Anda di halaman 1dari 12

BAB I

KONSEP DASAR MEDIS

A. Definisi
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala,
tengkorak dan otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik
yang serius diantara penyakit neurologik dan merupakan proporsi epidemic
sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare 2001). Cidera kepala
sendiri didefinisikan dengan suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai pendarahan interslities dalam rubstansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak.Cedera Kepala adalah suatu gangguan
traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan
interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak
(Muttaqin, 2008).
Menurut (Kumar, 2013) cedera kepala berdasarkan keadaan klinik
dapat dibagi yaitu :
a. Tingkat I (cedera kepala ringan)
Adanya riwayat kehilangan kesadaran atau pingsan setelah
mengalami trauma dan kemudian sadar kembali. Pada waktu diperiksa
dalam keadaan sadar penuh, orientasi baik dan tidak ada defisit
neurologis.
b. Tingkat II (cedera kepala sedang)
Kesadaran menurun tetapi dapat mengikuti perintah-perintah yang
sederhana dan dijumpai adanya defisit neurologis.
c. Tingkat III (cedera kepala berat)
Kesadaran yang sangat menurun dan tidak bisa mengikuti perintah
sama sekali. Penderita masih bisa bersuara, namun susunan kata-kata dan
orientasinya kacau, gagu, gelisah, respon motorik bervariasi dari keadaan
yang masih mampu melokalisis rasa sakit sampai tidak ada respon sama
sekali.
Cedera kepala ringan atau trauma kepala ringan adalah kondisi
ketika seseorang mengalami cedera ringan di bagian kepala. Ringan atau
beratnya kondisi cedera kepala, dapat dinilai dari Glasgow Coma
Scale (GCS). GCS merupakan kumpulan respon penderita yang diberikan
nilai untuk melihat tingkat kesadaran. Nilai tertinggi adalah 15, sedangkan
nilai terendah adalah 3. Nilai tersebut ditentukan berdasarkan kemampuan
penderita membuka mata, pergerakan penderita, dan isi
pembicaraannya.Cedera kepala ringan jarang menyebabkan kerusakan
otak permanen. Pada orang dewasa, cedera kepala ringan umumnya
terjadi karena kecelakaan kendaraan bermotor, membentur atau terbentur
sesuatu, terjatuh, atau karena terkena pukulan di bagian kepala.
Sedangkan pada anak-anak, kondisi ini lebih sering disebabkan karena
terjatuh dan terbentur(Brunner & Suddarth, 2013).
Cedera kepala ringan merupakan trauma kepala dengan GCS: 15
(sadar penuh) tidak ada kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri
kepala, hematoma, laserasi dan abrasi (Mansjoer, 2010)

B. Etiologi
Kebanyakan cedera kepala merupakan akibat salah satu dari kedua
mekanisme dasar yaitu kontak bentur / guncangan lanjut. Cidera kontak
bentuk terjadi bila kepala membentur obyek yang relatif tidak bergerak
seperti badan mobil atau tanah dikenal dengan cidera perlambatan
(decelerasi). Guncangan lanjut dikenal dengan cidera percepatan (acelerasi),
merupakan peristiwa guncangan kepala yang hebat terjadi jika benda yang
sedang bergerak membentur kepala yang diam seperti trauma akibat pukulan
benda tumpul / karena kena lemparan benda tumpul(Mansjoer, 2010). Situasi
yang dapat menimbulkan Cidera Kepala Ringan antara lain:
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan
mobil.
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Trauma akibat persalinan :sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau
vakum(Mansjoer, 2010).

C. Patofisiologi
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera
percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur
kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena
kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila
kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan
mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila
terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi
bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa
dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang
menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang
otak(Muttaqin, 2008).
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena
memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan
autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera.
Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan
intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak
sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio
serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang
disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia(Muttaqin,
2008).
Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar
secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar,
kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil
multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena
kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer
serebral, batang otak, atau dua-duanya(Muttaqin, 2008).
D. Manifestasi Klinis
1. Nyeri yang menetap atau setempat.
2. Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur kubah cranial.
3. Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring atau telinga dan
darah terlihat di bawah konjungtiva,memar diatas mastoid (tanda
battle),otorea serebro spiral ( cairan cerebros piral keluar dari telinga ),
minorea serebrospiral (les keluar dari hidung).
4. Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan spinal berdarah.
5. Penurunan kesadaran.
6. Pusing / berkunang-kunang.
7. Absorbsi cepat les dan penurunan volume intravaskuler.
8. Dilatasi dan fiksasi pupil atau paralysis ekstremitas
9. Peningkatan TD, penurunan frek. Nadi, peningkatan pernafasan
10. Vertigo, merupakan salah satu bentuk sakit kepala di mana penderita
mengalami persepsi gerakan yang tidak semestinya (biasanya gerakan
berputar atau melayang) yang disebabkan oleh gangguan pada sistem
vestibular.
11. Gangguan pergerakan.
12. Kejang (Willy, 2016).

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium rutin
Hitung darah lengkap untuk menentukan jumlah dan tipe sel darah
merah dan sel darah putih per mm3 darah. Hitung darah lengkap
mengukur kadar hemoglobin dalam sel darah merah. Defisiensi sel darah
merah akan menurunkan kapasitas darah dan menurunkan kapasitas darah
yang membawaoksigen karena molekul hemoglobin yang tersedia untuk
mengangkut kejaringan lebih sedikit. Apabila jumlah sel darah merah
meningkat kapasitas darah yang mengangkut oksigen meningkat (Kumar,
2013).
2. Foto servikal
Foto Cervical adalah pemeriksaan radiologi yang menggunakan X-
ray untuk melihat gambaran dari vertebrae Cervicalis yang dapat
menunjukkan kelainan osteophyte, penyempitan discus, fraktur, spasme
otot-otot paraspinalis, penyempitan foramen atau kelainan lain. Melihat
kelainan tulang2 leher yang dapat berupa osteophyte(tumbuh tulang
muda), penyempitan discus, fraktur (patah), penyempitan foramen
maupun perkapuran di otot leher bagian belakang (Kumar, 2013).
3. CT Scan / MRI kepala
Computed Tomography ( CT scan ) adalah pemeriksaan pencitraan
yang menggunakan sinar X dan komputer untuk menghasilkan gambar
penampang tubuh dalam hal ini kepala (CT Scan kepala). CT scan ini
dapat membantu dokter melihat penyebab sakit kepala(Kumar, 2013).
Arteriografi , merupakan teknik pemeriksaan radiografi untuk melihat
anatomi maupun patologi dati arteri dengan menggunakan media kontras
pada arteri tersebut (Kumar, 2013).

F. Komplikasi
1. Komplikasi yang muncul dari CKR yaitu dapat menyebabkan
kemunduran pada kondisi pasien karena perluasan hematoma intrakranial,
edema serebral progressif dan herniasi otak. Edema serebral adalah
penyebab paling umum dari peningkatan tekanan intrakranial pada pasien
yang mendapat cedera kepala(Willy, 2016).
2. Defisit neurologi dan psikologi (tidak dapat mencium bau-bauan,
abnormalitas gerakan mata, afasia, defek memori dan epilepsi)(Willy,
2016).
3. Komplikasi yang ditimbulkan akibat CKR adalah hematoma. Biasanya
akan terlihat akan adanya kehilangan kesadaran sebentar pada saat
cedera,diikuti dengan pemulihan yang nyata secara perlahan-lahan
(interval yang jelas). Hal ini perlu dicatat walaupun interval nyata
merupakan karakteristik dari hematoma epidural (Willy, 2016).
G. Penatalaksanaan
1. Terapi medikasi
a. Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita
agar tetap normovolemikPerlu diperhatikan untuk tidak memberikan
cairan berlebihPenggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat
menyebabkan hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak yangn
cederaCairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl o,9 %
atau RLKadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal,
keadaan hyponatremia menimbulkan odema otak dan harus dicegah
dan diobati(Mansjoer, 2010).
b. Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat
menurunkan PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah otakHV yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena
perfusi otak menurun PCo2 <25 mmHg , HV harus
dicegahPertahankan level PCo2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi
(Mansjoer, 2010)
c. Manitol
Dosis 1 gram/kg BB bolus IVIndikasi penderita koma yang semula
reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian terjadi dilatasi pupil dengan
atau tanpa hemiparesisDosis tinggi tidak boleh diberikan pada
penderita hypotensi karena akan memperberat hypovolemia(Mansjoer,
2010)
d. Furosemid
Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan
akan meningkatkan diuresisDosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB IV(Mansjoer,
2010)
e. Anti convulasan
Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk
mencegaah terjadinya epilepsi pasca traumaPhenobarbital &
Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke I
(Mansjoer, 2010).
2. Penatalaksanaan Pembedahan
a. Luka Kulit kepala
Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar
luka dan mencuci bersih sebelum dilakukan penjahitan Penyebab
infeksi adalah pencucian luka dan debridement yang tidak
adekuatPerdarahan pada cedera kepala jarang mengakibatkan syok,
perdarahan dapat dihentikan dengan penekanan langsung, kauteraisasi
atau ligasi pembuluh besar dan penjahitan luka. Lakukan insfeksi
untuk fraktur dan adanya benda asing, bila ada CSS pada luka
menunjukan adanya robekan dura. Consult ke dokter ahli bedah saraf
Lakukan foto tengkorak / CT Scan(Willy, 2016).

H. Fokus pengkajian
Fokus pengkajian pada cedera kepala ringan meliputi:
1. Riwayat kesehatan meliputi: keluhan utama, kapan cidera terjadi,
penyebab cidera, riwayat tak sadar, amnesia, riwayat kesehatan yang lalu,
dan riwayat kesehatan keluarga.
2. Pemeriksaan fisik head to toe
Keadaan umum (tingkat kesadaran dan kondisi umum klien).
3. Pemeriksaan persistem dan pemeriksaan fungsional
a. Sistem persepsi dan sensori (pemeriksaan panca indera: penglihatan,
pendengaran, penciuman, pengecap, dan perasa).
b. Sistem persarafan (tingkat kesadaran/ nilai GCS, reflek bicara, pupil,
orientasi waktu dan tempat).
c. Sistem pernafasan (nilai frekuensi nafas, kualitas, suara, dan
kepatenan jalan nafas).
d. Sistem kardiovaskuler (nilai TD, nadi dan irama, kualitas, dan
frekuensi).
e. Sistem gastrointestinal (nilai kemampuan menelan, nafsu makan/
minum, peristaltik, eliminasi).
f. Sistem integumen (nilai warna, turgor, tekstur dari kulit, luka/ lesi).
g. Sistem reproduksi.
h. Neurosensori
Gejala : kehilangan kesadaran, amnesia seputar kejadian, vertigo,
sinkope, tinnitus, kehilangan pendengaran, Perubahan dalam
penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian
lapang pandang, fotopobia.
Tanda : perubahan status mental (oreintasi, kewaspadaan, perhatian
/konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku
dan memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris),
Ketidakmampuan kehilangan pengideraan seperti pengecapan,
penciuman dan pendengaran. Wajah tidak simetris, gengaman lemah
tidak seimbang, reflek tendon dalam tidak ada atau lemah, apaksia,
hemiparese, postur dekortikasi atau deselebrasi, kejang sangat
sensitivitas terhadap sentuhan dan gerakan.
i. Nyeri dan kenyamanan
Gejala : sakit kepala dengan intensitas dengan lokasi yang berbeda
bisaanya sama.
Tanda : wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri
yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat, merintih(Brunner & Suddarth,
2013).

I. Fokus Diagnosa
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
2. Perfusi jaringan tidak efektif (cerebral) berhubungan dengan penghentian
alirandarah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD
sistemik/hipoksia(hipovolemia, disritmia jantung)
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidaknyamanan
4. Kerusakan integritas kulit : luka lecet dan luka robek berhubungan dengan
faktor mekanik(Brunner & Suddarth, 2013).

J. Fokus Intervensi
1. Nyeri akut b.d agen cidera fisik: post traumatik(Tarwoto & Wartonah,
20115).
Intervensi :
a. Minta klien untuk menilai nyeri pada skala 0 sampai 10
Rasional : untuk mengetahui tingkat nyeri yang dialami klien.
b. Lakukan pengakajian nyeri yang komprehensif meliputi lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, intensitas, keparahan nyeri dan faktor
pencetusnya.
Rasional : untuk mengetahui kondisi nyeri yang dialami klien secara
komprehensif.
c. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi tingkat
nyeri sesuai dengan kenyamanan klien.
Rasional : untuk mengurangi nyeri dengan cara non farmakologi.
d. Dukung adanya penggunaan agen farmakologi untuk pengurangan
nyeri
Rasional : untuk mengurangi nyeri.
2. Perfusi jaringan tidak efektif (cerebral) berhubungan dengan penghentian
alirandarah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD
sistemik/hipoksia(hipovolemia, disritmia jantung)(Tarwoto & Wartonah,
20115).
a. Gunakan sarung tangan untuk proteksi
b. Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung
c. Monitor kemampuan BAB
d. Kolaborasi pemberian analgetik
e. Monitor adanya tromboplebitis
f. Diskusikan menganai penyebab perubahan sensasi
3. Hambatan Mobilitas fisik berhubungan dengan ketidaknyaman(Tarwoto
& Wartonah, 20115).
a. Ajarkan teknik ambulasi dan perpindahan yang aman.
Rasional : dengan teknik perpindahan yang aman diharapkan klien
dapat beraktifitas secara aman.
b. Anjurkan kepada keluarga untuk melakukan pengawasan terhadap
aktifitas klien.
Rasional : untuk menjaga keamanan klien dalam beraktifitas.
c. Kaji kebutuhan klien akan bantuan pelayanan kesehatan
Rasional : untuk mengetahui tingkat kebutuhan klien dalam
mobilisasi.
d. Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan aktifitas klien
.Rasional : keluarga adalah orang terdekat klien yang harus ikut dalam
proses perawatan klien.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, 2013. Keperawawatan Medikal Bedah Edisi 12. Jakarta: EGC.
Docterman dan Bullecheck. Nursing Invention Classification (NIC), Edition 4,
United States Of America : Mosby Elseveir Academic Press, 2013
Kumar, V., Cotran, R.S., dan Robbins S.L. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7; ali
Bahasa, Brahm U, Pendt ;editor Bahasa Indonesia, Huriawati Hartanto,
Nurwany Darmaniah, Nanda Wulandari.-ed.7-Jakarta: EGC.
Maas, Morhead Jhonson dan Swanson. Nursing Out Comes (NOC), United States
Of America : Mosby Elseveir Academic Press, 2013
Mansjoer, A., 2010. Kapita Selekta Kedokteran. jakarta: Media Aesculapius.
Muttaqin, A., 2008. Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta:
Salemba Medika.
Nanda International. Diagnosis Keperawatan Keperawatan: Definisi & Klasifikasi. 2017.
Penerbit buku Kedokteran
Tarwoto & Wartonah, 20115. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika.
Willy, T., 2016. Cidera Kepala Ringan. [Online] Available at:
https://www.alodokter.com/trauma-kepala-ringan [Accessed 29 Mei 2018].

Anda mungkin juga menyukai