Anda di halaman 1dari 6

LAPORAN PENDAHULUAN

GLAUKOMA

DI SUSUN OLEH:
NAMA : AHMAD AMIN BAWAPI
NIM :20201440120003
KELAS :5A

YAYASAN BANJAR INSAN PRESTASI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INTAN MARTAPURA
DIPLOMA TIGA KEPERAWATAN
2022/2023
Laporan Pendahuluan SLE ( Systemic Lupus Erythematosus)

A. DEFINISI
1. SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak
faktor (Isenberg and Horsfall, 1998) .
2. SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya
belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik
remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.
(Albar, 2003)
3. Penyakit lupus merupakan penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto imun, dimana
tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti
ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya ditujukan
untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.
4. Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah suatu penyakit yang tidak jelas etiologinya, yaitu
terjadinya kerusakan jaringan dan sel akibat autoantibodi dan kompleks imun yang
ditunjukkan kepada salah satu atau lebih komponen inti sel. Prevalensi penyakit ini pada
wanita usia subur adalah sekitar 1 dari 500. Angka kelangsungan hidup 10 dan 20 tahun
masing-masing adalah 75 dan 50 persen, dengan infeksi, kekambuhan lupus, kegagalan organ
ujung (end-organ), dan penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian.
(Kenneth J. Leveno, dkk, 2009)
B. EPIDEMIOLOGI
Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia (Yayasan Lupus Indonesia).
Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3 – 400 orang per 100.000 penduduk
(Albar, 2003). SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika – Amerika, Cina,
dan mungkin juga Filipina.
Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000
populasi (Bartels, 2006). Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and Horsfall,1998).
Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE,
penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris,
SLE mempunyai prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000
populasi.
Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan
jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil
survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81
orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan
low back pain.
C. ETIOLOGI
 Faktor genetic memiliki peranan yang sangat penting dalam kerentanan penyakit SLE.
Sekitar 10% – 20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang menderita SLE juga.
 Faktor lingkungan, yakni sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar
sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi
apoptosis dari sel keratonosit.
 SLE dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang memiliki gen
HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh
sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan degan protein tubuh. Hal ini
direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi
antinuclear (ANA) untuk menyaring benda asing tersebut. (Herfindal et al, 2000)
 Infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan
mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B
limfosit non spesifik yang akan memicu terjadinya SLE. (Herfindal et al, 2000)
D. PATOFISIOLOGI
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan
autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara lain:
faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama
usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti
hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping
makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-
obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang
abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan
menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang
kembali.
E. KLASIFIKASI
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic lupus
erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
1. Discoid Lupus >> Dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit lupus yang menyerang
kulit. Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi,
skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga,
wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi
ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks
kulit secara menetap (Hahn, 2005).
2. Systemic Lupus Erythematosus >> Adalah penyakit lupus yang menyerang kebanyakan
sistem di dalam tubuh, seperti kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati otak dan sistem
saraf. SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh
banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan
disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang
berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam
ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan
jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998)
3. Lupus yang diinduksi oleh obat >> Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu
khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi
obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan
obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh
sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda
asing tersebut. Gejala-gejalanya biasanya menghilang setelah pemakaian obat dihentikan
(Herfindal et al., 2000).
F. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah, malaise, demam,
penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan (Hahn, 2005).
1. Sistem Muskuloskeletal >> Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan
dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
2. Sistem integumen >> Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum
durum.
3. Sistem cardiac >> Perikarditis merupakan manifestasi cardiac.
4. Sistem pencernaan >> Nyeri abdomen terdapat pada 25 % kasus SLE, mungkin disertai
mual (muntah jarang) dan diare. Gejala menghilang dengan cepat jika gangguan
sistemiknya mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh
peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang
mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan pankreatitis.
5. Sistem pernafasan >> Efusi pieura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada yang
bilateral. Mungkin ditemukan sel LE (lamp. dalam cairan pleura. Biasanya efusi menghilang
dengan pemberian terapi yang adekuat. Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat
ditegakkan jika faktor-faktor lain seperti infeksi virus, jamur, tuberkulosis dan sebagainya
telah disingkirkan.
6. Sistem vaskuler >> Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
7. Sistem perkemihan >> Kelainan ginjal ditemukan pada 68 % kasus SLE. Manifestasi paling
sering ialah proteinuria dan atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik dan kegagalan
ginjal jarang terjadi; hanya terdapat pada 25 % kasus SLE yang urinnya menunjukkan
kelainan. Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis penyakit SLE difus dan
nefritis penyakit SLE membranosa. Nefritis penyakit SLE difus merupakan kelauanan yang
paling berat. Klinis biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan
fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis penyakit SLE membranosa lebih jarang
ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta
perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif. Kelainan
ginjal lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis kronik, tuberkulosis ginjal
dan sebagainya. Gagal ginjal merupakan salah satu penyebab kematian SLE kronik.
8. Sistem saraf >> Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh
bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
G. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan menurut Betz (2002), Catzel(1995), Hartman(1994), antara lain :
 Pemeriksaan Fisik
 Meliputi pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal, integument dan vaskuler.
 Inspeksi : bentuk kepala, leher dan thorax simetris atau tidak, tampak bengkak & kemerahan
pada metacarpophalangaeal dextra & sinistra atau tidak, tampak adanya deformitas dan
tampak adanya lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi pasien atau tidak. Ada ruam pada wajah dan leher klien
atau tidak.
 Palpasi : raba apa ada pembesaran kelenjar dan terdapat massa atau tidak, pergerakan
nafasnya normal atau tidak, ada nyeri tekan atau tidak di daerah abdomen dan daerah
ekstremitas atas maupun bawahnya, serta raba ada krepitasi atau tidak pada ekstremitas atas
maupun bawah klien. Ada oedema atau tidak dan suhu teraba hangat atau tidak.
 Perkusi: suara ketuknya sonor atau timpani.
H. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan darah. Gejala
yang klasik mencakup demam, keletihans ecara penurunan berat badan dan kemungkinan pula arthritis,
pleuritis dan perikarditis. Tidak ada 1 terlaboratorium megungkapkan anemia yang sedang hingga berat,
trombositopenia, leukositosis atau leucopenia dan antibody antinukleus yang positif. Tes imunologi
diagnostik lainnya mungkin tetapi tidak memastikan diagnostik
Anti ds DNA
 Batas normal : 70 – 200 iu/mL
 Negatif : < 70 iu/mL
 Positif : > 200 iu/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE aktif dan jarang pada penderita dengan
penyakit lain. Jumblah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang
dapat ditemukan pada penderitadengan penyakit reumatik dan lain-lain, hepatitis kronik, infeksi
mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan
dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya mendekati
negativ pada penyakit SLE yang tenang.
Antinuklear antibodies ( ANA )
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimunyang lain. ANA adalah sekelompok antibody
protein yang beraksi menyerang inti dari suatu sel. Ana cukup sensitif untuk mendektisi adanya SLE ,
hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA
juga berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut. Setelah pemberian terapi
maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumblah ANA diperkirakan menurun.
Jika hasil test negativ, maka pasien belum tentu negativ terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga
data klinis dan test laboratorium yang lain, jika hasil test posotof maka sebaiknya dilakukan test
laboratorium yang lain tetapi jika hasil test negativ maka sebaiknya dilakukan test serelogi yang lain
untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-smith ( anti
SM ). Anti RNP/antiribonukleo protein.
Pemeriksaan khusus:
 Biopsi ginjal
 Biopsi kulit
Pemeriksaan imunofluoresensi direk menunjukan deposit IgG granular pada dermaepidermal junction,
baik pada lesi kulit yang aktif (90%) maupun pada kulit yang tidak terkena (70%).

I. PENATALAKSANAAN
Penderita SLE tidak dapat sembuh sempurna (sangat jarang didapatkan remisi yang sempurna). Terapi
terdiri dari terapi suportif yaitu diet tinggi kalori tinggi protein dan pemberian vitamin. Beberapa prinsip
dasar tindakan pencegahan eksaserbasi pada SLE, yaitu:
 Monitoring teratur
 Penghematan energi dengan istirahat terjadwal dan tidur cukup
 Fotoproteksi dengan menghindari kontak sinar matahari atau dengan pemberian sun screen
lotion untuk mengurangi kontak dengan sinar matahari
 Atasi infeksi dengan terapi pencegahan pemberian vaksin dan antibiotik yang adekuat.
 Rencanakan kehamilan/hindari kehamilan.

obat – obatan yang biasa digunakan pada SLE adalah sebagai berikut:
1. Nonsteroid anti inflamatori drugs {NSAIDS} >> NSAIDS berguna karena kemampuanya
sebagai analgesic, antipiretik dan inflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan
demam dan arthralgia/arthiritis. Aspirin adalah salah satu yang paling banyak diteliti
kegunaannya. Ibuferon idometasin cukup efektif untuk mengobati SLE dengan arthiritisdan
pleuritis, dalam kombinasi dengan steroid dan antimanalria. Keterbatasan obat ini adalah
efek samping yang lebih sedikit, diharapkan dapat mengatasi hal ini, saying belum ada
penelitian mengenai efektifitasnya pada SLE. Efek samping dari OAINS adalah: reaksi
hipersensivitas, gangguan renal, retensi cairan, meningitis aseptik.
2. Korticosteroid >> Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekanisme antiinflamasi dan
amunosuprefh dari berbagai jenis steroid yang paling sering digunakan adalah pprednison
dan multipred nisinosolon. Pada SLE yang ringan yang tidak dapat dikontrol oleh NSAID
dan antimalaria, diberikan prednison 2,5 mg samapai 5 mg,. Dosis ini ditingkatkan 20% 1
sampai 2 minggu tergantung dari respon klinis. Pada SLE yang akut dan yang mengancam
jiwa langsung diberikan steroid, NSAID dan antimalariatidak efektif pada keadaan itu.
Manifestasi serius SLE yang membaik de ngan steroid antara lain: vaskulitis, dermatitis
berat miocarditis, lupus pneumonitis, glomerulonefritis, anemia haomolitik, neufropati
perifer dan kasus lupus.Pada SLE aktif dan berat, terdapat beberapa regment pembenan
steroid:
1. Regmen I : daily oral short acting {predmison, prednisolon, multiprednisolon} dosis: 1-
2mg/kgBB/hari dimulai dari dosis terbagi, lalu diturunkan secara bertahap sesuai dengan
perbaikan klinis dan laboratories. Regimen ini sangat cepat mengontrol penyakit ini, 5-10
hari untuk manifestasi hamatologis atau saraf atau vaskulitis, 3-10 minggu untuk
glumerulonefritis
2. Regimen II : methyprednisolon intravena, dosis : 500-1000mg/hari, selama 3-
5 minggu atau 30 mg/kgBB/hari selama 3 hari. Regimen mungkin sangat cepat
mengontrol penyakit lebih cepat dari pada terapi oral setiap hari, tetapi efek
yang hanyan bersifat sementara, sehingga tidak digunakan untuk terapi SLE
jangka lama
3. Regimen III : Kombinasi regimen 1 dan 2 obat sitoksit ezayhioprine cyclophos
phamide.
4. Setelah kelainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan kecepatan 2,5-
5 mg/minggu sampai dicapai maintenance dose.
3. Antimalaria >> Efektifitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi telah
lama diketahui dan obat ini telah dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk cara
mengganggu pemoresan antigen dimakrofag dan sel pengaji antigen yang lain dengan
peningkatan PH di dalam vakuolalisosomal. Juga menghamabat dan mengabsorbsi sinar
UV, bebera penelitian melaporkan bahwa antimalaria dapat menurunkan kolestrol total,
HDL, LDL. Pada penderita SLE yang menerima steroidmaupun yang tidak. Terdapat 3 obat
antimalaria yang tersedia, hidroksikolokulin. Dosis 200-400mg/hari, klorokuin dan efek
sampingnya lebih ringan. Efek samping antimalaria yang paling sering adalah efek pada
saluran pencernaan, kembung, mual dan muntah. Efek samping lain adalah timbulnya ruam,
toksisitas retin dan neurologis
4. Methoreksat >> Methoreksat adalah antagonis folat yang jika diberikan dalam dosis untuk
penyakit rematik efek imunosupresifinyalebih lemah dari pada obat alkilating atau zat
hioprin . methorekxate dosis rendah mingguan 7,5-15mg, efektif sebagai “steroid spring
agent” dan dapat diterima baik oleh penderita, terutama pada manifestasi klinis dan
muskluskletal.
Efek samping yang paling seringdipakai adalah: lekopenia, ulkus oral, toksisitas gastrointestinal dan
hepaktotoksitas. Untuk pemantauan efek samping diperlukan pemeriksaan darah lengkap, tes fungsi ginjal
dan hepar pada penderita dengan efek samping gastrointestinal, pemberian asam folat 5mg tiap minggu
akan mengurangi efek tersebut.

Anda mungkin juga menyukai