Anda di halaman 1dari 7

Analisis Pola Komunikasi Terapeutik Dokter Terhadap

Pasien Diabetes Melitus pada Proses Pengobatan dan


Edukasi Gaya Hidup
Ni Wayan Puspa Sawitri Ksamawati
Prodi Kedokteran Umum, Fakultas Kedokteran,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia
puspasawitri@gmail.student.uns.ac.id

Abstract. Diabetes is one of the most common diseases in Indonesia and even the world.
The most common type of diabetes is diabetes melitus, especially in type II. The
prevalence of diabetes melitus in Indonesia is dominated by the elderly. In dealing with
diabetic patients, education is one of the most important faktors. To carry out good
education, a doctor must have good communication skills. Communication between
patients and doctors is called therapeutic communication which aims to provide support
and information to patients. The importance of therapeutic communication in the
education process of diabetic patients makes the reason for this research. The technique of
collecting data is descriptive qualitative along with interviews with several patients and
doctors. Most patients feel more comfortable communicating with a friendly and polite
doctor. Communication proved able to educate patients because all respondents claimed
to have followed the doctor's recommendations. This research was conducted to advise
doctors about how to be a good communicator, especially for patients with diabetes
mellitus.

Keywords: diabetes mellitus, therapeutic communication, doctor, education

1. PENDAHULUAN

Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa diabetes merupakan salah satu penyakit yang
paling banyak di derita oleh masyarakat Indonesia bahkan dunia. Hal ini bisa dilihat dengan
adanya peningkatan jumlah penderita diabetes dari tahun ke tahun. Menurut hasil Riskesdas
tahun 2018 dinyatakan bahwa prevalensi penyakit diabetes pada penduduk ≥ 15 tahun meningkat
dari 6,9% pada tahun 2013 menjadi 8,5% pada tahun 2018. International Diabetes Federation
(2015), meyatakan bahwa Pada tahun 2015 menyebutkan sekitar 415 juta orang dewasa
memiliki diabetes, kenaikan 4 kali lipat dari 108 juta di tahun 1980an. Apabila tidak ada tindakan
pencegahan maka jumlah ini akan terus meningkat tanpa ada penurunan. Diperkirakan pada
tahun 2040 meningkat menjadi 642 juta penderita. Untuk proporsi usia penderita diabetes di
Indonesia meningkat seiring usia dengan jumlah terbesar pada usia ≥ 75 tahun (Kemenkes,
2014). Diabetes merupakan penyakit yag mematikan karena dapat menyebabkan komplikasi dan
angka kesakitan bukan hiperglikemi (Pernama, 2013). Terutama pada diabetes melitus yang
menyerang semua organ tubuh dan menimbulkan keluhan. Keluhan pada penderita DM
disebabkan oleh banyak hal diantaranya karakteristik individu meliputi jenis kelamin, umur,
tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan, jumlah anggota keluarga, riwayat penyakit dan
dapat dipengaruhi juga dengan faktor penanganan yang meliputi diet, aktivitas fisik, terapi obat,
dan pemantauan glukosa darah (Trisnawati, 2013).
Terdapat dua jenis diabetes melitus yaitu tipe I dan tipe II. Diabetes melitus tipe I ditandai
dengan kurangnya produksi insulin, sedangkan tipe II disebabkan oleh penggunaan insulin yang
tidak efektif oleh tubuh. Diabetes melitus tipe II adalah 90% dari jumlah total diabetes
(Kemenkes, 2014). Menurut Putra dan Berawi (20015), penatalaksanaan pasien diabetes melitus
dikenal 4 pilar penting dalam mengontrol perjalanan penyakit dan komplikasi. Empat pilar
tersebut adalah edukasi, terapi nutrisi, aktifitas fisik dan farmakologi. Edukasi yang diberikan
adalah pemahaman tentang perjalanan penyakit, pentingnya pengendalian penyakit, komplikasi
yang timbul dan resikonya, pentingnya intervensi obat dan pemantauan glukosa darah, cara
mengatasi hipoglikemia, perlunya latihan fisik yang teratur, dan cara mempergunakan fasilitas
kesehatan. Mendidik pasien bertujuan agar pasien dapat mengontrol gula darah, mengurangi
komplikasi dan meningkatkan kemampuan merawat diri sendiri. Dimana dalam memberikan
edukasi dubutuhkan komunikasi yang baik dan efektif. Secara statistik terdapat pengaruh yang
bermakna setelah pemberian komunikasi terapeutik terhadap sikap pasien dengan penyakit yang
diderita dan program pengobatan (Goldstein et al., 2004).
Menurut Widjaya (2006), komunikasi adalah suatu proses dimana seorang individu
menyampaikan perangsang (biasanya lambang-lambang dalam bentuk kata-kata) untuk
mengubah tingkah laku orang lain atau individu lain. Untuk itu harus ada kesepahaman arti
dalam proses penyampaian informasi tersebut agar tercapai komunikasi yang harmonis dan
efektif. Komunikasi interpersonal di dalam dunia kesehatan dikenal sebagai Komunikasi
Terapeutik. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi langsung yang dilakukan dokter dan
paramedis terhadap pasien untuk mengetahui keadaan dan tanggapan pasien saat diperiksa,
demikian juga pasien mengetahui perhatian yang diberikan oleh dokter dan tenaga paramedik.
Komunikasi dokter-pasien yang efektif adalah fungsi klinis sentral, dan komunikasi yang
dihasilkan antara perasaan dan seni kedokteran dalam pemberian perawatan kesehatan. Tujuan
utama komunikasi dokter-pasien saat ini adalah menciptakan hubungan interpersonal yang baik,
memfasilitasi pertukaran informasi, dan termasuk pasien dalam pengambilan keputusan.
Komunikasi dokter-pasien yang efektif ditentukan oleh sopan santun, yang mana pasien
menilai sebagai indikator utama dari kompetensi umum dokter mereka (Ha dan Nancy, 2010).
Karena komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam proses pengobatan pasien, oleh
kerena itu banyak halangan dan kendala bagi dokter dalam berkomunikasi dengan pasien. Salah
satunya adalah faktor usia pasien. Seperti yang telah dipaparkan sebeumnya di Indonesia sendiri
hampir sebagian besar pasien penderita diabetes melitus adalah mereka yang berusia lanjut. Oleh
karena itu tantangan dokter agar komunikasi berjalan efektif dua arah cukup besar. Dalam
menghadapi usia tua, proses komunikasi ini berlangsung tidak mudah karena banyaknya
penyesuaian yang harus dilakukan sejalan dengan penurunan kemampuan dalam menjalani hidup
sehari-hari (NIoH, 2012). Sehingga komunikasi terapeutik sangat dibutuhkan karena dapat
berfokus pada emosional dari pasien. Dengan memiliki keterampilan berkomunikasi terapeutik
yang baik, dokter ataupun tenaga medis lain akan lebih mudah menjalin hubungan saling percaya
dengan pasien, memberikan kepuasan profesional dalam pelayanan ke perawatan dan akan
meningkatkan profesi. (Sherko, Sotiri, dan Lika, 2013).
Melihat permasalahan tersebut, disini peneliti melakukan sebuah analisa mengenai pola
komunikasi terapeutik seperti apa yang paling efektif dalam penganan pasien diabetes melitus.
Penelitian ini bertujuan untuk menjadi referensi bagi para tenaga medis untuk kedepannya agar
dapat berkomunikasi. Adapun penulis akan memberikan gambaran dua arah dari pasien dan
dokter mengenai berkomunikasi yang seperti apa yang dirasanya nyaman dan berpengaruh dalam
proses pengobatan pasien serta edukasi perbaikan gaya hidup bagi pasien diabetes melitus.

2. METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode
deskriptif dipilih karena penelitian yang dilakukan adalah berkaitan dengan peristiwa-peristiwa
yang sedang berlangsung dan berkenaan dengan kondisi masa sekarang. Nazir (2011, hlm. 52)
menjelaskan metode deskriptif adalah satu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu
subjek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran atau pun kelas peristiwa pada masa sekarang.
Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara
sistematis serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Penelitian kualitatif metode penelitian
yang berlandaskan pada filsafat positifi, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang
alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adala sebagai instrument kunci,
pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowball, teknik penggabungan
dengan trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian
kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi (Sugiyono, 2015). Peniliti juga
melakukan wawancara kepada dua dokter beserta masing-masing pasien yang ditanganninya.
Selain itu untuk memperkuat data, peneliti juga melakukan wawancara pada pasien yang pernah
melakukan pengobatan pada sua dokter berbeda. Adapun pertanyaan yang diberikan seputar
komunikasi terpaeutik yang telah dijalani oleh narasumber.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan data wawancara yang telah dilakukan peneliti dari dua orang dokter yang
sudah sering menangani kasus diabetes, didapatkan hasil dan cara pandang mereka yang berbeda-
beda terhadap komunikasi terpaeutik pada pasien diabetes melitus. Walau pandangan mereka
sedikit berbeda, tetapi dokter A dan dokter B memiliki tujuan yang sama dalam berkomunikasi
yaitu kesembuhan pasien. Kedua dokter tersebut juga beranggapan bahwa komunikasi merupakan
hal yang sangat penting dalam proses penyembuhan pasien. Apalagi dalam konteks ini pasien
diabetes memerlukan pengobatan yang bukan hanya berasal dari obat yang diberikann dokter
namun juga merubah gaya hidup mereka agar tidak meningkatkan resiko penyakit. Menurt Putra
dan Barawi (2015) menyatakan bahwa, terdapat tujuan jangka panjang yang dapat dicapai dengan
memberikan edukasi antara lain : Penyandang diabetes dapat hidup lebih lama dan dalam
kebahagiaan, karena kualitas hidup sudah merupakan kebutuhan bagi seseorang, Membantu
penyandang diabetes agar mereka dapat merawat dirinya sendiri, sehingga komplikasi yang
mungkin timbul dapat dikurangi, selain itu juga jumlah hari sakit dapat ditekan, Meningkatkan
progresifitas penyandang diabetes sehingga dapat berfungsi dan berperan sebaik-baiknya di dalam
masyarakat. Begitu juga dengan dokter A dan dokter B yang peniliti wawancarai memiliki tujuan
agara pasien yang mereka tangani bisa hidup sehat.
Dalam melakukan komunikasi terapeutik terdapat beberapa tahapan dan unsur yang harus
dipahami. Komunikasi terapeutik sendiri Komunikasi terapeutik adalah komunikasi khusus yang
dilaksanakan oleh penyelenggara jasa kesehatan dalam hal ini adalah dokter dan tenaga kesehatan
lain yang direncanakan dan berfokus pada kesembuhan pasien. Hubungan antara dokter dan
pasien yang bersifat terapeutik ialah komunikasi yang dilakukan dengan tujuan memperbaiki
emosi pasien. Untuk menerapkan komunikasi terapeutik dokter harus mempunyai keterampilan
yang memadai dan memahami dirinya dengan baik. dengan harapan dokter dapat menghadapi,
mempersepsikan, bereaksi, dan menghargai keunikan pasien (Agnena, 2015). Adapun tahapan
tahapan dalam komunikasi terapeutik antara dokter dan pasien adalah yaitu fase pra interaksi, fase
orientasi, fase kerja dan fase terminasi (Stuart dan Sundeen, 1998). Dimana peniliti memfokuskan
wawancara pada fase kerja dari masing-masing dokter. Dari wawancara yang telah dilakukan
adaun kendala yang dihadapi dokter dalam berkomunikasi pada fase kerja, sebagian besar adalah
kendala pada usia pasien, bahasa, dan emosi pasien. Keinginan pasien yang harus dipenuhi untuk
membangun hubungan yang baik antara dokter dan pasien adalah merasa ada jalinan dengan
dokter dan mengetahui bahwa pasien memperoleh perhatian penuh dari dokter, mengetahui bahwa
dokter dapat fokus pada setiap tindakan pengobatan dan interaksinya, merasa rileks dan bebas dari
kekhawatiran pada suasana ruang praktek dan mengetahui bahwa dokternya dapat diandalkan.
Baik dokter A dan dokter B sudah memenuhi keinginan pasien, dimana dari tanggapan hasil
wawancara baik dokter A dan dokter B merupakan dokter yang cukup terkenal di daerah tersebut
sehingga pasien dapat mempercayai baik dokter A dan dokter B. Jalinan karena kepercayaan
antara dokter dan pasien juga terlihat dari bagaimana pasien mau mengiuti setiap anjuran yang
diberikan dokter kepadanya. Namun yang membedakkan antara dokter A dan dokter B adalah dari
sisi ketegasan, dimana dokter B dianggap lebih tegas dalam memberikan anjuran sedangkan dokter
A lebih ramah.
Baik dokter A dan dokter B memiliki caranya masing-masing dalam mengatasi kendala
yang mereka hadapi. Dokter A mengataka bahwa salah satu caranya dalam mengatasi kendala
berupa pasien yang tidak sabaran atau pasien yang cenderung memiliki emosi yang berubah-ubah
karena faktor usia adalah dengan membuat suasana tidak terlalu serius dengan memberi sedikit
humor. Dokter A juga menegaskan bahwa perasaan pasien adalah hal yang utama sehigga
memberikan waktu kepada pasien untuk mengutarakan perasaan maupun pendapatnya adalah hal
yang penting. Tidak jauh berbeda dari sudut pandang dokter A, dokter B juga menekankan pada
bagian empati yang harus dimiliki seorang dokter kepada psien sehingga pasien dapat lebih
nyaman dan menaruh kepercayaan kepada dokter, untuk mempermudah jalannya proses
pengobatan. Menurut Fourianalistyawati (2012) dari sudut pandang pasien, hubungan yang terjalin
akan meningkatkan kepercayaan dan komunikasi yang efektif. Dokter akan tanggap pada respon
pasien atas informasi yang disampaikannya. Pasien akan lebih terbuka dalam mendengar dan
belajar. Pertukaran pandangan yang sama akan mudah dikembangkan dan pasien lebih bersedia
untuk melakukan tindakan yang sesuai harapannya. Pasien menjadi lebih siap menerima tindakan
pengobatan dan akan menyarankan orang lain ke dokter yang memiliki hubungan baik dengannya.
Hubungan yang baik antara dokter dan pasien memang sangat dibutuhkan, mengingat pada saat
ini, pasien telah mengakui bahwa mereka bukan penerima pasif dan mampu menolak kekuasaan
dan otoritas yang diberikan dokter. Mereka dapat secara implisit dan eksplisit menolak monolog
transfer informasi dari dokter dengan secara aktif (Lee dan Garvin, 2003).

Adapun indikator keberhasilan yang dimiliki dokter A dan dokter B tidak jauh berbeda satu
sama lain. Dokter A mengatakan, komunikasi yang berhasil adalah keadaan dimana pasien
mengerti penyakitnya, mengerti apa yang harus mereka lakukan, dan mengetahui jenis obat yang
diperlukan. Di lain sisi dokter B mengataka komunikasi dikatakan berhasil jika saat pasien mau
menuruti anjuran apa yang dikatakan dokter. Jika melihat dari sudut pandang pasien baik pasien
yang ditangani dokter A dan dokter mengaku sudah mengikuti anjuran yang diberikan mengenai
penggunaan obat dan gaya hidup. Hal ini membuktikkan baik dokter A maupun dokter B sudah
mencapai indicator keberhasilan dalam berkomunikasi dengan pasien. Walau demikian masih ada
beberapa kekurangan yang dimiliki masing-masing dokter sesuai dengan sudut pandang pasien.
Menurut pasien yang ditangani dokter A kekurangan yang dimiliki dokter A adalah masih
seringnya beliau menggunakan istilah-istilah yang sulit dimengerti pasien. Sedangkan untuk
dokter B menurut pasien yang ditanganinya memiliki kekurangan yakni bersikap tegas dalam
memberi anjuran sehingga terkadang membuat pasien memiiki sedikit perasaan takut terhadap
dokter B. Dari segi pasien pun memiliki tanggapan yang berbeda-beda ada yang nyaman saat
diberi tindakkan tegas dan ada yag lebih menyukai cara halus dan ramah. Namun melihat
prespektif narasumber peneliti berkesimpulan bahwa berbicara ramah dan halus lebih baik karena
pasien akan merasa lebih nyaman. Hal ini sesuai dengan yang diutarakan Venus dan Nabilah
(2016) dalam jurnalnya, bahwa sebaiknya saat berinteraksi dengan pasien lanjut usia diusahakan
berbicara secara pelan dan jelas dengan bahasa yang sopan serta menggunakan nada suara yang
lembut. Komunikasi non verbal dapat disampaikan dengan beberapa cara yaitu ekspresi wajah,
sentuhan, dan bahasa isyarat.

Dari segi penanganan dan edukasi terhadap pasien diabetes melitus, naik dokter A dan
dokter B memiliki banyak kesamaan. Dimana mereka menekankan pada bagaimana cara
menyuntikkan insulin dengan benar, mengenai waktu konsumsi obat oral maupun injeksi insulin
yang harus dilakukan. Dari segi gaya hidup baik dokter A dan dokter B menekankan pada
kebiasaan healthy eating yag harus dilakukan pasien dengan cara mematuhi larangan makanan
berlemak. Yang membedakan prosedur yang digunakan dokter A dan dokter B adalah pada proses
monitoring. Dimana dokter A menekankan pada self-monitoring yang bisa dilakukan pasien
didampingi keluarga. Sedangkan dokter B menyarankan untuk sering melakukan monitoring
dengan cara check up rutin kepada dokter B. Menurut Haas (2009), ada beberapa hal yang harus
diajarkan dokter kepada psien diabetes dalam melakukan Self-Care Behavior dalam menangani
penyakitnya diantaranya adalah healthy eating, being active, monitoring, taking medication,
problem solving, healthy coping dan reducing risk. Dari sekin banyak poin tersebut baik dokter A
dan dokter B sudah menjelaskan kepada pasien tentang healthy eating dan taking medication.

Yang menarik mengenai edukasi yang diberikan baik dokter A dan dokter B dalam proses
pengobatan pasien diabetes adalah ikut mengedukasi keluarga pendamping pasien mengenai hal
apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Mengingat pasien kebanyakan sudah berusia lanjut,
keluarga merupakan tonggak keberhasilan dalan menunjang pengobatan pasien. Sehingga peniliti
rasa tindakan ini patut dicontoh dan dijaankan oleh dokter-dokter lain dalam menghadapi kasus
serupa. Pendidikan mengenai Self-Care diabetes dapat membantu penderita beserta keluarga
penderita diabetes dalam memperoleh pengetahuan tentang efek makanan pada glukosa darah,
sumber karbohidrat dan lemak, perencanaan makanan yang sesuai dan sumber daya untuk
membantu dalam membuat pilihan makanan. Keterampilan yang diajarkan termasuk membaca
label, merencanakan dan menyiapkan makanan, mengukur makanan untuk kontrol porsi,
pengendalian lemak dan menghitung karbohidrat. Sehingga dapat menurunkan resiko komplikasi
pada penderita diabetes.

Pada dasarnya komunikasi terapeutik antara dokter dan pasien diabetes melitus tidak
memiliki perbedaan yang besar. Sesuai dengan hasil wawancara dengan pasien C yang pernah
menjalani pengobatan di dua orang dokter yang berbeda menyatakan bahwa tidak ada perbedaan
signifikan antara dokter yang sebelumnya dengan dokter yang sekarang menanganinnya. Mungkin
ada perbedaan dari segi pembawaanya namun dari segi pengedukasian dan pengobatan sebagian
besar sama. Menurut pasien C dokter yang ramah dan sopan lebih mudah menanamkan
kepercayaan keada dirinya sehingga pasien C merasa lebih nyaman.

4. SIMPULAN
Setelah dilakukan analisis isi didapatkan hasil berupa pola komunikasi yang tidak jauh berbeda
antra dokter A dan dokter B. baik masing masing dokter telah menjalankan proses komunikasi
terpeutik, yakni komunikasi antara dokter dan pasien dalam mencapai kesembuhan. Dari hasil
wawancara yang telah dikaitkan dengan teori yang ada juga dapat disimpulkan bahwa komunikasi
terapeutik sangat penting dilakukan dan berpengaruh pada pasien. Pasien cenderung mau
mengikuti anjuran dokter karena komunikasi terapeutik yang dijaankan sudah efektif. Walau
demikian terdapat sedikit perbedaan antara dokter A dan dokter B yakni dari segi pembawaan.
Dokter B cenderung tegas dan dokter A cenderung lebih humoris. Menurut pengakuan pasien
mereka lebih nyaman saat melakukan pengobatan pada dokter yang ramah dan juga sopan. Dokter
sudah memberitahukan mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan bukan hanya pada pasien
namun juga pada keluarga yang mendapingi pasien. Dengan pengedukasian keluarga diharapkan
proses pengobatan pasien dapat terlaksana dengan baik mengingat sebagian besar penderita
diabetes melitus adalah pasien yang sudah berusia lanjut.

5. SARAN
Besar harapan kedepannya para dokter untuk mengedepankan proses komunukasi terapeutik,
karena dengana danya komunikasi akan mempermudah dokter membangun kepercayaan kepada
psien. Hendaknya dalam berkomunikasi dokter harus melihat target lawan bicara. Dalam kasus
penderita diabetes melitus yang kebanyakan adalah pasien berusia lanjut, dokter diharapkan dapat
memposisikan diri lebih ramah dan lembut, dokter juga harus menggunakan bahasa yang lugas
dan mudah dimengerti pasien. Saat proses pengobatan dan pengedukasian pasien diabetes melitus
ini duasahakan bukan hanya dilakukan pada asien namun juga pada keluarga pendamping. Hal ini
bertujuan untuk melancarkan proses pengobatan dan perbaikkan gaya hidup pasien diabetes
melitus. Karena seperti yang kita tahu bahwa penyakit diabetes adalah penyakit yang berkaitan
dengan gaya hidup seseorang, sehingga lingkungan sekitar sangat berpengaruh dalam proses
pengobatannya. Selain mengenai gaya hidup dan aturan konsumsi obat, penjelasan mengenai
resiko komplikasi yang terjadi juga hal yang penting disampaikan agar pasien lebih termotivasi
untuk memperbaiki gaya hidup mereka agar kesembuhan bisa tercapai.
6. DAFTAR PUSTAKA
Buku
H.A.W, Widjaja. (2005). Pengantar Studi Ilmu Komunikasi. Jakarta : Rineka Cipta.
International Diabetes Federation. 2015. IDF Diabetes Atlas 7th Edition. Brussels: International
Diabetes Federation.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. INFODATIN Waspada Diabetes: Eat Well Live
Well. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta:
Balitbang Kemenkes Ri
National Institute of Health (NIoH). (2012). Talking with your older patients. US: Department of
Health and Human Services.
Nazir.Mohammad,Ph.D.(2011). Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D).
Penerbit CV. Alfabeta: Bandung.
Stuart, G. W., dan Sundeen, JS. (1998). Keperawatan jiwa (Terjemahan), alih bahasa: Achir Yani
edisi III. Jakarta : EGC
Wijaya, dkk. (2006). Komunikasi Terapeutik. Bandung : Akademi Kesehatan Gigi Depkes RI

Jurnal
Agnena, Siti Aulia Kharisma. (2015). Analisa Komunikasi Terapeutik Dokter Dan Pasien Dalam
Meningkatkan Pelayanan Kesehatan Ibu Di Rumah Sakit Aisyiyah Samarinda. eJournal Ilmu
Komunikasi. 3(1). 155-171. Diakses dari https://ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id/site/wp
content/uploads/2015/03/EJOURNAL%20NEW%20(03-02-15-06-42-49).pdf
Fourianalistyawati, Endang. (2012). Komunikasi Yang Relevan Dan Efektif Antara Dokter dan
Pasien. Jurnal Psikogenesis. 1(1). 82-87. Diakses dari
http://academicjournal.yarsi.ac.id/index.php/Jurnal-Online-Psikogenesis/issue/view/2
Goldstein, D., Little, R., Lorenz, R., Malone, J., Nathan, D., Peterson, C., & Sacks, D. (2004).
Tests of Glycemia in Diabetes. Diabetes Care. 27(7). 1761-1773. doi:
10.2337/diacare.27.7.1761
Ha, J. F., & Longnecker, N. (2010). Doctor-patient communication: a review. The Ochsner
journal. 10(1). 38–43. Diakses dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3096184/pdf/i1524-5012-10-1-38.pdf
Haas, L., Maryniuk, M., Beck, J., Cox, C., Duker, P., & Edwards, L. et al. (2012). National
Standards for Diabetes Self-Management Education and Support. The Diabetes
Educator. 38(5). 619-629. doi: 10.1177/0145721712455997
Lee, R., & Garvin, T. (2003). Moving from information transfer to information exchange in health
and health care. Social Science & Medicine. 56(3). 449-464. doi: 10.1016/s0277-
9536(02)00045-x
Putra, I Wayan Ardana dan Khairun Nisa Berawi. (2015). Empat Pilar Penatalaksanaan Pasien
Diabetes Mellitus Tipe 2. Medical Jouranl of Lampung University. 4(9). 8-12. Diakses dari
http://repository.lppm.unila.ac.id/235/1/khairunnisa%20berawi3.pdf.
Sherko, E., Sotiri, E., and Lika, E. (2013). Therapeutic communication. JAHR- European Journal
of Bioethics. 4(7). 457-465. Diakses dari http://www.jahr-bioethics
journal.com/index.php/JAHR/article/view/102.
Trisnawati, S.K., Setyorogo, S. 2013. Faktor risiko Kejadian diabetes melitus tipe II di puskesmas
kecamatan cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5(1), pp. 6-11.
Diakses dari http://fmipa.umri.ac.id/wp-content/uploads/2016/06/YUNI-INDRI-FAKTOR-
RESIKO-DM.pdf.
Venus, Antar dan Dina Nabilah. (2016). Pengalaman Komunikasi Terapeutik Perawat Orang
Lanjut Usia. Jurnal Communicate. 1(2). 75-86. Diakses dari
https://media.neliti.com/media/publications/233662-pengalaman-komunikasi-terapeutik-
perawat-b7a075f2.pdf.

Anda mungkin juga menyukai