Anda di halaman 1dari 10

TINJAUAN PUSTAKA

Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan adalah kejadian alam yang mempakan suatu proses


reaksi secara cepat dari oksigen dengan unsur-unsur lain yang ditandai dengan
panas, cahaya serta biasanya menyala. Kebakaran hutan tejadi di alam terbuka
yaitu tejadinya penjalaran api secara bebas dan tidak terhambat pada lokasi
tertentu yang mengkonsumsi bahan bakar yang ada di hutan seperti serasah,
rumput, tumbuhan bawah, patahan kayu, serta pohon-pohon yang masih hidup.
Ciri utama kebakaran hutan adalah sifatnya yang tidak tertekan dan menyebar
bebas (Brown & Davis 1973).
Selanjutnya Brown dan Davis (1973) menyatakan bahwa proses kebakaran
merupakan kebalikan dari proses fotosintesis, dimana di dalam proses kebakaran
energi yang tersimpan di dalam biomassa dilepas sebagai panas pada saat bahan
bakar seperti daun, rumput, atau kayu berkombinasi oksigen (02) membentuk
karbondioksida (C02) dan uap air (H20). Sedangkan dalam proses fotosintesis
C02, H20, dan energi matahari berkombinasi menghasilkan suatu energi kimia
simpanan dan oksigen. Pada proses fotosintesis energi terpusat secara perlahan,
sebaliknya proses pembakaran energi dilepas dengan cepat.
Fuller (1991) menyatakan bahwa terdapat tiga komponen penting yang
diperlukan untuk setiap api agar dapat menyala dan mengalami proses
pembakaran yaitu hams tersedia bahan bakar yang dapat terbakar, panas yang
cukup untuk digunakan dan menaikkan temperatur bahan bakar hingga ke titik
penyalaan, serta diperlukan suplai oksigen yang cukup dalam menjaga proses
pembakaran.
Tahapan atau fase proses terjadi kebakaran hutan dibedakan atas beberapa
bagian yaitu : pra-pemanasan, penyalaan, pembaraan, pemijaran, dan pemadarnan
(De Bano et al. 1998)
Berdasarkan perbedaan cara menjalar api dan posisi api terhadap tanah
terdapat 3 tipe klasifikasi kebakaran hutan (Chandler et al. 1983a; Suratrno 1985)
1. Kebakaran bawah (groundfire)
Kebakaran ini membakar bahan bakar bempa material organik
yang berada di bawah lantai hutan dan permukaan tanah. Bahan organik
yang terbakar itu meliputi bahan organik yang sedang membusuk, humus
serta lapisan tanah bagian atas. Tipe kebakaran bawah sangat sulit
dideteksi, sehingga sulit diawasi.
2. Kebakaran permukaan (surfaceJre)
Kebakaran yang membakar bahan bakar yang terdapat di lantai
hutan, baik bempa serasah, tumbuhan bawah, bekas limbah, dan lain
sebagainya yang berada di bawah tajuk pohon dan di atas permukaan
tanah. Tipe kebakaran ini paling sering terjadi di dalam tegakan hutan
sekunder dan alami. Kebakaran permukaan dapat menjalar ke tumbuhan
yang lebih tinggi dan tajuk pohon.
3. Kebakaran tajuk (crownfire)
Kebakaran tajuk terjadi karena adanya kebakaran permukaan yang
menjalar ke arah tajuk. Kebakaran menjalar dari tajuk pohon ke tajuk
pohon lainnya atau semak-semak. Kebakaran tajuk sangat sulit untuk
dipadamkan dan menjalar sangat cepat yang dipengaruhi oleh faktor angin
dan bisa mengakibatkan api loncat (spot Jre) yang dapat menyebabkan
kebakaran di daerah lain.

Penyebab dan Akibat Kebakaran Hutan

Penyebab terjadi kebakaran hutan sangat beragam, tetapi ada dua faktor
utama yaitu faktor alam dan faktor manusia. Menurut Chandler et al. (1983b),
kebakaran hutan secara alami di ~engaruhioleh beberapa faktor dam yang saling
berkaitan seperti iklim (kemarau yang panjang, petir, dan daya dam lainnya),
jenis tanaman (misalnya tanaman pinus yang mengandung resin), tipe vegetasi
(alang-alang, hutan belukar, hutan monokultur), dan bahan sisa vegetasi seperti
serasah, ranting, dan lain-lain.
Secara mum kebakaran hutan yang terjadi biasanya berhubungan erat
dengan kegiatan yang dilakukan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya,
seperti kegiatan menyiapkan lahan pertanian dengan cara membakar, atau
aktivitas sampingan penggembalaan temak dengan cara membakar alang-alang
yang sudah tua agar berguna kembali (Fuller 1991). Menurut Suratmo (1985),
kebakaran hutan yang terjadi lebih dari 90% disebabkan oleh kelalaian manusia
dan umumnya ditunjang oleh pengamh dan faktor dam seperti musim kemarau
yang panjang sehingga potensi bahan bakar meningkat.
F A 0 (1953) mengklasifikasikan penyebab kebakaran hutan sebagai
berikut :
1. Peralatan. Suatu kebakaran yang disebabkan penggunaan alat.
2. Pemanfaatan hutan. Suatu kebakaran yang dihasilkan secara langsung dari
pemanenan-penebangan kayu dan hasil hutan laimya.
3. Pembakaran vegetasi. Suatu kebakaran yang disengaja oleh manusia
untuk membakar vegetasi lahan orang lain tanpa seizin pemiliknya.
4. Pembahan fungsi dan konversi lahan. Kebakaran yang disebabkan karena
adanya konversi lahan untuk tujuan pertanian, pembangunan industri,
konstruksi jalan, dan lain sebagainya.
5. Petir. Kebakaran yang disebabkan secara langsung maupun tidak
langsung oleh petir.
6. Rekreasi. Kebakaran yang disebabkan dari aktivitas manusia dalam
melakukan kegiatan rekreasi, khususnya rekreasi alam.
7. Merokok. Kebakaran yang disebabkan oleh perokok, korek api, atau
pembakaran tembakau dalam segala bentuknya.
8. Penyebab lain. Penyebab lain sebagainya yang tidak termasuk ketujuh
penyebab di atas.
Akibat kebakaran hutan ada yang segera terlihat dan ada yang tidak segera
terlihat, sedangkan besamya derajat kerusakan terutama dipengamhi oleh tipe
kebakaran, lamanya kebakaran, keadaan tegakan hutan, dan cuaca atau i k l i i
(Davis 1959).
Kebakaran hutan dapat menghabiskan kayu di hutan dalam waktu singkat
dan bahan bakar lain yang mudah terbakar, menghasilkan energi yang berbentuk
panas sehingga dapat membunuh dan mematikan turnbuhan dan satwa, serta
mempengaruhi tanah hutan. Selain itu, abu sisa pembakaran akan memberikan
pengaruh kimia pada tanah hutan (Wright 62 Bailey 1982). Suratmo (1985)
menyatakan bahwa kebakaran hutan berdasarkan intensitas dan jenis kebakaran
yang terjadi menimbulkan beberapa dampak yaitu : kemsakan pada pohon yang
terbakar, kerusakan pada anakan pohon, gangguan terhadap tanah hutan,
penunman produktivitas hutan karena banyak kayu-kayu yang terbakar,
penurunan dari nilai rekreasi dan keindahan, serta turunnya kesejahteraan
penduduk sekitar hutan karena sumberdaya yang sering mereka gunakan habis
terbakar, sehingga keperluan hidup sehari-hari kurang terpenuhi.
Kebakaran hutan selain merugikan juga memberikan keuntungan (Suharjo
1998). Keuntungan tersebut di antaranya adalah:
1. Abu hasil pembakaran sangat kaya akan hara sehingga menjadi salah satu
sasaran pokok dalam penggunaan lahan menggunakan api.
2. Penyiapan lahan menggunakan api sangat menghemat.
3. Biaya yang dibutuhkan dalam penyiapan lahan menggunakan api jauh
lebih murah sehingga pemsahaan dapat diuntungkan.
4. Rurnput muda yang dihasilkan dari kebakaran mempakan makanan bagi
satwa liar.
5. Dengan adanya api maka diversifikasi jenis vegetasi lebih beragam dan
mencegah monokultur. Panas yang cukup mampu membuat beberapa
jenis vegetasi tertentu berkecambah.

Dampak Kebakaran Hutan terhadap Sifat-Sifat Tanah

Kebakaran hutan dapat merusak tanah karena terbakarnya akar dan lapisan
humus yang menahan aliran permukaan, serta terbakarnya pohon dan semak yang
memiliki daya menyimpan air. Pengaruh kebakaran hutan terhadap sifat tanah
sangat ditentukan oleh frekuensi kebakaran, intensitas panas, lamanya kebakaran,
vegetasi yang tumbuh, dan jenis tanah (Davis 1959). Hal yang sama
dikemukakan oleh Blank dan Zamudio (1998).
Menurut Ralston dan Hatchel (1971), diacu dalam Pritchett (1979),
kebakaran hutan menyebabkan terbukanya lantai hutan sehingga tidak ada
perlindungan terhadap permukaan tanah jika hujan turun dan mengakibatkan
terjadinya erosi permukaan yang tidak terkendali. Lebih jauh dampak yang
dialami ialah porositas dan kecepatan intiltrasi tanah menurun serta bobot isi
tanah meningkat akibat agregat tanah terdispersi oleh pukulan butir-butir hujan
dan tertutupnya pori-pori tanah oleh partikel abu pembakaran.
Kehilangan tanaman penutup dan pembakaran bahan organik dapat
mengubah struktur tanah, dengan demikian mempengaruhi porositas dan sifat
hidrologi lainnya (Giovannini & Lucchesi 1997), serta menambah akumulasi zat-
zat hidrofobik setebal beberapa sentimeter dengan demikian m e n d a n infiltrasi
dan meningkatkan aliran permukaan (De Bano 1971). Kondisi tersebut
meningkatkan kcrentanan tanah terhadap erosi, dan umumnya meningkatkan
aliran permukaan dan kehilangan tanah. Unsur hara kemudian hilang bersamaan
dengan aliran permukaan (Andreu et al. 1996). Menurut Andreu et al. (1996),
erosi lebih intensif terjadi pada area kebakaran intesitas tinggi jika dibandingkan
kebakaran intensitas sedang. Pengaruh kebakaran kepada erosi tanah utamanya
tergantung kepada intensitas dan karakteristik beberapa kejadian hujan berikutnya
seperti intensitas dan lama hujan.
Kebakaran hutan memberikan masukan mineral yang terdapat dalam abu
atau arang sehingga menaikkan pH tanah dan menambah unsur hara tanah seperti
K, Ca, Mg, dan S (De Bano et al. 1998). Hamzah dan Wibowo (1985)
menyatakan bahwa kebakaran hutan menyebabkan terbakarnya bahan organik,
baik yang bergelatungan rnaupun yang terletak di atas permukaan tanah serta
terjadi pemanasan lapisan permukaan. Pembakaran bahan organik menghasilkan
pembebasan C02, gas-gas yang mengandung nitrogen dan abu yang berterbangan
ke atmosfer dan penyadapan mineral &lam bentuk abu. Abu kayu dan abu
serasah lebih mudah larut daripada bahan organik asli. Jadi pengaruh kebakaran
dapat meningkatkan kadar hara tersedia untuk waktu sementara.
Darnpak kebakaran hutan terhadap sifat tanah dalam jangka pendek dapat
meningkatkan kesubwan tanah seperti yang dilaporkan Kim er al. (1999), hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa dua minggu setelah kebakaran terjadi
peningkatan pH tan& bahan organik, nitrogen, P-tersedia, dan basa-basa yang
dapat dipertukarkan. Sebaliknya, dari hasil penelitian Pennington et al. (2001),
dampak kebakaran hutan terhadap tanah dalam jangka panjang yaitu sembilan
bulan setelah kejadian kebakaran menyebabkan menurunnya C-organik, N-total,
dan P-tersedia, tetapi meningkatkan pH tanah.
Kebakaran hutan tidak hanya menyebabkan perubahan dalam tanah dan
sifat-sifat lingkungan, kebakaran tersebut juga meningkatkan kehilangan unsur
hara melalui volatilisasi, pencucian, dan erosi air. Kebakaran hutan akan
menghasilkan volatilisasi unsur-unsur ham tertentu dan mendorong nitrifikasi
akibat panas yang terjadi. Hilangnya unsur hara makro C, N, S, dan P akibat
kebakaran melibatkan proses senyawa oksidasi baik dalam bentuk gas, bahan
organik, bentuk partikel abu, dan transpor air baik akibat pengendapan maupun
transpor sedimen. Unsur sulfur akan hilang pada hutan yang terbakar pada suhu
375 OC-575 "C dan akan menghilangkan unsur S sebanyak 24% hingga 79% dari
total unsur S yang tersedia (Tiedemann 1987). Suhu dari hutan yang terbakar yang
mencapai 777 "C akan menguapkan unsur P (Raison et al. 1985a), tapi hilangnya
unsur P ini tidak dapat diamati pada kondisi kebakaran di bawah suhu 400 "C. De
Bano clan Klopatek (1988) menyatakan bahwa 50% dari total unsur P hilang
akibat penguapan serasah pinus yang terbakar, dan Mackensen el al. (1996)
menyatakan bahwa hilangnya unsur P akibat penguapan sebesar 27% hingga 33%
akibat kebakaran. Unsur Ca tidak mudah menguap pada area vegetasi yang
terbakar pada suhu rendah (Raison et al. 1985a). Bagaimanapun, perubahan
bentuk menjadi asap atau angin bisa menyebabkan unsur Ca menguap pada
kebakaran dengan intensitas tinggi (Raison et al. 1985b). Belillas dan Feller
(1998) menernukan sedikit pembahan kandungan Ca dalam area sebelum
kebakaran hutan maupun setelah kebakaran yaitu sebesar 136 * 15 kg hi1 pada
area hutan yang terbakar dan 132 * 26 kg hd1 pada area hutan yang tidak
terbakar. De Bano dan Conrad (1978) menemukan 699 kg Ca ha.' dalam
tumbuhan dan serasah sebelum kebakaran, setelah kebakaran abu serasah dan
tumbuhan mengandung 688 kg ~a hap'.
Hasil penelitian Baird et al. (1999) menunjukkan terjadi peningkatan pH
tanah pada saat 1 tahun setelah terjadi kebakaran sebesar 0.lunit pada kedalaman
0-10 cm. Ellingson et al. (2000) melaporkan bahwa kebakaran intesitas rendah
meningkatkan pH tanah sebesar 1.1 unit pada kedalaman 0-2.5 cm sesaat setelah
terjadi kebakaran dan pada kebakaran intensitas tinggi terjadi peningkatan pH
sebesar 2.2 unit. Penelitian Pennington et al. (2001) menunjukkan terjadinya
peningkatan pH tanah pada saat 9 bulan setelah terjadi kebakaran sebesar 1.13
unit pada kedalaman 0-5 cm, 0.78 unit pada kedalaman 5-10 cm, 0.62 unit pada
kedalaman 10-20 cm, dan 0.51 unit pada kedalaman 20-30 cm. Pada saat 3 bulan
setelah kebakaran, pada kedalaman 2-5 cm terjadi peningkatan pH sebesar 0.5 unit
hingga 0.7 unit ( Ellis & Graley 1983 ;Tomkin et al. 1991)
Kim et al. (1999) melaporkan tejadi peningkatan pH tanah pada
kedalaman 0-5 cm sebesar 0.7 unit pada kebakaran intensitas rendah dan 0.6 unit
pada kebakaran intensitas tinggi akibat penambahan hara di lantai hutan yang
terbakar. Peningkatan pH setelah kebakaran akibat peningkatan kandungan abu
(Kauffinan et al. 1993). Kenaikan pH ini juga berhubungan dengan peningkatan
amonifikasi setelah kebakaran (Mroz et al. 1980). Menurut Kim et al. (1999),
peningkatan pH tanah pada area kebakaran bermanfaat untuk pertumbuhan
vegetasi selanjutnya, karena perubahan dari ketersedian hara dan peningkatan pH
tersebut segera terhenti karena hilangnya abu dengan cepat selama musim hujan
yang tinggi.
Secara umum dinyatakan bahwa kebakaran intensitas tinggi menyebabkan
kehilangan C dan N pada lapisan atas tanah (Ellis & Graley 1983) yaitu 7 360 kg
C organik has' dan 21 1 kg N ha-' hilang dari lapisan permukaan tanah. Sebaliknyq
hasil penelitian Kim et al. (1999) menunjukkan tejadi peningkatan N pada
kedalaman 0-5 cm sebesar 25% dan 24% bahan organik akibat kebakaran
intensitas tinggi, 65% N dan 60% bahan organik &bat kebakaran intensitas
sedang pada saat 2 minggu setelah tejadi kebakaran. Kandungan bahan organik
setelah kebakaran meningkat diduga akibat banyaknya abu biomasa yang mati,
atau menurun akibat sedikitnya masukan jumlah serasah di permukaan tanah dan
hilangnya C melalui volatilisasi. Menurut Kim et al. (1999) kandungan bahan
organik pada kedalam 0-5 cm sedikit lebih tinggi di area kebakaran akibat
bercampurnya abu ke dalam tanah. Peningkatan konsentrasi N pada kedalaman
0-5 cm area kebakaran intesitas rendah lebih besar jika dibandingkan area
kebakaran intensitas tinggi. Peningkatan N di area kebakaran mungkin akibat
pergerakan nitrogen inorganik danfatau tambahan dari sisa abu hasil pembakaran
serasah di lantai hutan (Kim et al. 1999).
Caldwell et al. (2002) dari h a i l penelitiannya mengemukakan bahwa 6 mg
C ha.' hingga 24 mg C ha.' dan 60 kg N ha.' hingga 500 kg N ha-' hilang melalui
proses volatilisasi akibat kebakaran. Menurut Caldwell et al. (2002) penguapan
unsur N selama kebakaran hutan mempakan mekanisme dominan dari sistem
hilangnya unsur N. Selanjutnya juga dinyatakan bahwa ada hubungan antara
fiksasi N dengan lamanya kebakaran. Fiksasi N berpotensi hilangnya
ketersediaan kandungan N akibat kebakaran, dan berpengaruh bagi ketersedian
unsur N dalam jangka panjang.
Ketterings dan Bigham 2000 melaporkan terjadi penurunan 22% C dan
31% N pada kedalam 0-5 cm area kebakaran pada saat 2 minggu setelah terjadi
kebakaran intensitas tinggi. Binkley et al. (1992) menemukan bahwa sebanyak
13 rng C ha" dan 410 kg N ha.' hilang melalui proses penguapan akibat
kebakaran pada hutan pinus. Belillas dan Feller (1998) menyatakan bahwa
sebanyak 48 mg C ha-' dan 260 kg N ha.' mengalami proses volatilisasi akibat
kebakaran. Little dan Ohmann (1988) melaporkan bahwa 192 kg hingga 666 kg
N ha-' menguap akibat kebakaran.
Hasil penelitian Garcia et al. (2000) menyatakan bahwa kebakaran hutan
menyebabkan meningkatnya N-amonium dan penurunan kandungan N-total dan
N-nitrat sesaat setelah terjadi kebakaran. Menurut Garcia et al. (2000),
peningkatan dalam N-amonium adalah akibat transformasi bahan organik, dimana
meningkat pada suhu 210 "C, dan N-nitrat tanah menurun setelah terjadi
kebakaran.
Baird et al. (1999) melaporkan bahwa pada kedalaman 0-60 cm terjadi
penurunan kandungan C tanah sekitar 36% (31 mglha) dan 46% N (3.0 m g h )
pada saat 3 bulan setelah terjadi kebakaran jika dibandingkan dengan area yang
tidak terbakar. Pada saat 1 tahun setelah terjadi kebakaran terjadi penurunan
sekitar 30% C (25 mgha) dan 46% N (3.0 mgha).
Kettering clan Bigham 2000 melaporkan bahwa terjadi peningkatan P-
tersedia sebesar 10.7 mgkg pada kedalaman 0-5 cm area kebakaran pada saat 2
minggu setelah terjadi kebakaran intensitas tinggi. Kim et al. 1999 melaporkan
bahwa peningkatan ketersedian P pada kedalaman 0-5 cm signifikan lebih tinggi
di area kebakatan intensitas rendah dibandingkan area kebakaran intensitas tinggi
yaitu P-tersedia pada area kebakaran intensitas rendah meningkat menjadi 94
ppm dan 50 ppm pada area kebakaran intensitas tinggi. Menurut Hungerford et
al. 1991 kehilangan P-tersedia di area kebakaran intesitas tinggi sebanding dengan
area kebakaran intensitas rendah diduga akibat kehilangan melalui proses
volatilisasi. Garcia et al. (2000) menyatakan bahwa kebakaran hutan
menyebabkan meningkatnya P-tersedia, dan konsentrasi P-tersedia meningkat
setelah kebakaran disebabkan karena pembakaran bahan organik dan terjadi
mineralisasi akibat suhu tinggi.
Perubahan P-total akibat kebakaran bervariasi. Penelitian Pennington et
al. (2001) menunjukkan tejadinya peningkatan P-total sebesar 28.9% pada
kedalaman 0-5 cm dan 11.1 % pada kedalaman 5- 10 cm pada saat 9 bulan setelah
terjadi kebakaran. Giardina et al. (2000) melaporkan bahwa terjadi peningkatan
P-tersedia pada 1 hari setelah terjadi kebakaran sebesar 24.8 kgha pada
kedalaman 0-2 cm dan 12.9 kgha pada kedalaman 2-5 cm. Giardiia et al. (2000)
juga melaporkan terjadi peningkatan P-total setelah kebakaran sebesar 6.4 kglha
yang mengindikasikan adanya bagian P yang terkandung dalam biomasa
ditransformasi ke tanah selama kebakaran.
Hasil penelitian Garcia et al. (2000) menyatakan bahwa kebakaran hutan
menyebabkan meningkatnya ~ a ' ,K+, dan Mg2+ dl. permukaan tanah sesaat setelah
terjadi kebakaran. Sebaliknya, kandungan KTK dan ca2+ di dalam tanah
menurun setelah terjadi kebakaran intensif maupun sedang. Peningkatan kation-
kation Na', K', dan M ~ dapat
~ + dipertukarkan sebagai hasil pembakaran
disebabkan karena keberadaan abu. Hasil penelitian Kim et al. (1999)
menunjukkan bahwa kation yang dapat dipertukarkan seperti Ca, Mg, dan K di
permukaan tanah meningkat setelah terjadi kebakaran yang berasal dari abu
serasah sisa kebakaran di permukaan tanah.
Kebakaran hutan menyebabkan meningkatnya bobot isi tanah pada
kedalaman 0-2 cm dan 2-5 cm pada saat 2 hari setelah terjadi kebakaran intensitas
tinggi (Ellis & Graley 1983). Tomkin et al. (1991) juga melaporkan terjadinya
peningkatan bobot isi tanah pada kedalaman 0-2 cm. Hasil penelitian Pennington
et al. (2001) menunjukkan terjadi peningkatan bobot isi tanah sebesar dari 0.58
mg/m3 menjadi 0.70 mg/m3pads kedalaman 0-5 cm akibat kebakaran yang terjadi.
Giardina et al. (2000) melaporkan bahwa terjadi peningkatan bobot isi dari
0.75 g/cm3 menjadi 0.79 g/cm3 setelah terjadi kebakaran. Menurut Giardina et al.
(2000), ha1 ini terjadi mungkin karena teksturnya lempung berpasir dan
rendahnya kandungan C-organik pada area tersebut.
Akibat jangka panjang dari kebakaran hutan yang bemlang-ulang adalah
proses erosi, seperti yang dilaporkan Giovannini et al. 1990 yang menyatakan
bahwa kebakaran hutan yang terns menerus dan berulang-ulang utamanya di
musim panas, diikuti oleh hujan yang lebat di musim gugur menyebabkan tejadi
erosi yang intensif. Edelman (1949), diacu dalam Rachmatsjah et al. (1985)
mengatakan bahwa seringnya kebakaran hutan dapat mengakibatkan erosi dan
pembentukan humus yang tidak sempurna. Selanjutnya dinyatakan pula, bahwa
kebakaran pada kawasan butan jati dapat meningkatkan kemsakan tanah
sehubungan terdapatnya sifat-sifat yang kurang baik pada tegakan jati yaitu:
1. Penutupan tajuk yang kurang sempurna pada umur yang lebih tua dan pada
tanah yang kurang subur.
2. Tegakan jati hampir setiap tahun mengalami penggundulan, ini terjadi
pada musim kering yang dapat merangsang timbulnya kebakaran hutan.
3. Daun jati yang gugur sangat cepat hancur sehingga pembentukkan humus
tidak sempurna.
4. Perakaran yang kurang agresif dalam menembus tanah yang padat.

Anda mungkin juga menyukai