Anda di halaman 1dari 4

KEBIJAKAN KENAIKAN HARGA BBM

Oleh: Saemuel Risal



Belum dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden, pasangan Presiden dan Wapres
terpilih, Jokowi-JK kini telah mewacanakan kenaikan harga BBM di awal masa
pemerintahnnya dengan rencana kebijakan mencabut harga BBM sebesar Rp. 3.000 per liter.
Sebuah rencana kebijakan instan yang terus di tempuh oleh pemerintah, seakan menjadi
solusi alternatif terbaik untuk menekan pembengkakan APBN. Pertanyaan penting dari
rencana kebijakan tersebut adalah; apakah kebijakan tersebut merupakan solusi bagi
masyarakat Indonesia yang sampai saat ini masih 60% berada pada tingkat perekonomian
menengah ke bawah? ataukah kebijakan tersebut malah akan memperparah kondisi
perekonomian khususnya masyarakat miskin?
Dengan rencana pencabutan subsidi BBM tersebut maka harga BBM premium
warisan pemerintahan SBY yang sejak tanggal 22 Juni 2013 naik sebesar Rp. 2.000 dari
harga Rp. 4.500 menjadi Rp. 6.500 per liternya akan naik lagi menjadi Rp. 9.500 per liter.
Maka secara otomatis, kebutuhan saya sebagai mahasiswa khususnya dalam dunia
pendidikan akan mendapat pengaruh kenaikan yang sangat drastis. Melihat situasi kenaikan
harga BBM sebelumnya, bahwa sebelum diumumkannya kenaikan BBM (baru rencana),
sekitar 1 bulan harga kebutuhan pokok di pasaran sudah meningkat drastis yang dinaikkan
secara sepihak tanpa ada kontrol dari pemerintah. Kebutuhan pokok yang dimaksud tentu
tidak lepas juga dari kebutuhan penunjang pendidikan yang saya perlukan dan tentunya hal
serupa akan dialami oleh seluruh pelajar di negeri ini.
Dengan kenaikan harga BBM maka ongkos produksi akan naik karena tidak
mungkin seorang pengusaha menginginkan perusahannya bangkrut, sehingga yang akan
dilakukan oleh perusahan adalah PHK karena besarnya ongkos produksi yang mereka harus
tanggung. Ongkos produksi yang dimaksud tidak hanya pada persoalan kebutuhan sembako
yang saya konsumsi tetapi sampai pada ongkos produksi penunjang pendidikan yang saya
harus gunakan seperti; buku-buku, pulpen, laptop, sepatu, dsb ditambah lagi dengan uang
SPP/kuliah, kegiatan studi tour, studi banding, transport ke kampus, uang kost dan berbagai
kebutuhan belajar lainnya. Sementara dua saudara saya masih menempuh pendidikan di
perguruan tinggi, di mana kami masih sama-sama menadahkan tangan kepada orang tua
untuk memenuhi kebutuhan studi, yang artinya dengan pencabutan subsidi BBM tersebut
akan menambah beban hidup keluarga sehingga biaya kuliah kami tersendat dan khirnya
akan bermuara pada keputusan mengorbankan salah satu diantara kami untuk berhenti
kuliah.
Pemerintah terus melakukan pembatasan subsidi BBM dan sejumlah alasan klise pun
dilontarkan untuk memberi bungkus populisme pada kebijakannya. Salah satu alasan klise
tersebut: subsidi BBM sudah sangat membebani APBN. Menurut Tim ahli Jokowi-JK,
subsidi BBM telah membengkak sebesar Rp 350 Triliun untuk tahun anggaran 2015. Di
sini, pemerintah selalu menganggap subsidi bagi rakyat sebagai pemborosan. Akan tetapi,
pada aspek lain, pemerintah tidak menganggap subsidi kepada swasta, baik berupa subsidi
langsung maupun insentif, sebagai bentuk pemborosan. Selain itu, pemerintah juga tidak jeli
melihat sejumlah pos anggaran lain di APBN sebagai sumber pemborosan. Sebut saja:
pembayaran utang luar negeri dan belanja rutin aparatur negara. Dua pos anggaran ini justru
menyandera APBN tiap tahunnya. Pembayaran utang, misalnya, pada tahun 2013
dianggarkan sebesar Rp 215 triliun.
Untuk diketahui, pada APBN 2013, alokasi angaran perjalanan dinas tahun 2013 Rp.
2,9 triliun dan melonjak drastis di tahun 2014 menjadi Rp. 32 triliun, sementara persentase
alokasi anggaran subsidi untuk rakyat hanya 14 persen. Padahal, jika APBN yang selalu
mengalami defisit, lalu pertanyaannya adalah mengapa dan siapa yang mengakibatkan
sehingga APBN kita mengalami krisis/defisit? jawabannya adalah;
1. Tunjangan Para Pejabat mulai dari Pusat sampai Daerah sangat besar.
2. Membayar hutang negara sebagai akibat dari hutang yang dibuat oleh para
pengusaha dan pejabat (era pemerintahan Soeharto-orde baru).
3. Penyelundup BBM dan Penyelundup kayu yang begitu besar di negara kita.
Tiga point di atas tentu bukan kelakuan dan perbuatan rakyat kecil, namun mengapa harus
ditanggung oleh rakyat ? Mengapa fasilitas pejabat sangat besar dan terlalu hidup mewah
ditengah-tengah penderitaan rakyat dan perjuangan untuk keluar dari masalah ekonomi yang
melanda ? Mengapa para pejabat tidak mau memperhatikan sektor-sektor rill yang langsung
bersentuhan dengan rakyat banyak ? Dan mengapa pejabat belum mau untuk belajar hidup
sederhana ?
Kebijakan pembatasan subsidi ini merupakan bagian dari agenda besar pemerintah
untuk melepaskan harga BBM sesuai mekanisme pasar. Selama ini, penerapan subsidi BBM
dianggap distorsi terhadap harga pasar. Akibatnya, pemain asing kurang diuntungkan jika
bermain dalam bisnis BBM di Indonesia. Sehingga jalan keluar untuk menarik investor
BBM adalah mencabut subsidi BBM yang pasti akan membebani masyarakat. Pembatasan
subsidi BBM bersubsidi juga akan berpengaruh pada ekonomi secara umum, khususnya
sektor industri menengah dan kecil. Agenda liberalisasi sektor migas sebetulnya sudah niat
lama. Tahun 2000 lalu, pihak asing melalui USAID sudah memulai proposal ini. Proposal
itu melahirkan UU nomor 22 tahun 2011 tentang minyak dan gas. Sejalan dengan UU itu,
proses liberalisasi sektor migas Indonesia pun berjalan cepat, dari hulu ke hilir.
Langkanya lapangan pekerjaan telah dirasakan oleh mayoritas rakyat semenjak
beberapa tahun terakhir. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh maraknya deindustrialisasi
besar-besaran akibat berkali-kali kenaikan harga BBM industri dan non-industri pada
beberapa periode lalu. Ratusan ribu sampai jutaan buruh tiba-tiba menjadi pengangguran
dalam periode tersebut. Jika yang bekerja saja diPHK, lalu bagaimana nasib para
pengangguran ataupun para pencari kerja? Maka, tidak lain bahwa lapangan pekerjaan
adalah kebutuhan mendesak masyarakat pengangguran dan kepentingan mendatang bagi
sektor mahasiswa maupun pelajar. Selain itu, industri nasional telah sedemikian tidak
berdayanya digilas arus neoliberalisme. Kita harus curiga bahwa skenario neoliberal
menginginkan industri nasional kita hanya menjadi sekedar industri retail, bukan industri
yang produktif dan mandiri, sementara itu kekayaan alam kita terus menerus dilarikan ke
luar negeri.
Sektor-sektor rakyat lain juga berkepentingan dengan kenaikan harga BBM. Di mana
letak kepentingan petani, nelayan, mahasiswa, dan masyarakat secara umum? Selain soal
kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok yang pasti akan mengiringi, kelangkaan
lapangan pekerjaan ke depannya sudah menjadi ekses yang absolut. Harga-harga kebutuhan
pokok, terutama produk bahan pokok, dipastikan akan naik mengiringi kenaikan BBM. Bagi
nelayan, si konsumen terbesar es batu, dan petani, si konsumen pupuk terbesar, kondisinya
juga tak akan jauh berbeda. Dalam industri es batu, biaya pemakaian energi adalah sebesar
80 persen dari biaya produksi. Sehingga kemungkinan besar harga ikan dan hasil laut ikut
melambung tinggi. Nelayan harus menaikan harga jual untuk menutupi pengeluaran
membeli es batu dan menyewa kapal dan kenaikan harga BBM. Sedangkan dalam industri
pupuk, komposisi bahan bakar migas dalam proses produksi juga cukup dominan. Kenaikan
harga BBM dapat dipastikan akan memberatkan industri pupuk nasional yang telah tertatih-
tatih selama ini akibat kurangnya pasokan gas.
Kepada pedagang, dampak yang ditimbulkan dengan kenaikan BBM dimana selisih
penjualan akan tetap (keuntungan tetap) tetapi kebutuhan-kebutuhan yang lain meningkat,
sehingga akan berdampak pada penurunan modal usaha. Kalau hal ini dibiarkan berlangsung
terus menerus maka akan menimbulkan pengurangan modal usaha dan suatu saat akan
bangkrut. Kepada PNS, Guru, Polisi, TNI; walaupun pemerintahan memberikan tunjangan
gaji dari rakyat Indonesia yang berkiprah dalam pekerjaan jenis ini akan dinaikkan namun
pertanyaan dan kenyataannya tentu sama dengan yang dihadapi sektor kerja masyarakat
lainnya. Karena kebijakan kenaikan BBM tidak seimbang dengan jumlah kenaikan
tunjangan gaji. Persoalannya sekarang adalah PNS tidak lepas dari kebutuhan hidup rumah
tangga lainnya, kebutuhan pendidikan anak, biaya kesehatan, dll. Kepada masyarakat
miskin, kenaikan BBM tidak akan pernah menjamin untuk dapat lepas dari belenggu
kemiskinan. Bahkan kebijakan ini merupakan bom atau monster baru baru yang kembali
menindas kehidupan mereka. Kebutuhan rakyat miskin tidak hanya mencakup beras,
kesehatan (sedekah) dan logikanya bahwa ; memberikan bantuan sebesar apapun dan dalam
bentuk apapun kepada rakyat miskin hal itu tidak akan melepaskan mereka dari belenggu
kemiskinan bahkan hal itu akan semakin menjerat mereka dalam belenggu kemiskinan
karena terlalu dinina-bobokkan dengan bantuan tersebut, lalu ketika bantuan itu sudah habis
atau bahkan tidak ada maka mereka akan kembali menjadi miskin.
Jadi sangat jelaslah bahwa seluruh sektor di masyarakat: pengusaha, buruh,
masyarakat miskin, nelayan, petani, dan mahasiswa sangat berkepentingan untuk menolak
kenaikan harga BBM. Intinya bahwa siapapun tidak akan dapat lepas dari dampak kenaikan
BBM. Secara umum pula dapat dikatakan bahwa kenaikan BBM malah akan menambah
angka kemiskinan di negara kita, lebih-lebih yang sudah miskin akan makin miskin.
Akhirnya, massa rakyat masing-masing akan berusaha untuk menyelamatkan diri mereka
dari kesulitan dan mencari berbagai alternatif untuk mempertahankan hidup mereka, maka
wajarlah ketika semakin meningkatnya kasus-kasus pencurian, perampokan, penodongan
kepada orang kaya, copet, dll, walaupun tidak kita harapkan.
Padahal kita semua telah sepaham-pahamnya bahwa kekayaan energi migas
Indonesia telah puluhan tahun dikuasai oleh asing. Maka dari itu tiada lagi jalan keluar bagi
kita semua. Program nasionalisasi pertambangan asing harus di sodorkan sebagai jalan
keluar bagi rakyat Indonesia. Karena esensinya adalah merebut kembali kedaulatan energi
nasional, seruan tolak kenaikan harga BBM; tinjau ulang seluruh kontrak kerja sama dengan
perusahaan pertambangan asing untuk menyelamatkan dan membangun industri nasional.
Solusi semacam inefisiensi tidak dapat menyelesaikan permasalahan, begitupun soal subsidi
kembali BBM oleh anggaran negara terlalu mencekik APBN. Yang harus dilakukan
sekarang telah jelas: penuhi dahulu kebutuhan industri dan konsumsi dalam negeri, baru
kekayaan energi (migas dan batubara) Indonesia boleh dijual ke luar negeri. Terlebih jika
kita paham bahwa yang paling diuntungkan oleh kenaikan harga minyak mentah selama
puluhan tahun tidak lain adalah korporasi-korporasi migas internasional. Karena itu tidak
ada salahnya kita ambil kembali kekayaan kita yang telah dikangkangi puluhan tahun itu
demi kemaslahatan ratusan juta rakyat miskin di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai