Anda di halaman 1dari 4

Sebanyak 10 ribu buruh yang tergabung dalam Majelis Pekerja Indonesia (MPBI), terdiri

dari KSPI, KSPSI, KSBSI dan Federasi SP lainnya hari ini (17/6/2013) kembali turun
aksi menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dengan
mengepung gedung DPR RI, di mana akan dilakukan sidang paripurna DPR terkait
pembahasan APBN-P 2013. Seperti diketahui, pemerintah memastikan akan
menaikkan harga BBM subsidi jenis premium dan solar pada pekan ini. Rencananya
harga premium akan naik Rp 2.000 menjadi Rp 6.500 per liter dan solar naik Rp 1.000
menjadi Rp 5.500 per liter. Saat ini kedua jenis BBM tersebut dijual dengan harga Rp
4.500 per liter. 

Menurut para pendemo, langkah pemerintah menaikkan harga BBM, dibarengi


pembagian Bantuan Langsung Sementara (BLSM) pada masyarakat miskin adalah
tindakan pembodohan dan tidak produktif. Kenaikan harga BBM juga merupakan
tindakan yang tidak pro rakyat kecil terutama buruh. 
Kenaikan harga BBM itu membuat daya beli buruh turun. Kenaikan Upah Minimum
Provinsi (UMP) sebesar Rp 500 ribu- Rp 700 ribu akan tergerus atau sia-sia karena
harga sembako naik, sewa rumah dan kontrakan naik, transportasi naik dan inflasi akan
naik di atas 10%. Dampaknya pada 44 Juta buruh formal akan jadi miskin lagi jadi
buruh akan makin menderita.

Kenaikan BBM juga menunjukkan bahwa pemerintah gagal dalam mengelola keuangan
negara. Pemerintah dianggap gagal dalam mengoptimalkan potensi pajak, dari 60 juta
orang dengan penghasilan kena pajak, baru sekitar 8.8 juta atau 14,7% yang
membayar pajaknya. Dan dari 5 juta badan usaha yang mendaftarkan dirinya sebagai
wajib pajak, baru 520 ribu atau 10,4 % saja yang membayar pajaknya. Penerimaan
pajak penghasilan (pph ) turun dari Rp 584.9 triliun menjadi Rp 530,7 triliun, turun Rp
54,1 triliun ditambah kasus korupsi yang terjadi di Dirjen Pajak. 

Berdasarkan pemeriksaan BPK 2012, dana bantuan sosial yang bermasalah sebesar
Rp 31,66 triliun, jadi aparat yang korup yang jadikan rakyat sengsara. Untuk itu, masih
banyak cara untuk menekan defisit anggaran.

Kenaikan BBM juga menunjukkan bahwa pemerintah gagal dalam mengelola kebijakan
energi. Pemerintah telah mengorbankan rakyat untuk kepentingan asing, karena
minyak yang dikelola oleh pertamina hanya sekitar 14% dari total yang ada dan
selebihnya dikuasai swasta dan asing, sehingga Indonesia harus mengimpor minyak, di
saat yang sama Indonesia juga mengekspor. Pemerintah juga tidak serius membangun
kilang minyak untuk meningkatkan kapasitas produksi Pertamina dan tidak serius
menyiapkan gas sebagai energi alternatif.

Pemberian BLSM Rp 150 ribu per bulan untuk setiap keluarga, artinya tiap keluarga
dengan empat orang dapat bantuan Rp 1.250 per orang per hari. Sedangkan kenaikan
BBM Rp 2.000 per liter, ditambah naiknya harga sembako, transportasi, dan kontrakan
yang bila dihitung tidak akan kurang dari Rp 400 ribu per keluarga. 
Rakyat miskin akan tekor Rp 250 ribu per bulan bila subsidi BBM diganti BLSM. BLSM
hanya diberikan selama empat bulan. Sedangkan imbas dari kenaikan BBM akan
selamanya dirasakan rakyat miskin dan buruh. Apalagi, kenaikan harga BBM ini
menjelang bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri, pasti kenaikan harga akan berlipat-
lipat.
Selain itu, pemberian BLSM sebagai penganti subsidi BBM kepada rakyat miskin juga
sarat kepentingan politis, pemberian BLSM ini akan dimanfaatkan partai penguasa
untuk menarik dukungan masyarakat, kenaikan harga BBM dan pemberian BLSM
hanya untuk kepentingan para politisi dan pencitraan para pejabat di mata rakyat. 

Sebaiknya, pemerintah harus mempertimbangakan matang-matang saat memutuskan


kenaikan harga BBM. Jangan terlalu tinggi dan harus dibarengi dengan kontrol yang
kuat agar kenaikan itu tak berimbas pada kenaikan harga barang, transportasi, dan lain-
lainnya. Pemerintah perlu memikirkan kebijakan strategis lain untuk memperbaiki
perekonomian, bukan hanya memikirkan kenaikan harga BBM
Era globalisasi membuat banyak perubahan, termasuk mudahnya berbagai
jenis transportasi canggih masuk ke dalam negeri. Hal ini membuat berbagai tren
baru muncul di kalangan remaja. Salah satunya, yaitu
tren pelajarmengendarai motor ke sekolah. Ada banyak alasan yang
membuat pelajar mengendarai motor ke sekolah, padahal mereka tahu
itu adalah sebuah pelanggaran.
Fenomena pelajar mengendarai motor ke sekolah tidak hanya terjadi di
daerah perkotaan, namun juga di desa-desa terpencil. Mereka cenderung ingin
selalu tampil up to date agar mereka tidak dikatakan ketinggalan zaman. Alasan
yang semakin memperkuat adalah karena orang tua mereka sibuk dengan
pekerjaan yang padat. Kesibukan orang tua membuat mereka tidak bisa
meluangkan waktunya untuk mengantar dan menjemput anaknya bersekolah.
Dalam tren pelajar mengendarai motor ke sekolah memunculkan berbagai
pendapat tentang kelebihan dan kekurangannya. Ada yang berpendapat bahwa
berkendara motor sendiri ke sekolah lebih praktis, hemat waktu dan efisien. Siswa
tidak perlu menunggu jemputan atau kendaraan umum yang lewat. Selain itu,
mereka juga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk tarif kendaraan umum yang
mereka tumpangi.
Pendapat lain mengatakan bahwa mengendarai motor ke sekolah dapat
melatih kemandirian anak karena siswa bisa langsung berangkat dan pulang
sekolah sendiri. Hal ini mengurangi ketergantungan mereka terhadap orang tua.
Selain itu, tanggung jawab mereka akan terlatih terhadap motor yang dibawanya.
Namun berbagai anggapan miring mengenai tren ini pun bermunculan.
Sebagian besar pelajar yang mengendarai motor merupakan remaja di bawah umur
yang belum memiliki SIM sehingga dapat dikatakan mereka melanggar peraturan.
Banyak pelajar yang mengendarai motornya dengan ugal-ugalan, terkadang
membahayakan pengguna jalan lainnya. Penggunaan motor oleh remaja juga
banyak mendukung terjadinya penyimpangan. Penyimpangan ini biasa terjadi pada
saat pulang sekolah. Biasanya para pelajar yang mengendarai motor sendiri tidak
langsung pulang, tetapi mereka nongkrong terlebih dahulu.

Dengan demikian, penggunaan sepeda motor seharusnya disesuaikan dengan


kebutuhan remaja. Para pengendara motor harus memenuhi persyaratan yang telah
ditetapkan. Persyaratan tersebut meliputi umur minimal 17 tahun, telah lulus uji
mengendarai sepeda motor, dan telah memiliki SIM dan STNK.
Pengawasan pelajar yang mengendarai sepeda motor ke sekolah harus maksimal.
Pengawasan ini harus dilakukan tidak hanya oleh orang tua, tetapi juga aparat
keamanan lalu lintas, masyarakat, juga guru agar hal-hal yang tidak diinginkan
dari pelajar yang mengendarai sepeda motor tidak akan terjadi. 

Anda mungkin juga menyukai