Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

Oleh:
Marwani, S.Kep
70900121016

PRECEPTOR LAHAN PRECEPTOR INSTITUSI

( ) ( )

PROGRAM STUDI PROFESI NERS ANGKATAN XX

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2022
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun multisystem di
mana organ, jaringan, dan sel mengalami kerusakan yang dimediasi oleh autoantibodi
pengikat jaringan dan kompleks imun. Gambaran klinis SLE dapat berubah, baik dalam
hal aktivitas penyakit maupun keterlibatan organ (Muthusamy, 2017).
Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit yang ditandai
dengan produksi antibodi yang berlebihan terhadap komponen inti sel, dan menimbulkan
berbagai macam manifestasi klinis pada organ (Fatmawati,2018).
SLE adalah hasil dari regulasi sistem imun yang terganggu yang menyebabkan
produksi berlebihan dari autoantibodi. Pada kondisi normal tubuh manusia, antibodi
diproduksi dan digunakan untuk melindungi tubuh dari benda asing (virus, kuman,
bakteri, dll). Namun pada kondisi SLE, antibodi tersebut kehilangan kemampuan untuk
membedakan antara benda asing dan jaringan tubuh sendiri. Secara khusus, sel B dan sel
T berkontribusi pada respon imun penyakit SLE ini (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever,
2010 dalam Fatmawati,2018)
B. Etiologi
SLE disebabkan oleh interaksi antara kerentanan gen, pengaruh hormonal, dan faktor
lingkungan. Interaksi ketiga faktor ini akan menyebabkan terjadinya respon imun yang
abnormal (Muthusamy,2017).
1. Faktor genetic
SLE merupakan penyakit multigen. Interaksi antara kerentanan gen, pengaruh
hormonal,dan factor lingkungan, menghasilkan respons imun abnormal. Respons
imun mencakup hiperreaktivitas dan hipersensitivitas limfosit T dan B dan regulasi
antigen dan respons antibodi yang tidak efektif.
2. Faktor lingkungan
Di antara pencetus aktivitas penyakit lupus, sinar ultraviolet merupakan faktor yang
paling dikenal. Mekanisme aksinya dapat mencakup induksi epitope antigen didermis
atau epidermis, pelepasan materi inti oleh sel kulit yang dirusak oleh cahaya, atau
disregulasi sel imun kulit. Berbagai faktor lingkungan lain juga terlibat dalam lupus.
Pengobatan seperti prokainamid, hidralazin, dan minosiklin dapat menyebabkan
lupus eritematosus yang diinduksi obat, penyakit yang mirip dengan SLE. Mungkin
yang paling menarik adalah beberapa obat antirematik dapat menginduksi penyakit
yang tampilan klinis dan serologisnya mirip SLE.
3. Pengaruh hormonal
Observasi klinis menunjukkan peran hormon seks steroid sebagai penyebab SLE.
Observasi ini mencakup kejadian yang lebih tinggi pada wanita usia produktif,
peningkatan aktivitas SLE selama kehamilan, dan risiko yang sedikit lebih tinggi
pada wanita pasca menopause yang menggunakan suplementasi estrogen. Walaupun
hormon seks steroid dipercaya sebagai penyebab SLE, namun studi yang dilakukan
oleh Petri dkk menunjukkan bahwa pemberian kontrasepsi hormonal oral tidak
meningkatkan risiko terjadinya peningkatan aktivitas penyakit pada wanita penderita
SLE yang penyakitnya stabil.

C. Klasifikasi
Ada tiga jenis type lupus:
1. Cutaneous Lupus
Tipe ini juga dikenal sebagai Discoid Lupus Tipe lupus ini hanya terbatas pada kulit
dan ditampilkan dalam bentuk ruam yang muncul pada muka, leher, atau kulit kepala.
Ruam ini dapat menjadi lebih jelas terlihat pada daerah kulit yang terkena sinar
ultraviolet (seperti sinar matahari, sinar fluorescent). Meski terdapat beberapa macam
tipe ruam pada lupus, tetapi yang umum terdapat adalah ruam yang timbul, bersisik
dan merah, tetapi tidak gatal.
2. Discoid Lupus
Tipe lupus ini dapatmenyebabkan inflamasi pada beberapa macam organ. Untuk
beberapa orang mungkin saja hal ini hanya terbatas pada gangguan kulit dan sendi.
Tetapi pada orang yang lain, sendi, paru-paru, ginjal, darah ataupun organ dan/atau
jaringan lain yang mungkin terkena. SLE pada sebagian orang dapat memasuki masa
dimana gejalanya tidak muncul (remisi) dan pada saat yang lain penyakit ini dapat
menjadi aktif (flare).
3. Drug-induced lupus
Tipe lupus ini sangat jarang menyerang ginjal atau sistem syaraf. Obat yang
umumnya dapat menyebabkan druginduced lupus adalah jenis hidralazin (untuk
penanganan tekanan darah tinggi) dan pro-kainamid (untuk penanganan detak jantung
yang tidak teratur/tidak normal). Tidak semua orang yang memakan obat ini akan
terkena drug-induced lupus. Hanya 4 persen dari orang yang mengkonsumsi obat itu
yang bakal membentuk antibodi penyebab lupus. Dari 4 persen itu, sedikit sekali yang
kemudian menderita lupus. Bila pengobatan dihentikan, maka gejala lupus ini biasanya
akan hilang dengan sendirinya
D. Patofisiologi
Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi, dan fase
puncak (flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi kematian sel
secara apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan oleh berbagai agen
yang sebenarnya merupakan pajanan yang cukup sering ditemukan pada manusia, namun
dapat menginisiasi penyakit karena kerentanan yang dimiliki oleh pasien SLE. Fase
profagase ditandai dengan aktivitas autoantibodi dalam menyebabkan cedera jaringan.
Autoantibodi pada lupus dapat menyebabkan cedera jaringan dengan cara (1)
pembentukan dan generasi kompleks imun, (2) berikatan dengan molekul ekstrasel pada
organ target dan mengaktivasi fungsi efektor inflamasi di tempat tersebut, dan (3) secara
langsung menginduksi kematian sel dengan ligasi molekul permukaan atau penetrasi ke
sel hidup. Fase puncak merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai respon untuk
melawan sistem imun dengan antigen yang pertama muncul. Apoptosis tidak hanya
terjadi selama pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada berbagai penyakit,
termasuk SLE. Jadi, berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak penyakit
(Muthusamy,2017).
E. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih
kriteria yang di bawah ini (Wahyuni, 2017), yaitu:
1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat
badan.
3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, myositis
4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi membrane
mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.
8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)
10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik myelitis
transversus,gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.
F. Komplikasi
Penyakit SLE dapat menyebabkan peradangan jaringan dan masalah pembuluh
darah yang parah di hampir semua bagian tubuh, terutama menyerang organ ginjal.
Jaringan yang ada pada ginjal, termasuk pembuluh darah dan membran yang
mengelilinginya mengalami pembengkakan dan menyimpan bahan kimia yang diproduksi
oleh tubuh yang seharusnya dikeluarkan oleh ginjal. Hal ini menyebabkan ginjal tidak
dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Penderita biasanya tidak menyadari adanya
gangguan pada ginjalnya, hingga kerusakannya menjadi parah, bahkan mungkin baru
disadari setelah ginjal mengalami kegagalan. Peradangan pada penderita SLE juga dapat
terjadi pada selaput dalam, selaput luar dan otot jantung. Jantung dapat terpengaruh
meskipun tidak pernah mengalami gejala gangguan jantung. Masalah yang paling umum
adalah terjadi pembengkakan pada endokardium dan katup jantung. Penyakit SLE juga
menyebabkan peradangan dan kerusakan kulit berupa ruam merah terutama dibagian pipi
dan hidung. Hampir seluruh penderita SLE mengalami rasa sakit dan peradangan sendi.
Penyakit SLE dapat mempengaruhi semua jenis sendi, namun yang paling umum adalah
tangan, pergelangan tangan dan lutut. Terkadang sendi-sendi mengalami pembengkakan.
Selain itu otot juga tidak luput dari serangan SLE. Biasanya penderita mengeluhkan rasa
sakit dan melemahnya otot-otot atau jaringan otot mengalami pembengkakan. Pada
stadium lanjut, SLE dapat menyebabkan kematian tulang yang disebut dengan
osteonekrosis. Hal ini dapat menyebabkan cacat yang serius. Penyakit SLE dapat
menyerang sistem syaraf dengan gejala sakit kepala, pembuluh darah di kepala yang tidak
normal dan organik brain syndrom, yaitu masalah serius pada memori, konsentrasi dan
emosi serta halusinasi. Selain itu, serangan pada paru-paru dan darah juga biasanya
terjadi. Masalah pada jantung dapat berupa peradangan, perdarahan, penggumpalan darah
pada arteri, kontraksi pembuluh darah pembengkakan paru-paru. Sedangkan penurunan
jumlah sel darah merah dan sel darah putih sehingga menyebabkan anemia. Pada kasus
penyakit lanjut, sering didapatkan adanya cairan di rongga paru dan di rongga jantung
yang menyebabkan penderita sesak nafas. Gejala ini mirip dengan penyakit jantung
kronis atau penyakit paru-paru kronis, sehingga menyebabkan penderita sesak nafas.
Gejala
ini mirip dengan penyakit jantung kronis atau penyakit paru-paru kronis, sehingga
menyebabkan salah diagnosa dan berakhir dengan kematian. Organ lain yang juga
diserang adalah sistem saraf penderita sehingga berakibat penderita merasa kesemutan
dan dapat mengalami kelumpuhan (Roviati, 2017).
G. Pencegahan
Ajarkan keluarga untuk mengoleskan tabir surya minimal Sun Protector Factor
(SPF) 15 ke kulit anak setiap hari untuk mencegah ruam akibat fotosensivitas.
Instruksikan anak dan keluarga untuk melindungi diri terhadap udara dingin dengan
menggunakan kaos kaki hangat dan sarung tangan ketika di luar rumah pada musim
dingin. Jika anak di luar ruangan untuk periode yang lama selama bulan-bulan musim
dingin, inspeksi jari tangan dan jari kaki terhadap perubahan warna. Awasi
perkembangan nefritis dengan mengevaluasi tekanan darah, kadar blood area nitrogen
(BUN) dan kreatinin serum dan haluaran urine serta pemantauan untuk hematuria atau
proteinuria.
Pastikan bahwa skrining penglihatan dan pemeriksaan oftalmik setiap tahun
dilakukan untuk memelihara fungsi penglihatan yang dapat mengalami perubahan.
Perhatikan avaskular (kurangnya suplai darah ke sendi, menyebabkan kerusakan
jaringan) dapat terjadi sebagai efek samping penggunaan kortikosteroid jangka panjang
atau penggunaan kortikosteroid dosis tinggi. Ajarkan keluarga untuk melaporkan keluhan
baru nyeri sendi, terutama saat mengangkat benda berat atau keterbatasan rentang gerak
ke dokter atau praktisi perawat mereka (Kyle, 2014).

H. Penatalaksanaan
Pilar pengobatan yang untuk penderita SLE sebaiknya dilakukan secara
berkesinambungan. Pilar pengobatan yang bisa dilakukan:
1. Edukasi dan konseling
Pasien dan keluarga penderita SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan
dari seluruh keluarga dan lingkungannya. Pasien memerlukan informasi tentang
aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan misalnya dengan cara
melindungi kulit dari sinar matahari dengan menggunakan tabir surya atau pakaian
yang melindungi kulit, serta melakukan latihan secara teratur. Pasien juga
memerlukan informasi tentang pengaturan diet agar tidak mengalami kelebihan berat
badan, osteoporosis, atau dislipidemia. Informasi yang bisa diperlukan kepada pasein
adalah:
a. Penjelasan tentang penyakit lupus dan penyebabnya
b. Tipe dari penyakit SLE dan karakteristik dari tipe-tipe penyalit SLE
c. Masalah terkait dengan fisik, kegunaan istirahta latihan terutama yang terkait
dengan pengobatan steroid seperti osteoporosis, kebutuhan istirahat, pemakaian
alat bantu, pengaturan diet, serta cara mengatasi infeksi
d. Masalah psikologis yaitucara pemahaman diri pasien SLE, mengatasi rasa leleah,
stres, emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan hubungan dengan
keluarga, serta cara mengatasi nyeri.
e. Pemakaian obat mencakup jenis obat, dosis, lama pemberian, dan yang lainnya.
Kebutuahn pemberian vitamin dan mineral.
f. Kelompok pendukung bagi penderita SLE
Edukasi juga perlu diberikan untuk mengurangi stigma psikologis akibat adanya
anggota keluarga yang menderita SLE
2. Program rehabilitasi
Pasien SLE memerlukan berbagai latihan untuk mempertahankan kestabilan sendi
karena jika pasien SLE diberikan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2
minggu dapat mengakibatkan penurunan massa otot hingga 30%. Tujuan, indikasi,
dan teknis pelaksanaan program rehabilirasi melibatkan beberapa hal, yaitu:
a. Istirahat
b. Terapi fisik
c. Terapi dengan modalitas
d. Ortotik, dan yang lainnya.
3. Pengobatan medikamentosa
Jenis obat yang dapat digunakan pada pasein SLE adalah:
a. OAINS
b. Kortikosteroid
c. Klorokuin
d. Hidroksiklorokuin (saat ini belum tersedia di Indonesia)
e. Azatiopri
f. Siklofosfamid
g. Metotreksat
h. Siklosporin A
i. Mikofenolat mofetil
Jenis obat yang paling umum digunakan adalah kortikosteroid yang dipakai
sebagai antiinflamasi dan imunosupresi. Namun, penggunaan kortikosteroid
menimbulkan efek samping. Cara mengurangi efek samping dari penggunaan
kortikosteroid adalah dengan mengurangi dosis obatnya segera setelah
penyakit
terkontrol. Penurunan dosis harus dilakukan dengan hati-hati untuk
menghindari aktivitas penyakit muncul kembali dan terjadinya defisiensi
kortikol yang muncul akibat penekanan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal
kronis. Penurunan dosis yang dilakuakn secara bertahap akan memberikan
pemulihan terhadap fungsi adrenal. Penggunaan sparing agen kortikosteroid
dapat diberikan untuk memudahkan menurunkan dosis kaortokosteroid dan
mengobtrol penyakit dasarnya. Obat yang sering digunakan sebagai sparing
agen kortokosteroid adalah azatioprin, mikofenolat mofenil, siklofosfamid,
danmetotrexate.
I. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan lab :
a. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang terdapat
pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga bisa ditemukan pada
penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan
juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi
dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita
lupus memiliki antibodi ini. Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar
komplemen (protein yang berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk
menemukan antibody lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan
aktivitas dan lamanya
penyakit.
b. Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein.
2. Radiology: Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.

Menurut pingkan angraeni 2020, beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan pada
penyakit SLE yaitu:
1. Pemeriksaan darah Leukopeni, Anemia, Trombositopenia
2. Imunologi ANA (Antibodi anti nuclear), Antibodi DNA untai ganda (ds DNA)
meningkat, Kadar komplemen c3 dan c4 menurun, Tes CRP (C-reative protein
positif)
3. Fungsi ginjal Kreatin serum meningkat, Penurunan GFR, Protein uri (>0,5 gr
per 24 jam), ditemukan sel darah merah dan atau sedimen granular
4. Kelainan pembekuan yang berhubungan dengan antikoagulan lupus
5. Serologi VDRL (sifilis)
6. Tes vital lupus
BAB II

TINJAUAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Riwayat Keperawatan
1. Identitas Klien
Nama, umur, agama, pendidikan, status, perkawinan
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama Sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan
berhubungan dengan kelemahan otot baik kelemahan fisik secara umum maupun local
seperti melemahnya otot-otot pernafasan.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang keluhan
utama klien. Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai
serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien biasanya didapatkan
keluhan yang berhubungan dengan proses demielinisasi. Keluhan tersebut diantaranya
gejala-gejala neurologis diawali dengan parestesia (kesemutan kebas) dan kelemahan
otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstrimitas atas, batang tubuh, dan otot wajah.
Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang lengkap. Keluhan
yang paling sering ditemukan pada pasien adalah gagal nafas. Melemahnya otot
pernafasan membuat klien dengan gangguan ini beresiko lebih tinggi terhadap
hipoventilasi dan infeksi pernafasan berulang. Disfagia juga dapat timbul, mengarah
pada aspirasi. Keluhan kelemahan ekstrimitas atas dan bawah hampir sama seperti
keluhan klien yang terdapat pada klien stroke. Keluhan lainnya adalah kelainan dari
fungsi kardiovaskuler, yang memungkinkan terjadinya gangguan sistem saraf otonom
pada klien yang dapat mengakibatkan disritmia jantung atau perubahan drastis yang
mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital.
c. Riwayat penyakit terdahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkunkan adanya
hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahakah klien
mengalami ISPA, infeksi gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf. Pengkajian
pemakaian obat-obatan yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obat
kortikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotik dan reaksinya (untuk menilai retensi
pemakaian antibiotik) dapat menambah komprehensifnya pengkajian. Pengkajian
riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan
merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan
selanjutnya.
d. Riwayat psikososial
Meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan perawat untuk memperoleh
persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian
mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respon emosi
klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga
dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya. Kaji
apakah ada dampak yang timbul pada klien yaitu seperti ketakutan akan kecacatan,
cemas, ketidakmampuanuntuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan
terhadap dirinya yang salah.
3. Pemeriksaan Fisik Keperawatan
Pengkajian Fisik (B1-B6)
Pada klien biasanya didapatkan suhu tubuh 38-39 C. Penurunan denyut nadi terjadi
berhubungan dengan tanda-tanda penurunan curah jantung. Peningkatan frekuensi nafas
berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya infeksi pada
sistem pernafasan serta akumulasi sekret akibat insufisiensi pernafasan. Tekanan darah
didapatkan ortostatik hipotensi atau tekanan darah meningkat (hipertensi transien)
berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
B1 Breathing
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak nafas, penggunaan
otot bantu nafas dan peningkatan frekuensi pernafasan karena infeksi saluran pernafasan
dan yang paling sering ditemukan pada klien adalah penurunan frekuensi pernafasan
karena melemahnya fungsi otototot pernafasan. Palpasi biasanya taktil premitus
seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien
dengan Sindrom Guillain-Barre berhubungan akumulasi secret dari infeksi saluran napas.
B2 Blood
Pengkajian pada system kardiovaskular pada klien menunjukkan bradikardia akibat
penurunan perfusi perifer. Tekanan darah didapatkan ortostatik hipotensi atan tekanan
darah meningkat (hipertensi transien) akibat penurunan reaksi saraf simpatis dan
parasimpatis.
B3 Brain
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap dibandingkan
pengkajian pada system lainnya.
- Pengkajian Tingkat Kesadaran Pada klien biasanya kesadaran klien komposmentis.
Apabila klien mengalami penurunan tingkat kesadaran makan penilaian GCS sangat
penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk
memonitoring pemberian asuhan.
- Pengkajian Fungsi Serebral. Status mental: observasi penampilan, tingkah laku, nilai
gaya bicara, ekpresi wajah, dan aktifitas motorik klien. Pada klien Sindrom Guillain
Barre tahap lanjut disertai penurunan tingkat kesadaran biasanya status mental klien
mengalami perubahan.
- Pengkajian Saraf Kranial. Pengkajian saraf cranial meliputi pengkajian saraf cranial
I-XII.
Saraf I. Biasanya pada klien Sindrom Guillain Barre tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.

 Saraf III, IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan menutup kelopak mata,
paralisis okular.
Saraf V. pada klien Sindrom Guillain Barre didapatkan paralisis wajah sehingga
mengganggu proses mengunyah.
 Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena adanya
paralisis unilateral.
 Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
 Saraf IX dan X. paralisis otot orofaring, kesulitan berbicara, mengunyah, dan
menelan. Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu pemenuhan
nutrisi via oral.
 Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Kemampuan
mobilisasi leher baik.
 Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi.
Indra pengecapan normal.
4. Pengkajian Sistem Motorik. Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan
koordinasi pada tahap lanjut mengalami perubahan. Klien mengalami kelemahan
motorik secara umum sehingga mengganggu mobilitas fisik.
5. Pengkajian Refleks. Pemeriksaan reflex propunda, pengetukan pada tendon, ligamentum
atau periosteum derajat reflex pada respons normal. Gerakan involunter : tidak
ditemukan adanya tremor, kejang, tic dan distonia.
6. Pengkajian Sistem Sensorik. Parestesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki,
yang dapat berkembang ke ektremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Klien
mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik rabanya
B4 Bladder
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume
pengeluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah
jantung ke ginjal.
B5 Bowel Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien meningitis menurun karena anoreksia dan
kelemahan otototot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan
via oral menjadi berkurang.
B6 Bone
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien
secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh
orang lain.
B. Diagnosis Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan melemahnya otot-otot pernapasan.
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
3. Kerusakan Integritas kulit b.d lesi pada kulit
4. Hambatan mobilisasi fisik b.d defometas skeletal
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
6. Keletihan b.d peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi
7. Resiko infeksi b.d pertahan tubuh primer
C. Intervensi Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam, diharapkan pola
nafas membaik dengan Kriteria Hasil: penggunaan otot bantu napas meningkat,
frekuensi nafasmembaik
Intervensi Keperawatan dan Rasional
Intervensi Keperawatan Rasional
Pemantauan respirasi Manajemen Jalan Napas
Observasi: Observasi
a. Monitor pola napas a. Mengetahui pola nafas klien
b. Monitor bunyi napas tambahan b. Mengetahui bunyi nafas
(mis:gurgling, mengi, tambahan klien
wheezing, ronghi) c. Mengetahui jumlah dan warna
c. Monitor sputum sputum klien
(jumlah,warna,aroma) Terapeutik
d. Monitor adanya a. Mengetahui hasil yang telah
sumbatan jalan nafas dilakukan
e. Monitor saturasi Edukasi
oksigen Agar semua tenaga kesehatan yang
Terapeutik dinas saat itu mengetahui hasil
a. Dokumentasi hasil pemantauan
pemantauan
Edukasi
Informasikan hasil pemantauan, jika
perlu
BAB III
KAJIAN INTEGRESI KEILMUAN

Allah menciptakan alam seisinya sebagai rahmat untuk memaslahatan umat manusia.
Manusia berhak untuk memanfaatkan kekayaan alama semaksimal mungkina dalam rangka
untuk meningkatkan kesejahteraan mereka serta sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat yang
telah diberikan oleh Allah SWT. Seperti yang disebutkan dalam Al-Qur;an surah Al-Baqarah
ayat 29 :

‫س َم ۤا ِء‬
َّ ‫ست ٰ َٓوى اِلَى ال‬ ْ ‫ض َج ِم ْي ًعا ثُ َّم ا‬
ِ ‫ق لَ ُك ْم َّما فِى ااْل َ ْر‬
َ َ‫ي َخل‬ ْ ‫هُ َو الَّ ِذ‬
ْ ‫ت ۗ َو ُه َو بِ ُك ِّل ش‬
‫َي ٍء َعلِ ْي ٌم‬ ٍ ‫سمٰ ٰو‬َ ‫س ْب َع‬ َ َّ‫س ٰ ّوى ُهن‬َ َ‫ࣖ ف‬
Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak
(Menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan dia maha mengetahui segala
sesuatu )Qs Al-Baqarah:29)
Ayat diatas menjelaskan bahwa alam semesta beserta isinya yang sangat kompleks ini
diciptakan allah SWT untuk manusia. Mahluk ciptaan-Nya tersebut terdiri dari berbagai macam
jenis tumbuhnan, hewan, maupun migroorganisme. Allah telah menyatakan dalam surah Al-
baqarah ayat 26:

‫ضةً فَ َما فَ ْوقَهَا ۗ فَا َ َّما‬ ‫هّٰللا‬


َ ‫ب َمثَاًل َّما بَع ُْو‬ َ ‫ا َِّن َ اَل يَ ْستَحْ ٖ ٓي اَ ْن يَّضْ ِر‬
ُّ ‫الَّ ِذي َْن ٰا َمنُ ْوا فَيَ ْعلَ ُم ْو َن اَنَّهُ ْال َح‬
‫ق ِم ْن َّربِّ ِه ْم ۚ َواَ َّما الَّ ِذي َْن َكفَر ُْوا‬
‫هّٰللا‬
ۗ ‫ُضلُّ ِب ٖه َكثِ ْيرًا َّويَ ْه ِديْ بِ ٖه َكثِ ْيرًا‬ ِ ‫فَيَقُ ْولُ ْو َن َما َذٓا اَ َرا َد ُ بِ ٰه َذا َمثَاًل ۘ ي‬
‫ُضلُّ بِ ٖ ٓه اِاَّل ْال ٰف ِسقِي ۙ َْن‬
ِ ‫َو َما ي‬

“Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang
lebih kecil dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, mereka tahu bahwa itu kebenaran dari
Tuhan. Tetapi mereka yang kafir berkata, “Apa maksud Allah dengan perumpamaan ini?”
Dengan (perumpamaan) itu banyak orang yang dibiarkan-Nya sesat, dan dengan itu banyak
(pula) orang yang diberi-Nya petunjuk. Tetapi tidak ada yang Dia sesatkan dengan
(perumpamaan) itu selain orang-orang fasik.
Lafadz famaa fauqohaa (“atau yang lebih rendah dari itu) pada ayat diatas dimaksudnya
yaitu sesuatu yang lebih rendah dari nyamakuk dalam hal maka dan fisik mengingat nyamuk
adalah mahluk kecil yang tidak berarti.
Adapun ukuran hewan yang lebih kecil dibanding nyamuk antara lain yaitu bakteri.
Bakteri dalaha prganisme uniseluller dan prokariot serta umumnya tidak memiliki klorofil dan
berukuran renik (mikroskopi). Bakteri merupakan organisme paling banyak jumlahnya dan lebih
tersebar luas dibandingkan mahlukhidup lain.
DAFTAR PUSTAKA
Fatmawati,Atikah. 2018. Regulasi Diri Pada Penyakit Kronis—Systemic Lupus Erythematosus:
Kajian Literatur. Jurnal Keperawatan Indonesia. Volume 21 No 1. hal 43-50. pISSN
1410 4490. eISSN 2354-9203. DOI: 10.7454/jki.v21i1.542
Herdman, T.H & Kamitsuru, S. 2015. Diagnosis Keperawatan: definisi & Klasifikasi 2015-
2017. Jakarta: EGC.
Kemenkes RI. (2017). Situasi Lupus di Indonesia. Jakarta: Pusdatin–Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI. ISSN: 24427659.
Muthusamy,V. 2017. Systemic Lupu Serythematous (SLE). Responsi Kasus. Universitas :
Udayana
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Edisi 1.
Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Edisi 1 Cetakan
2. Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Edisi 1 Cetakan
2. Jakarta: DPP PPNI.
Fatmawati,Atikah. 2018. Regulasi Diri Pada Penyakit Kronis—Systemic Lupus Erythematosus:
Kajian Literatur. Jurnal Keperawatan Indonesia. Volume 21 No 1. hal 43-50. pISSN
1410 4490. eISSN 2354-9203. DOI: 10.7454/jki.v21i1.542

Anda mungkin juga menyukai