SLE
A.
PENGERTIAN
SLE (Systemic Lupus Erythematosus) merupakan penyakit radang atau inflamasi
multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan
dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan
sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun yang
ditandaiadanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem
dalam tubuh.Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks
imun sehinggamengakibatkan kerusakan jaringan.( Lamont, David E, DO ;2006 )
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah suaru penyakit yang tidak jelas
etiologinya, yaitu terjadinya kerusakan jaringan dan sel akibat autoantibodi dan
kompleks imun yang ditujukan kepada salah satu atau lebih komponen inti sel.
(Leveno, Kenneth J. ; 2009)
B.
Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid
lupus,systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
a.
Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi,
skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala,
telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan
kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian
tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
b.
Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh
banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan
disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi
yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai
macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat
menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan
komplemen.
c.
Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat
yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat
banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan
dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga
tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda
asing tersebut (Herfindal et al., 2000).
C.
ETIOLOGI
Etiologi dari penyakit SLE belum diketahui dengan pasti. Selain factor keturunan
(genetis) dan hormon, diketahui bahwa terdapat beberapa hal lain yang dapat
menginduksi SLE, diantaranya adalah virus (Epstain Barr), obat (contoh : Hydralazin
dan Procainamid), sinar UV, dan bahan kimia seperti hidrazyn yang terkandung dalam
rokok, mercuri dan silica.
PATOFISIOLOGI
Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi. Prosesnya diawali dengan
faktor pencetus genetik, serta faktor yang berasal dari lingkunagan seperti kuman dan
virus, dapat pula infeksi, sinar ultraviolet atau bahan kimia. Cetusan ini menimbulkan
abnormalitas respons imun di dalam tubuh yaitu:
1. Sel T dan B menjadi otoreaktif
2. Pembentukan sitokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulator kontrol pada sisitem imun, antara lain
A. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun
sitokin di dalam tubuh
B. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
C. Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen
karena adanya mimikri molekul
Akibat proses tersebut , maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh
yang di sebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodi2 yang membentuk kompleks
imun . kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan /organ yang akhirnya
menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.
Antibodi2 yang terbentuk pada SLE sangat banyak, antara lain Antinuclear
antibodi (ANA), anti double staranded DNA (ds DNA), anti-ss A (Ro), anti-ss B (La),
antiribosomal P antibody, anti Sm, sd-70
Selain itu hilangnya kontrol sistem imun pada patogenesis lupus juga diduga berperan
pada timbulnya gejala klinis pada SLE
E.
PATHWAY
Genetik, kuman/virus, sinar ultraviolet, dan obat-obatan tertentu
Perubahan
perfusi
Produksi
antibodi
Mencetus
Kulit Hati
Sendi
Kerusakan
integumen
kulit
Atritis
Paru-paru
Efusi
Pleura
Intoleran
aktifitas
Pola nafas
tidak efektif
Kerusakan
integritas kulit
b/d lesi atau
malar pada
lapisan kulit
Intoleransi
aktifitas b/d
peradangan
pada sendi
Terjadi
kerusakan
sintesa zatzat yg
dibutuhkan
tubuh
Perubahan
nutrisi kurang
dari kebutuhan
F.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan
masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi
di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.
1.
Sistem Muskuloskeletal
a)
Artralgia
b)
artritis (sinovitis)
c)
pembengkakan sendi,
d)
nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, dan
e)
rasa kaku pada pagi hari.
2.
Sistem Integument (Kulit)
a)
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi, dan
b)
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3.
Sistem kardiak
a)
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4.
Sistem pernafasan
a)
Pleuritis atau efusi pleura.
5.
Sistem vaskuler
a)
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
b)
eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor
lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6.
Sistem perkemihan
a)
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7.
Sistem saraf
a)
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk
penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
G.
KOMPLIKASI
Komplikasi lupus eritematosus sistemik
1. Serangan pada Ginjal
a)
b)
c)
Pleuritis
b)
Pericarditis
c)
Efusi pleura
d)
Efusi pericard
e)
f)
Gagal jantung
g)
Cognitive dysfunction
Sindrom anti-phospholipid
Sindrom otak
Fibromyalgia.
b)
c)
Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak, dapat
menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang sifatnya permanen (stroke).
Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem saraf otonom.
4. Serangan pada Kulit
Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya disebut
lesi diskoid
Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir 70-an :
a)
Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat sensitif terhadap
sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult subakut/cutaneus lupus subacute.
Kadang menyerupai luka psoriasis atau lesi tidak berparut berbentuk koin.
b)
Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat mencakup area yang
luas di bagian tubuh
c)
Anemia
Trombositopenia
Gangguan pembekuan
Limfositopenia
H.
PENATALAKSANAAN
Adapun Obat-obat Lupus secara umum adalah :
1. NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)
NSAIDs adalah obat anti inflamasi non steroid) merupakan pengobatan yang efektif
untuk mengendalikan gejala pada tingkatan ringan, tapi harus digunakan secara hati-hati
karena sering menimbulkan efek samping peningkatan tekanan darah dan merusak
fungsi ginjal. Bahkan beberapa jenis NSAID dapat meningkatkan resiko serangan
jantung dan stroke. (Djoerban, 2002).
2. Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam pengendalian lupus.
Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah untuk pengendalian penyakit, namun
kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu
lama. Steroid dapat memperburuk hipertensi, memprovokasi diabetes dan memiliki efek
buruk pada profil lipid yang mungkin berkontribusi pada meningkatnya kematian akibat
penyakit jantung. Steroid dosis tinggi meningkatkan risiko pendarahan gastrointestinal
dan terjadi pada pada dosis yang lebih rendah jika digunakan bersama NSAID.
Osteonekrosis (nekrosis avaskular) juga cukup umum pada lupus dan tampaknya terkait
terutama dengan penggunaan steroid oral dosis tinggi atau metilprednisolon intravena.
Meskipun memiliki banyak efek samping, obat kortikisteroid tetap merupakan obat yang
berperan penting dalam pengendalian aktifitas penyakit. Karena itu, pengaturan dosis
yang tepat merupakan kunci pengobatan yang baik (Djoerban, 2002).
3. Antimalaria
Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan dibanding kloroquin karena
risiko efek samping pada mata diyakini lebih rendah. Obat ini memiliki manfaat untuk
mengurangi kadar kolesterol, efek anti-platelet sederhana dan dapat mengurangi risiko
cedera jaringan yang menetap serta cukup aman pada kehamilan (Djoerban, 2002).
4. Immunosupresan
a. Azathioprine
Azathioprine (Imuran) adalah antimetabolit imunosupresan: mengurangi biosintesis
purin yang diperlukan untuk perkembangbiakan sel termasuk sel sistem kekebalan
tubuh
b. Mycophenolate mofetil
Mycophenolate mofetil (MMF) berfungsi menghambat sintesis purin, proliferasi
limfosit dan respon sel T antibodi.
c. Methotrexate
I.
PEMERKSAAN PENUNJANG
1.
Pemeriksaan Laboratorium
a)
Tes Anti ds-DNA
Batas normal : 70 200 IU/mL
Negatif
: < 70 IU/mL
Positif
: > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang
pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk
SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita
dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan
sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan
dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis.
Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua
tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti dsDNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA
kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang
lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk
diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit
tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang dapat
menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana,
2002).
b)
Tes Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah
sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA
cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95%
penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga
berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan
dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian
terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun.
Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus
dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika
hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk
menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi
anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau
anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002).
2.
Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk
monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P,
antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi
inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP),
kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum
kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).
3.
Pemeriksaan penunjang
a)
Ruam kulit atau lesi yang khas.
b)
Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.
c)
Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan
pleura atau jantung.
d)
Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5
mg/hari atau +++.
e)
Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah.
f)
Biopsi ginjal.
g)
Pemeriksaan saraf.
ASUHAN KEPERAWATAN
SLE
A. Pengkajian
a. Identitas
Umur
Jenis kelamin : penderita penyakit pada wanita dan pria atau 9:1 dan
Kasus ini menyerangn wanita dalam usia produktif
b. Riwayat Keperawatan
a. Keluhan Utama
Pasien dengan SLE mengeluhkan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia
dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
b. Riwayat penyakit sekarang
Pasien biasanya mengeluh sama dengan keluhan utamanya, akan tetapi respon tiap orang
berbeda terhadap tanda dan gejala SLE tergantung imunitas masing-masing
c. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit dahulu walaupun tidak terlalu spesifik biasanya akan didapatkan adanya
keluhan mudah lelah, nyeri, anoreksia dan penurunan berat badan secara signifikan.
d. Riwayat penyakit keluarga
Pasien yang mempunyai keluarga yang pernah terkena penyakit Lupus ini akan dicurigai
berkecenderungan untuk terkena penyakit ini, >/ 5-12% lebih besar dibandingkan orang
normal.
Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversibel yang menimbulkan bekas seperti luka
dan warna yang buruk pada kulit penderita SLE akan membuat penderita merasa malu dengan
adanya lesi kulit yang ada.
8) Pola peran hubugan
Penderita tidak dapat melakukan pekerjaan atau kegiatan yang biasa dilakukan selama
sakit. Namun masih dapat berkomunikasi. Selama sakit pasien tidak dapat melakukan perannya
sehari-hari dengan baik.
9) Pola reproduksi dan seksualitas
Biasanya penderita LES tidak mengalami gangguan dalam pola seksual reproduksi.
10) Pola koping dan toleransi stress
Biasanya klien merasa depresi dengan penyakitnya dan juga stress karena nyeri yang
dihadapi. Untuk menghadapi semua ini klien perlu selalu diberi dukungan oleh keluarga dan
tetangganya sehingga klien semangat untuk sembuh.
11) Pola nilai dan kepercayaan
Biasanya aktivitas ibadah klien terganggu karena keterbatasan aktivitas akibat kelemahan
dan nyeri sendi.
2.1.Pemeriksaan fisik
a. Status kesehatan umum
b. Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan pasien secara umum,
ekspresi wajah pasien selama dilakukan amnesa, sikap dan perilaku pasien terhadap petugas,
bagaimana mood pasien untuk mengetahui tingkat kecemasan dan ketegangan pasien.
Head to toe
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Kepala (wajah):
1. Terdapat ruam (malar) pada pipi yang tampak kemerah-merahan
2. Terdapat lesi pada kulit kepala
3. Rambut rontok/tidak
4. Terdapat butterfly rash bersisik pada wajah terutama pipi dan sekitar hidung,
telinga, dagu, daerah V pada leher.
5. Hidung mimisan / tidak.
6. Kulit gatal/tidak.
Mata: Anemis/an anemis, gangguan penglihatan.
Mulut/bibir: terdapat sariawan, nyeri pada mukosa, gangguan, menelan.
Punggung: terdapat butterfly rash (bersisik) pada punggung atas.
Ekstremitas: kulit seperti terbakar, pembengkakan pada tangan, kaki , bahu, pinggang,
Kulit berwarna kemerah-merahan, Kulit teraba dingin, Pada sendi terdapat Arthtitis+/(bengkak pada sendi).
Dada: bila bernapas nyeri/tidak.
Jantung: Perikarditis, endokarditis, miokarditis.
h.
Kerusakan jantung dan pembuluh darah yang diderita odapus berupa cairan pada selaput jantung,vegetasi pada
katup jantung ,perkapuran (atelrosklerosis)pada pembuluh darah dan nyeri pada ujung-ujung jari dan
perubahan warna dari putih menjadi kebiruan jika terkena udara dingin dan emosi yang meningkat disebut
dengan fenomena reynaud
Susunan saraf
15 % Gangguan otak,saraf dan kejiwaan didapati pada odapus, kelainana dapat berupa kejang-kejang
,kelemahan otot ,depresi,gelisah dan stroke.
Paru-paru
Sesak nafas yang dirasakan pada odapus dapat disebabkan karena adanya cairan pada selaput parunya dan juga
karena akibat infeksi paru(pneumonia)
B. DIAGNOSA
a)
b)
c)
C. INTERVENSI
1.
D. EVALUASI
DAFTAR PUSTAKA