Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Congestive Heart Failure (CHF) / Gagal Jantung Kongestif menjadi

penyakit yang menyebabkan angka kematian (mortalitas) sebesar 50% dalam kurun

waktu lima tahun pada pasien yang terdiagnosis CHF. Selain itu pasien CHF yang

pernah menjalani rawat inap sangat beresiko akan terjadinya rawat inap kembali

(rehospitalization) dan tentu saja akan meningkatkan beban biaya pasien

(Susilowati, 2015). Menurut data WHO 2013 sebanyak 17,3 juta orang meninggal

akibat gangguan jantung pada tahun 2008 dan lebih dari 23 juta orang akan

meninggal setiap tahun dengan gangguan jantung. Resiko berkembangnya gagal

jantung di Amerika Serikat 20% terjadi pada usia lebih dari 40 tahun. Insiden gagal

jantung tetap stabil selama beberapa dekade terakhir, dengan >650.000 kasus baru

didiagnosis setiap tahunnya (Yancy, 2013).

Prevalensi gagal jantung berdasar wawancara terdiagnosis dokter di

Indonesia sebesar 0,13 persen, dan yang terdiagnosis dokter atau gejala sebesar

0,3 persen. Prevalensi gagal jantung berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi DI

Yogyakarta (0,25%), disusul Jawa Timur (0,19%), dan Jawa Tengah (0,18%).

Provinsi Bali memiliki prevalensi gagal jantung sebesar (0,13%) yang merupakan

peringkat 6 setelah Jakarta (0,15%) dan Jawa Barat (0,14%) (Rikesdas, 2013).

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medis RSUP Sanglah Denpasar,

pada tahun 2011 pasien yang menjalani perawatan di ruang rawat intensif

1
jantung RSUP Sanglah Denpasar dengan gagal jantung berjumlah 38 pasien,

padatahun 2012 berjumlah 56 pasien, sedangkan data pasien gagal jantung dari

bulan Januari 2013 sampai dengan bulan Desember 2013 berjumlah 64 orang

(Kumalasari, 2014).

Gagal jantung susah dikenali secara klinis, karena hanya ada sedikit tanda

tanda klinis pada tahap awal penyakit, beragamnya keadaan klinis serta tidak

spesifik (Davis et al., 2000). Manifestasi klinis yang sering muncul pada pasien

gagal jantung kronik adalah penurunan toleransi latihan dan sesak nafas saat

aktifitas (Lee, 2005; Black dan Hawrk, 2009; Scub dan Caple, 2010). Kedua kondisi

tersebut mengakibatkan ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari,

mengganggu dan membatasi pekerjaan atau aktivitas yang disukai, akibatnya

pasien mengalami penurunan kapasitas fungsional.

Kapasitas fungsional pada penderita gagal jantung dipengaruhi oleh

konsumsi oksigen maksimal. Penderita gagal jantung mengalami penurunan

cardiac output yang mengakibatkan kadar oksigen dalam tubuh mengalami

penurunan. Semakin kuat kapasitas fungional seseorang maka semakin menurun

konsumsi oksigen maksimal seseorang yang digunakan untuk beraktivitas,

sehingga aktivitas yang dilakukan semakin ringan terutama activity daily living.

Kemandirian dalam activity daily living memungkinkan seseorang untuk memenuhi

kebutuhan dasar sehari-hari. Kapasitas fungsional dan activity daily living

merupakan komponen penting dalam menentukan kualitas hidup penderita gagal

jantung (Pollentier et al., 2010).

2
Hasil penelitian oleh Parada et al (2012) menunjukkan bahwa 52% pasien

dengan gagal jantung menunjukkan adanya perburukan kapasitas fungsional.

Pernurunan kapasitas fungsional yang ditunjukkan dengan keterbatasan aktivitas

pada pasien gagal jantung dapat dijadikan sebagai parameter mortalitas dan

berhubungan dengan kejadian rawat inap pasien dengan gagal jantung.

Penelitian yang dilakukan oleh Francesc et al (2006) menunjukkan bahwa

evaluasi yang dilakukan dari bulan September 2002 sampai dengan Desember 2003

menunjukkan bahwa dari 188 pasien yang dilakukan pengukuran indeks barthel 163

pasien yang mash hidup mempunyai nilai rerata indeks barthel 84,4, sedangkan

pada 25 pasien yang meninggal mempunyai indeks barthel sebelumnya dengan nilai

rerata 64,4. Dalam hal ini indeks barthel perlu dilakukan observasi terkait dengan

hubungan nilai rendahnya indeks barthel terhadap perburukan klinis pasien.

Penelitian lainyang dilakukan oleh Gonzales et al (2014) menghasilkan indeks

barthel yang diukur 1 bulan dan 6 bulan mengalami penurunan pada kedua

kelompok responden. Walaupun mengalami penurunan indeks barthel di kedua

kelompok respoden, kelompok kontrol yang diberikan discharge planning standar

rumah sakit mempunyai penurunan yang lebih banyak.

Discharge planning berisi tentang gambaran secara rinci terkait penyakit

yang diderita pasien dan perawatan selama di rumah seperti diet, kontrol berat

badan, latihan fisik, gaya hidup dan kontrol obat-obat yang diminum oleh pasien,

serta mengenali tanda dan gejala yang berkaitan dengan memburuknya CHF

(Gonzales et al, 2014). Discharge planning difokuskan untuk memenuhi kebutuhan

pasien di rumah setelah hospitalisasi. Rawat inap berulang diakibatkan oleh tidak

3
cukupnya bantuan pelayanan kesehatan di rumah, ketidakpatuhan dalam diet, dan

kurangnya pengetahuan pasien. Oleh karena itu perlu adanya tindak lanjut setelah

pasien pulang dari rumah sakit ke rumah. Intervensi yang dapat dilakukan meliputi

manajemen gagal jantung, telemonitoring, dan pendidikan kesehatan di rumah.

Program perawatan jantung tersebut dapat memberikan informasi tentang

peningkatan mutu yang berkelanjutan. Data yang bisa dikumpulkan diantaranya

kualitas pelayanan, kematian, jumlah rawat inap berulang, kematian, dan status

fungsional (Susan, Ronda, & Lauren, 2014).

Menurut hasil penelitian Koelling et al (2005), menunjukkan bahwa

discharge planning pada pasien gagal jantung yang bertarget pada program

pemulihan dapat mengurangi jumlah hari dirawat atau meninggal. Rawat inap ulang

dan kematian berkurang pada kelompok intervensi yang diberikan discharge

planning dengan pendidikan kesehatan sebesar 35% dibandingkan dengan

kelompok kontrol. Pasien-pasien yang diberikan pendidikan kesehatan tentang

perawatan diri di rumah mengalami perbaikan sehingga dapat melakukan

perawatan diri secara bertahap dengan mandiri. Dengan peningkatan kemampuan

pasien secara mandiri untuk merawat diri, kapasitas fungsional pasien CHF dapat

meningkat.

Wulandari (2011 dalam hadinuansa, 2013) dalam penelitiannya juga

mengemukakan hal serupa, bahwa pelaksanaan discharge planning di ruang rawat

inap kelas III RSUP Sanglah masih belum optimal. Hal itu terjadi karena

pelaksanaannya bersamaan dengan health education dan dokumentasi berupa

resume keperawatan belum diinformasikan secara eksplisit oleh petugas kesehatan

4
kepada pasien serta keluarganya. Selain itu salinan dokumentasi discharge

planning juga tidak diserahkan kepada pasien dan keluarga pasien, dimana hal ini

dapat digunakan sebagai pedoman dalam membantu proses pemulihan pasien.

Salah satu ruang rawat inap kelas III yang diteliti oleh peneliti adalah ruang

Angsoka I, dimana penelitian dilakukan pada 27 orang responden. Hasil yang

diperoleh adalah masih terdapat pasien yang menyatakan pelaksanaan discharge

planning berada dalam kategori cukup yaitu sebesar 11,11%.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan di ruang jantung RSUP Sanglah,

pasien-pasien dengan CHF yang sudah diperbolehkan pulang oleh dokter hanya

diberikan discharge planning tentang waktu kontrol, obat-obat yang mestinya

diminum, dan aktivitas yang perlu dikurangi. Informasi yang diberikan perawat

begitu sederhana serta kurang adanya rencana tindak lanjut yang bisa dilakukan

oleh perawat sesudah pasien pulang ke rumah. Pemberian discharge planning pada

pasien CHF membutuhkan dukungan dari perawat dan keluarga. Saat pasien CHF

dirawat di rumah sakit, seorang perawat merupakan tenaga kesehatan yang selalu

berada di dekat pasien. Perawatan CHF di rawat inap terdiri dari pengelolaan

aktifitas secara bertahap, pembatasan cairan untuk mengurangi oedema,

pengukuran berat badan, pengukuran balance cairan, dan yang paling utama adalah

pemberian discharge planning dari rumah sakit ke rumah. Berdasarkan

permasalahan yang telah dipaparkan maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian pengaruh discharge planning terkontrol terhadap kapasitas fungsional

pada pasien congestive heart failure di RSUP Sanglah, Denpasar.

5
1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka dirumuskan permasalah dalam

penelitian ini adalah Bagaimanakah pengaruh discharge planning terkontrol

terhadap kapasitas fungsional pada pasien congestive heart failure di RSUP

Sanglah, Denpasar?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui pengaruh

discharge planning terkontrol terhadap kapasitas fungsional ulang pada

pasien congestive heart failure di RSUP Sanglah, Denpasar

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Mengetahui gambaran karakteristik pasien dengan congestive heart failure

di RSUP Sanglah, Denpasar

1.3.2.2 Menggambarkan kapasitas fungsional pada pasien kelompok intervensi.

1.3.2.3 Menggambarkan kapasitas fungsional pada pasien kelompok kontrol.

1.3.2.4 Menganalisis pengaruh discharge planning terkontrol terhadap kapasitas

fungsional pada pasien kelompok intervensi dan kelompok kontrol

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Teoritis

6
1.4.1.1 Bagi institusi pendidikan, penelitian ini dapat menjadi masukan dalam

penyampaian materi pendidikan keperawatan baik untuk pengembangan,

penerapan, maupun penelitian tentang pengaruh discharge planning

terkontrol terhadap kapasitas fungsional ulang pada pasien congestive heart

failure

1.4.1.2 Penelitian ini dapat memperkaya hasanah ilmu kesehatan dalam bidang

manajemen keperawatan khususnya tentang pengaruh discharge planning

terkontrol terhadap kapasitas fungsional ulang pada pasien congestive heart

failure yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber pembelajaran.

1.4.1.3 Penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan ilmu pengetahuan tentang

discharge planning terkontrol terhadap kapasitas fungsional ulang pada

pasien congestive heart failure dapat menggunakan intervensi yang tepat

dalam melakukan pengelolaan discharge planning.

1.4.2 Praktis

1.4.2.1 Bagi Pasien dan Keluarga

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dan menambah pengetahuan

dan informasi dalam rangka untuk meningkatkan kualitas kesehatan pada

pasien dan keluarga, serta memberikan ilmu pada keluarga mengenai

manajemen perawatan secara mandiri pasca hospitalisasi.

1.4.2.2 Bagi Rumah Sakit

Memberikan masukan tentang pentingnya pelaksanaan dischange planning

pada pasien sehubungan dengan pentingnya informasi dan pemahaman

yang akan diterima oleh pasien/keluarga mengenai manajemen perawatan

7
mandiri dirumah pasca perawatan dirumah sakit, guna mengurangi tingkat

hospitalisasi ulang.

1.5 Keaslian Penelitian

Peneliti belum menemukan penelitian serupa yang meneliti pengaruh discharge

planning terkontrol terhadap kapasitas fungsional ulang pada pasien congestive

heart failure di RSUP Sanglah, Denpasar

1.5.1 Sula E. Mazimba (2011), yang berjudul Impact of Congestive Heart

Failure Discharge Planning on Congestive Heart failure Re-Admission

Rates, institusi Wright State University, desain penelitian Descriptive

retrospective, variabel penelitian Discharge Planning dan Congestive heart

failure Re-Admission Rates. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat

hubungan signifikan antara kurangnya pengkajian ventrikel kiri dan rawat

inap berulang.

1.5.2 Koelling, Johnson, Cody, and Aoronson (2005), yang berjudul Discharge

Education Improves Clinical Outcomes in Patients with Chronic Heart

Failure, institusi University of Michigan Hospital, desain penelitian

Experiment Randomized control trial, variabel penelitian Discharge

Education, Clinical Outcomes. Hasil Penelitian pemberian pendidikan

kesehatan pada pemulangan pasien menghasilkan penigkatan hasil klinis

kea rah yang lebih baik, meningkatkan perawatan diri dan menurunkan

biaya perawatan pasien.

1.5.3 Gonzales, Alonso, garzia, Gusi, and Ribera (2014), yang berjudul

Effectiveness of a follow-up program for elderly heart failure patients after

8
hospital discharge, institusi Geriatric Service of the Ca ceres Hospital

Complex Spanyol, desain penelitian Randomize prospective study, variabel

penelitian A follow up program. Hasil penelitian adanya follow up yang

dilakukan akan meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hdiup

pasien walaupun tidak signifikan, tetapi hal ini sangan bermanfaat untuk

meningkatkan status kesehatan pasien dengan gagal jantung

1.5.4 Hadinuansa, Albet (2013), yang berjudul Hubungan discharge planning

dengan Tingkat Kepuasan Pasien di Ruang Angsoka I RSUP Sanglah

Denpasar, Institusi RSUP Sanglah, desain penelitian observasional

analitik, dengan pendekatan cross sectional, variabel penelitian discharge

planning dan kepuasan pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada

variabel discharge planning, mayoritas responden yaitu 55,8% menyatakan

pelaksanaan discharge planning dalam kategori baik dan pada variabel

tingkat kepuasan pasien, mayoritas responden yaitu 60,5% menyatakan

puas dengan pelayanan rumah sakit.

Perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini akan meneliti

tentang pengaruh discharge planning terkontrol terhadap kapasitas fungsional

ulang pada pasien congestive heart failure di RSUP Sanglah, Denpasar

menggunakan metode Quasi Eksperimen dengan desain post test only control group

design.

Anda mungkin juga menyukai