Anda di halaman 1dari 84

DEPARTEMEN: MEDIKAL

MINI RISET KEPERAWATAN

Pengaruh Antara Penerapan DP (Discharge Planning) Terhadap Pemberdayaan


Keluarga Pasien Gagal Jantung di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit TK.II
Dr.Soepraoen Malang

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Kardiovaskular masih menjadi ancaman dunia (global threat) dan

merupakan penyakit yang berperan utama sebagai penyebab kematian nomor satu

di seluruh dunia. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, lebih dari

17 juta orang di dunia meninggal akibat penyakit jantung dan pembuluh darah.

Sebanyak 23 juta seluruh penduduk dunia mengalami gagal jantung dan

diperkirakan prevalensi akan terus meningkat hingga 46% pada tahun 2030 yaitu

mencapai 8 juta kasus (Mozaffarian et al, 2015). Data Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) tahun 2018, menunjukkan bahwa angka kejadian penyakit jantung dan

pembuluh darah semakin meningkat dari tahun ke tahun, setidaknya 15 dari 1000

orang atau sekitar 2.784.064 individu di Indonesia menderita penyakit jantung.

Provinsi Jawa Timur menempati urutan ke dua setelah jawa barat dengan jumlah

penderita gagal jantung sebanyak 151.878 orang berdasarkan diagnosis dokter

pada penduduk semua umur (Riskesdas, 2018). Estimasi jumlah penderita gagal

jantung di Kota Malang dengan jumlah penduduk sebesar 861. 414 jiwa dengan

prevalensi 1,5% didapatkan estimasi jumlah penderita gagal jantung sebesar 12.900

orang (Riskesdas, 2018).

Gagal jantung merupakan salah satu diagnosis kardiovaskular yang sangat

cepat peningkatannya (Lavine dan Schilling, 2014). Prevalensi penyakit gagal

jantung di negara-negara berkembang meningkat sesuai dengan meningkatnya usia

harapan hidup dan menjadi penyakit utama penyebab kematian (Bararah dan
Jauhar, 2013). Fitchet, et al (2011) membuktikan bahwa pasien gagal jantung

beresiko mengalami readmission dalam 30-45 hari setelah keluar dari rumah sakit.

Pasien gagal jantung yang sering kembali dirawat inap ulang di rumah sakit karena

adanya kekambuhan. Kebanyakan kekambuhan gagal jantung kongestif terjadi

karena pasien tidak memenuhi terapi yang dianjurkan misalnya, melanggar

pembatasan diet, melakukan aktifitas fisik yang berlebihan dan tidak dapat

mengenali gejala kekambuhan (Black & Hawks, 2009). Ketidaktahuan atau

ketidakmampuan pasien dan keluarga mengenai cara perawatan di rumah

berdampak pada masalah kesehatan atau ketidaksiapan pasien menghadapi

pemulangan setelah pasien dirawat di rumah sakit, hal tersebut menyebabkan

komplikasi dan berakibat kepada hospitalisasi ulang (Nugroho, 2015). Ketidaktahuan

atau ketidakmampuan pasien dan keluarga mengenai cara perawatan di rumah

berdampak pada masalah kesehatan atau ketidaksiapan pasien menghadapi

pemulangan setelah pasien dirawat di rumah sakit, hal tersebut menyebabkan

komplikasi dan berakibat kepada hospitalisasi ulang (Nugroho, 2015).

Peningkatan pemberdayaan keluarga pada pasien gagal jantung dapat

dilakukan di rumah sakit selama proses perawatan dengan memberikan discharge

planning. Penelitian yang dilakukan oleh Chin-Jung dkk menunjukkan bahwa

discharge planning pada pasien gagal jantung dapat menurunkan kejadian

readmition, meningkatkan hasil perawatan secara signifikan seperti angka harapan

hidup dan kualitas hidup (Lin et al, 2012).

Perencanaa pulang adalah kegiatan multidisiplin yang melibatkan banyak

pemberi pelayanan kesehatan untuk mengkaji, menganalisa kebutuhan klien,


menentukan rencana dan evaluasi yang akan menjadi sarana komunikasi antara

rumah sakit, pelayanan di komunitas, dan pemberi asuhan (care giver) (Lin et al.,

2012). Discharge planning (discharge planning) adalah bagian penting dalam

program keperawatan yang bersifat dinamis agar tim kesehatan mendapatkan

kesempatan yang cukup untuk menyiapkan pasien melakukan perawatan mandiri di

rumah. Tujuan discharge planning antara lain menyiapkan pasien dan keluarga

secara fisik, psikologis dan sosial, meningkatkan kemandirian klien dan keluarga,

meningkatkan perawatan yang berkelanjutan pada pasien, membantu rujukan

pasien pada sistem pelayanan yang lain, membantu pasien dan keluarga memiliki

pengetahuan dan keterampilan serta sikap dalam memperbaiki serta

mempertahankan status kesehatan pasien, dan melaksanakan rentang perawatan

(transisi perawatan) antara rumah sakit dan masyarakat (Nursalam, 2016).

Beberapa definisi tersebut didapatkan bahwa discharge planning memerlukan

partisipasi aktif dari pasien dan keluarga untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) merumuskan strategi

discharge planning dengan model IDEAL Discharge Planning. Model IDEAL

dirancang untuk meningkatkan transfer informasi yang efektif dari petugas klinis

kepada pasien dan keluarga dengan tujuan mengurangi kejadian buruk saat di

rumah dan mencegah pasien masuk kembali ke rumah sakit (AHRQ, 2013). Strategi

ini bisa diterapkan sebagai model tersendiri maupun dikombinasikan dengan

pendekatan yang lain dalam pemulangan pasien, termasuk untuk pasien gagal

jantung. Penerapan model IDEAL discharge Planning dalam perawatan pasien

diharapkan dapat meningkatkan hasil dengan lebih meningkatkan peran pasien dan
keluarga dalam proses discharge planning.

Artikel review yang dilakukan Chin-Jung (2012) menyimpulkan bahwa rumah

sakit sering memulangkan pasien dengan perencanaan yang tidak memadai,

instruksi yang buruk, informasi yang tidak memadai, kurangnya koordinasi di antara

anggota tim perawatan kesehatan, dan komunikasi yang buruk antara rumah sakit

dan masyarakat. Discharge planning telah dikembangkan dan dilihat sebagai cara

utama untuk menyelesaikannya masalah, untuk meningkatkan kualitas perawatan,

dan untuk membantu pasien menghadapi untuk mengatasi masalah perawatan.

Hasil penelitian tersebut menjadi pertimbangan peneliti untuk mengetahui dampak

dari penerapan model IDEAL discharge planning terhadap family empowerment

pasien gagal jantung di ruang rawat inap rumah sakit dr. Sopraoen Malang.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada perbedaan family empowerment antara pasien gagal jantung

yang dilakukan discharge planning model IDEAL dengan pasien yang dilakukan

discharge planning model standar di ruang rawat inap Rumah Sakit dr. Supraoen

Malang?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui perbedaan family empowerment pada pasien gagal jantung yang

dilakukan perencanaan model IDEAL dengan model standar di ruang rawat inap

rumah sakit dr. Supraoen Malang.


1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Mengidentifikasi family empowerment pada pasien gagal jantung yang

dilakukan discharge planning model IDEAL pada kelompok perlakuan.

1.3.2.2 Mengidentifikasi family empowerment pada pasien gagal jantung yang

dilakukan discharge planning model standar pada kelompok kontrol.

1.3.2.3 Menganalisis perbedaan family empowerment pada pasien gagal jantung

yang dilakukan perencanaan model IDEAL dengan model standar di ruang

rawat inap Rumah Sakit dr. Supraoen Malang.

1.4 Manfaat Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini diharapkan bermanfaat dari beberapa aspek

penting, diantaranya:

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu pertimbangan untuk

mengembangkan teori tentang discharge planning dengan penerapan model terbaru

sesuai bukti yang ditemukan di tempat pelayanan kesehatan.

1.4.2 Manfaat Praktis

Menjadi pedoman bagi tenaga kesehatan dilapangan untuk menyusun

panduan pada saat memberikan discharge planning dengan lebih meningkatkan

peran pasien dan keluarga sebagai tim dalam perawatan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Gagal Jantung

2.1.1 Definisi

Gagal jantung adalah keadaan dimana jantung tidak mampu lagi

memompakan darah secukupnya dalam memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan

tubuh. Gagal jantung bukan merupakan suatu penyakit melainkan sindroma yang

timbul oleh berbagai proses patofisiologi (Woods 2000). Gagal jantung bukan

merupakan suatu penyakit yang berdiri sendiri melainkan sebuah sindrom klinis

yang dikarakteristikan dengan kelebihan volume darah, tidak adekuatnya perfusi

jaringan, dan penurunan toleransi aktivitas sehari- hari. Gejala utama pasien gagal

jantung yaitu nyeri dada dan sesak nafas. Nyeri dada timbul secara mendadak.

Penyebabnya yaitu suplai oksigen ke miokardium mengalami penurunan yang

berakibat pada kematian sel jantung. Seseorang yang mengalami nyeri akan

berdampak pada aktivitas sehari-hari, terganggu pemenuhan kebutuhan istirahat

dan tidurnya, pemenuhan individual, juga aspek interaksi sosialnya yang dapat

berupa menghindari percakapan, menarik diri, dan menghindari kontak (Agung,

Andriyani & Sari, 2013).

Peningkatan prevalensi gagal jantung terkait dengan meningkatnya usia

harapan hidup. Gagal jantung adalah penyakit yang mengancam nyawa dan

pengenalan terhadap penyakit tersebut seharusnya menjadi priotitas kesehatan

secara global. Saat ini jumlah penderita gagal jantung di dunia diperkirakan
mencapai 26 juta jiwa (Ponikowski, 2014). Penanganan gagal jantung diperlukan

keterpaduan dari dokter, perawat, profesi kesehatan lain serta keterlibatan keluarga

sebagai support sistem secara komprehensif baik preventif promotif kuratif dan

rehabilitatif untuk mencegah kematian dan meningkatkan kualitas hidupnya.

2.1.2 Penyebab

Terjadinya gagal jantung dapat disebabkan oleh berbagai hal. Secara umum

dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Kegagalan miokard (disfungsi miokard)

Kegagalan miokard merupakan kondisi ketidakmampuan miokard untuk

berkontraksi dengan sempurna sehingga menyebabkan isi sekuncup dan

curah jantung menurun. Penyebab kegagalan miokard antara lain :

a. Primer: kardiomiopati, gangguan neuromuskuler, miokarditis, metabolik

(DM) , Keracunan

b. Sekunder: Infark miokard, Inflamasi, Penyakit Sistemik, PPOK, Obat-

obatan yang mendepresi moikard

2. Gangguan mekanis

Beban tekanan yang berlebihan yang dihadapi ventrikel diluar kemampuan

ventrikel menyebabkan hambatan pengosongan ventrikel sehingga

menurunkan isi sekuncup. Beberapa keadaan yang menyebabkan adalah :

a. Peningkatan beban tekanan: Aorta stenosis, Hipertensi dan Koartasio

aorta

b. Peningkatan beban volume : Regurgitasi katup ( MI,AI ) dan Pirau

( ASD VSD )
c. Hambatan pengisian ventrikel yaitu pada Stenosis mitral atau trikuspid

d. Kontriksi pericard,tamponade, Retriksi endokardial atau miokardial

e. Aneurisma ventrikuler

3. Peningkatan kebutuhan metabolik (demand overload)

Kebutuhan metabolik tubuh yang meningkat akan merangsang jantung

bekerja lebih keras untuk menambah sirkulasi . Bila beban kebutuhan

metabolik tersebut tetap meningkat melebihi daya kerja jantung ,maka akan

terjadi keadaan gagal jantung walaupun curah jantung sudah cukup tinggi

tetapi tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan sirkulasi tubuh. Kegagalan

ini disebut high output failure. Contoh kondisi yang menyebabkan

peningkatan kebutuhan metabolic adalah anemia, tirotoksikosis dan demam.

4. Gangguan irama jantung : Ventrikel fibrilasi, Takhikardia atau baradikardia

yang ekstrim serta gangguan konduksi.

Bagan penyebab gagal jantung secara umum


2.1.3 Klasifikasi

Gagal jantung diklasifikasikan menjadi empat kategori utama dengan

manifestasi klinis sebagai berikut:

1. Backward Failure versus Forward Failure

Backward failure: akibat ventrikel tidak mampu memompa volume darah

keluar, menyebabkan darah terakumulasi dan meningkatkan tekanan dalam

ventrikel, atrium, dan sistem vena balik untuk jantung kiri maupun kanan.

Ditandai dengan adanya edema paru, peningkatan pre load, peningkatan

JVP, asites, hepatomegali

Forward failure: akibat ketidakmampuan jantung mempertahankan curah

jantung sehingga menurunkan perfusi jaringan. Ditandai adanya peningkatan

hormon Renin Aldosteron dan ADH sehingga menyebabkan retensi natrium

dan air, urine berkurang Backward Failure dan Forward Failure selalu

berhubungan karena jantung merupakan sistem tertutup

2. Low output versus hight output

Kegagalan pompa jantung yang mengakibatkan gangguan sirkulasi perifer

dan vasokonstriksi. Terjadi karena meningkatnya kebutuhan metabolisme

misalnya pada anemia, demam, tirotoksikosis. Ditandai curah jantung tinggi,

takhikardi, akral hangat

3. Gagal jantung Akut versus gagal jantung kronik

Gagal jantung akut terjadi mendadak dan cepat, biasa terjadi pada AMI,

krisis hipertensi, ditandai edema paru dan syok kardiogenik yang dapat

mengancam kemtian sehingga memerlukan penanganan segera. Gagal


jantung kronik terjadi dalam waktu relatif lama / menahun, biasanya karena

hipertensi, penyakit paru obstuksi kronik (PPOK), ditandai adanya

keterbatasan aktivitas harian: fatigue, dispnone de effort. Pada kondisi

adanya peningkatan kebutuhan oksigen bisa terjadi ADHF

4. Gagal jantung kiri versus gagal jantung kanan

Gagal jantung kiri karena hipertensi, Coronary Arteri Disease (CAD) katub

mitral, aorta) ditandai Dyspneu D’effort, PND, orthopnu (sesak napas yang

timbul pada saat berbaring, terjadi karena peningkatan aliran balik darah ke

jantung/pre load) dan akan berkurang bila duduk. batuk hemoptoe(fruty

sputum), Fatique, Oedema pulmo, napas Cheyne-Stokes,S3 Gallop. Gagal

jantung kanan terjadi karena akibat gagal jantung kiri, gangguan katub

triskupid dan pulmonal. Ditandai pre load meningkat, oedem tungkai

(pretibial), asites, hepatomegali, splenomegali, peninggian vena jugularis

JVP), Mual , muntah, abdominal pain.


2.1.4 Klasifikasi fungsional berdasarkan New York heart Association/NYHA

Berdasarkan derajat atau beratnya gejala gagal jantung di klasifikasikan :

1. Kelas I : Tidak ada keterbatasan pada aktifitas biasa. tidak ada keletihan,

dispnea

2. Kelas II : Sedikit keterbatasan aktifitas pada aktifitas biasa, timbul keletihan,

dispnea

3. Klelas III : Adanya Keterbatasan aktifitas yang nyata pada saat aktifitas

biasa/ istirahat di tandai keletihan,dispnea yang meningkat

4. Kelas IV: Tidak mampu beraktifitas meskipun saat Istirahat, di tandai

keletihan, dispnea meningkat.


2.1.5 Diagnosis pada Gagal Jantung

Diagnosis gagal jantung bukanlah hal yang mudah, bahkan untuk tenaga

profesional yang terlatih. Hal ini dikarenakan tidak semua pasien gagal jantung

memiliki tanda dan gejala umum, bahkan ada beberapa pasien gagal jantung yang

tidak bergejala. Membuat diagnosis yang akurat membutuhkan peralatan diagnostik

dan informasi serta kombinasi dalam penilaian dan pengalaman klinis (Ponikowski,

2014)

Diagnosis gagal jantung

2.1.6 Perawatan pasien gagal jantung

Bagi kebanyakan pasien, gagal jantung adalah penyakit yang membutuhkan

penanganan dalam jangka waktu yang lama dan melibatkan satu atau lebih episode

perawatan di rumah sakit. Strategi baru diperlukan untuk monitor jangka panjang

dan manajemen pasien setelah keluar dari rumah sakit sehingga dapat

meningkatakan kualitas hidup serta mengurangi frekuensi dari rawat ulang

(Ponikowski, 2014).

Terdapat 3 komponen dasar yang harus ada pada untuk perawatan pasien

gagal jantung:

1. Diagnosis harus tepat dan akurat

2. Pengobatan harus sesuai dengan kondisi pasien dan tersedia penanganan


kegawatan, jika diperlukan

3. Manajeman jangka panjang harus mencakup follow-up, monitoring, dan

support.

2.2 Konsep Pemberdayaan Keluarga

2.2.1 Definisi

Gibson mendefinisikan pemberdayaan sebagai proses sosial, mengenali,

mempromosikan dan meningkatkan kemampuan orang untuk menemukan

kebutuhan mereka sendiri, memecahkan masalah mereka sendiri dan memobilisasi

sumber daya yang diperlukan untuk mengendalikan hidup mereka (Graves,2007).

Pemberdayaan Keluarga adalah intervensi keperawatan yang dirancang dengan

tujuan untuk mengoptimalkan kemampuan keluarga, sehingga anggota keluarga

memiliki kemampuan secara efektif merawat anggota keluarga dan

mempertahankan kehidupan mereka (Hulme P. A., 1999).

Pemberdayaan Keluarga adalah mekanisme yang memungkinkan terjadinya

perubahan kemampuan keluarga sebagai dampak positif dari intervensi

keperawatan yang berpusat pada keluarga dan tindakan promosi kesehatan serta

kesesuaian budaya yang mempengaruhi tindakan pengobatan dan perkembangan

keluarga (Graves, 2007). Konsep Pemberdayaan Keluarga memiliki tiga komponen

utama. Pertama, bahwa semua keluarga telah memiliki kekuatan dan mampu

membangun kekuatan itu. Kedua, kesulitan keluarga dalam memenuhi kebutuhan

mereka bukan karena ketidakmampuan untuk melakukannya, melainkan sistem

pendukung sosial keluarga tidak memberikan peluang keluarga untuk mencapainya.


Ketiga, dalam upaya pemberdayaan keluarga, anggota keluarga berupaya

menerapkan keterampilan dan kompetensi dalam rangka terjadinya perubahan

dalam keluarga ( Dunst et all., 1994 dalam Graves, 2007).

2.2.2 Tujuan Pemberdayaan Keluarga

Tujuan pemberdayaan keluarga dijelaskan berdasarkan pengertian

pemberdayaan keluarga, memiliki dimensi yang luas. (Sunarti, 2008) menjelaskan

tentang tujuan pemberdayaan keluarga sebagai berikut :

1. Membantu keluarga untuk menerima, melewati dan mempermudah proses

perubahan yang akan ditemui dan dijalani oleh keluarga.

2. Membangun daya tahan daya adaptasi yang tinggi terhadap perubahan agar

mampu menjalani hidup dengan sukses tanpa kesulitan dan hambatan yang

berarti.

3. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan hidup seluruh anggota

keluarga sepanjang tahap perkembangan keluarga dan siklus hidupnya.

4. Menggali kapasitas atau potensi tersembunyi anggota keluarga yang berupa

kepribadian, keterampilan manajerial dan keterampilan kepemimpinan.

5. Membina dan mendampingi proses perubahan sampai pada tahap

kemandirian dan tahapan tujuan yang dapat diterima.

2.2.3 Pemberdayaan sebagai Intervensi Keperawatan

Dunst,Trivette (1988), mengusulkan pemberdayaan keluarga sebagai


intervensi keperawatan dengan menyajikan model intervensi berdasarkan tiga

komponen utama pemberdayaan yang berasal dari pengamatan ilmiah dan sintesa

lieratur. Komponen pertama adalah ideologi pemberdayaan, yang menjelaskan

bahwa semua individu dan keluarga menyakini memiliki kekuatan dan kemampuan

serta kapasitas untuk menjadi kompeten. Komponen kedua, partisipasi pengalaman,

merupakan proses membangun kekuatan dari kelemahan yang ada secara benar,

komponen ini merupakan bagian dari model intervensi keluarga. Komponen ketiga,

hasil pemberdayaan, kompenen ini terdiri dari perilaku yang diperkuat atau

dipelajari, penilaian terhadap peningkatan pengawasan misal; konsep diri dan

motivasi instrinsik.

Pemberdayaan Keluarga menurut Dunst et al’s.(1988) yang diadaptasi oleh

Nissim dan Sten (1991) :

1. Membangun kepercayaan dengan membentuk hubungan dengan keluarga,

membangun komunikasi empatik dan mendengarkan serta menerima seluruh

anggota keluarga.

2. Membangun hubungan langsung dengan anggota keluarga yang menderita

sakit

(Penderita/klien).

3. Prioritaskan kebutuhan keluarga yang dirasakan oleh keluarga untuk segera

ditangani terlebih dahulu

4. Membantu keluarga menentukan praktek perawatan keluarga dengan

memperhatikan praktek perawatan yang telah dilakukan keluarga dan

kebutuhan akan pendidikan kesehatan.


5. Menyediakan informasi yang akurat dan lengkap mengenai kondisi klien atau

penderita menyangkut gejala, kontrol, dan masa depan implikasi kondisi

kronis.

6. Membantu keluarga dalam menetapkan tujuan yang realistik

7. Membimbing Keluarga dalam menilai dukungan internal keluarga dan

sumber daya dalam memobilisasi untuk memenuhi kebutuhan pertolongan

yang dirasakan keluarga.

8. Membimbing keluarga dalam menilai kekuatan keluarga dan memobilisasinya

untuk memecahkan masalah

9. Memperkuat kemampuan keluarga untuk mengidentifikasi beberapa alternatif

pilihan keperawatan.

10. Mendiskusikan dengan keluarga mendapatkan pelayanan dan perawatan

dari fasilitas-fasiltas kesehatan yang tersedia

11. Berikan penilaian yang tepat (reinforcemet positif) terhadap kemampuan dan

keterampilan merawat anggota keluarga yang sakit.

12. Perawat dapat melakukan promosi perawatan diri pada keluarga melalui

pendidikan, negosiasi dan melakukan evaluasi pemberdayaan keluarga.

2.2.4 Prinsip Pemberdayaan Keluarga

Pelaksanaan intervensi keperawatan pemberdayaan keluarga diawal

paradigma ini dikenalkan, memandang keluarga untuk dapat berperilaku dan mampu

merawat anggota keluarga yang sakit di dikte atau diarahkan sepenuhnya oleh

tenaga kesehatan. Dalam paradigma baru intervensi keperawatan pemberdayaan


keluarga berpusat pada perwatan dan interaksi kolaboratif antara keluarga dengan

tenaga kesehatan. Dalam sebuah review intervensi keperawatan yang berhubungan

dengan keluarga dan penyakit kronis, Robinson (1994), menggambarkan sebuah

kontinum dari sebuah pendekatan yang dikategorikan sebagai pendekatan

tradisional, transisi, dan non-tradisional. Dalam pendekatan tradisional, dasar

keyakinan yang digunakan adalah bahwa penyakit yang diderita anggota keluarga

hanya dapat diatasi oleh perawat saja. Sedangkan pendekatan non-tradisional,

berkeyakinan bahwa penyakit yang diderita anggota keluarga dipengaruhi oleh

banyak faktor dan dapat diselesaikan tidak hanya oleh intervensi keperawatan.

Robinson (1994), menggambarkan pendekatan non-tradisional sebagai kemampuan

keluarga sebagai arsitek perubahan. Keluarga memiliki kemampuan

mengkombinasikan intervensi keperawatan dengan permintaan keluarga dalam

sebuah pilihan intervensi yang mempengaruhi kondisi anggota keluarga yang sakit,

pengalaman-pengalaman terhadap tindakan dan dampak terhadap sistem keluarga

(Hulme P. A., 1999). Pemberdayaan keluarga harus dilaksanakan dengan

mempertimbangkan hasil positif yang hendak dicapai oleh keluarga, sehingga perlu

memperhatikan prinsip-prinsip pemberdayaan keluarga sebagai berikut :

1. Pemberdayaan keluarga hendaknya tidak memberikan bantuan atau

pendampingan yang bersifat Charity yang akan menjadikan ketergantungan

dan melemahkan, melainkan bantuan, pendampingan, dan atau pelatihan

yang mempromosikanm Self reliance dan meinigkatakan kapasitas keluarga.

2. Menggunakan metode pemberdayaan yang menjadikan keluarga menjadi

lebih kuat (koping yang tepat), melalui pelatihan terhadap daya tahan dan
adaya juang menghadapi masalah (stressor).

3. Meningkatkan partisipasi yang menjadikan keluargameningkat kapasitasnya

dan mampu mengambil kontrol penuh, pengambilan keputusan penuh, dan

tanggungjawab penuh untuk melakukan kegiatan.

2.2.5 Ruang Lingkup

Pemberdayaan Keluarga mencakup dimensi yang luas dari kebutuhan

keluarga yang bersifat biopsikososiokultural dan spiritual. Munurut Sunarti (2008)

menjelaskan bahwa ruang lingkup pemberdayaan keluarga meliputi aspek-aspek :

1. Ketahanan Keluarga

Peningkatan ketahanan keluarga meliputi ketahanan fisik,sosial, dan

ketahanan psikologis keluarga. Ketahanan keluarga merupakan konsep luas

kehidupan keluarga yang meliputi konsep berfungsinya keluarga, pengeloaan

stress keluarga, kelentingan keluarga dan tahap perkembangan keluarga.

2. Fungsi, Peran dan Tugas Keluarga

Peningkatan kapasitas dan potensi keluarga dalam memenuhi fungsi

kesehatan dan perawatan kesehatan keluarga, melaksakana peran keluarga

baik peran formal maupun informal, serta mampu melaksanakan tugas

kesehatan keluarga sesuai tahap perkembangan keluarga.

3. Sumber Daya Keluarga

Rice dan Tucker 1987 dalam Sunarti 2007, mengelompokan sumber daya

keluarga dalam tiga kelompok yaitu : sumber daya manusia, meliputi aspek

kognitif, afektif dan psikomotor, serta sumber daya waktu. Sumber daya
ekonomi seperti pendapatan, kesehatan, keuntungan pekerjaan dan kredit.

Sumber daya lingkungan meliputi lingkungan sosial, serta lembaga politik.

4. Pengeloaan Masalah dan Stress Keluarga

Kemampuan keluarga dalam menghadapi stressor (penyebab stress) yang

berpotensi menyebabkan stress dan krisis, termasuk dalam hal ini adalah

kemampuan keluarga menggunakan mekanisme koping. Pemberdayaan

keluarga diarahkan meningkatkan tipologi efektif, meningkatkan kemampuan

memperbanyak alternatif pilihan stragi dan mekanisme koping dalam

keluarga dalam menghadapi krisis keluarga.

5. Interaksi dan Komunikasi Keluarga

Beberapa pendekatan dapat digunakan untuk menjelaskan interaksi dan

komunikasi keluarga, seperti pendekatan sistem yang meliputi interaksi

antara suami dan istri, interaksi antara orang tua dan anak, interaksi antara

saudara kandung. Interaksi keluarga juga dapat dipandang sebagai sebuah

proses yang dapat mempengaruhi kualitas hidup keluarga. Proses keluarga

memerlukan komunikasi yang fungsional dalam keluarga, beberapa pola

komunikasi yang tidak fungsional dalam keluarga dapat terjadi karena :

adanya pesan yang tidak jelas atau pesan ganda, stereotipe, yaitu pemberian

nilai pada anggota keluarga yang lain untuk menghindari konflik.

6. Tipologi Keluarga

Mc Cubbin dan Thompson (1987), mengidentifikasi keluarga kedalam empat

dimensi, yaitu ; Family Regenerative (kemampuan keluarga tumbuh

kembang), Family Resilient (Kelentingan keluarga), Rhytmic Family


(Kebersamaan keluarga), dan Tradisionalistic Family (tradisi keluarga).

7. Kelentingan Keluarga (Family resillience)

Kelentingan Keluarga didefinisikan sebagai kemampuan keluarga untuk

merespon secara positif terhadap situasi yang menyengsasrakan atau

merusak kehidupan keluarga, sehingga memunculkan perasaan kuat, tahan

dan lebih berdaya, lebih percaya diri dibanding situasi sebelumnya. Pada

kondisi dimana keluarga mengalami krisis dan keluarga mencoba untuk

mengatasinya, maka saat anggota keluarga merasa percaya diri, kerja keras,

kerja sama maka keluarga sebenarnya telah menunjukan kelentingan

keluarga yang baik, yang dapat digunakan dalam menghadapi stressor

sepanjang kehidupan keluarga (Simon, Murphy, Smith; 2005 dalam

Sunarti,2007).

8. Tahap Perkembangan Keluarga

Dalam siklus kehidupan keluarga terdapat tahap-tahap yang dapat diprediksi.

Formulasi tahap-tahap perkembangan keluarga yang paling banyak

digunakan untuk keluarga inti dengan dua orang tua adalah delapan tahap

siklus kehidupan keluarga dari Duvall (1977) yaitu ; Keluarga pemula,

keluarga sedang mengasuh anak, keluarga dengan anak prasekolah,

keluarga dengan anak sekolah, keluarga dengan anak remaja, keluarga

dengan melepas anak dewasa muda, keluarga dengan orang tua

pertengahan dan keluarga dalam masa pensiun atau lansia.

2.2.6 Model Pemberdayaan Keluarga


Model konseptual dan empiris yang dapat digunakan untuk menjelaskan

intervensi pemberdayaan keluarga adalah dengan menggunakan Model

Pemberdayaan Pengasuhan (Caregiver Empowerment Model/CEM). CEM dapat

lihat pada gambar di bawah ini.

Gambar Model Pemberdayaan Pengasuhan (Caregiver Empowerment Model)

Model ini mendefinisikan pemberdayaan keluarga sebagai peningkatan

kemampuan keluarga untuk menilai, mempengaruhi, dan mengelola situasi dengan

menggunakan sumber daya keluarga untuk mencapai hasil yang diinginkan. Model

CEM (Caregiver Empowerment Model) ini dapat digunakan untuk meningkatkan dan

mempromosikan hasil yang lebih baik dalam pengasuhan keluarga.

Model Pemberdayaan Pengasuhan memperhitungkan variabel latar belakang

yang mempengaruhi situasi pemberian perawatan oleh keluarga seperti ; budaya,


keyakinan tentang tanggung jawab pengasuhan keluarga, tuntutan pengasuhan,

penilaian pengasuhan terhadap tuntutan yang mereka hadapi, serta spesifikasi

sumber daya yang dimiliki keluarga.

Beberapa Variabel yang terdapat pada model pemberdayaan pengasuhan

terdiri dari;

1. Cargiving Demant (Tuntutan Pengasuhan) terdiri dari : Penurunan

penerimaan perawatan, kegiatan pengasuhan dan tuntutan peran bersaing.

2. Resurces (Sumber Daya) terdiri dari, Faktor Pribadi Anggota keluarga

seperti, koheren, spiritualitas dan koping yang digunakan. Faktor Keluarga

seperti, keterkaitan dan bantuan keluarga. Faktor Komunitas, seperti,

penggunaan sumber daya komunitas.

3. Filial Value (Nilai Dasar), yang terdiri dari sikap tanggungjawab, rasa

menghormati dan kemampuan merawat.

4. Backgraund (Latar belakang Keluarga), terdiri dari akulturasi budaya, faktor

demografi dan hubungan sebelumnya.

5. Appraisal (Penilaian), proses menilai yang terdiri dari dua komponen hasil

penilaian, sebagai tantangan atau sebagai stressor/penyebab stres.

6. Cargiver Outcame (Hasil Pengasuhan), Hasil pengasuhan terhadap keluarga

adalah Persepsi tentang sehat, pertumbuhan pribadi dan keluarga, eksistensi

kondisi sejahtera.

2.2.7 Proses Pemberdayaan Keluarga

Pemberdayaan keluarga dilaksanakan dengan melalui empat tahapan proses


pemberdayaan keluarga (family empowerment proses) yang berjalan saling

berurutan bertujuan untuk mengenalkan, mempromosikan, dan meningkatkan

kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan kesehatan dan untuk

mempertahankan kehidupan keluarga berdasarkan ideologi pemberdayaan yang

menjadikan semua anggota keluarga memiliki kemampuan dan kekuatan dan

kapasitas untuk tumbuh dan menjadi lebih kompeten (Dunt & Trivette, 1996).

Gambar Model Proses Pemberdayaan Keluarga (Family Empowerment

Process Model)

Adapun untuk menjelaskan tahapan pemberdayaan keluarga dapat

dijelaskan dengan menggunakan model pemberdayaan keluarga (Family

Empowerment Model) yang di kenalkan oleh Polly A. Hulme (1999), seperti yang

ada pada gambar di atas. Tahapan proses pemberdayaan keluarga dapat


dijelaskan sebagai berikut :

1. Tahap Dominasi Profesional (Professional dominated phase)

Tahap ini ditandai dengan keluarga sangat percaya dan sangat tergantung

pada tenaga kesehatan yang akan memberikan perawatan pada anggota

keluarga yang mengalami sakit. Keluarga untuk sementara menyesuaikan

dengan situasi perawatan yang dilakukan. Pada tahap ini perawat sangat

penting melakukan kontrak awal dan membina hubungan saling percaya

pada keluarga serta menjelaskan tentang masalah yang sedang dihadapi

oleh keluarga. Biasanya fase ini berjalan selama keluarga mendapatkan

diagnosis awal dari kondisi kesehatan kronis atau selama dalam keadaan

yang dianggap keluarga mengancam jiwa atau menyebabkan kekambuhan

sakitnya.

2. Tahap Partisipasi Keluarga (Participatory phase)

Tahap ini terjadi sebagai akibat kondisi keluarga yang merasakan berat

dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami penyakit kronis dan

muncul kesadaran kritis dan keinginan melakukan tindakan menjadi semakin

meningkat. Keluarga mulai melihat diri mereka sebagai peserta penting

dalam pengambilan keputusan terhadap anggota keluarga yang sakit kronis.

Keluarga mulai belajar banyak tentang perawatan, aturan-aturan dari sistem

perawatan kesehatan. Selain itu keluarga mulai mencari dukungan dan

mencoba mengubah peran dan tanggung jawab untuk meningkatkan

kemampuan keluarga untuk hidup sehat.

3. Tahap Menantang (Challenging phase)


Pada tahap ini, keseimbangan pengetahuan dan keterampilan mulai

bergerak dari tenaga kesehatan kepada pengetahuan dan keterampilan

keluarga. Pada tahapan ini keluarga dapat mengalami kehilangan

kepercayaan atau kurang percaya diri, frustasi, tidak pasti karena keluarga

harus memulai melakukan perawatan pada anggota keluarga sendiri. Pada

tahapan ini sangat penting memberikan pujian terhadap kemampuan

keluarga. Koping keluarga berada pada fase ini, dimana kemandirian

keluarga adalah merupakan salah satu indikator koping keluarga kompeten

telah dilakukan oleh keluarga.

4. Tahap Kolaborasi (Collaborative phase)

Pada tahap ini, keluarga mulai mengasumsikan identitas baru dengan

menjadi lebih percaya diri dan tegas. Keluarga sudah mulai kurang

bergantung kepada tenaga kesehatan. Keluarga sudah mampu melakukan

negosiasi dengan tenaga kesehatan. Keluarga mulai menata ulang

tanggungjawab untuk mempertahankan kehidupan keluarga dan berusaha

meminimalkan dampak terhadap kondisi sakit kronis pada anggota

keluarganya.

2.2.8 Tingkat Kemandirian Keluarga

Intervensi Pemberdayaan Keluarga yang dilakukan pada keluarga dirancang

agar keluarga tidak hanya dibantu menyelesaikan masalah kesehatannya saja,

namun juga mampu menolong dirinya sendiri, berdaya dan mandiri dalam

menghadapi masalah kesehatan anggota keluarganya. Tingkat kemandirian


keluarga dapat dinilai dengan memperhatikan kriteria tingkat kemandirian seperti

yang di tetapkan oleh Departemen Kesehatan (2006), sebagai berikut :

1. Keluarga Mandiri Tingkat Satu

Keluarga hanya menerima petugas perawatan kesehatan masyarakat dan

menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan rencana

keperawatan.

2. Keluarga Mandiri Tingkat Dua

Keluarga menerima petugas perawatan kesehatan masyarakat dan

menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan rencana

keperawatan, keluarga mengetahui dan dapat mengungkapkan masalah

kesehatan secara benar, melakukan tindakan keperawatan sederhana

sesuai yang dianjurkan dan memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan.

3. Keluarga Mandiri Tingkat Tiga

Keluarga menerima petugas perawatan kesehatan masyarakat dan

menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan rencana

keperawatan, keluarga mengetahui dan dapat mengungkapkan masalah

kesehatan secara benar, melakukan tindakan keperawatan sederhana

sesuai yang dianjurkan dan memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan

serta melaksanakan tindakan pencegahan sesuai anjuran.

4. Keluarga Mandiri Tingkat Empat

Keluarga menerima petugas perawatan kesehatan masyarakat dan

menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan rencana

keperawatan, keluarga mengetahui dan dapat mengungkapkan masalah


kesehatan secara benar, melakukan tindakan keperawatan sederhana

sesuai yang dianjurkan dan memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan

serta melaksanakan tindakan pencegahan sesuai anjuran dan

melakukantindakan promotif secara aktif.

2.2.9 Pemberdayaan Keluarga pada Pasien Gagal Jantung

Sejak diterbitkannya To Err is Human: Building a Safer Health System, yaitu

gerakan Membangun Sistem Kesehatan dan Keselamatan Pasien, pencegahan

kesalahan medis dan cedera menjadi salah satu fokus dalam pelayanan kesehatan

berbasis rumah sakit. National Patient Safety Foundation (NPSF) telah

menyimpulkan bahwa kemajuan menuju budaya keselamatan perawatan kesehatan

tergantung pada penetapan pendekatan sistem yang melampaui rumah sakit untuk

pengaturan perawatan di komunitas dan rumah pasien, di sini disebut sebagai

pengaturan perawatan rawat jalan. Termasuk dalam rekomendasi NPSF untuk

pendekatan semacam itu adalah bermitra dengan pasien dan keluarga di semua

tingkat perawatan. Yang kurang diartikulasikan dengan baik adalah bagaimana

kemitraan ini dapat dicapai dalam pengaturan yang disorot oleh NPSF dalam hal ini

peningkatan pemberdayaan keluarga dapat menjadi factor utama dalam menjalin

sebuah kemitraan dalam rangka mengelola pasien dengan gagal jantung.

Tujuan dari sudut pandang ini ada dua. Yang pertama adalah membuat

hipotesis jalur-jalur yang melaluinya kemitraan pasien-keluarga yang diberdayakan

dapat secara efektif memajukan keselamatan dan kualitas kesehatan dalam

pengaturan perawatan rawat jalan danperawatan di rumah. Yang kedua adalah


untuk menggambarkan elemen-elemen kunci dan pelajaran yang diperoleh dari

intervensi komunikasi yang berhasil dirancang untuk memberdayakan pasien dan

keluarga untuk bekerja secara efektif dengan dokter selama kunjungan medis rawat

jalan. Dalam hal ini konteks keluarga akan didefinisikan secara luas untuk mencakup

pasangan, pasangan, anak-anak dewasa dan kerabat lainnya, dan teman-teman.

Berbagai elemen terkait dalam perawatan pasien gagal jantung termasuk di

dalamnya terdapat elemen manajemen support dan konteks keluarga termasuk di

dalamnya. Agar terbentuk interaksi yang produktif harus meliputi 3 area yaitu :

1. Pemberdayaan keluarga dalam manajemen support

Bagaimana membantu pasien untuk dapat beradaptasi dengan penyakitnya.

Beberapa hal yang termasuk dalam manajemen support adalah :

Keikutsertaan dalam latihan fisik, manajemen stress, manajemen status

cairan, monitor tanda dan gejala, kepatuhan terhadap pengobatan,

manajemen kesulitan bernafas dan mengerti tentang gagal jantung

2. Decision support : pemberian informasi dan pengambilan keputusan

3. Clinical information system : informasi yang akurat


Bagan pengelolaan pasien gagal jantung (REACH-HF)

Mengadopsi dari bagan tahapan perawatan pasien gagal jantung REACH-

HF, pemberdayaan keluarga dapat dimulai sejak tahap preventif sampai

dengan pengelolaan jangka panjang.

Penelitian terkait dilakukan oleh Komalasari (2009) yang meneliti tentang

dukungan sosial pada penderita sakit jantung di Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta.
Dalam penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa dukungan sosial yang berbentuk

dukungan emosional, dukungan penghargaan dukungan instrumental, dukungan

informasional, dukungan persahabatan dan dukungan motivasional sangat

berpengaruh terhadap penyembuhan pasien. Keluarga pasien perlu mempunyai

sikap yang positif untuk membantu penyembuhan pada pasien khususnya pada

pasien dengan penyakit jantung yang memerlukan pengobatan dan perawatan

dalam jangka panjang. Keluarga perlu memberikan dukungan (support) kepada

pasien untuk meningkatkan motivasi dan tanggung jawab untuk melaksanakan

perawatan secara mandiri. Keluarga perlu mempunyai sikap menerima pasien,

memberikan respon positif kepada pasien, menghargai pasien sebagai anggota

keluarga dan menumbuhkan sikap tanggung jawab pada pasien.. Family

empowerment sangat penting untuk membantu pasien bersosialisasi kembali,

menciptakan kondisi lingkungan suportif, menghargai pasien secara pribadi dan

membantu pemecahan masalah pasien sehingga akan meningkatkan keberhasilan

pasien dalam menjalani proses pengobatan (Teddy, et al, 2013).

Family empowerment merupakan suatu proses hubungan antara keluarga

dengan lingkungan sosial (Friedman, 2012). Berdasarakan penelitian sulastini, 2018,

terdapat hubungan cukup kuat antara family empowerment dengan pola aktivitas

pasien gagal jantung yang dirawat di Ruang Penyakit Dalam Kelas 3 RSUD dr.

Slamet Garut. Dari hasil penelitian tersebut memperlihatkan bagaimana kekuatan

hubungan antara family empowerment dengan pola aktivitas pasien gagal jantung

dalam melakukan aktivitas yang toleran bagi tubuhnya selama menjalani perawatan

di rumah sakit.
Majid (2010) menjelaskan tentang analisis faktor- faktor yang berhubungan

dengan kejadian rawat inap ulang pasien gagal jantung kongestif di Rumah Sakit

Yogyakarta, salah satu faktor yang menyebabkan pasien rawat inap ulang adalah

kepatuhan dalam membatasi aktivitas sesuai dengan tingkat toleransi tubuhnya.

Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Safitri (2016) menemukan bahwa ada

hubungan antara family empowerment dengan kepatuhan dalam melakukan

pembatasan aktivitas pada pasien gagal jantung di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda

Aceh. Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dan menentukan

keyakinan dan nilai kesehatan individu dan dapat juga menentukan tentang program

terapi yang diterima. Safitri (2016) menyatakan bahwa family empowerment

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pola aktivitas pasien. Keluarga

dapat membantu menghilangkan godaan pada ketidakpatuhan dan keluarga

seringkali dapat menjadi kelompok pendukung untuk mencapai derajat kesehatan

yang lebih baik.

Penelitian Debra L Roter, berhipotesis dengan keterlibatan keluarga dalam

kunjungan medis rawat jalan dapat berkontribusi dalam beberapa ukuran

menggunakan enam dimensi kualitas perawatan dan keselamatan yang diuraikan

dalam laporan Institute of Medicine Crossing the Quality Chasm. Beberapa jalur

dihipotesiskan untuk secara langsung dalam kunjungan perawatan rawat jalan

sementara yang lain dapat diterapkan di rumah. Berikut tabel hipotesis kontribusi

keluarga pada dimensi keselamatan dan kualitas kesehatan yang diuraikan secara

rinci di bawah ini:

1. Keselamatan : anggota keluarga berkontribusi pada penggunaan obat yang


lebih aman dan lebih sedikit obat rawat jalan yang merugikan yang dapat

dicegah dengan meminimalkan miskomunikasi ketika penyerahan obat

dilakukan pencatatan dan klarifikasi terkait instruksi, waspada terhadap

munculnya efek samping obat dan pelaporan apabila terjadi kondisi

membahayakan terkait obat dan mengambil tindakan yang tepat untuk

mengurangi efek yang lebuh buruk.

2. Keefektifan: keluarga berkontribusi pada keefektifan perawatan dengan

memfasilitasi komunikasi terkait obat selama kunjungan medis melalui

dukungan bermakna untuk kepatuhan ketika obat diminum di rumah.

3. Ketepatan waktu : keluarga berkontribusi pada ketepatan waktu perawatan

dengan mengenali dan melaporkan perubahan dalam eksaserbasi gejala

dan status kesehatan pasien dengan menjadwalkan perawatan dan

mengatur transoprtasi untuk kondisi darurat.

4. Efisiensi : keluarga berkontribusi pada efisiensi perawatan dengan

memberikan informasi historis dan terkini kepada dokter mengenai konteks

waktu dan perawatan, mencatat rekomendasi dokter, tindak lanjut pasien

pada rujukan, prosedur dan tes serta menghindari duplikasi layanan.

5. Kesetaraan : keluarga berkontribusi pada kesetaraan kesehatan dengan

mengadvokasi kebutuhan dan preferensi pasien, mengajukan pertanyaan

atas nama pasien, memberikan dukungan dorongan selama kunjungan

medis dan memfasilitasi keterlibatan pasien aktif dalam pengambilan

keputusan perawatan

6. Patien center : keluarga berkontribusi pada perawatn yang berpusat pada


pasien dengan memfasilitasi komunikasi kunjungan medis yang jelas,

informatif dan suportif, mendorong ekspresi preferensi, harapan dan

kebutuhan pasien dan membantu dalam perawatan pasien.

2.3 Konsep Discharge Planning

2.3.1 Defenisi Discharge planning

Discharge planning (discharge planning) adalah bagian penting dalam

program keperawatan yang bersifat dinamis agar tim kesehatan mendapatkan

kesempatan yang cukup untuk menyiapkan pasien melakukan perawatan mandiri di

rumah (Nursalam, 2016). Discharge planning adalah suatu proses untuk

memutuskan apa yang dibutuhkan oleh pasien yang mengalami pemindahan dari

satu level perawatan ke level yang lain termasuk di dalamnya perawatan dirumah,

rehabilitasi, rawat jalan, dan bantuan lainnya (Birjandi & Bragg, 2009). Discharge

planning dimulai segera setelah pasien masuk dan berlanjut sampai pasien

ditempatkan dilevel perawatan selanjutnya, hal ini karena pasien yang dipulangkan

dari rumah sakit belum pulih sepenuhnya, sehingga harus dipastikan bahwa

keadaannya stabil sampai tempat perawatan selanjutnya atau perawatan di rumah.

Discharge planning adalah pendekatan berbagai disiplin untuk menjamin

kontinyuitas perawatan termasuk didalamnya identifikasi, penilaian, penentuan

tujuan, perencanaan, implementasi, koordinasi, dan evaluasi (Lin et al., 2012).


Kesimpulan dari beberapa definisi di atas adalah discharge planning merupakan

kolaborasi dari para professional pemberi asuhan dengan melibatkan pasien dan

keluarga melalui pendidikan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan pasien untuk

mempersiapkan dan menjamin kontinyuitas perawatan setelah pasien pulang dari

rumah sakit menuju perawatan di rumah atau komunitas.

2.3.2 Tujuan Discharge planning

Nursalam (2016) menyatakan tujuan discharge planning secara rinci antara

lain: menyiapkan pasien dan keluarga secara fisik, psikologis dan sosial,

meningkatkan kemandirian klien dan keluarga, meningkatkan perawatan yang

berkelanjutan pada pasien, membantu rujukan pasien pada system pelayanan yang

lain, membantu pasien dan keluarga memiliki pengetahuan dan ketrampilan serta

sikap dalam memperbaiki serta mempertahankan status kesehatan pasien, dan

melaksanakan rentang perawatan (transisi perawatan) antara rumah sakit dan

masyarakat.

Discharge planning bertujuan untuk memberikan dukungan kesinambungan

perawatan kesehatan antara di rumah sakit dan komunitas berdasarkan kebutuhan

individual dari pasien. Dampak lain dari discharge planning yang efektif di rumah

sakit adalah mengurangi hari perawatan dan mengurangi resiko kekambuhan

setelah pulang (Lin et al., 2012). Pemberian discharge planning juga bertujuan untuk

meningkatkan kemajuan pasien, membantu pasien untuk mencapai kualitas hidup

optimum sebelum dipulangkan (Almborg, 2010).


2.3.3 Prinsip Discharge planning

Tujuan perencanaa pulang dapat dicapai dengan menerapkan beberapa hal

penting yang akan menjamin bahwa semua pesan yang disampaikan dapat

dipahami dan diterapkan oleh pasien dan keluarga. Nursalam (2018) menjelaskan

prinsip yang harus diperhatikan yaitu: pasien merupakan fokus dalam discharge

planning sehingga nilai keinginan dan kebutuhan dari pasien perlu dikaji, dievaluasi

dan dikaitkan dengan masalah yang mungkin timbul pada saat pasien pulang dari

rumah sakit. Discharge planning merupakan pelayanan multidisiplin sehingga dalam

pelaksanaannya harus dilakukan secara kolaboratif dengan melibatkan semua

profesi pemberi asuhan termasuk pasien dan keluarganya dengan mengoptimalkan

sumberdaya yang ada. Tindakan atau rencana yang akan dilakukan setelah pulang

disesuaikan dengan pengetahuan pasien dan keluarga serta sumber daya lain yang

tersedia di masyarakat. Penilaian kebutuhan discharge planning dimulai saat pasien

masuk ke rumah sakit.

Tiga hal mendasar yang harus diperhatikan dalam memberikan discharge

planning yang berkualitas. Hal pertama adalah discharge planning harus mampu

memberikan pendidikan kepada pasien tentang penyakitnya (termasuk didalamnya

diagnosis, prognosis, pengobatan, pemeriksaan lanjutan). Discharge planning yang

berkualitas harus mampu memberikan dukungan pada perawatan setelah pasien

pulang (termasuk bagaimana pengobatan setelah pulang, penggunaan alat

kesehatan saat dirumah, kapan melakukan kontrol untuk mengetahui perkembangan

penyakit). Hal ketiga dari discharge planning yang berkualitas adalah mampu
mengkoordinir berbagai profesi pemberi layanan kesehatan (perawat, dokter,

pekerja social,dll) sehingga discharge planning benar-benar merupakan pelayanan

multidisiplin dan melibatkan semua professional kesehatan yang berhubungan

dengan pasien (Johns Hopkins University, 2014).

Pengabaian dari prinsip discharge planning akan berdampak pada

pemulangan pasien yang tidak efektif, misalnya sering kali terjadi pasien pulang dari

rumah sakit dengan membawa resep obat tanpa mengetahui dengan jelas obat apa

yang tertulis di dalam resep dan bagaimana menggunakannya. Beberapa pasien

dan keluarga dengan literasi kesehatan yang terbatas sering merasakan

kebingungan dengan bahasa yang digunakan oleh petugas saat memberikan

edukasi sehingga mereka pulang dari rumah sakit tanpa mengetahui dengan jelas

jenis penyakit dan perawatan lanjutan di rumah.

2.3.4 Faktor yang Mempengaruhi Discharge planning

Keberhasilan discharge planning dipengaruhi oleh berbagai faktor. Rofi’i

(2011) dalam penelitian di RSI Sultan Agung menganalisa faktor-faktor yang

berhubungan dengan discharge planning. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan pulang adalah personil

discharge planning, keterlibatan dan partisipasi, komunikasi, waktu, perjanjian dan

konsensus.

2.3.4.1 Faktor Personil

Personil yang terlibat dalam discharge planning adalah orang-orang yang

berkontribusi dalam discharge planning yaitu perawat, dokter, pekerja sosial,


petugas kesehatan di masyarakat, pasien dan anggota keluarga. Perawat sebagai

bagian dari personil discharge planning berperan penting dalam keberhasilan

discharge planning. Perawat bertanggung jawab untuk berkoordinasi dan

mempertahankan hubungan dengan perawatan, fasilitas profesional, dan sumber

daya yang diperlukan untuk pemulihan pasien. Penelitian menunjukkan hubungan

yang signifikan antara personil dan pelaksanaan discharge planning. Perawat yang

mempunyai persepsi baik terhadap discharge planning memiliki kemungkinan 2,7

kali lebih baik untuk melaksanakan discharge planning dari pada perawat dengan

persepsi yang kurang terhadap discharge planning (Rofi’i, 2011)

2.3.4.2 Keterlibatan dan Kolaborasi

Discharge planning merupakan merupakan kegiatan multi disiplin, sehingga

keberhasilannya merupakan hasil dari kolaborasi antara tim kesehatan yang

diberikan tanggung jawab oleh instansi yang bersangkutan dengan pasien dan

keluarga. Potter dan Perry (2005) menyatakan bahwa salah satu langkah-langkah

prosedur dalam perencanan pulang adalah perawat melakukan kolaborasi dengan

dokter dan disiplin ilmu lain yang mengkaji perlunya rujukan untuk mendapat

perawatan di rumah atau di tempat pelayanan lainnya. Kolaborasi dengan dokter

dan disiplin ilmu lain merupakan salah satu bentuk keterlibatan dan partisipasi dari

personil dalam discharge planning. Hasil penelitian menunjukkan perawat dengan

persepsi yang baik tentang keterlibatan dan kolaborasi mempunyai kemungkinan 2,4

kali lipat untuk melaksanakan discharge planning (Rofi’i, 2011).


2.3.4.3 Komunikasi

Komunikasi merupakan hal yang sangat vital, karena discharge planning

adalah proses untuk mempersiapkan pasien dan keluarga untuk perawatan lanjutan.

Tujuan discharge planning akan mudah tercapai apabila terjalin komunikasi yang

efektif dalam pemulangan, sehingga semua pesan dalam edukasi kesehatan yang

diberikan bisa dipahami dan diterapkan oleh pasien dan keluarga. Komunikasi

adalah sarana untuk menjalin hubungan dengan pasien, keluarga, tim kesehatan

lain dan petugas kesehatan di masyarakat. Apabila perawat dapat melakukan

komunikasi dengan baik, maka keberhasilan pelaksanaan pulang akan tercapai. Hail

penelitian perawat yang mempunyai persepsi baik tentang komunikasi memiliki

kemungkinan 2,7 kali lebih baik untuk melaksanakan perencanaan (Rofi’i, 2011).

2.3.4.4 Waktu

Waktu mempengaruhi pelaksanaan discharge planning, waktu yang cukup

adalah penting bagi discharge planning karena memberikan kesempatan untuk

pengkajian klien, pengembangan dan pelaksanaan discharge planning. Lamanya

waktu yang tersedia untuk discharge planning bervariasi pada tiap-tiap institusi yang

berbeda. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh perawat dalam discharge

planning pada pasien dengan perawatan akut adalah waktu dalam discharge

planning. Hasil penelitian oleh Rofi’i menunjukkan tidak ada perbedaan dalam

melaksanakan discharge planning antara perawat yang merasa memiliki waktu yang

cukup dengan perawat yang merasa memiliki waktu yang kurang dalam discharge

planning. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dijadikan referensi (Poglitsch,
Emery, dan Darragh, 2011) yang menunjukkan bahwa waktu sangat berpengaruh

dalam discharge planning (Rofi’i, 2011).

2.3.4.5 Perjanjian dan Konsensus

Membuat perjanjian/persetujuan pemulangan adalah kategori inti dari proses

discharge planning yang dilakukan oleh perawat. Aktivitas perencanaanpulang

secara rinci didasarkan pada kehidupan sehari-hari klien / keluarga, dan rencana

yang dibuat dalam rentang yang dapat diterima oleh klien (Tomura et al., 2011).

Diharapkan setelah pasien masuk ruang rawat inap perawat sudah mempersiapkan

kesepakatan yang akan dicapai dalam discharge planning. Komitmen perawat dalam

membuat kesepakatan sangat diharapkan untuk keberhasilan suatu perencanaan.

Hasil penelitian menujukkan perawat yang mempunyai persepsi baik tentang

pejanjian dan konsensus memiliki kemungkinan 2,8 kali lebih baik untuk

melaksanakan discharge planning (Rofi’i, 2011).

2.3.5 Prosedur Discharge planning

Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) menetapkan langkah-

langkah dalam discharge planning yaitu: saat pertama pengkajian keperawatan,

kegiatan rutin harian, persiapan pertemuan discharge planning, pertemuan

discharge planning, dan saat hari pemulangan. Pada saat pengkajian awal, perawat

mengidentifikasi siapa yang akan menemani atau merawat pasien nanti pada saat di

rumah, sehingga mulai dirumah sakit sudah didapatkan kepastian kepada siapa saja

edukasi akan diberikan. Perawat menjelaskan kepada pasien dan keluarga untuk
menyampaikan apa yang ingin diketahui dengan menggunakan catatan dikertas

atau papan tulis bila ada. Informasikan langkah-langkah dalam perawatan kepada

pasien dan keluarga.

Kegiatan harian dalam discharge planning yaitu: menjelaskan kepada pasien

dan kelurga tentang kondisi pasien setiap ada kesempatan, menjelaskan

pengobatan yang diberikan, dan mendiskusikan perkembangan perawatan yang

dilakukan dan tujuan yang diharapkan. Perawat melibatkan pasien dan keluarga

dalam setiap keputusan dan tindakan yang dilakukan. Perawat menyiapkan ceklist

dan booklet yang akan diberikan kepada pasien saat pemulangan. Tahap

selanjutnya adalah membuat perjanjian untuk pertemuan dengan pasien dan

keluarga serta staf yang berkaitan dengan discharge planning.

Pertemuan dengan pasien dan keluarga untuk memberikan edukasi,

memberikan kesempatan kepada pasien dan keluarga untuk bertanya tentang hal-

hal yang dibutuhkan saat perawatan di rumah. Perawat memberikan informasi yang

sudah dilist dan booklet yang sudah dipersiapkan. Menjelaskan kapan dan

bagaimana untuk melakukan kontrol.

Pada hari pemulangan, perawat melakukan pengecekan ulang dan

konfirmasi tentang list pengobatan dengan pasien dan keluarga, memberikan surat

kontrol dan menjelaskan tempat dan waktu yang telah disepakati. Perawat

memberikan nama, no telephon yang dapat dihubungi bila ada masalah setelah

pulang dari rumah sakit.


2.3.6 Tugas Perawat dalam Discharge planning

Perawat merupakan tenaga kesehatan yang ada disemua tatanan kesehatan

sehingga mempunyai peranan yang sangat penting dalam discharge planning.

Perawat primer berperan sebagai penanggung jawab dalam discharge planning dan

memastikan bahwa pasien dan keluarga telah memahami apa yang disampaikan

dalam discharge planning. Dalam melaksanakan agenda discharge planning

perawat primer boleh dibantu oleh perawat pelaksana. Nursalam (2016)

menyebutkan tugas perawat primer dalam discharge planning antara lain: membuat

discharge planning (koordinator), membuat leaflet, memberikan konseling/

pendidikan kesehatan (edukator), menyediakan format discharge planning, dan

mendokumentasikan discharge planning.

2.3.7 IDEAL Discharge Planning

Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) merumuskan strategi

discharge planning dengan model IDEAL Discharge Planning. Model IDEAL

dirancang untuk meningkatkan transfer informasi yang efektif dari petugas klinis

kepada pasien dan keluarga dengan tujuan mengurangi kejadian buruk saat di

rumah dan mencegah pasien masuk kembali ke rumah sakit (AHRQ, 2013). Strategi

ini bisa diterapkan sebagai model tersendiri maupun dikombinasikan dengan

pendekatan yang lain dalam pemulangan pasien, termasuk untuk pasien asma.

IDEAL merupakan singkatan yang terdiri dari komponen-komponen penting untuk

mencapai tujuan discharge planning:


1) Include the patient and family as full partners in the discharge planning

process (Libatkan pasien dan keluarga sebagai mitra penuh dalam proses

perencanaan kepulangan). Discharge planning bukan kegiatan sesaat, tetapi

merupakan proses yang berlangsung selama pasien menjalani perawatan di

rumah sakit. Petugas klinis harus mengidentifikasi dari awal anggota

keluarga yang akan menemani dan merawat pasien selama di rumah dan

melibatkan mereka dalam komunikasi.

2) Discuss with the patient and family five key areas to prevent problems at

home (Diskusikan dengan pasien dan keluarga lima area utama untuk

mencegah masalah di rumah):

 Menjelaskan hidup yang sehat di rumah, termasuk bagaimana mengatur

lingkungan yang mendukung kesehatan (menghindari debu di halaman,

karpet, rokok, menghindari adanya kutu di tempat tidur atau sofa, bulu

binatang, dll), dukungan yang diperlukan (seperti anggota keluarga yang

berhenti merokok, atau menjauh saat merokok, tidak menggunakan sapu

yang menyebabkan debu saat membersihkan rumah), apa saja yang

boleh dimakan atau dilarang, aktivitas apa yang diperlukan untuk

meningkatkan kesehatan atau harus dihindari untuk mencegah

kekambuhan.

 Mengecek kembali pengobatan yang dilakukan (review). Menggunakan

daftar obat yang diberikan untuk mendiskusikan dengan pasien dan

keluarga tujuan atau manfaat tiap jenis obat, bagaimana

menggunakannya, jumlah dosis yang diperlukan, dan kemungkinan efek


samping yang mungkin terjadi.

 Menjelaskan tanda dan gejala yang menjadi perhatian dan masalah yang

kemungkinan muncul. Petugas klinis perlu menjelaskan tanda dan gejala

yang harus diperhatikan oleh pasien sehingga pasien segera mengetahui

munculnya gejala dan tanda awal dari serangan asma, sehingga dapat

dilakukan managemen mandiri di rumah. Pasien dan keluarga juga harus

tahu seperti apa tanda dan gejala kegawatdaruratan yang mengharuskan

mencari bantuan. Tulis dan jelaskan nama dan nomor telephon yang bisa

dihubungi untuk meminta pertolongan.

 Menjelaskan hasil pemeriksaan. Pasien dan keluarga harus dijelaskan

tentang hasil pemeriksaan yang telah tersedia, sehingga mereka

mengerti apa yang terjadi pada pasien. Jika saat pasien pulang hasil

pemeriksaan belum tersedia, beritahukan kepada pasien dan keluarga

kapan hasil pemeriksaan dapat diambil dan dimana mengambilnya.

 Membuat janji untuk kontrol. Tawarkan kepada pasien dan keluarga

untuk membuat janji kontrol dan pastikan bahwa mereka mengetahui

bahwa kontrol untuk penyakitnya adalah sangat diperlukan.

3) Educate the patient and family in plain language about the patient’s

condition, the discharge process, and next steps at every opportunity

throughout the hospital stay (Mendidik pasien dan keluarga dalam bahasa

sederhana tentang kondisi pasien, proses pemulangan, dan langkah

selanjutnya di setiap kesempatan selama tinggal di rumah sakit). Informasi

yang diberikan tentang penyakit dan mangemen lanjutan dapat


membosankan dan melelahkan bagi pasien dan keluarga jika diberikan

sekaligus pada saat pemulangan, sehingga sering sekali terjadi kegagalan

dalam pemahaman dan pelaksanaan instruksi yang disampaikan. Proses

edukasi harus menjadi kegiatan yang berkesinambungan selama pasien

menjalani perawatan. Selama pasien menjalani perawatan, hal-hal yang

dapat dilakukan petugas antara lain:

 Dorong pasien dan keluarga untuk menyampaikan harapannya menjalani

perawatan, catat kemajuan yang dialami setiap hari

 Libatkan pasien dan keluarga pada saat operan perawat setiap shift

 Bagikan daftar obat-obatan tertulis setiap pagi

 Periksalah dan jelaskan tentang obat setiap pemberian: untuk apa obat

yang diberikan, bagaimana meminumnya, dan kemungkinan efek

samping yang dapat terjadi.

 Dorong partisipasi aktif pasien dan keluarga pada setiap tindakan yang

dilakukan sehingga mereka akan memiliki kemampuan dan kepercayaan

diri pada saat meninggalkan rumah sakit.

4) Assess how well doctors and nurses explain the diagnosis, condition, and

nextsteps in the patient’s care to the patient and family and use teach back

(Menilai seberapa baik dokter dan perawat menjelaskan diagnosis, kondisi,

dan langkah selanjutnya dalam perawatan pasien kepada pasien dan

keluarga dan mengulang kembali hal yang tidak jelas). Menyediakan

informasi kepada pasien dan keluarga secara bertahap dan mengulanginya

selama mereka di rumah sakit. Meminta pasien dan keluarga untuk


mengulangi penjelasan yang diberikan dengan bahasa mereka sendiri untuk

memastikan bahwa mereka memahami apa yang telah dijelaskan.

5) Listen to and honor the patient and family’s goals, preferences,

observations, and concerns (Dengarkan dan hormati tujuan, pengetahuan,

penilaian, dan keprihatinan pasien dan keluarga). Berikan kesempatan

kepada pasien dan keluarga untuk menuliskan pertanyaan yang mungkin

akan ditanyakan kepada petugas sehingga mereka dapat menyampaikan

setiap saat pada waktu yang mereka anggap memungkinkan. Petugas

menggunakan pertanyaan terbuka padaa saat menggali masalah yang

dirasakan oleh pasien sehingga terjalin komunikasi timbal balik yang tidak

monoton. Gunakan ceklist untuk menilai kesiapan pasien dan keluarga, dan

rencanakan setidaknya satu kali pertemuan untuk discharge planning dengan

pasien dan keluarga.


BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Pasien gagal jantung

Transisi perawatan rawat inap


ke komunitas atau rawat jalan

Faktor yang mempengaruhi


Memerlukan perawatan perencanaan pulang :
mandiri dirumah Faktor personil
Keterlibatan dan kolaborasi
Komunikasi
Keterlibatan keluarga dalam Waktu
perawatan mandiri di rumah Perjanjian dan konsesus
Perawatan efektif

Perlu edukasi penyakit dan


skill perawatan baik pasien Perencanaan Pulang: IDEAL
Pemberdayaan Keluarga
dan keluarga dari AHRQ

Gambar 3.1 Kerangka Konsep


Keterangan :

: Variabel yang tidak diteliti

: Variabel yang diteliti

Kerangka konsep penelitian ini terdiri dari input yaitu variable independent

DP model IDEAL dan outputnya yaitu pemberdayaan keluarga pasien sebagai

variable dependen. Dalam penelitian ini pasien gagal jantung mengalami transisi

dalam proses perawatannya dari menjalanai perawatan dirumah sakit dengan

metode perawatan rawat inap menjadi pasien dengan rawat jalan. Pada saat

pasien melakukan rawat jalan pasien tersebut memerlukan perawatan mandiri

dirumah. Perawatan mandiri dirumah memerlukan keterlibatan dan peran aktif

keluarga dalam pemberian proses perawatan. Dalam pemberian proses

perawatan keluarga perlu edukasi penyakit dan kemampuan dalam pemberian

perawatan. Discharge planning ideal dari AHRQ dilakukan untuk

memberdayakan keluarga dalam memberikan proses keperawatan terhadap

pasien sehingga diharapkan perawatan pasien dirumah dapat menjadi lebih

efektif.

3.2 Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh antara penerapan DP

(Discharge Planning) terhadap pemberdayaan keluarga pasien gagal jantung di

ruang rawat inap rumah sakit Dr. Soepraoen Malang


BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Pada peneltian ini peneliti menggunakan desain penelitian quasy

experiment dengan metode post test design yaitu penelitian dengan menentukan

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, kemudian dilakukan penilaian setelah

perlakuan (post test).

SUBYEK PRA PERLAKUAN PASCA

Kelompok Eksperimen - XA OA

Kelompok Kontrol - XB OB
Tabel 4.1 Rancangan Penelitian

Keterangan:

o = Pengukuran

XA = Perlakuan perencanaan pulang dengan mdiscard plaming model ideal

XB = Perlakuan pada kelompok kontrol dengan discard planning dengan

SOP Rumah Sakit

4.2 Populasi dan Sample Penelitian

4.2.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga pasien gagal

jantung yang dilakukan perawatan di rumah sakit Dr. Soepraoen Malang. Jumlah

populasi keluarga pasien gagal jantung di rumah sakit Dr. Soepraoen Malang

dari bulan Februari sampai Maret 2020.


4.2.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah keluarga pasien gagal jantung yang di

ruang rawat di rumah sakit Dr. Soepraoen Malang dari bulan Februari sampai

bulan Maret 2020

4.2.2.1Kriteria Inklusi
1) Keluarga pasien gagal jantung yang dilakukan perawatan selama 3

hari

2) Mampu berkomunukasi dengan baik (pendengarang)

3) Mengikuti setiap tahapan intervensi

4) Pasien tidak pulang paksa

4.2.2.2Kriteria Eksklusi
1) Dirujuk ke rumah sakit lain sebelum 3 hari.

2) Pasien meninggal dunia.

3) Pasien pulang pulang paksa.

4.3 Teknik Sampling dan Besar Sampel

Metode sampling yang digunakan adalah dengan total sampling.

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Variabel Bebas (Independent)

Variabel bebas dari penelitian ini adalah discard planning model ideal

4.4.2 Variabel Terikat (Dependent)

Familly Empowerment pada pasien gagal jantung

4.5 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. Soepraoen
Malang pada bulan Febuari - Maret 2020.

4.6 Instrument Penelitian

Penelitian ini diukur dengan menggunakan intrumen kuesioner family

empowerment scale (FES) yang dimodifikasi oleh Singh, Nirbhay (1995). Karena

alat ini terbukti valid dan reliabilitas yang berguna pada pemberdayaan keluarga

pada anak-anak cacat. Kuesioner ini berisi 34 pertanyaan yang mencakup

tentang pemberdayaan keluarga. Terdiri dari 4 faktor yaitu; faktor 1 mengukur

tentang pemberdayaan dalam keluarga dalam sistem advokasi terdiri dari 9 item

(no 1-9), faktor 2 mengukur tentang pengetahuan keluarga yang terdiri dari 11

item (no 10-20), faktor 3 mengukur tentang kompetensi keluarga yang terdiri dari

8 item (no 21-28), dan faktor 4 mengukur tentang efikasi diri yang terdiri dari 6

item (no 29-34). Setiap item dinilai pada skala (1=Sangat tidak benar, hingga

sangat benar nilainya 5). Penilaiannya menggunakan rentang score yaitu 34-170.

Skor terendah yaitu 34 dan skor tertinggi 170. Nilai yang semakin tinggi

menunjukkan pemberdayaan keluarga yang baik.


4.7 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Parameter Skala Pengukuran Hasil Pengukuran

Perencanaan Perencanaan pulang (discharge planning) Skala Nominal 1. Ya (Metode Ideal)


pulang menggunakan model ideal adalah bagian 2. Tidak (sesuai SOP
(Ya dan tidak)
menggunakan penting dalam program keperawatan yang Rumah Sakit)
metode ideal bersifat dinamis agar tim kesehatan
mendapatkan kesempatan yang cukup
untuk menyiapkan pasien melakukan
perawatan mandiri di rumah. Metode Ideal
dirancang untuk meningkatkan transfer
informasi yang efektif dari petugas klinis
kepada pasien dan keluarga dengan tujuan
mengurangi kejadian buruk saat di rumah
dan mencegah pasien masuk kembali ke
rumah sakit. Komponen-komponen penting
untuk mencapai tujuan perencanaan pulang:
1. Include
2. Discuss
3. Educate
4. Assess
5. Listen to
Family Pemberdayaan keluarga adalah intervensi family empowerment Skala Numerik - Skala pemberdayaan
empowerment keperawatan yang dirancang dengan tujuan 1. Pengetahuan dalam (Interval) keluarga dihitung
untuk mengoptimalkan kemampuan perawatan pasien Menggunakan skala dengan penjumlahan
keluarga, sehingga anggota keluarga gagal jantung likert pada setiap skor setiap
memiliki kemampuan secara efektif merawat 2. Efikasi dalam butir pernyataan pertanyaan dengan
anggota keluarga dan mempertahankan perawatan dengan skala 1-5, jumlah skor total
kehidupan mereka 3. Advokasi dalam dengan ketentuan: terendah 34 dan skor
1= sangat tidak
perawatan pasien tertinggi 170
benar
gagal jantung
4. kompetensi dalam 2= tidak benar
perawatan pasien
3= munglin benar
gagal jantung
4= benar
5= sangat benar
4.8 Prosedur Pengumpulan Data

4.8.1 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan sebagai berikut:

1) Peneliti melakukan koordinasi untuk menyamakan persepsi dengan

kepala ruang rawat inap sebagai penangung jawab

2) Peneliti memilih semua pasien gagal jantung yang memenuhi kriteria

inklusi

3) Peneliti menjelaskan prosedur penelitian dan meminta kesediaan

responden untuk berpartisipasi

4) Responden yang menstuji penelitian memberikan informed conset

5) Peneliti membagi responden menjadi dua kelompok control dan

perlakukan. Penentuan kelompok menggunakan system simple random.

Pada kelompok control dilakukan intervensi discharge planning sesuai

SOP Rumah Sakit

6) Pada kelompok perlakukan peneliti memberikan intervensi dicard

planning mengguna metode ideal intervensi dilakukan selama 3 hari

7) Pemberdayaan keluarga diukur setelah intervensi

8) Peneliti melakukan pengelolahan data menggunakan SPSS


4.9 Pengelolaan Data

4.9.1 Analisis Data

4.9.1.1Analisis Univariat

Karakteristik dari setiap responden pada kedua kelompok dianalisis

dengan analisis univariat untuk memperoleh data yang berhubungan dengan

pemberdayaan keluarga pasien gagal jantung di ruang rawat inap yang meliputi:

umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, dan hubungan

dengan pasien. Umur sebagai data numerik disajikan dalam mean (rerata) dan

simpang baku (standar deviasi). Karakter lain dari responden yang merupakan

data kategorik disajikan dalam bentuk tabel distribusi yang menampilkan jumlah

(n) dan prosentase. Data pemberdayaan keluarga dari kedua kelompok

berdistribusi normal disajikan dalam tabel yang memuat rerata (mean) dan nilai

simpang baku (standar deviasi) dari nilai kepuasan yang didapatkan dalam

kuesioner.

4.9.1.2Analisis Bivariat

Peneliti melakukan analisis bivariat terhadap variable bebas dan

tergantung. Variable bebas yaitu discharge planning model ideal yang diukur

dengan skala nominal. Variable terikat yaitu pemberdayaan keluarga yang

didapat dari kusioner Penelitian ini diukur dengan menggunakan intrumen

kuesioner family empowerment scale (FES). Kuesioner ini berisi 34 pertanyaan

yang mencakup tentang pemberdayaan keluarga yang diukur dengan sekala

interval. Setiap item dinilai menggunakan skala likert pada setiap butir

pernyataan dengan skala 1-5. Penilaiannya menggunakan rentang score yaitu

34-170. Skor terendah yaitu 34 dan skor tertinggi 170. Nilai yang semakin tinggi

menunjukkan pemberdayaan keluarga yang baik.


Hasil uji saphiro wilk untuk menentukan normalitas distribusi data

kepuasan pasien menunjukkan hasil > 0,05 pada semua sub kategori dukungan

keluarga dari kedua kelompok yang berarti sebaran data pada penelitian ini

bersifat normal. Uji statistik untuk mengetahui pemberdayaan keluarga pada

pasien gagal jantung yang dilakukan perencanaan pulang model ideal dengan

model standar di ruang rawat inap rumah sakit Dr. Soepraoen Malang

menggunakan Independent T Test dengan Interval kepercayaan yang digunakan

adalah 95%, jika nilai p < 0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima yang artinya ada

perbedaan signifikan pemberdayaan keluarga pada pasien gagal jantung pada

kedua kelompok di ruang rawat inap rumah sakit Dr. Soepraoen Malang.

Hasil analisis bivariat disajikan dalam bentuk tabel terbuka yang memuat

nilai signifikansi hasil hitung (nilai p), rerata (mean), nilai simpang baku (standar

deviasi), dan interval kepercayaan yang digunakan (IK).

4.10 Etika Penelitian

Peneliti memohon izin kepada pihak terkait sebelum melaksanakan

penelitian yang dimulai dengan melakukan prosedur yang berhubungan dengan

etika penelitian.

4.10.1 Menghormati Harkat dan Martabat (Respect to Human and Dignity)

Penelitian menerapkan prinsip menghormati harkat dan martabat

manusia dalam bentuk memberikan hak respoonden untuk mendapatkan

penjelasan segala informasi penelitian, hak mendapatkan jawaban atas

segala pertanyaan, serta hak untuk mengundurkan diri kapan saja.

Peneliti menjaga kerahasiaan identitas responden dengan prinsip tanpa

nama (anonymity) pada lembar kuesioner dan diganti berupa kode,

sehingga rahasia responden tetap terjaga.


4.10.2 Prinsip Berbuat Baik (Baneficience)

Dengan berpartisipasi dalam penelitian ini, responden telah berperan

dalam upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan terutama dalam

menerapkan perencanaan pulang yang akan dirasakan manfaatnya oleh

rumah sakit dan pasien gagal jantung dalam pengelolaan penyakitnya.

4.10.3 Prinsip Tidak Merugikan (Non-maleficience)

Didalam penelitian ini tidak ada resiko yang fatal pada pasien atau

keluarga karena perlakuan dalam penelitian ini adalah metode

perencanaan pulang yang dilakukan oleh perawat dengan memberikan

pendidikan kesehatan kepada pasien. Pengukuran yang dilakukan adalah

dengan menggunakan kuisioner.

4.10.4 Prinsip Keadilan (Justice)

Selama penelitian dilaksanakan, peneliti memperlakukan responden

secara adil dan tidak diskriminatif, memberikan penghargaan terhadap

parisipasi responden, responden juga dapat menghubungi peneliti setiap

saat untuk melakukan klarifikasi.

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

Pengumpulan data tentang dukungan keluarga di rawat inap RS Tk II dr.

Soepraoen Malang meliputi dimensi dukungan sistem advokasi, pengetahuan


keluarga, kompetensi keluarga, dan efikasi diri keluarga pasien gagal jantung.

5.1 Karakteristik Respoden

Karakteristik responden dalam penelitian ini dibedakan berdasarkan

umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan jenis kunjungan pasien asma.

Data akan disajikan dalam table distribusi sesuai dengan skala pengukuran yang

dilakukan pada setiap karakterik responden. Tabel 5.1 dan 5.2 akan menyajikan

karakteristik responden dalam penelitian ini.

Tabel 5.1 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur (tahun)

Umur Responden Rerata (s.b) IK 95%

(tahun)
Perlakuan 38,77 (16,249) 28,95-48,59
Kontrol 48,27 (11,244) 40,72-55,83

Dari table 5.1 didapatkan data bahwa umur responden dalam penelitian

ini rata-rata adalah 38,77 tahun pada kelompok perlakuan dan 48,27 tahun pada

kelompok kontrol.

Tabel 5.2 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis

Kelamin,Pendidikan, Pekerjaan, dan Jenis Kunjungan

Karakteristik Perlakuan Kontrol


%
Jenis Kelamin N n
Laki 3 3 25
Perempuan 9 9 75
Pendidikan
SD 2 1 12,5
SMP 4 1 20,8
SMA 4 8 50
PT 2 2 16,7
Pekerjaan
Bekerja 2 7 37,5
Tidak Bekerja 10 5 62,5
Pernikahan
Menikah 10 12 91,7
Belum Menikah 2 0 8,3
Hubungan dengan pasien
Pasangan 4 4 33,3
Anak 7 5 50
Saudara 1 1 8,3
Menantu 1 4,2
Orang Tua 1 4,2
Jumlah 12 12 100

Dari tabel 5.2 didapatkan data bahwa bahwa responden dalam penelitian

ini sebagian besar berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 18 orang (75%)

dan laki-laki sebanyak 6 orang (25%).

Karakteristik responden menurut pendidikan dalam penelitian ini sebagian

besar berpendidikan SMA yaitu sebanyak 12 orang (50%) dan paling sedikit

berpendidikan SD yaitu sebanyak 3 orang (12,5)

Karakteristik responden menurut status pekerjaan dalam penelitian ini

sebagian besar responden berstatus tidak bekerja yaitu sebanyak 15 orang

(62,5%) dan berstatus masih bekerja yaitu sebanyak 9 orang (37,5)

Karakteristik responden menurut status pernikahan dalam penelitian ini

sebagian besar responden berstatus menikah yaitu sebanyak 22 orang (91,7%)

dan berstatus belum menikah yaitu sebanyak 2 orang (8,3%)

Karakteristik responden menurut status hubungan responden dengan

pasien dalam penelitian ini sebagian besar adalah anak pasien yaitu sebanyak

12 orang (50%) dan paling sedikit adalah menantu pasien dan orang tua pasien

masing-masing sebanyak 1 orang (4,2%)

5.2 Nilai Dukungan Keluarga

Hasil pengisian kuesioner dukungan keluarga disajikan pada tabel

terbuka dengan terlebih dahulu melakukan uji normalitas sebaran data. Tabel 5.3
akan menyajikan normalitas distribusi data yang akan dilanjutkan dengan tabel

5.4 yang menyajikan nilai kepuasan pasien.

Tabel 5.3 Uji Normalitas Distribusi Data

p- value
Dukungan Keluarga
Perlakuan Kontrol
Dukungan Advokasi 0,395 0,384
Dukungan Pengetahuan 0,246 0,986
Dukungan Kompetensi 0,823 0,896
Dukungan Efikasi 0,787 0,660
Total 0,152 0,212

Dari tabel 5.3 didapatkan bahwa nilai p-Value pada semua sub item dan

total dukungan keluarga pada kedua kelompok > 0,05 yang artinya data

dukungan keluarga berdistribusi normal sehingga data yang akan ditampilkan

berupa rerata (mean) dan simpang baku (standar deviasi).

Tabel 5.4 Nilai Dukungan Keluarga

Perlakuan Kontrol
Dukungan Keluarga
Rerata (s.b) IK 95% Rerata (s.b) IK 95%
Dukungan Advokasi 32,92(4,870) 29,82-36,01 29,17(6,235) 25,20-33,13
Dukungan Pengetahuan 43,58(4,100) 40,98-46,19 31,92(6,788) 27,60-36,23
Dukungan Kompetensi 31,83(4,108) 29,22-34,44 23,50(7,243) 18,90-28,10
Dukungan Efikasi 24,83(3,326) 22,72-26,95 20,58(2,275) 19,14-22,03
133,17 123,51- 105,17 93,14-
Total
(15,201) 142,82 (18,930) 117,19

Dari table 5.4 didapatkan data bahwa nilai rerata dukungan keluarga pada

kelompok perlakuan lebih tinggi yaitu 133,17 dengan SD (123,51-142,82)

dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu 105,17 dengan SD (93,14-117,19).


5.3 Uji Beda Dukungan Keluarga Kelompok Perlakuan dan Kelompok

Kontrol

Uji beda nilai dukungan keluarga dilakukan dengan membandingkan

rerata dukungan keluarga menggunakan uji beda Independen T Test karena data

berdistribusi normal. Perbedaan nilai dukungan keluarga akan ditampilkan dalam

tabel 5.5

Tabel 5.5 Hasil Independent T Test Dukungan Keluarga

Perbedaan

Variabel Rerata (s.b) Nilai p Rerata

(IK 95%)
Dukungan Advokasi
Perlakuan 32,92(4,870)
0,115 3,750
Kontrol 29,17(6,235)
Dukungan Pengetahuan
Perlakuan 43,58(4,100)
0,000 11,667
Kontrol 31,92(6,788)
Dukungan Kompetensi
Perlakuan 31,83(4,108)
0,002 8,333
Kontrol 23,50(7,243)
Dukungan Efikasi
Perlakuan 24,83(3,326)
0,001 4,250
Kontrol 20,58(2,275)
Total Dukungan Keluarga
Perlakuan 133,17(15,201) 0,001 28,000
Kontrol 105,17(18,930)
Dari tabel 5.5 didapatkan dukungan keluarga pada sub item Dukungan

advokasi keluarga pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan memiliki

perbedaan rata-rata sebesar 3,750 dengan p-value 0,115 > α: 0,05, sehingga

dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang signifikan dukungan advokasi

keluarga pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

Dukungan pengetahuan keluarga pada kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan memiliki perbedaan rata-rata sebesar 11,667 dengan p-value 0,000 <

α: 0,05, sehingga dapat disimpulkan terdapat perbedaan yang signifikan


dukungan pengetahuan keluarga pada kelompok perlakuan dan kelompok

kontrol.

Dukungan kompetensi keluarga pada kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan memiliki perbedaan rata-rata sebesar 8,333 dengan p-value 0,002 < α:

0,05, sehingga dapat disimpulkan terdapat perbedaan yang signifikan dukungan

kompetensi keluarga pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

Dukungan Efikasi keluarga pada kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan memiliki perbedaan rata-rata sebesar 4,250 dengan p-value 0,001 < α:

0,05, sehingga dapat disimpulkan terdapat perbedaan yang signifikan dukungan

efikasi keluarga pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

Secara keseluruhan dukungan keluarga pada kelompok kontrol dan

kelompok perlakuan memiliki perbedaan rata-rata sebesar 28,000 dengan p-

value 0,001 < α: 0,05, sehingga dapat disimpulkan terdapat perbedaan yang

signifikan dukungan keluarga pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Pembahasan Hasil Penelitian

Congestif Heart Failure (CHF) atau gagal jantung merupakan salah satu d

iagnosis kardiovaskuler yang paling cepat meningkat jumlahnya dan menjadi pen
yebab kematian nomer satu di Indonesia. Munculnya berbagai gejala klinis pada

pasien gagal jantung tersebut akan menimbulkan masalah keperawatan dan men

gganggu kebutuhan dasar manusia sehingga pasien memerlukan bantuan keluar

ga dalam perawatan sehari-hari (Fachrunnisa, Sofiana & Arneliwati, 2015).

Pasien CHF akan mendapatkan terapi yang diberikan dirumah. Salah sat

u faktor pendukung keberhasilan suatu terapi adalah keterlibatan klien dan keluar

ga pada proses terapi (Brunner & Suddarth, 2009). Peran keluarga sangat pentin

g dalam tahap perawatan kesehatan, mulai dari tahapan peningkatan kesehatan,

pencegahan, pengobatan, sampai dengan rehabilitasi (Damawiyah, 2015). Kelua

rga berperan dalam menentukan cara atau asuhan yang diperlukan pasien di ru

mah. Peran serta keluarga sejak awal asuhan di rumah sakit akan meningkatkan

kemampuan keluarga merawat pasien di rumah (Hardiyanti, Usman & Yusuf, 201

5).

Diperlukan perencanaan pulang atau discharge planning bagi keluarga (G

illiss & Davis, 1993 dalam Friedman, 2010). Pemberian discharge planning pada

pasien CHF yang dimaksud adalah sejak pasien baru masuk, menjalani perawat

an dan persiapan kembali ke rumah, dimana kemampuan pasien dan keluarga d

alam menanggulangi penyakitnya berpotensi mengurangi length of stay, resiko k

eparahan (severity) dan resiko dirawat kembali ke rumah sakit (readmission) dala

m rentan waktu 30 hari setelah dirawat di Rumah Sakit (Ong et al., 2016).

Dalam penelitian ini telah diterapkan model IDEAL discharge palnning dal

am perawatan pasien sehingga diharapakan dapat lebih meningkatkan peran pa

sien dan keluarga dalam proses discharge planning. Berikut interpretasi hasil pen

elitian dijelaskan sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu mengetahui perbedaan f

amily empowerment pada pasien gagal jantung yang dilakukan perencanaan mo


del IDEAL dengan model standar di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit TK.II dr. So

epraoen Malang.

6.1.1 Family empowerment pada pasien gagal jantung yang dilakukan dischar

ge planning model IDEAL pada kelompok perlakuan.

Pada penelitian ini didapatkan hasil nilai family empowerment pada

kelompok perlakuan yang dilakukan discharge planning model ideal adalah

133,17. Nilai family empowerment penelitian ini dapat dipengaruhi oleh beberapa

hal atau beberapa faktor. Caregiver Empowerment Model (CEM) dalam teorinya

mengatakan bahwa terdapat beberapa variabel atau faktor yang dapat

mempengaruhi pemberdayaan keluarga yaitu cargiving demant (tujuan

pengasuhan), resources (sumber daya), filial value (nilai dasar), backround (latar

belakang), appraisal (penilaian), caregiver outcome (hasil pengasuhan). Variabel-

variabel tersebut dapat di tingkatkan dan dipengaruhi oleh beberapa hal terutama

pada variabel reources (sumber daya) dimana salah satu sumber keluarga

mempunyai nilai empowerment yang baik adalah dengan sumber daya keluarga

yang baik pula, selain itu terdapat filial value atau nilai dasar keluarga yang

didalamnya terdapat kemampuan merawat keluarga yang sakit, rasa

bertanggung jawab, efikasi diri dan sebagainya.

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi sumber daya keluarga dan

nilai dasar keluarga adalah pengetahuan. Menurut Azwar (2011)

mengungkapkan bahwa semakin banyak pengalaman hidup yang akan

didapatkan oleh seseorang. Maka pengalaman tersebut dapat mempengaruhi

pengetahuan dan sikap seseorang dengan tidak adanya pengalaman sama

sekali, seseorang akan cenderung memiliki pengetahuan yang kurang dan sikap
yang negatif. Pengetahuan keluarga dapat ditingkatkan melalui beberapa hal

salah satunya dengan dilakukannya disharge planning. Discharge planning

(discharge planning) adalah bagian penting dalam program keperawatan yang

bersifat dinamis agar tim kesehatan mendapatkan kesempatan yang cukup untuk

menyiapkan pasien melakukan perawatan mandiri di rumah, dan menjamin

kontinuitas perawatan yang baik (Nursalam, 2016).

Sedangkan tujuan dari discharge planning yang efektif di rumah sakit

adalah mengurangi hari perawatan dan mengurangi resiko kekambuhan setelah

pulang meningkatkan kemajuan pasien, membantu pasien untuk mencapai

kualitas hidup optimum. Program discharge planning yang diberikan sejak pasien

masuk rumah sakit dapat meningkatkan perkembang kondisi kesehatan dan

membantu pasien mencapai kualitas hidup optimum sebelum dipulangkan.

Ketidak tahuan atau ketidak mampuan pasien dan keluarga menangani cara

perawatan dirumah berdampak pada masalah kesehatan pasien. (Lin et al.,

2012).

Menurut (Johns Hopkins University, 2014) discharge planning yang efektif

dan berkualitas terdiri dari tiga hal mendasar yang harus diperhatikan. Hal

pertama adalah discharge planning harus mampu memberikan pendidikan

kepada pasien dan keluarganya tentang penyakit, perawatan, dan pendidikan

kesehatan lainnya, yang kedua adalah memberikan dukungan pada perawatan

setelah pasien pulang serta yang ketiga adalah mampu mengkoordinir berbagai

profesi pemberi layanan kesehatan. Sedangkan dalam penelitian Rofi’i (2011)

faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan discharge planning yang efektif

adalah personil discharge planning, keterlibatan dan partisipasi pasien dan


keluarga dalam discharge planning, komunikasi, waktu, perjanjian dan

konsensus.

Sehingga dari beberapa pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan

bahwa discharge planning yang efektif dan berkualitas adalah discharge

planning yang dapat memberikan pendidikan kepada pasien dan keluarganya

tentang penyakitnya, perawatannya dan sebagainya, dapat memberikan

dukungan, dapat menkoordinir berbagai profesi pemberi pelayanan, keterlibatan

dan partisipasi dari pasien dan keluarga, posonil/individual, komunikasi, waktu

dan sebagainya. Ciri dari disharge planning yang efektif dan berkualitas tersebut

salah satunya terdapat pada disharge planning model IDEAL dimana discharge

planning tersebut merupakan intervensi yang dilakukan dalam penelitian ini.

Nilai family empowerment pada kelompok perlakuan yang tinggi

kemungkinan dapat dipengaruhi oleh disharge planning model IDEAL yang

dilakukan peneliti. Discharge planning model IDEAL adalah sebuah strategi

perencanaan pulang pasien yang terdiri dari Include, Discuss, Educate, Asess,

dan Listen. Keterlibatan pasien merupakan salah satu faktor/hal dasar yang

dapat mempengaruhi discgre planning efektif, keterlibatan pasien juga diterapkan

pada discharge planning model IDEAL, dimana dalam discharge planning model

IDEAL melibatkan pasien dan keluarga sebagai mitra penuh dalam proses

disharge planning. Selain itu komunikasi juga merupakan hal mendasar

dikatakan discharge planning efektif, pada model IDEAL komunikasi antara

pemberi discharge planning dan penerima discharge planning (pasien dan

keluarga) merupakan hal yang penting, salah satu elemen model IDEAL adalah

discuss dimana dilakukan diskusi antara pemberi discharge planning dan


penerima discharge planning (pasien dan keluarga), dalam model IDEAL ada

juga elemen Listen dimana perawat dan sebagainya harus menghormati,

mendegarkan pendapat dan penilaian keluarga sehingga diharapkan komunikasi

dapat meningkat dan discharge planning dapat efektif.

Selain itu pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan mendasar

pada discharge planning yang efektif, karena pendidikan kesehatan atau promosi

kesehatan dirancang dengan tujuan akhir adalah masyarakat mampu

memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri. Hal ini sejalan dengan

Undang-Undang Kesehatan No 23 tahun 1992 yaitu meningkatkan kemampuan

masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan baik fisik,

mental, dan sosialnya sehingga produktif secara ekonomi dan sosial. Selain itu

juga bertujuan untuk menciptakan suatu keadaan, yakni perilaku dan lingkungan

yang kondusif bagi kesehatan (Nesi Novita, 2013). Pendidikan kesehatan juga

dilakukan pada model IDEAL ini, dimana pemberi discharge planning setelah

melakukan pengkajian, berdiskusi dengan penerima discharge planning

sekaligus membuat perencanaan secara bersama setelah itu dilakukan tidakan

salah satunya adalah pendidikan/educate dimana educate dapat berupa

pendidikan tentang penyakit pasien, cara perawatan, pengobatan, diet, aktivitas

dan sebagainya yang tentunya juga melibatkan keluarga dan pasien didalamnya.

Selain itu terdapat asses atau menganalisa kembali hal-hal yang telah dilakukan

sehingga dapat mengevaluasi apakah discharge planning berjalan dengan baik.

Dari hal tersebut kemungkinan besar nilai yang cukup tinggi pada

pemberdayaan keluarga juga dipengaruhi oleh ppemberian intervensi discharge

planning model IDEAL yang dilakukan oleh peneliti.


6.1.2 Family empowerment pada pasien gagal jantung yang dilakukan dischar

ge planning model standar pada kelompok kontrol.

Sesuai hasil penelitian, dukungan advokasi keluarga pada kelompok k

ontrol dan kelompok perlakuan memiliki perbedaan rata-rata sebesar 3,750 de

ngan p-value 0,115 > α: 0,05, sehingga dapat disimpulkan tidak ada perbedaa

n yang signifikan dukungan advokasi keluarga pada kelompok perlakuan dan

kelompok kontrol. (Iskandar, Rahmayani, 2018) Advokasi merupakan tindakan

untuk melakukan dukungan dan perlindungan kepada pasien yang meliputi inf

ormasi dan keputusan pasien untuk keselamatan pribadi dan sebagai prinsip fi

losofis yaitu sebagai pelindung otonomi pasien, bertindak atas nama pasien, d

an mempromosikan keadilan sosial dalam perawatan kesehatan. (Hadi, 2016)

Advokasi di bidang kesehatan sangatlah penting. Rendahnya alokasi, kurangn

ya sarana dan prasarana, hingga minimnya kebijakan yang berpihak pada me

reka yang lemah dan rentan terhadap masalah kesehatan menjadi fenomena

yang sering dijumpai di lapangan.

Prinsip advokasi meliputi; realita, sistematis, taktis, strategis dan berani

Dukungan advokasi keluarga pada pasien gagal jantung yang diberikan disch

arge planning standar maupun model IDEAL tidak berbeda secara signifikan,

hal ini disebabkan karena keluarga pasien tidak memahami beberapa prinsip

advokasi. Keterbatasan informasi tentang pengelolaan pasien gagal jantung m

enjauhkan keluarga dari realita bahwa pasien dan keluraga berhak mengambil

keputusan dalam setiap langkah pengobatan. Faktor lain yang mempengaruhi

dukungan advokasi keluarga adalah kurangnya informasi tentang hak dan ke

wajiban pasien, hal ini menyebabkan keluarga tidak mampu berpikir secara si
stematis, taktis dan strategis dalam membantu pengambilan keputusan serta

mempertahankan otonomi pasien. Beberapa hal tersebut banyak berpengar

uh terhadap keberanian keluarga dalam memberikan dukungan advokasi (Uta

mi, 2015).

Dukungan pengetahuan keluarga pada kelompok kontrol dan

kelompok perlakuan memiliki perbedaan rata-rata sebesar 11,667 dengan p-

value 0,000 < α: 0,05, sehingga dapat disimpulkan terdapat perbedaan yang

signifikan dukungan pengetahuan keluarga pada kelompok perlakuan dan

kelompok kontrol. Pemberian discharge planning standar kurang dapat

meningkatkan dukungan pengetahuan keluarga dalam perawatan pasien

gagal jantung, hal ini dikarenakan informasi yang diberikan tidak konsisten,

tidak berkelanjutan dan tidak cukup memfasilitasi tanya jawab dengan

keluarga pasien, sehingga keluarga pasien kurang dapat memahami secara

mendalam dan kurang mendapatkan kesempatan untuk bertanya serta diskusi

tentang segala hal yang terkait dalam pengelolaan pasien gagal jantung.

Hasil penelitian Herlinda (2017), pemberian discharge planning yang

terstruktur menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan keluarga dalam

merawat pasien gagal jantung. Penelitian Agustin (2017), mengatakan

discharge planning berpengaruh terhadap pengetahuan paparan informasi

terkait cara merawat pasien gagal jantung di rumah pasca hospitalisasi secara

lengkap dan terperinci. Hal yang belum diketahui keluarga dijelaskan secara

rinci saat discharge planning berlangsung, selain itu keluarga aktif bertanya

kepada peneliti dan memperhatikan saat dijelaskan. Menurut Thomas (2018),

mengatakan discharge planning memberikan dampak positif pada pasien


gagal jantung dan keluarga, membantu meningkatkan pengetahuan sehingga

mengurangi rawat inap ulang di rumah sakit atau rehospitalisasi.

Dukungan kompetensi keluarga pada kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan memiliki perbedaan rata-rata sebesar 8,333 dengan p-value 0,002

< α: 0,05, sehingga dapat disimpulkan terdapat perbedaan yang signifikan

dukungan kompetensi keluarga pada kelompok perlakuan dan kelompok

kontrol. Dukungan kempetensi keluarga merupakan kemampuan khusus

dalam merawat pasien dengan gagal jantung yang dimiliki oleh keluarga

diperoleh dari pengetahuan mereka. Dukungan keluarga hendaknya tidak

memberikan bantuan atau pendampingan yang bersifat Charity yang akan

menjadikan ketergantungan dan melemahkan, melainkan bantuan,

pendampingan, dan atau pelatihan yang mempromosikanm Self reliance dan

meinigkatakan kapasitas keluarga. Pemberian discharge planning strandar

kurang dapat meningkatkan dukungan kompetensi keluarga dalam merawat

pasien dengan gagal jantung. Hal ini dikarenkan pemberian discharge

planning strandar hanya edukasi yang searah sehingga keluarga tidak

mendapatkan kesempatan untuk berdiskus mengenai kemampuan merawat

pasien dengan gagal jantung, sehingga skill/kompetensi dalam merawat

pasien dengan gagal jantung masih kurang.

Hasil penelitian Nurul (2016), menujukkan terdapat peningkatan

dukungan informasional yang bermakna setelah dilakukan discharge planning

berbasis yang berbasis teknologi. Hal ini dikarenakan peneliti sering

melakukan diskusi dengan keluarga sehingga dapat meningkatkan

pengetahun, sikap dan ketrampilan keluarga dalam merawat pasien stroke

iskemik. Menurut Rahmi (2011) pemberian discharge planning berbasis


tertruktur memiliki peluang lebih besar terhadap perubahan ke arah kualitas

hidup yang lebih baik dibandingkan tanpa dilakukan discharge planning.

Dukungan kompetensi merupakan cara bagaimana keluarga dapat

memahami mencari pertolongan kepada tim kesehatan ketika merasa pasien

gagal jantung mengalami permasalahan sehingga keluarga yakin

mendapatkan informasi yang dibutuhkan (Enope, 2014).

Dukungan Efikasi keluarga pada kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan memiliki perbedaan rata-rata sebesar 4,250 dengan p-value 0,001

< α: 0,05, sehingga dapat disimpulkan terdapat perbedaan yang signifikan

dukungan efikasi keluarga pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

Pemberian discharge planning strandar kurang dapat meningkatkan kurang

dapat meningkatkan dukungan efikasi keluarga. Hal ini dikarenakan keluarga

kurang beradaptasi dengan kondisi pasien gagal jantung, keluarga tidak

mendapatkan kesempatan untuk berdiskusi dan mengungkapkan pendaptnya

mengenai perawatan pada pasien gagal jantung kepada tenaga kesehatan.

Meningkatkan partisipasi menjadika keluarga dapat meningkat kapasitasnya

dan mampu mengambil kontrol penuh, pengambilan keputusan penuh, dan

tanggungjawab penuh untuk melakukan perawatan pasien gagal jantung.

Hasil penelitian Ari Wahyuni (2015), membuktikan bahwa adanya

peningkatan efikasi diri pada kelompok yang diberikan intervensi edukasi

dibandingkan dengan kelompok kontrol sebelum maupun sesudah edukasi

kesehatan selama tiga kali pasien dirawat. Sehingga discharge planning yang

terstruktur membuktikan adanya peningkatan efikasi diri untuk melakukan

perubahan perilaku. discharge planning memerlukan partisipasi aktif dari

pasien dan keluarga untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Salah satu
faktor yang mempengaruhi efikasi yaitu pengetahuan, dimana pengetahuan

yang tinggi akan meningkatkan efikasi diri (Wantiyah, 2010). Ari Wahyuni

(2015) mengatakan bahwa efikasi diri dibentuk dengan memupuk

pengetahuan sebanyak mungkin tentang penyakit gagal jantung melalui

edukasi kesehatan dan diberikan tidak hanya satu kali namun terstruktur.

6.1.3 Analisis perbedaan family empowerment pada pasien gagal jantung yan

g dilakukan perencanaan model IDEAL dengan model standar di ruang r

awat inap Rumah Sakit dr. Supraoen Malang.

Optimalisasi pendekatan pemberdayaan keluarga dapat tergantung dari a

danya suatu model yang akan dijadikan pedoman dan rujukan saat melakuka

n pelayanan keperawatan. Suatu model akan berdampak positif dan baik bila

dikembangkan berdasarkan kebutuhan pemberi dan pengguna pelayanan kes

ehatan (Nurhaeni et al, 2011). Penelitian ini menggunakan pendekatan pelaks

anaan discharge planing model IDEAL yang ditekankan pada aspek, sebagai

berikut:

6) Include the patient and family as full partners in the discharge planning

process (libatkan pasien dan keluarga sebagai mitra penuh dalam proses

perencanaan kepulangan). Perencanaan pulang bukan kegiatan sesaat,

tetapi merupakan proses yang berlangsung selama pasien menjalani

perawatan di rumah sakit. Petugas klinis harus mengidentifikasi dari awal

anggota keluarga yang akan menemani dan merawat pasien selama di

rumah dan melibatkan mereka dalam komunikasi. Hal ini sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Gibson (1991), yang mengatakan bahwa

dengan menempatkan keluarga sebagai mitra dalam merawat pasien


selama hospitalisasi dapat meningkatkan kemampuan keluarga dalam

memenuhi kebutuhan, menyelesaikan masalah, dan menggunakan sumber-

sumber yang tepat dalam memenuhi kebutuhan kesehatan. Selain itu hal ini

juga sejalan dengan penelitian Rodwell (1996), yang menjelaskan bahwa

pemberdayaan keluarga sebagai suatu proses untuk memampukan individu

melalui keterlibatan maupun mengikutsertakan, sehingga individu tersebut

memiliki kesempatan untuk pandai.

7) Discuss with the patient and family five key areas to prevent problems at

home (Diskusikan dengan pasien dan keluarga lima area utama untuk

mencegah masalah di rumah):

 Menjelaskan hidup yang sehat di rumah bagi penderita gagal jantung

 Mengecek kembali pengobatan yang dilakukan (review)

 Menjelaskan tanda dan gejala yang menjadi perhatian dan masalah

yang kemungkinan muncul

 Menjelaskan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan

 Membuat janji untuk kontrol rutin kesehatan

Hal ini sesuai dengan penelitian Morais et al (2009), yang menyatakan

bahwa edukasi yang dilaksanakan menggunakan unsur komunikasi dan

membina hubungan terapeutik dengan menonjolkan diskusi dua arah adalah

kunci dalam memberikan asuhan keperawatan.

8) Educate the patient and family in plain language about the patient’s

condition, the discharge process, and next steps at every opportunity

throughout the hospital stay (Mendidik pasien dan keluarga dalam bahasa

sederhana tentang kondisi pasien, proses pemulangan, dan langkah


selanjutnya di setiap kesempatan selama tinggal di rumah sakit). Informasi

yang diberikan tentang penyakit dan mangemen lanjutan dapat

membosankan dan melelahkan bagi pasien dan keluarga jika diberikan

sekaligus pada saat pemulangan, sehingga sering sekali terjadi kegagalan

dalam pemahaman dan pelaksanaan instruksi yang disampaikan. Proses

edukasi harus menjadi kegiatan yang berkesinambungan selama pasien

menjalani perawatan. Selama pasien menjalani perawatan, hal-hal yang

dapat dilakukan petugas antara lain:

 Dorong pasien dan keluarga untuk menyampaikan harapannya menjalani

perawatan, catat kemajuan yang dialami setiap hari

 Bagikan daftar obat-obatan tertulis setiap pagi

 Periksalah dan jelaskan tentang obat setiap pemberian: untuk apa obat

yang diberikan, bagaimana meminumnya, dan kemungkinan efek

samping yang dapat terjadi.

 Dorong partisipasi aktif pasien dan keluarga pada setiap tindakan yang

dilakukan sehingga mereka memiliki kemampuan dan kepercayaan diri

untuk perawatan pasien gagal jantung pada saat meninggalkan rumah

sakit.

Hal ini sesuai dengan penelitian Wong et al (2006) yang menjelaskan

bahwa pendekatan berfokus pada keluarga sangat penting untuk

meningkatkan kompetensi keluarga pasien dan memberikan pendidikan

yang berkesinambungan merupakan sesuatu yang fundamental dalam

memampukan keluarga pasien.

9) Assess how well doctors and nurses explain the diagnosis, condition, and

nextsteps in the patient’s care to the patient and family and use teach back
(Menilai seberapa baik dokter dan perawat menjelaskan diagnosis, kondisi,

dan langkah selanjutnya dalam perawatan pasien kepada pasien dan

keluarga dan mengulang kembali hal yang tidak jelas). Menyediakan

informasi kepada pasien dan keluarga secara bertahap dan mengulanginya

selama mereka di rumah sakit. Meminta pasien dan keluarga untuk

mengulangi penjelasan yang diberikan dengan bahasa mereka sendiri untuk

memastikan bahwa mereka memahami apa yang telah dijelaskan.

Hal ini sesuai dengan penelitian Rustina et al (2014), yang menyatakan

bahwa proses pendidikan kesehatan dan pendampingan yang dilakukan

secara berulang-ulang merupakan strategi untuk memampukan anggota

keluarga untuk merawat pasien.

10) Listen to and honor the patient and family’s goals, preferences,

observations, and concerns (Dengarkan dan hormati tujuan, pengetahuan,

penilaian, dan keprihatinan pasien dan keluarga). Berikan kesempatan

kepada pasien dan keluarga untuk menuliskan pertanyaan kepada petugas

sehingga mereka dapat menyampaikan setiap saat pada waktu yang mereka

anggap memungkinkan.

6.2 Implikasi Keperawatan

Implikasi keperawatan dalam penelitian ini dimaksudkan agar perawat me

mberikan edukasi dalam hal ini discharge planning diberikan secara terstruktur k
epada pasien dan keluarga sedini mungkin saat masuk rumah sakit dan menjadik

an sebagai intervensi keperawatan dan memodifikasi sistem pendidikan kesehat

an.

Perawat sebagai petugas kesehatan mempunyai waktu terbanyak bersam

a/bertemu dengan pasien dan keluarga dalam memberikan asuhan keperawatan,

sehingga perawat merupakan petugas kesehatan yang dimungkinkan dapat

memahami kebutuhan-kebutuhan pasien dan keluarga termasuk kebutuhan

edukasi/pengetahuan. Selain itu perawat merupakan petugas kesehatan yang

sering bertemu dengan petugas-petugas kesehatan lainya seperti dokter, ahli

gizi, apoteker dan sebagainya untuk melakukan asuhan keperawatan, sehingga

perawat dimungkinkan dapat melakukan koordinasi terintegrasi dalam melakukan

asuhan keperawatan salah satunya dengan discharge planning model IDEAL.

Perawat perlu memahami kebutuhan pasien terhadap edukasi, untuk men

getahui kebutuhan pasien terhadap edukasi, maka perlu dilakukan pengkajian a

wal mengenai edukasi apa saja yang dibutuhkan pasien. Setelah itu harus

dilakukan diskusi dalam penyusunan perencanaan pulang atau kebutuhan

edukasi baik disukusi dengan melibatkan pasien dan keluarga maupun diskusi

terintegrasi dengan tenaga kesehatan lainnya. Selanjutnya Informasi terstruktur

akan dipaparkan dalam discharge planning model IDEAL, hal ini membuktikan

bahwa proses discharge planning harus dilakukan secara terstruktur,

berkelanjutan, dan terintegrasi pada pasien dan keluarga, sehingga perawat

merupakan faktor terpenting dalam melakukan discharge planning model IDEAL.

Discharge planning model IDEAL yang dilakukan dalam penelitian ini terbukti dap

at meningkatkan pemberdayaan keluarga pasien gagal jantung dalam aspek pen

getahuan, efikasi dan kompetensi terutama pada aspek pengetahuan sehingga


diharapkan dengan adanya pemberdayaan keluarga yang baik dimungkinkan

akan berdampak pada keberlanjutan pengelolaan yang baik pada pasien gagal ja

ntung di rumah. Hal tersebut sejalan dengan penelitian oleh Rakhshan,

Kordshooli, & Ghadakpoor (2015) yang mengemukakan bahwa pemberdayaan

keluarga yang diterapkan dalam penelitiannya akan dapat meningkatkan lifestyle

atau pola hidup yang lebih baik pada pasien dengan gagal jantung.

Edukasi terstruktur dalam bentuk discharge planning model IDEAL dapat

diterapkan menjadi standar perawatan pasien gagal jantung, namun hal ini tidak

menutup kemungkinan menghadapi banyak kendala seperti terbentur dengan ke

sibukan perawat dan alasan keterbatasan lainnya. Dari hasil observasi di lapang

an, kesibukan ruangan dengan kegiatan pelayanan asuhan keperawatan baik ma

ndiri maupun kolaborasi serta dokumentasi dan administrasi pasien, dimana lebih

kearah peran kolaborasi daripada peran mandiri perawat.

6.3 Keterbatasan Penelitian

6.3.1 Seleksi awal

Proses pemilihan sampel terkendala dalam penegakan diagnosa medis,

dimana sampel terdiagnosa CHF sangat jarang dijumpai sebagai diagnosa tun

ggal, sehingga hasil akhir tidak dapat digeneralisasi sebagai hasil data pasien

CHF murni.

6.3.2 Instrumen Kuetioner

Discharge planning model IDEAL menggunakan kuetioner yang telah di

olah dan diuji validitasnya, namun demikian masih terdapat bahasa yang kura

ng dapat dimengerti oleh responden, meskipun telah diberikan penjelasan den


gan bahasa yang sederhana oleh peneliti namun hal ini tidak menutup kemun

gkinan akan mempengaruhi hasil data yang diperoleh.


BAB VII

PENUTUP

7.1 Kesimpulan

1. Family empowerment pada pasien gagal jantung yang dilakukan discharge

planning model IDEAL pada kelompok perlakuan adalah baik, dengan

sumber daya keluarga yang baik pula dimana nilai dasar keluarga yang

didalamnya terdapat kemampuan merawat keluarga yang sakit, rasa

tanggung jawab dan efikasi diri.

2. Family empowerment pada pasien gagal jantung yang dilakukan discharge

planning model standar pada kelompok kontrol kurang dapat meningkatkan

dukungan pengetahuan keluarga, karena informasi yang diberikan tidak

konsisten, tidak berkelanjutan dan tidak cukup memfasilitasi tanya jawab

dengan keluarga pasien sehingga keluarga pasien kurang dapat memahami

secara mendalam dan kurang mendapatkan kesempatan untuk bertanya

serta diskusi tentang segala hal yang terkait dalam pengelolaan pasien gagal

jantung

3. Terdapat perbedaan yang signifikan terhadap family empowerment pada

pasien gagal jantung yang dilakukan perencanaan model IDEAL dengan

model standar di ruang rawat inap Rumah Sakit dr. Soepraoen Malang

7.2 Saran

Family empowerment pada pasien gagal jantung yang dilakukan

discharge planning model IDEAL sangat tepat untuk diterapkan di rumah sakit

karena dengan dilakukan discharge planning model IDEAL pada fase awal
pasien yang diketahui dengan gagal jantung dimungkinkan dapat membantu

memahami kebutuhan pasien dan keluarga termasuk kebutuhan edukasi/

pengetahuan. Selain itu petugas kesehatan terutama perawat yang memahami

kebutuhan pasien dan sering bertemu dengan tenaga kesehatan lain seperti

dokter, ahli gizi, apoteker dan yang lainnya sehingga dapat melakukan

koordinasi dalam melakukan asuhan keperawatan. Discharge planning model

IDEAL yang dilakukan dalam penelitian ini terbukti meningkatkan pemberdayaan

keluarga pasien gagal jantung dalam aspek pengetahuan, efikasi dan

kompetensi terutama pada aspek pengetahuan sehingga diharapkan dengan

adanya pemberdayaan keluarga dengan baik dimungkinkan akan berdampak

pada keberlanjutan pengelolaan yang baik pada pasien gagal jantung di rumah.
DAFTAR PUSTAKA

Aria Wahyuni. 2015. Pemberdayaan dan Efikasi diri Pasien Penyakit Jantung
Koroner Melalui Edukasi Kesehatan Terstruktur. Jurnal Ipteks Terapan.
Volume 9 (28-39)

Azwar, S. (2011). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar

Clyde, W et al. 2017 ACC/AHA/HFSA Focused Update of the 2013 ACCF/AHA


Guideline for the Management of Heart Failure. American College of
Cardiology Foundation, the American Heart Association, Inc., and the Heart
Failure Society of America.

Colin,J et al. 2016.Optimising self-care support for people with heart failure and their
caregivers: development of the Rehabilitation Enablement in Chronic Heart
Failure (REACH-HF) intervention using intervention mapping. BMJ open
access.

Friedman, M. M. (2010). Keperawatan Keluarga. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.

Graves, K. N. (2007). Family Empowerment as a Mediator between Family-Centered


Systems of Care and Changes in Child Functioning: Identifying an Important
Mechanism of Change. Washington: Springer Science and Business Media.

Gibson CH. A. concept analysis of empowerment. J. Adv. Nurs. 1991; 16(3): 354-
361

Hadi Pratomo, 2016. Advokasi Konsep, Teknik dan Aplikasi di Bidang Kesehatan Ind
onesia, litbang.kemkes.go.id

Herlinda dkk, 2017. Pengaruh Pelaksanaan Discharge Planning Terhadap Pengetah


uan Keluarga Dalam Merawat Pasien Congestive Heart Failure di RSUD Dr. M
oewardi, eprint.ukh.ac.id

Hulme, P. A. (1999). Family Empowerment : A Nursing Intervention With Suggested


Outcomes for Famililies of Children with Chronic Health Condition. Journal of
Family Nursing , 1.

Iwan, A. (2014). Pemberdayaan Keluarga (Family Enpowerment) Sebagai Intervensi


Keperawatan Keluarga. Majalah Ilmiah Sultan Agung , Lii (133), 41.

Lin, C. J., Cheng, S. J., Shih, S. C., Chu, C. H., & Tjung, J. J. (2012). Discharge
Planning. International Journal Of Gerontology, 6(4), 237–240.
https://doi.org/10.1016/J.Ijge.2012.05.001

Morais GSN, Costa SFG, Fontes D, & Carneiro AD. Communication as a basic
instrument in providing humanized nursing care or the hospitalized patient.
Acta. Paul. Enferm. 2009; 22(3): 323-327

Nesi Novita, Y. F. (2013). Promosi Kesehatan dalam Pelayanan Kebidanan (Edisi I).
Jakarta: Salemba Medika.

Nurhaeni Nani, Heriandi Sutadi, Yeni Rustina, & Bambang Supriyatno.


Pemberdayaan keluarga pada anak balita pneumonia di Rumah Sakit:
persepsi perawat anak dan keluarga. Makara Kesehatan. Volume 15, No.2,
Desember 2011: 58-64.

Nursalam. (2016). Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik Keperawatan


Profesional. 5th ed Jakarta: Salemba Medika

Professor Debra L Roter, Patient and family empowerment as agents of ambulatory


care safety and quality, Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health,
Department of Health Behavior and Society, 624 N. Broadway, Baltimore, MD
21209, USA; Droter1@ jhu.edu, 2016

Ponikoswki, P. 2014. Heart failure: preventing disease and death worldwide. ESC
Heart failure Sanjaya, Wina. 2007. Strategi Pembelajaran. Jakarta : Kencana

Rachel et al, 2018. Educate, Nurture, Advise, Before Life Ends Comprehensive


Heartcare for Patients and Caregivers (ENABLE CHF-PC): study protocol for a
randomized controlled trial, http://link.springer.com/article/10.1186 (diakses7
maret 2020 pk.08.00)

Rakhshan, M., Kordshooli, K. R., & Ghadakpoor, S. (2015). Effects of Family-Center


Empowerment Model on the Lifestyle of Heart Failure Patients: A Randomized
Controlled Clinical Trial. International Journal of Community Based Nursing
and Midwifery, 3(4), 255–25562.

Rodwell CM. An analysis of the concept of empowerment. J. Adv. Nurs.1996; 23(2):


305-313

Rofi’I, M. (2011). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan


perencanaan pulang pada perawat di Rumah Sakit Islam Sultan Agung
Semarang. Jurnal Managemen Keperawatan . Volume 1, No. 2, November
2013; 89-94.

Sulastini dkk, Hubungan Family empowerment Dengan Pola Aktifitas Pada Pasien
Gagal Jantung Di Ruang Penyakit Dalam Kelas 3 Rsud Dr. Slamet Garut,
jurnal keperawatan aisyah, vol.5, no. 2, desember 2018

Shahram et al, 2017. The family centered empowerment program can relieve stress,
anxiety, and depression of heart failure patients’ family caregivers, World Famil
y Medicine/Middle East Journal of Family Medicine, Vol.15, Issue 10
Wahyuni, Rezkiki, 2017. Pemberdayaan dan Efikasi Diri Pasien Penyakit Jantung Ko
roner melalui Edukasi Kesehatan Terstruktur, ejournal.kopertis10.or.id

Wong SY, Lai AC, Martinson I, & Wong TKS. Effects of an education programme on
family participation of children with developmental disability. J. Intelect.
Disabil. 2006; 10(2): 165-189.

Anda mungkin juga menyukai