Bulechek, Gloria M., et al. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC). Fifth Edition.
Mosby Elsevier.
Mansjoer, Arif. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius
FK UI.
Moorhead, Sue., et al. Tanpa tahun. Nursing Outcomes Classification (NOC). Mosby Elsevier.
NANDA. 2018. Nursing Diagnosis Definitions and Classification. Wiley-Blackwell.
Price, Sylvia Anderson, dan Wilson, Lorraine M. 2012. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Volume II. Edisi VI. Jakarta: EGC.
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. F DENGAN
CEDERA OTAK BERAT (COB) DI RUANG
ICCU RSUD BANGIL
oleh:
Wadzifatu Qurrotu Aini
1601470057
KEMENTRIAN KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN LAWANG
Februari 2020
LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN CEDERA OTAK BERAT
A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Cidera kepala adalah cidera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak.
Cidera kepala adalah gangguan neurologic yang paling sering terjadi dan gangguan neurologik
yang serius di antara gangguan neurologik dan merupakan proporsi epidemik sebagai akibat
kecelakaan di jalan raya (Smeltzer & Bare 2013).
Cidera otak berat atau COB adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat adanya
trauma pada otak secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi (Price, 2012).
Cedera otak berat merupakan keadaan dimana struktur lapisan otak mengalami cedera berkaitan
dengan edema, hyperemia, hipoksia dimana pasien tidak dapat mengikuti perintah, dengan GCS
< 8 dan tidak dapat membuka mata.
2. Patofisiologi
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dapat digolongkan menjadi 2 proses yaitu
cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder.Cedera otak primer adalah cedera yang terjadi
saat atau bersamaan dengan kejadian trauma dan merupakan suatu fenomena mekanik.
Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat
fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang
optimal. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul,
kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh
sistem dalam tubuh.
Cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau
berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai akibat, cedera
sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area
cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstrakranial akan dapat
menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai
pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia,
hiperemi peningkatan volume darah pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta
vasodilatasiarterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan
tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi namun bila trauma mengenai tulang kepala akan
menyebabkanrobekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intrakranial dapat
mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan
susunan syaraf kranial terutama motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam
mobilitas.
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Adapun pemeriksaan laboratorium darah yang berguna pada kasus cedera kepala yaitu :
Hemoglobin sebagai salah satu fungsi adanya perdarahan yang berat
Leukositosis untuk salah satu indikator berat ringannya cedera kepala yang terjadi.
Golongan Darah persiapan bila diperlukan transfusi darah pada kasus perdarahan yang
berat.
GDS memonitor agar jangan sampai terjadi hipoglikemia maupun hiperglikemia.
Fungsi Ginjal memeriksa fungsi ginjal, pemberian manitol tidak boleh dilakukan pada
fungsi ginjal yang tidak baik.
Analisa Gas Darah PCO2 yang tinggi dan PO2 yang rendah akan memberikan prognosis
yang kurang baik, oleh karenanya perlu dikontrol PO2 tetap > 90 mmHg, SaO2 > 95 %
dan PCO2 30-50 mmHg. Atau mengetahui adanya masalah ventilasi perfusi atau
oksigenisasi yang dapat meningkatkan TIK.
Elektrolit adanya gangguan elektrolit menyebabkan penurunan kesadaran.
Toksikologi mendeteksi obat yang mungkin menimbulkan penurunan kesadaran.
b. Pemeriksaan Radiologi
CT Scan adanya nyeri kepala, mual, muntah, kejang, penurunan kesadaran,
mengidentifikasi adanya hemoragi, pergeseran jaringan otak.
Angiografi Serebral menunjukkan kelainan sirkulasi cerebral seperti pergeseran cairan
otak akibat oedema, perdarahan, trauma.
EEG (Electro Encephalografi) memperlihatkan keberadaan/perkembangan gelombang
patologis.
MRI (Magnetic Resonance Imaging) mengidentifikasi perfusi jaringan otak, misalnya
daerah infark, hemoragik.
Sinar X mendeteksi adanya perubahan struktur tulang tengkorak.
Test Orientasi dan Amnesia Galveston (TOAG) untuk menentukan apakah pasien trauma
kepala sudah pulih daya ingatnya.
5. Penatalaksanaan
a. Perawatan sebelum ke Rumah Sakit
1. Stabilisasi terhadap kondisi yang mengancam jiwa dan lakukan terapi suportif dengan
mengontrol jalan nafas dan tekanan darah.
2. Berikan O2 dan monitor
3. Berikan cairan kristaloid untuk menjaga tekanan darah sistolik tidak kurang dari 90
mmHg.
4. Pakai intubasi, berikan sedasi dan blok neuromuskuler
5. Stop makanan dan minuman
6. Imobilisasi
7. Kirim kerumah sakit.
b. Perawatan di bagian Emergensi
1. Pasang oksigen (O2), monitor dan berikan cairan kristaloid untuk mempertahankan
tekanan sistolik diatas 90 mmHg.
2. Pakai intubasi, dengan menggunakan premedikasi lidokain dan obat-obatan sedative
misalnya etomidate serta blok neuromuskuler. Intubasi digunakan sebagai fasilitas untuk
oksigenasi, proteksi jalan nafas dan hiperventilasi bila diperlukan.
3. Elevasikan kepala sekitar 30O setelah spinal dinyatakan aman atau gunakan posis
trendelenburg untuk mengurangi tekanan intra kranial dan untuk menambah drainase
vena.
4. Berikan manitol 0,25-1 gr/ kg iv. Bila tekanan darah sistolik turun sampai 90 mmHg
dengan gejala klinis yang berkelanjutan akibat adanya peningkatan tekanan intra kranial.
5. Hiperventilasi untuk tekanan parsial CO2 (PCO2) sekitar 30 mmHg apabila sudah ada
herniasi atau adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (ICP).
6. Berikan phenitoin untuk kejang-kejang pada awal post trauma, karena phenitoin tidak
akan bermanfaat lagi apabila diberikan pada kejang dengan onset lama atau keadaan
kejang yang berkembang dari kelainan kejang sebelumnya.
Cedera kepala
Gangguan Perubahan
8. Pathway
Perdarahan Gangguan Resiko Nyeri neurologis autoregulasi
suplai darah infeksi fokal
Hematoma Edema serebral
WOC
Perubahan Resiko Bersihan jalan
Iskemia Kejang
sirkulasi CSS ketikdaefektifan napas
perfusi jaringan Gangguan
Hipoksia Dispnea
PTIK serebral pola napas
Henti napas
Girus medialis Gangguan Gangguan fungsi luhur
lobus temporalis fungsi otak
tergeser Perubahan perilaku