MIASTENIA GRAVIS
Oleh :
Amelia ganefianty 1706096203
Arif hidayatullah 1706096222
Deny prasetyanto 1706006763
Eva nilam permata 1706006826
Siti aisah 1706096563
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-
Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Miastenia Gravis”. Penulis makalah ini adalah mahasiswa peminatan
neurologi magister FIK UI. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah Lanjut III.
Dalam makalah ini dibahas analisis proses keperawatan yang bisa diterapkan pada kasus
nyata pasien miastenia gravis. Dalam pengkajian, penulis menggunakan pendekatan
nursing model dari tokoh keperawatan Callista Roy. Diagnosis keperawatan
berdasarkan North American Nursing Diagnosis Association (NANDA), intervensi
keperawatan berdasarkan Nursing Intervention Classification (NIC) dan Nursing
Outcome Classification (NOC).
Selain itu penulis juga membahas pendalaman konsep miastenia gravis, teori
Adaptasi Roy dan asuhan keperawatan teoretis miastenia gravis. Penulis juga
memperkaya makalah ini dengan membahas analisis etik terhadap intervensi
keperawatan miastenia gravis terkait isu terkini yang berkembang. Diakhir makalah,
penulis menyajikan pembahasan kasus serta kesimpulan dan saran dari penulis.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak Made Kariasa,
MM., M.Kep., Sp.KMB selaku fasilitator peminatan neurologi mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah Lanjut III. Masukan saran dan bimbingan dari beliau
sangat membantu penulis dalam penyusunan makalah ini. Penulis menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Depok, September 2018
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................................
1.1. Latar Belakang........................................................................................................
1.2. Rumusan Masalah...................................................................................................
1.3. Tujuan......................................................................................................................
1.4. Manfaat....................................................................................................................
BAB 4 PEMBAHASAN...............................................................................................
4.1. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Myestenia Gravis Dengan Pendekatan Model
Adaptasi Roy..................................................................................................................
4.1.1. Mode Adaptasi Fisiologis.............................................................................
4.1.2. Mode Adaptasi Konsep Diri.........................................................................
4.1.3. Mode Adaptasi Fungsi Peran........................................................................
4.1.4. Mode Adaptasi Interdependensi...................................................................
4.2. Aspek Legal Dan Etik Mengenai Tindakan Keperawatan Pasien Myestenia
Gravis......................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Prevalensi Miastenia Gravis di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 200-400 kasus MG per 1
juta jiwa. Sedangkan di Inggris, prevalensinya sekitar 5-15 per 10.000 populasi, dimana
sebanyak 15-21% penderita myasthenia berkembang menjadi krisis myasthenia, biasanya dalam
satu tahun pertama menderita penyakit dan dengan kemajuan perawatan intensive neurocritical
angka kematian pada myasthenia krisis hanya kurang lebih 5% (Bhagat, 2014). Pada penelitian
lain di Yunani, prevalensi miastenia gravis sebesar 70,63/juta populasi. Walaupun demikian
prevalensi ini mungkin lebih tinggi karena pasien dengan gejala ringan dapat tidak terdeteksi. Di
Indonesia belum ada angka prevalensi yang pasti tentang penyakit miastenia gravis (Jayam,
2012).
Pemberian asuhan keperawatan yang professional penting diberikan kepada pasien dengan
miastenia gravis. Proses asuhan keperawatan merupakan pendekatan yang dilakukan oleh
perawat profesional untuk memberikan layanan keperawatan yang mampu menggambarkan
kompetensi dan kinerja profesional. Proses keperawatan terdiri dari pengkajian, perumusan
diagnosis, perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Pengkajian keperawatan selama ini
menggunakan pendekatan medis sehingga kurang menggali respon pasien secara holistic yang
meliputi bio, psiko, sosio dan spiritual. Pengembangan teori keperawatan diperlukan dalam
pelaksanaan pengkajian oleh perawat.
Salah satu teori keperawatan yaitu yang disampaikan oleh Roy. Model adaptasi Roy merupakan
sebuah cara khusus untuk melihat pengalaman dan respon manusia. Di dalam model Roy, respon
manusia tidak hanya terbatas pada masalah, kebutuhan dan defisiensi tetapi mencerminkan
semua respon dari sistem adaptasi manusia yang mencakup kapasitas, aset, pengetahuan,
keterampilan, kemampuan dan komitmen. Keseluruhan respon ini disebut perilaku. Pengkajian
berdasarkan model Roy memungkinkan pengumpulan data bersifat komprehensif yang meliputi
semua aspek pasien. Roy membagi pengkajian menjadi dua tahapan yang meliputi pengkajian
perilaku dan pengkajian stimulus yang mencakup faktor internal maupun eksternal yang dapat
mempengaruhi perilaku (Roy, 2009).
Model adaptasi Roy merupakan salah satu kerangka kerja konseptual yang paling berguna dalam
memandu praktek keperawatan. Model ini memberikan ruang bagi perawat untuk meningkatkan
kemampuan dan keterampilannya dalam membantu pasien mencapai adaptasi yang efektif.
Selain itu, model adaptasi Roy juga secara konsisten mengarahkan proses keperawatan pada
penyediaan pelayanan yang holistik bagi pasiennya (Shosha & Kalaldeh, 2012). Oleh karena itu
penulis menggunakan model adaptasi Roy sebagai dasar dalam penyusunan pengkajian
keperawatan untuk pasien dengan gangguan sistem neurologi, khususnya miastenia gravis.
a.3 Tujuan
a.3.1 Tujuan Umum
Menganalisis asuhan keperawatan pada pasien dengan miastenia gravis
a.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam makalah ini adalah:
a. Menjelaskan konsep penyakit miastenia gravis
b. Menjelaskan Teori Adaptasi Roy
c. Menganalisis asuhan keperawatan pada pasien dengan miastenia gravis
d. Menganalisis isu etik yang penting dibahas terkait intervensi keperawatan terhadap
pasien miastenia gravis
a.4 Manfaat
Penyusunan makalah ini diharapakan dapat menjadi gambaran asuhan keperawatan pada pasien
miastenia gravis.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Kaminski & Kusner (2018) mengatakan bahwa vesikula sinaptik di terminal saraf
mengandung paket-paket kuantitatif ACH. Vesikula lepaskan secara spontan ke ruang
sinaptik, menghasilkan potensi EP miniatur (MEPPs). Ketika impuls saraf mendepolarisasi
membran presinaptik, masuknya Ca ke terminal saraf melalui saluran Ca tegangan-
tegangan menyebabkan pelepasan yang lebih besar jumlah quanta. Ini menghasilkan
depolarisasi yang lebih besar, potensi EP (EPP). Setelah dibebaskan dari ACh ke ruang
sinaptik, AChE menghidrolisis beberapa molekul ACh sebelum mereka dapat mencapai
membran postsynaptic. Molekul ACh yang tersisa berikatan dengan AChR dan membuka
AChR ion saluran untuk periode yang terdistribusi secara eksponensial.
Ketika molekul ACH memisahkan diri dari AChR, mereka dengan cepat dihidrolisis
oleh AChE. Kolin yang dilepas oleh hidrolisis ACh diambil oleh terminal saraf melalui
proses transportasi yang bergantung pada natrium dan energi. Saat itulah Ach disintesis
kembali dalam sitosol dari terminal saraf, dari kolin dan asetat, dalam suatu reaksi
dikatalisis oleh kolin asetiltransferase. Ini kemudian dikemas ke dalam vesikula sinaptik
oleh mekanisme transportasi khusus. AChR terdiri dari 5 subunit protein, yaitu 2 alfa, dan
masing-masing satu beta, gamma, dan delta. Subunit-subunit ini tersusun membentuk
lingkaran yang siap untuk mengikat ACh.
Ikatan antara ACh dan AChR akan mengakibatkan terbukanya gerbang Natrium
pada sel otot, yang segera setelahnya akan mengakibatkan influx Na+. Influx Na+ ini akan
mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada membran post-synaptic. Jika depolarisasi ini
mencapai nilai ambang tertentu (firing level), maka akan terjadi potensial aksi pada sel otot
tersebut. Potensial aksi ini akan dipropagasikan (dirambatkan) ke segala arah sesuai dengan
karakteristik sel eksitabel, dan akhirnya akan mengakibatkan kontraksi.
ACh yang masih tertempel pada AChR kemudian akan dihidrolisis oleh enzim
Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah yang cukup banyak pada celah
synaptic. ACh akan dipecah menjadi Kolin dan Asam Laktat. Kolin kemudian akan
kembali masuk ke dalam membran pre-synaptic untuk membentuk ACh lagi. Proses
hidrolisis ini dilakukan untuk dapat mencegah terjadinya potensial aksi terus menerus yang
Gambar 2. Fisiologi Neuromuscular Junctio (AANN Clinical Practice Guidlines Series, 2013).
2.2 Definisi
2.3 Etiologi
a. Autoimun
Pada miastenia gravis, sistem kekebalan membentuk antibodi yang menyerang reseptor
yang terdapat di sisi otot dari neuromuscular junction. Reseptor yang dirusak terutama
adalah reseptror yang menerima sinyal saraf dengan bantuan asetilkolin (bahan kimia
yang mengantarkan impuls saraf melalui junction atau disebut juga neurotransmiter).
Apa yang menjadi penyebab tubuh menyerang asetilkolinnya sendiri, tidak diketahui.
b. Transmisi Antibodi
Antibodi ini ikut dalam sirkulasi darah pada seorang ibu hamil yang menderita
miastenia gravis bisa melalui plasenta dan sampai ke janin yang dikandungnya.
Pemindahan antibodi ini bisa menyebabkan miastenia neonatus, dimana bayi memiliki
kelemahan otot yang akan menghilang beberapa hari sampai beberapa minggu setelah
dilahirkan.
c. Kelenjar Thymus
Memiliki kelenjar timus yang tidak mengecil seperti pada normalnya orang dewasa.
2.4 Klasifikasi
Menurut AANN Clinical Practice Guidlines Series (2013), miastenia gravis dapat
dibagi menjadi beberapa kelompok, antara lain:
1. Kelompok I: Miastenia Okular
Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak
ada kasus kematian.
Disamping klasifikasi tersebut di atas, dikenal pula adanya beberapa bentuk varian
miastenia gravis, yaitu:
1. Miastenia Neonates
Jenis ini hanya bersifat sementara, biasanya kurang dari bulan. Jenis ini terjadi pada
bayi yang ibunya menderita miastenia gravis, dengan kemungkinan 1:8, dan
disebabkan oleh masuknya antibodi antireseptor asetilkolin ke dalam melalui
plasenta.
3. Miastenia Congenital
Biasanya muncul pada saat tidak lama setelah bayi lahir. Tidak ada kelainan
imunologik dan antibodi antireseptor asetilkolin tidak ditemukan. Jenis ini biasanya
tidak progresif.
4. Miaastenia Familial
Sebenarnya, jenis ini merupakan kategori diagnostik yang tidak jelas. Biasa terjadi
pada miastenia kongenital dan jarang terjadi pada miastenia gravis dewasa
Pada miastenia grafis, defek yang mendasar adalah pengurangan dalam jumlah reseptor asetil
kolin yang tersedia pada membrane otot pasca sinaps.perubahan ini menyebabkan berkurangnya
efisiensi transmisi neuromuscular.karena itu, walaupun Ach dibebaskan secara normal, akan
menghasilkan potensial lempengan akhir kecil yang mungkin gagal mencetuskan potensial aksi
otot.
Jumlah ACH yang dilepaskan setiap impuls secara normal menurun pada aktivitas yang
berulang.pada pasien miastenik transmisi neuromuscular yang berkurang efisiensinya digabung
dengan rundown normal menghasilkan aktivasi yang lebih sedikitdan lebih sedikit serabut otot
dengan impuls saraf yang berturut-turut dan oleh karena itu kelemahan bertambah.
Kelainan neuromuscular pada MG disebabkan oleh respon autoimun yang diperantarai oleh anti
body anti-AchRyang spesifik.antibody anti-AchR mengurangi jumlah AchR yang tersedia pada
persambungan neuromuscular oleh tiga mekanisme yang berbeda :
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang
berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit
alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor
asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular
melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-
reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction
dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga
mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin
yang baru disintesis.
Otot leher yang lemah yang selalu membuat kepala cenderung jatuh jatuh kedepan atau
ke belakang miastenia gravis menyerang otot-otot leher sehingga kepala harus ditegakkan
dengan tangan. Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atrofi
otot ringan dapat ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk
lagi
· Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan infeksi
yang disertai diare dan demam
· Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin untuk
mempermudah terjadinya kelemahan otot
2.7 Krisis pada Miastena
Pada miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan, membersihkan
sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jenis krisis, yaitu:
a. Krisis miastenik
Krisis miastenik yaitu keadaan dimana dibutuhkan antikolinesterase yang lebih banyak.
Keadaan ini dapat terjadi pada kasus yang tidak memperoleh obat secara cukup dan dapat
dicetuskan oleh infeksi. Tindakan terhadap kasus demikian adalah sebagai berikut:
- Pemberian antikolinesterase
Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan buatan (respirator), obat-
obat antikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu, karena obat-obat ini dapat
memperbanyak sekresi saluran pernapasan dan dapat mempercepat terjadinya krisis
kolinergik. Setelah krisis terlampaui, obat-obat dapat mulai diberikan secara bertahap,
dan seringkali dosis dapat diturunkan.
b. Krisis kolinergik
Krisis kolinergik yaitu keadaan yang diakibatkan kelebihan obat-obat antikolinesterase.
Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah minum obat berlebihan,
atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena terjadi remisi spontan. Golongan ini
sulit dikontrol dengan obat-obatan dan batas terapeutik antara dosis yang terlalu sedikit
dan dosis yang berlebihan sempit sekali. Respons mereka terhadap obat-obatan seringkali
hanya parsial. Tindakan terhadap kasus demikian adalah sebagai berikut:
Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan tensilon 2-5 mg intravena.
Obat ini akan memberikan perbaikan sementara pada krisis miastenik, tetapi tidak akan
memberikan perbaikan atau bahkan memperberat gejala-gejala krisis kolinergik.
Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan timoma dan lebih kurang
30% penderita miastenia gravis. Penderita yang dalam serumnya tidak ada antibodi ini
dan juga tidak ada antibodi anti-reseptor asetilkolin, maka kemungkinan adanya timoma
adlah sangat kecil.
d. Foto dada
Foto dada dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan, untuk melihat
apakah ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan dengan sken tomografik.
e. Tes Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg. Penderita
diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas bidang kedua mata
beberapa lamanya. Pada miastenia gravis kelopak mata yang terkena menunjukkan ptosis.
f. Tes prostigmin
Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas disuntikkan intramuskular
atau subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga
membaik.
2.9 Penatalaksanaan
a. Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida 15-45 mg
per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi kombinasi
tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila diperlukan, neostigmin metilsulfat
dapat diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg
subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin
dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera
dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-
90% dari kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian antikolinesterase akan sangat
bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA dan IIB.
b. Steroid
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan
diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari efek
samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10
mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat dimulai
dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis
mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat
diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek
samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis.
Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis
maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh
dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus
dihindari.
c. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik, efek
sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa gangguan
saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis
2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan
darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap
bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan.
d. Timektomi
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan kontrol
jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa hari pasca
operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali merupakan
tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan
antibiotik.
e. Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg BB.
Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat. Plasmaferesis bila
dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus
yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian ini dapat
memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di rumah.
Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik karena kemampuannya untuk
membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan
kasus kronik.
4) Mode Interdependensi
Mode interdependensi berfokus pada interaksi untuk saling memberi dan
menerima cinta/kasih sayang, perhatian dan saling menghargai.Interdependensi yaitu
keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian dalam menerima sesuatu
untuk dirinya.
b. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut teori adaptasi Roy didefinisikan sebagai suatu
hasil dari proses pengambilan keputusan berhubungan dengan kurang mampunya
adaptasi. Diagnosa keperawatan dirumuskan dengan mengobservasi tingkah laku
klien terhadap pengaruh lingkungan.
c. Penentuan tujuan
Roy (1984) menyampaikan bahwa secara umum tujuan pada intervensi
keperawatan adalah untuk mempertahankan dan mempertinggi perilaku adaptif
dan mengubah perilaku inefektif menjadi adaptif.Penentuan tujuan dibagi atas
tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek.
d. Intervensi
Intervensi keperawatan dilakukan dengan tujuan, mengubah atau memanipulasi
stimulus fokal, kontekstual dan residual, juga difokuskan pada koping individu
atau zona adaptasi, sehingga seluruh rangsang sesuai dengan kemampuan individu
untuk beradaptasi. Tindakan keperawatan berusaha membantu stimulus menuju
perilaku adaptif.
e. Evaluasi
Evaluasi merupakan penilaian efektifitas terhadap intervensi keperawatan
sehubungan dengan tingkah laku pasien.
BAB III
TINJAUAN KASUS
Bab ini memaparkan penjelasan kasus pasien dengan myestenia gravis menggunakan pendekatan
model adaptasi Roy yang terdiri atas pengkajian perilaku dan stimulus, penetapan diagnosa
keperawatan, penetapan tujuan keperawatan, intervensi, dan evaluasi.
Pengkajian Perilaku
Pasien mengatakan tidak ada batuk atau sesak, pernafasan spontan dan tidak menggunakan
oksigen. Akral teraba hangat, tidak tampak sianosis, konjungtiva tidak anemis, membran mukosa
lembab, bunyi nafas vesikuler, tidak ada ronchi, tidak ada wheezing, saturasi 99%. Tekanan
darah 130/80 mmHg, frekuensi nadi 80x/menit kuat dan reguler, pernafasan 17x/menit, tidak ada
pernafasan cuping hidung, suhu 36,5°C, capillary refill time < 3 detik, bunyi jantung S1 dan S2
reguler, murmur dan gallop tidak ada.
2) Nutrisi
Asupan nutrisi baik per oral, diet gizi seimbang 1900kkal dalam bentuk makan nasi (3x makan
utama, 2x selingan). Pasien menghabiskan nasi, lauk-pauk, dan menu selingan dari rumah sakit.
Riwayat pola makan di rumah 3x/hari, tidak ada alergi makanan, tidak ada pantangan makan
sebelumnya, tidak ada mual atau muntah, gangguan menelan tidak ada, tidak ada karies gigi,
kerusakan mukosa mulut tidak ada, kebersihan rongga mulut baik. Berat badan 55kg, tinggi
badan 160cm, IMT: 21,48kg/m persegi, status gizi cukup. Penilaian skining gizi menggunakan
Malnutrition Screening Tool (MST) dengan skor 0, artinya tidak beresiko malnutrisi.
Hasil pemeriksaan diagnostik (Tanggal 23 September 2018): GDS 137mg/dL, hematokrit 40,5%,
trombosit 291.000/uL, leukosit 10.480/uL
Pengkajian Stimulus
Tidak ada stimulus, perilaku adaptif
3) Eliminasi
Pengkajian perilaku
Eliminasi urine spontan dengan menggunakan urinal, warna kuning pekat, produksi urine
1200cc/24 jam. Pasien mengatakan buang air besar rutin setiap hari. Bising usus 10x/menit,
konsistensi lembek, tidak ada riwayat konstipasi maupun diare.
Pengkajian Stimulus
4444 4444
Pengkajian stimulus
Stimulus fokal: ketidakmampuan melakukan aktivitas
Stimulus konstektual: myestenia gravis
Stimulus residual: riwayat myestenia gravis sejak 1 tahun yang lalu
5) Proteksi
Pengkajian Perilaku
Riwayat alergi tidak ada, temperatur kulit hangat suhu 36,5°, turgor kulit normal, distribusi
rambut normal, tampak bersih, tidak ada lesi, kuku tampak pendek dan bersih. Pengkajian risiko
jatuh pasien menggunakan Fall Morse Scale yaitu 50 yang bermakna risiko jatuh sedang, skala
braden 20, artinya resiko dekubitus rendah.
Pengkajian Stimulus
Stimulus fokal: kelemahan pada ekstremitas bawah
Stimulus konstektual: myestenia gravis
Stimulus residual: riwayat myestenia gravis sejak 1 tahun yang lalu
6) Sensasi
Pengkajian Perilaku
Penglihatan dan pendengaran baik, lidah tidak kotor, sensasi rasa pada lidah ada, tidak ada nyeri.
Gigi utuh, penyakit gusi tidak ada. Pasien mengatakan tidak da keluhan nyeri.
Pengkajian Stimulus
Tidak ada stimulus, perilaku adaptif
7) Cairan elektrolitdan keseimbangan asam basa
Pengkajian Perilaku
Pemberian cairan intravena 1 line 3 way dengan NaCl 0,9% 1500cc/24jam dan prostigmin 4
ampul + SA 2 ampul dalam NaCl 0,9% 50cc/24 jam. Turgor kulit baik, pitting edema tidak ada.
Tidak tampak ada oedema baik pada palpebra dan daerah ekstrimitas atas maupun bawah,
mukosa bibir lembab. Pasien minum sekitar 1500cc/24jam.
Hasil pemeriksaan diagnostik (Tanggal 23 September 2018): Natrium 142 mEq/L, kalium
4,4mEq/L dan klorida 104 mEq/L. Hasil pemeriksaan elektrolit masih dalam bats normal
sehingga tidak dilakukan koreksi
Pengkajian Stimulus
Tidak ada stimulus, perilaku adaptif
8) Neurologi
Pengkajian Perilaku
Kesadaran compos mentis, pemeriksaan pupil bulat isokor 3mm/3mm, reaksi cahaya
langsung/reaksi cahaya tidak langsung ++/++, lasique sign >70/>70, kernig sign >135/>135,
pemeriksaan saraf kranial nervus VII dan XII simetris dan pemeriksaan saraf cranial lain tidak
ditemukan kelainan. Refleks fisiologis ditemukan refleks bisep (+2), refleks trisep (+2), refleks
achiles (+2), dan refleks patella (+2). Pada pemeriksaan refleks patologis diperoleh refleks
chadok (-), refleks openhim (-), reflek babinski (-) bilateral.
Pengkajian stimulus
9) Endokrin
Pengkajian Perilaku
Tidak ada gangguan fungsi endokrin atau riwayat penyakit terkait fungsi endokrin, misalnya
riwayat DM atau tekanan darah tinggi. GDS 137 mg/dl.
Pengkajian Stimulus
Tidak ada stimulus, perilaku adaptif
Pengkajian Perilaku
1) Sensasi tubuh
Pasien merasakan kelemahan untuk melakukan aktivitas ringan
2) Citra tubuh
Pasien hanya berbaring di tempat tidur, pasien dibantu oleh istrinya. Perubahan fisik saat
sakit membuat pasien sulit beraktivitas
3) Konsistensi tubuh
Pasien berusaha untuk melakukan mobilisasi duduk dengan bantan perawat atau
keluarganya meskipun pasien merasakan keterbatasan dalam pergerakan.
4) Ideal diri
Pasien masih merasa lemah, namun berusaha untuk sembuh. Pasien makan dengan
menghabiskan porsi menu rumah sakit. Pasien tidak menolak dengan pengobatan yang
diberikan
5) Moral etik- spiritual diri
Pasien melakukan ibadah shalat 5 waktu di tempat tidur dengan dibantu oleh istrinya
Pengkajian Stimulus
Pengkajian Stimulus
Tidak ada stimulus, perilaku adaptif
3.4. Tujuan
Berdasarkan data hasil pengkajian stimulus dan perilaku serta diagnosa keperawatan yang
ditegakkan pada pasien, maka intervensi yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan perilaku
adaptif pasien. Adapun tujuan dari intervensi yang dilakukan diantaranya:
a. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5x24 jam pasien menunjukkan toleransi
aktivitas dengan kriteria mampu berpartisipasi dalam aktivitas fisik dengan disertai
peningkatan tanda-tanda vital: frekuensi nafas
b. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, pasien menunjukkan perilaku
pencegahan jatuh dengan kriteria mengetahui saat membutuhkan asistensi dalam
aktivitas, menggunakan hand rail untuk mencegah kejadian jatuh.
c. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7x24jam, pasien menunjukkan
peningkatan pengetahuan perubahan performa peran, yaitu memahami perubahan peran
pasien selama dirawat. Performa care giver: perawatan langsung yaitu mampu
mengetahui kebutuhan selama perawatan, mengetahui perkembangan kondisi kesehatan
pasien.
Kognator: Bantu pasien mengidentifikasi peran yang biasanya dalam keluarga, bantu pasien
mengidentifikasi perilaku yang diperlukan untuk mengembangkan peran, berdiskusi mengenai
adaptasi peran keluarga untuk dapat mengkompensasi peran anggota keluarga yang sakit.
Kognator: Orentasikan pasien terhadap waktu, tempat dan orang, berbicara dengan pasien,
rangsang memori dengan mengulang pemikiran terakhir pasien, minta pasien untuk mengulang
informasi.
2. Risiko jatuh
Kejadian jatuh tidak terjadi. Pasien mampu berjalan ke kamar mandi yang berarti
menunjukkan perbaikan dari kelemahan otot yang dirasakan oleh pasien. Akan tetapi, sesuai
dengan program pada pasien myestenia gravis, pasien disarankan untuk tirah baring dalam
waktu yang cukup lama hingga kemampuan pasien untuk beadaptasi dengan kondisi
sakitnya saat ini sudah mengalami perbaikan. Hal ini membutuhkan penjagaan tidak hanya
selama di rumah sakt namun lebih penting lagi ketika pasien keluar dari rumah sakit.
Pemberian discharge planning terkait kemampuan mobilisasi dan pecegahan risiko jatuh
diberikan kepada keluarga. Keluaga dan pasien memahami tentang risiko jatuh pada pasien
dan tindakan yang perlu dilakukan untuk mencegah kejadian jatuh pada pasien.
3. Ketidakefektifan performa peran
Pada hari kedua perawatan, pasien sudah dapat berkomunikasi dengan baik. Pasien mampu
mengenal nama perawat, berorientasi terhadap waktu, tempat, dan orang. Pasien mampu
mengulang informasi yang disampaikan bahwa pasien dianjurkan untuk banyak beristirahat.
Pasien mengatakan selama sakit tidak dapat bekerja. Pasien ingin segera pulang dan kembali
bekerja. Pola peran pasien belum menunjukkan pola peran adaptif karena pasien masih
membutuhnan istirahat sepulang ke rumah untuk pemulihan. Istri dan anak pasien
memberikan dukungan kesembuhan kepada pasien. Istri dan anak pasien memahami
perawatan pasien di rumah setelah diberikan edukasi.
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Myestenia Gravis Dengan Pendekatan Model
Adaptasi Roy
Dalam pendekatan model Adaptasi Roy, perawat berperan dalam membeikan asuhan
keperawatan dengan berfokus pada kemampuan adaptasi pasien. Selain itu juga perawat
berupaya meningkatkan dan mempertahankan mekanisme koping pasien untuk beradaptasi
terhadap stimulus yang terjadi. Pembahasan mengenai kasus myestenia gravis akan diuraikan
menurut masing-masing mode berdasarkan Model Adatasi Roy sesuai dengan diagnosis
keperawatan yang muncul.
Bedasarkan data pengkajian perilaku, pasien menunjukkan kelemahan umum ditandai oleh
ketidakmampuan pasien untuk melakukan aktivitas seperti makan dan mobilisasi. Diagnosa
medis yang ditegakkan pada pasien adalah impending krisis myestenia gravis. Sebelumnya
pasien sudah didiagnosa myestenia gravis sejak satu tahun yang lalu dan mendapatkan
pengobatan mestilon 5x60mg per oral. Berdasarkan hasil pengkajian diketahui bahwa saat ini
merupakan ketiga kalinya pasien dirawat dengan diagnosa myestenia gravis. Sekitar 3 bulan
yang lalu, pasien dirawat dan mendapatkan tindakan plasmaforesis sebanyak 6 kali.
Diagnosa intoleransi aktivitas menurut NANDA (2015) adalah tidak terpenuhinya energi
fisiologis atau psikologis pada individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Ditegakkannya
diagnosa myestenia gravis pada pasien mendukung kondisi kelemahan umum yang terjadi akibat
ketidakmampuan Ach berpasangan dengan reseptor Ach dapa motor end plate. Hal ini
menyebabkan otot tidak dapat berkontraksi sehingga pasien merasakan dampak berupa
kelemahan tergantung pada lokasi Ach yang tidak dapat berpindah.
Penetapan diagnosa intoleransi aktivitas diharapkan untuk merubah perilaku pasien yang
ditetapkan dalam tujuan asuhan keperawatan. Perilaku yang diamati untuk menetapkan tujuan
adalah kemampuan pasien dalam beraktivitas. Kemampuan aktivitas pasien dikaji berdasarkan
perubahan tanda-tanda vital selama pasien beraktivitas serta kelemahan otot yang terjadi. Tujuan
utama ditegakkan diagnosa intoleransi aktivitas adalah meningkatkan partisipasi pasien dalam
beraktivitas yang ditandai dengan stabilnya tanda-tanda vital pasien selama melakukan aktivitas.
Sekitar 15-20% pasien mengeluhkan kelemahan padajari-jari tangan, lengan, atau kaki (Kuks,
2018). Selain itu, pasien dengan diagnosa myestenia gravis mengeluhkan gejala kelemahan yang
tidak spesifik seperti terjadinya intoleransi terhadap aktivitas (Jordan et al, 2017). Dengan kata
lain, sebagian pasien mengalami kelelahan setelah melakukan aktivitas. Faktor lain yang dapat
mempengaruhi terjadinya kelemahan pada pasien adalah penggunaan steroid atau efek lain dari
pengobatan, depresi yang disebabkan karena penyakit kronis, disfungsi autonomis, gangguan
autoimun ataupun hormonal (Elsais et al, 2013).
Pada pasien dengan myestenia gravis, dibutuhkan program terapi yang tepat bagi pasien untuk
dapat meningkatkan aktivitas tanpa memperburuk kondisi klinis pasien. Berdasarkan kolaborasi
dengan tim rehabilitasi medik, terapi aktivitas yang dapat dilakukan adalah pengangkatan beban
(weight shifting) tiap dua jam. Latihan beban diharapkan mampu meningkatkan toleransi pasien
terhadap aktivitas terutama pada otot-otot di area ekstremitas. Pengkajian tanda-tanda vital
pasien harus dilakukan sebelum dan sesudah latihan. Hal tersebut menjadi salah satu indikator
kemampuan pasien beradaptasi dengan latihan dan beban yang diberikan.
Berdasarkan data-data tersebut diketahui bahwa pasien berada pada level adaptasi compensatory.
Hal tersebut bermakna bahwa pasien berada mampu beradaptasi dengan kondisi sakitnya dengan
menunjukkan perilaku yang efektif untuk berpartisipasi dalam melakukan aktivitas.
Resiko jatuh yang terjadi pada pasien diambil bedasarkan hasil pengkajian resiko jatuh
menggunakan Morse. Hal ini berhubungan dengan kondisi kelemahan yang terjadi pada pasien.
Kelemahan tersebut ditandai dengan kekuatan otot pada ekstremitas kanan tidak optimal, yaitu
memiliki nilai 4. Hal ini dapat terjadi akibat ketidakmampuan Ach berpasangan dengan reseptor
Ach dapa motor end plate. Hal ini menyebabkan otot tidak dapat berkontraksi sehingga pasien
merasakan dampak berupa kelemahan tergantung pada lokasi Ach yang tidak dapat berpindah.
4.2.Aspek Legal Dan Etik Mengenai Tindakan Keperawatan Pasien Myestenia Gravis
Praktik keperawatan yang berhubungan langsung dengan individu maupun masyarakat membuat
tugas yang dilakukan oleh perawat menjadi sangat rentan dengan kesalahan berupa kelalaian
maupun malpraktek keperawatan sesuai dengan kode etik maupun standar profesi keperawatan.
Dalam perkembangan ilmu keperawatan dewasa ini, perawat telah mengalami perubahan status
dari perpanjangan tangan menjadi kemitraan dan mandiri dalam melakukan praktik keperawatan.
Perawat bukan lagi menjadi petugas kesehatan yang pasif, tetapi penyedia jasa perawatan
kesehatan yang desisif dan asertif (ICN,2012). Perawat sebagai profesi dan bagian integral dari
pelayanan kesehatan tidak saja membutuhkan kesabaran. Kemampuannya untuk ikut mengatasi
masalah masalah kesehatan tentu harus juga bisa di andalkan.
Prinsip etika keperawatan dalam memberikan layanan keperawatan kepada pasien tersebut di
atas diantaranya autonomy dimana perawat harus menghargai apa yang menjadi keputusan
pasien dan keluarganya tapi ketika pasien menuntut haknya dan keluarganya tidak setuju maka
perawat harus mengutamakan hak Tn. M tersebut untuk mendapatkan informasi tentang
kondisinya. Semua keputusan persetujuan pasien dan keluarga dalam menerima tindakan
keperawatan selama di rawat di rumah sakit tercatat di dalam dokumentasi informed consent.
Sebagai perawat yang merawat pasien Tn.M mempunyai kewajiban untuk melindungi hak pasien
tersebut dengan tetap merahasiakan apapun yang berhubungan dengan klien. Hak klien atas
kerahasiaan ini juga dilindungi oleh hukum. Perawat akan berpegang teguh dalam prinsip moral
etik keperawatan yaitu menghargai apa yang menjadi keputusan pasien dengan menjamin
kerahasiaan segala sesuatu yang telah dipercayakan pasien kepadanya kecuali seijin pasien.
Pada etik Nonmaleficience saat perawat melakukan tindakan keperawatan terhadap Tn.M maka
perawat melakukan yang terbaik untuk pasien dan tidak merugikan pasien tersebut. Berdasarkan
pertimbangan prinsip-prinsip moral tersebut keputusan yang bisa diambil maka perawat dapat
menggunakan tiga prinsip etik dalam melakukan asuhan keperawatan pada Tn.M sehingga akan
membuat pasien lebih dihargai dan dipenuhi haknya sebagai pasien.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan
abnormal dan progresif pada otot volunter yang dipergunakan secara terus-menerus dan
disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul terkait dengan antibody
reseptor asetilkolin pasca sinaptik di tautan neuro muscular / neuromuscular junction.
Asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien miastenia gravis yaitu berdasarkan
respon pasien terhadap penyakit secara holistic baik bio, psiko, social dan spiritual.
5.2 SARAN
Diharapkan makalah ini dapat dijadikan sebagai salah satu acuan bagi perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien miastenia gravis. Dalam memberikan asuhan
keperawatan, hendaknya perawat telah mendalami konsep anatomi, fisiologi dan
patofisiologi penyakit sehingga seluruh tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien
merupakan hasil critical thinking perawat atas respon pasien yang unik. Selain itu perawat
dalam memberikan asuhan keperawatan harus mempertimbangkan prinsip etik dan moral
sehingga perawat dapat membantu pasien dan terhindar dari tuntutan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Alligood & Tomey. 2006. “Nursing Theory : Utilization & Application 4th edition”. Mosby, Inc.
Elsevier’s Health Sciences Rights Department in Philadelphia : USA.
Alligood, Martha Raille & Ann Marriner Tomey. 2006. “Nursing Theorists and Their Work”.
Elsevier mosby : St.Louis, Missouri.
Ali, Zaidin. 2002. Dasar-Dasar Keperawatan Profesional. Jakarta: Widya Medika
Ambrosino N, Carpene` N, Gherardi M. Chronic respiratory care for neuromuscular diseases for
adults. Eur Respir J 2009;34:444e51.
Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : EGC
Berrih-Aknin S, Frenkian-Cuvelier M, Eymard B. Diagnostic and clinical classification of
autoimmune myasthenia gravis. J Autoimmun. 2014;48:143-148.
Bickley, L, S. 2007. Bates’ Pocket Guide to Physical Examination and History Taking. 5th
edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Bhagat H, Vinond K,Grover,Jangra K.What is optimal in patients with myasthenia crisis :
invasive or non invasive ventilation :Journal of Neuroanesthesiology and Critical care ;
2014
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi. EGC: Jakarta
Elsais, A, Wyller VB, Loge JH, Kerty E. (2013). Fatiquein myasthenia gravis: Is it more than
muscular weakness?. BMC Neurol. 2013;13:132-9.
Jordan B, Mehl T, Schweden TLK, Menge U, Ziera S. (2017). Assesment of physical fatigability
and fatique perception in myasthenia gravis. Muscle Nerve. 2017;55:657-63.
Kaminski, HJ, Kusner, LL. (2018). Myasthenia gravis and related disorder.USA: Humana Press.
Kuks, J. (2018). Myasthenia gravis and related disorder: Clinical Presentation of Myestenia
Gravis. USA: Humana Press.
Mourão AM, Araújo CM, Barbosa LSM, Gomez RS, Burns TM, Lemos SMA, et al. Brazilian
cross-cultural translation and adaptation of the ‘‘Questionnaire of Life Quality Specific
for Myasthenia Gravis – 15 items”. Arq Neuropsiquiatr 2013;7:955–8
Potter dan Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep, Proses & Praktik.
Jakarta: EGC
Ropper, A. H., Samuels, M. A., & Klein, J. P. (2014). Adams and Victor’s Principles of
neurology (tenth edit). New york: Mc Graw Hill Education
Roy, Callista. (1999). “The Roy Adaptation Model 2nd”. Appleton and Lange Publisher
Smeltzer, Suzanna, C. 1996. Buku ajar keperawatan medical medah. Jakarta: EGC
Twork, S., Wiesmeth, S., Klewer, J., Pöhlau, D., & Kugler, J. (2010). Quality of life
and life circumstances in German myasthenia gravis patients. Health and Quality of
Life Outcomes, 8, 1–10.