Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN

MIASTENIA GRAVIS

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Keperawatan Medikal Bedah Lanjut III

Oleh :
Amelia ganefianty 1706096203
Arif hidayatullah 1706096222
Deny prasetyanto 1706006763
Eva nilam permata 1706006826
Siti aisah 1706096563

Dosen Pengampu : Made Kariasa, MM., M.Kep., Sp.KMB

PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


PEMINATAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-
Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Miastenia Gravis”. Penulis makalah ini adalah mahasiswa peminatan
neurologi magister FIK UI. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah Lanjut III.

Dalam makalah ini dibahas analisis proses keperawatan yang bisa diterapkan pada kasus
nyata pasien miastenia gravis. Dalam pengkajian, penulis menggunakan pendekatan
nursing model dari tokoh keperawatan Callista Roy. Diagnosis keperawatan
berdasarkan North American Nursing Diagnosis Association (NANDA), intervensi
keperawatan berdasarkan Nursing Intervention Classification (NIC) dan Nursing
Outcome Classification (NOC).

Selain itu penulis juga membahas pendalaman konsep miastenia gravis, teori
Adaptasi Roy dan asuhan keperawatan teoretis miastenia gravis. Penulis juga
memperkaya makalah ini dengan membahas analisis etik terhadap intervensi
keperawatan miastenia gravis terkait isu terkini yang berkembang. Diakhir makalah,
penulis menyajikan pembahasan kasus serta kesimpulan dan saran dari penulis.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak Made Kariasa,
MM., M.Kep., Sp.KMB selaku fasilitator peminatan neurologi mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah Lanjut III. Masukan saran dan bimbingan dari beliau
sangat membantu penulis dalam penyusunan makalah ini. Penulis menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Depok, September 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………….


KATA PENGANTAR……………........................................................................... ii
DAFTAR ISI……………..........................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................................
1.1. Latar Belakang........................................................................................................
1.2. Rumusan Masalah...................................................................................................
1.3. Tujuan......................................................................................................................
1.4. Manfaat....................................................................................................................

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................


2.1. Anatomi, Fisiologis, dan Biokimia Neuromuscular Junction.................................
2.1.1 Anatomi Neuromuscular Junction.................................................................
2.1.2 Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction..........................................
2.2 Definisi.....................................................................................................................
2.3 Etiologi.....................................................................................................................
2.4 Klasifikasi.................................................................................................................
2.5 Patofisiologi dan WOC............................................................................................
2.6 Manifestasi Klinis.....................................................................................................
2.7 Krisis pada Miastenia...............................................................................................
2.8 Pemeriksaan Diagnostik...........................................................................................
2.9 Penatalaksanaan........................................................................................................
2.10 Konsep Sentral Adaptasi Menurut Sister Callista Roy..........................................
2.10.1 Teori Adaptasi Sister Callista Roy...............................................................
2.10.2 Proses Keperawatan Menurut Teori Roy.....................................................

BAB 3 TINJAUAN KASUS.........................................................................................


3.1. Identitas pasien dan gambaran kasus kelolaan........................................................
3.2. Pengkajian perilaku stimulus...................................................................................
3.3. Diagnosa Keperawatan............................................................................................
3.4. Tujuan......................................................................................................................
3.5. Intervensi keperawatan............................................................................................
3.6. Evaluasi keperawatan..............................................................................................

BAB 4 PEMBAHASAN...............................................................................................
4.1. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Myestenia Gravis Dengan Pendekatan Model
Adaptasi Roy..................................................................................................................
4.1.1. Mode Adaptasi Fisiologis.............................................................................
4.1.2. Mode Adaptasi Konsep Diri.........................................................................
4.1.3. Mode Adaptasi Fungsi Peran........................................................................
4.1.4. Mode Adaptasi Interdependensi...................................................................
4.2. Aspek Legal Dan Etik Mengenai Tindakan Keperawatan Pasien Myestenia
Gravis......................................................................................................................

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................


5.1. Kesimpulan..............................................................................................................
5.2. Saran …………………….…………......................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Miastenia Gravis adalah gangguan autoimun pada neuro muscular junction (NMJ) yang
menyebabkan blokade neuromuscular sehingga mengakibatkan menurunnya kemampuan otot
untuk berkontraksi, ditandai dengan kelemahan pada otot (Berrih et al., 2014 ; Ropper et al.,
2014). Miastenia gravis termasuk penyakit yang mematikan dengan karakter progresif yakni
semakin lama seiring berjalannya waktu maka kelemahan yang dapat ditimbulkan akan
semakin luas, mulai dari gejala okular seperti diplopia dan ptosis serta gejala yang lebih
umum,termasuk disartria, disfagia, kelemahan anggota tubuh, kesulitan mengunyah dan bernapas
(Corwin, 2009 ; Mourao et al., 2013). Kegagalan pernapasan adalah penyebab paling umum dari
morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan penyakit neuromuscular progresif cepat atau
kronik (Ambrosino, 2009).

Prevalensi Miastenia Gravis di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 200-400 kasus MG per 1
juta jiwa. Sedangkan di Inggris, prevalensinya sekitar 5-15 per 10.000 populasi, dimana
sebanyak 15-21% penderita myasthenia berkembang menjadi krisis myasthenia, biasanya dalam
satu tahun pertama menderita penyakit dan dengan kemajuan perawatan intensive neurocritical
angka kematian pada myasthenia krisis hanya kurang lebih 5% (Bhagat, 2014). Pada penelitian
lain di Yunani, prevalensi miastenia gravis sebesar 70,63/juta populasi. Walaupun demikian
prevalensi ini mungkin lebih tinggi karena pasien dengan gejala ringan dapat tidak terdeteksi. Di
Indonesia belum ada angka prevalensi yang pasti tentang penyakit miastenia gravis (Jayam,
2012).

Pemberian asuhan keperawatan yang professional penting diberikan kepada pasien dengan
miastenia gravis. Proses asuhan keperawatan merupakan pendekatan yang dilakukan oleh
perawat profesional untuk memberikan layanan keperawatan yang mampu menggambarkan
kompetensi dan kinerja profesional. Proses keperawatan terdiri dari pengkajian, perumusan
diagnosis, perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Pengkajian keperawatan selama ini
menggunakan pendekatan medis sehingga kurang menggali respon pasien secara holistic yang
meliputi bio, psiko, sosio dan spiritual. Pengembangan teori keperawatan diperlukan dalam
pelaksanaan pengkajian oleh perawat.

Salah satu teori keperawatan yaitu yang disampaikan oleh Roy. Model adaptasi Roy merupakan
sebuah cara khusus untuk melihat pengalaman dan respon manusia. Di dalam model Roy, respon
manusia tidak hanya terbatas pada masalah, kebutuhan dan defisiensi tetapi mencerminkan
semua respon dari sistem adaptasi manusia yang mencakup kapasitas, aset, pengetahuan,
keterampilan, kemampuan dan komitmen. Keseluruhan respon ini disebut perilaku. Pengkajian
berdasarkan model Roy memungkinkan pengumpulan data bersifat komprehensif yang meliputi
semua aspek pasien. Roy membagi pengkajian menjadi dua tahapan yang meliputi pengkajian
perilaku dan pengkajian stimulus yang mencakup faktor internal maupun eksternal yang dapat
mempengaruhi perilaku (Roy, 2009).

Model adaptasi Roy merupakan salah satu kerangka kerja konseptual yang paling berguna dalam
memandu praktek keperawatan. Model ini memberikan ruang bagi perawat untuk meningkatkan
kemampuan dan keterampilannya dalam membantu pasien mencapai adaptasi yang efektif.
Selain itu, model adaptasi Roy juga secara konsisten mengarahkan proses keperawatan pada
penyediaan pelayanan yang holistik bagi pasiennya (Shosha & Kalaldeh, 2012). Oleh karena itu
penulis menggunakan model adaptasi Roy sebagai dasar dalam penyusunan pengkajian
keperawatan untuk pasien dengan gangguan sistem neurologi, khususnya miastenia gravis.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimanakah konsep penyakit miastenia gravis?
1.2.2 Bagaimanakah konsep Teori Adaptasi Roy?
1.2.3 Bagaimanakah asuhan keperawatan pada kasus miastenia gravis?
1.2.4 Isu etik apakah yang penting dibahas terkait intervensi keperawatan terhadap pasien
miastenia gravis?

a.3 Tujuan
a.3.1 Tujuan Umum
Menganalisis asuhan keperawatan pada pasien dengan miastenia gravis
a.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam makalah ini adalah:
a. Menjelaskan konsep penyakit miastenia gravis
b. Menjelaskan Teori Adaptasi Roy
c. Menganalisis asuhan keperawatan pada pasien dengan miastenia gravis
d. Menganalisis isu etik yang penting dibahas terkait intervensi keperawatan terhadap
pasien miastenia gravis

a.4 Manfaat
Penyusunan makalah ini diharapakan dapat menjadi gambaran asuhan keperawatan pada pasien
miastenia gravis.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI, FISIOLOGIS, DAN BIOKIMIA NEUROMUSCULAR JUNCTION


2.1.1 Anatomi Neuromuscular Junction
Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan
fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat saraf secara
normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot
rangka. Menurut Engel (2012) bahwa neuromuscular junction (NMJ) adalah sinaps yang
terdiferensiasi secara anatomis dan fungsional, yang mentransmisikan sinyal dari terminal
saraf motorik ke membran post synaptic (membran otot). Posisi NMJ pada serat otot,
konfigurasi terminal saraf dalam NMJ, dan diferensiasi wilayah post synaptic dan
kompleksitas wilayah post synaptic dalam NMJ bervariasi menurut filum dan spesies.
Neuromuscular junction (NMJ) memiliki lima komponen utama, yaitu: (1) proses sel
Schwann, yang membatasi permukaan terminal saraf yang menghadap jauh dari ruang
sinaptik; (2) saraf terminal yang mengandung neurotransmitter; (3) ruang sinaptik yang
dilapisi membran bagian bawah; (4) membran post synaptic, yang berisi reseptor untuk
neurotransmitter; dan (5) sarcoplasm junctional, yang menyediakan struktural dan
metabolik dukungan untuk wilayah post synaptic.

Gambar 1. Skema suatu Neuromuscular Junction (AANN, 2013).


2.1.2 Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction
Engel (2012) mengatakan bagian terminal dari saraf motorik terdapat sebuah
pembesaran yang biasa disebut bouton terminale atau terminal bulb. Terminal Bulb ini
memiliki membran yang disebut juga membran pre-sinap, struktur ini bersama dengan
membran post-sinap (pada sel otot) dan celah sinap (celah antara 2 membran)
membentuk Neuro Muscular Junction.

Kaminski & Kusner (2018) mengatakan bahwa vesikula sinaptik di terminal saraf
mengandung paket-paket kuantitatif ACH. Vesikula lepaskan secara spontan ke ruang
sinaptik, menghasilkan potensi EP miniatur (MEPPs). Ketika impuls saraf mendepolarisasi
membran presinaptik, masuknya Ca ke terminal saraf melalui saluran Ca tegangan-
tegangan menyebabkan pelepasan yang lebih besar jumlah quanta. Ini menghasilkan
depolarisasi yang lebih besar, potensi EP (EPP). Setelah dibebaskan dari ACh ke ruang
sinaptik, AChE menghidrolisis beberapa molekul ACh sebelum mereka dapat mencapai
membran postsynaptic. Molekul ACh yang tersisa berikatan dengan AChR dan membuka
AChR ion saluran untuk periode yang terdistribusi secara eksponensial.
Ketika molekul ACH memisahkan diri dari AChR, mereka dengan cepat dihidrolisis
oleh AChE. Kolin yang dilepas oleh hidrolisis ACh diambil oleh terminal saraf melalui
proses transportasi yang bergantung pada natrium dan energi. Saat itulah Ach disintesis
kembali dalam sitosol dari terminal saraf, dari kolin dan asetat, dalam suatu reaksi
dikatalisis oleh kolin asetiltransferase. Ini kemudian dikemas ke dalam vesikula sinaptik
oleh mekanisme transportasi khusus. AChR terdiri dari 5 subunit protein, yaitu 2 alfa, dan
masing-masing satu beta, gamma, dan delta. Subunit-subunit ini tersusun membentuk
lingkaran yang siap untuk mengikat ACh.
Ikatan antara ACh dan AChR akan mengakibatkan terbukanya gerbang Natrium
pada sel otot, yang segera setelahnya akan mengakibatkan influx Na+. Influx Na+ ini akan
mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada membran post-synaptic. Jika depolarisasi ini
mencapai nilai ambang tertentu (firing level), maka akan terjadi potensial aksi pada sel otot
tersebut. Potensial aksi ini akan dipropagasikan (dirambatkan) ke segala arah sesuai dengan
karakteristik sel eksitabel, dan akhirnya akan mengakibatkan kontraksi.
ACh yang masih tertempel pada AChR kemudian akan dihidrolisis oleh enzim

Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah yang cukup banyak pada celah

synaptic. ACh akan dipecah menjadi Kolin dan Asam Laktat. Kolin kemudian akan

kembali masuk ke dalam membran pre-synaptic untuk membentuk ACh lagi. Proses

hidrolisis ini dilakukan untuk dapat mencegah terjadinya potensial aksi terus menerus yang

akan mengakibatkan kontraksi terus menerus.

Gambar 2. Fisiologi Neuromuscular Junctio (AANN Clinical Practice Guidlines Series, 2013).

2.2 Definisi

Miastenia gravis adalah penyakit neuromuskular autoimun yang menyebabkan


kelemahan otot berfluktuasi dan keletihan. Miastenia gravis merupakan gangguan primer
yang paling umum transmisi neuromuskular. Kelemahan otot disebabkan oleh gangguan
dalam transmisi neuromuskuler normal dengan mengikat autoantibodi ke protein yang
terlibat dalam menandakan neuromuscular junction5. Antibodi yang bersirkulasi
memblokir, mengganggu, atau mengubah reseptor Asetilkolin (AChR) di neuromuscular
junction5 postsynaptic, menghambat stimulasi efek dari neurotransmitter Acetylcholine
(AANN Clinical Practice Guidlines Series, 2013).

2.3 Etiologi

Menurut Ferris Fred (2017), miastenia gravis disebabkan oleh:

a. Autoimun
Pada miastenia gravis, sistem kekebalan membentuk antibodi yang menyerang reseptor

yang terdapat di sisi otot dari neuromuscular junction. Reseptor yang dirusak terutama
adalah reseptror yang menerima sinyal saraf dengan bantuan asetilkolin (bahan kimia
yang mengantarkan impuls saraf melalui junction atau disebut juga neurotransmiter).
Apa yang menjadi penyebab tubuh menyerang asetilkolinnya sendiri, tidak diketahui.

b. Transmisi Antibodi
Antibodi ini ikut dalam sirkulasi darah pada seorang ibu hamil yang menderita
miastenia gravis bisa melalui plasenta dan sampai ke janin yang dikandungnya.
Pemindahan antibodi ini bisa menyebabkan miastenia neonatus, dimana bayi memiliki
kelemahan otot yang akan menghilang beberapa hari sampai beberapa minggu setelah
dilahirkan.

c. Kelenjar Thymus
Memiliki kelenjar timus yang tidak mengecil seperti pada normalnya orang dewasa.

2.4 Klasifikasi

Menurut AANN Clinical Practice Guidlines Series (2013), miastenia gravis dapat
dibagi menjadi beberapa kelompok, antara lain:
1. Kelompok I: Miastenia Okular
Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak
ada kasus kematian.

2. Kelompok IIA: Miastenia Umum Ringan


Awitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan
bulbar. Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka
kematian rendah.

3. Kelompok IIB: Miastenia Umum Sedang


Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin
berat dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia,
dan sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan miastenia gravis umum
ringan. Otot-otot pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang
memuaskan dan aktifitas pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah.
4.
5. Kelompok III: Miastenia Berat Akut
Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat
disertai mulai terserangnya otot-otot pernapasan. Biasanya penyakit berkembang
maksimal dalam waktu 6 bulan. Respons terhadap obat buruk. Insiden krisis
miastenik, kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian
tinggi.

6. Kelompok IV: Miastenia Berat Lanjut


Miastenia gravis berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan gejala-
gejala kelompok I atau II. Miastenia gravis berkembang secara perlahan-lahan atau
secara tiba-tiba. Respons terhadap obat dan prognosis buruk.

Disamping klasifikasi tersebut di atas, dikenal pula adanya beberapa bentuk varian
miastenia gravis, yaitu:

1. Miastenia Neonates
Jenis ini hanya bersifat sementara, biasanya kurang dari bulan. Jenis ini terjadi pada
bayi yang ibunya menderita miastenia gravis, dengan kemungkinan 1:8, dan
disebabkan oleh masuknya antibodi antireseptor asetilkolin ke dalam melalui
plasenta.

2. Miastenia Anak-anak (juvenile myastenia)


Jenis ini mempunyai karakteristik yang sama dengan miastenia gravis pada dewasa.

3. Miastenia Congenital
Biasanya muncul pada saat tidak lama setelah bayi lahir. Tidak ada kelainan
imunologik dan antibodi antireseptor asetilkolin tidak ditemukan. Jenis ini biasanya
tidak progresif.

4. Miaastenia Familial
Sebenarnya, jenis ini merupakan kategori diagnostik yang tidak jelas. Biasa terjadi
pada miastenia kongenital dan jarang terjadi pada miastenia gravis dewasa

5. Sindrom Miastenik (Eaton-Lambert Syndrome)


Jenis ini merupakan gangguan presinaptik yang dicirikan oleh terganggunya
pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf. Sering kali berkaitan dengan karsinoma
bronkus (small-cell carsinoma). Gambaran kliniknya berbeda dengan miastenia
gravis. Pada umumnya penderita mengalami kelemahan otot-otot proksimal tanpa
disertai atrofi, gejala-gejala orofaringeal dan okular tidak mencolok, dan refleks
tendo menurun atau negatif. Seringkali penderita mengeluh mulutnya kering.

2.5 Patofisiologi dan WOC


Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia
gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang
terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik
lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain.

Pada miastenia grafis, defek yang mendasar adalah pengurangan dalam jumlah reseptor asetil
kolin yang tersedia pada membrane otot pasca sinaps.perubahan ini menyebabkan berkurangnya
efisiensi transmisi neuromuscular.karena itu, walaupun Ach dibebaskan secara normal, akan
menghasilkan potensial lempengan akhir kecil yang mungkin gagal mencetuskan potensial aksi
otot.

Jumlah ACH yang dilepaskan setiap impuls secara normal menurun pada aktivitas yang
berulang.pada pasien miastenik transmisi neuromuscular yang berkurang efisiensinya digabung
dengan rundown normal menghasilkan aktivasi yang lebih sedikitdan lebih sedikit serabut otot
dengan impuls saraf yang berturut-turut dan oleh karena itu kelemahan bertambah.

Kelainan neuromuscular pada MG disebabkan oleh respon autoimun yang diperantarai oleh anti
body anti-AchRyang spesifik.antibody anti-AchR mengurangi jumlah AchR yang tersedia pada
persambungan neuromuscular oleh tiga mekanisme yang berbeda :

a. Reseptor asetilkolin dapat diturunkan derajatnya pada


kecepatan yang dipercepat oleh mekanisme yang melibatkan
cross linking dan endositosis reseptor yang cepat.
b. Tempat aktif achr yakni tempat yang secara normal mengikat
ach,dapat diblok oleh antibody
c. Membrane otot pasca sinaps dapat dirusak oleh antibody
dalam kerjasama dengan system komplemen.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi yang
merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis
miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas
yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma,
biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik.

Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang
berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit
alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor
asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular
melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-
reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction
dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga
mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin
yang baru disintesis.

2.6 Manifestasi Klinis


a. Gangguan otot-otot okular
Pada 90% penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan
kelopak mata turun (ptosis) dan diplopia ( penglihatan ganda ) ini karena otot mata
lemah. Mula timbul dengan ptosis unilateral atau bilateral. Setelah beberapa minggu
sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralysis ocular). Kelumpuhan-
kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang sore atau malam. Pada pagi hari
orang sakit tidak diganggu oleh kelumpuhan apapun. Tetapi lama kelamaan kelumpuhan
bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang
sakit tidak terbebas dari kesulitan penglihatan. Gejala ini biasanya intermitten, dan dapat
hilang untuk beberapa minggu kemudian terjadi kembali.

b. Kelumpuhan otot okular kedua belah sisi


Pada pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral atau bilateral, salah satu otot okular
paretik, paresis N III interna (reaksi pupil). Diagnosis dapat ditegakkan dengan
memperhatikan otot-otot levator palpebra kelopak mata. Walaupun otot levator palpebra
jelas lumpuh pada miastenia gravis, namun adakalanya masih bisa bergerak normal.
Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis
miastenia gravis. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan
penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian

c. Kesulitan berbicara (dysarthria) & kesulitan menelan (dsyphagia)


miastenia gravis menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring.Pada pemeriksaan dapat
ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral, kelemahan otot pengunyah, paresis
palatum mol/arkus faringeus/uvula/otot-otot farings dan lidah. Keadaan ini dapat
menyebabkan regurgitasi dan tersedak melalui hidung jika pasien mencoba menelan,
menimbulkan suara yang abnormal, atau suara nasal, dan pasien tidak mampu menutup
mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang yang menggantung

d. Suara parau ( disfonia ) dan kelemahan otot leher

Otot leher yang lemah yang selalu membuat kepala cenderung jatuh jatuh kedepan atau
ke belakang miastenia gravis menyerang otot-otot leher sehingga kepala harus ditegakkan
dengan tangan. Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atrofi
otot ringan dapat ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk
lagi

e. Kelemahan diafragma dan otot-otot interkosal progressif menyebabkan gawat


napas
Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnya
dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak mampu lagi membersihkan lendir. gejala
berat berupa melemahnya otot pernapasan (respiratory paralysis), yang biasanya
menyerang bayi yang baru lahir

f. Kelemahan menyeluruh biasanya bermula pada batang tubuh, lengan, tungkai


dalam satu tahun pertama onset
g. Otot lengan biasanya yang paling parah
Kelemahan otot cenderung memburuk setiap harinya, terutama setelah aktivitas
h. Gejala-gejala ringan biasanya akan membaik setelah beristirahat, dengan
memberikan obat antikolinesterase, tetapi bisa muncul kembali bila otot kembali
beraktifitas Penyakit miastenia gravis ini bisa disembuhkan tergantung kerusakan sistem
saraf yang dialami.

Gejala-gejala dapat menjadi lebih atau mengalami pemburukan ( eksaserbasi) oleh


sebab:

· Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama


siklus haid atau gangguan fungsi tiroid.

· Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan infeksi
yang disertai diare dan demam

· Gangguan emosi, kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka


berada dalam keadaan tegang

· Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin untuk
mempermudah terjadinya kelemahan otot
2.7 Krisis pada Miastena

Pada miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan, membersihkan
sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jenis krisis, yaitu:

a. Krisis miastenik
Krisis miastenik yaitu keadaan dimana dibutuhkan antikolinesterase yang lebih banyak.
Keadaan ini dapat terjadi pada kasus yang tidak memperoleh obat secara cukup dan dapat
dicetuskan oleh infeksi. Tindakan terhadap kasus demikian adalah sebagai berikut:

- Kontrol jalan napas

- Pemberian antikolinesterase

- Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis

Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan buatan (respirator), obat-
obat antikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu, karena obat-obat ini dapat
memperbanyak sekresi saluran pernapasan dan dapat mempercepat terjadinya krisis
kolinergik. Setelah krisis terlampaui, obat-obat dapat mulai diberikan secara bertahap,
dan seringkali dosis dapat diturunkan.

b. Krisis kolinergik
Krisis kolinergik yaitu keadaan yang diakibatkan kelebihan obat-obat antikolinesterase.
Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah minum obat berlebihan,
atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena terjadi remisi spontan. Golongan ini
sulit dikontrol dengan obat-obatan dan batas terapeutik antara dosis yang terlalu sedikit
dan dosis yang berlebihan sempit sekali. Respons mereka terhadap obat-obatan seringkali
hanya parsial. Tindakan terhadap kasus demikian adalah sebagai berikut:

- Kontrol jalan napas

- Penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat diberikan atropine 1


mg intravena dan dapat diulang bila perlu. Jika diberikan atropine, pasien harus
diawasi secara ketat, karena secret saluran napas dapat menjadi kental sehingga sulit
dihisap atau mungkin gumpalan lender dapat menyumbat bronkus, menyebabkan
atelektasis. Kemudian antikolinesterase dapat diberikan lagi dengan dosis yang lebih
rendah.
- Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis.

Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan tensilon 2-5 mg intravena.
Obat ini akan memberikan perbaikan sementara pada krisis miastenik, tetapi tidak akan
memberikan perbaikan atau bahkan memperberat gejala-gejala krisis kolinergik.

2.8 Pemeriksaan Diagnostik


Diagnosis dapat ditegakkkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Penting sekali
untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari miastenia gravis. Diagnosis dapat dibantu dengan
meminta pasien melakukan kegiatan berulang sampai timbul tanda-tanda kelelahan. Untuk
kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes diagnostik sebagai berikut:

a. Antibodi anti-reseptor asetilkolin


Antibodi ini spesifik untuk miastenia gravis, dengan demikian sangat berguna untuk
menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90% penderita miastenia gravis
golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita golongan I. Titer antibodi ini umumnya
berkolerasi dengan beratnya penyakit.

b. Antibodi anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi)

Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan timoma dan lebih kurang
30% penderita miastenia gravis. Penderita yang dalam serumnya tidak ada antibodi ini
dan juga tidak ada antibodi anti-reseptor asetilkolin, maka kemungkinan adanya timoma
adlah sangat kecil.

c. Tes tensilon (edrofonium klorida)


Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat apabila
pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau hasil
pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih tetap diduga adanya miastenia
gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-2 mg intravena, maka disuntikkan
lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang
jelas (misalnya dalam waktu 1 menit), menghilangnya ptosis, lengan dapat dipertahankan
dalam posisi abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan
berlangsung lebih lama dari 5 menit. Jika diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat
diagnosis banding antara miastenia gravis yang sesungguhnya dengan sindrom miastenik.
Penderita sindrom miastenik mempunyai gejala-gejala yang serupa dengan miastenia
gravis, tetapi penyebabnya ada kaitannya dengan proses patologis lain seperti diabetes,
kelainan tiroid, dan keganasan yang telah meluas. Usia timbulnya kedua penyakit ini
merupakan faktor pembeda yang penting. Penderita miastenia sejati biasanya muda,
sedangkan sindrom miastenik biasanya lebih tua. Gejala-gejala sindrom miastenia.
biasanya akan hilang kalau patologi yang mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat
dikombinasikan dengan pemeriksaan EMG.

d. Foto dada

Foto dada dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan, untuk melihat
apakah ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan dengan sken tomografik.

e. Tes Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg. Penderita
diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas bidang kedua mata
beberapa lamanya. Pada miastenia gravis kelopak mata yang terkena menunjukkan ptosis.

f. Tes prostigmin
Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas disuntikkan intramuskular
atau subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga
membaik.

2.9 Penatalaksanaan
a. Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida 15-45 mg
per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi kombinasi
tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila diperlukan, neostigmin metilsulfat
dapat diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg
subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin
dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera
dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-
90% dari kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian antikolinesterase akan sangat
bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA dan IIB.

Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi


parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat,
lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek samping
muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan pemberian propantelin bromida
atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini
merupakan tanda terlalu banyak obat yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus
dikurangi untuk menghindari krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling
mudah menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar
pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek smping tersebut.

b. Steroid
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan
diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari efek
samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10
mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat dimulai
dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis
mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat
diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek
samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis.
Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis
maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh
dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus
dihindari.
c. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik, efek
sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa gangguan
saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis
2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan
darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap
bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan.

d. Timektomi
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan kontrol
jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa hari pasca
operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali merupakan
tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan
antibiotik.

e. Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg BB.
Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat. Plasmaferesis bila
dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus
yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian ini dapat
memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di rumah.
Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik karena kemampuannya untuk
membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan
kasus kronik.

2.10. Konsep Sentral Adaptasi Menurut Sister Callista Roy


2.10.1 Teori Adaptasi Sister Callista Roy
Menurut Roy (1984) sebagai penerima asuhan keperawatan adalah individu, keluarga, kelompok,
masyarakat yang dipandang sebagai “Holistic adaptif system”dalam segala aspek yang
merupakan satu kesatuan.
Selanjutnya Roy mengembangkan proses internal seseorang sebagai sistem adaptasi dengan
menetapkan sistem efektor, yaitu 4 mode adaptasi meliputi fisiologis, konsep diri, fungsi peran
dan interdependensi.

1) Mode Fungsi Fisiologi


Fungsi fisiologi berhubungan dengan struktur tubuh dan fungsinya.
a. Oksigenasi : Kebutuhan tubuh terhadap oksigen dan prosesnya, yaitu ventilasi,
pertukaran gas dan transpor gas (Vairo,1984 dalam Roy 1991).
b. Nutrisi : Mulai dari proses ingesti dan asimilasi makanan untuk mempertahankan
fungsi, meningkatkan pertumbuhan dan mengganti jaringan yang injuri.
(Servonsky, 1984 dalam Roy 1991).
c. Eliminasi : Yaitu ekskresi hasil dari metabolisme dari instestinal dan ginjal.
(Servonsky, 1984 dalam Roy 1991)
d. Aktivitas dan istirahat: Kebutuhan keseimbangan aktivitas fisik dan istirahat
yang digunakan untuk mengoptimalkan fungsi fisiologis dalam memperbaiki dan
memulihkan semua komponen-komponen tubuh. (Cho,1984 dalam Roy, 1991).
e. Proteksi/perlindungan: Sebagai dasar defens tubuh termasuk proses imunitas dan
struktur integumen (kulit, rambut dan kuku) dimana hal ini penting sebagai
fungsi proteksi dari infeksi, trauma dan perubahan suhu. (Sato, 1984 dalam Roy
1991).
f. The sense/perasaan: Penglihatan, pendengaran, perkataan, rasa dan bau
memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungan. Sensasi nyeri penting
dipertimbangkan dalam pengkajian perasaan. (Driscoll, 1984, dalam Roy, 1991).
g. Cairan dan elektrolit: Keseimbangan cairan dan elektrolit di dalamnya termasuk
air, elektrolit, asam basa dalam seluler, ekstrasel dan fungsi sistemik. Sebaliknya
inefektif fungsi sistem fisiologis dapat menyebabkan ketidakseimbangan
elektrolit. (Parly, 1984, dalam Roy 1991).
h. Fungsi syaraf/neurologis: Hubungan-hubungan neurologis merupakan bagian
integral dari regulator koping mekanisme seseorang. Mereka mempunyai fungsi
untuk mengendalikan dan mengkoordinasi pergerakan tubuh, kesadaran dan
proses emosi kognitif yang baik untuk mengatur aktivitas organ-organ tubuh
(Robertson, 1984 dalam Roy, 1991).
i. Fungsi endokrin : Aksi endokrin adalah pengeluaran horman sesuai dengan
fungsi neurologis, untuk menyatukan dan mengkoordinasi fungsi tubuh.
Aktivitas endokrin mempunyai peran yang signifikan dalam respon stress dan
merupakan dari regulator koping mekanisme (Howard & Valentine dalam
Roy,1991).

2) Mode Konsep Diri


Mode konsep diri berhubungan dengan psikososial dengan penekanan
spesifik pada aspek psikososial dan spiritual manusia. Konsep diri menurut Roy
terdiri dari dua komponen yaitu the physical self dan the personal self.

3) Mode Fungsi Peran


Mode fungsi peran mengenal pola-pola interaksi sosial seseorang dalam
hubungannya dengan orang lain, yang dicerminkan dalam peran primer, sekunder
dan tersier. Fokusnya pada bagaimana seseorang dapat memerankan dirinya
dimasyarakat sesuai kedudukannya.

4) Mode Interdependensi
Mode interdependensi berfokus pada interaksi untuk saling memberi dan
menerima cinta/kasih sayang, perhatian dan saling menghargai.Interdependensi yaitu
keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian dalam menerima sesuatu
untuk dirinya.

2.10.2 Proses Keperawatan Menurut Teori Roy


a. Pengkajian
Fokus dari model ini adalah adaptasi dan tujuan pengkajian adalah
mengidentifikasi tingkah laku yang aktual dan potensial apakah memperlihatkan
maladaptif dan mengidentifikasi stimulus atau penyebab perilaku maladaptif.
Empat mode adaptasi dapat digunakan sebagi dasar kerangka kerja untuk
pedoman pengkajian yang meliputi fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan model
interdependensi.Roy merekomendasikan pengkajian dibagi menjadi dua bagian,
yaitu pengkajian tahap dan pengkajian tahap II.

1) Tahap I : Pengkajian perilaku


Proses ini merupakan tahap proses keperawatan yang bertujuan
mengumpulkan data dan memutuskan klien adaptif atau maladaptif.
2) Tahap II: Pengkajian faktor–faktor yang berpengaruh
Pada tahap ini termasuk pengkajian stimuli yang signifikan terhadap
perubahan perilaku seseorang yaitu stimuli focal, kontekstual dan residual.
a) Identifikasi stimuli focal
Stimuli focal merupakan perubahan perilaku yang dapat diobservasi.
b) Identifikasi stimuli kontekstual
Stimuli kontekstual ini berkontribusi terhadap penyebab terjadinya
perilaku atau presipitasi oleh stimulus focal.
c) Identifikasi stimuli residual
Pada tahap ini yang mempengaruhi adalah pengalaman masa lalu.

b. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut teori adaptasi Roy didefinisikan sebagai suatu
hasil dari proses pengambilan keputusan berhubungan dengan kurang mampunya
adaptasi. Diagnosa keperawatan dirumuskan dengan mengobservasi tingkah laku
klien terhadap pengaruh lingkungan.

c. Penentuan tujuan
Roy (1984) menyampaikan bahwa secara umum tujuan pada intervensi
keperawatan adalah untuk mempertahankan dan mempertinggi perilaku adaptif
dan mengubah perilaku inefektif menjadi adaptif.Penentuan tujuan dibagi atas
tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek.

d. Intervensi
Intervensi keperawatan dilakukan dengan tujuan, mengubah atau memanipulasi
stimulus fokal, kontekstual dan residual, juga difokuskan pada koping individu
atau zona adaptasi, sehingga seluruh rangsang sesuai dengan kemampuan individu
untuk beradaptasi. Tindakan keperawatan berusaha membantu stimulus menuju
perilaku adaptif.

e. Evaluasi
Evaluasi merupakan penilaian efektifitas terhadap intervensi keperawatan
sehubungan dengan tingkah laku pasien.

BAB III
TINJAUAN KASUS
Bab ini memaparkan penjelasan kasus pasien dengan myestenia gravis menggunakan pendekatan
model adaptasi Roy yang terdiri atas pengkajian perilaku dan stimulus, penetapan diagnosa
keperawatan, penetapan tujuan keperawatan, intervensi, dan evaluasi.

3.1. Identitas pasien dan gambaran kasus kelolaan


Tn. M, pasien umur 53 tahun, laki-laki, agama Islam, status menikah dengan tiga anak,
pendidikan SMA, pekerjaan PNS, alamat Dusun Tenong RT 04 RW 02 Pekandangan Jaya
Indramayu. Pasien masuk RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada tanggal 06 September 2018
pukul 12:03rujukan dari RS Mitra Plumbon, nomor rekam medik 0001583728 masuk melalui
IGD dengan keluhan sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit tidak dapat tidur, hanya bisa
duduk, suara sengau, sulit menelan, dan kelopak mata menutup. Keluhan kelemahan anggota
gerak disangkal oleh pasien, keluhan rero disangkal, keluhan nyeri kepala/ muntah/ kejang/
penurunan kesadaran disangkal, keluhan demam tidak ada. Pasien didiagnosa myestenia gravis
sejak 1 tahun yang lalu, minum mestilon 5x60mg per oral. Awalnya dirawat di RS Mitra
Plumbon dan dirujuk ke RSHS. Pasien dirawat di ruang intensif selama 5 hari, kemudian pindah
ke ruang high care selama 5 hari dan kemudian pindah ke Ruangan Azalea dan dilakukan
pengkajian tanggal 25 September 2018.

3.2. Pengkajian perilaku stimulus


a. Mode adaptasi fisiologis
1) Oksigenasi

Pengkajian Perilaku

Pasien mengatakan tidak ada batuk atau sesak, pernafasan spontan dan tidak menggunakan
oksigen. Akral teraba hangat, tidak tampak sianosis, konjungtiva tidak anemis, membran mukosa
lembab, bunyi nafas vesikuler, tidak ada ronchi, tidak ada wheezing, saturasi 99%. Tekanan
darah 130/80 mmHg, frekuensi nadi 80x/menit kuat dan reguler, pernafasan 17x/menit, tidak ada
pernafasan cuping hidung, suhu 36,5°C, capillary refill time < 3 detik, bunyi jantung S1 dan S2
reguler, murmur dan gallop tidak ada.

Hasil pemeriksaan diagnostik:


Pemeriksaan darah rutin (Tanggal 23 September 2018): Hb: 13,5 g/dl, hematocrit 40,5%,
leukosit 10.480/uL.
Pemeriksaan AGD (Tanggal 23 September 2018): pH 7,433; pCO2 36,9mmHg; PO2
184,8mmHg, HCO3- 24,9 mmol/L; BE 1,4; Saturasi O2 99,8%.
Foto rontgen thorax (Tanggal 9 Oktober 2018): tidak tampak kelainan paru, tidak tampak TBC
aktif, tidak tampak kelainan jantung
Pengkajian Stimulus
Tidak ada stimulus, perilaku adaptif

2) Nutrisi
Asupan nutrisi baik per oral, diet gizi seimbang 1900kkal dalam bentuk makan nasi (3x makan
utama, 2x selingan). Pasien menghabiskan nasi, lauk-pauk, dan menu selingan dari rumah sakit.
Riwayat pola makan di rumah 3x/hari, tidak ada alergi makanan, tidak ada pantangan makan
sebelumnya, tidak ada mual atau muntah, gangguan menelan tidak ada, tidak ada karies gigi,
kerusakan mukosa mulut tidak ada, kebersihan rongga mulut baik. Berat badan 55kg, tinggi
badan 160cm, IMT: 21,48kg/m persegi, status gizi cukup. Penilaian skining gizi menggunakan
Malnutrition Screening Tool (MST) dengan skor 0, artinya tidak beresiko malnutrisi.
Hasil pemeriksaan diagnostik (Tanggal 23 September 2018): GDS 137mg/dL, hematokrit 40,5%,
trombosit 291.000/uL, leukosit 10.480/uL

Pengkajian Stimulus
Tidak ada stimulus, perilaku adaptif

3) Eliminasi
Pengkajian perilaku
Eliminasi urine spontan dengan menggunakan urinal, warna kuning pekat, produksi urine
1200cc/24 jam. Pasien mengatakan buang air besar rutin setiap hari. Bising usus 10x/menit,
konsistensi lembek, tidak ada riwayat konstipasi maupun diare.
Pengkajian Stimulus

Tidak ada stimulus, perilaku adaptif

4) Aktivitas dan istirahat


Pengkajian Perilaku
Pasien mengeluh merasa lemas sehingga belum bisa mobilisasi ke kamar mandi. Jika pasien
mencoba untuk berjalan, maka pasien akan mengalami sesak nafas ditandai dengan peningkatan
RR. Pasien mengatakan tidak ada keluhan tidur. Pasien tidur malam sekitar 6-7 jam, dan tidur
siang sekitar 2 jam. Penilaian status fungsional dengan Barthel Index dengan skor 12 perlu
bantuan ringan. Tidak ada gangguan pada rentang gerak sendi, tonus otot normal, kekuatan otot
ekstremitas
5555 5555

4444 4444
Pengkajian stimulus
Stimulus fokal: ketidakmampuan melakukan aktivitas
Stimulus konstektual: myestenia gravis
Stimulus residual: riwayat myestenia gravis sejak 1 tahun yang lalu

5) Proteksi
Pengkajian Perilaku
Riwayat alergi tidak ada, temperatur kulit hangat suhu 36,5°, turgor kulit normal, distribusi
rambut normal, tampak bersih, tidak ada lesi, kuku tampak pendek dan bersih. Pengkajian risiko
jatuh pasien menggunakan Fall Morse Scale yaitu 50 yang bermakna risiko jatuh sedang, skala
braden 20, artinya resiko dekubitus rendah.
Pengkajian Stimulus
Stimulus fokal: kelemahan pada ekstremitas bawah
Stimulus konstektual: myestenia gravis
Stimulus residual: riwayat myestenia gravis sejak 1 tahun yang lalu

6) Sensasi
Pengkajian Perilaku
Penglihatan dan pendengaran baik, lidah tidak kotor, sensasi rasa pada lidah ada, tidak ada nyeri.
Gigi utuh, penyakit gusi tidak ada. Pasien mengatakan tidak da keluhan nyeri.

Pengkajian Stimulus
Tidak ada stimulus, perilaku adaptif
7) Cairan elektrolitdan keseimbangan asam basa
Pengkajian Perilaku
Pemberian cairan intravena 1 line 3 way dengan NaCl 0,9% 1500cc/24jam dan prostigmin 4
ampul + SA 2 ampul dalam NaCl 0,9% 50cc/24 jam. Turgor kulit baik, pitting edema tidak ada.
Tidak tampak ada oedema baik pada palpebra dan daerah ekstrimitas atas maupun bawah,
mukosa bibir lembab. Pasien minum sekitar 1500cc/24jam.
Hasil pemeriksaan diagnostik (Tanggal 23 September 2018): Natrium 142 mEq/L, kalium
4,4mEq/L dan klorida 104 mEq/L. Hasil pemeriksaan elektrolit masih dalam bats normal
sehingga tidak dilakukan koreksi
Pengkajian Stimulus
Tidak ada stimulus, perilaku adaptif

8) Neurologi
Pengkajian Perilaku
Kesadaran compos mentis, pemeriksaan pupil bulat isokor 3mm/3mm, reaksi cahaya
langsung/reaksi cahaya tidak langsung ++/++, lasique sign >70/>70, kernig sign >135/>135,
pemeriksaan saraf kranial nervus VII dan XII simetris dan pemeriksaan saraf cranial lain tidak
ditemukan kelainan. Refleks fisiologis ditemukan refleks bisep (+2), refleks trisep (+2), refleks
achiles (+2), dan refleks patella (+2). Pada pemeriksaan refleks patologis diperoleh refleks
chadok (-), refleks openhim (-), reflek babinski (-) bilateral.

Pengkajian stimulus

Stimulus fokal: perilaku adaptif

Stimulus konstektual: myestenia gravis


Stimulus residual: riwayat myestenia gravis sejak 1 tahun yang lalu

9) Endokrin
Pengkajian Perilaku
Tidak ada gangguan fungsi endokrin atau riwayat penyakit terkait fungsi endokrin, misalnya
riwayat DM atau tekanan darah tinggi. GDS 137 mg/dl.
Pengkajian Stimulus
Tidak ada stimulus, perilaku adaptif

b. Mode Adaptasi Konsep Diri

Pengkajian Perilaku

1) Sensasi tubuh
Pasien merasakan kelemahan untuk melakukan aktivitas ringan
2) Citra tubuh
Pasien hanya berbaring di tempat tidur, pasien dibantu oleh istrinya. Perubahan fisik saat
sakit membuat pasien sulit beraktivitas
3) Konsistensi tubuh
Pasien berusaha untuk melakukan mobilisasi duduk dengan bantan perawat atau
keluarganya meskipun pasien merasakan keterbatasan dalam pergerakan.
4) Ideal diri
Pasien masih merasa lemah, namun berusaha untuk sembuh. Pasien makan dengan
menghabiskan porsi menu rumah sakit. Pasien tidak menolak dengan pengobatan yang
diberikan
5) Moral etik- spiritual diri
Pasien melakukan ibadah shalat 5 waktu di tempat tidur dengan dibantu oleh istrinya

Pengkajian Stimulus

Stimulus fokal: gangguan konsep diri

Stimulus konstekstual: perubahan status kesehatan

Stimulus residual: riwayat myestenia gravis sejak 1 tahun yang lalu

6) Mode Adaptasi Fungsi Peran


Pengkajian Perilaku
Tn. M merupakan kepala keluarga yang bekerja sebagai PNS pada salah satu sekolah
dasar di Indramayu sejak 20 tahun yang lalu. Pasien bekerja menghidupi istri. Ketiga
anak pasien sudah menikah dan bekerja. Selama dirawat di rumah sakit pasien ditemani
oleh istri atau anaknya.
Stimulus fokal: perubahan fungsi peran

Stimulus konstekstual: dampak hospitalisasi

Stimulus residual: riwayat myestenia gravis sejak 1 tahun yang lalu

7) Mode Adaptasi Interdependensi


Pengkajian Perilaku
Keluarga menjadi sistem pendukung bagi kesembuhan pasien. Istri dan anak pasien
bergantian menjaga pasien di rumah sakit. Pasien dikenal suka menolong dan menjalin
hubungan yang baik dengan teman kerja atau tetangganya. Pasien tipe pekerja sama dan
bertanggung jawab terhadap keluarganya.

Pengkajian Stimulus
Tidak ada stimulus, perilaku adaptif

3.3. Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan yangditegakkan berdasarkan pengkajian yang telah dilakukan pada Tn.M
adalah sebagai berikut:
a. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan otot dan fatigue yang ditandai
dengan perubahan pola nafas ketika beraktifitas dan kelelahan
b. Resiko jatuh berhubungan dengan faktor risiko penurunan kekuatan ekstremitas bawah
c. Ketidakefektifan performa peran berhubungan dengan dampak hospitalisasi

3.4. Tujuan
Berdasarkan data hasil pengkajian stimulus dan perilaku serta diagnosa keperawatan yang
ditegakkan pada pasien, maka intervensi yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan perilaku
adaptif pasien. Adapun tujuan dari intervensi yang dilakukan diantaranya:
a. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5x24 jam pasien menunjukkan toleransi
aktivitas dengan kriteria mampu berpartisipasi dalam aktivitas fisik dengan disertai
peningkatan tanda-tanda vital: frekuensi nafas
b. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, pasien menunjukkan perilaku
pencegahan jatuh dengan kriteria mengetahui saat membutuhkan asistensi dalam
aktivitas, menggunakan hand rail untuk mencegah kejadian jatuh.
c. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7x24jam, pasien menunjukkan
peningkatan pengetahuan perubahan performa peran, yaitu memahami perubahan peran
pasien selama dirawat. Performa care giver: perawatan langsung yaitu mampu
mengetahui kebutuhan selama perawatan, mengetahui perkembangan kondisi kesehatan
pasien.

3.5. Intervensi keperawatan


Intervensi keperawatan yang dilakukan pada pasien berdasarkan diagnosa keperawatan yang
ditegakkan selama masa perawatan antara lain:
1. Intoleransi aktivitas
Terapi Aktivitas
Kognator: Bantu klien mengidentifikasi aktivitas yang dapat dilakukan, memberikan penguatan
positif bagi pasien ketika aktivitas, edukasi terkait tata cara pemberian obat.
Regulator: Kolaborasi dengan tenaga rehabilitasi medik untuk merencanakan program terapi
yang tepat (weight shifting tiap dua jam), monitoring tanda-tanda vital selama pasien latihan,
pemberian prostigmin 4 ampul + SA 2 ampul dalam NaCl 0,9% 50cc/24 jam, mestinon 4x60mg
per oral, metilprendisolon 3x16mg per oral.
2. Risiko jatuh
Pencegahan jatuh
Kognator: Identifikasi fungsi kognitif dan kekurangan fisik pasien yang mungkin meningkatkan
potensial untuk jatuh, ajarkan pasien dan keluarga tentang risiko dan pencegahan jatuh pada
pasien.
Regulator: kaji ulang riwayat jatuh dengan keluarga dan pasien, monitoring resiko jatuh pasien,
identifikasi karakteristik dari lingkungan yang mungkin meningkatkan potensi untuk jatuh,
pastikan side rails terpasang dengan baik dan sesuai dengan tubuh pasien.
3. Ketidakefektifan performa peran

Kognator: Bantu pasien mengidentifikasi peran yang biasanya dalam keluarga, bantu pasien
mengidentifikasi perilaku yang diperlukan untuk mengembangkan peran, berdiskusi mengenai
adaptasi peran keluarga untuk dapat mengkompensasi peran anggota keluarga yang sakit.
Kognator: Orentasikan pasien terhadap waktu, tempat dan orang, berbicara dengan pasien,
rangsang memori dengan mengulang pemikiran terakhir pasien, minta pasien untuk mengulang
informasi.

3.6. Evaluasi keperawatan


Pasien menjalani masa perawatan selama 19 hari sejak tanggal 6 September 2018 dan dilakukan
pengkajian keperawatan pada tanggal 25 September 2018. Pasien masuk melalui IGD dan
dirawat di ICU untuk menjalani plasmaforesis sebanyak 6 kali, setelah itu pasien pindah ke
ruang high care dan saat dilakukan pengkajian pasien telah dirawat di Ruang Azalea. Evaluasi
keperawatan dari intervensi keperawatan yang telah dilakukan pada pasien adalah sebagai
berikut:
1. Intoleransi aktivitas
Kolaborasidengan tenaga rehabilitasi medik untuk menjalankan program terapi yang tepat
(weight shifting setiap dua jam), monitoring tanda-tanda vital pasien selama latihan,
membantu klien mengidentifikasi aktivitas yang dapat dilakukan, memberikan penguatan
positif bagi pasien ketika aktivitas, memberikan prostigmin 4 ampul + SA 2 ampul dalam
NaCl 0,9% 50cc/24 jam, mestinon 4x60mg per oral, metilprendisolon 3x16mg per oral.pada
hari ke-3 pasien mulai mampu berjalan ke kamar mandi tanpa disertai sesak. Tujuan tercapai
intervensi dihentikan.

2. Risiko jatuh
Kejadian jatuh tidak terjadi. Pasien mampu berjalan ke kamar mandi yang berarti
menunjukkan perbaikan dari kelemahan otot yang dirasakan oleh pasien. Akan tetapi, sesuai
dengan program pada pasien myestenia gravis, pasien disarankan untuk tirah baring dalam
waktu yang cukup lama hingga kemampuan pasien untuk beadaptasi dengan kondisi
sakitnya saat ini sudah mengalami perbaikan. Hal ini membutuhkan penjagaan tidak hanya
selama di rumah sakt namun lebih penting lagi ketika pasien keluar dari rumah sakit.
Pemberian discharge planning terkait kemampuan mobilisasi dan pecegahan risiko jatuh
diberikan kepada keluarga. Keluaga dan pasien memahami tentang risiko jatuh pada pasien
dan tindakan yang perlu dilakukan untuk mencegah kejadian jatuh pada pasien.
3. Ketidakefektifan performa peran
Pada hari kedua perawatan, pasien sudah dapat berkomunikasi dengan baik. Pasien mampu
mengenal nama perawat, berorientasi terhadap waktu, tempat, dan orang. Pasien mampu
mengulang informasi yang disampaikan bahwa pasien dianjurkan untuk banyak beristirahat.
Pasien mengatakan selama sakit tidak dapat bekerja. Pasien ingin segera pulang dan kembali
bekerja. Pola peran pasien belum menunjukkan pola peran adaptif karena pasien masih
membutuhnan istirahat sepulang ke rumah untuk pemulihan. Istri dan anak pasien
memberikan dukungan kesembuhan kepada pasien. Istri dan anak pasien memahami
perawatan pasien di rumah setelah diberikan edukasi.

BAB 4
PEMBAHASAN
4.1. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Myestenia Gravis Dengan Pendekatan Model
Adaptasi Roy

Dalam pendekatan model Adaptasi Roy, perawat berperan dalam membeikan asuhan
keperawatan dengan berfokus pada kemampuan adaptasi pasien. Selain itu juga perawat
berupaya meningkatkan dan mempertahankan mekanisme koping pasien untuk beradaptasi
terhadap stimulus yang terjadi. Pembahasan mengenai kasus myestenia gravis akan diuraikan
menurut masing-masing mode berdasarkan Model Adatasi Roy sesuai dengan diagnosis
keperawatan yang muncul.

4.1.1. Mode Adaptasi Fisiologis

4.1.1.1. Intoleransi Aktivitas

Bedasarkan data pengkajian perilaku, pasien menunjukkan kelemahan umum ditandai oleh
ketidakmampuan pasien untuk melakukan aktivitas seperti makan dan mobilisasi. Diagnosa
medis yang ditegakkan pada pasien adalah impending krisis myestenia gravis. Sebelumnya
pasien sudah didiagnosa myestenia gravis sejak satu tahun yang lalu dan mendapatkan
pengobatan mestilon 5x60mg per oral. Berdasarkan hasil pengkajian diketahui bahwa saat ini
merupakan ketiga kalinya pasien dirawat dengan diagnosa myestenia gravis. Sekitar 3 bulan
yang lalu, pasien dirawat dan mendapatkan tindakan plasmaforesis sebanyak 6 kali.

Diagnosa intoleransi aktivitas menurut NANDA (2015) adalah tidak terpenuhinya energi
fisiologis atau psikologis pada individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Ditegakkannya
diagnosa myestenia gravis pada pasien mendukung kondisi kelemahan umum yang terjadi akibat
ketidakmampuan Ach berpasangan dengan reseptor Ach dapa motor end plate. Hal ini
menyebabkan otot tidak dapat berkontraksi sehingga pasien merasakan dampak berupa
kelemahan tergantung pada lokasi Ach yang tidak dapat berpindah.

Penetapan diagnosa intoleransi aktivitas diharapkan untuk merubah perilaku pasien yang
ditetapkan dalam tujuan asuhan keperawatan. Perilaku yang diamati untuk menetapkan tujuan
adalah kemampuan pasien dalam beraktivitas. Kemampuan aktivitas pasien dikaji berdasarkan
perubahan tanda-tanda vital selama pasien beraktivitas serta kelemahan otot yang terjadi. Tujuan
utama ditegakkan diagnosa intoleransi aktivitas adalah meningkatkan partisipasi pasien dalam
beraktivitas yang ditandai dengan stabilnya tanda-tanda vital pasien selama melakukan aktivitas.

Sekitar 15-20% pasien mengeluhkan kelemahan padajari-jari tangan, lengan, atau kaki (Kuks,
2018). Selain itu, pasien dengan diagnosa myestenia gravis mengeluhkan gejala kelemahan yang
tidak spesifik seperti terjadinya intoleransi terhadap aktivitas (Jordan et al, 2017). Dengan kata
lain, sebagian pasien mengalami kelelahan setelah melakukan aktivitas. Faktor lain yang dapat
mempengaruhi terjadinya kelemahan pada pasien adalah penggunaan steroid atau efek lain dari
pengobatan, depresi yang disebabkan karena penyakit kronis, disfungsi autonomis, gangguan
autoimun ataupun hormonal (Elsais et al, 2013).

Pada pasien dengan myestenia gravis, dibutuhkan program terapi yang tepat bagi pasien untuk
dapat meningkatkan aktivitas tanpa memperburuk kondisi klinis pasien. Berdasarkan kolaborasi
dengan tim rehabilitasi medik, terapi aktivitas yang dapat dilakukan adalah pengangkatan beban
(weight shifting) tiap dua jam. Latihan beban diharapkan mampu meningkatkan toleransi pasien
terhadap aktivitas terutama pada otot-otot di area ekstremitas. Pengkajian tanda-tanda vital
pasien harus dilakukan sebelum dan sesudah latihan. Hal tersebut menjadi salah satu indikator
kemampuan pasien beradaptasi dengan latihan dan beban yang diberikan.

Langkah-langkah untuk mengatasi kelelahan MG termasuk rehabilitasi untuk meningkatkan


mekanika tubuh untuk mengurangi potensi cedera dan untuk konservasi energi dan
programlatihan yang terstruktur. Rekomendasi kegiatan ini harus dikombinasikan rekomendasi
untuk kesehatan dan kesejahteraan, dan individual untuk setiap orang dengan MG untuk
memperhitungkan variabilitas penyakit. Berikut merupakan jenis-jenis latihan yang dapat
dilakukan pada pasien MG (Naumes et al, 2016):
Plasmapharesis merupakan prosedur yang bertujuan untuk meningkatkan kelemahan yang terjadi
pada pasien. Mekanisme dari prosedur plasmapharesis adalah membersihkan sirkulasi dari
antibodi patogenik seperti komplemen protein (Vincent, 2011). Terapi farmakologis berupa
asetilkolinerase dan kortikosteroid diberikan pada pasien untuk meingankan gejala kelemahan
otot pada pasien.Asetilkolinerase (mestinon) meringankan gejala yaang muncul dengan
meningkatkan transmisi neuromuskular akan tetapi tidak menyembuhkan masalah autoimun,
pemberian kortikosteroid diharapkan dapat menekan kerja proses autoimun (Kaminski, 2018).

Berdasarkan data-data tersebut diketahui bahwa pasien berada pada level adaptasi compensatory.
Hal tersebut bermakna bahwa pasien berada mampu beradaptasi dengan kondisi sakitnya dengan
menunjukkan perilaku yang efektif untuk berpartisipasi dalam melakukan aktivitas.

4.1.1.2. Resiko jatuh

Resiko jatuh yang terjadi pada pasien diambil bedasarkan hasil pengkajian resiko jatuh
menggunakan Morse. Hal ini berhubungan dengan kondisi kelemahan yang terjadi pada pasien.
Kelemahan tersebut ditandai dengan kekuatan otot pada ekstremitas kanan tidak optimal, yaitu
memiliki nilai 4. Hal ini dapat terjadi akibat ketidakmampuan Ach berpasangan dengan reseptor
Ach dapa motor end plate. Hal ini menyebabkan otot tidak dapat berkontraksi sehingga pasien
merasakan dampak berupa kelemahan tergantung pada lokasi Ach yang tidak dapat berpindah.

4.1.2. Mode Adaptasi Konsep Diri


Berkaitan dengan konsep diri pada pasien berhubungan dengan kondisi kesehatan pasien yang
memburuk sejak 1 tahun yang lalu. Pasien mengatakan pasrah dan berserah diri pada Tuhan
untuk kondisinya sekarang dan berharap agar cepat sembuh dan dapat pulang ke rumah.

4.1.3. Mode Adaptasi Fungsi Peran


Masalah keperawatan yang dapat ditegakkan pada mode adaptasi fungsi peran yakni
ketidakefektifan performa peran. Diagnosa keperawatan ini diangkat karena pasien mengalami
hambatan dalam menjalani peran sebagai kepala keluarga, suami, dan ayah serta pencari nafkah
di keluarganya.
4.1.4. Mode Adaptasi Interdependensi
Fungsi interdependensi merupakan fungsi dimana adanya kenyamanan hubungan dengan
lingkungan sekitar. Fungsi ini dapat dinilai dari interaksi seseorang dengan orang lain dan
lingkungan. Berdasarkan hasil pengkajian ada pasien diketahui bahwa interaksi pasien dan
keluarganya berjalan lancar, selain itu dengan sesama pasien di ruangan dan petugas kesehatan
juga memiliki hubungan yang cukup baik.

4.2.Aspek Legal Dan Etik Mengenai Tindakan Keperawatan Pasien Myestenia Gravis

Praktik keperawatan yang berhubungan langsung dengan individu maupun masyarakat membuat
tugas yang dilakukan oleh perawat menjadi sangat rentan dengan kesalahan berupa kelalaian
maupun malpraktek keperawatan sesuai dengan kode etik maupun standar profesi keperawatan.
Dalam perkembangan ilmu keperawatan dewasa ini, perawat telah mengalami perubahan status
dari perpanjangan tangan menjadi kemitraan dan mandiri dalam melakukan praktik keperawatan.
Perawat bukan lagi menjadi petugas kesehatan yang pasif, tetapi penyedia jasa perawatan
kesehatan yang desisif dan asertif (ICN,2012). Perawat sebagai profesi  dan bagian integral dari
pelayanan kesehatan tidak saja membutuhkan kesabaran. Kemampuannya untuk ikut mengatasi
masalah masalah kesehatan tentu harus juga bisa di andalkan.

Prinsip etika keperawatan dalam memberikan layanan keperawatan kepada pasien tersebut di
atas diantaranya autonomy dimana perawat harus menghargai apa yang menjadi keputusan
pasien dan keluarganya tapi ketika pasien menuntut haknya dan keluarganya tidak setuju maka
perawat harus mengutamakan hak Tn. M tersebut untuk mendapatkan informasi tentang
kondisinya. Semua keputusan persetujuan pasien dan keluarga dalam menerima tindakan
keperawatan selama di rawat di rumah sakit tercatat di dalam dokumentasi informed consent.
Sebagai perawat yang merawat pasien Tn.M mempunyai kewajiban untuk melindungi hak pasien
tersebut dengan tetap merahasiakan apapun yang berhubungan dengan klien. Hak klien atas
kerahasiaan ini juga dilindungi oleh hukum. Perawat akan berpegang teguh dalam prinsip moral
etik keperawatan yaitu menghargai apa yang menjadi keputusan pasien dengan menjamin
kerahasiaan segala sesuatu yang telah dipercayakan pasien kepadanya kecuali seijin pasien.
Pada etik Nonmaleficience saat perawat melakukan tindakan keperawatan terhadap Tn.M maka
perawat melakukan yang terbaik untuk pasien dan tidak merugikan pasien tersebut. Berdasarkan
pertimbangan prinsip-prinsip moral tersebut keputusan yang bisa diambil maka perawat dapat
menggunakan tiga prinsip etik dalam melakukan asuhan keperawatan pada Tn.M sehingga akan
membuat pasien lebih dihargai dan dipenuhi haknya sebagai pasien.

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan
abnormal dan progresif pada otot volunter yang dipergunakan secara terus-menerus dan
disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul terkait dengan antibody
reseptor asetilkolin pasca sinaptik di tautan neuro muscular / neuromuscular junction.
Asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien miastenia gravis yaitu berdasarkan
respon pasien terhadap penyakit secara holistic baik bio, psiko, social dan spiritual.

5.2 SARAN

Diharapkan makalah ini dapat dijadikan sebagai salah satu acuan bagi perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien miastenia gravis. Dalam memberikan asuhan
keperawatan, hendaknya perawat telah mendalami konsep anatomi, fisiologi dan
patofisiologi penyakit sehingga seluruh tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien
merupakan hasil critical thinking perawat atas respon pasien yang unik. Selain itu perawat
dalam memberikan asuhan keperawatan harus mempertimbangkan prinsip etik dan moral
sehingga perawat dapat membantu pasien dan terhindar dari tuntutan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Alligood & Tomey. 2006. “Nursing Theory : Utilization & Application 4th edition”. Mosby, Inc.
Elsevier’s Health Sciences Rights Department in Philadelphia : USA.
Alligood, Martha Raille & Ann Marriner Tomey. 2006. “Nursing Theorists and Their Work”.
Elsevier mosby : St.Louis, Missouri.
Ali, Zaidin. 2002. Dasar-Dasar Keperawatan Profesional. Jakarta: Widya Medika
Ambrosino N, Carpene` N, Gherardi M. Chronic respiratory care for neuromuscular diseases for
adults. Eur Respir J 2009;34:444e51.
Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : EGC
Berrih-Aknin S, Frenkian-Cuvelier M, Eymard B. Diagnostic and clinical classification of
autoimmune myasthenia gravis. J Autoimmun. 2014;48:143-148.
Bickley, L, S. 2007. Bates’ Pocket Guide to Physical Examination and History Taking. 5th
edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Bhagat H, Vinond K,Grover,Jangra K.What is optimal in patients with myasthenia crisis :
invasive or non invasive ventilation :Journal of Neuroanesthesiology and Critical care ;
2014

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi. EGC: Jakarta
Elsais, A, Wyller VB, Loge JH, Kerty E. (2013). Fatiquein myasthenia gravis: Is it more than
muscular weakness?. BMC Neurol. 2013;13:132-9.

Ensiklopedia Bebas. 2014. Model Adaptasi Keperawatan. Retrieved


Greenberg, Michael I. 2007. Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan. Jakarta: Erlangga
Jayam Trouth A, Dabi A, Solieman N, Kurukumbi M, Kalyanam J. Myasthenia Gravis: A
Review. Autoimmune Diseases. 2012;2012:1-10.

Jordan B, Mehl T, Schweden TLK, Menge U, Ziera S. (2017). Assesment of physical fatigability
and fatique perception in myasthenia gravis. Muscle Nerve. 2017;55:657-63.

Kaminski, HJ, Kusner, LL. (2018). Myasthenia gravis and related disorder.USA: Humana Press.

Kuks, J. (2018). Myasthenia gravis and related disorder: Clinical Presentation of Myestenia
Gravis. USA: Humana Press.

Mourão AM, Araújo CM, Barbosa LSM, Gomez RS, Burns TM, Lemos SMA, et al. Brazilian
cross-cultural translation and adaptation of the ‘‘Questionnaire of Life Quality Specific
for Myasthenia Gravis – 15 items”. Arq Neuropsiquiatr 2013;7:955–8

Naumes J, Hafer-Macko C, Foidel S. (2016).Exercise and MyastheniaGravis: A Review of the


Literature to Promote Safety, Engagement, and Functioning.Int J Neurorehabilitation 3:
218. doi:10.4172/2376-0281.1000218

Potter dan Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep, Proses & Praktik.
Jakarta: EGC
Ropper, A. H., Samuels, M. A., & Klein, J. P. (2014). Adams and Victor’s Principles of
neurology (tenth edit). New york: Mc Graw Hill Education
Roy, Callista. (1999). “The Roy Adaptation Model 2nd”. Appleton and Lange Publisher
Smeltzer, Suzanna, C. 1996. Buku ajar keperawatan medical medah. Jakarta: EGC
Twork, S., Wiesmeth, S., Klewer, J., Pöhlau, D., & Kugler, J. (2010). Quality of life
and life circumstances in German myasthenia gravis patients. Health and Quality of
Life Outcomes, 8, 1–10.

Vincent A. (2011). John Newsom-Davis: clinician-scientist and so much more.


Brain:2011;134(Pt12):3755-74.

Anda mungkin juga menyukai