Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Kebakaran hutan dan lahan merupakan bukan hal baru terjadi disejumlah
daerah di Indonesia, Pemerintah Pusat maupun Daerah pun memiliki database
yang seharusnya menjadi acuan guna dijadikan pola dalam menganalisa upaya
pencegahan yang dilakukan pada masa mendatang (Direktorat Pengendalian
Kebakaran Hutan dan Lahan, 2013). Hal tersebut dimaknai sebagai salah satu
kapabilitas yang dijalankan oleh pemerintah, pola menganalisa merupakan
metode untuk mengukur pekerjaan mereka serta beragam pencegahan yang efektif
dibantu track record tersebut. Database dijadikan pola analisa sekaligus menjadi
catatan terhadap kapabilitas atau kemampuan yang telah dilaksanakan oleh
Pemerintah di pusat maupun di daerah melaksanakan tugasnya, didukung dengan
pembagian tugas yang semakin jelas dan baik
Kapabilitas Pemerintah Daerah Provinsi Riau selama ini tidak luput dari
perhatian nasional maupun negara tetangga, terhadap kasus kebakaran hutan dan
lahan yang terjadi yang menimbulkan dampak kabut asap, yang asapnya dirasakan
hingga wilayah negara tetangga (Singapura dan Malaysia) menimbulkan isu
keamanan lingkungan bersifat lintas batas, serta dampak asap sampai pada
provinsi tetangga (Kepulauan Riau, Sumatera Barat serta Jambi), hal ini
disebabkan oleh faktor dari letak geografis Riau.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah pengertian kebakaran hutan ?
2. Bagaimankah proses terjadinya kebakaran hutan ?
3. Apakah penyebab dari kebakaran hutan ?
4. Apakah dampak kebakaran hutan ?
5. Bagaimanakah solusi mengatasi kebakaran hutan ?
6. Bagaimana penyebab terjadinya kebakaran hutan di Riau tahun 2015 ?

1
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian kebakaran hutan.
2. Untuk mengetahui proses terjadinya kebakaran hutan.
3. Untuk mengetahui penyebab dari kebakaran hutan.
4. Untuk mengetahui dampak kebakaran hutan.
5. Untuk mengetahui solusi mengatasi kebakaran hutan.
6. Untuk mengetahui penyebab terjadinya kebakaran hutan di Riau tahun
2015.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kebakaran Hutan


Istilah Kebakaran hutan di dalam Ensiklopedia Kehutanan Indonesia
disebut juga Api Hutan. Selanjutnya dijelaskan bahwa Kebakaran Hutan atau Api
Hutan adalah Api Liar yang terjadi di dalam hutan, yang membakar sebagian atau
seluruh komponen hutan. Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab
kerusakan hutan yang paling besar dan bersifat sangat merugikan. Perbaikan
kerusakan hutan akibat kebakaran memerlukan waktu yang lama, terlebih lagi
untuk mengembalikannya menjadi hutan kembali.
Kebakaran hutan merupakan suatu faktor lingkungan dari api yang
memberikan pengaruh terhadap hutan, menimbulkan dampak negatif maupun
positif. kebakaran hutan yang terjadi adalah akibat ulah manusia maupun faktor
alam. Penyebab kebakaran hutan yang terbanyak karena tindakan dan kelalaian
manusia. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa definisi Kebakaran
Hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga berakibat
timbulnya kerugian ekosistem dan terancamnya kelestarian lingkungan. Contoh
kebakaran hutan diantaranya adalah Kebakaran pada area hutan HPH, HPHTI
Hutan Lindung, Hutan suaka marga satwa, taman nasional dan sebagainya.

2.2 Proses Terjadinya Kebakaran Hutan


Kebakaran hutan dan lahan diakibatkan adanya proses nyala api, hal ini
dapat terjadi karena adanya tiga unsur, yaitu oksigen, bahan bakar, dan sumber
penyulut api. Sebagai ilustrasi bahan bakar dan panas yang terjadi karena suhu
tinggi, namun tanpa adanya udara sebagai penyulut api tidak mungkin terjadi
kebakaran hutan. Kebakaran hutan terjadi apabila ketiga unsur tersebut muncul
bersamaan, sehingga saling mendukung munculnya api.

3
Kebakaran hutan terjadi apabila di areal kebakaran terdapat bahan bakar
yang tersedia di hutan seperti ranting, daun, rumput kering dll tersulut oleh
sumber api yang berasal dari alam maupun buatan seperti kilat, gesekan, dan ulah
manusia di dukung dengan adanya oksigen yaitu udara yang dapat memperbesar
kebakaran hutan.

2.3 Penyebab Kebakaran Hutan


Kebakaran hutan terjadi disebabkan karena faktor alami dan kegiatan
manusia. Ada yang menyebutkan hampir 90% kebakaran hutan disebabkan oleh
manusia sedangkan hanya 10% yang disebabkan oleh alam.
1. Bahan bakar
Ada beberapa sifat bahan bakar yang mempengaruhi proses terjadinya
kebakaran yaitu ukuran bahan bakar, volume bahan bakar, jenis bahan
bakar dan kandungannya kadar air bahan bakar.
2. Cuaca
a. Angin
Angin merupakan faktor pemacu dalam lingkup api, angin akan
menurunkan kelembaban udara sehingga memperbesar ketersediaan
oksigen sehingga api dapat berkobar dan merambat cepat, serta
adanya angin akan mengarahkan lidah api ke bahan bakar yang
belum terbakar selain itu angin dapat menyebakan terjadinya lokasi
kebakaran baru.
b. Suhu udara
Areal dengan intensitas penyinaran matahari yang tinggi akan
menyebabkan bahan baku cepat mengering, sehingga memudahkan
terjadinya kebakaran. Suhu yang tinggi menyebabkan rawan
kebakaran, lokasi dengan suhu tinggi yaitu lebih besar dari 153 C.
c. Curah hujan
Suatu daerah yang memiliki curah hujan tinggi berpengaruh terhadap
kembaban udara dan kadar air bahan bakar. Faktor hujan diduga
merupakan faktor pemicu utama terjadinya kebakaran hutan dan
lahan.

4
d. Keadaan air tanah
Keadaan air tanah ini sangat penting terutama di daerah gambut.
Pada musim kemarau, kondisi air tanah bisa menurun. Permukaan air
tanah yang menurun menyebabkan lapisan permukaan atas gambut
menjadi kering. Dan hal ini menyebabkan lahan gambut rawan
kebakaran..
3. Waktu
Pada waktu siang hari kelembaban udara relatif rendah dan sebaiknya
pada siang hari. Maka perlu diperhatikan waktu pembakaran agar tidak
beresiko terjadinya kebakaran.
4. Sumber Api/Penyulut
Seperti telah diuraikan didepan bahwa sebagian besar sumber penyulut
terjadinya kebakaran hutan di Indonesia adalah oleh aktivitas manusia,
entah dengan sengaja atau tidak disengaja. Sedangkan untuk sumber api
alami dapat disebabkan oleh adanya petir dan gesekan.

2.4 Dampak Kebakaran Hutan


Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena didalamnya
terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber, sumber hasil hutan kayu dan
non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah,
perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan,
rekreasi, pariwisata dan sebagainya. Terjadinya kebakaran hutan memberikan
berbagai pengaruh baik bagi hutan itu sendiri maupun masyarakat sekitar. Berikut
dampak kebakaran hutan dari berbagai segi:
a.) Dampak Terhadap Lingkungan Fisik
1) Dampak terhadap tanah
Kebakaran hutan dapat mengakibatkan kerusakan pada sifat fisik dan
kimia tanah. Terjadinya kebakaran hutan akan menghilangkan vegetasi
di atas tanah, sehingga apabila terjadi hujan, maka hujan akan
langsung mengenai permukaan atas tanah sehingga mendapat energi
pukulan air yang lebih besar, karena tidak lagi tersusup / tertahan lagi
oleh vegetasi penutup tanah.

5
2) Dampak terhadap kualitas udara
Kebakaran hutan dapat menghasilkan gas-gas seperti Nox, Cox dan
Sox yang dapat menurunkan kualitas udara.
b.) Dampak Terhadap Kehidupan Flora dan Fauna
1) Dampak terhadap flora
Apabila api melahap hutan tropis Indonesia maka jelas akan
memusnahakan berbagai macam jenis tumbuhan yang merupakan
kekayaan dunia.
2) Dampak terhadap fauna
Apabila terjadi kebakaran hutan, maka pada umumnya satwa yang
bergerak lambat seperti jenis.
c.) Dampak Lain-Lain
1) Dampak terhadap sosial ekonomi
Berdasarkan pengamatan pada beberapa responden, hasilnya ternyata
tanpa diminta sebutan responden mengungkapkan perasaan mendalam
mengenai kekacauan, ketidakadilan, keputusasaan dan
ketidakberdayaan, serta perasaan kehidupan menjadi tidak seimbang.
Bukan hanya uang atau fisik tetapi juga hilangnya rasa kebersatuan
dan keamanan hidup mereka.
2) Dampak tehadap kesehatan
Kebakaran hutan selalu menimbulkan asap. Asap inilah yang
merupakan dampak paling mengganggu kesehatan.

2.5 Solusi Mengatasi Kebakaran Hutan


Upaya untuk menangani kebakaran hutan ada dua macam:
1. Penanganan Yang Bersifat Preventif.
Penanganan yang bersifat preventif adalah setiap usaha, tindakan atau
kegiatan yang dilakukan dalam rangka menghindarkan atau mengurangi
kemungkinan terjadinya kebakaran hutan. Jadi penanganan yang bersifat preventif
ini ada dan dilaksanakan sebelum kebakaran terjadi.

6
Upaya ini dapat dilakukan dengan cara memanajemen bahan bakar yaitu :
1) Modifikasi bahan bakar
merupakan usaha untuk merubah satu atau beberapa macam
karakteristik bahan bakar. Tujuannya adalah agar bahan bakar tidak
mudah terbakar, atau kalau terjadi kebakaran penjalaran apinya lambat,
sehingga mudah dipadamkan. Bahan bakar dapat dimodifikasi dengan
berbagai cara:
a.) Memotong-motong dahan dan ranting pohon yang berupa
limbah penebangan menjadi potongan-potongan yang lebih
kecil dan pendek.
b.) Merubah kayu-kayu limbah penebangan menjadi tepung
kayu (seperti bubuk gergaji), dengan menggunakan mesin
penghancur kayu (powder machine). Serbuk yang dihasilkan
dapat ditebarkan di lantai hutan sehingga akan cepat
terdekomposisi.
c.) Menebas tumbuhan bawah di lantai hutan secara periodik,
dilakukan pada musim hujan
2) Pengurangan Bahan Bakar
Pengurangan bahan bakar hutan dilakukan dengan tujuan agar bahan
bakar hutan berkurang jumlahnya, sehingga bila terjadi kebakaran
hutan, besarnya nyala api, kecepatan penjalaran dan lamanya
kebakaran dapat dikurangi. Pengurangan bahan bakar dapat dilakukan
dengan cara memanfaatkan kayu-kayu atau ranting-ranting dihutan
untuk berbagai keperluan.
3) Isolasi Bahan Bakar
Isolasi bahan bakar adalah kegiatan memisahkan suatu kawasan
hutan dari kawasan di luarnya, dan atau membagi kawasan hutan
tersebut menjadi bagian-bagian kawasan hutan yang lebih kecil, oleh
suatu penyekat yang disebut jalur isolasi.
2. Penanganan Yang Bersifat Represif
Penanganan kebakaran hutan yang bersifat represif adalah upaya yang dilakukan
oleh berbagai pihak untuk mengatasi kebakaran hutan setelah kebakaran hutan itu

7
terjadi. Penanganan jenis ini, contohnya adalah pemadaman, proses peradilan bagi
pihak-pihak yang diduga terkait dengan kebakaran hutan (secara sengaja), dan
lain-lain.
Empat pilar utama dalam mendukung pelaksanaan pendidikan lingkungan
hidup
1. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang membina pendidikan
lingkungan hidup bagi masyarakat luas.
a. Mengembangkan PLH melalui kegiatan seminar, sarasehan,
lokakarya, pengembangan sarana Pendidikan seperti penyusunan
modul-modul integrasi terkait dengan masalah lingkungan.
b. meningkatkan kesadaran masyarakat akan kegiatan yang
berhubungan langsung dengan hutan dan kebiasaannya
memperluas area pertaniannya dengan membakar
c. Melakukan Sosialisasi dengan pengadaan penyuluhan, pembinaan
dan pelatihan kepada masyarakat
2. Pemerintah Dan Dinas-Dinas Yang Terkait
a. Mengadakan sosialisi pencegahan
b. Memberikan sokongan dana untuk mendukung upaya penemuan
metode pencegahan kebakaran hutan
c. Mengembangkan Sistem komunikasi seoptimal mungkin sehingga
koordinasi antar tingkatan (daerah sampai pusat) maupun antar
daerah bisa berjalan cepat guna mendukung kelancaran early
warning system, transfer data, dan sosialisasi kebijakan yang
berkaitan dengan kebakaran hutan.
d. Menyediakan sistem informasi kebakaran hutan, dengan
pembuatan sistem deteksi dini (early warning system), serta
pemantauan dan pengawasan kepada pihak-pihak yang berkaitan
langsung dengan hutan.
3. Lembaga Pendidikan
a. Memasukan kurikulum pendidikan lingkungan hidup dari tingkat
sekolah dasar sampai dengan pendidikan tinggi

8
b. mengikutsertakan para perangkat pendidikan agar merancang
teknologi maupun metode yang membantu pemerintah di level
praktis.
4. Lembaga hukum yang membuat dan menerapkan sangsi secara hukum
pelanggaran terhadap pelaku kerusakan dan pencemaran lingkungan.
a. Membuat peraturan dan undang-undang tentang kebakaran hutan
b. Menegakkan hukum yang melanggar maupun yang bisa
menimbulkan kebakaran hutan.

2.6 Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan di Riau Tahun 2015


Frekuensi kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Riau hampir setiap
tahun, jelas meresahkan masyarakat karena beragam kerugian dampak dari kabut
asap, dari sisi pemerintahan pada tingkat daerah sudah dalam dua tahun terakhir
menyatakan ketidak mampuan dalam menanggulangi kebakaran, dengan
menetapkan status darurat kabut asap dan memintah bantuan dari Pemerintah
Pusat. Kerugian ekonomi, ekologis serta sosial pun terjadi begitu besar akibat
kebakaran karena menciptakan kabut asap. Pengembangan usaha perkebunan
terutama perkebunan kelapa sawit merupakan faktor penting dalam konversi hutan
yang berpengaruh pada kebakaran.
Keresahan dari masyarakat, dampak dari kabut asap juga tidak luput dari
perhatian NGO yang bergerak dalam bidang lingkungan hidup, memberi masukan
dan kritik kepada Pemerintah untuk mampu lebih serius dalam menyelesaikan
masalah kebakaran hutan dan lahan di Riau, karena beragam dampak negatif yang
akan muncul saat ini dan kedepan jika pengendalian kebakaran hutan dan lahan
tidak dijalankan dengan serius. GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia) melayangkan protes kepada pemerintah pusat khususnya untuk
merevisi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup Pasal
69, ini dianggap sebagai salah satu solusi mengatasi kasus pembakaran di
sejumlah wilayah.
Protes yang dilayangkan oleh GAPKI terhadap pemerintah daerah, yang
memiliki otonomi sendiri untuk wilayah daerah sendiri, Pemerintah Provinsi Riau
tidak bisa hanya melihat dan melakukan pemadaman ketika kebakaran terjadi

9
dalam frekuensi intensif setiap tahun, untuk tahun 2015 saja lahan yang terbakar
sudah dari bulan Januari 2015 (data terlampir), namun musim kemarau panjang
yang memuncak sejak bulan Agustus hingga bulan Oktober 2015 yang
menyebabkan dampak kabut asap menyelimuti seluruh wilayah Riau. Pemerintah
daerah Riau tidak mampu menangani status darurat asap, sehingga memerlukan
bantuan dari pemerintah pusat. Semua pertanyaan baik media maupun masyarakat
awam juga beragam protes keras dilayangkan oleh aktfis lingkungan hidup,
pengamat lingkungan hidup serta NGO yang bergerak dibidang lingkungan hidup
menuntut ketegasan serta keseriusan dari kapabilitas pemerintah provinsi Riau
untuk menindak lanjuti kebakaran hutan dan lahan di Riau.
Beragam penelitian akademik telah mengkaji kebakaran hutan dan lahan di
Riau, serta konstitusi hukum yang mengungkap unsur kesengajaan dalam
kebakaran yang terjadi areal konsesi. Namun hal-hal tersebut tidak menjadi
sentilan untuk memperbaiki dan mengevaluasi dengan pengendalian selama ini
dilakukan, seolang praktik kepentingan menjadi bagian yang jelas tampak namun
tidak bisa dibuktikan karena kompleksitas kebakaran hutan dan lahan yang terjadi
di Riau. Tesis ini berbicara mengenai kapabilitas Pemerintah Provinsi Riau dalam
melakukan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, kapabilitas merupakan
perwujudan dari sistem dan proses. Keselarasan sebuah sistem yang diciptakan
dan proses yang dilalui dalam menghasilkan sebuah kapabilitas yang baik.
Penelitian akademik oleh Suyastri (2009) membahas mengenai
Transboundary Enviromental Issue antara Indonesia, Malaysia dan Singapura
(studi kasus kabut asap di Riau), yang menjadi mata rantai dalam kebakaran hutan
yaitu instansi pemerintah, masyarakat termasuk petani, perusahaan-perusahaan
perkebunan dan HTI (hutan tanaman industri). Identifikasi penyebab kebakaran
hutan dan lahan di Riau secara garis besar berupa land clearing untuk perkebunan
dan hutan tanaman industri. Sengaja dibakar untuk perluasan area dengan alasan
penghematan biaya, lahan yang dikuasai oleh masyarakat yang disebabkan oleh
lahan tinggal yang tidak terpakai dan tidak diketahui pemiliknya atau izin habis
dan dibuka untuk penanaman baru dengan membakar, lalu perembetan api liar
yang terjadi.

10
Kapabilitas merupakan bentuk dari kemampuan yang harus dimiliki oleh
pemerintah pusat maupun daerah dalam menghadapi tantangan dan masalah yang
terjadi dalam dinamika serta perubahan yang terjadi. pemerintah daerah Provinsi
Riau tidak mampu mengendalikan dampak berupa kabut asap, diperlukan sebuah
kapabilitas yang baik dari Pemerintah Provinsi Riau dalam pengendalian
kebakaran hutan dan lahan yang mereka lakukan, karena kembakaran sudah
terjadi setiap tahun yang diikuti dengan kabut asap, termasuk semua stakeholder
pendukung untuk mewujudkan pengendalian kebakaran hutan dan lahan
seutuhnya, untuk mengupayakan agar kebakaran hutan dan lahan dapat terkontrol.
Sebaran kebaakaran selama ini terjadi di Provinsi Riau, dipertegas dengan
data yang ditemukan peneliti, yang sudah ditetapkan oleh Polda Riau sebagai data
kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau. Berikut kasus kebakaran hutan dan
lahan yang terjadi di Riau, pada tahun 2014 hingga pertengahan 2015:

Tabel. I.1 Data Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau (diolah penulis)
Data Karhutla Polda Riau dan Jajaran Tahun 2014 Hingga Pertengah Tahun 2015

No. Tahun Jumlah TP/MO dan Pasar


Kasus
1. 2014 76 Kasus Pasal 108 dan atau Pasal 98 ayat (1) UU RI No. 32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
2. Januari- 23 Kasus Pasal 108 dan atau Pasal 98 ayat (1) UU RI No. 32
Juli 2015 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup

Data yang dikeluarkan oleh Polda Riau (terlampir) menunjukan jumlah kasus
kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 2014 dan tahun 2015, dalam
data yang dikeluarkan oleh polda Riau dimana areal yang terbakar merupakan
lahan masyarakat, perusahaan dan areal konsesi milik perusahaan swasta,
keseluruhan dari kasus tersebut terkena Undang-undang Republik Indonesia No.
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

11
Kebakaran hutan dan lahan sudah terjadi jauh sebelum kabut asap pada bulan
Agustus, September dan Oktober 2015 dalam status darurat asap terjadi.
Mengerucut pada tahun 2015, kasus kebakaran hutan dan lahan yang sudah
tercatat pada Reskrimsus Polda Riau terhitung 17 Januari 2015, hingga
ditetapkannya Darurat kabut Asap pada bulan Agustus 2015, sebagai dampak dari
kebakaran hutan dan lahan. Hal ini mengundang pemahaman mendalam untuk
mengetahui kapabilitas dari pemerintah Provinsi Riau dalam pengendalian
kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan kabut asap di Riau, kasus yang
sudah terjadi dan ditangani sejak januari terulang hingga memasuki bulan Agustus
didukung dengan kemarau panjang yang menyebabkan dampak kabut asap yang
pekat menyelimuti kota-kota di 12 Kabupaten yang terdapat di Riau.
Kapabilitas pemerintah daerah sangat diperlukan dalam mengevaluasi
setiap gerakan yang telah dilakukan sebagai bentuk upaya pengendalian kebakaran
hutan dan lahan, sehingga sasaran utama berupa mengendalikan kebakaran yang
terjadi hingga tuntas dapat terwujud. Faktor pertumbuhan ekonomi dari sektor
perkebunan yang berkembang pesat di Riau, data kebakaran hutan dan lahan yang
terjadi juga menunjukan angka dari lahan perkebunan swasta maupun pribadi
milik masyarakat. Pemerintah pun mengetahui hal ini dengan baik, dengan data
kasus kebakaran hutan dan lahan yang telah
terindetifikasi.
Sejauh ini kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Provinsi Riau selama
17 tahun lamanya, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada periode
FebruariApril 2014 telah menimbulkan kerugian sekitar Rp. 20.000.000.000.000.-
. dengan luas cagar biosfer yang terbakar 2.398 Ha, dan 21.914 Ha lahan lainnya
yang terbakar. Titik api (hotspot) yang dideteksi berada diwilayah konsesi
perusahaan dikawasan hutan dan lahan gambut, di tahun 2014, BP REDD+ dan
UKP4 telah melakukan audit kepatutan perusahaan dan hasilnya menunjukkan
beberapa perusahaan tidak memenuhi kepatutan dalam pengelolaan izin di
kawasan hutan dan gambut, termasuk perusahaan yang sebelumnya telah
ditetapkan menjadi tersangka. Penentapan dua tahun terakhir 2014 dan 2015
bahwa Riau dalam status darurat asap, dan meminta bantuan pusat untuk turun
dalam memadamkan titik api dan menghilangkan kabut asap, menunjukan bahwa

12
ada masalah dalam kapabilitas yang dimiliki pemerintah daerah provinsi Riau,
dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan penyebab kabut asap. Ketidak
mampuan pemerintah daerah provinsi Riau dalam melaksanakan tugasnya
pengendalian, hingga sampai pada dampak kebakaran yaitu darurat asap.
Meski upaya pembentukan Posko Gabungan sebagai bentuk tindak lanjut
Pemerintah Provinsi Riau dalam melakukan pengendalian terhadap kebakaran
hutan dan lahan, upaya dilakukan dilengkapi dengan pembentukan strutur
organisasi dengan aktor-aktor yang bertugas dan bertanggung jawab dalam setiap
posisinya, terdapat satgas pencegahan dan mitigasi, satgas pemadaman, satgas
gakkum dan satgas watyankes. Struktur organisasi ini pun dilengkapi tim
penerangan dan analisis termasuk didalamnya intelijen, operasional serta logistik,
struktur organisasi yang diisi dengan cukup gemuk ini pun tidak bisa menjawab
mengapa jika sudah dilakukan upaya maksimal namun kebakaran masih terulang
kembali.
WALHI salah satu NGO yang bergerak dalam bidang lingkungan hidup di
Indonesia memaparkan bahwa berbagai langkah telah dilakukan oleh Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan institusi-institusi lain, namun
bencana kabut asap yang disebabkan dari kebakaran hutan dan lahan, tetap terjadi
dari tahun ke tahun. Pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah selama ini tidak
efektif karena tidak mengatasi akar masalah kebakaran hutan dengan langkah
prefentif dan hanya melakukan penanggulangan setelah kebakaran terjadi.
Pemerintah Riau dianggap tidak mampu mengatasi permasalahan kebakaran
hutan dan lahan sampai kebawahnya, dan keseluruhan baik dari aspek hukum
maupun perbaikan lingkungan termasuk didalamnya peraturan daerah yamg kuat
dalam mengatur. Pelaksanaan pengendalian yang dilakukan oleh pemerintah
Provinsi Riau selama ini hanya pada level kebakaran hutan dan lahan yang terjadi
bagaimana pemadaman dan menyelidiki pelaku pembakaran saat itu, sementara
itu WALHI menganggap perlu dilakukannya langkah prefentif Pemerintah
Provinsi Riau untuk mengatasi masalah kebakaran, penegakan hukum yang tegas,
keras dan kuat terhadap perusahaan pembakar hutan dan lahan gambut, mengkaji
ulang mengenai perizinan pelaku usaha perkebunan yang ada di Riau,
perlindungan total lahan gambut, perpanjangan moratorium hutan, dan percepatan

13
one map policy yang menjelaskan tata batas wilayah-wilayah hutan serta
kepemilikan peruntukannya.
Kapabilitas yang baik dalam menghadapi tantangan dan perubahan yang
terjadi untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan yang terjadi, dengan kebakaran
hutan dan lahan yang terjadi, terlebih untuk pemerintah daerah dengan berlakunya
sistem otonomi daerah yang memperluas keleluasaan untuk mengatur rumah
tangga sendiri, namun tetap memerlukan kontrol dukungan dari pemerintah pusat
pada proses berjalannya memiliki hubungan timbal balik yang mendukung dengan
arah kebijakan yang searah.Kementrian Lingkungan Hidup RI dan Kementrian
Kehutanan RI, dimana PP RI No. 4 Tahun 2001 tentang Pengelolaan dan
Pencemaran Lingkungan Hidup Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau
Lahan menjadi keluaran atau produk dari Kementrian Lingkungan Hidup
Republik Indonesia.
Kabut asap pada status darurat asap dalam kurun waktu terakhir sulit
dikendalikan oleh Pemerintah Provinsi Riau, pada tahun 2015 status darurat asap
dengan jangka waktu paling lama dibandingkan tahun sebelumnya, maka
memunculkan pertanyaan bagaimana kapabilitas yang dimiliki oleh pemerintah
provinsi Riau, dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang terjadi selama
ini, apakah tidak mampu? Jika sudah dilakukan pengendalian yang tepat mengapa
masih ada kabut asap?.
Kebakaran hutan dan lahan di Riau, yang sudah terjadi pada beberapa bulan
sebelum status darurat asap ditetapkan. Kelengahan merupakan bentuk pandangan
umum yang menunjukan lemahnya kapabilitas yang dimiliki pemerintah daerah
provinsi Riau dalam fokus serta menyermati dinamika yang terjadi dalam
kebakaran hutan dan lahan yang terjadi. BMKG sudah memberikan peringatan
dini kepada Pemerintah pada November 2014 bahwa pada 2015 El Nino panjang
akan menghampiri Indonesia, namun hal ini tidak di follow up oleh Pemerintah
Provinsi Riau, hingga konsesi tidak ikut bertanggung jawab pada akhirnya kondisi
masif yang terjadi dan 5 Provinsi dengan struktur tanah gambut terbakar.
Hal ini juga didukung dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
dan Pemerintah Daerah Kabupaten kota, dimana kehutanan dan lingkungan

14
menjadi hal yang diatur pelimpahan kewenangannya dalam peraturan tersebut.
Pemerintah Provinsi merupakan penanggung jawab sebagai perpanjangan tangan
dari pemerintah pusat, dan dapat melimpahkan dalam bentuk asas tugas
pembantuan. Didukung dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan mengenai perizinan dan non perizinan yang diatur dalam satu pintu,
yang disesuaikan dengan pembagian urusan pemerintahan. Penelitian Zaili (2014)
menjelaskan perizinan merupakan gerbang dalam masalah kebakaran hutan dan
lahan di Riau, karena tata kelola sumber daya alam yang berantakan dimulai dari
perizinan usaha perkebunan.
Tesis ini meneliti lebih dalam dari urgensi kebakaran hutan dan lahan yang
terjadi di Riau, untuk menjawab kapabilitas seperti apa yang dimiliki oleh
pemerintah daerah provinsi Riau dalam pengendalian kebakaran hutan, yang
menyebabkan kebakaran yang terjadi di Riau tidak bisa dikontrol dengan baik
oleh pemerintah daerah provinsi Riau, tantangan dan hambatan yang berjalan
berdampingan dengan tugas pengendalian sejauh mana memberi pengaruh dalam
kapabilitas dari pemerintah provinsi Riau. Kapabilitas yang akan menjadi sebuah
tolak ukur dalam pemahaman yang dimiliki pemerintah daerah provinsi Riau
dalam pengendalian yang telah dilaksanakan selama ini, sesuai dengan keadaan
dan tantangan yang selalu berkembang di Riau. Maka dari itu dalam hal kasus
kebakaran hutan dan lahan yang terjadi selama ini di Riau, urgensi dalam
penelitian ini terhadap kapabilitas Pemerintah Provinsi Riau dalam pengendalian
kebakaran yang terjadi selama ini dalam ranah pemerintahan daerah Riau.

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai harganya karena
didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah,
sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan
erosi serta kesuburan tanah, dan sebagainya. Karena itu pemanfaatan dan
perlindungannya diatur oleh Undang-undang dan peraturan pemerintah.
Kebakaran merupakan salah satu bentuk gangguan terhadap sumberdaya
hutan dan akhir-akhir ini makin sering terjadi. Kebakaran hutan menimbulkan
kerugian yang sangat besar dan dampaknya sangat luas, bahkan melintasi batas
negara. Di sisi lain upaya pencegahan dan pengendalian yang dilakukan selama
ini masih belum memberikan hasil yang optimal. Oleh karena itu perlu perbaikan
secara menyeluruh, terutama yang terkait dengan kesejahteraan masyarakat
pinggiran atau dalam kawasan hutan.

3.2 Saran
Berbagai upaya perbaikan yang perlu dilakukan antara lain dibidang
penyuluhan kepada masyarakat khususnya yang berkaitan dengan faktor-faktor
penyebab kebakaran hutan, peningkatan kemampuan aparatur pemerintah
terutama dari Departemen Kehutanan, peningkatan fasilitas untuk mencegah dan
menanggulagi kebakaran hutan, pembenahan bidang hukum dan penerapan sangsi
secara tegas.

16
DAFTAR PUSTAKA

http://niasrait.blogspot.com/2014/02/karya-tulis-pelestarian-hutan-untuk.html
http://www.slideshare.net/IqbalM99/karya-ilmiah-kebakaran-hutan
https://erlinustantina.wordpress.com/2012/10/16/karya-tulis-ilmiah/
http://roockiez.blogspot.com/2012/11/contoh-karya-ilmiah.html
Waliadi, Suhada, dan Dedi. 2005. Mengelola Bencana Kebakaran Lahan dan
Hutan. Palangkaraya: CARE International Indonesia

17

Anda mungkin juga menyukai