh majelis hakim yang dipimpin
hakim ketua I Dewa Gede Budi Darma Asmara didampingi hakim anggota Meni
Warliah dan Ayu Amelia SH. Majelis hakim menolak tuntutan JPU yang
menyebutkan terdakwa telah melanggar primer pasal 98 UU 32 tahun 2009 tentang
lingkungan hidup. Yakni melakukan pembakaran lahan dengan unsur kesengajaan.
Kemudian, hakim juga menolak tuntutan JPU yang menyebutkan terdakwa telah
melanggar subsider pasal 99 UU 32 tahun 2009. Yakni terdakwa telah lalai dan tidak
melakukan kontrol dalam menjaga lahan yang menjadi tanggungjawabnya. Sehingga
menyebabkan terjadinya karhutla yang meluas. Di mana lahan seluas 533 hektare di
PT LIH kebun Desa Gondai Kecamatan Langgam terbakar seluas 222 hektare areal
lahan yang belum ditanam dan 311 hektare lahan yang sudah ditanami. Majelis hakim

93
Tempo, Hukum Pembakaran Hutan, 31 Januari 2016. hlm. 68-69
menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah melakukan pidana serta kelalaian
dalam kasus karhutla di kebun Godai pada Senin 27 Juli 2015 lalu. Sehingga majelis
hakim memberikan vonis bebas terhadap terdakwa dari seluruh tuntutan JPU.
Vonis bebas Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pelalawan atas terdakwa Manajer
Operasional PT Langgam Inti Hibrindo (LIH) Frans Katihokang, dalam kasus
kebakaran lahan dan hutan di Provinsi Riau sangat mengecewakan rakyat. Serta ini
menjadi preseden sangat buruk untuk pengadilan. Penegakan hukum yang rasional
menjadi sangat penting di tengah situasi kritisnya lahan gambut yang di akibatkan
kebakaran di areal perusahaan seperti sekarang ini. Mestinya hukum jangan hanya
difungsikan ke rakyat dan petani kecil, tapi juga harus tajam terhadap korporasi
seperti PT LIH. Masih sangat segar di ingatan, ketika Pengadilan yang sama
Pengadilan Negeri Pelalawan memvonis bersalah seorang petani jagung di Kelurahan
Teluk Meranti Kabupaten Pelalawan tanggal 12 November 2015. Petani jagung yang
bernama Sahrizal hanya membakar 5 tumpuk sampah jagung lalu divonis hukuman
penjara 1 tahun 4 bulan, denda Rp1 Miliar rupiah subsider 3 bulan kurungan.94
Jika dibandingkan kedua kasus seperti ini masyarakat pasti sangat kecewa dengan
putusan-putusan hakim, korporasi sepertinya sangat kebal hukum. Sementara
masyarakat kecil menjadi pihak yang terus sebagai korban kebijakan. Untuk itu, perlu
adanya review peradilan oleh pihak yang berkewenangan yang dalam hal ini seperti
Pengadilan Tinggi Pekanbaru, dan sangat penting pemerintah menyiapkan hakim-
hakim yang paham benar dengan substansi peradilan lingkungan hidup, sehingga
keputusan-keputusan yang diambil independen dan berkeadilan.
Prof. Mardjono mengatakan bahwa penegak hukum masih belum menguasai atau
belum paham terhadap konsep pertanggungjawaban pidana korporasi. Penyebab dari
penegak hukum yang belum paham terhadap konsep pertanggungjawaban pidana
korporasi karena masih melekatnya paradigma lama (penafsiran terhadap Pasal 59
KUHP dimana subyek hukum pidana hanya manusia kodrati). Akibat dari kurang
pahamnya penegak hukum terhadap konsep pertanggungjawaban pidana korporasi
yaitu Penuntut Umum belum biasa membuat surat dakwaan kepada korporasi.95
Ketika hal ini terjadi maka akan sulit menemukan koordinasi antar penegak
hukum. Misalnya saja ketika penyidik melimpahkan berkas kepada ke Penuntut
Umum dimana subyek hukumnya adalah korporasi. Bukan hal yang tidak mungkin
berkas tersebut akan dikembalikan lagi kepada penyidik untuk diperbaiki karena
menurut Penuntut Umum subyek hukumnya bukanlah korporasi. Atau yang terjadi
malah sebaliknya, penyidik menyatakan subyek hukumnya manusia pribadi namun
menurut Penuntut Umum lebih tepat korporasi sebagai subyek hukumnya. Hal ini
kemudian akan berlanjut sampai pada saat pengadilan. Hakim yang harus memberi

94
Riau Pos, Liputan Khusus, Ahad, 19 Juni 2016
95
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana
Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana,
cet. 3, Kencana Preada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 22.
putusan terhadap kasus tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi juga mengalami
kesulitan. Kesulitan dalam mempertimbangkan atau memutus tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi adalah dalam membedakan apakah "orang" yang melakukan
tindak pidana tersebut bertindak untuk dan atas nama korporasi atau bertindak untuk
dan atas nama diri sendiri. Hal ini dikarenakan "orang" yang melakukan tindak pidana
sebenarnya adalah “orang” yang sama. Dalam praktik sehari-hari tidak dapat
dibedakan secara kasat mata kapan dia bertindak selaku pribadi dan kapan dia
bertindak mewakili korporasi. Perbedaan baru bisa terlihat bila tindakan orang
tersebut ada lampiran data terulis sebagai pendukungnya.
Hakim tidak hanya sebagai corong Undang-Undang dan alat negara tanpa
mempertimbangkan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat. Fenomena
penegakan hukum dalam tataran praktis sebagaimana dinarasikan diatas
memperlihatkan sisi gelap kinerja para penegak hukum yang serba pilih kasih dan
diskriminatif, yang dalam aras praksis seringkali menimbulkan protes, demonstrasi
yang menjurus pada kekacauan dalam masyarakat. Kendati hukum memiliki tujuan
utama mewujudkan ketertiban (order), akan tetapi acapkali memunculkan apa yang
disebut charles Samford sebagai “disorder of law.”96

3. BUDAYA HUKUM
Di lain pihak, perkembangan dalam masyarakat membuktikan bahwa korporasi
juga dapat melakukan tindak pidana. Kerugian akibat tindak pidana tersebut dapat
berupa kerugian materil maupun non materil. Atas dasar hal tersebut, muncul
pemikiran untuk meminta pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dengan
alasan:97
a. Pemidanaan pengurus saja ternyata tidak cukup untuk mengadakan represi
terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi.
Karenanya perlu pula kemungkinan pemidanaan korporasi, korporasi dan
pengurus, atau pengurus saja.
b. Dalam kehidupan sosial-ekonomi, korporasi semakin memainkan peranan
penting pula.
c. Hukum pidana harus mempunyai fungsi dalam mayarakat, yaitu melindungi
masyarakat dan menegakkan norma-norma dan ketentuan-ketentuan yang ada
dalam masyarakat. Kalau hukum pidana hanya ditentukan pada segi
perorangan, yang hanya berlaku pada manusia, maka tujuan itu tidak efektif,
oleh karena itu tidak ada alasan untuk selalu menekan dan menentang dapat
dipidananya korporasi.
d. Pemidanaan korporasi merupakan salah satu upaya untuk menghindarkan
tindakan pemidanaan terhadap para pegawai korporasi itu sendiri.

96
Ibid
97
Chairul Huda, Op.Cit., hlm. 24.
Karena perbuatan korporasi selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia, maka
pelimpahan pertanggungjawaban dari perbuatan manusia ini menjadi perbuatan
korporasi, dapat dilakukan apabila perbuatan tersebut dalam lalu lintas kehidupan
bermasyarakat berlaku sebagai perbuatan korporasi yang bersangkutan. Penegakan
hukum yang hanya bertitik tolak dari substansi norma hukum formil yang ada dalam
undang-undang (law in book’s), akan cenderung mencederai rasa keadilan masyarakat.
Seyogyanya penekanannya harus juga bertitik tolak pada hukum yang hidup (living law).
Lebih jauh para penegak hukum harus memperhatikan budaya hukum (legal culture),
untuk memahami sikap, kepercayaan, nilai dan harapan serta pemikiran masyarakat
terhadap hukum dalam sistem hukum yang berlaku.98

98
Manullang E.fernando M, Menggapai hukum berkeadilan, buku kompas, Jakarta, 2007 hlm.57

Anda mungkin juga menyukai