Anda di halaman 1dari 61

IDENTIFIKASI TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN

AIR PADA BERBAGAI KELERENGAN DI WILAYAH


WATAN SOPPENG DAN MARIORIWAWO, DAERAH
ALIRAN SUNGAI LISU
HALAMAN JUDUL

OLEH :

ROBIUL HARDIKA
M111 12 020

FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018

i
ii
ABSTRAK

ROBIUL HARDIKA (M111 12 020). Identifikasi Penerapan Teknik


Konservasi Tanah dan Air di Daerah Aliran Sungai Pamukkulu di bawah
bimbingan Daud Malamassam dan Usman Arsyad.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menilai tingkat


kesesuaian teknik Konservasi Tanah dan Air yang diterapkan oleh masyarakat pada
berbagai kelas lereng di wilayah Watan Soppeng dan Marioriwawo, DAS Lisu
berdasarkan buku panduan penilaian penerapan teknik Konservasi Tanah dan Air.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah daerah dalam
mengarahkan teknik Konservasi Tanah dan Air sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di daerah aliran sungai Lisu. Penelitian ini dilakukan
pada bulan Agustus sampai Desember 2017 di Wilayah Watan Soppeng dan
Marioriwawo, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Data dikumpulkan dengan
wawancara dan observasi lapangan untuk mengetahui teknik Konservasi Tanah dan
Air yang diterapkan oleh masyarakat. Informasi yang diperoleh selama penelitian
diklasifikasikan sesuai dengan tujuan penelitian dan dianalisis dengan
menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
teknik Konservasi Tanah dan Air yang diterapkan oleh masyarakat pada kelerengan
0-8%, 8-15%, 15-25%, 25-45%, dan >45% adalah teknik vegetatif dan metode sipil
teknis. Teknik vegetatif dalam bentuk kebun campuran, tanaman penutup tanah,
dan wanatani, sedangkan metode sipil teknis berupa teras bangku. Penelitian
menunjukkan 80% dari total responden menerapkan teknik Konservasi Tanah dan
Air yang sesuai dan ditemukan pada semua kelas kelerengan. Kemudian 20% dari
responden yang tidak sesuai ditemukan pada kelerengan 0-8%, 15-25%, 25-45%,
dan >45%.

Kata kunci : Teknik Konservasi Tanah dan Air, DAS Lisu, Kelerengan
.

iii
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala

limpahan nikmat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Identifikasi Teknik Konservasi Tanah dan Air pada

Berbagai Kelerengan di Wilayah Watan Soppeng dan Marioriwawo, Daerah

Aliran Sungai Lisu” sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada

Departemen Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini,

terutama kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Daud Malamassam, M.Agr. dan Bapak Dr. Ir. H.

Usman Arsyad, M.S. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan

bimbingan, pengarahan dan perhatian dalam penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Syamsu Rijal, S.Hut, M.Si, Ibu Wahyuni, S.Hut, M.Hut, dan

Bapak Agussalim, S.Hut, M.Si selaku dosen penguji atas segala masukan

dan saran untuk perbaikan skripsi ini.

3. Seluruh Dosen dan Staf Administrasi Fakultas Kehutanan Universitas

Hasanuddin Makassar.

4. Kepada Esperanza Dante, Salmon Suppu dan Rhisky Herianti yang

menemani penulis mulai dari proses penelitian sampai terselesaikannya

skripsi ini.

iv
5. Teman-teman, adik-adik dan kakak-kakak di Laboratorium Pengelolaan

Daerah Aliran Sungai atas bantuan serta masukannya.

6. Kepada KALAHA12I terkhusus Sapik, Ari, Endeng, dan Fandi atas

perhatian, motivasi, dan semangat yang telah diberikan kepada penulis.

7. Kepada seluruh Pengurus Badan Eksekutif Keluarga Mahasiswa

Kehutanan Sylva Indonesia (PC.) Universitas Hasanuddin periode 2015-

2016 atas kerjasama dan pengawalannya.

Terdapat banyak kendala yang penulis hadapi dalam kegiatan penyusunan

skripsi ini, baik kendala teknis maupun kendala non teknis. Namun, berkat adanya

bantuan, sokongan, arahan, dan bimbingan dari berbagai pihak, keseluruhan

kendala tersebut dapat teratasi dan terselesaikan dengan baik, atas dasar inilah

penulis menghaturkan ucapan terima kasih dan penghormatan yang sebesar-

besarnya kepada Ayahanda Suwarno dan Ibunda Sri Suerti selaku orang tua,

serta kakak-adik ku, Haskara Purwandhi, Bayu Ramadhan, dan Alkawiuga.

Akhir kata, semoga skripsi ini mampu menjadi sebaik-baiknya informasi

dan bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Penulis

Robiul Hardika

v
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………….…………………….. i

HALAMAN PENGESAHAN ..........................................;……………………….. Ii

ABSTRAK .………………..…………………………………………………….. iii

KATA PENGANTAR …………………………………………………………… iv

DAFTAR ISI …….……………………………………………………………….. vi

DAFTAR TABEL ..………………………………………………………………. viii

DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………….. ix

DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………….. x

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ..…………………………………………………………... 1

1.2 Tujuan dan Kegunaan …………………………………………………….. 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daerah Aliran Sungai ………………………………..…………………… 3

2.2 Curah Hujan ……………………………………………………………… 4

2.3 Pengertian Teknik Konservasi Tanah dan Air ……………………………. 5

2.4 Teknik Konservasi Tanah dan Air ….…………………….………………. 6

2.5 Kemiringan Lereng ….…………………….…………………….……….. 10

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat ..……………………………………………………… 12

3.2 Alat dan Bahan …..………………………………………………………. 12

3.3 Prosedur Penelitian……… ………………………………………………. 13

3.4 Metode Pengumpulan Data ………………………………………………. 13

3.5 Analisis Data ....………………………………………………………….. 14

vi
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Teknik Vegetatif ……………………………………..…………………. 16

4.2 Sipil Teknis ……………………………………………………………. 25

4.3 Transek Jenis Tanaman pada Berbagai Kelerengan………………. 27

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ...........…………………………………………………….. 29

5.2 Saran …………………………………………………………………... 29

DAFTAR PUSTAKA ..........…………………………………………………… 30

LAMPIRAN ……………………………………………………………………. 32

vii
DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman


1 Teknik Konservasi Tanah dan Air pada Wilayah Watan
Soppeng dan Mariroriwawo, Daerah Aliran Sungai Lisu…… 15
2 Transek Jenis Tanaman pada Berbagai Kelerengan…………. 27

viii
DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1. Peta Lokasi Penelitian ..................................................................... 12

2. Kebun campuran dengan kategori tidak sesuai…………………… 16

3. Kebun campuran kategori sesuai pada kelerengan 8-15% .............. 18

4. Kebun campuran kategori sesuai pada kelerengan 15-25% ............ 18

5. Kebun campuran kategori sesuai pada kelerengan 25-45% ............ 19

6. Kebun campuran kategori sesuai pada kelerengan >45%................ 20

7. Tanaman penutup tanah rendah....................................................... 21

8. Tanaman penutup tanah tinggi ........................................................ 22

9. Teknik Vegetatif secara wanatani yang sesuai ................................ 23

10. Pola wanatani berkategori sesuai disertai tanaman musiman ......... 24

11. Teras Bangku yang berkategori sesuai pada kelas lereng >45% .... 25

12. Teras Bangku yang berkategori sesuai pada kelas lereng 25-45% . 26

13. Metode sipil teknis berkategori tidak sesuai ................................... 26

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Teks Halaman

1. Kuisioner ....................................................................................... 32

2. Pedoman Penilaian Teknik Konservasi Tanah dan Air ................ 33

3. Peta Titik Pengamatan Teknik Konservasi Tanah dan Air pada

Wilayah Watan Soppeng dan Marioriwawo, Daerah Aliran

Sungai Lisu ................................................................................... 42

4. Peta Kemiringan Lereng pada Wilayah Watan Soppeng dan

Marioriwawo ................................................................................. 43

5. Penilaian Teknik Konservasi Tanah dan Air Secara Vegetatif dalam

Bentuk Kebun Campuran.............................................................. 44

5. Penilaian Teknik Konservasi Tanah dan Air Secara Mekanik dalam

Bentuk Teras Bangku .................................................................... 45

6. Penilaian Teknik Konservasi Tanah dan Air Secara Vegetatif dalam

Bentuk Wanatani (Agroforestry) .................................................. 47

7. Dokumentasi Penelitian Teknik Konservasi Tanah dan Air ......... 48

x
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang


unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi dan
sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam tersebut. Meningkatnya
kejadian tanah longsor, erosi, sedimentasi, banjir, dan kekeringan merupakan
indikator menurunnya daya dukung DAS. Pengolahan lahan yang kurang efektif
menjadi salah satu penyebab munculnya indikator-indikator tersebut (PP37, 2012).
Umumnya topografi dinyatakan kedalam kemiringan dan panjang lereng.
Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Hal ini
karenakan gaya pendorong sangat dipengaruhi oleh sudut lereng, air, beban, dan
berat jenis tanah batuan. Erosi atau longsor akan terjadi apabila gaya pendorong
lebih besar dari gaya penahan (Nandi, 2007). Kemiringan lereng mempengaruhi
erosi melalui runoff. Semakin curam lereng, maka semakin besar laju dan jumlah
aliran permukaan dan semakin besar erosi yang terjadi. Selain itu, partikel tanah
yang terpercik akibat tumbukan butir hujan makin banyak (Arsyad, 2010). Aliran
permukaan yang membawa partikel-partikel tanah akibat air hujan pada lereng yang
terjal akan semakin memperburuk keadaan topografi suatu wilayah.
Erosi pada daerah beriklim basah sangat dipengaruhi oleh hujan. Besarnya
curah hujan, intensitas, dan distribusi hujan menentukan kekuatan dispersi hujan
terhadap tanah, jumlah dan kekuatan aliran permukaan serta tingkat kerusakan erosi
yang terjadi. Butir-butir hujan bermacam-macam ukurannya, mulai dari butir-butir
sedikit lebih besar dari butir kabut sampai yang berdiameter sedikit lebih besar dari
7 mm. Kecepatan jatuh butir-butir hujan ditentukan oteh gravitasi, tahanan udara,
dan angin. Distribusi hujan menentukan sampai batas tertentu apakah suatu hujan
tahunan akan menyebabkan ancaman erosi yang hebat atau tidak. Salah satu sifat
hujan yang sangat penting dalam mempengaruhi erosi adalah energi kinetik hujan
tersebut, karena merupakan penyebab pokok dalam penghancuran agregat-agregat
tanah (Arsyad, 2010).

1
Penelitian laju erosi pada setiap bentuk penggunaan lahan di suatu DAS oleh
Zubair dan Djoehartono (2001) menunjukkan bahwa penggunaan lahan yang
berkontribusi besar terhadap laju erosi tanah umumnya ditemukan pada bagian hulu
suatu DAS khususnya pada areal ladang dan tegalan yang diolah oleh masyarakat.
Berdasarkan peninjauan ke lokasi, masyarakat di hulu Daerah Aliran Sungai Lisu
melakukan pola tanam berupa ladang dan tegalan. Untuk mengurangi laju erosi,
masyarakat dengan sengaja atau tidak sengaja telah melakukan adaptasi terhadap
lahannya.
Topografi wilayah hulu DAS Lisu tersebut bervariasi, mulai dari klasifikasi
curam denga kelerengan 15-25% hingga sangat curam dengan kelerengan >45%.
Berdasarkan analisis citra diketahui bahwa penutupan lahan pada kedua wilayah
terdiri atas pertanian lahan kering, semak belukar, dan hutan lahan kering sekunder.
Penerapan teknik Konservasi Tanah dan Air telah diterapkan dibeberapa tempat
pada daerah tersebut, namun belum diketahui tepat tidaknya penerapan tersebut.
Melihat kondisi topografi serta curah hujan yang sangat berpotensi untuk terjadinya
erosi, maka diperlukan kajian tentang teknik Konservasi Tanah dan Air secara
menyeluruh di wilayah Marioriwawo dan Watan Soppeng yang termasuk daerah
hulu DAS Lisu.

1.2 Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menilai


penerapan teknik Konservasi Tanah dan Air yang dilakukan oleh masyarakat pada
berbagai kelas kemiringan lereng. Kegunaan dari hasil penelitian ini adalah sebagai
bahan masukan bagi pemerintah daerah dalam mengarahkan teknik Konservasi
Tanah dan Air yang benar untuk diaplikasikan oleh masyarakat sekitar. Selain itu
penelitian ini juga diharapkan sebagai salah satu sarana atau sumber informasi yang
baru berkaitan dengan Konservasi Tanah dan Air, sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui penanganan lahan kritis.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daerah Aliran Sungai

Istilah Daerah Aliran Sungai (DAS) banyak digunakan oleh beberapa ahli
dengan makna atau pengertian yang berbeda-beda, ada yang meyamakan dengan
catchment area, watershed atau drainage basin. Daerah Aliran Sungai merupakan
keseluruhan kawasan pengumpul suatu sistem tunggal, sehingga dapat disamakan
dengan catchment area (Sudaryono, 2002).
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah dataran yang merupakan
satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung,
menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau kelaut
secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas laut
sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan
(Departemen Kehutanan, 2013).
Daerah aliran sungai merupakan wilayah daratan yang secara topografi
dibatasi oleh punggung-punggung bukit yang berfungsi menerima, menampung,
menyimpan dan mengalirkan air hujan untuk kemudian disalurkan ke danau, waduk
dan ke laut sebagai muara akhir melalui sunga iutama. Wilayah daratan tersebut
dinamakan daerah tangkapan air (DTA atau catchment area) yang merupakan suatu
ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumber daya alam (tanah, air, dan
vegetasi) dan sumber daya manusia sebagai pemanfaat sumber daya alam (Asdak,
2010).
Burhanuddin dan Sudjiman (2012), mengemukakan bahwa pengelolaan
DAS dilakukan dengan memperlakukan DAS sebagai satu kesatuan ekosistem dari
hulu ke hilir, satu perencanaan dan satu pengelolaan. Prinsip ini menegaskan bahwa
dalam satu DAS sebagai satu kesatuan ekosistem terdapat keterkaitan hulu-hilir
DAS dalam hal aktivitas pengelolaan sumberdaya dan dampak yang
ditimbulkannya (on-site maupun off-site impact). Hal ini terutama dikarenakan
adanya air sebagai sumberdaya alam DAS yang mengalir dari hulu ke hilir.
Keterkaitan hulu-hilir ini juga mendasari digunakan ekosistem DAS sebagai satuan
terbaik dalam pengelolaan sumberdaya berbasis ekosistem.

3
Sebagai satu kesatuan ekosistem, komponen-komponen di Daerah Aliran
Sungai saling berinteraksi dan saling tergantung satu sama lain. Dinamika atau
suatu perubahan yang terjadi pada salah satu komponennya akan berpengaruh pada
komponen yang lain. Dinamika yang berkembang mengakibatkan tebentuknya
keanekaragaman sosial yang juga disebabkan oleh pengaruh kondisi geografis dan
ragam ekosistem yang ada (Purwanti, 2007).

Kementrian Kehutanan (2013), mengatakan bahwa pembagian Daerah


Aliran Sungai berdasarkan fungsi hulu, tengah dan hilir yaitu :
1. Bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk
mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara
lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air,
kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan
2. Bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola
untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial ekonomi, yang
antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, dan ketinggian
muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan
sungai, waduk, dan danau.
3. Bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola
untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial ekonomi, yang
didindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air,
ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta
pengelolaan air limbah.

2.2 Curah Hujan

Curah hujan (mm) merupakan ketinggian air hujan yang jatuh pada tempat
yang datar dengan asumsi tidak menguap, tidak meresap dan tidak mengalir. Curah
hujan 1 (satu) mm adalah air hujan setinggi 1 (satu) mm yang jatuh (tertampung)
pada tempat yang datar seluas 1 m 2 dengan asumsi tidak ada yang menguap,
mengalir dan meresap (BMKG, 2017).

4
2.3 Pengertian Konservasi Tanah dan Air

Konservasi tanah mempunyai arti luas dan sempit dimana konservasi tanah
dalam arti luas adalah penempatan setiap bidang tanah dengan cara penggunaan
yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai
dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Sedangkan
koservasi tanah dalam arti sempit adalah upaya mencegah kerusakan tanah oleh
erosi dan memperbaiki tanah yang rusak oleh erosi.Konservasi tanah mempunyai
hubungan yang sangat erat dengan konservasi air. Setiap perlakuan yang diberikan
pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air pada tempat itu dan tempat-
tempat di hilirnya. Oleh karena itu konservasi tanah dan konservasi air merupakan
dua hal yang berhubungan erat sekali, berbagai tindakan konservasi tanah adalah
juga tindakan konservasi air.Konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air
hujan yang jatuh ke tanah untuk pertanian seefisien mungkin, dan mengatur waktu
aliran agar tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu
musim kemarau (Arsyad, 2010).
Konservasi Tanah dan Air adalah upaya perlindungan, pemulihan,
peningkatan, dan pemeliharaan Fungsi Tanah pada Lahan sesuai dengan
kemampuan dan peruntukan Lahan untuk mendukung pembangunan yang
berkelanjutan dan kehidupan yang lestari (UU37,2014).
Konservasi tanah dilakukan agar (1) energi perusak (air hujan dan aliran
permukaan) sekecil mungkin sehingga tidak merusak, dan (2) agregat tanah lebih
tahan terhadap pukulan air hujan dan aliran permukaan. Terdapat hubungan yang
erat sekali antara tanah dan air, bahwa setiap perlakuaan yang diberikan kepada
permukaan sebidang tanah akan mempengaruhi pula tata air ditempat itu dan
hilirnya, maka masalah Konservasi Tanah dan Air merupakan dua hal yang
berhubungan erat sekali (Triwanto, 2012).
Setiap perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah akan mempengaruhi
tata air tempat itu dan tempat-tempat hilirnya. Oleh karena itu, maka konservasi
tanah dan konservasi air merupakan dua hal yang berhubungan erat sekali, berbagai
tindakan konservasi tanah merupakan juga tindakan konservasi air (Arsyad, 2010).

2.4 Teknik Konservasi Tanah dan Air

5
2.4.1 Secara Vegetatif

Metode vegetatif diartikan sebagai penggunaan tanaman dan tumbuhan,


atau bagian-bagian tumbuhan atau sisa-sisanya untuk mengurangi daya tumbuk
butir hujan yang jatuh ke permukaan tanah, mengurangi jumlah dan kecepatan
aliran yang pada akhirnya dapat mengurangi erosi tanah (Arsyad, 2010).
Triwanto (2012) mengungkapkan bahwa Teknik vegetatif yaitu teknik
konservasi dengan memanfaatkan tanaman/ vegetasi maupun sisa-sisa tanaman
sebagai media pelindung tanah dari erosi, penghambat laju aliran permukaan,
peningkatan kandungan lengas tanah dan perbaikan sifat tanah baik fisik, kimiawi
maupun biologi.
Teknik Konservasi Tanah dan Air dapat dilakukan secara vegetatif dalam
bentuk pengelolaan tanaman berupa pohon atau semak, baik tanaman tahunan
maupun tanaman setahun dan rumput-rumputan. Teknologi ini sering dipadukan
dengan tindakan Konservasi Tanah dan Air secara pengelolaan (Sinukaban, 2003).
Selain sisa-sisa tumbuhan, bahan lain seperti plastik, batu dan pasir dapat
digunakan sebagai mulsa. Mulsa mengurangi erosi dengan cara merendam energi
hujan yang jatuh sehingga tidak merusak struktur tanah, mengurangi kecepatan dan
jumlah aliran permukaan (Arsyad, 2010). Teknik vegetatif pada Konservasi Tanah
dan Air dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain penggunaan kayu-kayuan,
tanaman perdu, rerumputan, dan tanaman penutup tanah lainnya. Kegiatan
Konservasi Tanah dan Air lainnya dapat dilakukan secara agronomi yaitu (UU37,
2014):
1) Pemberian mulsa adalah pemberian sisa tanaman atau benda-benda lain yang
diletakkan di permukaan tanah diantara tanaman untuk melindungi
permukaan tanah dari pukulan air hujan yang jatuh
2) pengaturan pola tanam adalah sistem pertanaman yang mengoptimalkan
pemanfaatan ruang dan waktu untuk meningkatkan produksi dan mencegah
erosi, seperti penanaman berurutan atau penanaman berselang-seling,
penanaman mengikuti kontur, dan penanaman tumpang sari
3) pemberian amelioran adalah pemberian bahan-bahan kimia untuk
memperbaiki sifat tanah seperti kapur, dolomit, dan bitumen

6
4) pengayaan tanaman adalah kegiatan memperbanyak keragaman tanaman
dengan cara pemanfaatan ruang tumbuh secara optimal melalui penanaman
pohon
5) pengolahan tanah konservasi adalah pengelolaan tanah minimum (minimum
tillage), tanpa pengelolaan tanah (zero tillage), dan pengelolaan tanah
mengikuti kontur (contour tillage)
6) penanaman mengikuti kontur adalah penanaman mengikuti garis atau sejajar
garis kontur
7) pemupukan
8) pemanenan adalah teknik memanen tanaman kayu-kayuan agar tidak
menimbulkan dampak kerusakan lahan, antara lain tebang pilih dan tebang
jalur
2.4.2 Secara Mekanik

Metode sipil teknis merupakan salah satu teknik Konservasi Tanah dan Air
dengan metode mekanik yaitu sengkedan, teras guludan, teras bangku, pengendali
jurang, sumur resapan, kolam retensi, dam pengendali, dam penahan, saluran atau
rorak, saluran pembuangan air, terjunan air, dan/atau beronjong (UU37, 2014).
Teras adalah bangunan konservasi tanah dan air yang dibuat dengan
penggalian dan pengurugan tanah, membentuk bangunan utama berupa bidang
olah, guludan, dan saluran air yang mengikuti kontur serta dapat pula dilengkapi
dengan bangunan pelengkapnya seperti saluran pembuangan air (SPA) dan terjunan
air yang tegak lurus kontur (Yuliarta dkk, 2002). Sedangkan menurut
Sukartaatmadja (2004), teras adalah bangunan Konservasi Tanah dan Air secara
mekanis yang dibuat untuk memperpendek panjang lereng dan atau memperkecil
kemiringan lereng dengan jalan penggalian dan pengurugan tanah melintang lereng.
Tujuan pembuatan teras adalah untuk mengurangi kecepatan aliran permukaan (run
off) dan memperbesar peresapan air, sehingga kehilangan tanah berkurang.
Teras berfungsi mengurangi panjang lereng dan menahan air, sehingga
mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan, dan memungkinkan
penyerapan air oleh tanah sehingga erosi dapat berkurang (Arsyad, 2010).Menurut
Yuliarta dkk (2002), manfaat teras adalah mengurangi kecepatan aliran permukaan
sehingga daya kikis terhadap tanah dan erosi diperkecil, memperbesar peresapan

7
air ke dalam tanah dan menampung dan mengendalikan kecepatan dan arah aliran
permukaan menuju ke tempat yang lebih rendah secara aman.
Teras Datar
Teras datar atau teras sawah (level terrace) adalah bangunan konservasi
tanah berupa tanggul sejajar kontur, dengan kelerengan lahan tidak lebih dari 3 %
dilengkapi saluran di atas dan di bawah tanggul (Yuliarta, 2002). Menurut Arsyad
(2010), teras datar dibuat tepat menurut arah garis kontur dan pada tanah-tanah yang
permeabilitasnya cukup besar sehingga tidak terjadi penggenangan dan tidak terjadi
aliran air melalui tebing teras. Teras datar pada dasarnya berfungsi menahan dan
menyerap air, dan juga sangat efektif dalam konservasi air di daerah beriklim agak
kering pada lereng sekitar dua persen. Dalam Sukartaatmadja (2004) dijelaskan
bahwa tujuan pembuatan teras datar adalah untuk memperbaiki pengaliran air dan
pembasahan tanah, yaitu dengan pembuatan selokan menurut garis kontur.Tanah
galian ditimbun di tepi luar sehingga air dapat tertahan dan terkumpul.Di atas
pematang sebaiknya ditanami tanaman penguat teras berupa rumput makanan
ternak.
Teras guludan adalah suatu teras yang membentuk guludan yang dibuat
melintang lereng dan biasanya dibuat pada lahan dengan kemiringan lereng 10 – 15
%.Sepanjang guludan sebelah dalam terbentuk saluran air yang landai sehingga
dapat menampung sedimen hasil erosi.Saluran tersebut juga berfungsi untuk
mengalirkan aliran permukaan dari bidang olah menuju saluran pembuang air.
Kemiringan dasar saluran 0,1%. Teras guludan hanya dibuat pada tanah yang
bertekstur lepas dan permeabilitas tinggi. Jarak antar teras guludan 10 meter tapi
pada tahap berikutnya di antara guludan dibuat guludan lain sebanyak 3 – 5 jalur
dengan ukuran lebih kecil. (Sukartaatmadja, 2004).
Menurut Priyono dkk (2002), teras guludan adalah bangunan konservasi
tanah berupa guludan tanah dan selokan / saluran air yang dibuat sejajar kontur,
dimana bidang olah tidak diubah dari kelerengan permukaan asli.Di antara dua
guludan besar dibuat satu atau beberapa guludan kecil.Teras ini dilengkapi dengan
SPA sebagai pengumpul limpasan dan drainase teras.

Teras Bangku

8
Teras bangku adalah bangunan teras yang dibuat sedemikian rupa sehingga
bidang olah miring ke belakang (reverse back slope) dan dilengkapi dengan
bangunan pelengkap lainnya untuk menampung dan mengalirkan air permukaan
secara aman dan terkendali (Sukartaatmadja, 2004).
Teras bangku memang cukup efektif dalam mengurangi erosi, bila tanah
(solum) cukup dalam.Pada tanah yang dangkal teras bangku cenderung
menimbulkan dampak negatif bagi pertumbuhan tanaman, dan bila tanah
mempunyai permeabilitas lambat, teras bangku dapat mempercepat terjadinya
longsor.Pada daerah dengan jenis tanah yang berstruktur lepas, tampaknya
penerapan teras bangku kurang baik dan sering rusak, untuk itu diperlukan
penanaman tanaman penguat teras. Disamping itu karena rendahnya retensi air
tanah, konservasi air juga menjadi penting untuk memenuhi kebutuhan air di musim
kemarau (Anik, 2007).
Teras Saluran (Parit Buntu / Rorak)
Teras saluran atau lebih dikenal dengan rorak atau parit buntu adalah teknik
Konservasi Tanah dan Air berupa pembuatan lubang-lubang buntu yang dibuat
untuk meresapkan air ke dalam tanah serta menampung sedimen-sedimen dari
bidang olah (Priyono, 2002). Tujuan pembuatan teras saluran ini adalah
meningkatkan jumlah persediaan air tanah, menahan tanah yang tererosi (sedimen)
dari bidang olah dan mengendalikan sedimen yang terkumpul ke bidang olah, serta
dapat dikombinasikan dengan mulsa vertikal untuk memperoleh kompos. Beberapa
aspek teknis berkaitan dengan pembuatan parit buntu / rorak / teras saluran ini
adalahukuran rorak umumnya berukuran panjang 1 – 2 meter, lebar 25 – 50 cm dan
dalam 20 – 30 cm, rorak dapat diisi dengan mulsa slot untuk mengurangi
sedimentasi dan meningkatkan kesuburan tanah, pembuatan rorak mengakibatkan
pengurangan lahan sebesar 3 – 10 %, rorak buntu dapat dibuat pada bagian lereng
atas tanaman, sedimen yang tertampung dalam rorak buntu dapat digunakan untuk
membumbun tanaman.
Teras kebun
Teras kebun adalah jenis teras untuk tanaman tahunan, khususnya tanaman
perkebunan dan buah-buahan. Teras dibuat dengan interval yang bervariasi
menurut jarak tanam. Pembuatan teras bertujuan untuk: (1) meningkatkan efisiensi

9
penerapan teknik konservasi tanah, dan (2) memfasilitasi pengelolaan lahan (land
management facility) di antaranya untuk fasilitas jalan kebun, dan penghematan
tenaga kerja dalam pemeliharaan kebun (Abas, 2011).

2.5 Kemiringan Lereng

Menurut Nasiah dan Ichsan (2014) lereng merupakan salah satu unsur
topografi yang terdiri dari komponen panjang, bentuk dan kemiringan lereng.
Dalam hal ini komponen lereng yang digunakan dalam menentukan tingkat bahaya
longsor lahan adalah kemiringan lereng. Berbagai tipe gerak massa yang terjadi di
permukaan bumi erat hubungannya dengan besarnya kemiringan lereng. Pada
dasarnya kemiringan lereng berpengaruh terhadap gaya tarik bumi (vertikal) dan
gaya geser (sepanjang lereng). Semakin datar lereng gaya tarik bumi dapat bekerja
sepenuhnya 100 persen hingga material lapuk dan lepas tidak akan terjadi
pergeseran arah horizontal. Akan tetapi, berbeda dengan lereng yang miring hingga
terjal maka akan terjadi resultan gaya akibat adanya dua gaya yaitu gaya tarik bumi
dan gaya geser, sehingga material lapuk dan lepas bergerak menuruni lereng
walaupun tanpa dengan media pengangkut (misal air). Oleh karena itu, pada
umunya secara berurutan jenis gerak massa dalam kaitannya dengan kemiringan
lereng adalah sangat erat. Dari lereng yang landai hingga curam, tipe gerak massa
yang terjadi adalah tipe rayapan (creep), nendatan (slump), aliran lumpur
(mudflow), aliran tanah (earth flow), longsor lahan (landslide), longsoran puing
batuan (debrisslide), longsor lahan batu (rock slide) dan pada lereng terjal adalah
batu jatuh bebas (rock fall). Selain itu, kemiringan lereng juga berpengaruh
terhadap kondisi kelembaban tanah akibat tingkat kelulusan air dan gerakan air
tanah yang berbeda. Dengan material yang lapuk maka pada lereng yang datar
gerakan air tanah lebih lambat daripada lereng yang miring.
1) Panjang lereng
Panjang lereng dihitung mulai dari titik pangkal terjadinya aliran
permukaan sampai suatu titik dimana air masuk ke dalam saluran atau sungai,
atau di mana kemiringan lereng berubah sedemikian rupa, sehingga
kecepatan aliran permukaan berubah. Air yang mengalir di permukaan tanah
akan terkumpul di ujung lereng. Dengan demikian lebih banyak air yang

10
mengalir dan semakin besar kecepatannya dibagian bawah lereng daripada
dibagian lereng atas (Arsyad, 2012).
2) Kemiringan lereng
Wilayah dengan kemiringan lereng antara 0% - 15% akan stabil
terhadap kemungkinan longsor, sedangkan di atas 15% potensi untuk terjadi
longsor pada kawasan rawan gempa bumi akan semakin besar (Indrasmoro,
2013). Kemiringan lereng dinyatakan dalam derajat atau persen. Dua titik
yang berjarak horizontal seratus meter mempunyai selisih tinggi sepuluh
meter membentuk lereng 10%. Kecuraman lereng seratus persen sama
dengan kecuraman lereng 450. Selain memperbesar jumlah aliran
permukaan, makin curam lereng makin memperbesar kecepatanaliran
permukaan. Selain dari itu semakin curam lereng juga akan memperbesar
jumlah butiran tanah yang terangkut ke bawah (Sugiharyanto, 2009).

Lereng adalah salah satu faktor pemicu terjadinya erosi dan longsor di lahan
pegunungan. Peluang terjadinya erosi dan longsor makin besar dengan makin
curamnya lereng. Makin curam lereng makin besar pula volume dan kecepatan
aliran permukaan yang berpotensi menyebabkan erosi. Selain kecuraman, panjang
lereng juga menentukan besarnya longsor dan erosi.Makin panjang lereng, erosi
yang terjadi makin besar. Pada lereng >45% longsor sering terjadi, terutama
disebabkan oleh pengaruh gaya gravitasi (Permentan, 2007).
Kemiringan lereng sangat curam merupakan kemiringan lereng yang paling
tinggi untuk terkena resiko terjadinya bencana longsor dibandingkan dengan
kategori kelas lereng lainnya, ini kembali lagi karena pengaruh dari gaya gravitasi,
yaitu gaya gravitasi akan sangat besar bekerja jika suatu obyek berada hampir atau
tegak lurus terhadap permukaan bumi. Inilah menjadi dasar bahwa kemiringan
lereng yang sangat tinggi sangat beresiko untuk terjadinya longsoran oleh akibat
gaya gravitasi bumi tersebut khususnya (Dinata dkk, 2013).

11
III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Agustus 2017 hingga Desember
2017 melalui dua tahapan kegiatan, yaitu kegiatan lapangan dan analisis data.
Kegiatan lapangan bertempat di DAS Lisu yang kondisi curah hujannya dapat
diketahui berdasarkan Stasiun Penakar Curah Hujan Marioriwawo dan Watan
Soppeng. Kemudian analisis data dilakukan di Laboratorium Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai, Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Luas wilayah
penelitian adalah 563,06 ha yang berada di Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten
Barru, Sulawesi Selatan. Wilayah penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian Pada Wilayah Watan Soppeng dan


Marioriwawo, Daerah Aliran Sungai Lisu

3.2 Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
1. Meteran roll untuk mengukur bangunan konservasi tanah.
2. Abney level untuk megukur kemiringan lereng.
3. Alat tulis menulis untuk mencatat hasil penelitian.
4. Questioner berisi item-item pertanyaan yang diberikan kepada petani.

12
5. Kamera digital untuk mendokumentasikan semua kegiatan selama penelitian
berlangsung.
6. GPS (global position system).
7. Peta lokasi.

3.3 Prosedur Penelitian


3.3.1 Metode Penentuan Lokasi Penelitian
Penentuan lokasi penelitian diperoleh dari delineasi batas DAS yang
dioperasionalisasikan melalui aplikasi ArcGIS. Batas DAS Lisu menjadi batas luar
dari semua jenis peta yang dibuat berdasarkan kepentingan analisis lokasi
penelitian. Jenis peta yang diperlukan, adalah : Peta Penutupan Lahan diperoleh
dari data penutupan lahan BPKH tahun 2015.

3.3.2 Penentuan Lokasi Sampel


Penentuan lokasi sampel ditentukan berdasarkan kelas kemiringan lereng.
Kemiringan lereng yang dimaksudkan yaitu klasifikasi kelas kemiringan lereng
berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor :
P.32/MENHUT-II/2009, yang terbagi kedalam kelas kemiringan lereng: 0-8%; 8-
15%; 15-25%; 25-45%; dan >45%. Titik sampel yang telah ditentukan untuk setiap
kelas kemiringan lereng yang menerapkan teknik Konservasi Tanah dan Air
kemudian dicatat data koordinatnya.
3.4 Metode Pengumpulan Data
3.4.1 Data Primer

Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan, baik


melalui survei maupun melalui wawancara dengan masyarakat. Pengamatan
langsung di lapangan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1) Peninjauan langsung ke lapangan untuk mengidentifikasi metode konservasi
tanah yang diterapkan oleh petani berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun
2014, yaitu :
a) Metode vegetatif: penggunaan kayu-kayuan, tanaman perdu, rerumputan,
dan tanaman penutup tanah lainnya

13
b) Metode agronomi : pemberian mulsa, pengaturan pola tanam, pemberian
amelioran, pengayaan tanaman, pengolahan tanah konservasi, penanaman
mengikuti kontur, pemupukan, pemanenan.
c) Metode sipil teknis : sengkedan, teras guludan, teras bangku, pengendali
jurang, sumur resapan, kolam retensi, dam pengendali, dam penahan,
saluran atau rorak, saluran pembuangan air, dan/atau beronjong
2) Menginventarisasi masyarakat/petani yang menerapkan teknik Konservasi
Tanah dan Air dengan cara mewawancarai masyarakat yang dianggap tokoh
kunci. Dari tokoh kunci ini wawancara dilanjutkan ke tokoh masyarakat
lainnya berdasarkan rekomendasi dari tokoh kunci tersebut. Wawancara akan
dihentikan ketika jawaban responden dianggap relatif sama.
3) Pengambilan gambar metode konservasi tanah yang diterapkan oleh
masyarakat/petani.
3.4.2 Data Sekunder
Merupakan data atau informasi yang diperoleh dari berbagai instansi serta
badan pemerintah yang terkait. Data atau informasi meliputi peta penutupan lahan
dari BPKH.

3.5 Analisis Data


Data atau informasi yang diperoleh selama penelitian diklasifikasi sesuai
dengan tujuan penilitian dan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif
kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif adalah analisis yang menjelaskan dan
menafsirkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis berkenaan dengan fakta.
Kriteria yang digunakan untuk menilai penerapan metode konservasi tanah
oleh petani di lapangan ditetapkan dalam 2 (dua) kategori penilaian yaitu:
1. Penerapan metode Konservasi Tanah dan Air (KTA) yang sesuai.
2. Penerapan metode Konservasi Tanah dan Air (KTA) yang tidak sesuai.
Dikatakan penerapan metode KTA yang sesuai apabila metode KTA yang
diterapkan oleh petani tersebut telah sesuai dengan pedoman penilaian metode
konservasi tanah.Sedangkan dikatakan penerapan metode KTA yang tidak sesuai
apabila metode KTA yang diterapkan oleh petani tidak sesuai dengan pedoman
penilaian metode konservasi tanah.Selanjutnya, alasan petani menerapkan metode
konservasi tanah tersebut diketahui dari hasil wawancara.

14
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap teknik konservasi tanah dan air


yang diterapkan oleh masyarakat pada penutupan lahan berupa pertanian lahan
kering campur pada wilayah tangkapan stasiun curah hujan Watan Soppeng dan
Marioriwawo terdiri atas dua yaitu teknik vegetatif, dan sipil teknis. Teknik
vegetatif yang diterapkan adalah tanaman penutup tanah, kebun campuran dan
wanatani.Teras bangku merupakan bagian dari sipil teknis. Data tersebut diperoleh
berdasarkan hasil wawancara dari 25 responden yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.Teknik Konservasi Tanah dan Air pada Wilayah Watan Soppeng dan
Mariroriwawo, Daerah Aliran Sungai Lisu
Kategori
Kemiringan Bentuk-Bentuk Teknik Jumlah
No Tidak Keterangan
Lereng (%) KTA Responden Sesuai
Sesuai
Kebun Campuran (V) 1 - 1
1. 0-8 % Teras Bangku (ST) 5 5 -
Tanaman Penutup Tanah (V) 1 1 -
Kebun Campuran (V) 1 1 -
2. 8-15 % Teras Bangku (ST) 2 2 -
Wanatani (V) 1 1 -
V = Teknik KTA
Kebun Campuran (V) 2 2 - secara vegetatif
3. 15-25%
Teras Bangku (ST) 2 1 1
ST = Teknik
Kebun Campuran (V) 2 2 - KTA secara sipil
4. 25-45%
Teras Bangku (ST) 3 1 2 Teknis
Kebun Campuran (V) 1 1 -
5. >45% Teras Bangku (ST) 3 2 1
Wanatani (V) 1 1 -

Total 25 20 5

Tabel 1 menunjukkan jumlah responden yang menerapkan teknik


Konservasi Tanah dan Air berkategori sesuai sebanyak 20 orang (80%) sedangkan
masyarakat yang menerapkan teknik Konservasi Tanah dan Air berkategori tidak
sesuai sebanyak 5 orang (20%). Berkategori sesuai pada umumnya terdapat pada
semua kelas kelerengan mulai dari 0-8% hingga >45%. Begitu pula dengan kategori
tidak sesuai yang telah ditemukan pada setiap kelas kelerengan. Teknik vegetatif
dan metode sipil teknis ditemukan pada setiap kelas kemiringan lereng. Bentuk-
bentuk teknik Konservasi Tanah dan Air berupa kebun campuran dan metode sipil
teknis umumnya ditemui pada setiap kelas kemiringan lereng. Teknik vegetatif

15
berupa wanatani hanya ditemukan pada kelas kemringan lereng 8-15% dan >45%,
sedangkan teknik vegetatif berupa tanaman penutup tanah ditemukan pada kelas
kemiringan lereng 0-8%.

4. 1 Teknik Vegetatif
Teknik vegetatif merupakan usaha konservasi tanah dengan menanam
tanaman yang berfungsi sebagai penutup tanah dari tumbukan langsung dari air
hujan, selain tanaman hidup, sisa-sisa tanaman juga biasa digunakan untuk menjadi
salah satu usaha konservasi tanah dengan metode vegetatif ini. Hasil penelitian
terhadap teknik konservasi tanah dan air yang diterapkan masyarakat yaitu kebun
campuran, wanatani dan tanaman penutup tanah.

Kebun Campuran
Kondisi sebaran tanaman pada kebun campuran yang dikelola oleh warga
memiliki beragam jenis karena dengan melakukan hal tersebut dapat mendukung
kondisi ekonomi masyarakat. Secara umum, jenis tanaman yang dapat ditemukan
dilokasi adalah mahoni (Swetenia mahagoni), kopi (Coffea canephora), pinus
(Pinus mercusii), mangga (Mangifera indica), waru (Hibiscus tiliaseus), pisang
(Musa acuminata), gamal (Gliricidia sepium), dan cengkeh (Syzigium
aromaticum). Selanjutnya pola tanam serta teknik Konservasi Tanah dan Air yang
diterapkan oleh masyarakat akan dibahas tiap kelas kelerengan.
Pada kelerengan 0-8% hanya ditemukan sebuah lahan dengan penerapan
teknik Konservasi Tanah dan Air berupa kebun campuran. Kebun campuran yang
ditemukan pada kelerengan 0-8 % terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Kebun campuran dengan kategori tidak sesuai

Gambar 2 menunujukkan pola kebun campuran yang dianggap tidak sesuai


dengan penilaian karena pada kebun campuran tersebut hanya memenuhi 1 kriteria,

16
yaitu lahan berada diluar wilayah pemukiman penduduk. Kondisi penutupan lahan
hanya memiliki 2 strata tajuk yang menyebabkan butir-butir hujan menyentuh tanah
tanpa ada halangan. Pada lapisan pertama ditemukan tanaman jagung dan lapisan
kedua beberapa tanaman gamal. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya erosi
yaitu hilangnya atau terkikisnya tanah oleh air.
Lahan yang memiliki 2 strata tajuk akan menimbulkan terjadinya erosi
percikan (splash erosion) yaitu proses terkelupasnya partikel-partikel tanah halus
bagian atas yang terlepas dan terlempar ke udara dikarenakan energi dari daya
tumbuk air hujan bebas atau sebagai air lolos. Hal ini dikarenakan air hujan yang
jatuh ke tanah tidak mendapat hambatan dari vegetasi dan proses pemanenan pada
tanaman semusim dapat menyebabkan hilangnya unsur hara pada tanah.
Selain kondisi strata tajuk dan tidak adanya teras, pola tanam dan sebaran
vegetasi pada Gambar 2 juga mendukung terjadinya erosi pola tanam seperti itu
dapat mempermudah terjadinya erosi. Posisi teras yang dapat menahan agregat
tanah harusnya dapat digantikan oleh tanaman cengkeh, coklat, dan pisang yang
ditanam searah kontur dan memotong lereng.
Penanaman dengan dua jenis tanaman yang ditemukan pada Gambar 2
bertentangan dengan yang dikatakan oleh Hairiah dkk (2007). Vegetasi berperan
dalam menciptakan jaringan akar yang dapat mengurangi jumlah partikel tanah
yang dibawa oleh air hujan. Jaringan akar yang baik ditunjukkan dengan diversitas
tanaman. Oleh karena itu untuk Konservasi Tanah dan Air pada kebun campuran
sebaiknya dengan menanam tanaman dengan sistem perakaran dalam dan diselingi
dengan sistem perakaran ringan dan bagian dasar ditanami oleh rumput.
Kemudian pada kelerengan 8-15% kebun campuran yang diterapkan oleh
masyarakat memiliki penanaman yang tidak beraturan. Dalam setiap kebun
campuran, tanaman tumbuh sangat rapat. Hampir semua permukaan tanah ditutupi
oleh tanaman yang ada diatasnya sehingga tanah tidak langsung berbenturan
dengan butir hujan karena ditahan oleh tanaman diatasnya.

Pada kemiringan tersebut tentu memungkinkan terjadinya erosi, namun


dengan pola tanam yang searah garis kontur dan memotong lereng dapat
mengurangi dampak dari erosi. Kekurangan dari pola yang diterapkan di kebun
campuran ini adalah masyarakat tidak menanam tanaman musiman seperti kacang

17
tanah atau jagung pada ruang kosong yang tidak digunakan, sehingga dapat
menambah pemasukan keuangan masyarakat.

Keterangan :

Strata 1 : mahoni
Strata 2 : cengkeh
Strata 3 : gamal, kopi
Strata 4 : rumput gajah &
babandotan

Gambar 3. Kebun campuran kategori sesuai pada kelerengan 8-15%

Kebun campuran yang diterapkan oleh petani pada Gambar 3 dikategorikan


sesuai karena telah sejalan dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2014 tentang
Konservasi Tanah dan Air pasal 24 ayat 2 yang mengharuskan penanaman kayu-
kayuan, perdu, dan rumput-rumputan. Selain itu letak kebun campuran berada
diluar pemukiman. Kondisi kebun campuran yang terdiri atas banyak strata
memungkinkan tumbukan air hujan tidak bersentuhan langsung dengan tanah. Pola
tanam kebun campuran yang ditemukan pada kelerengan 15-25% dapat terlihat
pada Gambar 4.

Keterangan :
Strata 1 : mahoni
Strata 2 : cengkeh
Strata 3 : gamal, kopi
Strata 4 : rumput gajah

Gambar 4. Kebun campuran kategori sesuai pada kelerengan 15-25%

Kondisi penutupan dan lapisan tajuk seperti yang terlihat pada Gambar 4
menunjukkan bahwa penerapan teknik Konservasi Tanah dan Air dengan teknik
vegetatif tersebut dikategorikan sesuai pada kemiringan lereng 15-25%. Kriteria ini
didasarkan pada banyaknya tanaman tahunan maupun semusim yang dapat
menghasilkan kayu, dan buah. Gabungan antara tanaman tahunan dan semusim

18
juga akan lebih baik untuk mengurangi laju erosi karena tanaman tahunan
mempunyai luas tajuk yang relatif lebih besar dalam menahan energi kinetik air
hujan, sedangkan tanaman semusim dapat berperan sebagai pelindung tanah dari
butiran air hujan. Jadi semakin rapat dan banyak lapisan tajuk suatu tanaman, maka
semakin besar kemampuannya mengurangi energi potensial air hujan. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Asdak (2010) menyatakan bahwa fungsi vegetasi terhadap erosi
yaitu melindungi permukaan tanah dari tumbukan air hujan (memperkecil
kecepatan air hujan) sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya erosi.
Pada kelerengan 25-45%, teknik Konservasi Tanah dan Air yang diterapkan
oleh masyarakat termasuk sesuai berdasarkan pedoman pada Lampiran 2. Strata
tajuk tanaman ditunjukkan pada Gambar 5.

Keterangan :
Strata 1 : jati & pinang
Strata 2 : coklat
Strata 3 : gamal & kopi
Strata 4 : semak belukar

Gambar 5. Kebun campuran kategori sesuai pada kelerengan 25-45%

Kebun campuran pada Gambar 6 yang berkategori sesuai karena mampu


menahan atau mengurangi daya perusak butir-butir hujan yang jatuh. Selain itu,
tanaman mampu menambah bahan organik tanah melalui batang, ranting dan daun
mati yang jatuh, serta menyerap air dan melakukan transpirasi (Hairiah dkk, 2007).
Menurut Asdak (2010), pengaruh vegetasi terhadap air dalam hal mudah
atau tidaknya suatu tanah tererosi sebaiknya perlu memperhatikan vegetasi penutup
tanah tersebut mempunyai struktur tajuk berlapis-lapis sehingga dapat menurunkan
kecepatan daya tumbuk air hujan, serta ranting-ranting yang ada pada vegetasi
tersebut dapat memperkecil diameter tetesan air hujan sehingga mengurangi
terjadinya aliran permukaan yang mengakibatkan terjadinya erosi.
Kelerengan >45% tergolong kelas kelerengan sangat curam. Pada kelas
kelerengan tersebut hanya ditemukan sebuah lahan yang memiliki teknik vegetatif
berupa kebun campuran. Teknik kebun campuran dapat dilihat pada Gambar 6.

19
Keterangan :
Strata 1 : kemiri & mahoni
Strata 2 : kayu jawa
Strata 3 : pisang
Strata 4 : rumput & jagung

Gambar 6. Kebun campuran kategori sesuai pada kelerengan >45%

Menurut penilaian Arsyad (2010), Teknik Konservasi Tanah dan Air dapat
dikategorikan sesuai karena memenuhi syarat kebun campuran yang sesuai yaitu
berisi tanaman tahunan maupun musiman yang dapat diambil kayu, daun, buah dan
terdiri dari beberapa strata tajuk. Pola yang dilakukan masyarakat tersebut
mempengaruhi kondisi penutupan dan lapisan tajuk kebun campuran yang dikelola.
Tanaman Penutup Tanah
Tanaman penutup tanah yang ditemukan pada lokasi penelitian adalah
rumput gajah (Pennisetum purpureum), babandotan (Ageratum conyzoides L),
rumput gajah mini (Pennisetum purpureum schamach), dan alang-alang (Imperata
cylindrica) merupakan tanaman penutup tanah rendah yang sering dijumpai pada
lahan kering campur di lokasi penelitian sebagaimana terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Tanaman penutup tanah


(a) babandotan,
(b) rumput gajah,
(a) (b)
(c) alang-alang,
(d) rumput gajah mini,

(c) (d)

20
Tanaman penutup tanah adalah tumbuhan atau tanaman yang khusus
ditanam untuk melindungi tanah dari ancaman kerusakan oleh erosi dan untuk
memperbaiki sifat kimia dan sifat fisik tanah. Berdasarkan gambar diatas, tanaman
penutup tanah rendah yang ada dilapangan terlihat rapat sehingga tanah terlindung
dari erosi. Selain itu, pertumbuhan jenis rumput-rumputan ini juga dapat tumbuh
dengan cepat dan membantu meminimalkan daya tumbuk air hujan ketika
bersentuhan dengan daun rumput-rumputan. Tanaman penutup tanah rendah terdiri
dari jenis rumput-rumputan dan tumbuhan merambat atau menjalar yang banyak
terdapat pada talud dan tampingan teras bangku yang berfungsi untuk melindungi
tanah dari butir-butir air hujan, mengurangi kecepatan aliran permukaan dan
memperbesar infiltasi kedalam tanah sehingga mengurasi erosi.Kemampuan teras
bangku sebagai pengendali erosi akan meningkat bila ditanami dengan tanaman
penguat teras seperti rerumputan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gunawan dkk
(2010) bahwa hasil pengkajian menunjukkan tingkat erosi akan semakin berkurang
dengan meningkatnya tingkat kerimbunan tanaman dan kerimbunan tanaman
penutup >70% tanah yang tererosi mendekati 0.
Selain tanaman penutup tanah rendah, dilokasi penelitian terdapat tanaman
penutup tanah tinggi yang terdapat disekitar pinggiran teras ataupun didalam kebun
campuran yaitu pohon kelapa (Cocos nucifera), pisang (Musa acuminata), kayu
jawa (Lannea coromandelica) dan gamal (Gliricidia sepium).

(a) (b)
Gambar 8. Tanaman penutup tanah tinggi
(a) pohon kelapa dan pisang,
(b) gamal dan kayu jawa

21
Tanaman kelapa ditemukan pada kelerengan 0-8% dan 8-15% dan pisang
ditemukan pada kelerengan 0-8%, 8-15%, 15-25%, dan >45%. Tanaman penutup
tanah ditanam pinggiran talud teras dan juga di dalam kebun campuran. Tajuk
tanaman penutup tanah tinggi berperan untuk menghalangi tumbukan butiran hujan
langsung kepermukaan tanah sedangkan akarnya dapat mengikat tanah pada daerah
lereng sehingga mampu mengurangi erosi dan longsor. Disamping peranannya
untuk menjaga fungsi ekologi dari teras tersebut, tanaman penutup tanah tinggi ini
juga dimanfaatkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti
mengambil buah dan daunnya.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Widjaja (2004) yang mengemukakan
bahwa tanaman bambu tidak hanya bermanfaat ekonomi melainkan bermanfaat
ekologi berupa struktur akar yang luas menjadikan bambu dapat mengikat tanah
dan air dengan baik. Tanaman gamal dijumpai pada semua kelerengan yang
dipergunakan masyarakat sebagai pengendali erosi dan gulma. Daun-daun dan
rantingnya yang hijau juga dimanfaatkan sebagai mulsa atau pupuk hijau untuk
memperbaiki kesuburan tanah.
Berdasarkan pedoman penilaian teknik konservasi tanah dan air pada
Lampiran 2, tanaman penutup tanah rendah dan tanaman penutup tanah tinggi
tersebut dikategorikan baik karena memenehui kriteria mudah diperbanyak dan,
mempunyai sistem perkaran yang tidak menimbulkan kompetisi berat bagi tanaman
pokok, mempunyai sifat pengikat tanah yang tinggi, tumbuh cepat dan banyak
menghasilkan daun serta toleransi terhadap pemangkasan.

Pengembangan Wanatani

Pada lokasi penelitian, ditemukan dua lokasi dengan teknik Konservasi Tanah
dan Air secara wanatani (agroforestry), yaitu pada kelas kemiringan lereng 8-15%
dan >45%. Menurut penilaian Arsyad (2010), Teknik Konservasi Tanah dan Air
secara wanatani pada kedua kelas kemiringan tersebut telah sesuai dengan
penilaian. Penerapan teknik wanatani yang tidak sesuai pada kelerengan >45%
dapat dilihat pada Gambar 8.

22
Gambar 9. Teknik Vegetatif secara wanatani yang sesuai

Gambar 9 menunjukkan pola tanam dari sistem wanatani yang diterapkan


masyarakat dengan tanaman tahunan berupa jati. Dengan pola tanam yang searah
garis kontur dan memotong lereng dapat mengurangi dampak dari erosi melalui
surface runoff. Semakin curam lereng, maka semakin besar laju dan jumlah aliran
permukaan dan semakin besar erosi yang terjadi. Kelerengan >45% pada lokasi
penelitian termasuk kelerengan sangat curam. Akan tetapi penerapan pola wanatani
pada Gambar 9 menunjukkan pola tanam yang searah garis kontur sehingga
jaringan dari perakaran tanaman tahunan Tectona grandis mampu mencegah
terjadinya erosi.
Pola wanatani yang diterapakan pada Gambar 8 dikategorikan sesuai karena
selain tanaman tahunan, ditemukan pula tanaman cabai sebagai tanaman musiman
untuk memperkuat jaringan akar dalam menahan laju aliran permukaan (surface
runoff). Wanatani (agroforestry) adalah salah satu bentuk usaha konservasi tanah
yang menggabungkan antara tanaman pohon-pohonan, atau tanaman tahunan
dengan tanaman komoditas lain yang ditanam secara bersama-sama ataupun
bergantian. Penggunaan tanaman tahunan mampumengurangi erosi lebih baik
daripada tanaman komoditas pertanian khususnya tanaman semusim. Tanaman
tahunan mempunyai luas penutupan daun yang relatif lebih besar dalam menahan
energi kinetik air hujan, sehingga air yang sampai ke tanah dalam bentuk aliran
batang (stemflow) dan aliran tembus (throughfall) tidak menghasilkan dampak erosi
yang begitu besar. Sedangkan tanaman semusim mampumemberikan efek
penutupan dan perlindungan tanah yang baik dari butiran hujan yang mempunyai

23
energi perusak. Penggabungan keduanya diharapkan dapat memberi keuntungan
ganda baik dari tanaman tahunan maupun dari tanaman semusim (Suntoro, 2008).

Hal yang berbeda terjadi pada kelerengan 8-15%. Peletakkan tanaman


tahunan Jabon (Anthocephalus macrophyllus) yang berbaris sejajar garis kontur
diikuti dengan penanaman tanaman musiman pisang (Musa acuminata). Penerapan
teknik wanatani pada kelerengan 8-15% dapat dilihat pada Gambar 10.

Jabon Pisang

Gambar 10. Pola wanatani berkategori sesuai disertai dengan tanaman musiman

Peran vegetasi dalam mengendalikan stabilitas tanah pada lereng sangat


berperan besar dalam aspek hidrologi yaitu menurunkan kelembaban tanah melalui
proses evapotranspirasi dan aspek mekanik yaitu perkuatan ikatan akar pada
partikel tanah pada lereng (jaringan akar dan penjangkaran akar sampai lapisan
kedap air) (Sukresna, 2007). Pohon yang berakar intensif dilapisan atas (pisang)
sangat efektif membantu mengurangi hanyutnya lapisan atas tanah (runoff).
Sehingga tanaman yang berperakaran dalam (Jabon) akan berfungsi sebagai jangkar
(anchor), batang tetap tegak sehingga pohon tetap berdiri stabil pada kelerengan
yang sangat curam (Kurniawan dkk, 2007)

4.2 Sipil Teknis


Teras Bangku
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa teras bangku ditemukan
hanya pada penggunaan lahan berupa sawah dan kacang tanah. Teras bangku
tersebut pada musim hujan dipelihara dengan baik hingga panen. Setelah panen,
areal tanam padi kemudian dibersihkan dan digantti dengan tanaman berikutnya
yang umumnya berupa kacang tanah. Hal ini disebabkan oleh curah hujan yang
tidak sesuai dengan tanaman padi pada musim kemarau, sehingga dialihkan ke

24
tanaman kacang tanah yang tidak bergantung pada curah hujan. Aktivitas
pemeliharaan teras tidak dilakukan secara intens ketika tanaman berganti dari padi
ke kacang tanah.
Metode sipil teknis yang diterapkan pada areal persawahan berupa teras
bangku ditemukan pada setiap kelas lereng. fungsi dari teras adalah mengurangi
kecepatan dan jumlah aliran permukaan dan memungkinkan terjadinya penyerapan
air oleh tanah. Teras bangku pada kemiringan lereng sangat curam (>45%) seperti
yang terlihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Teras Bangku yang berkategori sesuai


pada kelas lereng >45%

Menurut Arsyad (2010), syarat dari teras bangku yang baik adalah
ditemukannya tanaman penguat teras, tinggi teras lebih dari 1,5 m serta tebal bibir
teras yang melebihi 0,3 m. Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran, teras
bangku pada Gambar 10 memenuhi semua syarat-syarat tersebut, sehingga dapat
dikategorikan sesuai dengan kriteria.
Hal yang sama ditemukan pada kelerengan 25-45%. Pada kelas lereng
tersebut juga memenuhi syarat dari teras bangku yang sesuai. Teras bangku pada
kelerengan ini memperlihatkan areal yang dapat ditanami lebih luas dibandingkan
kemiringan lereng >45% yang dapat dilihat pada Gambar 12.

25
Gambar 12. Teras Bangku yang berkategori sesuai
pada kelas lereng 25-45%
Teras bangku pada gambar diatas merupakan salah satu penerapan sipil
teknis pembuatan bangunan Konservasi Tanah dan Air yang bertujuan untuk
memperluas wilayah datar. Teras bangku dibuat dengan jalan memotong lereng
kemudian meratakan tanah dibidang olah sehingga terjadi suatu deretan berbentuk
tangga. Hal tersebut sesuai dengan yang ditemukan di lokasi penelitian. Masyarakat
menggunakan batu untuk membuat dinding dengan jarak yang sesuai disepanjang
garis kontur pada lahan miring. Penggunaan batu dilakukan untuk mengurangi
kehilangan tanah dan air serta untuk menangkap tanah yang meluncur dari atas
sehingga secara bertahap akan menyusun teras bangku. Terdapat pula teras bangku
yang tidak menggunakan batu, namun menggunakan tanah.

(a) (b)
Gambar 12. Metode sipil teknis berkategori tidak sesuai
(a) Kelerengan 8-15% (b) Kelerengan >45%

Penggunaan teras bangku yang tidak memiliki saluran teras ataupun


tanaman penguat teras pada Gambar 12 ditemukan di kelerengan >45% dan 8-15%.
Penerapan teras bangku yang tidak sesuai dengan metode sipil teknis karena tidak
memiliki bibir teras, saluran teras, dan tanaman penguat untuk mencegah erosi pada
teras tersebut. Hal ini tidak sesuai dengan yang di ungkapkan oleh Suntoro (2008)
bahwa perbaikan dan pemeliharaan drainase perlu dilakukan untuk menjauhkan air
dari lereng, menghindarkan air meresap ke dalam lereng, atau menguras air dalam
lereng keluar lereng sehingga air jangan sampai tersumbat atau meresap ke dalam
tanah agar stabilitas lereng tetap terjaga.

Menurut Yuliarta et al (2002), manfaat teras adalah mengurangi kecepatan


aliran permukaan sehingga daya kikis terhadap tanah dan erosi diperkecil,

26
memperbesar peresapan air ke dalam tanah dan menampung dan mengendalikan
kecepatan dan arah aliran permukaan menuju ke tempat yang lebih rendah secara
aman. Sehingga ketika bibir teras dan saluran teras yang merupakan aspek
terpenting yang harus ada dalam teras bangku tidak ada, maka kecepatan aliran
permukaan dan peresapan air kedalam tanah tidak terjadi secara maksimal.

4.3 Transek Jenis Tanaman pada Berbagai Kelas Kemiringan Lereng


Pemahaman masyarakat mengenai teknik Konservasi Tanah dan Air masih
sangat minim namun telah menerapkan dengan baik. Mayoritas masyarakat
mengolah tanah miring dengan alasan ekonomis, yaitu menambah pemasukan dan
meningkatkan kualitas serta kuantitas panen dari tanaman semusim. Jenis tanaman
yang berada dilokasi penelitian pada berbagai kelas kemiringan lereng dapat dilihat
pada Tabel 2.

Tabel 2. Transek Jenis Tanaman pada Berbagai Kelerengan


Kemiringan
Transek Teknik KTA Jenis Tanaman
Lereng

Kemiri, Mahoni, Kayu


Kebun Campuran (V)
Jawa, Jagung, Kacang
>45% Teras Bangku (ST)
Tanah, Padi, Pisang
Wanatani (V)

Jati, Pinang, Gamal,


Coklat, Semak Belukar,
Kebun Campuran (V)
25-45% Kacang Tanah, Padi,
Teras Bangku (ST)
Gamal, Rumput Gajah,
Cengkeh

Coklat, Cengkeh, Pisang,


15-25%
Kacang Tanah, Padi, Pinus,
Kebun Campuran (V)
Waru, Mangga, Gamal,
Teras Bangku (ST)
Rumput Gajah

Kebun Campuran (V)


Jabon, Lantoro, Pisang,
8-15% Teras Bangku (ST)
Semak Belukar, Kelapa,
Wanatani (V)

27
Rumput Gajah, Gamal,
Kacang Tanah, Padi
Gamal, Kopi, Cengkeh,
Kebun Campuran (V) Jambu, Kacang Tanah,
0-8% Teras Bangku (ST) Padi, Pisang, Kelapa,
Tanaman Penutup Tanah (V) Rumput Gajah, Kacang
Panjang, Kedelai, Jagung

Ket :
: Kelapa : Gamal : Rumput Gajah : Cengkeh

: Pisang : Jati/Jabon : Pinus : Mahoni

: Jagung

Tabel diatas menunjukkan jenis tanaman yang ditemukan pada kelengan 0-


8%, 8-15%, 15-25%, 25-45% dan >45%. Pada tabel menunjukkan bahwa semakin
miring suatu lereng, maka ditemukan jenis tanaman berkayu. Terlihat pada
kelerengan 0-8% hanya ditemukan cengkeh, namun semakin curam ditemukan
jenis berkayu jati, jabon, kemiri, dan mahoni. Pemilihan tanaman berkayu sebagai
penahan erosi ini sesuai dengan yang diuraikan oleh (Hairiah dkk, 2007) yaitu peran
vegetasi dalam menciptakan jaringan akar yang dapat mengurangi jumlah partikel
tanah yang dibawa oleh air hujan. Jaringan akar tersebut lah yang akan menahan
partikel tanah pada kelerengan curam karena semakin curam suatu lereng, maka
semakin besar pula aliran permukaannya.

28
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa teknik


Konservasi Tanah dan Air (KTA) pada Wilayah Watan Soppeng dan Marioriwawo,
Daerah Aliran Sungai Lisu umumnya (80%) sesuai dengan kriteria penerapan
Konservasi Tanah dan Air, khususnya ditinjau dari aspek kemiringan lereng.
Teknik KTA yang diterapkan masyarakat yaitu teknik vegetatif, 56% dari total
responden berupa kebun campuran, tanaman penutup tanah, dan wanatani.
Sedangkan metode sipil teknis berupa teras bangku sebanyak 44%. Penerapan
teknik KTA yang sesuai dengan pedoman ditemukan pada semua kelas kelerengan,
sedangkan yang berkategori sesuai ditemukan pada kelerengan 0-8%, 15-25%, 25-
45%, dan >45%.

5.2 Saran

Teknik Konservasi Tanah dan Air yang terdapat di wilayah Watan Soppeng
dan Marioriwawo, Daerah Aliran Sungai Lisu hendaknya dipertahankan dalam
penerapannya. Masyarakat dinilai belum memahami fungsi dan kegunaan teknik
yang mereka terapkan karena mengacu kepada kebiasaan. Beberapa dari kebiasaan
yang dilakukan oleh warga tersebut dinilai kurang tepat, maka diperlukan upaya
memperbaiki teknik yang diterapkan melalui penyuluhan kepada masyarakat.

29
DAFTAR PUSTAKA

Anik, S.2007. Evaluasi Kekritisan Lahan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan
Mendesaknya Langkah-Langkah Konservasi Air. Undip, Semarang.

Abas, A.I. 2011. Peranan Konservasi Lahan Dalam Pengelolaan Perkebunan.


Balai Penelitian Tanah. Bogor.

Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.

Asdak, C. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.Gadjah Mada


University Press.Yogyakarta.
Burhanuddin dan Sudjiman H. 2012. Modul Mata Diklat Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai (DAS). Pusat Diklat Kehutanan. Bogor.

Dinata I.W.H.I, I Wayan T., dan I Ketut S,. 2013. Pemetaan Daerah Rawan
Bencana Longsor di Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Jurusan
Pendidikan Geografi FIS UNDIKSHA : Bali

Hairiah K, Rahayu S. 2007. Pengukuran ‘Karbon Tersimpan’ di Berbagai Macam


Penggunaan Lahan. Bogor. World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA
Regional Office, University of Brawijaya, Unibraw, Indonesia. 77 p.

Kementerian Kehutanan. 2013. Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelola


Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial Nomor: P.1/V-SET/2013
tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan
Lahan. Jakarta

Nandi. 2007. Longsor. Jurusan Pendidikan Geografi FPIPS-UPI. Bandung.


Nasiah dan Ichsan I. 2014. Identifikasi Daerah Rawan Bencana Longsor Lahan
Sebagai Upaya Penanggulangan Bencana di Kabupaten Sinjai.Jurusan
Geografi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Negeri Makassar Jurnal Sainsmat. Halaman 109-121 Vol. III, No. 2 ;
Makassar

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. 2012. PP Nomor 37 Tentang


Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Jakarta.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 22/PRT/M/2007 Tentang Penataan


Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor

30
Purwanti, R. 2007. Pendapatan Petani Dataran Tinggi sub DAS Malino. Jurnal
penelitian Sosial dan ekonomi kehutanan.Makasar

Priyono. 2002. Konservasi Tanah dan Mekanisasi Pertanian.Dalam makalah Teras :


Bebas banjir, 2003.
Republik Indonesia. 2014. Undang-undang No. 37 Tahun 2014 tentang Konservasi
Tanah dan Air. Jakarta
Sinukaban, N., 2003. Bahan Kuliah Teknologi Pengelolaan DAS. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Sudaryono. 2002. Pengaruh Pemberian Bahan Pengkondisi Tanah terhadap Sifat
Fisik dan Kimia Tanah pada Lahan Marginal Berpasir. Jurnal
Teknologi Lingkungan, Volume 2, Nomor 1, Januari 2001. Dit. P3TL,
BPPT, Jakarta

Sugiharyanto. 2009. Diktat Mata Kuliah Geografi Tanah (Pgf – 207). Jurusan
Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ekonomi Universitas
Negeri Yogyakarta.
Sukresna. 2007. Peran hutan dalam mengendalikan tanah longsor. Workshop peran
hutan dan kehutanan dalam meningkatkan daya dukung DAS. Surakarta.

Suntoro. 2008. Peran Agroforestry dalam Menanggulangi Banjir dan Longsor


DAS. Prosiding Seminar Indonesian Network of Agroforestry Education
(Inafe). Surakarta.

Suripin, 2004. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. ANDI. Yogyakarta


Syahrul Kurniawan, Didik Suprayogo, Zaenal Kusuma, Mohadi Nurhada. 2007.
Potensi pohon dalam meningkatkan kekuatan geser tanah di daerah aliran
sungai bango. Prosiding HITI IX Yogyakarta.

Triwanto, J. 2012. Konservasi Lahan Hutan dan Pengelolaan Daerah Aliran


Sungai. UMM Press. Malang.

Yuliarta. 2002. Teknologi Budidaya pada Sistem Usahatani Konservasi. Grafindo.


Jakarta.
Zubair dan Djoehartono., 2001. Model Pengendalian Sedimen untuk
Mempertahankan Kapasitas Waduk Bili-Bili, Sulawesi Selatan. Profiling
Wilayah DAS Jeneberang. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup
(PPLH)LINHAS. Makassar

31
Lampiran 1. Kuisioner
IDENTITAS RESPONDEN

1. Nomor Responden :
2. Latar Belakang Responden
a. Nama Responden :
b. Umur :
c. Jenis Kelamin : Laki-laki/perempuan
f. Suku Bangsa :
g. Pekerjaan
- Pokok :
- Sampingan :

1. Apakah anda mengetahui tentang teknik konservasi tanah?


2. Pernahkah anda mengikuti penyuluhan terkait konservasi tanah dan air ?
2. Dari mana anda mengetahuinya?
3. Teknik konservasi apa yang anda terapkan?
4. Apa alasan anda menerapkan teknik konservasi tersebut?
5. Manfaat apa yang anda peroleh dari penerapan teknik konservasi tanah yang
anda lakukan?
6. Apakah hambatan/kendala yang dihadapi dalam menerapkan teknik
konservasi tanah dan air?
7. Apakah ada himbauan/bantuan dari pemerintah yang kaitannya dengan
penerapan teknik konservasi tanah dan air?
8. Apakah dampak dari penerapan teknik konservasi tanah terhadap lingkungan
sekitar?

32
Lampiran 2. Pedoman Penilaian Teknik Konservasi Tanah dan Air

A. Metode Vegetatif

1. Pertanaman tanaman atau tumbuhan penutup tanah


Tanaman penutup tanah dikatakan Sesuai jika:
1) Mudah diperbanyak.
2) Mempunyai sistem perakaran yang tidak menimbulkan kompetisi
berat bagi tanaman pokok, tetapi mempunyai sifat pengikat tanah
tinggi.
3) Tumbuh cepat dan banyak menghasilkan daun.
4) Toleransi terhadap pemangkasan.
5) Resisten terhadap hama, penyakit dan kekeringan.
Contoh Tanaman Penutup Tanah :

Brachiaria decumbens Tephrosia candinda

Penutup Tanah Rendah Penutup Tanah Sedang

Bambusa sp

Penutup Tanah Tinggi

33
2. Pertanaman dalam strip
Pertanaman dalam strip dikatakan Sesuai jika mempunyai:
Kemiringan Lereng
Lebar Strip (m)
(%)

2–5 30

5–9 25

10 – 14 20

15 – 20 15

Pertanaman dalam strip

3. Pemanfaatan Mulsa
Pemanfaatan Mulsa dikatakan Sesuai jika :
1) Sisa-sisa tanaman yang digunakan adalah yang proses pelapukannya
berjalan tidak begitu cepat seperti batang jagung dan jerami padi.
2) Sisa-sisa tanaman dipotong-potong sepanjang 25 – 30 cm.
3) Selain sisa tumbuhan, bahan lain seperti plastik, batu dan pasir dapat
digunakan sebagai mulsa.
4) Dapat menutupi permukaan tanah.

Mulsa Jerami Mulsa Plastik

32
Mulsa Batu

4. Wanatani (agroforestry)
Acuan umum proporsi tanaman dalam usaha wanatani berdasarkan
kemiringan lereng dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Proporsi Tanaman Wanatani Berdasarkan Kemiringan Lereng


a. Pertanaman Sela
Pertanaman sela dikatakan Sesuai jika dilakukan dengan menanam
campur antara tanaman tahunan dengan tanaman semusim, dimana
tanaman semusim ditanam di antara lahan tanaman tahunan

Pertanaman Sela

33
b. Pertanaman Lorong
Pertanaman lorong dikatakan Sesuai apabila:
1) Tanaman pagar ditanam rapat mengikuti garis kontur.
2) Tanaman semusim berada di antara lorong-lorong tanaman pagar.
3) Diterapkan pada lahan kering dengan kelerengan 3 – 40 %.

Pertanaman Lorong
c. Talun Hutan Rakyat
Talun hutan rakyat dikatakan Sesuai apabila:
1) Lahan berada di luar wilayah pemukiman penduduk.
2) Berisi tanaman tahunan yang dapat diambil kayu maupun buahnya.
3) Tidak memerlukan perawatan intensif.
4) Kondisi lahan seperti hutan alami, jarak tanam tidak seragam dan jenis
tanaman beragam.

Talun Hutan Rakyat

34
d. Kebun Campuran
Syarat-syarat kebun campuran dikatakan Sesuai yaitu:
1) Lahan berada di luar wilayah pemukiman penduduk.
2) Berisi tanaman tahunan maupun musiman yang dapat diambil kayu, daun
maupun buahnya.
3) Terdiri dari beberapa strata (mendekati hutan alam)
4) Lebih banyak dirawat.

Kebun Campuran
e. Pekarangan
Suatu pekarangan dianggap Sesuai jika:
1) Lahan berada di sekitar rumah.
2) Berisi berbagai jenis tanaman Sesuai tanaman semusim maupun tanaman
tahunan.
3) Mempunyai manfaat tambahan bagi keluarga petani.

Pekarangan

35
f. Tanaman Pelindung
Tanaman pelindung dianggap Sesuai jika:
1) Dapat mengurangi intensitas penyinaran matahari dan melindungi
tanaman pokok dari bahaya erosi terutama ketika tanaman pokok
masih muda.
2) Tanaman tahunan ditanam di sela-sela tanaman pokok tahunan.

Tanaman Pelindung
g. Silvipastura
Silvipastura dikatakan Sesuai jika pada sela-sela tanaman tahunan
ditanam tanaman pakan ternak seperti rumput gajah (Pennisetum
purpureum), rumput raja (Penniseitum purpoides), dan lain-lain.

Silvipastura

36
h. Pagar Hidup
Syarat-syarat pagar hidup dikatakan Sesuai apabila:
1) Tanaman yang digunakan sebagai pagar adalah tanaman yang
mempunyai akar dalam dan kuat, menghasilkan nilai tambah bagi
petani Sesuai dari buah maupun dari kayu bakarnya.
2) Mampu melindungi lahan dari bahaya erosi Sesuai erosi air
maupun angin.

B. Metode Mekanik

1. Pengolahan tanah menurut kontur


Pengolahan tanah menurut kontur dikatakan Sesuai jika:
➢ Barisan tanaman diatur sejalan dengan garis kontur.
➢ Pembajakan dilakukan menurut kontur atau memotong lereng.

Pengolohan Tanah Menurut Kontur

2. Guludan dan Guludan Bersaluran


a. Guludan
Syarat-syarat guludan dianggap Sesuai yaitu mempunyai:
1) Tinggi tumpukan tanah: 25 – 30 cm
2) Lebar dasar: 30 – 40 cm
3) Kelerengan: 0 – 6 %
b. Guludan Bersaluran
Syarat-syarat guludan bersaluran dianggap Sesuai yaitu
mempunyai:
1) Tinggi tumpukan tanah: 25 – 30 cm
2) Lebar dasar: 30 – 40 cm

37
3) Kedalaman saluran: 25 – 40 cm
4) Lebar saluran: 30 cm
5) Kelerengan: 0 – 12 %

(a) Guludan (b) Guludan Bersaluran


3. Parit Penggelak
Parit pengelak dianggap Sesuai jika:
➢ Saluran dibuat dengan memotong arah lereng atau menurut kontur.
➢ Dibuat pada tanah yang berlereng panjang dan seragam yang
permeabilitasnya rendah.

Letak Saluran Penggelak


4. Teras Datar
a. Teras datar dianggap Sesuai jika:
➢ Dibuat pada lereng sekitar 2%.
➢ Dibuat pada tanah-tanah yang permeabilitasnya cukup besar.

Teras Datar

38
b. Teras Bangku

Kecuraman
5% 10% 15% 20% 25% 30% 35%
Lereng

Lebar areal yang


18,50 8,50 5,17 3,50 2,50 1,83 1,36
dapat ditanami (m)

Lebar teras (m) 20,00 10,00 6,67 5,00 4,00 3,33 2,86

Syarat – syarat teras bangku dianggap Sesuai yaitu :

Teras bangku yang Sesuai juga harus mempunyai:


➢ Tanaman penguat teras
➢ Saluran teras atau saluran pembuangan air
➢ Tinggi maksimum teras 1,5 + 0,3 m bibir teras

Macam – macam bentuk teras bangku

5. Bangunan Stabilitas
a. Balong
Balong dianggap Sesuai jika:
➢ Dibuat di daerah perbukitan dengan kemiringan lahan < 30%.
➢ Tekstur tanah liat, liat berlempung, dan lempung liat berdebu.

39
Balong
b. Rorak
Rorak Syarat-syarat rorak dianggap Sesuai yaitu:
1) Mempunyai ukuran:
• Kedalaman: 60 cm
• Lebar: 50 cm
• Panjang: 1 – 5 meter
2) Jarak antar rorak sama dengan panjang rorak.
3) Penenpatan rorak dilakukan secara berselang-seling.

Rorak
c. Dam Penghambat
Dam penghambat dianggap Sesuai jika:
➢ Dibuat melintang pada parit atau selokan.
➢ Parit tersebut seSesuainya memiliki tanaman penguat pada
tepinya.
➢ Dibuat dengan memasang papan, balok kayu, bata, atau tumpukan
tanah. Dapat juga digunakan tumpukan cabang dan ranting.

Dam Penghambat

40
6. Drainase

Syarat-syarat drainase dikatakan Sesuai yaitu:


➢ Dibuat searah lereng atau berdasarkan cekungan alami.
➢ Memiliki tanaman penguat pada tepi saluran. Saluran drainase
juga perlu dilapisi batu atau beton pada lahan yang terjal.
➢ Dibuat dengan tujuan utama membuang air lebih di atas
permukaan tanah.
7. Irigasi
Suatu irigasi dianggap Sesuai apabila mampu memberikan tambahan air
pada tanaman untuk pertumbuhan yang optimum.

Irigasi

41
Lampiran 3. Peta Titik Pengamatan Teknik Konservasi Tanah dan Air pada Wilayah Watan Soppeng dan Marioriwawo,
Daerah Aliran Sungai Lisu

42
Lampiran 4. Peta Kemiringan Lereng pada Wilayah Watan Soppeng dan Marioriwawo

43
Lampiran 5. Penilaian Teknik Konservasi Tanah dan Air Secara Vegetatif dalam Bentuk Kebun Campuran

Lahan berada di luar Jenis Tanaman Tahunan Maupun Jumlah


Nama
No Wilayah wilayah pemukiman Musiman yang Dapat Dimanfaatkan Kelerengan Strata Ket.
Responden
penduduk Kayu, Buah, Maupun Daunnya Tajuk
Watan ✓ Kemiri, Mahoni, Kayu Jawa, Pisang,
1 Nasir > 45 % 4 Sesuai
Soppeng Jagung
Immang/ Watan ✓ Coklat, Cengkeh, Pisang, Kacang
2 15-25 % 4 Sesuai
Firman Soppeng Tanah
Watan ✓ Mahoni, Gamal, Kopi, Cengkeh,
3 Rullah 8-15 % 4 Sesuai
Soppeng Rumput Gajah
Watan ✓ Gamal, Jambu, Kopi, Cengkeh,
4 Ambo’ 25-45% 4 Sesuai
Soppeng Mahoni
Mario ✓ Pinus, Mangga, Waru, Cengkeh,
5 Pudding 15-25 % 4 Sesuai
riwawo Pisang
Mario ✓ Tidak
6 Mahdi Gamal, Jagung 0-8 % 2
riwawo Sesuai
Mario ✓ Mahoni, Gamal, Kopi, Cengkeh,
7 H. Ridho 15-25 % 4 Sesuai
riwawo Rumput Gajah
Mario ✓ Jati, Pinang, Gamal, Coklat, Semak
8 Pandi 25-45 % 4 Sesuai
riwawo Belukar

44
Lampiran 6. Penilaian Teknik Konservasi Tanah dan Air Secara Mekanik dalam Bentuk Teras Bangku

Nama Stasiun Saluran Teras Tinggi Maksimum Teras


No Penguat Teras Kelerengan Ket.
Responden Penakar /Pembuangan air 1,5 m + 0,3m bibir teras
Tinggi teras = 0,1 m
Watan Tidak
1 Nasir - - Bibir teras = 0 m 25-45 %
Soppeng Sesuai
Lebar teras = 7 m
Tinggi teras = 0,7 m
Watan Tidak
2 Lukman - - Bibir teras = 0 m 25-45 %
Soppeng Sesuai
Lebar teras = 1,5 m
Tinggi teras = 0,1 m
Watan Tidak
3 Firman - - Bibir teras = 0 m 15-25 %
Soppeng Sesuai
Lebar teras = 8 m
Tinggi teras = 0,44 m
Watan Rumput + Kacang
4 Nase’ Ada Bibir teras = 0,3 m 0-8 % Sesuai
Soppeng Panjang
Lebar teras = 2 m
Tinggi teras = 0,7 m
Watan
5 Nelo’ Rumput + Batu Ada Bibir teras = 0,23 m 25-45 % Sesuai
Soppeng
Lebar teras = 0,9 m
Tinggi teras = 1 m
Watan
6 Samsul Rumput + Batu Ada Bibir teras = 0,31 m > 45 % Sesuai
Soppeng
Lebar teras = 0,9 m
Tinggi teras = 0,47 m
Watan
7 Hendra Rumput Ada Bibir teras = 0,2 m 8-15 % Sesuai
Soppeng
Lebar teras = 2,1 m
Tinggi teras = 0,44 m
Mario
8 Ida Rumput + Batu Ada Bibir teras = 0,26 m 0-8 % Sesuai
riwawo
Lebar teras = 3,2 m

45
Nama Stasiun Saluran Teras Tinggi Maksimum Teras
No Penguat Teras Kelerengan Ket.
Responden Penakar /Pembuangan air 1,5 m + 0,3m bibir teras
Tinggi teras = 0,32 m
Mario
9 Samsir Rumput Ada Bibir teras = 0,24 m 0-8 % Sesuai
riwawo Lebar teras = 4 m
Tinggi teras = 0,7 m
Mario
10 Mise’ - Ada Bibir teras = 0,2 m 15-25 % Sesuai
riwawo
Lebar teras = 1,1 m
Tinggi teras = 0,8 m
Mario Tidak
11 H. Kipli - - Bibir teras = 0 m >45%
riwawo Sesuai
Lebar teras = 2 m
Tinggi teras = 0,26 m
Mario Rumput + Pisang
12 Agus Ada Bibir teras = 0,22 m 0-8 % Sesuai
riwawo + Kelapa
Lebar teras = 2,5 m
Tinggi teras = 1,1 m
Mario
13 Agus Rumput Ada Bibir teras = 0,32 m >45 % Sesuai
riwawo
Lebar teras = 1,3 m
Tinggi teras = 0,32 m
Mario Rumput + Batu +
14 Sudirman Ada Bibir teras = 0,22 m 0-8 % Sesuai
riwawo Semak
Lebar teras = 2,7 m
Tinggi teras = 0,63 m
Mario Rumput + Batu +
15 Damming Ada Bibir teras = 0,32 m 8-15 % Sesuai
riwawo Semak
Lebar teras = 1,6 m

46
Lampiran 7. Penilaian Teknik Konservasi Tanah dan Air Secara Vegetatif dalam Bentuk Wanatani (Agroforestry)

Nama Tanaman Tanaman Alasan


No Stasiun Penakar Kelerengan Keterangan
responden Tahunan Musiman Penerapan
Ekonomi
1 Muis Watan Soppeng Jati Cabai >45 % Sesuai dan
Ekologi
Ekonomi
2 Rahmat Watan Soppeng Jabon Pisang 8-15 % Sesuai dan
Ekologi

47
Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian Penerapan Teknik

1. Pengukuran tinggi teras bangku

2. Mengiventarisasi kebun campuran

48
3. Kegiatan wawancara

4. Mengukur kelerengan

49

Anda mungkin juga menyukai