Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

SLE (Systemic Lupus Erythematosus)

A. Defenisi
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit hasil dari regulasi
sistem imun yang terganggu, yang menyebabkan autoantibodi diproduksi
berlebihan, yang pada kondisi normal di produksi dan digunakan untuk
melindungi tubuh dari benda asing (virus, bakteri, alergen, dan lain - lain)
namun pada kondisi ini antibodi tersebut kehilangan kemampuan untuk
membedakan antara benda asing dan jaringan tubuh sendiri (Ress, 2017).
Menurut Arnaud (2018) Systemic Lupus Erythematosus merupakan
penyakit autoimun yang bukan disebabkan oleh virus, kuman atau bakteri.
Faktor hormon, lingkungan dan genetik adalah sebagai pemicu penyakit lupus.
Keterbatasan fisik yang mudah lelah, sensitif terhadap perubahan suhu,
kekakuan sendi, nyeri tulang belakang dan pembuluh darah yang mudah pecah
sering dialami oleh penderita lupus. Penderita dapat mengalami rasa letih yang
berlebihan, penampilan fisik yang berubah karena efek dan pengobatan yang
bisa menyebabkan kebotakan, muncul ruam pada wajah dan pembengkakan
pada kaki.

B. Etiologi
Menurut (Gordon, 2016) penyebab Systemic Lupus Erythematosus dibagi
menjadi 2 faktor, yaitu :
a. Faktor Genetik
Jumlah, usia, dan usia anggota keluarga yang menderita penyakit
autoimun menentukan frekuensi autoimun pada keluarga tersebut.
Pengaruh riwayat keluarga terhadap terjadinya penyakit ini pada individu
tergolong rendah, yaitu 3-18%. Faktor genetik dapat mempengaruhi
keparahan penyakit dan hubungan familial ini ditemukan lebih besar pada
kelaurga dengan kondisi sosial ekonomi yang tinggi.
b. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya Systemic
Lupus Erythematosus antara lain:
1) Hormon
Hormon estrogen dapat merangsang sistem imun tubuh dan penyakit
ini sering terjadi pada perempuan terutama saat usia reproduktif
dimana terdapat kadar estrogen yang tinggi.
2) Obat-obatan
Beberapa obat dapat menyebabkan terjadinya gangguan sistem imun
melalui mekanisme molecular mimicry, yaitu molekul obat memiliki
struktur yang sama dengan molekul di dalam tubuh sehingga
menyebabkan gangguan toleransi imun.
3) Infeksi
Infeksi dapat memicu respon imun dan pelepasan isi sel yang rusak
akibat infeksi dan dapat meningkatkan respon imun sehingga
menyebabkan penyakit autoimun.
4) Paparan sinar ultraviolet
Adanya paparan sinar ultraviolet dapat menyebabkan kerusakan dan
kematian sel kulit serta berkaitan dengan fotosensitivitas pada
penderita.

C. Epidemiologi
Prevalensi LES secara global diperkirakan sebesar 15-150 per 100.000
penduduk, sementara insidens LES adalah 1-15 per 100.000 penduduk per
tahun. Angka tersebut bervariasi berdasarkan ras dan etnis, namun prevalensi
tertinggi ditemukan pada Amerika Utara dan terendah pada Australia Utara
(Kasjmir, 2011). Insiden (0,9- 3,1) dan prevalensi (4,3-45,3) di Asia-Pasifik
relatif sedang bila dibandingkan dengan data global. Data di Indonesia sendiri
belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan data tahun 2002 di RSUP
Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan 1,4% kasus LES dari total
kunjungan, sementara pada tahun 2010 di RS Hasan Sadikin Bandung LES
berkontribusi pada 10,5% total pasien yang berkunjung ke poliklinik
reumatologi. Terdapat predileksi terhadap jenis kelamin perempuan usia
subur, dengan rasio perempuan terhadap laki-laki mencapai 9:1. Perbedaan
berdasarkan jenis kelamin tersebut jauh lebih kecil pada usia 60 tahun. Puncak
insiden pada 15-40 tahun, khususnya 30-39 tahun pada wanita dan 50-59
tahun pada pria. Agregasi familial ditemukan pada 10% kasus dan LES
seringkali berhubungan dengan penyakit autoimun lain (Arnaud, 2018).

D. Patofisiologi
Menurut Fauci (2005) patogenesis Systemic Lupus Erythematosus bersifat
multifaktorial yang merupakan interaksi dari faktor genetik, faktor lingkungan
dan faktor hormonal yang menghasilkan respon imun yang abnormal. Pada
pasien ini cenderung terjadi gangguan sistem imun. Abnormalitas pada sel T
meliputirespon abnormal pada autoantigen, gangguan toleransi sistem imun
dan gangguan transduksi signal pada T cell receptor. Gangguan pada fungsi
sel B berupa terbentuknya autoantibodi dan modulasi sel T untuk mensekresi
sitokin. Autoantibodi yang paling penting antara lain anti-dsDNA, anti-Ro,
anti-Sm, antibodi antifosfolipid dan antibodi antinuklear. Pada pasien
Systemic Lupus Erythematosus juga terjadi peningkatan produksi sitokin
proinflamasi, antara lain Interleukin- 2 (IL-2), Interferon gamma (IFN-γ),
Interferon alpha (IFN-α), Interleukin-4 (IL-4), Interleukin-6 (IL-6),
Interleukin-10 (IL-10), Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α), dan
Transforming Growth Factor Beta (TGF-β) dimana semua sitokin
proinflamasi ini semua disekresi oleh sel T Helper-1 (TH1). Pada pasien
Systemic Lupus Erythematosus juga terjadi gangguan aktivitas fagositosis,
gangguan fiksasi komplemen, peningkatan apoptosis yang dapat
mengakibatkan terjadinya inflamasi jaringan dan kerusakan organ. Pada orang
yang sehat, kompleks imun dibersihkan oleh Fragmen crystallizable (Fc) dan
Complement Receptor (CR). Kegagalan pembersihan kompleks imun
menyebabkan deposisi. Kerusakan jaringan dimulai dengan adanya sel
inflamasi, intermediet oksigen reaktif, produksi sitokin proinflamasi dan
modulasi kaskade koagulasi (Maidhof, 2012).
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis menurut (Gordon, 2016). sebagai berikut:
Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam dan seringkali pada
keadaan awal tidak dikenali sebagai Systemic Lupus Erythematosus. Hal ini
dapat terjadi karena manifestasi klinis penyakit ini seringkali tidak terjadi
secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa lama mengeluhkan
nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian
diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti fotosensitivitas dan sebagainya
yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria penyakit ini.
a. Manifestasi Konstitusional
Pada kelainan autoimun yang bersifat sistemik biasanya dijumpai
kelainan konstitusional seperti cepat lelah, nafsu makan menurun, demam
dan menurunnya berat badan. Hal ini merupakan gejala awal atau bahkan
merupakan komplikasi dari penyakitnya. Kelelahan merupakan keluhan
yang umum dijumpai pada penderita dan biasanya mendahului berbagai
manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak sulit dinilai karena banyak
kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti adanya anemia,
meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan serta pemakaian obat seperti
prednison. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respon terhadap
pemberian steroid atau latihan (Barbhaiya, 2014).
Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita Systemic
Lupus Erythematosus dan terjadi dalam beberapa bulan sebelum diagnosis
ditegakkan. Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit
dibedakan dari sebab lain seperti infeksi karena suhu tubuh dapat lebih
dari 400C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis. Demam
akibat penyakit ini biasanya tidak disertai menggigil. Gejala-gejala lain
yang sering dijumpai pada penderita dapat terjadi sebelum ataupun seiring
dengan aktivitas penyakitnya seperti rambut rontok, hilangnya nafsu
makan, bengkak, sakit kepala, mual dan muntah (Barrangan, 2012).
b. Manifestasi pada kulit
Manifestasi pada kulit merupakan yang paling umum pada
kelainan Systemic Lupus Erythematosus, kejadiannya berkisar antara 80-
90% dari kasus. Dari kriteria diagnosis terdapat empat diantaranya
merupakan kelainan pada kulit seperti fotosensitivitas, ruam malar, lesi
diskoid serta lesi mukokutan (lesi pada mulut). Kelainan pada kulit dapat
dibagi menjadi kelainan yang bersifat spesifik dan non spesifik, sedangkan
spesifik lesi dibagi menjadi tiga bagian yang pertama kelainan yang
bersifat akut, kedua kelainan yang bersifat sub-akut dan terakhir skelainan
yang bersifat kronik (Jara, 2017).
Ruam “kupu-kupu” atau malar klasik sering menjadi gejala awal
lupus dan terjadi kekambuhan setelah pajanan matahari. Eritema yang
menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan cenderung tidak
melibatkan lipat nasolabial. Pada kelainan yang bersifat akut timbul rash
atau ruam setelah terpapar sinar matahari dan rash akan berkurang sampai
menghilang setelah paparan sinar matahari dihindari. Kelainan kulit yang
paling ringan berupa fotosensitivitas dimana dapat dirasakan pada kulit
yang terpapar sinar matahari secara langsung dirasakan oleh penderita
sendiri seperti rasa “terbakar” (Jara, 2017).
Pada lesi yang bersifat sub akut atau sering dikenal juga dengan
istilah SCLE (Sub acute Cutaneous Lupus Erythematosus) biasanya lesi
bersifat simetrik, superfisial dan tidak mengalami jaringan parut dan
umumnya yang terkena pada daerah bahu, bagian ekstensor ektremitas atas
(lengan bawah), leher, dada sebelah atas dan punggung belakang. Lesi ini
umumnya bentuknya kecil, kemerahan dan berbentuk papula atau plak
yang sedikit menebal kadang-kadang berbentuk papula squamosa atau
bentuk cincin polisiklik dan menjadi besar berkelompok dengan
hiperpigmentasi. Hal yang membedakan antara lesi sub akut dan kronik
pada lesi sub akut tidak terjadi jaringan parut (scarring) (Thong, 2016).
Pada lesi yang bersifat kronik lesinya mempunyai ciri-ciri khusus
yaitu, plak yang sering kali berwarna kemerahan, seolah-olah kulit
menebal dan disertai dilatasi folikel rambut. Kelainan pada kulit yang
kronik ini umumnya terjadi di daerah yang terpapar dengan sinar matahari
secara langsung seperti pada muka, leher, kulit kepala dan belakang
telinga dan punggung atas (Thong, 2016).
c. Manifestasi pada muskuloskeletal
Terlibatnya sendi baik atralgia atau artritis, keduanya sering timbul
pada awal penyakit dan merupakan gejala klinik yang tersering pada
penderita dengan Systemic Lupus Erythematosus aktif. Artritis sendi pada
penderita umumnya poli artritis mirip dengan artritis reumatoid yang mana
daerah yang sering terkena pada sendi-sendi kecil pada tangan dan lutut.
Sendi yang terkena dapat mengalami pembengkakan atau sinovitis. Artritis
pada penyakit ini walaupun sudah berlangsung cukup lama tidak
mengalami erosi dan destruksi sendi. Seringkali pada penderita Systemic
Lupus Erythematosus berat yang mengenai sendi tangan dikenal sebagai
Jaccoud artropati dengan gambaran kliniknya mirip dengan artritis
reumatoid seperti adanya swan neck-deformity, hal ini terjadi bukan karena
kerusakan sendi tetapi karena peradangan pada kapsul sendi dan tendon
serta liga men sendi yang mengalami kekenduran jaringan ikat sendi
(laxity) akibatnya kedudukan sendi menjadi tidak stabil, bila prosesnya
masih awal dapat pulih kembali bila penyakit ini mendapat pengobatan
yang adekuat, sedangkan bila terlambat pengobatannya seringkali sudah
terjadi fibrosis maka akan menimbulkan kecacatan yang menetap (Khun,
2015).
Rasa sakit pada otot pada penderita ini dikenal sebagai mialgia bila
pada pemeriksaan enzim creatine phosphokinase dalam batas normal,
sedangkan miositis bila terjadi kenaikan enzim, hal ini seringkali sulit
dibedakan dengan kelainan otot karena fibromialgia yang disebabkan
karena depresi, yang mana perlu kita ketahui seringkali penderita juga
menderita kelainan itu pada 22% kasus. Pada fibromialgia kelainan nyeri
pada daerah-daerah tertentu yang bersifat simetrik (Khun, 2015).
d. Manifestasi pada ginjal
Nefritis lupus atau komplikasi pada ginjal merupakan salah satu
komplikasi yang serius pada penderita Systemic Lupus Erythematosus
sebab akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas penderita. Pada saat
ini harapan hidup selama 15 tahun penderita Systemic Lupus
Erythematosus dengan nefritis berkisar 80%, sedangkan di tahun 60an
harapan hidupnya selama 5 tahun hanya 50%, walaupun kita sudah
mengalami kemajuan yang berarti dalam memberikan terapi akan tetapi
insidensi terjadinya progresifitas gagal ginjal masih cukup tinggi hal ini
karena seringkali kita mengalami kesulitan mengidentifikasi penderita
Systemic Lupus Erythematosus yang mengenai ginjal secara klinik, karena
seringkali komplikasi nefritis lupus terjadi secara diam-diam dan gejala
dini sering tidak terdeteksi. Hal paling mencolok keterlibatan ginjal pada
penderita yakni berupa adanya protein uria atau silinder eritrosit atau
granular pada pemeriksaan sedimen urin, bahkan pada keadaan yang lebih
ringan dijumpai hematuri-piuria tanpa gejala, sedangkan pada keadaan
yang lanjut dapat terjadi kenaikan serum ureum-kreatinin dan hipertensi
(Rudijanto,2015).
e. Manifestasi pada neuro psikiatrik
Diagnosis neuro-psikiatrik pada Systemic Lupus Erythematosus
tidaklah mudah komite adhoc The American Collage of Rheumatology
menyatakan sindrom ini meliputi 50% langsung berhubungan dengan
penyakitnya sedangkan sisanya berhubungan atau memiliki asosiasi
dengan penyakit ini. Manifestasi yang tersering ialah sakit kepala,
gangguan psikiatrik dan gangguan kognitif. Sindrom ini bisa berdiri
sendiri atau bersamaan dengan manifestasi neuro psikiatrik yang lain
(Dala, 2010).
Kelainan neurologik pada Systemic Lupus Erythematosu dibagi
menjadi 2 bagian, pertama kelainan pada susunan saraf pusat, kedua
kelainan pada susunan saraf perifer. Kelainan pada susunan saraf pusat
dapat berupa nyeri kepala yang tidak mau hilang-hilang dan tidak
responsif dengan analgesia narkotik, kejang-kejang fokal atau general,
biasanya berhubungan dengan penyakitnya yang dalam keadaan aktif,
gejala yang lain yang jarang misalnya cerebrovaskular accident, meningitis
dan aseptik. Sedangkan, kelainan pada susunan saraf perifer terutama
terlibatnya saraf kranial baik motorik atau sensorik pada mata dan nervus
trigeminal misalnya pasien dengan keluhan gangguan penglihatan, buta,
oedema papil, nisgtagmus, hilang pendengaran, vertigo atau facial palsy
serta paralisis mirip dengan sindrom guilain-barre atau miastenia garvis.
Adapun gangguan psikiatrik pada penderita dapat berupa perubahan
prilaku, psikosis, insomnia, delirum dan depresi (Khun, 2015).
f. Manifestasi pada gastrointestinal
Komplikasi gastrointestinal bisa berupa kelainan pada esofagus,
vaskulitis mesenterika, radang pada usus, pankreatitis, hepatitis dan
peritonitis. Kelainan disfagia termasuk komplikasi yang jarang. Kelainan
yang sering didapat berupa nyeri abdomen karena vaskulitis dari
pembuluh darah usus, begitu pula lupus enteritis yang melibatkan
pembuluh darah mesenterika yang berupa vaskulitis atau trombosis.
Diagnosis ditegakkan pada pemeriksaan arteriografi akan didapatkan
kelainan berupa vaskulitis, sehingga selain keluhan nyeri abdomen juga
dapat berupa perdarahan prerektum baik pada usus besar maupun usus
halus dan bila ini terjadi diperlukan investigasi yang lebih seksama untuk
mencegah terjadinya perforasi (Apricio, 2017).
g. Manifestasi pada hepar
Manifestasi pada hati relatif lebih sering terjadi dibandingkan pada
gastrointestinal, manifestasi pada hati berupa hepatitis kronik aktif,
hepatitis granulomatosa, hepatitis kronik persisten dan steatosis. Biasanya
diperlihatkan dengan meningkatnya enzim hati seperti Serum Glutamic
OxaloaceticTransaminase (SGOT), Serum Glutamic Pyruvic
Transaminase (SGPT) dan alkali-fosfatase. Keterlibatan hati ini
dihubungkan dengan anti fosfolipid antibodi yang menyebabkan trombosis
arteri atau vena hepatika yang akhirnya menyebabkan infark, untuk
membedakan kelainan hati karena Systemic Lupus Erythematosus atau
kelainan autoimun yang lain tidaklah mudah ataupun keduanya sangat
sulit, biopsi hati dan adanya antibodi anti P ribosom mungkin akan terlihat
pada hepatitis karena autoimun dibandingkan dengan hepatitis karena
Systemic Lupus Erythematosus (Arnaud, 2018).
h. Manifestasi pada hematologi
Sitopenia termasuk di dalamnya anemia, trombositopenia,
limfofenia, leukopenia sering terjadi pada penderita Systemic Lupus
Erythematosus. Anemia pada pasien dengan Systemic Lupus
Erythematosus bervariasi antara anemia penyakit kronik, anemia
hemolitik, kehilangan darah, insufiensi ginjal, infeksi dan mielo displasia
dan anemia aplastik. Terjadinya anemia pada penderita ini sering
disebabkan supresi eritropoesis karena inflamasi yang kronik. Sangat
mungkin terdapat anemia karena proses autoimun, anemia yang didapat
berupa anemia penyakit kronik, defisiensi besi dan diikuti anemia
hemolitik autoimun (Klack, 2012).
Leukopenia yang mana leukosit < 1.500/ul) terjadi kurang lebih
20% dari kasus. Pada penderita dengan leukopeni produksi sumsum tulang
umumnya normal, jadi terjadi neutropeni pada penderita dengan Systemic
Lupus Erythematosus yang aktif karena pemakaian imunosupresif atau
adanya autoantibodi yang menghambat Granulosit Growth Coloning
Forming Unit di sumsum tulang. Trombositopenia (trombosit trombosit
yang beredar di darah di samping itu dapat juga karena supresi produksi
trombosit di sumsum tulang (Klack, 2012).
i. Manifestasi pada paru
Pleuritis merupakan manifestasi Systemic Lupus Erythematosus
yang tersering pada paru dari beberapa studi dikatakan berkisar antara 41-
56%. Keluhannya berupa nyeri dada baik unilateral atau bilateral biasanya
pada pinggir kostoprenikus baik anterior atau posterior, seringkali diikuti
dengan batuk, sesak napas dan demam serta umumnya akan berkembang
menjadi suatu efusi pleura (Minkin, 2014).
Manifestasi Systemic Lupus Erythematosus pada paru sangat
bervariasi dari pleuritis lupus, pneumonitis, perdarahan paru, emboli paru
dan hipertensi pulmonal. Manifestasi pada pleura berkisar antara 30 - 60%
dari kasus, keluhan awal berupa nyeri pleuritik atau nyeri dada tanpa
kelainan radiologik yang nyata, pada keadaan berat dapat ditemukan suatu
efusi pleura yang jelas baik dari pemeriksaan fisik atau rongen foto dada.
Bila adanya efusi pleura sebaiknya dilakukan torakosentesis untuk
menyingkirkan sebab lain seperti infeksi. Pada pemeriksaan efusi pleura
akan ditemukan eksudat dengan kadar glukosa yang tinggi, laktat
dehidrogenasi yang rendah dan antibodi terhadap antibodi anti nuclear
(ANA) dan antibodi double stranded DNA (ds DNA) sering positif. Pada
pneumonitis Systemic Lupus Erythematosus keadaan umumnya lebih
berat yang mana keluhan sistemik pada organ lain juga nyata misalnya
pasien mengeluh demam tinggi, sesak, batuk, nyeri dada dan hemoptisis
(Minkin, 2014).
j. Manifestasi pada kardiovaskular
Manifestasi Systemic Lupus Erythematosus pada kardiovaskular
atau jantung dapat mengenai perikardium, miokardium, sistem kelistrikan
jantung, katup jantung dan pembuluh darahnya. Manisfetasi yang paling
sering berupa perikarditis baik penebalan atau efusi dengan prevalensinya
16-61% kasus dengan pemeriksaan ekokardiografi dapat terlihat dengan
mudah biasanya jumlah cairan yang minimal ataupun dalam jumlah yang
cukup banyak, bila cairan banyak ditakutkan akan terjadi cardiac
tamponade sehingga diperlukan pemberian steroid dosis tinggi diikuti
dengan perikardial sentesis, walaupun begitu bila kita mendapatkan cairan
hasil perikardial sentesis dan harus dipikirkan juga apakah karena sebab
lain seperti tuberkulosa, kuman banal atau infeksi jamur (Khun, 2015).

F. Diagnosis
Diagnosis LES dilakukan berdasarkan kombinasi dari manifestasi klinis,
temuan laboratory, serologi dan histologi pada organ yang terkena oleh
dampal LES (biasanya pada kulit dan ginjal). (Arnaud, 2018).
Gambar 1 Alur diagnosis dan penanganan LES

Terdapat beberapa petunjuk dasar dalam menegakkan diagnosis LES,


salah satunya ialah dari Systemic Lupus International Collaborating Clinic
Criteria (SLICC) 2012.berikut adalah kriteria dari SLICC;
Berdasarkan kriteria dari SLICC, seorang pasien dapat dikatakan
memenuhi kriteria sebagai penderita LES bila terdapat paling sedikit 4 tanda
dari kriteria tersebut (dengan minimal 1 kriteria dari masing-masing kategori
(Arnaud, 2018).
Tabel 1 Kriteria SLICC untuk Klasifikasi LES

G. Pemeriksaan Penunjang.
Pemeriksaan Penunjang menurut Arnaud (2018).
a. Pemeriksaan Darah :
1) Leukopenia/limfopeni
2) Anemia
3) Trombositopenia
4) Laju Endap Darah (LED) meningkat
b. Imunologi :
1) Antibodi Anti Nuclear (ANA)
2) Antibodi Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) untai ganda (dsDNA)
meningkat
3) Tes C-reactive Protein (CRP) positif
c. Fungsi Ginjal :
1) Kreatinin serum meningkat
2) Penurunan Gromerular Filtration Rate (GFR)
3) Protein uri (>0,5 gram per 24 jam)
4) Ditemukan sel darah merah dan atau sedimen granular
d. Kelainan pembekuan yang berhubungan dengan antikoagulasi lupus :
Activated Partial Thromboplastin Time (APPT) memanjang yang tidak
memperbaiki pada pemberian plasma normal
e. Tes Vital :
Adanya Imunoglobulin (Ig M) pada persambungan dermoepidermal pada
kulit yang terlibat dan yang tidak terlibat.

H. Tatalaksana
Menurut Hockenberry dalam Apricio (2017) Systemic Lupus
Erythematosus adalah penyakit seumur hidup, karenanya pemantauan harus
dilakukan selamanya. Tujuan pengobatan pada penderita adalah mengontrol
manifestasi penyakit, sehingga anak dapat memiliki kualitas hidup yang baik
tanpa eksaserbasi berat, sekaligus mencegah kerusakan organ serius yang
dapat menyebabkan kematian. Tatalaksana primer meliputi:
a. Mengurangi inflamasi dan meminimalisir komplikasi. Adapun obatobatan
yang dibutuhkan seperti:
1) Antiinflamasi non steroid (NSAIDs), untuk mengobati simptomatik
artralgia nyeri sendi.
2) Antimalaria, diberikan untuk penderita. Pemakaian jangka panjang
memerlukan evaluasi retina setiap 6 bulan
3) Obat imunosupresan/sitostatika, imunosupresan diberikan pada
Systemic Lupus Erythematosus dengan keterlibatan sistem saraf pusat,
nefritis difus dan membranosa, anemia hemolitik akut dan kasus yang
resisten terhadap pemberian kortikosteroid.
4) Obat antihipertensi, cara mengatasi hipertensi pada nefritis lupus
dengan agresif
5) Kalsium, semua pasien Systemic Lupus Erythematosus yang
mengalami artritis serta mendapat terapi prednison berisiko untuk
mengalami mosteopenia, karenanya memerlukan suplementasi
kalsium.
6) Kortikosteroid, dosis rendah untuk mengatasi gejala klinis seperti
demam, dermatitis, efusi pleura. Kortikosteroid diberikan selama 4
minggu minimal sebelum dilakukan penyapihan, dosis tinggi untuk
mengatasi krisis lupus, gejala nefritis, sistem saraf pusat dan anemia
hemolitik.
b. Dialisis atau transplantasi ginjal
Pasien dengan stadium akhir lupus nefropati, dapat dilakukan dialisis atau
transplantasi ginjal
c. Penatalaksanaan infeksi
Pengobatan segera bila ada infeksi terutama infeksi bakteri. Setiap
kelainan urin harus dipikirkan kemungkinan pielonefritis.

I. Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi yang dapat dialami oleh pasien
LES.Komplikasi dapat disebabkan oleh penyakit LES itu sendiri maupun dari
terapinya.Salah satu organ yang seringkali mengalami koplikasi dari LES
adalah organ hati. Komplikasi organ hati pada pasien LES antara lain adalah
Hepatitis Lupus, Penyakit hati autoimmune, Sirosis Bilier Primer, dan
Cholangitis Sclerosing Primer, Hepatitis akibat virus, steatohepatitis, fatty
liver dan kerusakan hati akibat obat (Shizuma, 2018). Selain penyakit pada
hati, terdapat pula gangguan sistemik yang merupakan komplikasi dari LES.
Komplikasi sistemik tersebut antara lain adalah Systemic Vasculitides,
Penyakit Antibody Antibasement Membrane, obat-obatan yang menyebabkan
vasculitis, Sindrom Antifosfolipid, Koagulopati, Trombositopenia dan dalam
kasus yang lebih jarang menyebabkan infeksi virus yang berat (Schawrz,
2018)

Efusi Pericardium

A. Defenisi
Efusi perikardium adalah penumpukan cairan abnormal dalam ruang
perikardium.Ini dapat disebabkan oleh berbagai kelainan sistemik, lokal atau
idiopatik.Cairan tersebut dapat berupa transudat, eksudat, pioperikardium,
atau hemoperikardium. Efusi perikardium bisa akut atau kronis, dan lamanya
perkembangan memiliki pengaruh besar terhadap gejala-gejala pasien. Efusi
perikardium merupakan hasil perjalanan klinis dari suatu penyakit yang
disebabkan oleh infeksi, keganasan maupun trauma.Gejala yang timbul dari
keadaan efusi perikardium tidak spesifik dan berkaitan dengan penyakit yang
mendasari terjadinya efusi pericardium (Alexander, 2017).
Perikardium terdiri dari 2 lapisan yaitu lapisan dalam atau lapisan serosa
dan lapisan luar atau fibrosa.Bentuk lapisan fibrosa perikardium seperti botol
dan berdekatan dengan diafragma, sternum dan kartílago kosta.Lapisan serosa
lebih tipis dan berdekatan dengan permukaan jantung.Perikardium berfungsi
sebagai barier proteksi dari infeksi atau inflamasi organ-organ sekitarnya.
Jumlah normal cairan perikardium 15-50 ml, disekresi oleh sel
mesotelial.Akumulasi abnormal cairan dalam ruangan perikardium dapat
menimbulkan efusi perikardium.Selanjutnya akumulasi tersebut dapat
menyebabkan peningkatan tekanan perikardium, penurunan cardiac output dan
hipotensi (tamponade jantung). Akumulasi cairan yang sangat cepat akan
mempengaruhi hemodinamik (Sneha, 2017).

B. Etiologi
Penyebab terjadinya efusi perikardium antara lain: (Alexander, 2107)
1. Inflamasi dari pericardium (pericarditis) adalah sebagai suatu respon dari
penyakit, injury atau gangguan inflamasi lain pada pericardium.
Pericarditis dapat mengenai lapisan visceral maupun parietal perikardium
dengan eksudasi fibrinosa. Jumlah efusi perikardium dapat bervariasi
tetapi biasanya tidak banyak, bisa keruh tetapi tidak pernah purulen. Bila
berlangsung lama maka dapat menyebabkan adhesi perikardium visceral
dan parietal.
2. Penyebab spesifik dari efusi pericardial adalah :
a. Infeksi dari Virus, bakterial, jamur dan parasit
b. Inflamasi dari perikardium yg idiopatik
c. Inflamasi dari pericardium akibat operasi jantung dan heart attack
(Dressler's syndrome)
d. Gangguan Autoimmune, seperti rheumatoid arthritis atau lupus
e. Produksi sampah dari darah akibat gagal ginjal (uremia)
f. Hypothyroidism
g. HIV/AIDS
h. Penyebaran kanker (metastasis), khususnya kanker paru, kanker
payudara, leukemia, non-Hodgkin's lymphoma atau penyakit
Hodgkin's
i. Kanker dari pericardium yang berasal dari jantung
j. Therapy radiasi untuk kanker .
k. Tindakan Chemotherapy untuk kanker
l. Trauma atau luka tusuk didekat jantung
m. Obat-obat tertentu seperti obat high blood pressure; isoniazid,
phenytoin (Dilantin, Phenytek, others), obat kejang epileptic

Penyebab tersering efusi perikardium pada keganasan ialah kanker paru


dan payudara (25-35%). Penyebab lainnya ialah : limfoma, kanker saluran
cerna, dan melanoma. Tumor primer perikardium seperti mesotelioma atau
rhabdomiosarkoma jarang sebagai penyebab efusi perikardial. Perluasan
langsung keganasan disekirat jantung seperti kanker esofagus dan paru dapat
juga menyebabkan efusi perikardial. Perikarditis pasca radisi pada penderita
kanker dapat menimbulkan efusi perikardial yang dapat timbul setelah
beberapa minggu sampai 12 bulan (Konstantinos, 2015).

C. Patofisiologi
Pada kasus efusi perikardial metastasis perikardial multipel lebih sering
dijumpai pada perikardium parietalis dibandingkan dengan perikardium
viseralis.Tumor ini secara langsung dapat mensekresi cairan (eksudat), tetapi
dapat juga menghalangi aliran limfe. Adanya tumor, timbunan cairan serta
penebalan perikardium akan mengganggu gerak jantung. Penimbunan cairan
akan mengganggu pengisian diastolik ventrikel kanan sehingga menurunkan
isi sekuncup (stroke volume). Hal ini diimbangi oleh mekanisme kompensasi
berupa takikardia dan peningkatan kontraksi miokardium. Tetapi jika
mekanisme kompensasi ini dilewati, curah jantung (cardiac output) menurun
maka akan terjadi gagal jantung, syok tergantung dari kecepatan pembentukan
cairan dan distensibilitas pericardium (Arsen, 2014).
Perikardium dapat terinfeksi mikobakterium TB secara hematogen,
limfogen ataupun penyebaran langsung Perikarditis TB sering terjadi tanpa
TB paru maupun TB di luar paru lain. Penyebaran tersering karena infeksi di
nodus mediastinum, secara langsung masuk ke perikardium, terutama di
sekitar percabangan trakeobronkial.. Protein antigen mikobakterium TB
menginduksi delayed hypersensitive response dan merangsang limfosit untuk
mengeluarkan limfokin yang mengaktifasi makrofag dan mempengaruhi
pembentukan granuloma (Hae, 2012)
Terdapat 4 stadium evolusi perikarditis TB: (Siva, 2017)
1. Stadium fibrinosa: terjadi deposit fibrin luas bersamaan dengan reaksi
granuloma. Stadium ini sering tidak menimbulkan gejala klinis sehingga
tidak terdiagnosis.
2. Stadium efusi : terbentuk efusi dalam kantong perikardium. Reaksi
hipersensitif terhadap tuberkuloprotein, gangguan resorbsi dan cedera
vaskuler dipercaya dapat membentuk efusi perikardium. Permukaan
perikardium menjadi tebal dan berwarna abu-abu tampak seperti bulubulu
kusut yang menunjukkan eksudasi fibrin. Efusi dapat berkembang melalui
beberapa fase yaitu: serosa, serosanguinous, keruh atau darah. Reaksi
seluler awal cairan tersebut mengandung sel polimorfonuklear (PMN).
Jumlah total sel berkisar 500-10000/ mm3. Terjadi perubahan kimiawi
yang ditandai dengan penurunan glukosa dan peningkatan protein. Pada
stadium ini dapat terjadi efusi masif sebanyak 4 L.
3. Absorpsi efusi dengan terbentuknya granuloma perkijuan dan penebalan
perikardium. Pada stadium ini terbentuk fibrin dan kolagen yang
menimbulkan fibrosis perikardium. Penebalan perikardium parietal,
konstriksi miokardium akan membatasi ruang gerak jantung dan ada
deposit kalsium di perikardium. Pada kasus ini sudah terjadi penebalan
perkardium parietal dan konstriksi miokardium.
4. Bila volume cairan melebihi "penuh" di tingkat perikardium itu, efusi
perikardial mengakibatkan tekanan pada jantung dan terjadi Cardiac
Tamponade (tamponade jantung) yaitu terjadinya kompresi jantung akibat
darah atau cairan menumpuk di ruang antara miokardium (otot jantung)
dan perikardium (kantung jantung). Kompresi tersebut menyebabkan
fungsi jantung menurun. Tamponade jantung yang merupakan kompresi
jantung yang cepat atau lambat, akibat akumulasi cairan, pus, darah,
bekuan atau gas di perikardium; menyebabkan peningkatan tekanan
intraperikardial yang sangat mengancam jiwa dan fatal jika tidak
terdeteksi. Insidens tamponade jantung di Amerika Serikat adalah 2 kasus
per 10.000 populasi. Lebih sering pada anak lakilaki (7:3) sedangkan pada
dewasa tidak ada perbedaan bermakna (lakilaki : perempuan - 1,25:1).
Morbiditas dan mortalitas sangat tergantung dari kecepatan diagnosis,
penatalaksanaan yang tepat dan penyebab.

Pembagian tamponade jantung berdasarkan etiologi dan progresifitas :

1) Acute surgical tamponade: antegrade aortic dissection, iatrogenic dan


trauma tembus kardiak.
2) Medical tamponade: efusi perikardial akibat perikarditis akut, perikarditis
karena keganasan atau gagal ginjal.
3) Low-pressure tamponade: terdapat pada dehidrasi berat. Pada tamponade
jantung terjadi penurunan pengisian darah saat diastolik karena otot
jantung tidak mampu melawan peningkatan tekanan intraperikardial
(Jaume, 2011).

Terdapat 3 fase perubahan hemodinamik :

a. Fase 1: Peningkatan cairan perikardial meningkatkan tekanan pengisian


ventrikel. Pada fase ini tekanan ventrikel kanan dan kiri tetap lebih tinggi
daripada tekanan intraperikardial.
b. Fase 2: Peningkatan tekanan intraperikardial melebihi tekanan pengisian
ventrikel kanan, sehingga curah jantung turun.
c. Fase 3: Tercapai keseimbangan antara peningkatan tekanan
intraperikardial dengan tekanan ventrikel kiri sehingga terjadi gangguan
curah jantung yang berat (George, 2011).
D. Manifestasi Klinis
Banyak pasien dengan efusi perikardial tidak menunjukkan gejala. Kondisi
ini sering ditemukan ketika pasien melakukan foto dada x-ray atau
echocardiogram untuk mendiagnosa penyakit lain. Awalnya, pericardium
dapat meregang untuk menampung kelebihan cairan. Oleh karena itu, tanda
dan gejala terjadinya penyakit mungkin akan terjadi ketika sejumlah besar
cairan telah terkumpul. Jika gejala muncul, maka kemungkinan akan
terdeteksi dari kelainan organ di sekitarnya, seperti paru-paru, lambung atau
saraf frenik (saraf yang terhubung ke diafragma) (William, 2010).
Gejala juga dapat terjadi karena gagal jantung diastolik (gagal jantung
yang terjadi karena jantung tidak dapat berdetak normal seperti biasanya pada
setiap gerakan karena kompresi ditambahkan). Biasanya gejala yang timbul
pada efusi perikardial yaitu : (Mark, 2017)
1. Dada seperti ditekan dan terasa sakit
2. Sesak Napas
3. Terasa mual
4. Perut terasa penuh dan kesulitan menelan Sedangkan gejala efusi
perikardial yang menyebabkan tamponade jantung yaitu :
1) Kebiruan pada bibir dan kulit
2) Penderita mengalami syok
3) Perubahan Status mental

Gejala klinik tergantung dari jumlah cairan dan kecepatan penimbunan


cairan dalam kavum perikardium. Penderita efusi perikardial tanpa tamponade
sering asimtomatik. Kurang dari 30% penderita menunjukkan gejala seperti
nyeri dada, napas pendek, ortopnea atau disfagia. Pada pemeriksaan fisik
tampak vena leher terbendung, suara jantung terdengar jauh, tekanan nadi
mengecil dan takikardia. Tamponade jantung memberikan gejala : gelisah,
sesak napas hebat pada posisi tegak dan sesak nafas agak berkurang jika
penderita membungkuk kedepan, takikardia, tekanan nadi menyempit, pulsus
paradoksus (tekanan sistolik turun lebih dari 10 mmHg pada inspirasi),
hipotensi sampai syok. Batas jantung melebar, suarajantung terdengar jauh,
terdengar gesekan perikardial, serta vena leher melebar dan berdenyut (Mark,
2017).

Gejala klinik tamponade jantung sangat dipengaruhi oleh kecepatan


akumulasi cairan perikardium. Akumulasi lambat memberi kesempatan
kompensasi jantung yang lebih baik yaitu: takikardi, peningkatan resistensi
vaskuler perifer dalam beberapa hari atau beberapa minggu. Tetapi akumulasi
yang cepat akan menimbulkan peregangan perikardium yang tidak adekuat
dan berakibat fatal dalam beberapa menit (Ahmed, 2014)

Pemeriksaan fisis tamponade jantung :

1. Trias Beck meliputi hipotensi, peningkatan JVP dan suara jantung


melemah.
2. Pulsus paradoksus: penurunan tekanan sistolik lebih dari 12 mm Hg pada
saat inspirasi.
3. Kussmaul sign: penurunan tekanan dan distensi JVP yang sebelumnya
meningkat saat inspirasi.
4. Tanda Ewart : gambaran redup di daerah di bawah skapula kiri ; terjadi
pada efusi perikardial luas.

E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada Efusi Perikardial
diantaranya sebagai berikut : (Siva, 2017)
1. Foto Thorak : dilakukan untuk melihat adanya pembesaran jantung yang
biasanya akan berbentuk globuler. Gambaran jantung seperti ini baru
tampak jika cairan lebih dari 250 ml serta sering juga dijumpai efusi
pleura.
2. Echocardiography : merupakan pemeriksaan noninfasif yang palig akurat,
disini akan tampak akumulasi cairan di dalam kantung perikardium.
Kadangkadang tampak juga adanya metastase pada dinding perikardium.
3. Perikardiosintesis : sebaiknya memakai tuntunan ekokardiografi sehingga
lebih aman. Sekitar 50% cairan aspirat bersifat hemoragik dan 10%
serosanguinus. Pada cairan ini dilakukan pemeriksaan kultur, hitung sel
dan sitologi. Pemeriksaan sitologi cukup sensitif dengan kemempuan
diagnostik sekitar 80%, tetapi hasil negatif palsu sering terjadi pada
limfoma maligna dan mesotelioma. Dalam keadaan demikian dilakukan
biopsi perikardium.
4. CT-Scan : dilakukan untuk menentukan komposisi cairan dan dapat me
ndeteksidikitnya 50 ml cairan dan dapat mendeteksi adanya klasiifikasi.
5. MRI : dilakukan untuk mendeteksi sedikitnya 30 ml cairan perikardial,
dapat mendeteksi adanya hemoragik atau tindak.
Nodularity/penyimpangan dari perikardium yang dilihat pada MRI
mungkin merupakan indikasi dari efusi gas.
6. Pemerikasaan laboratorium
a. Pemeriksaan Biokimia
Secara biokimia effusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat
b. Analisa cairan pleura
- Transudat : jernih, kekuningan
- Eksudat : kuning, kuning-kehijauan
- Hilothorax : putih seperti susu
- Empiema : kental dan keruh
- Empiema anaerob : berbau busuk
- Mesotelioma : sangat kental dan berdarah
c. Perhitungan sel dan sitologi
7. Pemeriksaan lain : katerisasi jarang di perlukan. Disini dijumpai tekanan
diastolik dalam atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri pulmonalis
hampir sama.

F. Tatalaksana
Apabila fungsi jantung sangat terganggu, maka perlu dilakukan aspirasi
pericardial (tusukan pada kantung perikardium) untuk mengambil cairan dari
kantung perikardium.Tujuan utamanya adalah mencegah Tamponade jantung
yang dapat menghambat kerja jantung normal.Selama prosedur, pasien harus
dipantau dengan EKG dan pengukuran tekanan hemodinamika. Peralatan
resusitasi darurat juga harus tersedia. Kepala tempat tidur dinaikkan 45-60
derajat, agar jantung lebih dekat dengan dinding dada sehingga jarum dapat
dimasukkan dengan mudah. Jarum aspirasi perikardium dipasang pada spuit
50 ml, melalui three-way stop cock.Lead V (kawat lead perkordial) EKG
dihubungkan ke ujung jarum menghisap dengan perekat aligator, karena EKG
dapat membantu menentukan apakah jarum telah menyentuh pericardium
(Sneha, 2017).
Bila terjadi tusukan, maka akan terjadi elevasi segmen ST atau stimulasi
kontraksi ventrikel prematur. Ada berbagi tempat yang mungkin digunakan
untuk aspirasi perikardium. Jarum bisa dimasukkan pada sudut antara batas
costa kiri dan sifoid, dekat apeks jantung, antara rongga kelima dan keenam
batas sternum, atau pada batas kanan sternum pada rongga interkostal
keempat. Jarum dimasukkan perlahan hingga memperoleh cairan (Ahmed,
2014).
Bila terjadi penurunan tekanan vena sentral dengan disertai peningkatan
tekanan darah ini menunjukkan tamponade jantungnya sudah hilang. Pasien
biasanya kemungkinan merasa lebih nyaman. Bila cairan dalam perikardium
cukup banyak, maka perlu dipasang kateter untuk mengalirkan perdarahan
ataupun efusi yang kambuh. Selama prosedur ini dilakukan, perhatikan adanya
darah dalam cairan yang 12 keluar. Darah perikardium tidak akan membeku
dengan cepat, sementara darah yang tidak sengaja terhisap dari bilik jantung
akan segera membeku. Cairan perikardium kemudaian akan dikirim ke
laboratorium untuk pemeriksaan tumor, kultur bakteri, analisa kimia dan
serologis serta hitungan jenis sel (Yehuda, 2015).
G. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering terjadi pada Efusi Perikardium adalah
Tamponade jantung yaitu situasi yang disebapkan oleh akumulasi cairan
dalam ruang perikardial, sehingga kompromi hemodinamik ventrikel
berkurang mengisi dan berikutnya. Tamponade jantung adalah keadaan
darurat medis. Keseluruhan risiko kematian tergantung pada kecepatan
diagnosis, pengobatan disediakan, dan penyebab yang mendasari tamponade
ini (Sneha, 2017).
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed Abuzaid et al.2014. Review article: Cardiac Tamponade, a Clinical


Challenge. University, Internal Medicine department, Omaha, NE, USA.
Journal of Clinical & Invasive Cardiology. Volume 1. Hal: 9-16.
Alexander Strobbe and Tom Adriaenssens. 2017. Etiology and Long-Term
Outcome of Patients Undergoing Pericardiocentesis. Journal of the
American Heart Association.Hal:1-8
Aparicio-Soto M, Sánchez-Hidalgo M, Alarcón-de-la-Lastra C. 2017. An update
on diet and nutritional factors in systemic lupuserythematosus management.
Nutr Res Rev, 30(1):118-137.
Arnaud L, Vollenhoven RV. 2018. Advanced Handbook of Systemic Lupus
Erythematosus. Cham: Springer
Arsen D Ristic et al. 2014. Current Opinion: Triage strategy for urgent
management of cardiac tamponade: a position statement of the European
Society of Cardiology Working Group on Myocardial and Pericardial
Diseases. European Heart Journal. 35, Hal: 2279–2284
Barbhaiya M, Costenbader KH. 2014. Ultraviolet radiation and systemic lupus
erythematosus. Lupus, 23: 588.
Barragán-Martínez C, Speck-Hernández CA, Montoya-Ortiz G, Mantilla RD,
Anaya JM, Rojas-Villarraga A. 2012. Organic solvents as risk factor for
autoimmune diseases: a systematic review and meta-analysis. PLoS One,
7(12):e51506.
Collins D 2014. Aetiology and Management of Acute Cardiac Temponade.
Department of Anaesthesia and Intensive Care, Mater Misericordiae
Hospital, Dublin. Hal: 54-58.
Dalle Grave R, Calugi S, Centis E, Marzocchi R, El Ghoch M, Marchesini G.
2010. Lifestyle modification in the management of the metabolic syndrome:
achievements and challenges. Diabetes Metab Syndr Obes, 3:373-85.
Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauseer SL, Jameson JL.
Harrison’s 2006. principles of internal medicine. 17 th ed. USA: McGraw-
Hill
George A. Stouffer et al. 2011. Diagnosis and Management of Chronic.
Pericardial Effusions. The American Journal of the Medical Sciences,
322(2). 79-90
Gordon C, Isenberg D. 2016. Oxford Rheumatology Library. Oxford: Oxford
University Press.
Hae-Ok Jung. 2012. Pericardial Effusion and Pericardiocentesis: Role of
Echocardiography. Division of Cardiology, Department of Internal
Medicine, College of Medicine, The Catholic University of Korea, Seoul,
Korea. Korean Circulation Journal (KCJ). 1-10.
Jara LJ, Medina G, Saavedra MA, Vera-Lastra O, Torres-Aguilar H, Navarro C, et
al. 2017. Prolactin has a pathogenic role in systemic lupus
erythematosus.Immunol Res., 65(2):512-523. 31
Jaume Sagristà-Sauleda et al . 2011. Review Article: Diagnosis and Management
of Pericardial Effusion. World Journal Cardiol, 3(5): 35-143.
Kasjmir YI, Handono K, Wijaya LK, Hamijoyo L, Albar Z, Kalim H, dkk. 2011.
Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia untuk Diagnosis dan
Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Perhimpunan Reumatologi
Indonesia;
Klack K, Bonfa E, Borba Neto EF. 2012. Diet and nutritional aspects in systemic
lupus erythematosus.Rev Bras Reumatol, 52(3):384-408.
Konstantinos Vogiatzidis et al. 2015. Mini Review Article: Physiology of
Pericardial Fluid Production and Drainage.Frontiers in Physiology. Volume
6.Hal:1-6.
Kuhn, Anegret., Bonsman, Gisela., Anders, Hans-Joachim, dkk. 2015. The
Diagnosis and treatment of Systemic Lupus Erythematosus. 2015.
Deutsches Azteblatt International; 112 (423-432)
Maidhof W, Hilas O. 2012. Lupus: an overview of the disease and management
options. P T, 37(4):240-9.
Manson JJ, Rahman A. Systemic lupus erythematosus. Orphanet J Rare Dis.
2006;1:6.
Mark J. Kearns and Keith R. Walley.2017. Contemporary Reviews in Critical
Care Medicine Tamponade: Hemodynamic and Echocardiographic
Diagnosis. CHEST. 1-10
Minkin SJ, Slan SN, Gilkeson GS, Kamen DL. 2014. Smoking and secondhand
smoke among patients with systemic lupus erythematosus and controls:
associations with disease and disease damage. Arthritis Res Ther,16(1):A40.
Rees F, Doherty M, Grainge MJ, Lanyon P, Zhang W.2017. The worldwide
incidence and prevalence of systemic lupus erythematosus: a systematic
review of epidemiological studies.Rheumatology (Oxford), 56(11):1945-
1961.
Rudijanto A, Yuwono A, Shahab A, Manaf A, Pramono B, Lindarto D. 2015.
Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 Di
Indonesia 2015. PB Perkeni; 2015.
Schwarz, Marvin. 2019. A Deadly Complication of Systemic Lupus
Erythematosus. The Journal of Rheumatology, 41(8):1571
Shizuma T. 2018. Liver Complications Associated with Systemic Lupus
Erythematosus. Rheumatology (Sunnyvale) 5: 146
Siva B. Mohan and George A. Stouffer. 2017. Cardiac tamponade. Cardiovascular
Hemodynamics for the Clinician, Second Edition. John Wiley & Sons
Ltd.234-248.
Sneha Vakamudi et al. 2017. Pericardial Effusions: Causes, Diagnosis, and
Management. Progress in Cardiovascular Disease. Department of
Cardiovascular Imaging, Heart and Vascular Institute, Cleveland Clinic,
Cleveland, OH, USA.. Hal: 380-388
Systemic Lupus Erythematosus: Pathogenesis and Clinical Features. 2017. diakses
pada: https://www.eular.org/
Thong, Bernard., Olsen, Nancy J. 2016. The SLE review series: working for a
better standard care. 2016. Oxford University Press. British Society for
Rheumatology; 56 (i1-i13)
William C. Little and Gregory L. Freeman. 2010. Contemporary Reviews in
cardiovascular Medicine: Pericardial Disease. Circulation is available at
http://www.circulationaha.org. 1622-1633.
Yehuda Adle, et all. 2015 ESC Guidelines for the diagnosis and management of
pericardial diseases (The Task Force for the Diagnosis and Management of
Pericardial Diseases of the European Society of Cardiology). European
Heart Journal.. Hal: 1-12.

Anda mungkin juga menyukai