Anda di halaman 1dari 63

Makalah Kebakaran Hutan

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu Negara tropis yang memiliki wilayah hutan terluas di dunia
setelah Brazil dan Zaire. Hal ini merupakan suatu kebanggaan bagi bangsa Indonesia, karena
dilihat dari manfaatnya sebagai paru-paru dunia, pengatur aliran air, pencegah erosi dan banjir
serta dapat menjaga kesuburan tanah. Selain itu, hutan dapat memberikan manfaat ekonomis
sebagai penyumbang devisa bagi kelangsungan pembangunan di Indonesia. Karena itu
pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990,
UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan
Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan.

Hutan yang seharusnya dijaga dan dimanfaatkan secara optimal dengan memperhatikan aspek
kelestarian kini telah mengalami degradasi dan deforestasi yang cukup mencenangkan bagi
dunia Internasional, faktanya Indonesia mendapatkan rekor dunia guiness yang dirilis oleh
Greenpeace sebagai negara yang mempunyai tingkat laju deforestasi tahunan tercepat di dunia,
Sebanyak 72 persen dari hutan asli Indonesia telah musnah dengan 1.8 juta hektar hutan
dirusakan per tahun antara tahun 2000 hingga 2005, sebuah tingkat kerusakan hutan sebesar
2% setiap tahunnya.

Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan selama ini tidak memperhatikan
manfaat yang akan diperoleh dari keberadaan hutan tersebut, sehingga kelestarian lingkungan
hidup menjadi terganggu. Penyebab utama kerusakan hutan adalah kebakaran hutan.
Kebakaran hutan terjadi karena manusia yang menggunakan api dalam upaya pembukaan
hutan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI), perkebunan, dan pertanian. selain itu, kebakaran
didukung oleh pemanasan global, kemarau ekstrim yang seringkali dikaitkan dengan pengaruh
iklim memberikan kondisi ideal untuk terjadinya kebakaran hutan.

Pengertian Kebakaran Hutan


Kebakaran huatan adalah suatu kondisi kerusakan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
seumber daya alam yang didominasikan pepohonan. Yang dilanda api sehingga berakibat
kerugian ekoistem, terancamnya keletarian lingkungan dn kerugian yang berdampak pada
daerah yang berada disekitarnya. Kebakaran hutan merupakan factor lingkungan dari api
yang menimbulkan dampak negatif.
Sedangkan menurut kamus kehutanan, Departemen Kehutanan Republik Indonesia.
Kebakaran hutan didefinisikan sebagai, Kebakaran yang tidak disebabkan oleh unsur
kesengajaan karena factor alam misalnya musim kemarau yang terlalu lama. Sedangan dalam
istilah Ensiklopedia kehutanan Indonesia Kebakaran hutan disebut juga “ Api Hutan”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Kebakaran hutan adalah kejadian terbakarnya kawasan hutan
baik dalam luasan yang besar maupun kecil.
Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab kerusakan hutan yang memiliki dampak
negatif. Kebakaran hutan, kebakaran vegetasi, atau kebakaran semak, adalah sebuah
kebakaran yang terjadi di alam liar, tetapi juga dapat memusnahkan rumah-rumah dan lahan
pertanian disekitarnya. Selain itu, kebakaran hutan dapat didefinisikan sebagai pembakaran
yang tidak tertahan dan menyebar secara bebas dan mengonsumsi bahan bakar yang tersedia
di hutan,antara lain terdiri dari serasah, rumput, cabang kayu yang sudah mati, dan lain-lain.
Istilah Kebakaran hutan di dalam Ensiklopedia Kehutanan Indonesia disebut juga Api Hutan.
Selanjutnya dijelaskan bahwa Kebakaran Hutan atau Api Hutan adalah Api Liar yang terjadi
di dalam hutan, yang membakar sebagian atau seluruh komponen hutan. Dikenal ada 3 macam
kebakaran hutan, Jenis-jenis kebakaran hutan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Api Permukaan atau Kebakaran Permukaan yaitu kebakaran yang terjadi pada lantai
hutan dan membakar seresah, kayu-kayu kering dan tanaman bawah. Sifat api
permukaan cepat merambat, nyalanya besar dan panas, namun cepat padam. Dalam
kenyataannya semua tipe kebakaran berasal dari api permukaan.
2. Api Tajuk atau Kebakaran Tajuk yaitu kebakaran yang membakar seluruh tajuk
tanaman pokok terutama pada jenis-jenis hutan yang daunnya mudah terbakar. Apabila
tajuk hutan cukup rapat, maka api yang terjadi cepat merambat dari satu tajuk ke tajuk
yang lain. Hal ini tidak terjadi apabila tajuk-tajuk pohon penyusun tidak saling
bersentuhan.
3. Api Tanah adalah api yang membakar lapisan organik yang dibawah lantai hutan. Oleh
karena sedikit udara dan bahan organik ini, kebakaran yang terjadi tidak ditandai dengan
adanya nyala api. Penyebaran api juga sangat lambat, bahan api tertahan dalam waktu
yang lama pada suatu tempat.

Kebakaran dan Pembakaran

Kebakaran dan pembakaran merupakan sebuah kata dengan kata dasar yang sama tetapi
mempunyai makna yang berbeda. Kebakaran indentik dengan kejadian yang tidak disengaja
sedangkan pembakaran identik dengan kejadian yang sengaja diinginkan tetapi tindakan
pembakaran dapat juga menimbulkan terjadinya suatu kebakaran. Penggunaan istilah
kebakaran hutan dengan pembakaran terkendali merupakan suatu istilah yang berbeda.
Penggunaan istilah ini sering kali mengakibatkan timbulnya persepsi yang salah terhadap
dampak yang ditimbulkannya.

Kebakaran-kebakaran yang sering terjadi digeneralisasi sebagai kebakaran hutan, padahal


sebagian besar (99,9%) kebakaran tersebut adalah pembakaran yang sengaja dilakukan
maupun akibat kelalaian, baik oleh peladang berpindah ataupun oleh pelaku binis kehutanan
atau perkebunan, sedangkan sisanya (0,1%) adalah karena alam (petir, larva gunung berapi).
Saharjo (1999) menyatakan bahwa baik di areal HTI, hutan alam dan perladangan berpindah
dapat dikatakan bahwa 99% penyebab kebakaran hutan di Indonesia adalah berasal dari ulah
manusia, entah itu sengaja dibakar atau karena api lompat yang terjadi akibat kelalaian pada
saat penyiapan lahan. Bahan bakar dan api merupakan faktor penting untuk mempersiapkan
lahan pertanian dan perkebunan (Saharjo, 1999). Pembakaran selain dianggap mudah dan
murah juga menghasilkan bahan mineral yang siap diserap oleh tumbuhan. Banyaknya jumlah
bahan bakar yang dibakar di atas lahan akhirnya akan menyebabkan asap tebal dan kerusakan
lingkungan yang luas. Untuk itu, agar dampak lingkungan yang ditimbulkannya kecil, maka
penggunaan api dan bahan bakar pada penyiapan lahan haruslah diatur secara cermat dan hati-
hati. Untuk menyelesaikan masalah ini maka manajemen penanggulangan bahaya kebakaran
harus berdasarkan hasil penelitian dan tidak lagi hanya mengandalkan dari
terjemahan textbook atau pengalaman dari negara lain tanpa menyesuaikan dengan keadaan
lahan di Indonesia (Saharjo, 2000).

Penyebab Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut:

1. Sambaran petir pada hutan yang kering karena musim kemarau yang panjang.
2. Kecerobohan manusia antara lain membuang puntung rokok sembarangan dan lupa
mematikan api di perkemahan.
3. Aktivitas vulkanis seperti terkena aliran lahar atau awan panas dari letusan gunung
berapi.
4. Tindakan yang disengaja seperti untuk membersihkan lahan pertanian atau membuka
lahan pertanian baru dan tindakan vandalisme.
5. Kebakaran di bawah tanah/ground fire pada daerah tanah gambut yang dapat
menyulut kebakaran di atas tanah pada saat musim kemarau.

Kerugian Yang Ditimbulkannya

Kebakaran hutan akhir-akhir ini menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan
dan ekonomi khususnya setelah terjadi kebakaran besar di berbagai belahan dunia tahun
1997/98 yang menghanguskan lahan seluas 25 juta hektar. Kebakaran tahun 1997/98
mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar US $ 1,6-2,7
milyar dan biaya akibat pencemaran kabut sekitar US $ 674-799 juta. Kerugian yang diderita
akibat kebakaran hutantersebut kemungkinan jauh lebih besar lagi karena perkiraan dampak
ekonomi bagikegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi biaya yang terkait dengan
emisi karbon kemungkinan mencapai US $ 2,8 milyar (Tacconi, 2003).

Hasil perhitungan ulang kerugian ekonomi yang dihimpun Tacconi (2003), menunjukkan
bahwa kebakaran hutan Indonesia telah menelan kerugian antara US $ 2,84 milayar sampai US
$ 4,86 milyar yang meliputi kerugian yang dinilai dengan uang dan kerugian yang tidak dinilai
dengan uang. Kerugian tersebut mencakup kerusakan yang terkait dengan kebakaran seperti
kayu, kematian pohon, HTI, kebun, bangunan, biaya pengendalian dan sebagainya serta biaya
yang terkait dengan kabut asap seperti kesehatan, pariwisata dan transportasi.

Dampak Kebakaran Hutan


1. Dampak Kebakaran Hutan terhadap Lingkungan Biologis

Yang dimaksud dengan lingkungan biologi yaitu segala sesuatu di sekitar manusia yang berupa
organisme hidup selain dari manusia itu sendiri seperti hewan, tumbuhan, dan decomposer.
Dampak yang ditimbulkan dari adanya kebakaran hutan khususnya terhadap lingkungan
biologis antara lain sebagai berikut:

a. Terhadap flora dan fauna

Kebakaran hutan akan memusnahkan sebagian spesies dan merusak kesimbangan alam
sehingga spesies-spesies yang berpotensi menjadi hama tidak terkontrol. Selain itu,
terbakarnya hutan akan membuat Hilangnya sejumlah spesies; selain membakar aneka flora,
kebakaran hutan juga mengancam kelangsungan hidup sejumlah binatang. Berbagai spesies
endemik (tumbuhan maupun hewan) terancam punah akibat kebakaran hutan. Selain itu,
kebakaran hutan dapat mengakibatkan terbunuhnya satwa liar dan musnahnya tanaman baik
karena kebakaran, terjebak asap atau rusaknya habitat. Kebakaran juga dapat menyebabkan
banyak spesies endemik/khas di suatu daerah turut punah sebelum sempat dikenali/diteliti.

Beberapa dampak kebakaran tehadap hewan dan tumbuhan antara lain sebagai berikut:

– BANGSA BINATANG

Kebakaran hutan akan mengakibatkan banyak binatang yang akan kehilangan tempat tinggal
yang digunakan untuk berlindung serta tempat untuk mencarimakan. Dengan demikian, hewan
yang tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan baru setelah terjadinya kebakaran tersebut
akan mengalami penurunan jumlah bahkan dapat mengalami kepunahan.

Contoh dampak kebakaran hutan bagi beberapa hewan antara lain sebagai berikut:

 Geobin : seluruh daur hidupnya di dalam tubuh tanah (Ciliophora, Rhizopoda &
Mastigophora, dll)
 Geofil : sebagian daur hidupnya di dalam tubuh tanah (serangga)

– BANGSA TUMBUHAN

Kehidupan tumbuhan berhubungan erat dengan hutan yang merupakan tempat hidupnya.
Kebakaran hutan dapat mengakibatkan berkurangnya vegetasi tertentu.

Contoh dampak kebakaran hutan terhadap tumbuhan adalah sebagai berikut:

 Tumbuhan tingkat tinggi (akar pohon, semak atau rumput)


 Tumbuhan tingkat rendah (bakteri, cendawan dan Ganggang)

Terjadinya kebakaran hutan akan menghilangkan vegetasi di atas tanah, sehingga apabila
terjadi hujan maka hujan akan langsung mengenai permukaan atas tanah, sehingga
mendapatkan energi pukulan hujan lebih besar, karena tidak lagi tertahan oleh vegetasi penutup
tanah. Kondisi ini akan menyebabkan rusaknya struktur tanah

b. Terhadap keanekaragaman hayati

Kebakaran hutan membawa dampak yang besar pada keanekaragaman hayati. Hutan yang
terbakar berat akan sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya mengalami kerusakan. Hilangnya
tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan terbuka, sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi
menahan banjir. Karena itu setelah hutan terbakar, sering muncul bencana banjir pada musim
hujan di berbagai daerah yang hutannya terbakar. Kerugian akibat banjir tersebut juga sulit
diperhitungkan.

c. Terhadap mikroorganisme

Kebakaran hutan dapat membunuh organisme (makroorganisme dan mikroorganisme) tanah


yang bermanfaat dalam meningkatkan kesuburan tanah. Makroorganisme tanah misalnya:
cacing tanah yang dapat meningkatkan aerasi dan drainase tanah, dan mikroorganisme
tanah misalnya: mikorisa yang dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara P, Zn, Cu, Ca,
Mg, dan Fe akan terbunuh. Selain itu, bakteri penambat (fiksasi) nitrogen pada bintil-bintil akar
tumbuhan Leguminosae juga akan mati sehingga laju fiksasi ntrogen akan menurun.
Mikroorganisme, seperti bakteri dekomposer yang ada pada lapisan serasah saat kebakaran
pasti akan mati. Dengan temperatur yang melebihi normal akan membuat mikroorganisma
mati, karena sebagian besar mikroorganisma tanah memiliki adaptasi suhu yang sempit.
Namun demikian, apabila mikroorganisme tanah tersebut mampu bertahan hidup, maka
ancaman berikutnya adalah terjadinya perubahan iklim mikro yang juga dapat membunuhnya.
Dengan terbunuhnya mikroorganisme tanah dan dekomposer seperti telah dijelaskan di atas,
maka akan mengakibatkan proses humifikasi dan dekomposisi menjadi terhenti.

1. Terhadap organisme dalam tanah

Kebakaran hutan biasanya menimbulkan dampak langsung terhadap kematian populasi dan
organisme tanah serta dampak yang lebih signifikan lagi yaitu merusak habitat dari organisme
itu sendiri. Perubahan suhu tanah dan hilangnya lapisan serasah, juga bisa menyebabkan
perubahan terhadap karakteristik habitat dan iklim mikro. Kebakaran hutan menyebabkan
bahan makanan untuk organisme menjadi sedikit, kebanyakan organisme tanah mudah mati
oleh api dan hal itu dengan segera menyebabkan perubahan dalam habitat, hal ini kemungkinan
menyebabkan penurunan jumlah mikroorganisme yang sangat besar dalam habitat. Efek
negatif ini biasanya bersifat sementara dan populasi organisme tanah akhirnya kembali menjadi
banyak lagi dalam beberapa tahun.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisika, kimia dan biologi tanah pada hutan dan
hutan yang sudah dibuka pada daerah Buffer Zone dan Resort Sei Betung pada Taman Nasional
Gunung Leuser Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat. Penelitian ini dilakukan di
Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara,
Medan. Yang dimulai pada bulan April hingga Mei 2011. Penelitian ini mengambil 12 titik
sampel tanah sebagai bahan penelitian, yaitu 6 sampel pada hutan asli dan 6 sampel pada hutan
yang sudah dibuka untuk lahan pertanian. Metode yang digunakan adalah Survei Bebas tingkat
survei semi detail dan analisis data kandungan bahan organik tanah dengan metode Walkley
and Black, hara Nitrogen total tanah dengan metode Kjeldhalterm, Tekstur tanah dengan
metode Hidrometer, pH tanah dengan metode Elektrometri, Kapasitas Tukar Kation (KTK)
dengan metode Ekstraksi NH4OAc pH 7 serta nisbah C/N tanah. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kandungan bahan organik digolongkan dalam 4 kriteria, yakni sangat rendah dan rendah
(pada tanah hutan yang sudah dibuka untuk lahan pertanian tanaman musiman dan tahunan),
sedang dan tinggi (pada tanah hutan alami). N-total tanah digolongkan dalam 3 kriteria, yakni
rendah (pada tanah hutan alami), sedang dan tinggi (pada tanah hutan alami dan hutan yang
sudah dibuka untuk lahan pertanian tanaman musiman dan tahunan). Rasio C/N tanah
digolongkan dalam 4 kriteria, yakni sangat rendah (pada tanah hutan yang sudah dibuka untuk
lahan pertanian tanaman musiman dan tahunan), rendah, sedang dan tinggi (pada tanah hutan
alami). pH tanah digolongkan dalam 3 kriteria, yakni sangat masam, masam dan agak masam.
Tekstur tanah lebih dominan lempung berpasir. Kapasitas Tukar Kation tanah digolongkan
dalam 1 kriteria, yakni rendah (pada tanah hutan alami dan hutan yang sudah dibuka untuk
lahan pertanian tanaman musiman dan tahunan)

Menteri Kesehatan RI, 2003 menyatakan bahwa kebakaran hutan menimbulkan polutan
udara yang dapat menyebabkan penyakit dan membahayakan kesehatan manusia. Berbagai
pencemar udara yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan, misalnya : debu dengan ukuran
partikel kecil (PM10 & PM2,5), gas SOx, NOx, COx, dan lain-lain dapat menimbulkan dampak
negatif terhadap kesehatan manusia, antara lain infeksi saluran pernafasan, sesak nafas, iritasi
kulit, iritasi mata, dan lain-lain.

Selain itu juga dapat menimbulkan gangguan jarak pandang/ penglihatan, sehingga dapat
menganggu semua bentuk kegiatan di luar rumah. Gumpalan asap yang pedas akibat kebakaran
yang melanda Indonesia pada tahun 1997/1998 meliputi wilayah Sumatra dan Kalimantan, juga
Singapura dan sebagian dari Malaysia dan Thailand. Sekitar 75 juta orang terkena gangguan
kesehatan yang disebabkan oleh asap. (Cifor,2001).

Gambut yang terbakar di Indonesia melepas karbon lebih banyak ke atmosfir daripada yang
dilepaskan Amerika Serikat dalam satu tahun. Hal itu membuat Indonesia menjadi salah satu
pencemar lingkungan terburuk di dunia pada periode tersebut (Applegate, G. dalam CIFOR,
2001).

Dampak kebakaran hutan 1997/98 bagi ekosistem direvisi karena perubahan perhitungan luas
kebakaran yang ditemukan. Taconi, 2003 menyebutkan bahwa kebakaran yang mengakibatkan
degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar 1,62-2,7 miliar dolar. Biaya
akibat pencemaran kabut asap sekitar 674-799 juta dolar; biaya ini kemungkinan lebih tinggi
karena perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi
biaya yang terkait dengan emisi karbon menunjukkan bahwa kemungkinan
biayanyamencapai2,8 miliar dolar.

Pencegahan Kebakaran Hutan Di Indonesia

Upaya untuk menangani kebakaran hutan ada dua macam, yaitu penanganan yang bersifat
represif dan penanganan yang bersifat preventif. Penanganan kebakaran hutan yang bersifat
represif adalah upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengatasi kebakaran hutan
setelah kebakaran hutan itu terjadi. Penanganan jenis ini, contohnya adalah pemadaman, proses
peradilan bagi pihak-pihak yang diduga terkait dengan kebakaran hutan (secara sengaja), dan
lain-lain.
Sementara itu, penanganan yang bersifat preventif adalah setiap usaha, tindakan atau
kegiatan yang dilakukan dalam rangka menghindarkan atau mengurangi kemungkinan
terjadinya kebakaran hutan. Jadi penanganan yang bersifat preventif ini ada dan dilaksanakan
sebelum kebakaran terjadi. Selama ini, penanganan yang dilakukan pemerintah dalam kasus
kebakaran hutan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja, lebih banyak didominasi oleh
penanganan yang sifatnya represif. Berdasarkan data yang ada, penanganan yang sifatnya
represif ini tidak efektif dalam mengatasi kebakaran hutan di Indonesia.

Hal ini terbukti dari pembakaran hutan yang terjadi secara terus menerus. Sebagai contoh :
pada bulan Juli 1997 terjadi kasus kebakaran hutan. Upaya pemadaman sudah dijalankan,
namun karena banyaknya kendala, penanganan menjadi lambat dan efek yang muncul (seperti
: kabut asap) sudah sampai ke Singapura dan Malaysia. Sejumlah pihak didakwa sebagai
pelaku telah diproses, meskipun hukuman yang dijatuhkan tidak membuat mereka jera.
Ketidakefektifan penanganan ini juga terlihat dari masih terus terjadinya kebakaran di hutan
Indonesia, bahkan pada tahun 2008 ini.

Oleh karena itu, berbagai ketidakefektifan perlu dikaji ulang sehingga bisa menghasilkan upaya
pengendalian kebakaran hutan yang efektif.

Menurut UU No 45 Tahun 2004, pencegahan kebakaran hutan perlu dilakukan secara terpadu
dari tingkat pusat, provinsi, daerah, sampai unit kesatuan pengelolaan hutan. Ada kesamaan
bentuk pencegahan yang dilakukan diberbagai tingkat itu, yaitu penanggungjawab di setiap
tingkat harus mengupayakan terbentuknya fungsi-fungsi berikut ini :

1. Mapping : pembuatan peta kerawanan hutan di wilayah teritorialnya masing-masing.


Fungsi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, namun yang lazim digunakan adalah 3
cara berikut:
 pemetaan daerah rawan yang dibuat berdasarkan hasil olah data dari masa lalu
maupun hasil prediksi.
 pemetaan daerah rawan yang dibuat seiring dengan adanya survai desa
(Partisipatory Rural Appraisal)
 pemetaan daerah rawan dengan menggunakan Global Positioning System atau citra
satelit

2. Informasi : penyediaan sistem informasi kebakaran hutan.

Hal ini bisa dilakukan dengan pembuatan sistem deteksi dini (early warning system) di setiap
tingkat. Deteksi dini dapat dilaksanakan dengan 2 cara berikut :

o analisis kondisi ekologis, sosial, dan ekonomi suatu wilayah

o pengolahan data hasil pengintaian petugas

3. Sosialisasi : pengadaan penyuluhan, pembinaan dan pelatihan kepada masyarakat.

Penyuluhan dimaksudkan agar menginformasikan kepada masyarakat di setiap wilayah


mengenai bahaya dan dampak, serta peran aktivitas manusia yang
seringkali memicu dan menyebabkan kebakaran hutan. Penyuluhan juga bisa
menginformasikan kepada masayarakat mengenai daerah mana saja yang rawan terhadap
kebakaran dan upaya pencegahannya.

Pembinaan merupakan kegiatan yang mengajak masyarakat untuk dapat meminimalkan


intensitas terjadinya kebakaran hutan.

Sementara, pelatihan bertujuan untuk mempersiapkan masyarakat, khususnya yang tinggal di


sekitar wilayah rawan kebakaran hutan,untuk melakukan tindakan awal dalam merespon
kebakaran hutan.

4. Standardisasi : pembuatan dan penggunaan SOP (Standard Operating Procedure).


Untuk memudahkan tercapainya pelaksanaan program pencegahan kebakaran hutan
maupun efektivitas dalam penanganan kebakaran hutan, diperlukan standar yang baku
dalam berbagai hal berikut :

 Metode pelaporan
Untuk menjamin adanya konsistensi dan keberlanjutan data yang masuk, khususnya
data yang berkaitan dengan kebakaran hutan, harus diterapkan sistem pelaporan
yang sederhana dan mudah dimengerti masyarakat. Ketika data yang masuk sudah
lancar, diperlukan analisis yang tepat sehingga bisa dijadikan sebuah dasar untuk
kebijakan yang tepat.

 Peralatan
Standar minimal peralatan yang harus dimiliki oleh setiap daerah harus bisa
diterapkan oleh pemerintah, meskipun standar ini bisa disesuaikan kembali
sehubungan dengan potensi terjadinya kebakaran hutan, fasilitas pendukung, dan
sumber daya manusia yang tersedia di daerah.

 Metode Pelatihan untuk Penanganan Kebakaran Hutan


Standardisasi ini perlu dilakukan untuk membentuk petugas penanganan kebakaran
yang efisien dan efektif dalam mencegah maupun menangani kebakaran hutan yang
terjadi. Adanya standardisasi ini akan memudahkan petugas penanganan kebakaran
untuk segera mengambil inisiatif yang tepat dan jelas ketika terjadi kasus kebakaran
hutan

5. Supervisi : pemantauan dan pengawasan kepada pihak-pihak yang berkaitan langsung


dengan hutan. Pemantauan adalah kegiatan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya
perusakan lingkungan, sedangkan pengawasan adalah tindak lanjut dari hasil analisis
pemantauan. Jadi, pemantauan berkaitan langsung dengan penyediaan data,kemudian
pengawasan merupakan respon dari hasil olah data tersebut. Pemantauan, menurut
kementerian lingkungan hidup, dibagi menjadi empat, yaitu :

 Pemantauan terbuka : Pemantauan dengan cara mengamati langsung objek yang


diamati. Contoh : patroli hutan
 Pemantauan tertutup (intelejen) : Pemantauan yang dilakukan dengan cara
penyelidikan yang hanya diketahui oleh aparat tertentu.
 Pemantauan pasif : Pemantauan yang dilakukan berdasarkan dokumen, laporan, dan
keterangan dari data-data sekunder, termasuk laporan pemantauan tertutup.
 Pemantauan aktif : Pemantauan dengan cara memeriksa langsung dan menghimpun
data di lapangan secara primer. Contohnya : melakukan survei ke daerah-daerah
rawan kebakaran hutan. Sedangkan, pengawasan dapat dilihat melalui 2
pendekatan, yaitu :

Preventif : kegiatan pengawasan untuk pencegahan sebelum terjadinya


perusakan lingkungan (pembakaran hutan). Contohnya : pengawasan untuk
menentukan status ketika akan terjadi kebakaran hutan

Represif : kegiatan pengawasan yang bertujuan untuk menanggulangi perusakan


yang sedang terjadi atau telah terjadi serta akibat-akibatnya sesudah terjadinya
kerusakan lingkungan.

Untuk mendukung keberhasilan, upaya pencegahan yang sudah dikemukakan diatas,


diperlukan berbagai pengembangan fasilitas pendukung yang meliputi :

1. Pengembangan dan sosialisasi hasil pemetaan kawasan rawan kebakaran hutan


Hasil pemetaan sebisa mungkin dibuat sampai sedetail mungkin dan disebarkan pada
berbagai instansi terkait sehingga bisa digunakan sebagai pedoman kegiatan institusi
yang berkepentingan di setiap unit kawasan atau daerah.
2. Pengembangan organisasi penyelenggara Pencegahan Kebakaran Hutan
Pencegahan Kebakaran Hutan perlu dilakukan secara terpadu antar sektor, tingkatan dan
daerah. Peran serta masyarakat menjadi kunci dari keberhasilan upaya pencegahan ini.
Sementara itu, aparatur pemerintah, militer dan kepolisian, serta kalangan swasta perlu
menyediakan fasilitas yang memadai untuk memungkinkan terselenggaranya
Pencegahan Kebakaran Hutan secara efisien dan efektif.

3. Pengembangan sistem komunikasi


Sistem komunikasi perlu dikembangkan seoptimal mungkin sehingga koordinasi antar
tingkatan (daerah sampai pusat) maupun antar daerah bisa berjalan cepat. Hal ini akan
mendukung kelancaran early warning system, transfer data, dan sosialisasi kebijakan
yangberkaitan dengan kebakaran hutan

Penanggulangan Kebakaran Hutan di Indonesia

Penanggulangan hutan di Indonesia telah di atur dengan jelas di dalam Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor: P.12/Menhut-Ii/2009 Tentang Pengendalian Kebakaran Hutan. Adapun
upaya penanggulangan yang dimaktub tersebut antara lain:

1. Memberdayakan sejumlah posko yang bertugas menanggulangi kebakaran hutan di


semua tingkatan. Pemberdayaan ini juga harus disertai dengan langkah pembinaan
terkait tindakan apa saja yang harus dilakukan jika kawasan hutan telah memasuki status
Siaga I dan juga Siaga II.
2. Memindahkan segala macam sumber daya baik itu manusia, perlengkapan serta dana
pada semua tingkatan mulai dari jajaran Kementrian Kehutanan hingga instansi lain
bahkan juga pihak swasta.
3. Memantapkan koordinasi antara sesame instansi yang saling terkait melalui dengan
PUSDALKARHUTNAS dan juga di lever daerah dengan PUSDALKARHUTDA
tingkat I dan SATLAK kebakaran lahan dan juga hutan.
4. Bekerjasama dengan pihak luar seperti Negara lainnya dalam hal menanggulangi
kebakaran hutan. Negara yang potensial adalah Negara yang berbatasan dengan kita
misalnya dengan Malaysia berama pasukan BOMBA-nya. Atau juga dengan Australia
bahkan Amerika Serikat.

Upaya penanggulangan kebakaran hutan ini tentunya harus sinkron dengan upaya pencegahan.
Sebab walau bagaimanapun, pencegahan jauh lebih baik dari memanggulangi. Ada beragam
cara yang bisa dilakukan dalam rangka mencegah kebakaran hutan khususnya yang disebabkan
oleh perbuatan manusia seperti membuang punting rokok di wilayah yang kering, kegiatan
pembukaan lahan dan juga api unggun yang lupa dimatikan. Upaya pencegahannya adalah
dengan meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya mereka yang berhubungan langsung
dengan hutan. Masyarakat ini biasanya tinggal di wilayah hutan dan memperluas area
pertaniannya dengan membakar. Pemerintah harus serius mengadakan sosialisi agar hal ini bisa
dicegah.
Pada dasarnya upaya penanggulangan kebakaran hutan juga bisa disempurnakan jika
pemerintah mau memanfaatkan teknologi semacam bom air. Atau bisa juga lebih lanjut
ditemukan metode yang lebih efisien dan ampuh menaklukkan kobaran api di hutan. Langkah
yang paling baik adalah dengan mengikutsertakan para perangkat pendidikan agar merancang
teknologi maupun metode yang membantu pemerintah di level praktis. Sokongan dana dari
pemerintah akan membuat program tersebut lebih baik dan terara

Beberapa Kasus Kebakaran Hutan yang Terjadi Didunia

1. Kebakaran Hutan di Riau

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kembali menangkap seorang petani saat
membersihkan lahan dengan cara membakar di Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Penangkapan
dilakukan saat BNPB melakukan patroli.

“Kejadiannya beberapa hari lalu saat tim melakukan patroli udara dan darat,” kata Humas
BNPB Agus Wibowo di Pekanbaru, Minggu (21/7) seperti dikutip Antara.

Dia menjelaskan, pelaku yang teriindikasi sebagai petani pemilik lahan di Kabupaten Siak ini
diamankan oleh tim pemantau yang terdiri atas pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI),
masyarakat dan Polri.

“Sampai saat ini patroli masih terus berjalan dengan dikoordinir Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Riau,” katanya
Dengan tertangkapnya seorang pelaku pembakar hutan ini, maka total jumlah pembakar lahan
perorangan ada sebanyak 25 orang. Saat ini Polda Riau juga tengah melakukan penyelidikan
terhadap 12 kasus dan 5 kasus penyidikan dengan tersangka 24 orang dan satu korporasi.

Sebanyak 24 tersangka tersebut merupakan pelaku pembakar hutan maupun individu yang
memang ingin memperluas lahan dengan menyuruh membakar hutan.

Hingga saat ini dilaporkan situasi di Riau semakin kondusif meskipun pada peristiwa
pembakaran hutan tersebut dua orang dicatat meninggal yang mana satu orang bahkan turut
terbakar.

Sementara untuk kasus pembakaran hutan yang melibatkan perusahaan perkebunan di Provinsi
Riau masih ‘menggantung’. Sejauh ini Polda Riau belum juga menetapkan tersangka pada
kasus yang terindikasi melibatkan sebuah perusahaan perkebunan, PT Adei Plantation (AP).
Untuk memperkuat dugaan itu, Polda Riau berencana mengambil keterangan saksi ahli.

Saksi ahli yang rencana didatangkan ada beberapa, di mana menurut informasi kepolisian saksi
tersebut dari pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan akademisi.

Polda Riau sebelumnya juga telah memeriksa sebanyak 16 saksi dari kalangan karyawan dan
pejabat perusahaan diduga pembakar lahan.

2. Kebakaran Hutan di Sydney

Langit di atas pelabuhan kota Sydney berubah menjadi memerah pada Kamis kemarin akibat
kebakaran hutan di sebagian besar area di negara bagian New South Wales (NSW), Australia.
Menurut laporan petugas pemadam kebakaran, terdapat hampir 100 titik api yang ada di
Australia bagian tenggara itu.

Kantor berita BBC, Kamis 17 Oktober 2013, melansir, sebanyak 200 rumah diperkirakan ikut
terbakar dalam insiden tersebut. Jumlah itu masih dapat terus bertambah, karena petugas
pemadam kebakaran hingga kini masih menghitung.

Akibat kebakaran tersebut, satu orang dilaporkan tewas saat sedang berusaha melindungi
rumahnya di Danau Munmorah di Central Coast agar tidak ikut terbakar. Korban tewas adalah
pria berusia 63 tahun dan meregang nyawa akibat serangan jantung pada Kamis sore waktu
setempat. Tiga pemadam kebakaran terluka.

Dugaan sementara, kebakaran disebabkan suhu udara yang sangat panas dan angin kencang.
Kendati suhu udara dan kecepatan angin sudah mulai menurun, namun kebakaran masih terus
terjadi di pinggiran kota Sydney.

Menurut laporan BBC, sekitar dua ribu petugas pemadam kebakaran dikerahkan ke seluruh
negara bagian untuk mengendalikan si jago merah. Namun, masih banyak titik api yang di luar
kendali mereka.
Wakil Kepala Layanan Pemadam Kebakaran Pedesaan NSW, Rob Rogers, mengatakan ini
merupakan kondisi kebakaran terparah yang pernah dia lihat dalam satu dekade terakhir. “Ada
ribuan kilometer area yang terbakar api dan harus kami padamkan,” ujar Rogers.

Hal serupa turut diperkuat kesaksian petugas pemadam kebakaran lainnya yang menyebut
ketinggian api mencapai 20 hingga 30 meter.

Perdana Menteri, Tony Abbott, yang mengetahui soal bencana ini, berkunjung ke daerah Blue
Mountain, area terparah yang terkena bencana. Abbott mengaku salut terhadap upaya para
petugas pemadam kebakaran.
“Orang-orang ini adalah sosok yang pada hari biasa bersama-sama mendukung dan melindungi
sesama warga Australia,” ungkap Abbott.

Untuk sementara ini, api memang dapat dikendalikan, namun suhu panas diprediksi akan
kembali melanda NSW mulai pekan depan. Menurut laporan Dailymail, kebakaran hutan kerap
terjadi di Negeri Kangguru saat suhu udara tinggi.

Aksi kebakaran terparah lainnya pernah terjadi di tahun 2009 silam yang menyebabkan 173
orang tewas dan melalap dua ribu rumah di Negara Bagian Victoria.

3. Kebakaran Hutan di California

Kebakaran hutan di California telah menghanguskan lebih dari 100 bangunan, termasuk 11
rumah, dan menghanguskan areal hutan seluas 155 kilometer persegi.

Petugas pemadam kebakaran yang berjuang mengatasi kebakaran besar di negara bagian
California yang telah menghanguskan hutan luas di salah satu taman nasional terkenal
mengatakan mereka seharusnya akan memadamkan kebakaran itu sepenuhnya minggu ini.

Dinas Kehutanan Amerika memperkirakan yang disebut Lingkar Kebakaran di Taman


Nasional Yosemite dan sekitarnya akan dipadamkan 100 persen hari Jumat. Hingga Kamis
tengah hari, kebakaran itu 84 persen dipadamkan dan telah menghanguskan 104.000 hektar
lahan.

Jay Millier, ekolog senior kebakaran hutan hari Kamis memberitahu Associated Press
kebakaran besar itu telah membuat wilayah mirip permukaan bulan yang “dinuklir” di
pegunungan Sierra Nevada yang lebih besar dari wilayah manapun yang pernah terbakar dalam
ratusan tahun. Dia mengatakan tidak ada lagi yang tersisa di hampir 40 persen wilayah lokasi
kebakaran kecuali lahan hangus.

Pemerintah Amerika pekan lalu mengatakan Lingkar Api itu disebabkan oleh seorang pemburu
yang tidak dapat mengendalikan api unggun ilegal yang dinyalakannya pada tanggal 17
Agustus.

Dinas Kehutanan Amerika mengatakan belum ada orang yang ditahan dalam kasus itu.
Kebakaran itu telah menghanguskan lebih dari 100 bangunan, termasuk 11 rumah, dan
membuat area seluas 155 kilometer persegi dalam keadaan mati semuanya.

Adapun kebakaran lahan dan hutan berpotensi terjadi pada 8 Provinsi diindonesia yang rawan
akan bencana tersebut (Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan
Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan).

# Kesimpulan
Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai harganya karena didalamnya
terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu
dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, dan
sebagainya. Karena itu pemanfaatan dan perlindungannya diatur oleh Undang-undang dan
peraturan pemerintah.
Kebakaran merupakan salah satu bentuk gangguan terhadap sumberdaya hutan dan akhir-
akhir ini makin sering terjadi. Kebakaran hutan menimbulkan kerugian yang sangat besar dan
dampaknya sangat luas, bahkan melintasi batas negara. Di sisi lain upaya pencegahan dan
pengendalian yang dilakukan selama ini masih belum memberikan hasil yang optimal. Oleh
karena itu perlu perbaikan secara menyeluruh, terutama yang terkait dengan kesejahteraan
masyarakat pinggiran atau dalam.
# Saran
Saran kami tentang pencegahan terjadinya Kebakaran hutan antara lain :
 Masyarakat sekitar diharapkan tidak melakukan penebangan pohon secara liar karena
itu salah sat penyebab Kebakaran hutan.
 Minta petunjuk kepada dinas kehutanan setempat tentang cara pembukaan lahan tanpa
bakar.
Kebakaran hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api yang mengakibatkan
kerugian ekosistem dan terancamnya kelestarian lingkungan.
Kebakaran hutan sering terjadi di Negara yang berhutan tropis yaitu di Negara Brazil, Zaire,
dan Indonesia. Kebakaran hutan biasa terjadi saat musim kemarau. Kebakaran Hutan
menyebabkan kerugian kekayaan alam yang sangat besar, karna hutan merupakan paru – paru
dunia.

Kebakaran hutan rata – rata disebabkan oleh kelalaian manusia, ada yang menyebutkan
hampir 90% kebakaran hutan yang disebabkan manusia, sedangkan 10% disebabkan oleh
alam itu sendiri. Contoh factor karna manusia: membuat api ditengah hutan pada saat musim
kemarau, seharusnya manusia sadar dan dapat berpikir secara logika bahwa semua benda
dimusim kemarau rentan terbakar. Contoh factor karena alam: musim kemarau yang
berkepanjangan.

2.1 Pengertian Kebakaran Hutan

Kebakaran huatan adalah suatu kondisi kerusakan ekosistem berupa hamparan lahan
berisi seumber daya alam yang didominasikan pepohonan. Yang dilanda api sehingga
berakibat kerugian ekoistem, terancamnya keletarian lingkungan dn kerugian yang
berdampak pada daerah yang berada disekitarnya. Kebakaran hutan merupakan factor
lingkungan dari api yang menimbulkan dampak negatif.
Sedangkan menurut kamus kehutanan, Departemen Kehutanan Republik Indonesia.
Kebakaran hutan didefinisikan sebagai, Kebakaran yang tidak disebabkan oleh unsur
kesengajaan karena factor alam misalnya musim kemarau yang terlalu lama. Sedangan dalam
istilah Ensiklopedia kehutanan Indonesia Kebakaran hutan disebut juga “ Api Hutan”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Kebakaran hutan adalah kejadian terbakarnya kawasan hutan
baik dalam luasan yang besar maupun kecil.

2.2 Sebab – Sebab Kebakaran Hutan

Bagaimana Kebakaran hutan bias terjadi? Dibawah ini ada faktor – faktor yang
menyebabkan Kebakaran hutan yang sering kita temui, antara lain :
1. Faktor Alam
a. Terjadinya gesekan dari bahan bakar kering, sehingga menyebabkan materi tersebut
menjadi panas dan akhirnya memunculkan api sebagai sumber kebakaran.
b. Sambaran petir pada hutan yang kering pada musim kemarau yang berkepanjangan.
c. Aktivitas Vulkanis seperti terkena aliran lahar panas (magma) atau terkena awan panas
dari letusan gunung berapi.
2. Faktor Manusia
a. Tindakan yang disengaja seperti untuk membuka lahan pertanian baru.
b. Kecerobohan manusia seperti membuang punting rokok yang masih menyala.
c. Membakar sampah kering didekat hutan.

2.3 Akibat Kebakaran Hutan

Akibat – akibat (dampak) yang disebabkan oleh Kebakaran hutan :

1. Terbunuhnya / Musnahnya flora dan fauna , sehingga terancam punah.


2. Kekeringan yang ditimbulkan dapat menyebabkan kerusakan pada tanahnya menjadi
tidak subur. Kecuali jika terbakar karna lahar panas.
3. Berkurangnya bahan baku Industri Perkayuan, Mebel(furniture ),dsb. Yang dapat
penyebabkan ribuan pekerja menjadi pengangguran.
4. Rusaknya habitat flora dan fauna yang hampir punah.
5. Menyebabkan polusi udara yang berkepanjangan.
6. Meningkatnya penderita penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA)
7. Meningkatnya Penyakit Kanker Paru – Paru, yang dapat menyebabkan kematian bagi
sipenderita.
8. Menyebabkan kekeringan pada saat musim kemarau.

2.4 Upaya Pencegahan Kebakaran Hutan

2.4.1 Pemantauan Kondisi Rawan Kebakaran Hutan .

Kondisi yang rawan yang dimaksud yang paling mudah dicirikan dengan adanya
penumpukan – penumpukan bahan – bahan yang mudah terbakar didalam hutan terutama
pada musim kemarau.
Tumpukan – tumpukan bahan ini mudah dijumpai di areal bekas tebangan, areal hutan yang
dirambah, dan areal yang disiapkan untuk lading, kebun / permukiman.
Halaman 03

2.4.2 Membuat Tempat - Tempat Penampungan Air .

Tempat penampungan atau embung dibuat dilokasi – lokasi yang berdekatan dengan kawasan
hutan yang rawan Kebakaran hutan.

2.4.3 Penyuluhan .

Penyuluhan dalam rangka pencegahan kebakaran yang bertujuan meningkatkan kepeduian


masyarakat terhadap masalah Kebakaran hutan dalam arti masyarakat menjadi tahu akan
bahaya dan mampu berperan dalam mencegah Kebakaran hutan.

BAB 3
(Penutup)

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan diatas, Kebakaran hutan adalah salah satu kerusakan
lingkungan yang tidak mempunyai dampak positif sama sekali. Banyak kerugian – kerugian
yang diakibatkan dari Kebakaran hutan ini yaitu musnahnya flora dan fauna, polusi udara,
dan berkurangnya sumber daya alam. Masih banyak yang dapat kita lakukan dari pada
melakukan hal bodoh tersebut. Kegiatan reboisasi / penanaman pohon kembali salah satunya
cara pencegahan.

3.2 Saran

Saran penulis tentang pencegahan terjadinya Kebakaran hutan antara lain :

v Masyarakat sekitar diharapkan tidak melakukan penebangan pohon secara liar karena itu
salah sat penyebab Kebakaran hutan.

v Minta petunjuk kepada dinas kehutanan setempat tentang cara pembukaan lahan tanpa
bakar.

Halaman 04

Daftar Pustaka

Ratnawati, Karia. 2008. Waspadai Bencana Alam. Bandung: CV. Mutiara Ilmu
Bandung.
Setiawan, Wawan. 2010. Bersahabat Dengan Bencana Alam. Bandung: CV. Jabal
Rohmat.
-------------- (2006) . Makalah Kebakaran Hutan. Diakses pada tanggal 0 februari 2015,
dari (http://himka1polban.wordpress.com/chemlib/makalah/makalah-kebakaran-
hutan/.)
-------------- (2010) . Kerusakan Hutan. Diakses pada tanggal 07 februari 2015, dari (
https://alamendah.org/2010/03/09/kerusakanhutan )
-------------- (2010) . Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan. Diakses pada tanggal 08
februari 2015, dari (http://id.wikipedia.org/wiki/kebakaran_liar)
-------------- (2011) . Penyebab Kerusakan Hutan. Diakses pada tanggal 08 februari 2015,
dari (https://ww.flickr.com/photos/crustmania.)
-------------- (2012) . Pengertian dan Definisi Kebakaran Hutan. Diakses pada tanggal 08
februari 2015, dari (http://pengertian-definisi.blogspot.com/2012/04/pengertian-dan-
definisi-kebakaran-hutan.html)

KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya kepada penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis yang sangat
sederhana ini. Dalam kesempatan ini penulis mengambil judul“KEBAKARAN HUTAN”.
Adapun tujuan Penulis menyusun karya tulis ini sebagai persyaratan mengikuti (UN) 2015
khususnya pelajaran BAHASA Indonesia. Selama pembuatan karya tulis ini penulis telah
mendapatkan bantuan berupa bimbingan ataupun petunjuk dari beberapa pihak. Oleh karena
itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Ibu Atik Sugiartik,
S.Pd, selaku guru Bahasa Indonesia yang telah membing Penulis sehingga Penulis dapat
menyelesaikan tugas karya ilmiah ini.
Semoga isi karya tulis ini menambah pengetahuan atau pengalaman bagi para pembaca dan
bagi penulis khususnya, Amin.
Tangerang, April 2014
Irma Yanti

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Hutan sebagai paru-paru dunia juga penyumbang oksigen dan keanekaragaman hayati terbesar
di muka bumi.Terdapat berbagai jenis flora dan fauna didalamnya.Hutan adalah bentuk
kehidupan yang tersebar di seluruh dunia yang dapat ditemukan baik di daerah tropis maupun
daerah beriklim dingin.Sebagai fungsi ekosistem, hutan berperan sebagai lumbung air,
penyeimbang lingkungan, dan mencegah timbulnya pemanasan global.
Hutan Indonesia merupakan hutan terluas ke-3 di dunia setelah Brazil dan Zaire. Luas hutan di
Indonesia diperkirakan mencapai 120,35 juta hektar atau sekitar 63 persen luas daratan.
Penyebaran hutan di Indonesia hampir berada di seluruh wilayah nusantara, termasuk Provinsi
Riau. Sebagian besar wilayah hutan Provinsi Riau merupakan lahan gambut yang sangat
berpotensi untuk pertumbuhan kelapa sawit.Dari luasan total lahan gambut di dunia sebesar
423.825.000 ha, sebanyak 38.317.000 ha terdapat di wilayah tropika. Sekitar 50% dari luasan
lahan gambut tropika tersebut terdapat di Indonesia yang tersebar di pulau-pulau Sumatra,
Kalimantan, dan Papua, sehingga Indonesia menempati urutan ke-4 dalam hal luas total lahan
gambut sedunia, setelah Kanada, Uni Soviet, dan Amerika Serikat.Indonesia memiliki lahan
gambut terluas diantara negara tropis lainnya, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar luas
terutama di pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP, 2008 dalam Agus dan
Subiksa, 2008). Lahan gambut Riau menempati urutan ke-2 terbanyak setelah provinsi Papua.
Oleh karena itu, banyak perusahaan-perusahaan baik swasta asing maupun dalam negeri yang
berminat dan tertarik terhadap lahan gambut di Provinsi Riau dan kemudian melakukan
kerjasama untuk membangun perkebunan kelapa sawit yang akan diolah menjadi minyak.
Namun tidak semua perusahaan yang menaati peraturan pemerintah terutama dalam hal
pengelolaan lahan untuk pembangunan sehingga timbulah tindakan illegal yang dilakukan oleh
perusahaan tersebut yang hanya dapat memberikan keuntungan sepihak. Misalkan, pembukaan
lahan yang dilakukan dengan carapembakaran hutan.
Dengan semakin banyaknya lahan yang dibakar maka akan meningkatkan kadar asap dari
kebakaran itu sendiri. Apalagi asap yang ditimbulkan dari pembakaran lahan gambut yang
dinilai sangat sulit dalam upaya penyelesaiannya. Dikarenakan, saat musim kemarau tiba
permukaan tanah gambut cepat sekali kering dan mudah terbakar, dan api di permukaan juga
dapat merambat ke lapisan dalam yang relatif lembab. Oleh karenanya, ketika terbakar,
kobaran api tersebut akan bercampur dengan uap air di dalam gambut dan menghasilkan asap
yang sangat banyak.
Kebakaran hutan dapat didefinisikan sebagai sebuah kebakaran yang terjadi di alam liar, tetapi
juga dapat memusnahkan rumah-rumah dan lahan pertanian disekitarnya. Kebakaran hutan
sangat rawan terjadi ketika musim kemarau.
Adapun beberapa penyebab terjadinya kebakaran hutan antara lain: Pembakaran lahan yang
tidak terkendali, kurangnya penegakan hukum terhadap perusahaan yang melanggar peraturan
pembukaan lahan, aktivitas vulkanisme, dan kecerobohan manusia.
1. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada karya tulis ilmiah ini dapt kita simpulkan dari latar belakang
masalah diantaranya adalah :
1. Apa sajakah penyebab terjadinya kebakaran hutan ?
2. Bagaimana dampak kebakaran hutan terhadap lingkungan dan alam ?
3. Apa sajakah upaya untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan ?
4. Bagaimana cara memadamkan kebakaran hutan ?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan disusunnya makalah ini antara lain:
1. Mengetahui penyebab terjadinya kebakaran hutan
2. Mengetahui dampak dari kebakaran hutan terhadap lingkungan dan alam
3. Mengetahui upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan
4. Mampu mengendalikan kebakaran hutan
1.4 Metode Penelitian
Data penulisan makalah ini diperoleh dari buku tentang, Majalah Remaja Selain itu, tim penulis
juga memperoleh data dari internet.
1.5 Kegunaan Penelitian
Bagi Penulis :
1. Melatih kemampuan Penulis dalam mengembangkan informasi yang didapat dari berbagai
sumber terpercaya.
2. Melatih Penulis agar bertanggungjawab menyelesaikan tugas yang telah ditugaskan kepada
Penulis.
3. Melatih ketelitian Penulis dalam menyusun karya tulis ilmiah ini.
4. Dan juga melatih kesabaran Penulis dalam menyusun karya tulis ilmiah.
Bagi Pembaca :
Menambah pengetahuan dan keterampilan. Dan juga sebagai sumber referensi tentang
kebakaran hutan yang Penulis tuangkan dalam karya ilmiah ini.
1.6 Sistematika Penulisan
Dalam karya tulis ilmiah ini disusun sistematika sebagai berikut :
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
 Latar Belakang Penelitian
 Rumusan Masalah
 Tujuan Penelitian
 Metode Penelitian
 Kegunaan Penelitian
 Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi dan Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan
2.2 Akibat Kebakaran Hutan Terhadap Lingkungan Dan Alam Sekitar
2.3 Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan
2.4 Cara Memedamkan Kebakaran Hutan
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi dan Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan (kebakaran vegetasi, atau kebakaran semak), adalah sebuah kebakaran
yang terjadi di alam liar, tetapi juga dapat memusnahkan rumah-rumah dan lahan pertanian
disekitarnya. Penyebab umum termasuk petir, kecerobohan manusia, dan pembakaran.
Kebakaran hutan dalam bahasa Inggris berarti “api liar” yang berasal dari sebuah sinonim
dari Api Yunani, sebuah bahan seperti-napalm yang digunakan di Eropa Pertengahan sebagai
senjata maritime. Musim kemarau dan pencegahan kebakaran hutan kecil adalah penyebab
utama kebakaran hutan besar. Namun, sebab utama dari kebakaran hutan adalah pembukaan
lahan yang meliputi:
1. Pembakaran lahan yang tidak terkendali sehingga merembet ke lahan lain
Pembukaan lahan tersebut dilaksanakan baik oleh masyarakat maupun perusahaan. Namun
bila pembukaan lahan dilaksanakan dengan pembakaran dalam skala besar, kebakaran tersebut
sulit terkendali. Pembukaan lahan dilaksanakan untuk usaha perkebunan, HTI, pertanian lahan
kering, sonor dan mencari ikan. pembukaan lahan yang paling berbahaya adalah di daerah
rawa/gambut.
1. Penggunaan lahan yang menjadikan lahan rawan kebakaran, misalnya di lahan bekas HPH
(Hak Penguasaan Hutan) dan di daerah yang beralang-alang.
2. Dalam beberapa kasus, penduduk lokal juga melakukan pembakaran untuk memprotes
pengambil-alihan lahan mereka oleh perusahaan kelapa sawit.
3. Kurangnya penegakan hukum terhadap perusahaan yang melanggar peraturan pembukaan
lahan.
4. Tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah, sehingga terpaksa memilih jalan
alternatif yang mudah, murah dan cepat untuk pembukaan lahan.
5. Aktivitas vulkanis seperti terkena aliran lahar atau awan panas dari letusan gunung berapi.
6. Kecerobohan manusia antara lain membuang puntung rokok secara sembarangan dan tanpa
mematikan apinya terlebih dahulu.
2.2 Akibat Kebakaran Hutan Terhadap Lingkungan Dan Alam Sekitar
Akibat yang ditimbulkan dari kebakaran liar antara lain:
1. Menyebarkan emisi gas karbon dioksida ke atmosfer yang mengakibatkan gangguan di
berbagai segi kehidupan masyarakat antara lain pendidikan, agama dan ekonomi. Hal ini
mengganggu kegiatan keagamaan dan mengurangi kegiatan perdagangan/ekonomi.
Gangguan asap juga terjadi pada sarana perhubungan/transportasi yaitu berkurangnya batas
pandang. Banyak pelabuhan udara yang ditutup pada saat pagi hari di musim kemarau
karena jarak pandang yang terbatas bisa berbahaya bagi penerbangan. Sering terjadi
kecelakaan tabrakan antar perahu di sungai-sungai, karena terbatasnya jarak pandang.
2. Terbunuhnya satwa liar dan musnahnya tanaman baik karena kebakaran, terjebak asap atau
rusaknya habitat.
3. Menyebabkan banjir selama beberapa minggu di saat musim hujan dan kekeringan di saat
musim kemarau.
3. Kekeringan yang ditimbulkan dapat menyebabkan terhambatnya jalur pengangkutan lewat
sungai dan menyebabkan kelaparan di daerah-daerah terpencil.
4. Kekeringan juga akan mengurangi volume air waduk pada saat musim kemarau yang
mengakibatkan terhentinya pembangkit listrik (PLTA) pada musim kemarau.
5. Musnahnya bahan baku industri perkayuan, mebel/furniture. Lebih jauh lagi hal ini dapat
mengakibatkan perusahaan perkayuan terpaksa ditutup karena kurangnya bahan baku dan
puluhan ribu pekerja menjadi penganggur/kehilangan pekerjaan.
6. Meningkatnya jumlah penderita penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan kanker
paru-paru. Hal ini bisa menyebabkan kematian bagi penderita berusia lanjut dan anak-anak.
Polusi asap ini juga bisa menambah parah penyakit para penderita TBC/asma.
2.3 Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan
Sejak kebakaran hutan yang cukup besar yang terjadi pada tahun 1982/83 yang kemudian
diikuti rentetan kebakaran hutan beberapa tahun berikutnya, sebenarnya telah dilaksanakan
beberapa langkah, baik bersifat antisipatif (pencegahan) maupun penanggulangannya.
1. Upaya Pencegahan
Upaya yang telah dilakukan untuk mencegah kebakaran hutan dilakukan antara lain
(Soemarsono, 1997):
(a) Memantapkan kelembagaan dengan membentuk dengan membentuk Sub Direktorat
Kebakaran Hutan dan Lembaga non struktural berupa Pusdalkarhutnas, Pusdalkarhutda dan
Satlak serta Brigade-brigade pemadam kebakaran hutan di masing-masing HPH dan HTI;
(b) Melengkapi perangkat lunak berupa pedoman dan petunjuk teknis pencegahan dan
penanggulangan kebakaran hutan;
(c) Melengkapi perangkat keras berupa peralatan pencegah dan pemadam kebakaran hutan;
(d) Melakukan pelatihan pengendalian kebakaran hutan bagi aparat pemerintah, tenaga BUMN
dan perusahaan kehutanan serta masyarakat sekitar hutan;
(e) Kampanye dan penyuluhan melalui berbagai Apel Siaga pengendalian kebakaran hutan;
(f) Pemberian pembekalan kepada pengusaha (HPH, HTI, perkebunan dan Transmigrasi),
Kanwil Dephut, dan jajaran Pemda oleh Menteri Kehutanan dan Menteri Negara Lingkungan
Hidup;
(g) Dalam setiap persetujuan pelepasan kawasan hutan bagi pembangunan non kehutanan,
selalu disyaratkan pembukaan hutan tanpa bakar.
2. Upaya Penanggulangan
Disamping melakukan pencegahan, pemerintah juga nelakukan penanggulangan melalui
berbagai kegiatan antara lain (Soemarsono, 1997):
(a) Memberdayakan posko-posko kebakaran hutan di semua tingkat, serta melakukan
pembinaan mengenai hal-hal yang harus dilakukan selama siaga I dan II.
(b) Mobilitas semua sumberdaya (manusia, peralatan & dana) di semua tingkatan, baik di
jajaran Departemen Kehutanan maupun instansi lainnya, maupun perusahaan-perusahaan.
(c) Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di tingkat pusat melalui
PUSDALKARHUTNAS dan di tingkat daerah melalui PUSDALKARHUTDA Tk I dan
SATLAK kebakaran hutan dan lahan.
(d) Meminta bantuan luar negeri untuk memadamkan kebakaran antara lain: pasukan BOMBA
dari Malaysia untuk kebakaran di Riau, Jambi, Sumsel dan Kalbar; Bantuan pesawat AT 130
dari Australia dan Herkulis dari USA untuk kebakaran di Lampung; Bantuan masker, obat-
obatan dan sebagainya dari negara-negara Asean, Korea Selatan, Cina dan lain-lain.
3. Peningkatan Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
Upaya pencegahan dan penanggulangan yang telah dilakukan selama ini ternyata belum
memberikan hasil yang optimal dan kebakaran hutan masih terus terjadi pada setiap musim
kemarau. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain:
(a) Kemiskinan dan ketidak adilan bagi masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan.
(b) Kesadaran semua lapisan masyarakat terhadap bahaya kebakaran masih rendah.
(c) Kemampuan aparatur pemerintah khususnya untuk koordinasi, memberikan penyuluhan
untuk kesadaran masyarakat, dan melakukan upaya pemadaman kebakaran semak belukar dan
hutan masih rendah.
(d) Upaya pendidikan baik formal maupun informal untuk penanggulangan kebakaran hutan
belum memadai.
Hasil identifikasi dari serentetan kebakaran hutan menunjukkan bahwa penyebab utama
kebakaran hutan adalah faktor manusia dan faktor yang memicu meluasnya areal kebakaran
adalah kegiatan perladangan, pembukaan HTI dan perkebunan serta konflik hukum adat
dengan hukum negara, maka untuk meningkatkan efektivitas dan optimasi kegiatan
pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan perlu upaya penyelesaian masalah yang
terkait dengan faktor-faktor tersebut.
Di sisi lain belum efektifnya penanggulangan kebakaran disebabkan oleh faktor kemiskinan
dan ketidak adilan, rendahnya kesadaran masyarakat, terbatasnya kemampuan aparat, dan
minimnya fasilitas untuk penanggulangan kebakaran, maka untuk mengoptimalkan upaya
pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan di masa depan antara lain:
1. Melakukan pembinaan dan penyuluhan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
pinggiran atau dalam kawasan hutan, sekaligus berupaya untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat tentang bahaya kebakaran hutan dan semak belukar.
2. Memberikan penghargaan terhadap hukum adat sama seperti hukum negara, atau merevisi
hukum negara dengan mengadopsi hukum adat.
3. Peningkatan kemampuan sumberdaya aparat pemerintah melalui pelatihan maupun
pendidikan formal. Pembukaan program studi penanggulangan kebakaran hutan merupakan
alternatif yang bisa ditawarkan.
4. Melengkapi fasilitas untuk menanggulagi kebakaran hutan, baik perangkat lunak maupun
perangkat kerasnya.
5. Penerapan sangsi hukum pada pelaku pelanggaran dibidang lingkungan khususnya yang
memicu atau penyebab langsung terjadinya kebakaran.
2.4 Cara Memedamkan Kebakaran Hutan
perlatan yang diperlukan:
1. Mesin Pompa bertekanan tinggi untuk pencucian kendaraan/mobil merek Yuen Liang
buatan Taiwan atau merek lain berikut dengan mesin penggerak.
2. Drum penampungan air, dapat diisi dengan air pompa Hitachi atau Ember.
3. Selang bertekanan yang dapat disambung secara praktis. Panjang selang 100 meter.
4. Tongkat penyemprot/Stik Semprot.
5. Masker Penahan Debu dan Asap.
6. Sepatu Both.
Cara kerja pemadaman api pada hutan, lahan dan kebun:
1. Tentukan titik sasaran, dimana kebakaran terjadi. Selidiki, apakah lokasi tersebut sedang
terjadi kebakaran atau telah lama terjadi kebakaran. Bila sedang terjadi kebakaran,
ditemukan adanya api yang menyala-nyala. Dan bila bekas terjadinya kebakaran ditemukan
kawah-kawah api yang dapat menenggelamkan kaki kita bila terinjak. Dampaknya kaki
akan melepuh.
2. Persiapkan pompa bertekanan berikut drum air secara berdekatan. Isilah drum dengan air
yang cukup dan berkelanjutan.
3. Pasanglah selang bertekanan sesuai keperluan. Bila lokasi kebakaran jauh, selang dapat
disambung, hingga 5 (lima) sambungan atau sepanjang 500 meter. Keistimewaan selang ini
adalah tidak mudah terlipat, tidak menyangkut apabila ditarik, tenaga yang diperlukan untuk
menarik sangat ringan.
4. Pasanglah Tongkat Semprot/Stik Semprot. Apabila sedang terjadi kebakaran, aturlah stik
semprot dengan cara mengabut. Kabut yang dibuat akan memadamkan api secara luas dan
mengurangi panas yang menyengat. Bila memadamkan bekas kebakaran, aturlah stik
dengan bentuk menembak. Air akan masuk ke dalam kawah hingga ke lapisan bawah, api
akan padam segera.
5. Gunakan Sepatu Both dalam tiap-tiap kegiatan pemadaman. Sepatu Both mampu menahan
panas pada kaki dan menghindari kaki mengalami pelepuhan oleh panas.
6. Untuk mengatasi gangguan pernapasan, gunakan Masker Standar. Asap dan debu dapat
disaring, sehingga petugas pemadam dapat bertahan lama menghadapi api.
7. Saat melakukan pemadaman, di garis depan harus dilakukan secara bergantian. Aturlah
waktu yang tepat, sehingga petugas di garis depan dapat bekerja dengan baik.
8. Fungsikan petugas pemantau dan penghubung yang menginformasikan kepada petugas
pemadam, kapan maju atau mundur melakukan pemadaman.
9. Persiapkan air minum yang segar bagi petugas yang memerlukannya.
10. Persiapkan petugas gawat darurat jika diperlukan.
11. Kebakaran yang baru terjadi akan segera padam apabila dilakukan dengan pengabutan.
Panas yang ditimbulkan berkurang karena butir-butir uap air yang ditembakan menyerap
panas. Petugas yang bekerja pada lini depan dapat bertahan dalam waktu yang cukup lama.
Efektifitas pemadaman akan berlangsung baik.
12. Pemadaman kawah api pada lahan gambut bekas terjadinya kebakaran dilakukan dengan
mengatur stik semprot seperti laju peluru. Air yang ditembakkan akan masuk pada kawah-
kawah yang dalam dan akan memadamkan api secara baik.
BAB IV
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai harganya karena didalamnya
terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu
dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, dan
sebagainya. Karena itu pemanfaatan dan perlindungannya diatur oleh Undang-undang dan
peraturan pemerintah.
Kebakaran merupakan salah satu bentuk gangguan terhadap sumberdaya hutan dan akhir-
akhir ini makin sering terjadi. Kebakaran hutan menimbulkan kerugian yang sangat besar dan
dampaknya sangat luas, bahkan melintasi batas negara. Di sisi lain upaya pencegahan dan
pengendalian yang dilakukan selama ini masih belum memberikan hasil yang optimal. Oleh
karena itu perlu perbaikan secara menyeluruh, terutama yang terkait dengan kesejahteraan
masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan.
3.2 Saran
Melihat dari akibat kebakaran hutan diatas, maka dari itu kita sebagai manusia hendaknya
bisa menjaga hutan dengan sebaik-baiknya, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan.
DAFTAR PUSTAKA
http://niasrait.blogspot.com/2014/02/karya-tulis-pelestarian-hutan-untuk.html
http://www.slideshare.net/IqbalM99/karya-ilmiah-kebakaran-hutan
https://erlinustantina.wordpress.com/2012/10/16/karya-tulis-ilmiah/
http://roockiez.blogspot.com/2012/11/contoh-karya-ilmiah.html
Waliadi, Suhada, dan Dedi. 2005. Mengelola Bencana Kebakaran Lahan dan Hutan.
Palangkaraya: CARE International Indonesia
MAKALAH PENANGGULANGAN BENCANA Kebakaran Hutan Di Kalimantan Tengah
MAKALAH PENANGGULANGAN BENCANA

Kebakaran Hutan Di Kalimantan Tengah

Disusun oleh:

Madalena Frani Martins Gama Dias

23.1162

H2- Kebijakan Publik

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

KAMPUS CILANDAK
Bab I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu Negara tropis yang memiliki wilayah hutan terluas di
dunia setelah Brazil dan Zaire. Hal ini merupakan suatu kebanggaan bagi bangsa Indonesia,
karena dilihat dari manfaatnya sebagai paru-paru dunia, pengatur aliran air, pencegah erosi dan
banjir serta dapat menjaga kesuburan tanah. Selain itu, hutan dapat memberikan manfaat
ekonomis sebagai penyumbang devisa bagi kelangsungan pembangunan di Indonesia. Karena
itu pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990,
UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan
Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan.
Hutan yang seharusnya dijaga dan dimanfaatkan secara optimal dengan memperhatikan aspek
kelestarian kini telah mengalami degradasi dan deforestasi yang cukup mencenangkan bagi
dunia Internasional, faktanya Indonesia mendapatkan rekor dunia guiness yang dirilis oleh
Greenpeace sebagai negara yang mempunyai tingkat laju deforestasi tahunan tercepat di dunia,
Sebanyak 72 persen dari hutan asli Indonesia telah musnah dengan 1.8 juta hektar hutan
dirusakan per tahun antara tahun 2000 hingga 2005, sebuah tingkat kerusakan hutan sebesar
2% setiap tahunnya.

Masalah kebakaran hutan telah menjadi isu nasional yang patut mendapat perhatian
serius dari pemerintah. Kejadian ini terjadi setiap tahun secara berulang, khususnya di di Pulau
Kalimantan. Perlu dipahami bahwa, instansi pemerintah dan masyarakat, termasuk petani,
perusahaan-perusahaan perkebunan dan HTI, merupakan mata rantai yang tidak terputus yang
terkait langsung dengan kebakaran hutan ini. Dampak kebakaran hutan yang paling menonjol
adalah terjadinya kabut asap yang merugikan kesehatan masyarakat dan terganggunya sistem
transportasi sungai, darat, laut, dan udara serta mempengaruhi sendi-sendi perekonomian
lainnya.

Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan selama ini tidak
memperhatikan manfaat yang akan diperoleh dari keberadaan hutan tersebut, sehingga
kelestarian lingkungan hidup menjadi terganggu. Penyebab utama kerusakan hutan adalah
kebakaran hutan. Kebakaran hutan terjadi karena manusia yang menggunakan api dalam
upaya pembukaan hutan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI), perkebunan, dan pertanian.
selain itu, kebakaran didukung oleh pemanasan global, kemarau ekstrim yang seringkali
dikaitkan dengan pengaruh iklim yang memberikan kondisi ideal untuk terjadinya kebakaran
hutan.

Persepsi dan pendapat masyarakat yang berkembang tentang peristiwa kebakaran yang
sering terjadi belakangan ini adalah bahwa kebakaran tersebut terjadinya di dalam hutan
semata, padahal sesungguhnya peristiwa tersebut dapat saja terjadi di luar kawasan hutan.
Seharusnya kebakaran hutan dan lahan dipandang sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dalam sistem pengendaliannya. Kebakaran hutan di Indonesia pada saat ini dapat
dipandang sebagai peristiwa bencana regional dan global. Hal ini disebabkan karena dampak
dari kebakaran hutan sudah menjalar ke negara-negara tetangga dan gas-gas hasil pembakaran
yang diemisikan ke atmosfer (seperti CO2) berpotensi menimbulkan pemanasan global.
Kebakaran hutan di Indonesia tidak hanya terjadi di lahan kering tetapi juga di lahan basah
seperti lahan/hutan gambut seperti halnya di Kalimantan tengah, terutama pada musim
kemarau, dimana lahan basah tersebut mengalami kekeringan. Pembukaan lahan gambut
berskala besar dengan membuat saluran/parit telah menambah resiko terjadinya kebakaran di
saat musim kemarau. Pembuatan saluran/ parit telah menyebabkan hilangnya air tanah dalam
gambut sehingga gambut mengalami kekeringan yang berlebihan di musim kemarau dan
mudah terbakar. Terjadinya gejala kering tak balik (irreversible drying) dan gambut berubah
sifat seperti arang menyebabkan gambut tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air.

1.2 Rumusan Masalah


1. Pengertian dan manfaat hutan
2. Kerusakan hutan dan penyebabnya terjadinya kebakaran hutan
3. Penyebab dan dampak kebakaran hutan di Kalimantan Tengah
4. Pencegahan dan penaggulangan kebakaran hutan di Kalimantan Tengah

1.3 Tujuan

1. Mengetahui pengertian dan manfaat hutan di Indonesia

2. Mengetahui penyebab kerusakan hutan yang terjadi di Kalimantan Tengah

3. Mengetahui pengertian dan jenis-jenis kebakaran hutan

4. Mengetahui penyebab dan dampak kebakaran hutan

5. Mengetahui cara pencegahan dan penaggulangan kebakaran hutan.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hutan

Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat


oleh pepohonan dantumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-
wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide
sink), habitathewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah
satu aspekbiosfer Bumi yang paling penting.

Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Kita dapat menemukan
hutan baik di daerah tropis maupun daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun
di pegunungan, di pulau kecil maupun di benua besar. Hutan merupakan suatu kumpulan
tumbuhan dan juga tanaman, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang
menempati daerah yang cukup luas. Pohon sendiri adalah tumbuhan cukup tinggi dengan masa
hidup bertahun-tahun. Jadi, tentu berbeda dengan sayur-sayuran atau padi-padian yang hidup
semusim saja. Pohon juga berbeda karena secara mencolok memiliki sebatang pokok tegak
berkayu yang cukup panjang dan bentuk tajuk (mahkota daun) yang jelas. Suatu kumpulan
pepohonan dianggap hutan jika mampu menciptakan iklim dan kondisi lingkungan yang khas
setempat, yang berbeda daripada daerah di luarnya. Jika kita berada di hutan hujan tropis,
rasanya seperti masuk ke dalam ruang sauna yang hangat dan lembap, yang berbeda daripada
daerah perladangan sekitarnya. Pemandangannya pun berlainan. Ini berarti segala tumbuhan
lain dan hewan (hingga yang sekecil-kecilnya), serta beraneka unsur tak hidup lain termasuk
bagian-bagian penyusun yang tidak terpisahkan dari hutan. Hutan sebagai suatu ekosistem
tidak hanya menyimpan sumberdaya alam berupa kayu, tetapi masih banyak potensi non kayu
yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat melalui budidaya tanaman pertanian pada
lahan hutan. Sebagai fungsi ekosistem hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti
penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup berjuta flora dan fauna, dan peran
penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan global. Sebagai fungsi
penyedia air bagi kehidupan hutan merupakan salah satu kawasan yang sangat penting, hal ini
dikarenakan hutan adalah tempat bertumbuhnya berjuta tanaman

Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, mendefinisikan hutan sebagai


suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang
didominasi jenis pepohonan dalam persekutuan dengan lingkungannya, yang satu dengan lain
tidak dapat dipisahkan. Hutan merupakan suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang
hidup dalam lapisan dan permukaan tanah, yang terletak pada suatu kawasan dan membentuk
suatu ekosistem yang berada dalam keadaan keseimbangan dinamis.

2.2 Manfaat Hutan

Sejak jaman nenek moyang manusia, hutan telah dijadikan sebagai lahan untuk
mencari nafkah hidup. Sejak itu pula telah ada kearifan lokal manusia untuk melindungi dan
melestarikan hutan dan lingkungannya sehingga hutan tetap menjadi primadona penopang
kehidupan mereka.

Hutan diketahui memiliki manfaat yang langsung maupun tidak langsung bagi kehidupan
manusia, seperti yang dikemukakan sebagai berikut.
1. Manfaat langsung

a. Sumber bahan/konstruksi bangunan (rumah, jembatan, kapal, perahu, bantalan kereta api,
tiang listrik, plywood, particle board, panel-panel dll).

b. Sumber bahan pembuatan perabot rumah (meubel, ukiran, piring, senduk, mangkok dll).

c. Sumber bahan pangan (sagu, umbian, sayuran, dll).

d. Sumber protein (madu, daging, sarang burung, dll).

e. Sumber pendukung fasilitas pendidikan (pinsil dan kertas).

f. Sumber bahan bakar (kayu api, arang dll).

g. Sumber oksigen (pernapasan manusia, respirasi hewan)

h. Sumber pendapatan (penjualan hasil hutan kayu dan non kayu)

i. Sumber obat-abatan (daun, kulit, getah, buah/biji)

j. Habitat satwa (makan, minum, main, tidur)

2. Manfaat tidak langsung

a. Pengatur sistem tata air (debit air, erosi, banjir, kekeringan)


b. Kontrol pola iklim (suhu, kelembaban, penguapan)
c. Kontrol pemanasan bumi
d. Ekowisata (rekreasi, berburu, camping dll)
e. Laboratorium plasma nutfah (taman nasional, kebun raya dll)
f. Pusat pendidikan dan penelitian
g. Sumber bahan pendukung industri-industri kimia (pewarna, terpen, kosmetik, obat-obatan,
tekstil dll).
h. Menghasilkan devisa lewat program CDM dan REDD.

Hutan merupakan suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang hidup dalam
lapisan dan permukaan tanah, yang terletak pada suatu kawasan dan membentuk suatu
ekosistem yang berada dalam keadaan keseimbangan dinamis. Dengan demikian berarti
berkaitan dengan proses-proses yang berhubungan yaitu:

1. Hidrologis,
artinya hutan merupakan gudang penyimpanan air dan tempat menyerapnya air hujan maupun
embun yang pada akhirnya akan mengalirkannya ke sungai-sungai yang memiliki mata air di
tengah-tengah hutan secara teratur menurut irama alam. Hutan juga berperan untuk melindungi
tanah dari erosi dan daur unsur haranya.

2. Iklim,
artinya komponen ekosistern alam yang terdiri dari unsur-unsur hujan (air), sinar matahari
(suhu), angin dan kelembaban yang sangat mempengaruhi kehidupan yang ada di permukaan
bumi, terutama iklim makro maupun mikro.

3. Kesuburan tanah.

artinya tanah hutan merupakan pembentuk humus utama dan penyimpan unsur-unsur mineral
bagi tumbuhan lain. Kesuburan tanah sangat ditentukan oleh faktor-faktor seperti jenis batu
induk yang membentuknya, kondisi selama dalam proses pembentukan, tekstur dan struktur
tanah yang meliputi kelembaban, suhu dan air tanah, topografi wilayah, vegetasi dan jasad
jasad hidup. Faktor-faktor inilah yang kelak menyebabkan terbentuknya bermacam-macam
formasi hutan dan vegetasi hutan.

4. Keanekaragaman genetic.

Artinya hutan memiliki kekayaan dari berbagai jenis flora dan fauna. Apabila hutan tidak
diperhatikan dalam pemanfaatan dan kelangsungannya, tidaklah mustahil akan terjadi erosi
genetik. Hal ini terjadi karena hutan semakin berkurang habitatnya.

5. Sumber daya alam.

Artinya hutan mampu memberikan sumbangan hasil alam yang cukup besar bagi devisa negara,
terutama di bidang inciustri. Selain itu hutan juga memberikan fungsi kepada masyarakat
sekitar hutan sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Selain kayu juga dihasilkan bahan lain
seperti damar, kopal, gondorukem, terpentin, kayu putih dan rotan serta tanaman obat-obatan.

6. Wilayah wisata alam.

Artinya hutan mampu berfungsi sebagai sumber inspirasi, nilai estetika, etika dan sebagainya.

Penyelenggaraan kehutanan tersebut bertujuan untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan


dan berkelanjutan dengan:

1. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang
proporsional;
2. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi
lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan
ekonomi, yang seimbang dan lestari;
3. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;
4. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan
masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga
mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat
perubahan eksternal; dan
5. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Sampai saat ini manusia tergantung dari hutan bahkan semakin dirasakan manfaatnya
terutama, Hutan merupakan paru-paru dunia (planet bumi) sehingga perlu kita jaga karena
jika tidak maka hanya akan membawa dampak yang buruk bagi kita di masa kini dan masa
yang akan datang.
1. Manfaat/Fungsi Ekonomi
- Hasil hutan dapat dijual langsung atau diolah menjadi berbagai barang yang bernilai tinggi.
- Membuka lapangan pekerjaan bagi pembalak hutan legal.
- Menyumbang devisa negara dari hasil penjualan produk hasil hutan ke luar negeri.

2. Manfaat/Fungsi Klimatologis
- Hutan dapat mengatur iklim
- Hutan berfungsi sebagai paru-paru dunia yang menghasilkan oksigen bagi kehidupan.

3. Manfaat/Fungsi Hidrolis
- Dapat menampung air hujan di dalam tanah
- Mencegah intrusi air laut yang asin
- Menjadi pengatur tata air tanah

4. Manfaat/Fungsi Ekologis
- Mencegah erosi dan banjir
- Menjaga dan mempertahankan kesuburan tanah
- sebagai wilayah untuk melestarikan kenaekaragaman hayati

2.3 Pengertian dan Definisi Kebarakan Hutan

Kebakaran hutan merupakan suatu faktor lingkungan dari api yang memberikan
pengaruh terhadap hutan, menimbulkan dampak negatif maupun positif. kebakaran hutan yang
terjadi adalah akibat ulah manusia maupun faktor alam. Penyebab kebakaran hutan yang
terbanyak karena tindakan dan kelalaian manusia. Ada yang menyebutkan hampir 90%
kebakaran hutan disebabkan oleh manusia sedangkan hanya 10% yang disebabkan oleh alam.
Pengertian dan definisi lain yang diberikan untuk Kebakaran Hutan adalah suatu keadaan
dimana hutan dilanda api sehingga berakibat timbulnya kerugian ekosistem dan terancamnya
kelestarian lingkungan. Upaya pencegahan Kebakaran Hutanmerupakan suatu
usaha Perlindungan Hutan agar kebakaran hutan yang berdampak negatif tidak meluas.

Menurut Kamus Kehutanan, Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Kebakaran Hutan


(Wild Fire Free Burning, Forest Fire) didefinisikan sebagai :

1. Kebakaran yang tidak disebabkan oleh unsur kesengajaan yang mengakibatkan


kerugian. Kebakaran terjadi karena faktor-faktor:
 alam (misalnya musim kemarau yang terlalu lama)
 manusia (misalnya karena kelalaian manusia membuat api di tengah-
tengah hutan di musim kemarau atau di hutan-hutan yang mudah terbakar.
2. Bentuk Kerusakan Hutan yang disebabkan oleh api di dalam areal hutan negara.
Istilah Kebakaran hutan di dalam Ensiklopedia Kehutanan Indonesia disebut juga Api Hutan.
Selanjutnya dijelaskan bahwa Kebakaran Hutan atau Api Hutan adalah Api Liar yang terjadi
di dalam hutan, yang membakar sebagian atau seluruh komponen hutan. Dikenal ada 3 macam
kebakaran hutan, Jenis-jenis kebakaran hutan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Api Permukaan atau Kebakaran Permukaan yaitu kebakaran yang terjadi
pada lantai hutan dan membakar seresah, kayu-kayu kering dan tanaman bawah. Sifat
api permukaan cepat merambat, nyalanya besar dan panas, namun cepat padam. Dalam
kenyataannya semua tipe kebakaran berasal dari api permukaan.
2. Api Tajuk atau Kebakaran Tajuk yaitu kebakaran yang membakar seluruh
tajuk tanaman pokok terutama pada jenis-jenis hutan yang daunnya mudah terbakar.
Apabila tajuk hutan cukup rapat, maka api yang terjadi cepat merambat dari satu tajuk
ke tajuk yang lain. Hal ini tidak terjadi apabila tajuk-tajuk pohon penyusun tidak saling
bersentuhan.
3. Api Tanah adalah api yang membakar lapisan organik yang dibawah lantai
hutan. Oleh karena sedikit udara dan bahan organik ini, kebakaran yang terjadi tidak
ditandai dengan adanya nyala api. Penyebaran api juga sangat lambat, bahan api
tertahan dalam waktu yang lama pada suatu tempat.
Kebakaran dan Pembakaran
Kebakaran dan pembakaran merupakan sebuah kata dengan kata dasar yang sama tetapi
mempunyai makna yang berbeda. Kebakaran indentik dengan kejadian yang tidak disengaja
sedangkan pembakaran identik dengan kejadian yang sengaja diinginkan tetapi tindakan
pembakaran dapat juga menimbulkan terjadinya suatu kebakaran. Penggunaan istilah
kebakaran hutan dengan pembakaran terkendali merupakan suatu istilah yang berbeda.
Penggunaan istilah ini sering kali mengakibatkan timbulnya persepsi yang salah terhadap
dampak yang ditimbulkannya.

Kebakaran-kebakaran yang sering terjadi digeneralisasi sebagai kebakaran hutan, padahal


sebagian besar (99,9%) kebakaran tersebut adalah pembakaran yang sengaja dilakukan
maupun akibat kelalaian, baik oleh peladang berpindah ataupun oleh pelaku binis kehutanan
atau perkebunan, sedangkan sisanya (0,1%) adalah karena alam (petir, larva gunung berapi).
Saharjo (1999) menyatakan bahwa baik di areal HTI, hutan alam dan perladangan berpindah
dapat dikatakan bahwa 99% penyebab kebakaran hutan di Indonesia adalah berasal dari ulah
manusia, entah itu sengaja dibakar atau karena api lompat yang terjadi akibat kelalaian pada
saat penyiapan lahan. Bahan bakar dan api merupakan faktor penting untuk mempersiapkan
lahan pertanian dan perkebunan (Saharjo, 1999). Pembakaran selain dianggap mudah dan
murah juga menghasilkan bahan mineral yang siap diserap oleh tumbuhan. Banyaknya jumlah
bahan bakar yang dibakar di atas lahan akhirnya akan menyebabkan asap tebal dan kerusakan
lingkungan yang luas. Untuk itu, agar dampak lingkungan yang ditimbulkannya kecil, maka
penggunaan api dan bahan bakar pada penyiapan lahan haruslah diatur secara cermat dan hati-
hati. Untuk menyelesaikan masalah ini maka manajemen penanggulangan bahaya kebakaran
harus berdasarkan hasil penelitian dan tidak lagi hanya mengandalkan dari
terjemahan textbook atau pengalaman dari negara lain tanpa menyesuaikan dengan keadaan
lahan di Indonesia (Saharjo, 2000).

2.4 Penyebab dan dampak kebakaran hutan di Kalimantan Tengah

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia meningkat selama sepuluh tahun terakhir ini,
sebagian besar disebabkan oleh ulah manusia (yang disengaja atau karena lalai) juga karena
kondisi yang sangat kering sebagai pengaruh terjadinya perubahan iklim global/makro yang
melanda wilayah Indonesia.

Unsur iklim/cuaca.

Kebakaran hutan dan lahan, dapat pula terjadi pada musim hujan yang disebabkan
karena kejadian alam yaitu halilintar/petir menyambar pohon yang bertajuk dalam keadaan
basah (pohon pinus) sehingga menimbulkan kebakaran tajuk yang hebat pada hutan pinus.
Dengan adanya iklim ekstrim seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu di Kalimantan
Tengah dimana musim kemarau dan penghujan tidak menentu yaitu bila musim
kemarau/kering tiba dan sangat panas yang memungkinkan terjadinya kebakaran hutan dan
lahan, sebaliknya bila musim hujan terjadi longsor dan banjir. Beberapa unsur penyebab
terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah panas, bahan bakar dan udara/oksigen. Pada
prinsipnya, pengendalian kebakaran hutan dan lahan adalah menghilangkan salah satu atau
lebih dari unsur-unsur tersebut. Penyebaran api bergantung kepada bahan bakar/vegetasi
tanaman dan cuaca. Bahan bakar berat seperti log, tonggak dan cabang-cabang kayu dalam
keadaan kering bisa terbakar, meski lambat tetapi menghasilkan panas yang tinggi. Bahan
bakar ringan seperti rumput, ranting kering, daun-daun pinus dan serasah, mudah terbakar dan
cepat menyebar, yang selanjutnya dapat menyebabkan kebakaran hutan/lahan yang besar.

Unsur-unsur cuaca yang penting yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan adalah
angin, kelembaban dan suhu. Angin yang bertiup kencang meningkatkan pasokan udara
sehingga mempercepat penyebaran api. Pada kasus kebakaran besar, angin bersifat simultan.
Semakin besar kebakaran, tiupan angin semakin kencang akibat perpindahan massa udara
padat di sekitar kebakaran ke ruang udara renggang di tempat kebakaran. Kadar air/kelembaban
bahan bakar juga penting untuk dipertimbangkan dalam pengendalian kebakaran hutan dan
lahan. Pada keadaan normal, api menyala perlahan pada malam hari karena kelembaban udara
diserap oleh bahan bakar. Udara yang lebih kering pada siang hari dapat menyebabkan
kebakaran yang cepat. Oleh sebab itu, secara teknis pada malam hari akan lebih mudah
mengendalikan kebakaran hutan/lahan daripada siang hari.

Ulah manusia

Dalam banyak kasus, kebakaran hutan juga berawal dari kesengajaan manusia
melakukan pembakaran hutan dan lahan yang akan dipergunakan untuk hutan tanaman industri
(HTI), perkebunan, ladang, penggembala/pemburu yang ingin merangsang tumbuhnya rumput,
pengusir lebah dari sarangnya oleh peternak lebah/pengumpul madu dan para perambah hutan.
Pembakaran juga dilakukan pada lahan pertanian/perkebunan untuk membersihkan daun
kering tanaman, sisa-sisa panen serta limbah tanaman pada calon lokasi lahan
perkebunan/pertanian dalam kegiatan persiapan lahan. Karena kebakaran biasanya dilakukan
pada musim kemarau dan kurang diawasi sehingga api mudah merambat kekawasan hutan dan
lahan sekitar yang menyebabkan kerugian baik ekologis maupun ekonomis.

Konflik social.

Penyebab sosial, umumnya berawal dari suatu konflik antara para pemilik modal
industri perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk asli yang merasa kepemilikan
tradisional (adat) mereka atas lahan, hutan dan tanah dikuasai oleh para investor yang diberi
pengesahan melalui hukum positif negara. Akibatnya kekesalan masyarakat dilampiaskan
dengan melakukan pembakaran demi mempertahankan lahan yang telah mereka miliki secara
turun temurun. Pada situasi seperti ini, masalah kemiskinan dan ketidak adilan menjadi pemicu
kebakaran hutan dan masyarakat tidak akan mau berpartisipasi untuk memadamkannya.

Ex. Kebakaran Hutan Yang Terjadi di Kalimantan Tengah


Saturday, 04 October 2014, 14:36 WIB
PALANGKARAYA, KOMPAS.com --Pemerintah Kota Palangka Raya, Kalimantan
Tengah, untuk sementara meliburkan seluruh aktivitas sekolah sejak Jumat (3/10). Kebijakan
itu dipicu polusi udara akibat asap yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan yang sudah
mencapai level berbahaya.
"Siswa sekolah semua tingkatan mulai hari ini sampai dengan Senin (6/10) diliburkan," kata
Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Palangka Raya Norma Hikmah di Palangka
Raya, kemarin. Ia meng ungkapkan, surat edaran resmi dari Wali Kota Palangka Raya Nomor
394 Tahun 2014 sudah diberikan ke masing-masing sekolah.
Wali Kota Palangka Raya HM Riban Satia juga mengingatkan seluruh peserta didik yang ada
di wilayah Palangka Raya untuk tidak melakukan aktivitas berlebihan di luar sekolah.
"Peserta didik diharap kan selalu memakai masker (penutup hidung) apabila melakukan
aktivitas, baik di luar sekolah dan se bagainya. Dan, tidak diperkenankan kegiatan belajar
mengajar di luar ruang kelas," kata Riban Satia.
Sementara itu, Polda Jambi mem bentuk tim khusus untuk meng antisipasi kebakaran lahan
dan hutan serta untuk mengatasi kabut asap yang kian pekat mencemari udara. Kapolda
Jambi Brigjen Bambang Sudarisman mengatakan, tim terpadu ini dibentuk mulai dari tingkat
polda hingga polres. Selain polisi, tim terpadu ini juga akan melibatkan TNI serta instansi
terkait lainnya.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, titik panas (hotspot) masih tersebar di brbagai daerah.
"Di Kali mantan Tengah dan Sumatra Selatan, hotspotsulit mati karena pembakaran masih
terus dilakukan," ujarnya, Kamis (2/10).
Kepala BNPB Syamsul Maarif telah memerintahkan para deputi BNPB untuk mendampingi
BPBD melakukan pemadaman titik api.
BNPB telah mengerahkan 2.200 personel TNI dan 1.050 personel Polri untuk membantu
BPBD, Manggala Agni, dalam pemadaman darat. Satgas udara, BNPB, bersama BPBD saat
ini masih melakukan water bombingdari udara dan melakukan modifikasi cuaca di Riau,
Jambi, Sumatra Selatan, Kalimatan Barat, dan Kalimantan Tengah.
rep:Dyah Ratna Meta Novia
/antara, ed:fitriyan zamzami

Kutipan berita di atas merupakan salah satu bencana yang baru-baru ini terjadi di
Kalimantan Tengah. Pada saat kebakaran yang tidak diinginkan merusak hutan dan aset
lainnya, masyarakat lokal seringkali dianggap dan dicurigai sebagai penyebab karena mereka
membakar hutan sewaktu menyiapkan lahan untuk kegiatan pertanian. Kalaupun tidak
dipersalahkan, masyarakat lokal cenderung dipandang sebagai korban yang tidak berdaya,
yang harus menanggung dampak negatif dari kebakaran hutan dan/atau lahan. Berbagai
penelitian yang dilakukan di seluruh dunia menunjukkan bahwa persepsi ini perlu ditinjau
kembali karena masyarakat lokal melakukan pengelolaan kebakaran dalam berbagai situasi dan
untuk berbagai alasan yang berbeda. Bahkan masyarakat lokal seringkali menjadi yang terbaik
dalam mengelola atau mencegah kebakaran pada skala lokal. Masyarakat lokal pun mempunyai
peran yang semakin penting dalam manajemen kebakaran di negara-negara yang
pemerintahannya memiliki keterbatasan untuk menangani kebakaran hutan.

Keberhasilan pelibatan masyarakat dalam manajemen kebakaran bergantung pada


berbagai faktor. Motivasi masyarakat untuk mengelola kebakaran dipengaruhi oleh seberapa
besar ketergantungan mereka dan/atau hak yang mereka miliki untuk menggunakan dan
memiliki akses terhadap sumber-sumber daya hutan. Meskipun demikian, penting untuk
disadari bahwa masyarakat tidak dapat memberikan solusi lengkap dalam menangani
kebakaran hutan yang berbahaya. Pihak-pihak lain yang terlibat, termasuk pemerintah dan
sektor swasta, harus ikut memainkan peranan penting, khususnya dalam persiapan menghadapi
dan memadamkan kebakaran yang luas. Berkaitan dengan penggunaan api untuk pertanian oleh
masyarakat, perlu dibedakan antara api yang bermanfaat dan api yang membahayakan. Bagi
masyarakat, api merupakan satu-satunya alat yang tersedia untuk menyiapkan lahan.
Penggunaan api biasanya mampu dikendalikan dan skalanya pun kecil. Perlu dipahami bahwa
api menjadi masalah jika penggunaannya lepas kendali.

Kebakaran hutan yang tidak disengaja berawal dari musim panas yang berkepanjangan.
Pada musim panas sumber-sumber air menjadi kering termasuk hutan terjadi kehilangan air
karena proses evapotranspirasi. Batang, ranting, dan daun yang kering merupakan sumber
bahan bakar yang potensial untuk terjadinya kebakaran hutan. Bila ada pemicu seperti
terjadinya gesekan antara batang atau ranting pohon akan menimbulkan api, kemudian
kebakaran akan menyebarluas dengan cepat. Hal ini menjadi lebih parah jika terjadi pada
lahan-lahan gambut seperti beberapa daerah di Indonesia. Seperti Kebakaran hutan di
Kalimantan Tengah yang mempunyai lahan gambut. Gambut merupakan batu bara muda
sumber bahan bakar yang potensial bila terjadinya kebakaran hutan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan seperti :

 Bahan bakar (ukuran, susunan, volume, jenis, kandungan air/kimia)


 Cuaca (angin, suhu udara, curah hujan, tanah, kelembaban nisbi)
 Waktu (21.00-06.00 lambat)
 Topografi (kemiringan, arah lereng, medan)
 Proses Kebakaran yang berperan didalamnya seperti : udara, bahan bakar dan panas
(suhu tinggi) menimbulkan nyala Api menjalar
 Penyebaran kebakaran dan panas yang terjadi melalui konduksi, radiasi, dan konveksi.
Kebakaran merupakan faktor ekologi potensial yang mempengaruhi hampir seluruh
ekosistem darat, walaupun hanya terjadi pada frekwensi yang kecil. Pengaruh api terhadap
ekosistem ditentukan oleh frekwensi, intensitas dan tipe kebakaran yang terjadi serta kondisi
lingkungan. Api yang terjadi di dalam hutan dapat menimbulkan kerusakan yang besar, tetapi
dalam kondisi tertentu pembakaran dapat memberikan manfaat dalam pengelolaan hutan.
Kebakaran hutan merusak hampir seluruh komponen hutan, sehingga tujuan pengelolaan dan
fungsi hutan tidak tercapai. Asap tebal yang terjadi akibat kebakaran hutan juga menimbulkan
gangguan terhadap kehidupan yang lebih luas. Luka-luka pada pohon dan pohon-pohon yang
lemah akibat kebakaran memberikan peluang lebih tinggi kepada penyebab kerusakan lain
terutama hama dan penyakit.

Dampak kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan Tengah

Kebakaran hutan/lahan gambut secara nyata berpengaruh terhadap terdegradasinya kondisi

lingkungan, kesehatan manusia dan aspek sosial ekonomi bagi masyarakat.

1. Terdegradasinya kondisi lingkungan

Perubahan kualitas fisik gambut (penurunan porositas total, penurunan kadar air tersedia,
penurunan permeabilitas dan meningkatnya kerapatan lindak);

Perubahan kualitas kimia gambut (peningkatan pH, kandungan N-total, kandungan fosfor
dan kandungan basa total yaitu Kalsium, Magnesium, Kalium, dan Natrium, tetapi terjadi
penurunan kandungan C-organik);

Terganggunya proses dekomposisi tanah gambut karena mikroorganisme yang mati akibat
kebakaran;

Suksesi atau perkembangan populasi dan komposisi vegetasi hutan juga akan terganggu
(benih-benih vegetasi di dalam tanah gambut rusak/terbakar) sehingga akan menurunkan
keanekaragaman hayati;

Rusaknya siklus hidrologi (menurunkan kemampuan intersepsi air hujan ke dalam tanah,
mengurangi transpirasi vegetasi, menurunkan kelembaban tanah, dan meningkatkan jumlah air
yang mengalir di permukaan (surface run off). Kondisi demikian menyebabkan gambut
menjadi kering dan mudah terbakar, terjadinya sedimentasi dan perubahan kualitas air serta
turunnya populasi dan keanekaragaman ikan di perairan. Selain itu kerusakan hidrologi di lahan
gambut akan menyebabkan jangkauan intrusi air laut semakin jauh ke darat;

Gambut menyimpan cadangan karbon, apabila terjadi kebakaran maka akan terjadi emisi
gas karbondioksida dalam jumlah besar. Sebagai gas rumah kaca, karbondioksida berdampak
pada pemanasan global. Berdasarkan studi ADB, kebakaran gambut 1997 menghasilkan emisi
karbon sebesar 156,3 juta ton (75% dari total emisi karbon) dan 5 juta ton partikel debu.

2. Kesehatan manusia

Ribuan penduduk dilaporkan menderita penyakit infeksi saluran pernapasan, sakit mata
dan batuk sebagai akibat dari asap kebakaran. Kebakaran gambut juga menyebabkan rusaknya
kualitas air, sehingga air menjadi kurang layak untuk diminum.

3. Aspek sosial ekonomi


Hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat yang masih menggantungkan hidupnya
pada hutan (berladang, beternak, berburu/menangkap ikan);

Penurunan produksi kayu;

Terganggunya kegiatan transportasi;

Terjadinya protes dan tuntutan dari negara tetangga akibat dampak asap kebakaran;

Meningkatnya pengeluaran akibat biaya untuk pemadaman.

Penyebab kebakaran hutan di Kalimantan Tengah

Lebih dari 99% penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut adalah akibat ulah manusia, baik
yang sengaja melakukan pembakaran ataupun akibat kelalaian dalam menggunakan api. Hal
ini didukung oleh kondisi-kondisi tertentu yang membuat rawan terjadinya kebakaran, seperti
gejala El Nino, kondisi fisik gambut yang terdegradasi dan rendahnya kondisi sosial ekonomi
masyarakat.

1. Unsur iklim/cuaca.

Kebakaran hutan dan lahan, dapat pula terjadi pada musim hujan yang disebabkan karena
kejadian alam yaitu halilintar/petir menyambar pohon yang bertajuk dalam keadaan basah
(pohon pinus) sehingga menimbulkan kebakaran tajuk yang hebat pada hutan pinus. Dengan
adanya iklim ekstrim seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu di Kalimantan Tengah
dimana musim kemarau dan penghujan tidak menentu yaitu bila musim kemarau/kering tiba
dan sangat panas yang memungkinkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

2. Penyebab kebakaran oleh manusia dapat dirinci sebagai berikut:

a. Pembakaran vegetasi. Kebakaran yang disebabkan oleh api yang berasal dari pembakaran
vegetasi yang disengaja tetapi tidak dikendalikan pada saat kegiatan, misalnya dalam
pembukaan areal HTI dan perkebunan serta penyiapan lahan pertanian oleh masyarakat.

b. Aktivitas dalam pemanfaatan sumber daya alam. Kebakaran yang disebabkan oleh api yang
berasal dari aktivitas manusia selama pemanfaatan sumber daya alam, misalnya pembakaran
semak belukar yang menghalangi akses mereka dalam pemanfaatan sumber daya alam serta
pembuatan api untuk memasak oleh para penebang liar dan pencari ikan di dalam hutan.
Keteledoran mereka dalam memadamkan api dapat menimbulkan kebakaran.

c. Penguasaan lahan. Api sering digunakan masyarakat lokal untuk memperoleh kembali hak-
hak mereka atas lahan.
3. Penyebab konflik social yang pada umumnya berawal dari suatu konflik antara para pemilik
modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk asli yang merasa
kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan, hutan dan tanah dikuasai oleh para investor
yang diberi pengesahan melalui hukum positif negara. Akibatnya kekesalan masyarakat
dilampiaskan dengan melakukan pembakaran demi mempertahankan lahan yang telah mereka
miliki secara turun temurun.

Faktor pendukung kerawanan terjadinya kebakaran hutan di Kaliamnatan Tengah

1. Kerawanan terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut tertinggi terjadi pada musim
kemarau dimana curah hujan sangat rendah dan intensitas panas matahari tinggi. Kondisi ini
pada umumnya terjadi antara bulan Juni hingga Oktober dan kadang pula terjadi pada bulan
Mei sampai November. Kerawanan kebakaran semakin tinggi jika ditemukan adanya gejala El
Nino;

2. Pembuatan kanal-kanal dan parit di lahan gambut telah menyebabkan gambut mengalami
pengeringan yang berlebihan di musim kemarau dan mudah terbakar;

3. Areal rawa gambut merupakan lahan yang miskin hara dan tergenang air setiap tahunnya,
sehingga kurang layak untuk pertanian. Untuk

2.5 Pencegahan dan penaggulangan kebakaran hutan di Kalimantan Tengah

A. Peran Pemerintah

Penanganan Kebakaran hutan, lahan dan kebun menjadi sorotan di dalam negeri tapi
juga dunia luar. Dalam penanganan Kebakaran hutan, lahan dan kebun permerintah Republik
Indonesia telah melakukan upaya-upaya peningkatan efektivitas kesiapsiagaan terhadap
bencana kebakaran hutan, lahan dan kebun. Untuk kesiapsiagaan bencana kebakaran hutan dan
lahan wilayah Kalimantan pada tanggal 31 Juli 2013 sudah dilaksanakan Rapat Koordinasi
Siaga Darurat Bencana Kebakaran Lahan dan Hutan Wilayah Kalimantan. Rapat dihadiri
segenap stakeholder dan kementerian terkait diantaranya Gubernur Kalimantan Tengah,
Kepala BNPB, Deputi I Menkokesra Bidang Lingkungan Hidup dan Kerawanan Sosial,
perwakilan dari BPPT, Kemenhut, Kementan, BMKG, TNI, POLRI, dan perwakilan dari
Provinsi Kalbar, Kalsel, Kaltim serta dihadiri oleh Bupati se Kalimantan Tengah.

Rapat koordinasi tersebut menghasilkan beberapa langkah aksi penting guna memasuki musim
kemarau dimana posko di daerah rawan kebakaran harus segera bergerak agar dapat
mengantisipasi kebakaran yang meluas dan mencegah dampak asap yang dapat ditimbulkan.
Saat ini baik sarana/prasarana dan regu/personel dari berbagai elemen sudah siap di posko
Kalimantan Tengah.

Berikut lokasi Posko darurat kebakaran:


Landasan Udara Halim Perdana Kusuma untuk wilayah Pusat

Provinsi Sumatera Selatan untuk wilayah Sumatera

Provinsi Kalimantan Tengah untuk wilayah Kalimantan

Pada tingkat Internasional terutama di tingkat ASEAN dalam penanganan Kebakaran Hutan
Lahan dan Kebun telah dilaksanakan pertemuan Ministerial Steering Commite (MSC) ke-2
Technical Task Force (MTTF), dan pertemuan ASEAN Sub-Regional Technical Working
Group (TWG) on Transboundary Haze Pollution ke-15 di Kuala Lumpur, Malaysia 15 –
17 Juli 2013.

Pertemuan tersebut membahas tentang rencana aksi Indonesia dalam menangani bencana
kebakaran dan asap lintas batas serta pengembangan teknologi monitoring hotspot.Dalam
pertemuan tersebut Indonesia menyampaikan upaya-upaya nyata dalam pencegahan dan
penanggulangan kebakaran hutan dan lahan yang berakibat terjadinya asap lintas batas di
Provinsi Riau. Upaya-upaya tersebut, antara lain:

- Melakukan monitoring hot spot harian di seluruh wilayah Indonesia, khususnya di 9


(sembilan) provinsi rawan kebakaran yaitu di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi,
Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan
Timur.

- Diseminasi informasi kepada seluruh pemangku kepentingan.

- Pembentukan satgas penanggulangan kebakaran hutan dan lahan serta bencana asap di 9
(sembilan) provinsi rawan kebakaran. termasuk pendirian pusat komando bencana kebakaran
dan asap lintas batas di Landasan udara Halim Perdana Kusuma.

- Melaksanakan tanggap darurat nasional dengan pengerahan personel TNI, POLRI,


BNPB/BPBD, Manggala Agni. Membangun partisipasi masyarakat dalam pencegahan
kebakaran hutan dan lahan. Untuk memberikan efek jera kepada pelaku pembakaran hutan dan
lahan dilakukan penegakkan hukum secara serius dan terpadu.

Proses ratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP), saat ini telah
sampai pada tahap pengajuan kembali ke DPR untuk mendapat persetujuan. Walaupun proses
ratifikasi sedang dilakukan, Indonesia sudah melaksanakan pokok-pokok yang tertuang dalam
AATPH tersebut

Sebagai tindak lanjut upaya penanganan Kebakaran hutan, lahan dan kebun dilaksanakan
Rakor Menteri Tentang Tindak Lanjut Penanggulangan Bencana Asap Akibat Kebakaran
Lahan dan Hutan tanggal 27 Juni 2013 di Kementerian Kehutanan. Terdapat 2 (dua) agenda
yang dibahas dalam pertemuan tersebut. Agenda yang pertama adalah pembentukan satgas
pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta Bencana asap di 8 Provinsi, dilanjutkan dengan
agenda yang kedua yaitu evaluasi penanganan kebakaran hutan dan lahan serta bencana asap
di Provinsi Riau.
Dalam rapat tersebut juga dibahas permasalahan yang timbul dalam upaya pengendalian
kebakaran hutan dan lahan, antara lain:

1. Dibutuhkan volume air yang sangat banyak untuk pemadaman kebakaran di


lahan gambut, sedangkan kejadian kebakaran terjadi pada saat musim kemarau dengan
ketersediaan air yang terbatas.
2. Pemerintah Daerah tidak memiliki pasukan dan sarana prasarana yang memadai
untuk pemadaman kebakaran lahan dan kebun. Selama ini Manggala Agni yang
bertugas memadamkan kebakaran di kawasan hutan dijadikan ujung tombak dalam
pemadaman kebakaran lahan dan kebun. Pada pertemuan tersebut juga disepakati
pembentukan brigade pengendalian kebakaran lahan dan kebun.
Rapat koordinasi menghasilkan beberapa rumusan yang perlu ditindaklanjuti dalam upaya
penanganan kebakaran hutan, lahan dan kebun, diantaranya adalah:
1. Perlunya mengalokasikan anggaran (APBN/APBD) yang memadai dalam upaya pencegahan
dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di sekitar kementrIAN / LEMBAGA.

2. Perlu segera dibentuk SKPD yangkhusus menangani kebakaran hutan dan lahan yang
memiliki sumbsr daya, sarana, prasarana, dan pemberdayaan yang memadai di kabupaten/kota
yang rawan kebakaran.

3. Diperkirakan puncak musim kemarau terjadi pada Bulan Agustus sampai September 2013
untuk itu perlu segera dilakukan sosialisasi kepada pemda dan masyarakat. Sosialisasi
dilakukan di 7 (tujuh) provinsi lain yang diperkirakan akan terjadi kebakaran lahan dan hutan.

4. Dalam upaya kesiapsiagaan ke depan perlu penyediaan pesawat untuk water bombing dan
penyemai hujan. Karena itu rapat menyetujui agar BNPB melakukan usulan inisiatif baru untuk
mendukung kesiapsiagaan tersebut.

5. Dalam rangka pelaksanaan Inpres No. 16 Tahun 2011 Tentang Peningkatan Pengendalian
Kebakaran Hutan dan Lahan perlu dibuat masterplan terpadu lintas Kementerian dengan
anggaran satu pintu, dimana BNPB diharapkan dapat menjadi leading sektor.

Demikian serangkaian Kegiatan upaya peningkatan efektivitas penanganan kebakaran hutan.


Lahan dan kebun yang telah dilaksanakan baik oleh Kementerian Pertanian bersamaan dengan
kementerian lembaga terkait

Dalam menindak lanjuti hal tersebut diatas, Jakarta pada tanggal 17 April 2014.
Berdasarkan prediksi Fire Danger Rating System(FDRS) dan curah hujan yang menurun yang
diinfokan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), maka kebakaran
lahan dan hutan berpotensi terjadi pada 8 Provinsi rawan (Sumatera Utara, Riau, Jambi,
Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur,
Kalimantan Selatan). Kebakaran tersebut berpeluang lebih menyebar dalam periode yang
lebih panjang, karena dipicu oleh fenomena el nino sedang. Untuk itu Kementerian
Lingkungan Hidup menyelenggarakan Lokakarya Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan
yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 16 -17 April 2014. Beberapa isu terkait
pencegahan karhutla dan operasionalisasinya dibahas pada lokakarya ini, diantaranya :

1. Penguatan kapasitas Masyarakat Peduli APi (MPA) dalam pencegahan karhutla di daerah
rawan karhutla untuk bergerak aktif terlibat dalam pencegahan dan penanggulangan karhutla
seperti patroli dan pemadaman dini.

2. Peningkatan kemampuan pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) khususnya di lahan gambut
dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan lahan gambut berkelanjutan.

3. Mengembangkan desa bebas asap.

4. Menyebarluaskan dan mengopersionalkan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) dan


Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran (SPBK) sebagai kriteria kesiapsiagaan di tingkat lokasi
kejadian kebakaran hutan dan lahan

5. Melakukan sosialisasi dan kampanye.

6. Audit lingkungan terhadap perusahaan yang terindikasi tidak taat terhadap peraturan
perundangan di bidang lingkungan hidup.

7. Pemberian insentif untuk implementasi pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB).

8. Menentukan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan.

9. Memetakan lahan konsesi perusahaan kehutanan dan perkebunan.

10. Memperkuat implementasi sistem peringatan dini.

Dalam arahan nya pada lokakarya tersebut, Menteri Lingkungan Hidup, Prof. Dr.
Balthasar Kambuaya, MBA, mengatakan,”Perlu diperhatikan tiga hal dan upaya pencegahan
kebakaran hutan dan lahan yaitu adanya early warning system yang baik, pelibatan masyarakat
dalam penanganganan kebakaran hutan dan lahan serta penegakan hukum”.

Kecenderungan kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) selalu berulang tiap
tahun, dan dalam satu tahun terjadi dua puncak karhutla yaitu Maret-April (periode I) dan
Juli-Agustus (periode II). Karhutla periode I pada tahun 2014 terjadi lebih awal yaitu
Februari. Kejadian karhutla tersebut perlu menjadi rujukan untuk menghadapi periode II.

Dalam kaitan tersebut, maka perlu disusun rencana operasionalisasi pencegahan yang
mampu mengurangi resiko karhutla periode II, dengan tetap mengacu kepada beberapa
peraturan yang tersedia seperti Inpres No 16 tahun 2011 tentang peningkatan Pengendalian
Kebakaran hutan dan Lahan. Dalam Inpres tersebut terdapat beberapa instruksi kepada KLH
antara lain meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM dalam Pengendalian Kebakaran Hutan
dan lahan serta meningkatkan kinerja PPNS akibat kebakaran hutan dan lahan.
Keberhasilan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan
merupakan implementasi di lapangan yang konsisten dari hasil kerja sama pemerintah daerah,
pemerintah pusat, pengusaha dan masyarakat yang dituangkan dalam suatu rencana aksi.

Menetapkan Kebijakan

Peraturan dan perundangan yang berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan


kebakaran hutan dan lahan diatur dalam UU No. 5 tahun1990, UU No. 5 tahun 1994, UU No.
23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999 dan PP No. 4 tahun 2001. Langkah-langkah dan upaya-
upaya dalam rangka penanggulangan kebakaran kebakaran hutan dan lahan terdiri dari:
1. Pemasyarakatan tindakan pencegahan dan penanggulangan(pemadaman) melalui kegiatan
penyuluhan yang terkoordinasi seperti penggunaan media cetak, elektronik dan sebagainya;
2. Pelarangan kegiatan pembakaran dan pemasyarakatan kebijakan penyiapan lahan tanpa bakar
(PLTB);
3. Peningkatan keterampilan dan kemampuan sumber daya manusia baik yang berasal dari
instansi pemerintah maupun perusahaan;
4. Pemenuhan dan pengadaan peralatan pemadaman kebakaran sesuai dengan standar yang
ditetapkan;
5. Melakukan kerjasama teknik dengan negara-negara donor;
6. Peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan;
7. Menindak tegas setiap pelanggar hukum/peraturan yang telah ditetapkan;
8. Peningkatan upaya penegakkan hukum.

Tanggung Jawab Terhadap Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan


Kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan asap menyakitkan bagi makhluk hidup
merupakan tanggung jawab kita bersama. Berdasarkan UU No. 41 tahun 1999 dan PP No. 4
tahun 2001, kebakaran hutan dan lahan di seluruh Indonesia merupakan tugas dan tanggung
jawab setiap warga, dunia usaha, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah
pusat.
• Setiap orang berkewajiban mencegah kebakaran hutan dan lahan;
• Pemerintah bertanggung jawab terhadap pengendalian kebakaran hutan di hutan Negara;
• Penanggung jawab usaha (perorangan, badan usaha milik swasta/ Negara/daerah, koperasi,
yayasan) bertanggung jawab terhadap pengendalian kebakaran di lokasi usahanya;
• Pengendalian hutan pada hutan hak dilakukan oleh pemegang hak.

Surat edaran dari Polresta Palangka Raya Nomor : SE/101/IX/2013 memuat bahwa membakar
hutan tanpa ijin, diancam pidana penjara 15 tahun dan denda Rp 5 Miliar dengan Pasal 78 ayat
(3) huruf d, Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009.
“Hal ini bisa kita lihat pada Peraturan Daerah (Perda) Kota Palangka Raya Nomor 7 Tahun
2003, dimana barang siapa yang membakar lahan dan hutan akan tersangkut Pasal 21 dengan
diancam pidana kurungan enam bulan atau denda maksimal Rp 5 Juta,”
Sanksi dan Denda Penyebab Kebakaran Hutan
Tindakan hukum bagi para penyebab kebakaran secara tegas telah diatur dalam UU No. 41
tahun 1999 dalam pasal 78 ayat 3, 4 dan 11, yaitu :
• Sengaja membakar hutan : Pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak
5 milyar rupiah.
• Kelalaian sehingga menyebabkan kebakaran hutan : Pidana penjara paling lama 5 tahun
dan denda paling banyak 1,5 milyar rupiah.
• Membuang benda yang dapat menyebabkan kebakaran hutan : Pidana penjara
paling lama 3 tahun dan denda paling banyak 1 milyar rupiah.
Membentuk Lembaga-lembaga / Instansi Terkait Penanggulangan Bencana Kebakaran
Hutan

Instansi-instansi pemerintah yang terkait dengan kegiatan pencegahan dan penanggulangan


kebakaran hutan dan lahan (PPKHL), yaitu :

• Sektor Kehutanan, yaitu: Departemen Kehutanan;

• Sektor Pertanian, yaitu : Departemen Pertanian;

• Sektor Lingkungan, yaitu : Kementerian Negara Lingkungan Hidup;

• Sektor Manajemen Bencana, yaitu : Bakornas PBP;

• Sektor Lain, yaitu: Departemen Dalam Negeri, BMG, LAPAN, BPPT.

Sektor Kehutanan

Sebagian besar kebakaran yang terjadi di kawasan hutan dan lahan berkaitan dengan kegiatan
pengusahaan hutan, pemanfaatan lahan oleh masyarakat dan kegiatan konversi lahan lainnya.

Departemen Kehutanan

Masalah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menjadi semakin penting sejak terjadinya
kebakaran 1997/1998. Di tingkat Nasional, bagian/unit Departemen Kehutanan yang
menangani masalah kebakaran telah mengalam beberapa perubahan seiring dengan
meningkatnya ancaman dan peristiwa kebakaran. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam (PHKA) merupakan unit Departemen Kehutanan yang mempunyai
wewenang dalam menangani masalah kebakaran hutan, unit ini bertanggung jawab langsung
pada Menteri Kehutanan dan mempunyai direktorat khusus yang menangani masalah
kebakaran hutan, yaitu Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan. Direktorat ini
mempunyai 4 subdirektorat, yaitu: Sub Direktorat Pengembangan Sistem Pengendalian
Kebakaran, Sub Direktorat Deteksi dan Evaluasi, Sub Direktorat Pencegahanndan Pemadaman
dan Sub Direktorat Dampak Kebakaran. Di tingkat daerah, tanggung jawab masalah kebakaran
secara teknis umumnya ditangani oleh Dinas Kehutanan tingkat Propinsi dan Kabupaten.

Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan Nasional (PUSDALKARHUTNAS)


PUSDALKARHUTNAS merupakan organisasi non struktural yang dibentuk oleh Departemen
Kehutanan untuk menangani secara khusus masalah kebakaran. Melalui organisasi ini,
diharapkan masalah kebakaran hutan dapat ditangani secara komprehensif dan memudahkan
koordinasi resmi antar seksi di Departemen dan diantara lembaga terkait di tingkat propinsi
dan kabupaten di seluruh Indonesia. PUSDALKARHUTNAS dikepalai oleh DIRJEN PHKA
dan beranggotakan Sekretaris Jenderal dan seluruh DIRJEN lainnya di dalam Departemen
Kehutanan, Dewan Direksi BUMN Kehutanan, Staf Ahli Menteri VI dan Asosiasi Pengusaha
Hutan Indonesia (APHI). Adapun fungsi dan tugas utama dari PUSDALKARHUTNAS, yaitu:

• Merumuskan dan memberikan arahan kebijakan operasional usahausaha pencegahan dan


pemadaman kebakaran hutan;

• Mengkoordinasikan upaya-upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan secara


terintegrasi di tingkat nasional;

• Mengawasi pelaksanaan program-program dalam kerangka kerja kebijakan operasional


yang ditetapkan Menteri;

• Merencanakan cara dan peralatan yang diperlukan untuk mengendalikan kebakaran hutan.

Fungsi dan tugas utama PUSDALKARHUTLA yaitu melakukan koordinasi dengan


Satkorlak Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (PBP) dan menetapkan
kebijakan serta langkah-langkah yang akan diambil dalam rangka operasi pengendalian
kebakaran hutan dan lahan. Sedangkan fungsi dan tugas utama
POSKOLAKDALKARHUTLA adalah menyusun rencana kegiatan operasi,
menyelenggarakan koordinasi horisontal dan vertikal, memegang komando operasi lapangan
dan membuat laporan pelaksanaan operasi. Kemudian SATLAKDALKARHUTLA bertugas
melaksanakan operasi pengendalian kebakaran, membuat laporan operasi dan menggerakkan
tenaga bantuan masyarakat.

Sektor Pertanian

Di tingkat Nasional, bagian/unit Departemen Pertanian yang bertanggung jawab dalam


menangani masalah kebakaran yang terjadi di lahan adalah Direktorat Perlindungan
Perkebunan. Direktorat ini bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Bina
Produksi Perkebunan. Di dalam direktorat ini belum ada divisi khusus yang bertanggung jawab
dalam hal penanganan kebakaran yang terjadi di perkebunan atau lahan pertanian lainnya.

Sektor Lingkungan

Terjadinya kebakaran hutan dan lahan berakibat pada turunnya kondisi lingkungan.
Pengelolaan lingkungan di Indonesia menjadi tanggung jawab Kementerian Negara
Lingkungan Hidup. Dalam rangka meningkatkan keefektifan dan fungsi kegiatan pengawasan
dan pengendalian lingkungan maka dibentuklah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
(BAPEDAL) dibawah koordinasi Kementerian Negara lingkungan Hidup dan
bertanggungjawab langsung pada Presiden. Bapedal tidak mempunyai unit atau bagian khusus
yang menangani masalah kebakaran hutan dan lahan.

Sehingga pada tahun 1995 dibentuklah lembaga non struktural Tim Koordinasi Nasional
Kebakaran Lahan (TKNKL) yang terfokus pada manajemen kebakaran lahan. TKNKL
dikepalai oleh Dirjen PHPA. Terjadinya kebakaran hebat tahun 1997 mendasari
dikeluarkannya Keputusan No.40/MenLH/1997 tentang pembentukan Tim Koordinasi
Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (TKNPKHL) dimana ruang lingkupnya
lebih luas dan mempunyai wewenang yang lebih kuat. TKNPKHL dibawah pimpinan Menteri
Negara Lingkungan hidup dan sebagai ketua pelaksana adalah Dirjen PHKA.

Sektor Manajemen Bencana

Badan koordinasi nasional penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi (Bakornas


PBP) merupakan badan koordinasi non structural dan hanya berfungsi apabila aksi multi-
sektoral diperlukan selama terjadinya bencana, misalnya bencana kebakaran hutan dan lahan.
Badan ini dikepalai oleh Wakil Presiden RI dan anggotanya terdiri dari 9 orang Menteri,
Pimpinan TNI dan Kepolisian, serta para Gubernur dari propinsi yang terkena bencana.

Sektor Lain

Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), LAPAN, BPPT, Departemen Transmigrasi, Badan
SAR Nasional, Kepolisian, TNI merupakan instansi instansi terkait lainnya yang ikut
bertangung jawab dalam manajemen pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Data dan
informasi tentang keadaan lingkungan, hotspot (titik panas) yang dihasilkan oleh LAPAN
sangat diperlukan dalam upaya pencegahan terutama dalam kegiatan peringatan dini terjadinya
kebakaran hutan dan lahan. Selain pada saat pencegahan, instansi instansi tersebut diatas juga
ikut terlibat dalam upaya

pemadaman dan penanganan paska kebakaran.

B. Peranan Masyarakat Terhadap Kelestarian Hutan dan Reboisasi Penanggulanagn


Bencana Kebakaran Hutan

Selain pemerintah, masyarakat juga harus berperan aktif dalam melakukan pelestarian
dan penghijauan hutan kembali (reboisasi). Tanpa peran serta dan dukungan masyarakat maka
kelestarian hutan juga tidak dapat dikendalikan. Berikut ini beberapa peran serta masyarakat
yang cukup penting dalam pelestarian hutan di indonesia:
-Menanamkan Kesadaran Pentingnya Hutan

Seperti yang telah diuraikan diatas. Maka hutan sebagai paru-paru dunia dan bumi ini
bergantung pada hutan sebagai penjaga suhu bumi agar tetap stabil (global warming). Dimana
jika hutan ini habis maka suhu bumi tidak stabil sehingga kerusaka ekosistem yang lain akan
susul-menyusul.

Masyarakat harus tahu hal itu dan sejak dini anak-anak dan remaja harus didik untuk sadar
lingkungan dan kelestarian hutan. Orang tua dan guru harus terus mengkampanyekan
pentingnya hutan agar tertanam dalam bawah sadar mereka bahwa kerusakan hutan akan juga
merusak kelangsungan hidup manusia.

Jika kesadaran itu sudah tumbuh maka, masyarakat akan saling bekerja sama menjaga
kelestarian hutan dan segera melapor atau mencegah dengan sendirinya jika ada orang-orang
yang hendak merusak atau menebang pohon-pohon di hutan di sekitar mereka.

-Menghilangkan Kebiasaan Ladang Berpindah-Pindah

Bagi masyarakat petani harus dihindari pembukaan lahan hutan untuk pembuatan ladang yang
berpindah-pindah. Ini juga penyebab kerusakan hutan yang mungkin masih sering terjadi
terutama di daerah-daerah terpencil.

-Kebiasaan Menanam Pohon

Masyarakat terutama generasi muda diharapkan mempunyai kebiasaan menanam pohon


dilingkungan tempat tinggalnya. Baik dipekarangan rumah atau dipinggir-pinggir jalan desa.
Kebiasaan ini perlu dipupuk sejak dini. Memang sulit hal ini diterapkan didaerah perkotaan.
Tapi kebiasaan ini masih bisa diterapkan di desa-desa dan digalakan untuk masyarakat desa.

-Menjaga Lingkungan Hidup, menghemat Air Bersih dan Daur Ulang

Masyarakat juga diminta untuk menjaga lingkungan tempat tinggal dengan menjaga kebersihan
lingkungan. Menghemat penggunaan air bersih dan tidak mencemari sumber-sumber air bersih
seperti sungai dan danau dan lain-lain. Masyarakat juga harus kreatif memanfaatkan teknologi
daur ulang untuk menjadikan sampah sampah organik sebagai pupuk dan juga menggunakan
kertas daur ulang untuk menghindari penggunaan kertas.
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Keberadaan hutan makin hari makin menyusut luasnya yang dikarenakan oleh beberapa
sebab. Salah satunya yang dapat dikatakan paling dahsyat adalah kebakaran hutan. Kebakaran
hutan dapat mengakibatkan musnahnya atau berkurangnya hutan dalam waktu yang relative
singkat. Seperti halnya di wilayah lain, di Sulawesi Tengah pun pada musim kemarau terjadi
kebakaran hutan, walaupun tidak sebesar seperti di Kalimantan atau di Sumatera. Kebakaran
hutan terutama terjadi pada daerah-daerah yang berdekatan dengan komunitas masyarakat yang
aktifitasnya berhubungan dengan hutan.

Kebakaran hutan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut:

1. Sambaran petir pada hutan yang kering karena musim kemarau yang panjang.

1. Kecerobohan manusia antara lain membuang puntung rokok sembarangan dan lupa
mematikan api di perkemahan.

2. Aktivitas vulkanis seperti terkena aliran lahar atau awan panas dari letusan gunung berapi.

3. Tindakan yang disengaja seperti untuk membersihkan lahan pertanian atau membuka lahan
pertanian baru dan tindakan vandalisme.
4. Kebakaran di bawah tanah/ground fire pada daerah tanah gambut yang dapat menyulut
kebakaran di atas tanah pada saat musim kemarau.

Pada umumnya, penyebab utama kebakaran hutan adalah manusia, baik yang secara
sengaja membersihkan lahan perkebunannya dengan menggunakan jasa api, maupun aktifitas
lain yang tidak disengaja seperti pencari rotan, penebang pohon dan pengemudi angkutan kayu
yang membuang puntung rokok sembarangan, api unggun dari peserta camping/wisata alam
yang meninggalkan tempat perapiannya tanpa mematikan api terlebih dahulu dan lain lain.
Bahaya kebakaran hutan dan lahan menimbulkan asap yang mengganggu aktifitas kehidupan
manusia, antara lain berdampak pada mewabahnya penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan
Akut) dan menganggu sistem transportasi darat dan udara. Dampak yang paling besar adalah
musnahnya plasma nutfah serta mengakibatkan menurunnya kualitas dan kuantitas hutan yang
pada akhirnya merusak ekosistem lingkungan. Untuk mengatasi terjadi kebakaran hutan
bukanlah sesuatu yang mudah, untuk itu upaya yang baik adalah melakukan antisipasi dan
pencegahan kebakaran hutan, mengingat penaggulangan kebakaran hutan memerlukan dana
dan tenaga yang sangat besar. Upaya pencegahan kebakaran hutan akan dapat terlaksana
apabila mendapat dukungan berbagai pihak, terutama dari masyarakat desa yang berada di
sekitar hutan. Untuk itu perlu dilakukan internalisasi pemahaman tentang bahaya kebakaran
hutan dan keterampilan teknik pemadaman kebakaran hutan pada masyarakat. Beberapa
pengetahuan dan keterampilan yang perlu disampaikan kepada masyarakat meliputi aspek-
aspek sebagai berikut: (1) Kebijakan dan ketentuan tentang pencegahan dan pengendalian
kebakaran hutan; (2) Partisipasi masyarakat dan pengorganisasian Pemadam Kebakaran; (3)
Partisipasi masyarakat dan pengorganisasian Pemadam Kebakaran; dan (4) Upaya pencegahan
dan penanggulangan kebakaran hutan.

Menteri Kesehatan RI, 2003 menyatakan bahwa kebakaran hutan menimbulkan


polutan udara yang dapat menyebabkan penyakit dan membahayakan kesehatan manusia.
Berbagai pencemar udara yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan, misalnya : debu dengan
ukuran partikel kecil (PM10 & PM2,5), gas SOx, NOx, COx, dan lain-lain dapat menimbulkan
dampak negatif terhadap kesehatan manusia, antara lain infeksi saluran pernafasan, sesak
nafas, iritasi kulit, iritasi mata, dan lain-lain.

Selain itu juga dapat menimbulkan gangguan jarak pandang/ penglihatan, sehingga dapat
menganggu semua bentuk kegiatan di luar rumah. Gumpalan asap yang pedas akibat kebakaran
yang melanda Indonesia pada tahun 1997/1998 meliputi wilayah Sumatra dan Kalimantan, juga
Singapura dan sebagian dari Malaysia dan Thailand. Sekitar 75 juta orang terkena gangguan
kesehatan yang disebabkan oleh asap. (Cifor,2001).

Gambut yang terbakar di Indonesia melepas karbon lebih banyak ke atmosfir daripada yang
dilepaskan Amerika Serikat dalam satu tahun. Hal itu membuat Indonesia menjadi salah satu
pencemar lingkungan terburuk di dunia pada periode tersebut (Applegate, G. dalam CIFOR,
2001).
Dampak kebakaran hutan 1997/98 bagi ekosistem direvisi karena perubahan perhitungan luas
kebakaran yang ditemukan. Taconi, 2003 menyebutkan bahwa kebakaran yang mengakibatkan
degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar 1,62-2,7 miliar dolar. Biaya
akibat pencemaran kabut asap sekitar 674-799 juta dolar; biaya ini kemungkinan lebih tinggi
karena perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi
biaya yang terkait dengan emisi karbon menunjukkan bahwa kemungkinan
biayanyamencapai2,8 miliar dolar.

Kebakaran hutan secara nyata berpengaruh terhadap terdegradasinya kondisi lingkungan,


kesehatan manusia dan aspek sosial ekonomi bagi masyarakat.

Terdegradasinya kondisi lingkungan

Perubahan kualitas fisik gambut (penurunan porositas total, penurunan kadar air tersedia,
penurunan permeabilitas dan meningkatnya kerapatan lindak);

Perubahan kualitas kimia gambut (peningkatan pH, kandungan N-total, kandungan fosfor
dan kandungan basa total yaitu Kalsium, Magnesium, Kalium, dan Natrium, tetapi terjadi
penurunan kandungan C-organik);

Terganggunya proses dekomposisi tanah gambut karena mikroorganisme yang mati akibat
kebakaran;

Suksesi atau perkembangan populasi dan komposisi vegetasi hutan juga akan terganggu
(benih-benih vegetasi di dalam tanah gambut rusak/terbakar) sehingga akan menurunkan
keanekaragaman hayati;

Rusaknya siklus hidrologi (menurunkan kemampuan intersepsi air hujan ke dalam tanah,
mengurangi transpirasi vegetasi, menurunkan kelembaban tanah, dan meningkatkan jumlah air
yang mengalir di permukaan (surface run off). Kondisi demikian menyebabkan gambut
menjadi kering dan mudah terbakar, terjadinya sedimentasi dan perubahan kualitas air serta
turunnya populasi dan keanekaragaman ikan di perairan. Selain itu kerusakan hidrologi di lahan
gambut akan menyebabkan jangkauan intrusi air laut semakin jauh ke darat;

Gambut menyimpan cadangan karbon, apabila terjadi kebakaran maka akan terjadi emisi
gas karbondioksida dalam jumlah besar. Sebagai gas rumah kaca, karbondioksida berdampak
pada pemanasan global. Berdasarkan studi ADB, kebakaran gambut 1997 menghasilkan emisi
karbon sebesar 156,3 juta ton (75% dari total emisi karbon) dan 5 juta ton partikel debu.

Kesehatan manusia

Ribuan penduduk dilaporkan menderita penyakit infeksi saluran pernapasan, sakit mata
dan batuk sebagai akibat dari asap kebakaran. Kebakaran gambut juga menyebabkan rusaknya
kualitas air, sehingga air menjadi kurang layak untuk diminum.

Aspek sosial ekonomi


Hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat yang masih menggantungkan hidupnya
pada hutan (berladang, beternak, berburu/menangkap ikan);

Penurunan produksi kayu;

Terganggunya kegiatan transportasi;

Terjadinya protes dan tuntutan dari negara tetangga akibat dampak asap kebakaran;

Meningkatnya pengeluaran akibat biaya untuk pemadaman.

Dari dampak yang terjadi tersebut, adapun upaya untuk menangani kebakaran hutan
ada dua macam, yaitu penanganan yang bersifat represif dan penanganan yang bersifat
preventif. Penanganan kebakaran hutan yang bersifat represif adalah upaya yang dilakukan
oleh berbagai pihak untuk mengatasi kebakaran hutan setelah kebakaran hutan itu terjadi.
Penanganan jenis ini, contohnya adalah pemadaman, proses peradilan bagi pihak-pihak yang
diduga terkait dengan kebakaran hutan (secara sengaja), dan lain-lain.

Sementara itu, penanganan yang bersifat preventif adalah setiap usaha, tindakan atau kegiatan
yang dilakukan dalam rangka menghindarkan atau mengurangi kemungkinan terjadinya
kebakaran hutan. Jadi penanganan yang bersifat preventif ini ada dan dilaksanakan sebelum
kebakaran terjadi. Selama ini, penanganan yang dilakukan pemerintah dalam kasus kebakaran
hutan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja, lebih banyak didominasi oleh penanganan
yang sifatnya represif. Berdasarkan data yang ada, penanganan yang sifatnya represif ini tidak
efektif dalam mengatasi kebakaran hutan..

Hal ini terbukti dari pembakaran hutan yang terjadi secara terus menerus. Sebagai contoh :
pada bulan Juli 1997 terjadi kasus kebakaran hutan. Upaya pemadaman sudah dijalankan,
namun karena banyaknya kendala, penanganan menjadi lambat dan efek yang muncul (seperti
: kabut asap) sudah sampai ke Singapura dan Malaysia. Sejumlah pihak didakwa sebagai
pelaku telah diproses, meskipun hukuman yang dijatuhkan tidak membuat mereka jera.
Ketidakefektifan penanganan ini juga terlihat dari masih terus terjadinya kebakaran di hutan
Indonesia, bahkan pada tahun 2008 ini.

Oleh karena itu, berbagai ketidakefektifan perlu dikaji ulang sehingga bisa menghasilkan upaya
pengendalian kebakaran hutan yang efektif.

Menurut UU No 45 Tahun 2004, pencegahan kebakaran hutan perlu dilakukan secara


terpadu dari tingkat pusat, provinsi, daerah, sampai unit kesatuan pengelolaan hutan. Ada
kesamaan bentuk pencegahan yang dilakukan diberbagai tingkat itu, yaitu penanggungjawab
di setiap tingkat harus mengupayakan terbentuknya fungsi-fungsi berikut ini :

1. Mapping : pembuatan peta kerawanan hutan di wilayah teritorialnya masing-masing. Fungsi


ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, namun yang lazim digunakan adalah 3 cara berikut:

pemetaan daerah rawan yang dibuat berdasarkan hasil olah data dari masa lalu
maupun hasil prediksi.
pemetaan daerah rawan yang dibuat seiring dengan adanya survai desa (Partisipatory Rural
Appraisal)

pemetaan daerah rawan dengan menggunakan Global Positioning System atau citra satelit

2. Informasi : penyediaan sistem informasi kebakaran hutan.

Hal ini bisa dilakukan dengan pembuatan sistem deteksi dini (early warning system) di setiap
tingkat. Deteksi dini dapat dilaksanakan dengan 2 cara berikut :

o analisis kondisi ekologis, sosial, dan ekonomi suatu wilayah

o pengolahan data hasil pengintaian petugas

3. Sosialisasi : pengadaan penyuluhan, pembinaan dan pelatihan kepada masyarakat.

Penyuluhan dimaksudkan agar menginformasikan kepada masyarakat di setiap wilayah


mengenai bahaya dan dampak, serta peran aktivitas manusia yang
seringkali memicu dan menyebabkan kebakaran hutan. Penyuluhan juga bisa
menginformasikan kepada masayarakat mengenai daerah mana saja yang rawan terhadap
kebakaran dan upaya pencegahannya.

Pembinaan merupakan kegiatan yang mengajak masyarakat untuk dapat meminimalkan


intensitas terjadinya kebakaran hutan.

Sementara, pelatihan bertujuan untuk mempersiapkan masyarakat, khususnya yang tinggal di


sekitar wilayah rawan kebakaran hutan,untuk melakukan tindakan awal dalam merespon
kebakaran hutan.

4. Standardisasi : pembuatan dan penggunaan SOP (Standard Operating Procedure).


Untuk memudahkan tercapainya pelaksanaan program pencegahan kebakaran hutan maupun
efektivitas dalam penanganan kebakaran hutan, diperlukan standar yang baku dalam berbagai
hal berikut :

Metode pelaporan

Untuk menjamin adanya konsistensi dan keberlanjutan data yang masuk, khususnya data yang
berkaitan dengan kebakaran hutan, harus diterapkan sistem pelaporan yang sederhana dan
mudah dimengerti masyarakat. Ketika data yang masuk sudah lancar, diperlukan analisis yang
tepat sehingga bisa dijadikan sebuah dasar untuk kebijakan yang tepat.

Peralatan

Standar minimal peralatan yang harus dimiliki oleh setiap daerah harus bisa diterapkan oleh
pemerintah, meskipun standar ini bisa disesuaikan kembali sehubungan dengan potensi
terjadinya kebakaran hutan, fasilitas pendukung, dan sumber daya manusia yang tersedia di
daerah.

Metode Pelatihan untuk Penanganan Kebakaran Hutan


Standardisasi ini perlu dilakukan untuk membentuk petugas penanganan kebakaran yang
efisien dan efektif dalam mencegah maupun menangani kebakaran hutan yang terjadi. Adanya
standardisasi ini akan memudahkan petugas penanganan kebakaran untuk segera mengambil
inisiatif yang tepat dan jelas ketika terjadi kasus kebakaran hutan

5. Supervisi : pemantauan dan pengawasan kepada pihak-pihak yang berkaitan langsung


dengan hutan. Pemantauan adalah kegiatan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya
perusakan lingkungan, sedangkan pengawasan adalah tindak lanjut dari hasil analisis
pemantauan. Jadi, pemantauan berkaitan langsung dengan penyediaan data,kemudian
pengawasan merupakan respon dari hasil olah data tersebut. Pemantauan, menurut kementerian
lingkungan hidup, dibagi menjadi empat, yaitu :

Pemantauan terbuka : Pemantauan dengan cara mengamati langsung objek yang diamati.
Contoh : patroli hutan

Pemantauan tertutup (intelejen) : Pemantauan yang dilakukan dengan cara penyelidikan


yang hanya diketahui oleh aparat tertentu.

Pemantauan pasif : Pemantauan yang dilakukan berdasarkan dokumen, laporan, dan


keterangan dari data-data sekunder, termasuk laporan pemantauan tertutup.

Pemantauan aktif : Pemantauan dengan cara memeriksa langsung dan menghimpun data di
lapangan secara primer. Contohnya : melakukan survei ke daerah-daerah rawan kebakaran
hutan. Sedangkan, pengawasan dapat dilihat melalui 2 pendekatan, yaitu :

Preventif : kegiatan pengawasan untuk pencegahan sebelum terjadinya perusakan lingkungan


(pembakaran hutan). Contohnya : pengawasan untuk menentukan status ketika akan terjadi
kebakaran hutan

Represif : kegiatan pengawasan yang bertujuan untuk menanggulangi perusakan yang sedang
terjadi atau telah terjadi serta akibat-akibatnya sesudah terjadinya kerusakan lingkungan.

Untuk mendukung keberhasilan, upaya pencegahan yang sudah dikemukakan diatas,


diperlukan berbagai pengembangan fasilitas pendukung yang meliputi :

1. Pengembangan dan sosialisasi hasil pemetaan kawasan rawan kebakaran hutan


Hasil pemetaan sebisa mungkin dibuat sampai sedetail mungkin dan disebarkan pada berbagai
instansi terkait sehingga bisa digunakan sebagai pedoman kegiatan institusi yang
berkepentingan di setiap unit kawasan atau daerah.

2. Pengembangan organisasi penyelenggara Pencegahan Kebakaran Hutan


Pencegahan Kebakaran Hutan perlu dilakukan secara terpadu antar sektor, tingkatan dan
daerah. Peran serta masyarakat menjadi kunci dari keberhasilan upaya pencegahan ini.
Sementara itu, aparatur pemerintah, militer dan kepolisian, serta kalangan swasta perlu
menyediakan fasilitas yang memadai untuk memungkinkan terselenggaranya Pencegahan
Kebakaran Hutan secara efisien dan efektif.
3. Pengembangan sistem komunikasi

Sistem komunikasi perlu dikembangkan seoptimal mungkin sehingga koordinasi antar


tingkatan (daerah sampai pusat) maupun antar daerah bisa berjalan cepat. Hal ini akan
mendukung kelancaran early warning system, transfer data, dan sosialisasi kebijakan
yangberkaitan dengan kebakaran hutan

Meskipun kebijakan mengenai pengendalian kebakaran hutan dan lahan telah


banyaktersedia dan rinci, tetapi dapat dikatakan bahwa peraturan-peraturan tersebut masih
kurang memadai dan bersifat sektoral. Peraturan tentang pengendalian kebakaran hutan dan
lahan yang ada pada umumnya dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan dimana kekuatan
hukumnya relatif lemah, karena hanya dapat berlaku dalam wilayah kerja Departemen
Kehutanan saja, sementara kebakaran tidak hanya terjadi di hutan tetapi juga di lahan. Bahkan
di beberapa daerah, kebakaran cenderung diakibatkan oleh adanya penggunaan api dalam
kegiatan sektor pertanian termasuk di dalamnya yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan
dan belakangan ini, bahkan mulai marak dilakukan dalam kegiatan pertambangan

1. Secara mendasar perambahan hutan menyeybabkan ketidak seimbangan alam (kerusanan


hutan) menyebabkan terjadinya kebakaran pada lahan gambut dan bukan gambut. Disusul oleh
perkembangan pengelolaan lahan yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip konesrvasi dan
dorongan ekonomi juga memperparah terjadinya kebakaran lahan danhutan.

2. Setiap upaya peningkatan pemanfaatan lahan untuk keperluan pemenuhan kebutuhan pangan
(seperti pemanfaatan ex-lahan gambut) hendaknya difikirkan aspek konservasi yang tidak
menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan, sehingga koordinasi vertikal dan
horizontal menjadi sangat penting adanya

Provinsi Kalimantan Tengah telah memiliki Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2003
tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan atau Lahan, yang melarang adanya pembakaran
hutan dan atau lahan, serta ketentuan mengenai pengendalian kebakaran. Peraturan Daerah ini
juga mengatur mengenai peningkatan kesadaran masyarakat. Pasal 23 ayat 1 menyebutkan
Gubernur/Bupati/Walikota meningkatkan kesadaran masyarakat termasuk aparatur akan hak
dan tanggungjawab serta kemampuannya untuk mencegah kebakaran hutan dan atau lahan.
Sedangkan ayat 2 menyebutkan, peningkatan kesadaran masyarakat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan mengembangkan nilai-nilai dan kelembagaan adat serta
kebiasaan-kebiasaan masyarakat tradisional yang mendukung perlindungan hutan dan atau
lahan. Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2003 ini kemudian diatur secara teknis melalui Keputusan
Gubernur Kalimantan Tengah No. 78 Tahun 2005 tentang Petunjuk Teknis Pengendalian
Kebakaran Hutan dan atau Lahan di Provinsi Kalimantan Tengah. Selain itu, diterbitkannya
Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah tentang Pembentukan Pos Simpul Kendali
Operasi (Posko)

Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan yang diperbaharui tiap tahun. Masyarakat
Dayak sesungguhnya memiliki tradisi yang kuat dalam hal pemeliharaan lingkungan dan
penanggulangan kebakaran. Falsafah hidup masyarakat Dayak yang bersumber dari simbol
Batang Garing, yang diwujudkan dalam upacara adat manyanggar dan memapas lewu
merupakan kearifan lokal dengan prinsip memelihara keseimbangan hubungan antar manusia;
hubungan manusia dengan alam semesta dan hubungan dengan Sang Pencipta. Wujud kearifan
lokal ini dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, yang sejalan dengan konsep pembangunan
berkelanjutan. Dalam kehidupan masyarakat Dayak, hutan bukan hanya untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi, tetapi juga untuk memenuhi fungsi ritual. Terganggunya fungsi hutan
dalam kehidupan masyarakat ini, akan mendorong munculnya konflik sosial. Terkait
pemeliharaan lingkungan dan penanggulangan kebakaran, masyarakat Dayak memiliki tradisi
dan hukum adat yang mengatur mengenai tata cara membuka lahan, yang jika menimbulkan
kebakaran secara tidak terkendali akan mendapat denda adat. Tradisi dan hukum adat ini juga
mengatur mengenai cara-cara melakukan pembersihan lahan untuk mengatasi kebakaran
secara terkendali. Sejalan dengan perkembangan zaman, di mana makin banyak perusahaan
yang membuka lahan untuk perkebunan dan pertambangan, serta meluasnya wilayah
pengembangan pertanian dan perkebunan oleh penduduk, mendorong terjadinya peningkatan
kebakaran hutan dan lahan. Pada saat yang bersamaan, budaya dan tradisi masyarakat tidak
dapat lagi secara efektif menanggulangi kebakaran hutan dan lahan yang berlangsung dalam
skala yang sangat luas. Upaya-upaya untuk menanggulangi kebakaran ini dengan demikian
menjadi penting untuk terus dikembangkan, melalui penguatan kembali tradisi masyarakat dan
pendekatan-pendekatan modern untuk menanggulangi kebakaran. Pelibatan masyarakat
merupakan faktor kunci, karena mereka tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan dan
lahan gambut yang secara cepat mendeteksi adanya potensi kebakaran, serta secara cepat dapat
menanggulangi kebakaran. Partisipasi masyarakat ini sekaligus membangun kesadaran untuk
menghindari pola pembukaan/pembersihan lahan dengan cara membakar .Masyarakat juga
didorong untuk berpartisipasi dalam mengawasi lingkungan sekitar mereka guna menghindari
kegiatan-kegiatan yang melawan hukum, yaitu kegiatan pembukaan lahan dengan cara
membakar baik oleh perorangan nmaupun perusahaan.

3.2 Saran

1. Perlu adanya kemauan politik (political will), seperti melakukan investasi berupa penelitian
untuk mencari inovasi baru (teknologi tepat guna) yang dapat digunakan untuk memberikan
alternatif tidak membakar kebun/semak, seperti teknologi Tanpa Olah Tanah (TOT) berikut
alat-alat pendukungnya, teknologi pembusukan (decomposed), teknologi pemanfaatan lahan
gambut sebagai media tanaman, dll untuk meningkatkan efisiensi dan nilai tambah produk
pertanian.
2. Perlu ada deregulasi dan sinkronisasi peraturan-peraturan yang ada, untuk menghindari
terjadinya saling melempar tanggungjawab, khususnya status hukum kepemilikan lahan dan
penggarapan lahan. Perlu ada law enforcement secara tegas dan konsekuen terhadap para
pelaku dan pihak yang menyebabkan terjadinya kebakaran, termasuk pencegahan timbulnya
biaya transaksi (transaction cost) yang dapat menyebabkan semakin leluasanya pihak tertentu
melakukan pembakaran.

3. Perlu difikirkan adanya instrumen kebijakan berbasis ekonomi (economic-based policies)


seperti: (a) memberikan insentif kepada sekelompok atau seseorang yang mempu menjaga
kawasannya dari kebakaran dan memberikan disinsentif kepada yang tidak mampu menjaga
kawasannya dari kebakaran, (b) menciptakan program-program yang dapat menghambat
dilakukannya pembakaran hutan dan lahan dan menyebarluaskan kepada masyarakat, seperti
mengedepankan upaya pencegahan pembakaran dengan kredit usahatani atau kredit ketahanan
pangan (KKP), kredit P4K atau kegiatan program PRIMATANI.

I. Pendahuluan Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena


didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil
hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah,
perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi,
pariwisata dan sebagainya. Karena itu pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur
dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No
28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen
PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Namun gangguan terhadap sumberdaya hutan terus
berlangsung bahkan intensitasnya makin meningkat. Kebakaran hutan merupakan
salah satu bentuk gangguan yang makin sering terjadi. Dampak negatif yang ditimbulkan
oleh kebakaran hutan cukup besar mencakup kerusakan ekologis, menurunnya
keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan
iklim mikro maupun global, dan asapnya mengganggu kesehatan masyarakat serta
mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut dan udara. Gangguan asap karena
kebakaran hutan Indonesia akhir-akhir ini telah melintasi batas negara. Berbagai
upaya pencegahan dan perlindungan kebakaran hutan telah dilakukan termasuk
mengefektifkan perangkat hukum (undang-undang, PP, dan SK Menteri sampai Dirjen),
namun belum memberikan hasil yang optimal. Sejak kebakaran hutan yang cukup besar
tahun 1982/83 di Kalimantan Timur, intensitas kebakaran hutan makin sering terjadi dan
sebarannya makin meluas. Tercatat beberapa kebakaran cukup besar berikutnya yaitu tahun
1987, 1991, 1994 dan 1997 hingga 2003. Oleh karena itu perlu pengkajian yang mendalam
untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan. Tulisan ini merupakan sintesa
dari berbagai pengetahuan tentang hutan, kebakaran hutan dan penanggulangannya yang
dikumpulkan dari berbagai sumber dengan harapan dapat dijadikan sebagai bahan masukan
bagi para peneliti, pengambil kebijakan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi para
pencinta lingkungan dan kehutanan. II. Kebakaran Hutan dan Faktor Penyebabnya
Api sebagai alat atau teknologi awal yang dikuasai manusia untuk mengubah lingkungan
hidup dan sumberdaya alam dimulai pada pertengahan hingga akhir zaman Paleolitik,
1.400.000-700.000 tahun lalu. Sejak manusia mengenal dan menguasai teknologi api, maka
api dianggap sebagai modal dasar bagi perkembangan manusia karena dapat digunakan untuk
membuka hutan, meningkatkan kualitas lahan pengembalaan, memburu satwa liar, mengusir
satwa liar, berkomunikasi sosial disekitar api unggun dan sebagainya (Soeriaatmadja, 1997).
Analisis terhadap arang dari tanah Kalimantan menunjukkan bahwa hutan telah terbakar
secara berkala dimulai, setidaknya sejak 17.500 tahun yang lalu. Kebakaran besar
kemungkinan terjadi secara alamiah selama periode iklim yang lebih kering dari iklim saat
itu. Namun, manusia juga telah membakar hutan l ebih dari 10 ribu tahun yang lalu untuk
mempermudah perburuan dan membuka lahan pertanian. Catatan tertulis satu abad yang lalu
dan sejarah lisan dari masyarakat yang tinggal di hutan membenarkan bahwa kebakaran hutan
bukanlah hal yang baru bagi hutan Indonesia (Schweithelm, J. dan D. Glover, 1999).
Menurut Danny (2001), penyebab utama terjadinya kebakaran hutan di Kalimantan Timur
adalah karena aktivitas manusia dan hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh kejadian
alam. Proses kebakaran alami menurut Soeriaatmadja (1997), bisa terjadi karena sambaran
petir, benturan longsuran batu, singkapan batu bara, dan tumpukan srasahan. Namun menurut
Saharjo dan Husaeni (1998), kebakaran karena proses alam tersebut sangat kecil dan untuk
kasus Kalimatan kurang dari 1 %. Kebakaran hutan besar terpicu pula oleh munculnya
fenomena iklim El-Nino seperti kebakaran yang terjadi pada tahun 1987, 1991, 1994 dan
1997 (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP, 1998). Perkembangan
kebakaran tersebut juga memperlihatkan terjadinya perluasan penyebaran lokasi kebakaran
yang tidak hanya di Kalimantan Timur, tetapi hampir di seluruh propinsi, serta tidak hanya
terjadi di kawasan hutan tetapi juga di lahan non hutan. Penyebab kebakaran hutan sampai
saat ini masih menjadi topik perdebatan, apakah karena alami atau karena kegiatan manusia.
Namun berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama
kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal dari kegiatan atau permasalahan
sebagai berikut: 1. Sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindah-
pindah. 2. Pembukaan hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk
insdustri kayu maupun perkebunan kelapa sawit. 3. Penyebab struktural, yaitu kombinasi
antara kemiskinan, kebijakan pembangunan dan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan
konflik antar hukum adat dan hukum positif negara. Perladangan berpindah merupakan upaya
pertanian tradisional di kawasan hutan dimana pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan
cara pembakaran karena cepat, murah dan praktis. Namun pembukaan lahan untuk
perladangan tersebut umumnya sangat terbatas dan terkendali karena telah mengikuti aturan
turun temurun (Dove, 1988). Kebakaran liar mungkin terjadi karena kegiatan perladangan
hanya sebagai kamuflasa dari penebang liar yang memanfaatkan jalan HPH dan berada di
kawasan HPH. Pembukaan hutan oleh pemegang HPH dan perusahaan perkebunan untuk
pengembangan tanaman industri dan perkebunan umumnya mencakup areal yang cukup luas.
Metoda pembukaan lahan dengan cara tebang habis dan pembakaran merupakan alternatif
pembukaan lahan yang paling murah, mudah dan cepat. Namun metoda ini sering berakibat
kebakaran tidak hanya terbatas pada areal yang disiapkan untuk pengembangan tanaman
industri atau perkebunan, tetapi meluas ke hutan lindung, hutan produksi dan lahan
lainnya. Sedangkan penyebab struktural, umumnya berawal dari suatu konflik antara para
pemilik modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk asli yang merasa
kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan, hutan dan tanah dikuasai oleh para investor
yang diberi pengesahan melalui hukum positif negara. Akibatnya kekesalan masyarakat
dilampiaskan dengan melakukan pembakaran demi mempertahankan lahan yang telah
mereka miliki secara turun temurun. Disini kemiskinan dan ketidak adilan menjadi pemicu
kebakaran hutan dan masyarakat tidak akan mau berpartisipasi untuk memadamkannya.
III. Kerugian dan Dampak Kebakaran Hutan 3.1. Areal hutan yang terbakar Beberapa tahun
terakhir kebakaran hutan terjadi hampir setiap tahun, khususnya pada musim kering.
Kebakaran yang cukup besar terjadi di Kalimantan Timur yaitu pada tahun 1982/83 dan
tahun 1997/98. Pada tahun 1982/83 kebakaran telah menghanguskan hutan sekitar 3,5 juta
hektar di Kalimantan Timur dan ini merupakan rekor terbesar kebakaran hutan dunia setelah
kebakaran hutan di Brazil yang mencapai 2 juta hektar pada tahun 1963 (Soeriaatmadja,
1997). Kemudian rekor tersebut dipecahkan lagi oleh kebakaran hutan Indonesia pada tahun
1997/98 yang telah menghanguskan seluas 11,7 juta hektar. Kebakaran terluas terjadi di
Kalimantan dengan total lahan terbakar 8,13 juta hektar, disusul Sumatera, Papua Barat,
Sulawesi dan Jawa masing-masing 2,07 juta hektar, 1 juta hektar, 400 ribu hektar dan 100
ribu hektar (Tacconi, 2003). Selanjutnya kebakaran hutan Indonesia terus berlangsung setiap
tahun meskipun luas areal yang terbakar dan kerugian yang ditimbulkannya relatif kecil dan
umumnya tidak terdokumentasi dengan baik. Data dari Direktotar Jenderal Perlindungan
hutan dan Konservasi Alam menunjukkan bahwa kebakaran hutan yang terjadi tiap tahun
sejak tahun 1998 hingga tahun 2002 tercatat berkisar antara 3 ribu hektar sampai 515 ribu
hektar (Direktotar Jenderal Perlindungan hutan dan Konservasi Alam, 2003). 3.2. Kerugian
yang ditimbulkannya Kebakaran hutan akhir-akhir ini menjadi perhatian internasional
sebagai isu lingkungan dan ekonomi khususnya setelah terjadi kebakaran besar di berbagai
belahan dunia tahun 1997/98 yang menghanguskan lahan seluas 25 juta hektar. Kebakaran
tahun 1997/98 mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi
sekitar US $ 1,6-2,7 milyar dan biaya akibat pencemaran kabut sekitar US $ 674-799 juta.
Kerugian yang diderita akibat kebakaran hutan tersebut kemungkinan jauh lebih besar lagi
karena perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi
biaya yang terkait dengan emisi karbon kemungkinan mencapai US $ 2,8 milyar (Tacconi,
2003). Hasil perhitungan ulang kerugian ekonomi yang dihimpun Tacconi (2003),
menunjukkan bahwa kebakaran hutan Indonesia telah menelan kerugian antara US $ 2,84
milayar sampai US $ 4,86 milyar yang meliputi kerugian yang dinilai dengan uang dan
kerugian yang tidak dinilai dengan uang. Kerugian tersebut mencakup kerusakan yang terkait
dengan kebakaran seperti kayu, kematian pohon, HTI, kebun, bangunan, biaya pengendalian
dan sebagainya serta biaya yang terkait dengan kabut asap seperti kesehatan, pariwisata dan
transportasi. 3.3. Dampak Kebakaran Hutan Kebakaran hutan yang cukup besar seperti yang
terjadi pada tahun 1997/98 menimbulkan dampak yang sangat luas disamping kerugian
material kayu, non kayu dan hewan. Dampak negatif yang sampai menjadi isu global adalah
asap dari hasil pembakaran yang telah melintasi batas negara. Sisa pembakaran selain
menimbulkan kabut juga mencemari udara dan meningkatkan gas rumah kaca. Asap tebal
dari kebakaran hutan berdampak negatif karena dapat mengganggu kesehatan masyarakat
terutama gangguan saluran pernapasan. Selain itu asap tebal juga mengganggu transportasi
khususnya tranportasi udara disamping transportasi darat, sungai, danau, dan laut. Pada saat
kebakaran hutan yang cukup besar banyak kasus penerbangan terpaksa ditunda atau
dibatalkan. Sementara pada transportasi darat, sungai, danau dan laut terjadi beberapa kasus
tabrakan atau kecelakaan yang menyebabkan hilangnya nyawa dan harta benda. Kerugian
karena terganggunya kesehatan masyarakat, penundaan atau pembatalan penerbangan, dan
kecelakaan transportasi di darat, dan di air memang tidak bisa diperhitungkan secara tepat,
tetapi dapat dipastikan cukup besar membebani masyarakat dan pelaku bisnis. Dampak
kebakaran hutan Indonesia berupa asap tersebut telah melintasi batas negara terutama
Singapura, Brunai Darussalam, Malaysia dan Thailand. Dampak lainnya adalah kerusakan
hutan setelah terjadi kebakaran dan hilangnya margasatwa. Hutan yang terbakar berat akan
sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya mengalami kerusakan. Hilangnya tumbuh-
tumbuhan menyebabkan lahan terbuka, sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi
menahan banjir. Karena itu setelah hutan terbakar, sering muncul bencana banjir pada musim
hujan di berbagai daerah yang hutannya terbakar. Kerugian akibat banjir tersebut juga sulit
diperhitungkan. Analisis dampak kebakaran hutan masih dalam tahap pengembangan awal,
pengetahuan tentang ekosistem yang rumit belum berkembang dengan baik dan informasi
berupa ambang kritis perubahan ekologis berkaitan dengan kebakaran sangat terbatas,
sehingga dampak kebakaran hutan sulit diperhitungkan secara tepat. Meskipun demikian,
berdasarkan perhitungan kasar yang telah diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa
kebakaran hutan menimbulkan dampak yang cukup besar bagi masyarakat sekitarnya, bahkan
dampak tersebut sampai ke negara tetangga. IV. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
Kebakaran Hutan Sejak kebakaran hutan yang cukup besar yang terjadi pada tahun
1982/83 yang kemudian diikuti rentetan kebakaran hutan beberapa tahun berikutnya,
sebenarnya telah dilaksanakan beberapa langkah, baik bersifat antisipatif (pencegahan)
maupun penanggulangannya. 4.1. Upaya Pencegahan Upaya yang telah dilakukan untuk
mencegah kebakaran hutan dilakukan antara lain (Soemarsono, 1997):
(a) Memantapkan kelembagaan dengan membentuk dengan membentuk Sub Direktorat
Kebakaran Hutan dan Lembaga non struktural berupa Pusdalkarhutnas, Pusdalkarhutda dan
Satlak serta Brigade-brigade pemadam kebakaran hutan di masing-masing HPH dan HTI;
(b) Melengkapi perangkat lunak berupa pedoman dan petunjuk teknis pencegahan dan
penanggulangan kebakaran hutan; (c) Melengkapi perangkat keras berupa peralatan
pencegah dan pemadam kebakaran hutan; (d) Melakukan pelatihan pengendalian
kebakaran hutan bagi aparat pemerintah, tenaga BUMN dan perusahaan kehutanan serta
masyarakat sekitar hutan; (e) Kampanye dan penyuluhan melalui berbagai Apel Siaga
pengendalian kebakaran hutan; (f) Pemberian pembekalan kepada pengusaha (HPH,
HTI, perkebunan dan Transmigrasi), Kanwil Dephut, dan jajaran Pemda oleh Menteri
Kehutanan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup; (g) Dalam setiap persetujuan
pelepasan kawasan hutan bagi pembangunan non kehutanan, selalu disyaratkan pembukaan
hutan tanpa bakar. 4.2. Upaya Penanggulangan Disamping melakukan pencegahan,
pemerintah juga nelakukan penanggulangan melalui berbagai kegiatan antara lain
(Soemarsono, 1997): (a) Memberdayakan posko-posko kebakaran hutan di semua
tingkat, serta melakukan pembinaan mengenai hal-hal yang harus dilakukan selama siaga I
dan II. (b) Mobilitas semua sumberdaya (manusia, peralatan & dana) di semua
tingkatan, baik di jajaran Departemen Kehutanan maupun instansi lainnya, maupun
perusahaan-perusahaan. (c) Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di tingkat
pusat melalui PUSDALKARHUTNAS dan di tingkat daerah melalui PUSDALKARHUTDA
Tk I dan SATLAK kebakaran hutan dan lahan. (d) Meminta bantuan luar negeri untuk
memadamkan kebakaran antara lain: pasukan BOMBA dari Malaysia untuk kebakaran di
Riau, Jambi, Sumsel dan Kalbar; Bantuan pesawat AT 130 dari Australia dan Herkulis dari
USA untuk kebakaran di Lampung; Bantuan masker, obat-obatan dan sebagainya dari
negara-negara Asean, Korea Selatan, Cina dan lain-lain. 4.3. Peningkatan Upaya
Pencegahan dan Penanggulangan Upaya pencegahan dan penanggulangan yang telah
dilakukan selama ini ternyata belum memberikan hasil yang optimal dan kebakaran hutan
masih terus terjadi pada setiap musim kemarau. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor
antara lain: (a) Kemiskinan dan ketidak adilan bagi masyarakat pinggiran atau dalam
kawasan hutan. (b) Kesadaran semua lapisan masyarakat terhadap bahaya kebakaran
masih rendah. (c) Kemampuan aparatur pemerintah khususnya untuk koordinasi,
memberikan penyuluhan untuk kesadaran masyarakat, dan melakukan upaya pemadaman
kebakaran semak belukar dan hutan masih rendah. (d) Upaya pendidikan baik formal
maupun informal untuk penanggulangan kebakaran hutan belum memadai. Hasil identifikasi
dari serentetan kebakaran hutan menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan
adalah faktor manusia dan faktor yang memicu meluasnya areal kebakaran adalah kegiatan
perladangan, pembukaan HTI dan perkebunan serta konflik hukum adat dengan hukum
negara, maka untuk meningkatkan efektivitas dan optimasi kegiatan pencegahan dan
penanggulangan kebakaran hutan perlu upaya penyelesaian masalah yang terkait dengan
faktor-faktor tersebut. Di sisi lain belum efektifnya penanggulangan kebakaran disebabkan
oleh faktor kemiskinan dan ketidak adilan, rendahnya kesadaran masyarakat, terbatasnya
kemampuan aparat, dan minimnya fasilitas untuk penanggulangan kebakaran, maka untuk
mengoptimalkan upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan di masa depan
antara lain: a. Melakukan pembinaan dan penyuluhan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan, sekaligus berupaya untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang bahaya kebakaran hutan dan semak belukar. b. Memberikan
penghargaan terhadap hukum adat sama seperti hukum negara, atau merevisi hukum negara
dengan mengadopsi hukum adat. c. Peningkatan kemampuan sumberdaya aparat
pemerintah melalui pelatihan maupun pendidikan formal. Pembukaan program studi
penanggulangan kebakaran hutan merupakan alternatif yang bisa ditawarkan.
d. Melengkapi fasilitas untuk menanggulagi kebakaran hutan, baik perangkat lunak
maupun perangkat kerasnya. e. Penerapan sangsi hukum pada pelaku pelanggaran
dibidang lingkungan khususnya yang memicu atau penyebab langsung terjadinya kebakaran.
V. Penutup Sebagai penutup tulisan ini dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:
1. Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai harganya karena didalamnya
terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu
dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, dan
sebagainya. Karena itu pemanfaatan dan perlindungannya diatur oleh Undang-undang dan
peraturan pemerintah. 2. Kebakaran merupakan salah satu bentuk gangguan terhadap
sumberdaya hutan dan akhir-akhir ini makin sering terjadi. Kebakaran hutan menimbulkan
kerugian yang sangat besar dan dampaknya sangat luas, bahkan melintasi batas negara. Di
sisi lain upaya pencegahan dan pengendalian yang dilakukan selama ini masih belum
memberikan hasil yang optimal. Oleh karena itu perlu perbaikan secara menyeluruh, terutama
yang terkait dengan kesejahteraan masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan.
3. Berbagai upaya perbaikan yang perlu dilakukan antara lain dibidang penyuluhan kepada
masyarakat khususnya yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab kebakaran hutan,
peningkatan kemampuan aparatur pemerintah terutama dari Departemen Kehutanan,
peningkatan fasilitas untuk mencegah dan menanggulagi kebakaran hutan, pembenahan
bidang hukum dan penerapan sangsi secara tegas. Daftar Pustaka Danny, W., 2001. Interaksi
Ekologi dan Sosial Ekonomi Dengan Kebakaran di Hutan Propinsi Kalimantan Timur,
Indonesia. Paper Presentasi pada Pusdiklat Kehutanan. Bogor. 33 hal. Direktotar Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2003. Kebakaran Hutan Menurut Fungsi Hutan,
Lima Tahun Terakhir. Direktotar Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Jakarta.
Dove, M.R., 1988. Sistem Perladangan di Indonesia. Suatu studi-kasus dari Kalimantan
Barat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 510 hal. Soemarsono, 1997. Kebakaran
Lahan, Semak Belukar dan Hutan di Indonesia (Penyebab, Upaya dan Perspektif Upaya di
Masa Depan). Prosiding Simposium: “Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sumberdaya
Alam dan Lingkungan”. Tanggal 16 Desember 1997 di Yogyakarta. hal:1-14. Soeriaatmadja,
R.E. 1997. Dampak Kebakaran Hutan Serta Daya Tanggap Pengelolaan Lingkungan Hidup
dan Sumberdaya Alam Terhadapnya. Prosiding Simposium: “Dampak Kebakaran Hutan
Terhadap Sumberdaya Alam dan Lingkungan”. Tanggal 16 Desember 1997 di Yogyakarta.
hal: 36-39. Schweithelm, J. dan D. Glover, 1999. Penyebab dan Dampak Kebakaran. dalam
Mahalnya Harga Sebuah Bencana: Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap di
Indonesia. Editor: D. Glover & T. Jessup Saharjo dan Husaeni, 1998. East Kalimantan Burns.
Wildfire 7(7):19-21. Tacconi, T., 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia, Penyebab, biaya dan
implikasi kebijakan. Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor, Indonesia.
22 hal

Sumber: http://forester-untad.blogspot.co.id/2013/01/makalah-kebakaran-hutan-dan-
cara.html
Konten adalah milik dan hak cipta forester untad blog

Anda mungkin juga menyukai