A. Pengertian
vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di
orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan
pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).
B. Etiologi
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat
Sthreptomicine
Sulfonamida
Tetrasiklin
paracetamol)
Klorpromazin
Karbamazepin
Tegretol
Jamu
5. Makanan
C. Patofisiologi
tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang
kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV
terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama
kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah
mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan
kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa
antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan
degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya
rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel
yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil
Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang
bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed)
D. Manifestasi Klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya
bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita
dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal
berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
1. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula
kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%)
kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genital (50%) sedangkan dilubang
Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi
dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Di bibir
kelainan yang sering tampak yaitu krusta berwarna hitam yang tebal.
Kelainan dimukosa dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian
atas dan esopfagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat
bernafas.
3. Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah
perdarahan, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut
diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau
darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan
G. Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan
prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi
menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan
mg sehari.
masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama
mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg.
(K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia
diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia.
Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi
2. Antibiotik
mg.
sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran
dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan
Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan
transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus
yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula
4. Topikal :
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in oral base. Untuk lesi
di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.
H. Pemeriksaan Penunjang
sel darah merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan spongiosis
A. Pengkajian
a. Data Subyektif
Klien mengeluh demam tinggi, lemah letih, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri
b. Data Obyektif
Kulit eritema, papul, vesikel, bula yang mudah pecah sehingga terjadi erosi yang
Krusta hitam dan tebal pada bibir atau selaput lendir, stomatitis dan
pseudomembran di faring
c. Data Penunjang
Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah,
degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan edema intrasel di
epidermis.
Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang mengandung
1. Gangguan integritas Menunjukkan kulit dan a. Observasi kulit setiap hari Menentukan garis dasar dimana perubahan
kulit jaringan kulit yang utuh catat turgor sirkulasi dan pada status dapat dibandingkan dan
b. Gunakan pakaian tipis dan Menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan
infeksi.
untuk pemberian
kortikosteroid.
2. Gangguan nutrisi kurang Menunjukkan berat a. Kaji kebiasaan makanan Memberikan pasien/orang terdekat rasa
dari kebutuhan tubuh badan yang disukai/tidak disukai. kontrol, meningkatkan partisipasi dalam
badan. pemasukan.
keadaan hangat.
d. Kerjasama dengan ahli gizi Kalori protein dan vitamin untuk memenuhi
3. Gangguan rasa nyaman, a. Melaporkan nyeri a. Kaji keluhan nyeri, Nyeri hampir selalu ada pada beberapa
b. Menunjukkan intensitasnya.
ekspresi
rileks. kenyamanan dasar ex: pijatan tegangan otot dan kelelahan umum
indikasi.
4. Gangguan intoleransi Klien melaporkan a. Kaji respon individu terhadap Mengetahui tingkat kemampuan individu
aktivitas.
dimiliki klien.
penglihatan b. Menyadari
permanen.
- Orientasikan thd
lingkungan.
jangkuan pengelihatan
klien.
- Berikan pencahayaan
yang cukup.
- Letakan alat-alat
- Berikan bahan-bahan
yang besar.
- Hindari pencahayaan
yang menyilaukan.
bunyinya.
diterima klien.
DAFTAR PUSTAKA
Davis, Mark D., Rogers, Roy S., Pittelkow, Mark R. (2002). Recurrent Erythema
Multiforme/Stevens-Johnson Syndrome. Arch Dermatol vol.138
Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd edition. Bagian
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2002. p:139-142
Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. In Ilmu Penyakit Mata. 3rd edition. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2004. Hal 135-136.
Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd edition. EGC.
Jakarta. 2004. hal 141-142.
Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita
Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139
Metry, Denise w., Jung, Peter., Levy, Moise L. (2002). Use of Intravenous Immunoglobulin
in Children With Steven-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis: Seven
case and review of the Literature. Official journal of the American Academy of
Pediatric. 112, 1430-1436
Parrillo, Steven j. 2010. Steven Johnson Syndrome in Emergency medicine. E-Medicine. URL
: http://www.emedicine.medscape.com/article/756523-overview
Price dan Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta:
EGC
Roujeau, Jean-Claude, Kelly., Judith P., Naldi, L., Rzany, B., Stern, R., Anderson, T., et al.
(1995). Medication use and the risk of steven-Johnson syndrome or toxic epidermal
necrolysis. The New England Journal of Medicine. 1995,1600-7