Anda di halaman 1dari 11

Makalah Kebakaran Hutan

1.3  Tujuan

1.3.1        Mengetahui pengertian dan manfaat hutan di Indonesia

1.3.2        Mengetahui kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia dan penyebabnya

1.3.3        Mengetahui pengertian dan jenis-jenis kebakaran hutan

1.3.4        Mengetahui penyebab dan dampak kebakaran hutan

1.3.5        Mengetahui cara pencegahan dan penaggulangan kebakaran hutan

1.3.6        Mengetahui beberapa kasus kebakaan huta

 
2.1  Pengertian Hutan

Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan
(Undang undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan). Sedangkan menurut  Ensiklopedia Indonesia,
hutan  adalah suatu areal yang dikelola untuk produksi kayu dan hasil hutan lainnya dipelihara bagi
keuntungan tidak langsung atau dapat pula bahwa hutan sekumpulan tumbuhan yang tumbuh bersama.

Pemanfaatan sekaligus perlindungan hutan di Indonesia diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No
23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta
beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Menurut beberapa peraturan tersebut,hutan
merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati
sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan
erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan,
rekreasi, pariwisata dan sebagainya.

2.3  Manfaat Hutan di Indonesia


2.3.1        Kekayaan Keanekaragaman Hayati yang Tinggi sebagai Paru-paru Dunia Jamur dan bakteri tersebut
dapat membantu proses pembusukan pada hewan dan tumbuhan secara cepat. Dengan demikian hutan hujan
tropika tidak saja ditandai dengan pertumbuhan yang baik tetapi juga tempat pembusukan yang baik.
Keanekaragaman hayati ditandai dengan kekayaan spesies yang dapat mencapai sampai hampir 1.400 spesies,
Brasil tercatat mempunyai 1.383 spesies. Di daerah tropika tumbuhan berkayu mempunyai dominasi yang
lebih besar daripada daerah lainnya.

2.3.2        Hutan Sebagai Pengatur Aliran Air


Penguapan air ke udara hingga terjadi kondensasi di atas tanah yang berhutan antara lain disebabkan oleh
adanya air hujan, dengan ditahannya (intersepsi) air hujan tersbut oleh tajuk pohon yang terdiri dari lapisan
daun, dan diuapkan kembali ke udara. Sebagian lagi menembus lapisan tajuk dan menetes serta mengalir
melalui batang ke atas permukaan serasah di hutan.

2.3.3        Pencegah Erosi dan Banjir

Erosi dan banjir adalah akibat langsung dari pembukaan dan pengolahan tanah terutama di daerah yang
mempunyai kemiringan permukaan bumi atau disebut juga kontur yang curam. Keduanya dapat bersumber
dari kawasan hutan maupun dari luar kawasan hutan, misalnya perkebunan, tegalan, dan kebun milik rakyat.

2.3.4        Menjaga Kesuburan Tanah

Kesuburan tanah sebagian besar dalam bentuk mineral, seperti unsur-unsur Ca, K, N, P, dan lainnya, disimpan
pada bagian dari vegetasi yang ada di atas tanah, misalnya pada batang, dahan, ranting, daun, bunga, buah, dan
lain-lain. Dengan demikian dengan adanya kerapatan hutan pada hutan tropika dapat menjaga kesuburan tanah.

2.4  Kerusakan Hutan di Indonesia


 
2.5  Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab kerusakan hutan yang memiliki dampak negatif.  Kebakaran
hutan, kebakaran vegetasi, atau kebakaran semak, adalah sebuah kebakaran yang terjadi dialam liar, tetapi juga
dapat memusnahkan rumah-rumah dan lahan pertanian disekitarnya. Selain itu, kebakaran hutan dapat
didefinisikan sebagai pembakaran yang tidak tertahan dan menyebar secara bebas dan mengonsumsi bahan
bakar yang tersedia di hutan,antara lain terdiri dari serasah, rumput, cabang kayu yang sudah mati, dan lain-
lain. Istilah Kebakaran hutan di dalam Ensiklopedia Kehutanan Indonesia disebut juga Api Hutan. Selanjutnya
dijelaskan bahwa Kebakaran Hutan atau Api Hutan adalah Api Liar yang terjadi di dalam hutan, yang
membakar sebagian atau seluruh komponen hutan. Dikenal ada 3 macam kebakaran hutan, Jenis-jenis
kebakaran hutan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Api Permukaan atau Kebakaran Permukaan yaitu kebakaran yang terjadi pada lantai hutan dan membakar
seresah, kayu-kayu kering dan tanaman bawah. Sifat api permukaan cepat merambat, nyalanya besar dan
panas, namun cepat padam. Dalam kenyataannya semua tipe kebakaran berasal dari api permukaan.
2. Api Tajuk atau Kebakaran Tajuk yaitu kebakaran yang membakar seluruh tajuk tanaman pokok terutama
pada jenis-jenis hutan yang daunnya mudah terbakar. Apabila tajuk hutan cukup rapat, maka api yang terjadi
cepat merambat dari satu tajuk ke tajuk yang lain. Hal ini tidak terjadi apabila tajuk-tajuk pohon penyusun
tidak saling bersentuhan.
3. Api Tanah adalah api yang membakar lapisan organik yang dibawah lantai hutan. Oleh karena sedikit udara
dan bahan organik ini, kebakaran yang terjadi tidak ditandai dengan adanya nyala api. Penyebaran api juga
sangat lambat, bahan api tertahan dalam waktu yang lama pada suatu tempat.
2.6  Kebakaran dan Pembakaran

Kebakaran dan pembakaran merupakan sebuah kata dengan kata dasar yang sama tetapi mempunyai makna
yang berbeda. Kebakaran indentik dengan kejadian yang tidak disengaja sedangkan pembakaran identik
dengan kejadian yang sengaja diinginkan tetapi tindakan pembakaran dapat juga menimbulkan terjadinya suatu
kebakaran. Penggunaan istilah kebakaran hutan dengan pembakaran terkendali merupakan suatu istilah yang
berbeda. Penggunaan istilah ini sering kali mengakibatkan timbulnya persepsi yang salah terhadap dampak
yang ditimbulkannya.

Kebakaran-kebakaran yang sering terjadi digeneralisasi sebagai kebakaran hutan, padahal sebagian besar
(99,9%) kebakaran tersebut adalah pembakaran yang sengaja dilakukan maupun akibat kelalaian, baik oleh
peladang berpindah ataupun oleh pelaku binis kehutanan atau perkebunan, sedangkan sisanya (0,1%) adalah
karena alam (petir, larva gunung berapi). Saharjo (1999) menyatakan bahwa baik di areal HTI, hutan alam dan
perladangan berpindah dapat dikatakan bahwa 99% penyebab kebakaran hutan di Indonesia adalah berasal dari
ulah manusia, entah itu sengaja dibakar atau karena api lompat yang terjadi akibat kelalaian pada saat
penyiapan lahan. Bahan bakar dan api merupakan faktor penting untuk mempersiapkan lahan pertanian dan
perkebunan (Saharjo, 1999). Pembakaran selain dianggap mudah dan murah juga menghasilkan bahan mineral
yang siap diserap oleh tumbuhan. Banyaknya jumlah bahan bakar yang dibakar di atas lahan akhirnya akan
menyebabkan asap tebal dan kerusakan lingkungan yang luas. Untuk itu, agar dampak lingkungan yang
ditimbulkannya kecil, maka penggunaan api dan bahan bakar pada penyiapan lahan haruslah diatur secara
cermat dan hati-hati. Untuk menyelesaikan masalah ini maka manajemen penanggulangan bahaya kebakaran
harus berdasarkan hasil penelitian dan tidak lagi hanya mengandalkan dari terjemahan textbook atau
pengalaman dari negara lain tanpa menyesuaikan dengan keadaan lahan di Indonesia (Saharjo, 2000).

2.7  Penyebab Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut:

1. Sambaran petir pada hutan yang kering karena musim kemarau yang panjang.


1. Kecerobohan manusia antara lain membuang puntung rokok sembarangan dan lupa mematikan api di
perkemahan.
2. Aktivitas vulkanis seperti terkena aliran lahar atau awan panas dari letusan gunung berapi.
3. Tindakan yang disengaja seperti untuk membersihkan lahan pertanian atau membuka lahan pertanian baru
dan tindakan vandalisme.
4. Kebakaran di bawah tanah/ground fire pada daerah tanah gambut yang dapat menyulut kebakaran di atas
tanah pada saat musim kemarau.
2.8  Kerugian yang ditimbulkannya

Kebakaran hutan akhir-akhir ini menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi
khususnya setelah terjadi kebakaran besar di berbagai belahan dunia tahun 1997/98 yang menghanguskan
lahan seluas 25 juta hektar. Kebakaran tahun 1997/98 mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi menelan
biaya ekonomi sekitar US $ 1,6-2,7 milyar dan biaya akibat pencemaran kabut sekitar US $ 674-799 juta.
Kerugian yang diderita akibat kebakaran hutantersebut kemungkinan jauh lebih besar lagi karena perkiraan
dampak ekonomi bagikegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi biaya yang terkait dengan emisi
karbon kemungkinan mencapai US $ 2,8 milyar (Tacconi, 2003).
Hasil perhitungan ulang kerugian ekonomi yang dihimpun Tacconi (2003), menunjukkan bahwa kebakaran
hutan Indonesia telah menelan kerugian antara US $ 2,84 milayar sampai US $ 4,86 milyar yang meliputi
kerugian yang dinilai dengan uang dan kerugian yang tidak dinilai dengan uang. Kerugian tersebut mencakup
kerusakan yang terkait dengan kebakaran seperti kayu, kematian pohon, HTI, kebun, bangunan, biaya
pengendalian dan sebagainya serta biaya yang terkait dengan kabut asap seperti kesehatan, pariwisata dan
transportasi.

2.9  Dampak Kebakaran Hutan


2.9.1     Dampak Kebakaran Hutan terhadap Lingkungan Biologis

Yang dimaksud dengan lingkungan biologi yaitu segala sesuatu di sekitar manusia yang berupa organisme
hidup selain dari manusia itu sendiri seperti hewan, tumbuhan, dan decomposer. Dampak yang ditimbulkan
dari adanya kebakaran hutan khususnya terhadap lingkungan biologis antara lain sebagai berikut:

1. Terhadap flora dan fauna

Kebakaran hutan akan memusnahkan sebagian spesies dan merusak kesimbangan alam sehingga spesies-
spesies yang berpotensi menjadi hama tidak terkontrol. Selain itu, terbakarnya hutan akan membuat Hilangnya
sejumlah spesies; selain membakar aneka flora, kebakaran hutan juga mengancam kelangsungan hidup
sejumlah binatang. Berbagai spesies endemik (tumbuhan maupun hewan) terancam punah akibat kebakaran
hutan. Selain itu, kebakaran hutan dapat mengakibatkan terbunuhnya satwa liar dan musnahnya tanaman baik
karena kebakaran, terjebak asap atau rusaknya habitat. Kebakaran juga dapat menyebabkan banyak spesies
endemik/khas di suatu daerah turut punah sebelum sempat dikenali/diteliti.

Beberapa dampak kebakaran tehadap hewan dan tumbuhan antara lain sebagai berikut:

–    BANGSA BINATANG

Kebakaran hutan akan mengakibatkan banyak binatang yang akan kehilangan   tempat tinggal yang digunakan
untuk berlindung serta tempat untuk mencarimakan. Dengan demikian, hewan yang tidak dapat beradaptasi
dengan lingkungan baru setelah terjadinya kebakaran tersebut akan mengalami penurunan jumlah bahkan
dapat mengalami kepunahan.

Contoh dampak kebakaran hutan bagi beberapa hewan antara lain sebagai berikut:

 Geobin : seluruh daur hidupnya di dalam tubuh tanah (Ciliophora, Rhizopoda & Mastigophora, dll)
 Geofil : sebagian daur hidupnya di dalam tubuh tanah (serangga)

–    BANGSA TUMBUHAN

Kehidupan tumbuhan berhubungan erat dengan hutan yang merupakan tempat hidupnya. Kebakaran hutan
dapat mengakibatkan berkurangnya vegetasi tertentu.

Contoh dampak kebakaran hutan terhadap tumbuhan adalah sebagai berikut:


 Tumbuhan tingkat tinggi (akar pohon, semak atau rumput)
 Tumbuhan tingkat rendah (bakteri, cendawan dan Ganggang)

Terjadinya kebakaran hutan akan menghilangkan vegetasi di atas tanah, sehingga apabila terjadi hujan maka
hujan akan langsung mengenai permukaan atas tanah, sehingga mendapatkan energi pukulan hujan lebih besar,
karena tidak lagi tertahan oleh vegetasi penutup tanah. Kondisi ini akan menyebabkan rusaknya struktur tanah

1. Terhadap keanekaragaman hayati

Kebakaran hutan membawa dampak yang besar pada keanekaragaman hayati. Hutan yang terbakar berat akan
sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya mengalami kerusakan. Hilangnya tumbuh-tumbuhan menyebabkan
lahan terbuka, sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi menahan banjir. Karena itu setelah hutan terbakar,
sering muncul bencana banjir pada musim hujan di berbagai daerah yang hutannya terbakar. Kerugian akibat
banjir tersebut juga sulit diperhitungkan.

1. Terhadap mikroorganisme

Kebakaran hutan dapat membunuh organisme (makroorganisme dan mikroorganisme) tanah yang bermanfaat
dalam meningkatkan kesuburan tanah. Makroorganisme tanah misalnya: cacing tanah yang dapat
meningkatkan aerasi dan drainase tanah, dan mikroorganisme tanah  misalnya: mikorisa yang dapat
meningkatkan ketersediaan unsur hara P, Zn, Cu, Ca, Mg, dan Fe akan terbunuh. Selain itu, bakteri penambat
(fiksasi) nitrogen pada bintil-bintil akar tumbuhan Leguminosae juga akan mati sehingga laju fiksasi ntrogen
akan menurun. Mikroorganisme, seperti bakteri dekomposer yang ada pada lapisan serasah saat kebakaran
pasti akan mati. Dengan temperatur yang melebihi normal akan membuat mikroorganisma mati, karena
sebagian besar mikroorganisma tanah memiliki adaptasi suhu yang sempit. Namun demikian, apabila
mikroorganisme tanah tersebut mampu bertahan hidup, maka ancaman berikutnya adalah terjadinya perubahan
iklim mikro yang juga dapat membunuhnya. Dengan terbunuhnya mikroorganisme tanah dan dekomposer
seperti telah dijelaskan di atas, maka akan mengakibatkan proses humifikasi dan dekomposisi menjadi terhenti.

1. Terhadap organisme dalam tanah

Kebakaran hutan biasanya menimbulkan dampak langsung terhadap kematian populasi dan organisme tanah
serta dampak yang lebih signifikan lagi yaitu merusak habitat dari organisme itu sendiri. Perubahan suhu tanah
dan hilangnya lapisan serasah, juga bisa menyebabkan perubahan terhadap karakteristik habitat dan iklim
mikro. Kebakaran hutan menyebabkan bahan makanan untuk organisme menjadi sedikit, kebanyakan
organisme tanah mudah mati oleh api dan hal itu dengan segera menyebabkan perubahan dalam habitat, hal ini
kemungkinan menyebabkan penurunan jumlah mikroorganisme yang sangat besar dalam habitat. Efek negatif
ini biasanya bersifat sementara dan populasi organisme tanah akhirnya kembali menjadi banyak lagi dalam
beberapa tahun.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisika, kimia dan biologi tanah pada hutan dan hutan yang
sudah dibuka pada daerah Buffer Zone dan Resort Sei Betung pada Taman Nasional Gunung Leuser
Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan
Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Yang dimulai pada bulan April hingga Mei
2011. Penelitian ini mengambil 12 titik sampel tanah sebagai bahan penelitian, yaitu 6 sampel pada hutan asli
dan 6 sampel pada hutan yang sudah dibuka untuk lahan pertanian. Metode yang digunakan adalah Survei
Bebas tingkat survei semi detail dan analisis data kandungan bahan organik tanah dengan metode Walkley and
Black, hara Nitrogen total tanah dengan metode Kjeldhalterm, Tekstur tanah dengan metode Hidrometer, pH
tanah dengan metode Elektrometri, Kapasitas Tukar Kation (KTK) dengan metode Ekstraksi NH4OAc pH 7
serta nisbah C/N tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan bahan organik digolongkan dalam 4
kriteria, yakni sangat rendah dan rendah (pada tanah hutan yang sudah dibuka untuk lahan pertanian tanaman
musiman dan tahunan), sedang dan tinggi (pada tanah hutan alami). N-total tanah digolongkan dalam 3
kriteria, yakni rendah (pada tanah hutan alami), sedang dan tinggi (pada tanah hutan alami dan hutan yang
sudah dibuka untuk lahan pertanian tanaman musiman dan tahunan). Rasio C/N tanah digolongkan dalam 4
kriteria, yakni sangat rendah (pada tanah hutan yang sudah dibuka untuk lahan pertanian tanaman musiman
dan tahunan), rendah, sedang dan tinggi (pada tanah hutan alami). pH tanah digolongkan dalam 3 kriteria,
yakni sangat masam, masam dan agak masam. Tekstur tanah lebih dominan lempung berpasir. Kapasitas Tukar
Kation tanah digolongkan dalam 1 kriteria, yakni rendah (pada tanah hutan alami dan hutan yang sudah dibuka
untuk lahan pertanian tanaman musiman dan tahunan)

2.9.2     Menteri Kesehatan RI, 2003 menyatakan bahwa kebakaran hutan  menimbulkan polutan udara yang
dapat menyebabkan penyakit dan membahayakan kesehatan manusia. Berbagai pencemar udara yang
ditimbulkan akibat kebakaran hutan, misalnya : debu dengan ukuran partikel kecil (PM10 & PM2,5), gas SOx,
NOx, COx, dan lain-lain dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia, antara lain infeksi
saluran pernafasan, sesak nafas, iritasi kulit, iritasi mata, dan lain-lain.

Selain itu juga dapat menimbulkan gangguan jarak pandang/ penglihatan, sehingga dapat menganggu semua
bentuk kegiatan di luar rumah. Gumpalan asap yang pedas akibat kebakaran yang melanda Indonesia pada
tahun 1997/1998 meliputi wilayah Sumatra dan Kalimantan, juga Singapura dan sebagian dari Malaysia dan
Thailand. Sekitar 75 juta orang terkena gangguan kesehatan yang disebabkan oleh asap. (Cifor,2001).

Gambut yang terbakar di Indonesia melepas karbon lebih banyak ke atmosfir daripada yang dilepaskan
Amerika Serikat dalam satu tahun. Hal itu membuat Indonesia menjadi salah satu pencemar lingkungan
terburuk di dunia pada periode tersebut (Applegate, G. dalam CIFOR, 2001).

Dampak kebakaran hutan 1997/98 bagi ekosistem direvisi karena perubahan perhitungan luas kebakaran yang
ditemukan. Taconi, 2003 menyebutkan bahwa kebakaran yang mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi
menelan biaya ekonomi sekitar 1,62-2,7 miliar dolar. Biaya akibat pencemaran kabut asap sekitar 674-799 juta
dolar; biaya ini kemungkinan lebih tinggi karena perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesia
tidak tersedia. Valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon menunjukkan bahwa kemungkinan
biayanyamencapai2,8 miliar dolar.

2.10    Pencegahan Kebakaran Hutan di Indonesia


Upaya untuk menangani kebakaran hutan ada dua macam, yaitu penanganan yang bersifat represif dan
penanganan yang bersifat preventif. Penanganan kebakaran hutan yang bersifat represif adalah upaya yang
dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengatasi kebakaran hutan setelah kebakaran hutan itu terjadi.
Penanganan jenis ini, contohnya adalah pemadaman, proses peradilan bagi pihak-pihak yang diduga terkait
dengan kebakaran hutan (secara sengaja), dan lain-lain.

Sementara itu, penanganan yang bersifat preventif adalah setiap usaha, tindakan atau kegiatan yang dilakukan
dalam rangka menghindarkan atau mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan. Jadi penanganan
yang bersifat preventif ini ada dan dilaksanakan sebelum kebakaran terjadi. Selama ini, penanganan yang
dilakukan pemerintah dalam kasus kebakaran hutan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja, lebih banyak
didominasi oleh penanganan yang sifatnya represif. Berdasarkan data yang ada, penanganan yang sifatnya
represif ini tidak efektif dalam mengatasi kebakaran hutan di Indonesia.

Hal ini terbukti dari pembakaran hutan yang terjadi secara terus menerus. Sebagai contoh : pada bulan Juli
1997 terjadi kasus kebakaran hutan. Upaya pemadaman sudah dijalankan, namun karena banyaknya kendala,
penanganan menjadi lambat dan efek yang muncul (seperti : kabut asap) sudah sampai ke Singapura dan
Malaysia. Sejumlah pihak didakwa sebagai pelaku telah diproses, meskipun hukuman yang dijatuhkan tidak
membuat mereka jera. Ketidakefektifan penanganan ini juga terlihat dari masih terus terjadinya kebakaran di
hutan Indonesia, bahkan pada tahun 2008 ini.

Oleh karena itu, berbagai ketidakefektifan perlu dikaji ulang sehingga bisa menghasilkan upaya pengendalian
kebakaran hutan yang efektif.

Menurut UU No 45 Tahun 2004, pencegahan kebakaran hutan perlu dilakukan secara terpadu dari tingkat
pusat, provinsi, daerah, sampai unit kesatuan pengelolaan hutan. Ada kesamaan bentuk pencegahan yang
dilakukan diberbagai tingkat itu, yaitu penanggungjawab di setiap tingkat harus mengupayakan terbentuknya
fungsi-fungsi berikut ini :

1. Mapping : pembuatan peta kerawanan hutan di wilayah teritorialnya masing-masing. Fungsi ini bisa
dilakukan dengan berbagai cara, namun yang lazim digunakan adalah 3 cara berikut:
 pemetaan daerah rawan yang dibuat berdasarkan hasil olah data dari masa lalu
maupun hasil prediksi.
 pemetaan daerah rawan yang dibuat seiring dengan adanya survai desa (Partisipatory Rural Appraisal)
 pemetaan daerah rawan dengan menggunakan Global Positioning System atau citra satelit
2. Informasi : penyediaan sistem informasi kebakaran hutan.

Hal ini bisa dilakukan dengan pembuatan sistem deteksi dini (early warning system) di setiap tingkat. Deteksi
dini dapat dilaksanakan dengan 2 cara berikut :

o   analisis kondisi ekologis, sosial, dan ekonomi suatu wilayah

o   pengolahan data hasil pengintaian petugas


3. Sosialisasi : pengadaan penyuluhan, pembinaan dan pelatihan kepada masyarakat.

Penyuluhan dimaksudkan agar menginformasikan kepada masyarakat di setiap wilayah mengenai bahaya dan
dampak, serta peran aktivitas manusia yang
seringkali memicu dan menyebabkan kebakaran hutan. Penyuluhan juga bisa menginformasikan kepada
masayarakat mengenai daerah mana saja yang rawan terhadap kebakaran dan upaya pencegahannya.

Pembinaan  merupakan kegiatan yang mengajak masyarakat untuk dapat meminimalkan intensitas terjadinya
kebakaran hutan.

Sementara, pelatihan bertujuan untuk mempersiapkan masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar wilayah
rawan kebakaran hutan,untuk melakukan tindakan awal dalam merespon kebakaran hutan.

4. Standardisasi : pembuatan dan penggunaan SOP (Standard Operating Procedure).


Untuk memudahkan tercapainya pelaksanaan program pencegahan kebakaran hutan maupun efektivitas
dalam penanganan kebakaran hutan, diperlukan standar yang baku dalam berbagai hal berikut :
 Metode pelaporan

Untuk menjamin adanya konsistensi dan keberlanjutan data yang masuk, khususnya data yang berkaitan
dengan kebakaran hutan, harus diterapkan sistem pelaporan yang sederhana dan mudah dimengerti
masyarakat. Ketika data yang masuk sudah lancar, diperlukan analisis yang tepat sehingga bisa dijadikan
sebuah dasar untuk kebijakan yang tepat.

 Peralatan

Standar minimal peralatan yang harus dimiliki oleh setiap daerah harus bisa diterapkan oleh pemerintah,
meskipun standar ini bisa disesuaikan kembali sehubungan dengan potensi terjadinya kebakaran hutan, fasilitas
pendukung, dan sumber daya manusia yang tersedia di daerah.

 Metode Pelatihan untuk Penanganan Kebakaran Hutan

Standardisasi ini perlu dilakukan untuk membentuk petugas penanganan kebakaran yang efisien dan efektif
dalam mencegah maupun menangani kebakaran hutan yang terjadi. Adanya standardisasi ini akan
memudahkan petugas penanganan kebakaran untuk segera mengambil inisiatif yang tepat dan jelas ketika
terjadi kasus kebakaran hutan

5. Supervisi : pemantauan dan pengawasan kepada pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan hutan.
Pemantauan adalah kegiatan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya perusakan lingkungan, sedangkan
pengawasan adalah tindak lanjut dari hasil analisis pemantauan. Jadi, pemantauan berkaitan langsung dengan
penyediaan data,kemudian pengawasan merupakan respon dari hasil olah data tersebut. Pemantauan,
menurut kementerian lingkungan hidup, dibagi menjadi empat, yaitu :
 Pemantauan terbuka : Pemantauan dengan cara mengamati langsung objek yang diamati. Contoh : patroli
hutan
 Pemantauan tertutup (intelejen) : Pemantauan yang dilakukan dengan cara penyelidikan yang hanya
diketahui oleh aparat tertentu.
 Pemantauan pasif : Pemantauan yang dilakukan berdasarkan dokumen, laporan, dan keterangan dari data-
data sekunder, termasuk laporan pemantauan tertutup.
 Pemantauan aktif : Pemantauan dengan cara memeriksa langsung dan menghimpun data di lapangan secara
primer. Contohnya : melakukan survei ke daerah-daerah rawan kebakaran hutan. Sedangkan, pengawasan
dapat dilihat melalui 2 pendekatan, yaitu :

o   Preventif : kegiatan pengawasan untuk pencegahan sebelum terjadinya perusakan lingkungan (pembakaran
hutan). Contohnya : pengawasan untuk menentukan status ketika akan terjadi kebakaran hutan

o   Represif : kegiatan pengawasan yang bertujuan untuk menanggulangi perusakan yang sedang terjadi atau
telah terjadi serta akibat-akibatnya sesudah terjadinya kerusakan lingkungan.

Untuk mendukung keberhasilan, upaya pencegahan yang sudah dikemukakan diatas, diperlukan berbagai
pengembangan fasilitas pendukung yang meliputi :

1. Pengembangan dan sosialisasi hasil pemetaan kawasan rawan kebakaran hutan


Hasil pemetaan sebisa mungkin dibuat sampai sedetail mungkin dan disebarkan pada berbagai instansi
terkait sehingga bisa digunakan sebagai pedoman kegiatan institusi yang berkepentingan di setiap unit
kawasan atau daerah.
2. Pengembangan organisasi penyelenggara Pencegahan Kebakaran Hutan
Pencegahan Kebakaran Hutan perlu dilakukan secara terpadu antar sektor, tingkatan dan daerah. Peran serta
masyarakat menjadi kunci dari keberhasilan upaya pencegahan ini. Sementara itu, aparatur pemerintah,
militer dan kepolisian, serta kalangan swasta perlu menyediakan fasilitas yang memadai untuk
memungkinkan terselenggaranya Pencegahan Kebakaran Hutan secara efisien dan efektif.
3. Pengembangan sistem komunikasi
Sistem komunikasi perlu dikembangkan seoptimal mungkin sehingga koordinasi antar tingkatan (daerah
sampai pusat) maupun antar daerah bisa berjalan cepat. Hal ini akan mendukung kelancaranearly warning
system, transfer data, dan sosialisasi kebijakan yangberkaitan dengan kebakaran hutan

2.11    Penanggulan Kebakaran Hutan di Indonesia


Penanggulangan hutan di Indonesia telah di atur dengan jelas di dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:
P.12/Menhut-Ii/2009 Tentang Pengendalian Kebakaran Hutan. Adapun upaya penanggulangan yang dimaktub
tersebut antara lain:
1. Memberdayakan sejumlah posko yang bertugas menanggulangi kebakaran hutan di semua tingkatan.
Pemberdayaan ini juga harus disertai dengan langkah pembinaan terkait tindakan apa saja yang harus
dilakukan jika kawasan hutan telah memasuki status Siaga I dan juga Siaga II.
2. Memindahkan segala macam sumber daya baik itu manusia, perlengkapan serta dana pada semua tingkatan
mulai dari jajaran Kementrian Kehutanan hingga instansi lain bahkan juga pihak swasta.
3. Memantapkan koordinasi antara sesame instansi yang saling terkait melalui dengan PUSDALKARHUTNAS
dan juga di lever daerah dengan PUSDALKARHUTDA tingkat I dan SATLAK kebakaran lahan dan juga
hutan.
4. Bekerjasama dengan pihak luar seperti Negara lainnya dalam hal menanggulangi kebakaran hutan. Negara
yang potensial adalah Negara yang berbatasan dengan kita misalnya dengan Malaysia berama pasukan
BOMBA-nya. Atau juga dengan Australia bahkan Amerika Serikat.

Upaya penanggulangan kebakaran hutan ini tentunya harus sinkron dengan upaya pencegahan. Sebab walau
bagaimanapun, pencegahan jauh lebih baik dari memanggulangi. Ada beragam cara yang bisa dilakukan dalam
rangka mencegah kebakaran hutan khususnya yang disebabkan oleh perbuatan manusia seperti membuang
punting rokok di wilayah yang kering, kegiatan pembukaan lahan dan juga api unggun yang lupa dimatikan.
Upaya pencegahannya adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya mereka yang
berhubungan langsung dengan hutan. Masyarakat ini biasanya tinggal di wilayah hutan dan memperluas area
pertaniannya dengan membakar. Pemerintah harus serius mengadakan sosialisi agar hal ini bisa dicegah.
Pada dasarnya upaya penanggulangan kebakaran hutan juga bisa disempurnakan jika pemerintah mau
memanfaatkan teknologi semacam bom air. Atau bisa juga lebih lanjut ditemukan metode yang lebih efisien
dan ampuh menaklukkan kobaran api di hutan. Langkah yang paling baik adalah dengan mengikutsertakan
para perangkat pendidikan agar merancang teknologi maupun metode yang membantu pemerintah di level
praktis. Sokongan dana dari pemerintah akan membuat program tersebut lebih baik dan terarah.

2.12.1    Kebakaran Hutan di Riau

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kembali menangkap seorang petani saat membersihkan
lahan dengan cara membakar di Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Penangkapan dilakukan saat BNPB
melakukan patroli.

“Kejadiannya beberapa hari lalu saat tim melakukan patroli udara dan darat,” kata Humas BNPB Agus
Wibowo di Pekanbaru, Minggu (21/7) seperti dikutip Antara.

Dia menjelaskan, pelaku yang teriindikasi sebagai petani pemilik lahan di Kabupaten Siak ini diamankan oleh
tim pemantau yang terdiri atas pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), masyarakat dan Polri.

“Sampai saat ini patroli masih terus berjalan dengan dikoordinir Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Riau,” katanya

Dengan tertangkapnya seorang pelaku pembakar hutan ini, maka total jumlah pembakar lahan perorangan ada
sebanyak 25 orang. Saat ini Polda Riau juga tengah melakukan penyelidikan terhadap 12 kasus dan 5 kasus
penyidikan dengan tersangka 24 orang dan satu korporasi.

Sebanyak 24 tersangka tersebut merupakan pelaku pembakar hutan maupun individu yang memang ingin
memperluas lahan dengan menyuruh membakar hutan.

Hingga saat ini dilaporkan situasi di Riau semakin kondusif meskipun pada peristiwa pembakaran hutan
tersebut dua orang dicatat meninggal yang mana satu orang bahkan turut terbakar.
Sementara untuk kasus pembakaran hutan yang melibatkan perusahaan perkebunan di Provinsi Riau masih
‘menggantung’. Sejauh ini Polda Riau belum juga menetapkan tersangka pada kasus yang terindikasi
melibatkan sebuah perusahaan perkebunan, PT Adei Plantation (AP). Untuk memperkuat dugaan itu, Polda
Riau berencana mengambil keterangan saksi ahli.

Saksi ahli yang rencana didatangkan ada beberapa, di mana menurut informasi kepolisian saksi tersebut dari
pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan akademisi.

Polda Riau sebelumnya juga telah memeriksa sebanyak 16 saksi dari kalangan karyawan dan pejabat
perusahaan diduga pembakar lahan.

Anda mungkin juga menyukai