Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DIABETES MELITUS

KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Pengertian
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolik menahun
akibat dari rusaknya fungsi pankreas yang tidak dapat memproduksi insulin,
atau akibat tubuh yang tidak mampu menggunakan insulin yang diproduksi
secara efektif, atau kerusakan keduanya sehingga mengakibatkan peningkatan
konsentrasi glukosa dalam darah (hiperglikemia) (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia (Kemenkes RI, 2014). Darah dalam kondisi normal
mengandung sejumlah glukosa yang didapat dari penyerapan makanan di
saluran gastrointestinal serta pembentukan glukosa pada hati dari zat makanan
(Smetlzer & Bare, 2011).
2. Epidemiologi
International Diabetes Federation (IDF) (2013) memperkirakan bahwa
prevalensi DM di seluruh dunia akan terus meningkat hingga 592 juta orang
pada tahun 2035. Selain itu, di dunia diperkirakan setiap 6 detik terdapat satu
orang meninggal akibat DM dengan jumlah kematian pada tahun 2015 yaitu 5
juta orang (IDF, 2015). Prevalensi kejadian DM di Indonesia juga mengalami
peningkatan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI)
(2013) menyatakan bahwa berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Risekesdas) tahun 2013 prevalensi DM di Indonesia mengalami peningkatan
dari 5,7% pada tahun 2007 menjadi 6,9% atau sekitar 9,1 juta orang pada
tahun 2013. DM saat ini menjadi penyebab kematian terbesar nomor 3 di
Indonesia dengan presentase 8,7% setelah stroke dan penyakit jantung
koroner.
3. Klasifikasi
DM dapat diklasifikasikan kedalam beberapa tipe diantaranya:
a. DM tipe 1
DM tipe 1 terjadi akibat destruksi sel beta pankreas karena proses
autoimun, faktor lingkungan (virus), dan faktor genetik sehingga
produksi insulin menurun (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia,
2015).
b. DM tipe 2
DM tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin dan kegagalan sekresi insulin
(Smetlzer & Bare, 2011). Resistensi insulin (reseptor insulin tidak dapat
membawa glukosa masuk ke sel) menyebabkan tingginya kadar glukosa
dalam darah sehingga mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin
(Ndraha, 2014).
c. DM tipe lain
DM tipe lain merupakan penyakit DM yang diakibatkan oleh beberapa
hal yaitu defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin,
penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, obat, infeksi, sindrom
genetik lain yang berkaitan dengan DM (Ndraha, 2014).
d. DM gestasional
DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa
didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester
kedua dan ketiga (Pranata, 2016).
4. Faktor risiko
Faktor risiko DM dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor risiko yang tidak
dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi (Murad,
Abdulmageed, Iftikhar, & Sagga, 2014).
A. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
a. Usia
Usia yang semakin bertambah akan menyebabkan penurunan
fungsi tubuh termasuk penurunan fungsi pankreas dalam
memproduksi insulin atau penurunan fungsi insulin. Penelitian
Valliyot, Sreedharan, Muttappallymyalil, & Valliyot (2013) usia
diatas 50 tahun akan lebih rentan mengalami DM.
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin menjadi salah satu faktor risiko kejadian DM.
Penelitian Murad, Abdulmageed, Iftikhar, & Sagga (2014)
menyatakan bahwa laki-laki lebih rentan mengalami DM.
c. Riwayat Keluarga
Riyawat keluarga merupakan salah satu faktor risiko seseorang
mengalami DM. Penelitian yang dilakukan oleh Valliyot,
Sreedharan, Muttappallymyalil, & Valliyot (2013) menyatakan
bahwa seseorang yang memiliki riyawat keluarga DM akan
memiliki peluang tiga kali lebih besar untuk mengalami DM.
B. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
a. Merokok
Kebiasaan merokok 16-26 batang rokok per hari dapat
meningkatkan risiko terkena DM sebesar 3,27 kali lebih besar
dibandingkan dengan tidak merokok (Valliyot, Sreedharan,
Muttappallymyalil, & Valliyot, 2013).
b. Hipertensi
Orang yang memiliki riwayat hipertensi berisiko terkena DM tipe
II 2,629 kali lebih besar dibandingkan yang tidak memiliki riwayat
hipertensi (Setyaningrum, 2016).
c. Obesitas
Obesitas menjadi salah satu faktor risiko DM karena obesitas
mengakibatkan sel-sel beta pankreas mengalami hipertropi akibat
peningkatan beban metabolisme glukosa pada pasien obesitas
untuk mencukupi energi sel yang akan berpegaruh terhadap
produksi insulin (Pranata, 2016).
d. Kebiasaan olahraga
Kebiasaan berolahara dapat mempengaruhi risiko terkena DM.
Penelitian yang dilakukan oleh Setyaningrum (2016) menyatakan
bahwa seseorang yang tidak melakukan olahraga secara teratur
akan meningkatkan risiko terkena DM sebesar 4,48 kali
dibandingkan seseorang yang berolahraga secara rutin.
e. Pola diet
Pola diet atau pola makan yang tidak teratur dan cenderung
terlambat berperan pada ketidakstabilan kerja sel beta pankreas.
Malnutrisi merusak pankreas, sedangkan obesitas meningkatkan
gangguan kerja atau resistensi insulin (Pranata, 2016).
5. Manifestasi klinis
Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut
diabetes melitus yaitu poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum),
poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan
bertambah namu berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4
minggu), mudah lelah (Fatimah, 2015).
Gejala kronik diabetes mellitus yaitu : Kesemutan, kulit terasa panas atau
seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah
mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas,
kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada
ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam kandungan ata
dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg (Fatimah, 2015).
6. Patofisiologi
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu
resistensi insulin dan disfungsi sel B pancreas. Diabetes melitus tipe 2 bukan
disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena sel sel sasaran
insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal.Keadaan ini
lazim disebut sebagai “resistensi insulin”.1,8 Resistensi insulin banyak terjadi
akibat dari obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta penuaan.Pada
penderita diabetes mellitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik
yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel B Langerhans secara
autoimun seperti diabetes mellitus tipe 2. Defisiensi fungsi insulin pada
penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut
(Fatimah, 2015).
Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B menunjukan gangguan
pada sekresi insulin fase pertama,artinya sekresi insulin gagal
mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik,pada
perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B pankreas.
Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan
menyebabkan defisiensi insulin,sehingga akhirnya penderita memerlukan
insulin eksogen. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya
ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin
(Tri, 2008)
7. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti
(Amir, Wungouw, & Pangemanan, 2015):
 Keluhan klasik DM: poliuri, polydipsia, polifagi, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui pemeriksaan penyaring dengan
mengunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler (Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia, 2015).
Tabel 2.1 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis
DM (mg/dL)
Bukan Belum DM
DM pasti DM
Kadar glukosa darah Plasma vena <100 100-199 ≥200
sewaktu (mg/dL) Darah kapiler <90 90-199 ≥200
Gadar glukosa darah Plasma vena <100 100-125 ≥126
puasa (mg/dL) Darah kapiler <90 90-99 ≥100
Sumber: Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2015)
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan DM terdiri dari lima komponen utama yaitu sebagai berikut:
a. Edukasi
Edukasi diberikan secara komphrehensif kepada pasien dan keluarga serta
berupaya meningkatkan motivasi pasien untuk memiliki perilaku sehat
(Fatimah, 2015). Edukasi pada pasien DM meliputi pemantauan glukosa
mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti
merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori dan
diet tinggi lemak (Ndraha, 2014).
b. Penatalaksanaan diet
Prinsip diet pada pasien DM yaitu makanan seimbang, sesuai dengan
kebutuhan kalori masing-masing individu (Smetlzer & Bare, 2011). Diet
pada pasien DM perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam
hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan (Fatimah, 2015). Standar
yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi seimbang dalam hal
karbohidrat 60-70%, lemak 20-25% dan protein 10-15% (Ndraha, 2014).
c. Latihan fisik
Latihan fisik sangat penting bagi pasien DM karena latihan fisik dapat
menurunkan faktor risiko kardiovaskuler serta meningkatkan
memperbaiki pemakaian insulin (Smetlzer & Bare, 2011). Pasien DM
dianjurkan untuk melakukan latihan fisik teratur 3-5 kali perminggu
selama 30-45 menit dengan total 150 menit perminggu dan tidak lebih
dari 2 hari berturut-turut tanpa latihan fisik (Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia, 2015). Latihan fisik dianjurkan yang bersifat aerobik seperti
berjalan santai, jogging, bersepeda dan berenang sesuai kemampuan
(Ndraha, 2014).
d. Terapi farmakologi
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan,
pengaturan makan dan latihan jasmani (Fatimah, 2015). Terapi
farmakologis terdiri dari obat oral (berupa obat pemicu sekresi insulin,
peningkatan sensitivitas insulin, penghambat glukoneogenesis serta
penghambat glukosidase alfa) dan bentuk suntikan (insulin dan incretin
mimetik) (Ndraha, 2014).
e. Pemantauan
Pemantauan yang harus dilakukan oleh pasien DM yaitu pemantauan
dengan (1) pemeriksaan pemeriksaan kadar glukosa darah, (2) tes
hemoglobin terglikosilasi, (3) pemantauan glukosa darah dengan
pemeriksaan glukosa darah kapiler dan (4) pemeriksaan glicated albumin
(Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2015).
9. Komplikasi
Komplikasi penyakit DM dapat diklasifikasikan menjadi dua katagori yaitu
komplikasi akut dan komplikasi kronik. Komplikasi akut akibat DM dapat
berupa: (1) Ketoasidosis diabetik yang disebabkan oleh pemecahan lemak
menjadi asam lemak bebas yang diubah menjadi badan keton oleh hati, (2)
Hiperglikemia hiperosmolar nonketotik merupakan keadaan yang didominasi
oleh hiperosmolaritas dan hiperglikemia serta disertai perubahan tingkat
kesadaran, dan (3) Hipoglikemia ketika kadar glukosa darah turun di bawah
50 hingga 60 mg/dL (2,7 hingga 3,3 mmol/L) (Baradero, Dayrit, & Siswadi,
2009).
Komplikasi kronik akibat DM dapat berupa: (1) Komplikasi makrovaskuler
seperti aterosklerosis, serangan jantung, stroke dan penurunan proses
penyembuhan infeksi; (2) Komplikasi mikrovaskuler seperti retinopati,
nefropati, dan neuropati (Papatheodorou, Papanas, Banach, Papazoglou, &
Edmonds, 2016; Smetlzer & Bare, 2011).

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Identitas
Identitas pasien meliputi nama, jenis kelamin, umur, pendidikan,
pekerjaan, status perkawinan, agama, suku, alamat, tanggal masuk, tanggal
pengkajian, nama penanggung jawab, hubungan penanggung jawab dan
diagnose medis.
b. Status kesehatan
Pasien dengan Diabetes melitus (DM) biasanya memiliki kesadaran yang
berbeda-beda tergantung dari keparahan DN yang dialami. Apabila DM
sudah mengalami komplikasi ke organ tubuh lain maka kemungkinan
kesadarannya akan menurun. Tekanan darah pada pasien DM
kemungkinan tinggi karena salah satu faktor risiko dari DM salah satunya
adalah hipertensi. Nadi, frekuensi napas dan temperature pasien DM
bergantung dari keadaan pasien.
c. Keluhan utama
Keluhan utama yang dialami oleh pasien DM yaitu dengan keluhan yang
berbeda-beda seperti penurunan kesadaran, mual muntah, terdapat luka
pada kaki yang sulit sembuh atau tanda gejala DM yang lainnya.
d. Riwayat penyakit saat ini
Dalam riwayat penyakit saat ini, berisi perjalanan penyakit pasien dari saat
di UGD sampai pengkajian di bangsal tempat pasien di rawat inap. Pasien
DM dengan riwayat DM tidak terkontrol maka datang dengan komplikasi
penyakit yang lainnya seperti luka gangren.
e. Riwayat penyakit masa lalu
Dalam status kesehatan masa lalu, berisikan penyakit yang pernah dialami
pasien seperti hipertensi yang merupakan salah satu penyakit paling umum
penyebab DM. Selain itu, dalam riwayat kesehatan masa lalu juga dikaji
mengenai pernah di rawat inap, riwayat alergi, kebiasaan pasien seperti
kebiasaan minum kopi, merokok, minum minuman beralkohol, konsumsi
garam dan lain-lain.
f. Riwayat penyakit keluarga
Dalam riwayat penyakit keluarga, berisikan penyakit yang pernah dialami
oleh keluarga yang dikaitkan dengan penyakit yang dialami oleh pasien
DM (riwayat keluarga yang pernah mengalami DM atau faktor risiko DM)
g. Genogram
Genogram berisikan tentang silsilah keluarga yang terdiri dari tiga
generasi untuk mengetahui riwayat penyakit keluarga.
h. Riwayat lingkungan
Riwayat lingkungan berisi mengenai keadaan lingkungan pasien sebelum
pasien masuk rumah sakit. Dikaji mengenai kondisi lingkungan pasien
yang dapat memengaruhi kadar glukosas pasien seperti stress, pola hidup
akibat lingkungan sekitar.
i. Pengkajian pola fungsional
a. Pemeliharaan dan persepsi terhadap kesehatan
Pengetahuan pasien tentang adanya penyakit DM, termasuk riwayat
keluarga yang mengalami DM atau faktor risiko, hal yang dilakukan
saat pasien telah terdiagnosa DM, obat yang biasa dikonsumsi pasien
untuk mengatasi DM, pandangan pasien mengenai penyakit DM yang
dialami, support sistem yang ada pada pasien untuk tetap mengontrol
DM yang dialami, dan upaya yang dilakukan pasien agar DM tetap
terkontrol.
b. Nutrisi/ metabolic
Kebutuhan nutrisi pada pasien DM dikaji mengenai kebiasaan atau
pola makan saat menderita DM, jenis makanan yang dikonsumsi
selama menderita DM, adanya gangguan nutrisi seperti mual dan
muntah pada pasien dan adanya tanda peningkatan jumlah konsumsi
makanan. Nutrisi juga dikaji mengenai BB, TB, dan IMT pasien, data
lab yang terganggu pada pasien. Pasien DM disarankan untuk
mengganti karbohidrat kompleks menjadi karbohidrat sederhana
dengan mengurangi konsumsi nasi putih dan menggant dengan nasi
merah, ubi-ubian, kentang.
c. Pola eliminasi
Pola BAK dapat mengidentifikasi kesehatan urinary. Kondisi urin
dapat menjadi bahan untuk mengidentifikasi keadaan metabolism
tubuh pada pasien DM yaitu kandungan zat pada urine, frekuensi BAK
(poli uria). Pada pola eliminasi urin perlu dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada pola eliminasi feces perlu
dikaji frekuensi, warna, dan teksturnya. Pada kedua pola ini juga dikaji
ada kesulitan atau tidak.
d. Pola aktivitas dan latihan
Pasien harus dikaji mengenai kemampuan dalam melakukan aktifitas
sehari-hari. Pasien DM yang terkontrol umumnya masih mampu untuk
melakukan aktivitas dan latihan, namun pasien DM yang sudah
terdapat komplikasi akan mengalami gangguan dalam pemenuhan
aktivitas.
e. Pola tidur dan istirahat
Pasien DM identic dengan Tripoli (polifagi, polidipsi, poliuria). Hal
tersebut tentu akan mengganggu kebutuhan tidur dan istirahat pasien.
Kebutuhan tidur pasien dikaji dari segi kuantitas (lama waktu) dan dari
segi kualitas (frekuensi terbangun saat tidur).
f. Pola kognitif-perseptual
Pola kognitif dikaji mengenai bagaimana pasien mampu mengenali
tempat dan waktu saat sekarang dan kemampuan untuk menjawab
setiap pertanyaan yang diberikan. Pola perseptual pasien terkait
dengan nyeri dan daya raba yang dialami pasien. Biasanya timbul
nyeri pada kaki pasien karena adanya neuropati.
g. Pola persepsi diri/konsep diri
Pasien DM terkontrol biasanya tidak mengalami gangguan pada
persepsi diri/konsep diri. akan tetapi pasien DM dengan post amputasi
tentu akan mengalami gangguan konsep diri sehingga perlu dikaji
lebih dalam. Persepsi pasien terhadap dirinya sendiri terkait citra
tubuh, identitas diri, peran diri, ideal diri, dan harga diri pasien
h. Pola seksual dan reproduksi
Pasien tidak mengalami gangguan pada reproduksi karena DM. Selain
itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama
perkawinannya.

i. Pola peran-hubungan
Jenis kelamin, ras dan usia pasien mempunyai hubungan dengan upaya
pasien untuk melakukan pengobatan. Diskusikan dengan pasien status
perkawinan, peran dalam rumah tangga, jumlah anak dan usia mereka,
lingkungan tempat tinggal dan pengkajian lain yang penting dalam
mengidentifikasi kekuatan dan support sistem dalam kehidupan pasien.
Perawat juga harus mengkaji tingkat kenyamanan atau
ketidaknyamanan dalam menjalankan fungsi peran yang berpotensi
menjadi stress atau konflik.
j. Pola manajemen koping stress
Pasien harus ditanya untuk mengidentifikasi stress atau kecemasan.
Metode koping yang biasa dipakai harus dikaji, perilaku-perilaku dan
kesiapan menerima penyakitnya dapat menurunkan ansietas. Informasi
tentang suport sistem keluarga, teman-teman, psikolog atau pemuka
agama dapat memberikan sumber yang terbaik untuk mengembangkan
rencana perawatan
k. Pola keyakinan-nilai
Nilai-nilai dan kepercayaan individu dipengaruhi oleh budaya dan
kebudayaan yang berperan penting dalam tingkat konflik yang
dihadapi pasien ketika dihadapkan dengan penyakit DM. Dikaji
mengenai adanya budaya dan keyakinan pasien yang bertentangan
dengan perawatan.
l. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik penderita DM tipe II sering tidak ditemukan
gambaran khas. Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi
pengukuran tinggi badan dan berat badan, pengukuran tekanan darah
termasuk tekanan darah posisi berdiri dan tidur untuk mengetahui
kemungkinan hipotensi ortostatis. Pemeriksaan palpasi nadi,
pemeriksaan kulit apakah ditemukan acantosis nigricans dan bekas
penyuntikan insulin, apakah ditemukan kelainan neuropati dan
kelainan kulit akibat komplikasi mikrovaskuler DM tipe II. Dan perlu
dilakukan pemeiksaan neurologis. Pemeriksaan fisik yang khas dilakukan
pada pasien DM yaitu pemeriksaan ABI (Anchel Brachial Index).
Pemeriksaan penunjang dan diagnostik
Glukosa Plasma Vena Sewaktu
Gula darah sewaktu diartikan kapanpun tanpa memandang terakhir kali
makan. Dengan pemeriksaan gula darah sewaktu sudah dapat menegakan
diagnosis DM tipe II. Apabila kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl
(plasma vena) maka penderita tersebut sudah dapat disebut DM.
Glukosa Plasma Vena Puasa
Pada pemeriksaan glukosa plasma vena puasa, penderita dipuasakan 8-12
jam sebelum tes dengan menghentikan semua obat yang digunakan.
Intepretasi pemeriksan gula darah puasa sebagai berikut : kadar glukosa
plasma puasa < 110 mg/dl dinyatakan normal, ≥126 mg/dl adalah diabetes
melitus, sedangkan antara 110- 126 mg/dl disebut glukosa darah puasa
terganggu (GDPT).
Glukosa 2 jam Post Prandial (GD2PP)
Tes dilakukan bila ada kecurigaan DM. Pasien makan makanan yang
mengandung 100gr karbohidrat sebelum puasa dan menghentikan
merokok serta berolahraga. Glukosa 2 jam Post Prandial menunjukkan
DM bila kadar glukosa darah ≥ 200 mg/dl, sedangkan nilai normalnya ≤
140. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) apabila kadar glukosa > 140
mg/dl tetapi < 200 mg/dl.
Pemeriksaan HbA1c
HbA1c merupakan reaksi antara glukosa dengan hemoglobin, yang
tersimpan dan bertahan dalam sel darah merah selama 120 hari sesuai
dengan umur eritrosit. Kadar HbA1c bergantung dengan kadar glukosa
dalam darah, sehingga HbA1c menggambarkan rata-rata kadar gula darah
selama 3 bulan. Sedangkan pemeriksaan gula darah hanya mencerminkan
saat diperiksa, dan tidak menggambarkan pengendalian jangka panjang.
Pemeriksaan gula darah diperlukan untuk pengelolaaan diabetes terutama
untuk mengatasi komplikasi akibat perubahan kadar glukosa yang berubah
mendadak.

Kategori HbA1c
HbA1c < 6.5 % Kontrol glikemik baik
HbA1c 6.5 -8 % Kontrol glikemik sedang
HbA1c > 8 % Kontrol glikemik buruk

m. Terapi
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan,
pengaturan makan dan latihan jasmani (Fatimah, 2015). Terapi
farmakologis terdiri dari obat oral (berupa obat pemicu sekresi insulin,
peningkatan sensitivitas insulin, penghambat glukoneogenesis serta
penghambat glukosidase alfa) dan bentuk suntikan (insulin dan incretin
mimetik) (Ndraha, 2014).

2. Diagnosa Keperawatan
a. Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan
ketidakpatuhan terhadap manajemen DM
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kondisi gangguan
metabolik
c. Risiko infeksi berhubungan dengan penyakit kronis Diabetes melitus
d. Defisit perawatan diri : Mandi berhubungan dengan ketidakmampuan
untuk membasuh tubuh dan ke kamar mandi
3. Perencanaan Keperawatan
Terlampir
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan dilaksanakan berdasarkan rencana keperawatan
yang telah dibuat.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan dilakukan berdasarkan implementasi keperawatan yang
telah dilakukan dan menentukan tujuan sudah tercapai atau belum dan rencana
tindak lanjut.

Anda mungkin juga menyukai