Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Systemic Lupus Erithematosus (SLE) atau yang biasa dikenal dengan istilah Lupus
adalah penyakit kronik atau menahun. SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu
suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh
darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan
yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak
diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut
(Delafuente, 2002).
Penyakit SLE merupakan salah satu penyakit yang masih awam ditelinga
masyarakat Indonesia. Namun, bukan berarti tidak banyak orang yang terkena penyakit
ini. Kementerian Kesehatan menyatakan lebih dari 5 juta orang di seluruh dunia
terdiagnosis penyakit Lupus. Sebagian besar penderitanya ialah perempuan di usia
produktif yang ditemukan lebih dari 100.000 setiap tahun. Di Indonesia jumlah
penderita penyakit Lupus secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan mencapai
jumlah 1,5 juta orang (Kementerian Kesehatan, 2012).
SLE dapat menyerang semua usia, namun sebagian besar pasien ditemukan pada
perempuan usia produktif.  Sembilan dari sepuluh orang penderita lupus (odapus)
adalah  wanita dan sebagian besar wanita yang mengidap SLE ini berusia 15-40 tahun.
Namun, masih belum diketahui secara pasti penyebab lebih banyaknya penyakit SLE
yang menyerang wanita.
SLE dikenal juga dengan penyakit 1000 wajah karena gejala awal penyakit ini tidak
spesifik, sehingga pada awalnya penyakit ini sangat sulit didiagnosa. Hal tersebut
menyebabkan penanganan terhadap penyakit lupus terlambat sehingga penyakit
tersebut banyak menelan korban. Penyakit ini dibagi menjadi tiga kategori yakni
discoid lupus, systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
Masing-masing kategori tersebut memiliki gejala, tingkat keparahan serta pengobatan
yang berbeda-beda.
Penderita SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tepat dan benar,
pengobatan yang diberikan haruslah rasional. Perawatan pada pasien SLE juga harus
diperhatikan, seperti mengurangi paparan sinar UV terhadap tubuh pasien.

1
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah tentang Asuhan
KeperawatanSystemic Lupus Erithematosus (SLE)

C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang Asuhan
KeperawatanSystemic Lupus Erithematosus (SLE)

2
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Definisi
Systemic Lupus Erithematosus (SLE) merupakan suatu penyakit auotoimun kronik
yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari yang
ringan sampai berat. (kapita selekta 2000). Sistemik lupus erytematosus adalah
penyakit otoimun kronis yang di tandai dengan berbagai antibodi yang membentuk
kompleks imun dan menimbulkan inflamasi pada berbagai organ.

B. Etiologi
1. Faktor genetic memiliki peranan yang sangat penting dalam kerentanan penyakit
SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang menderita SLE
juga.
2. Faktor lingkungan, yakni sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang
terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta
menginduksi apoptosis dari sel keratonosit.
3. SLE dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
memiliki gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan
degan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga
tubuh membentuk kompleks antibodi antinuclear (ANA) untuk menyaring benda
asing tersebut. (Herfindal et al, 2000)
4. Infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan
mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel
B limfosit non spesifik yang akan memicu terjadinya SLE. (Herfindal et al, 2000)

C. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan
oleh kombinasi antara lain: faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh
awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya
matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid,

3
isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan
seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau
obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel
T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan
jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi
tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

D. Klasifikasi
Ada tiga jenis lupus, yaitu :
1. Lupus Eritematosus Sistemik (LES), dapat menimbulkan komplikasi seperti lupus
otak, lupus paru-paru, lupus pembuluh darah jari-Jari tangan atau kaki, lupus kulit,
lupus ginjal, lupus jantung, lupus darah, lupus otot, lupus retina, lupus sendi, dan
lain-lain.
2. Lupus Diskoid, lupus kulit dengan manifestasi beberapa jenis kelainan kulit.
Termasuk paling banyak menyerang.
3. Lupus Obat, yang timbul akibat efek samping obat dan akan sembuh sendiri dengan
memberhentikan obat terkait. Umumnya berkaitan dengan pemakaian obat
hydralazine (obat hipertensi) dan procainamide (untuk mengobati detak jantung
yang tidak teratur).

E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa
lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan (Hahn,
2005).
1. Sistem Muskuloskeletal >> Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi,
nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
2. Sistem integumen >> Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-
kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa
pipi atau palatum durum.
3. Sistem cardiac >> Perikarditis merupakan manifestasi cardiac.
4. Sistem pencernaan >> Nyeri abdomen terdapat pada 25 % kasus SLE, mungkin
disertai mual (muntah jarang) dan diare. Gejala menghilang dengan cepat jika

4
gangguan sistemiknya mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin
disebabkan oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah kecil mesenterium
dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan
pankreatitis.
5. Sistem pernafasan >> Efusi pieura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada
yang bilateral.
6. Sistem vaskuler >> Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi
papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
7. Sistem perkemihan >> Kelainan ginjal ditemukan pada 68 % kasus SLE.
Manifestasi paling sering ialah proteinuria dan atau hematuria.
8. Sistem saraf >> Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup
seluruh bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.

F. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil
pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihans ecara penurunan
berat badan dan kemungkinan pula arthritis, pleuritis dan perikarditis. Tidak ada 1
terlaboratorium megungkapkan anemia yang sedang hingga berat, trombositopenia,
leukositosis atau leucopenia dan antibody antinukleus yang positif. Tes imunologi
diagnostik lainnya mungkin tetapi tidak memastikan diagnostic.

G. Penatalaksanaan
Penderita SLE tidak dapat sembuh sempurna (sangat jarang didapatkan remisi yang
sempurna). Terapi terdiri dari terapi suportif yaitu diet tinggi kalori tinggi protein dan
pemberian vitamin. Beberapa prinsip dasar tindakan pencegahan eksaserbasi pada SLE,
yaitu:
 Monitoring teratur
 Penghematan energi dengan istirahat terjadwal dan tidur cukup
 Fotoproteksi dengan menghindari kontak sinar matahari atau dengan pemberian sun
screen lotion untuk mengurangi kontak dengan sinar matahari

5
 Atasi infeksi dengan terapi pencegahan pemberian vaksin dan antibiotik yang
adekuat.
 Rencanakan kehamilan/hindari kehamilan.

H. Komplikasi
Lupus mungkin terlihat sebagai penyakit yang biasa terjadi pada kulit. Namun jika
tidak segera ditangani, lupus bisa menjadi momok bagi kehidupan Anda. Berikut ini
adalah beberapa komplikasi yang bisa terjadi jika penyakit lupus tidak ditangani
dengan cepat dan tepat:
1. Penyakit ginjal
2. Penyakit jantung
3. Penyakit paru-paru
4. Gangguan peredaran darah
5. Gangguan saraf dan mental
Banyak dari penderita lupus yang mengalami susah konsentrasi, cepat lupa, sakit
kepala yang sangat parah, khawatir berlebihan, dan selalu gelisah. Hal ini
dikarenakan penyakit lupus lama-kelamaan akan melemahkan kerja saraf dan
menyebabkan stres pada pasien.

6
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas
Penyakit SLE ( sistemik lupus eritematosus ) kebanyakan menyerang wanita, bila
dibandingkan dengan pria perbandingannya adalah 8 : 1. Penyakit ini lebih sering
dijumpai pada orang berkulit hitam dari pada orang yang berkulit putih.
2. Keluhan utama
Pada SLE (sistemik lupus eritematosus) kelainan kulit meliputi eritema malar (pipi)
ras seperti kupu-kupu, yang dapat mengenai seluruh tubuh, sebelumnya pasien
mengeluh demam dan kelelahan.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pada penderita SLE, di duga adanya riwayat penyakit anemia hemolitik,
trombositopeni, abortus spontan yang unik. Kelainan pada proses pembekuan darah
( kemungkinan sindroma, antibody, antikardiolipin ).
4. Riwayat penyakit keluarga
Faktor genetik keluarga yang mempunyai kepekaan genetik sehingga cenderung
memproduksi auto antibody tertentu sehingga keluarga mempunyai resiko tinggi
terjadinya lupus eritematosus.
5. Pola – pola fungsi kesehatan
- Pola nutrisi
Penderita SLE banyak yang kehilangan berat badannya sampai beberapa kg,
penyakit ini disertai adanya rasa mual dan muntah sehingga
mengakibatkan penderita nafsu makannya menurun.
- Pola aktivitas
Penderita SLE sering mengeluhkan kelelahan yang luar biasa.
- Pola eliminasi
Tidak semua dari penderita SLE mengalami nefritis proliferatif mesangial,
namun, secara klinis penderita ini juga mengalami diare.
- Pola sensori dan kognitif
Pada penderita SLE, daya perabaannya akan sedikit terganggu bila pada jari –
jari tangannya terdapat lesi vaskulitik atau lesi semi vaskulitik.

7
- Pola persepsi dan konsep diri
Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversibel yang menimbulkan bekas
seperti luka dan warna yang buruk pada kulit penderita SLE akan membuat
penderita merasa malu dengan adanya lesi kulit yang ada.
6. Pemeriksaan fisik
- Sistem integument
Pada penderita SLE cenderung mengalami kelainan kulit eritema molar yang
bersifat irreversibel.
- Kepala
Pada penderita SLE mengalami lesi pada kulit kepala dan kerontokan yang
sifatnya reversibel dan rambut yang hilang akan tumbuh kembali.
- Muka
Pada penderita SLE lesi tidak selalu terdapat pada muka/wajah
- Telinga
Pada penderita SLE tidak selalu ditemukan lesi di telinga.
- Mulut
Pada penderita SLE sekitar 20% terdapat lesi mukosa mulut.
- Ekstremitas
Pada penderita SLE sering dijumpai lesi vaskulitik pada jari-jari tangan dan jari
jari-jari kaki, juga sering merasakan nyeri sendi.
- Paru – paru
Penderita SLE mengalami pleurisy, pleural effusion, pneumonitis, interstilsiel
fibrosis.
- Leher
Penderita SLE tiroidnyamengalami abnormal, hyperparathyroidisme, intolerance
glukosa.
- Jantung
Penderita SLE dapat mengalami perikarditis, myokarditis, endokarditis,
vaskulitis.
- Gastro intestinal
Penderita SLE mengalami hepatomegaly / pembesaran hepar, nyeri pada perut.

8
- Muskuluskletal
Penderita mengalami arthralgias, symmetric polyarthritis, efusi dan joint
swelling.
- Sensori
Penderita mengalami konjungtivitis, photophobia.
- Neurologis
Penderita mengalami depresi, psychosis, neuropathies.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan SLE adalah:
1. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan peningkatan aktivitas penyakit,
kerusakan jaringan, keterbatasan mobolitas atau tingkat toleransi yang rendah.
2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri,
tidur/aktivitas yang tidak memadai, nutrisi yang tidak memadai dan depresi/stres
emosional.
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan
otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik, kurangnya atau
tidak tepatnya pemakaian alat-alat ambulasi.
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik serta
psikologis yang diakibatkan oleh penyakit kronik.

C. Perencanaan
Diagnosa Perencanaan
Keperawatan Tujuan dan kriteria Intervensi Rasional
hasil
Nyeri akut Setelah dilakukan 1) Kolaborasi 1) Menggunakan agens
berhubungan tindakkan pemberian farmakologi untuk
dengan inflamasi keperawatan analgetik dan kaji meredakan atau
dan peningkatan selama ... x 24 jam skala nyeri menghilangkan nyeri
aktivitas diharapkan nyeri 2) Ukur TTV pasien 2) Mengetahui perubahan
penyakit, berkurang dengan 3) Observasi respon TTV pasien
kerusakan kriteria hasil: nonverbal dari 3) Mengetahui respon
jaringan, -Skala nyeri ketidaknyamanan pasien terhadap nyeri
keterbatasan berkurang
mobolitas atau - TTV dalam batas
tingkat toleransi normal
yang rendah. -     Kegelisahan

9
berkurang
Keletihan Setelah dilakukan 1) Monitor nutrisi 1) Mengontrol asupan
berhubungan tindakkan dan sumber energi nutrisi pasien untuk
dengan keperawatan yang adekuat mengurangi keletihan
peningkatan selama ... x 24 jam 2) Kaji tingkat 2) Mengetahui apakah
aktivitas diharapkan kecemasan pasien pasien cemas untuk
penyakit, rasa keletihan teratasi 3) Monitoring pola mengurangi keletihan
nyeri, dengan kriteria tidur dan lamanya 3) Mengetahui apakah
tidur/aktivitas hasil: tidur/ istirahat istirahat/ tidur pasien
yang tidak -      Glukosa darah pasien cukup
memadai, nutrisi adekuat
yang tidak -      Kecemasan
memadai dan menurun
depresi/stres -      Istirahat cukup
emosional.
Hambatan -    Setelah 1) Latih pasien 1) Melatih pasien untuk
mobilitas fisik dilakukan berpindah dari berpindah untuk
berhubungan tindakkan tempat tidur ke menghindari dissus
dengan keperawatan kursi atrofi.
penurunan selama ... x 24 jam 2) Ukur TTV pasien 2) Mengetahui perubahan
rentang gerak, diharapkanpasien saat dan setelah TTV pasien saat dan
kelemahan otot, menunjukkan beraktivitas setelah pasien
rasa nyeri pada mobilitas fisik 3) Latih pasien dalam beraktivitas
saat bergerak, dengan kriteria pemenuhan 3) Memandirikan pasien
keterbatasan hasil: kebutuhan ADL dalam memenuhi
daya tahan fisik, -    Mampu secara mandiri kebutuhan ADL
kurangnya atau berpindah dari
tidak tepatnya tempat duduk ke
pemakaian alat- kursi
alat ambulasi. -    TTV normal
saat dan setelah
beraktivitas
-    Mampu
melakukan
kebutuhan ADL
secara mandiri
Gangguan citra Setelah dilakukan 1) Kaji secara verbal 1) Mengetahui apakah
tubuh tindakkan dan nonverbal body image pasien
berhubungan keperawatan respon klien positif atau tidak
dengan selama ... x 24 jam terhadap 2) Membantu pasien untuk
perubahan dan diharapkan pasien tubuhnya mempertahankan
ketergantungan dapat menerima 2) Fasilitasi kontak interaksi sosialnya
fisik serta keadaan tubuhnya dengan individu 3) Mendorong pasien untuk
psikologis yang dengan kriteria lain dalam mengungkapkan secara
diakibatkan oleh hasil: kelompok kecil faktual tentang
penyakit kronik. -   Body image 3) Dorong klien perasaannya terhadap
positif mengungkapkan perubahan fungsi tubuh
-  Mempertahankan perasaannya

10
interaksi sosial
-   Mendeskripsikan
secara faktual
perubahan fungsi
tubuh

D. Evaluasi
Diagnosa keperawatan Evaluasi
Nyeri akut berhubungan 1) Pasien mengatakan skala nyeri berkurang
denganinflamasi dan peningkatan 2) TTV dalam batas normal
aktivitas penyakit, kerusakan jaringan, 3) Kegelisahan berkurang
keterbatasan mobolitas atau tingkat
toleransi yang rendah.
Keletihan berhubungan dengan 1) Glukosa darah adekuat
peningkatan aktivitas penyakit, rasa 2) Kecemasan menurun
nyeri, tidur/aktivitas yang tidak 3) Istirahat cukup
memadai, nutrisi yang tidak memadai
dan depresi/stres emosional.
Hambatan mobilitas fisik berhubungan 1) Mampu berpindah dari tempat duduk ke kursi
dengan penurunan rentang gerak, 2) TTV normal saat dan setelah beraktivitas
kelemahan otot, rasa nyeri pada saat 3) Mampu melakukan kebutuhan ADL secara
bergerak, keterbatasan daya tahan fisik, mandiri
kurangnya atau tidak tepatnya
pemakaian alat-alat ambulasi.
Gangguan citra tubuh berhubungan 1) Body image pasien terlihat positif
dengan perubahan dan ketergantungan 2) Pasien mampu mempertahankan interaksi sosial
fisik serta psikologis yang diakibatkan 3) Pasien mampu mendeskripsikan secara faktual
oleh penyakit kronik. perubahan fungsi tubuh

11
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Systemic Lupus Erithematosus (SLE) atau yang biasa dikenal dengan istilah Lupus
adalah penyakit kronik atau menahun. SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu
suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh
darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan
yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak
diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut
(Delafuente, 2002).
SLE dapat menyerang semua usia, namun sebagian besar pasien ditemukan pada
perempuan usia produktif.  Sembilan dari sepuluh orang penderita lupus (odapus)
adalah  wanita dan sebagian besar wanita yang mengidap SLE ini berusia 15-40 tahun.
Namun, masih belum diketahui secara pasti penyebab lebih banyaknya penyakit SLE
yang menyerang wanita.

B. Saran
Sebaiknya apabila ada salah satu anggota keluarga atau saudara kita terkena
penyakit SLE dan sedang menjalani pengobatan, lebih baik jangan dihentikan. Karena,
apabila dihentikan maka penyakit akan muncul kembali dan kumatlagi. Prognosisnya
bertambah baik akhir-akhir ini, kira-kira 70% penderita akan hidup 10 tahun setelah
timbulnya penyakit ini. Apabila didiagnosis lebih awal dan pengenalan terhadap bentuk
penyakit ini ketika masih ringan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Chang, Esther, dkk. 2009. Patofisiologi Aplikasi Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC.

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC. 

Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Mrdikal-Bedah Volume 2. Jakarta:


EGC.

Gusti Pandi Liputo. 2012. “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan  Sistem

Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Buku 2 Edisi 4. Jakarta: EGC. 

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta: Media
Aesculapius.

13

Anda mungkin juga menyukai