Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan konsep yang sering digunakan tetapi artinya sulit


dijelaskan. Kebanyakan sumber ilmiah sepakat bahwa definisi kesehatan apapun
yang harus mengandung paling tidak komponen biomedis, personal, dan
sosiokultural (Smet, 1994 dalam Maulana, 2009). Kesehatan merupakan totalitas
dari faktor lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan faktor keturunan yang
saling memperngaruhi satu sama lain. Lingkupan merupakan faktor terbesar
selain langsung mempengaruh kesehatan dan mempengaruhi perilaku, begitu
pula sebaliknya. Perilaku juga mempengaruhi lingkungan dan faktor-faktor yang
lain. Status kesehatan akan tercapai secara optimal jika keempat faktor secara
bersama-sama memiliki kondisi yang optimal. Perhatian masyarakat di era
modern mengenai kesehatan saat ini tidak hanya tertuju pada penderita penyakit
menular saja namun yang menjadi perhatian saat ini yaitu penyakit tidak menular
(PTM).
Hipertensi merupakan salah satu faktor penting sebagai pemicu Penyakit
Tidak Menular (Non Communicable Disease) seperti Penyakit Jantung, Stroke
dan lain-lain yang saat ini menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia
(Kementrian Kesehatan, 2015). Hipertensi dapat menimbulkan morbiditas atau
mortalitas dini, yang meningkat saat tekanan darah sistolik dan diastolik
meningkat. Peningkatan tekanan darah yang berkepanjangan dapat merusak
pembuluh darah di organ target seperti jantung, ginjal, otak dan mata (Smeltzer,
2017). Pada kebanyakan kasus, hipertensi tidak terdeteksi sehingga sering
disebut sebagai “silent killer”.
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan angka mortalitas dan
morbiditas yang sangat tinggi di dunia. Penyakit hipertensi telah menjadi
masalah utama dalam kesehatan masyarakat yang ada di Indonesia maupun di
beberapa negara yang ada di dunia. Menurut American Heart Association (AHA),

1
penduduk Amerika yang berusia diatas 20 tahun menderita hipertensi telah
mencapai angka hingga 74,5 juta jiwa, namun hampir sekitar 90-95% kasus tidak
diketahui penyebabnya (Kemenkes RI, 2014). Diperkirakan sekitar 80%
kenaikan kasus hipertensi terutama terjadi di negara berkembang pada tahun
2025, dari jumlah 639 juta kasus di tahun 2000. Jumlah ini diperkirakan
meningkat menjadi 1,15 miliar kasus di tahun 2025 (Ardiansyah, 2012).
Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2015, sekitar
1,13 Miliar orang di dunia mengalami hipertensi, artinya 1 dari 3 orang di dunia
terdiagnosis hipertensi. Jumlah penyandang hipertensi terus meningkat setiap
tahunnya, diperkirakan pada tahun 2025 akan ada 1,5 Miliar orang yang terkena
hipertensi, dan diperkirakan setiap tahunnya 9,4 juta orang meninggal akibat
hipertensi dan komplikasinya (Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat,
2019).
Di Indonesia, dengan tingkat kesadaran kesehatan yang rendah dan dalam
era globalisasi terjadi perubahan gaya hidup dan pola makan. Banyak pasien
yang tidak menyadari bahwa dirinya menderita hipertensi sehingga tidak
memperhatikan makanan yang di konsumsi. Hipertensi merupakan kondisi yang
sering ditemukan pada pelayanan kesehatan primer. Prevalensi hipertensi di
Indonesia berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2018 mengalami kenaikan
dari 25,8 % (68,9 juta orang) menjadi 34,1 % (90,1 juta orang).
Data hipertensi di NTT berdasarkan hasil Riskesdas 2018 yaitu prevalensi
hipertensi berdasarkan hasil pengukuran pada penduduk usia 18 tahun di NTT
adalah lebih dari 22,8% diketahui bahwa sebesar lebih dari 5,5% terdiagnosis
hipertensi dan lebih dari 4,7% orang yang terdiagnosis hipertensi atau minum
obat (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2018).
Berdasarkan laporan profil kesehatan Kota Kupang 2015 yang dibuat
Dinas Kesehatan Kota Kupang, angka kejadian hipertensi di Kota Kupang pada
tahun 2015 tercatat sebanyak 13.111 (8,7%). Angka ini kemudian terus
meningkat pada tahun 2017 yakni sebanyak 21.856 kasus (9,9%) hingga pada
tahun 2018 data kasus hipertensi menjadi 19.353 kasus (11,1%).

2
Banyak presepsi yang salah dari masyarakat mengenai penyakit hipertensi
mulai dari penyakit hipertensi tidak perlu penanganan yang serius, hipertensi
hanya masalah tekanan darah yang mudah sembuh, hipertensi identik dengan
pemarah, tidak perlu mengatur diet dan semakin tua semakin tinggi batas tekanan
darah normalnya. Anggapan tersebut membuat penyakit hipertensi sering
diabaikan dan tidak perlu serius dalam mengobatinya (Hermawan, 2014).
Pada pasien hipertensi yang berhenti minum obat dikarenakan beberapa
alasan seperti keadaan yang sudah mulai membaik, kurangnya pengetahuan
mengenai resiko apabila tidak minum obat, dan kurangnya dukungan keluarga.
Pasien hipertensi akan kembali meminum obat anti-hipertensi apabila timbul
keluhan seperti sakit kepala, jantung berdebar serta penglihatan kabur.
Ketidakpatuhan pasien minum obat anti-hipertensi akan berdampak pada tidak
terkontrolnya tekanan darah. Tidak terkontrolnya tekanan darah dalam waktu
yang lama bisa menyebabkan komplikasi penyakit hipertensi. Pasien hipertensi
yang berhenti minum obat kemungkinan 5 kali lebih besar terkena stroke
(Harwandy & Maziyyah, 2017).
Dari prevalensi hipertensi sebesar 34,1% diketahui bahwa sebesar 8,8%
terdiagnosis hipertensi dan 13,3% orang yang terdiagnosis hipertensi tidak
minum obat serta 32,3% tidak rutin minum obat. Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian besar penderita Hipertensi tidak mengetahui bahwa dirinya Hipertensi
sehingga tidak mendapatkan pengobatan. Alasan penderita hipertensi tidak
minum obat antara lain karena penderita hipertensi merasa sehat 59,8%,
kunjungan tidak teratur ke fasyankes 31,3%, minum obat tradisional 14,5%,
menggunakan terapi lain 12,5%, lupa minum obat 11,5%, tidak mampu beli obat
8,1%, terdapat efek samping obat 4,5%, dan obat hipertensi tidak tersedia di
Fasyankes 2% (P2PTM Kemenkes RI, 2019).
Kepatuhan terhadap pengobatan secara umum merupakan sebagai
tingkatan perilaku dimana pasien menggunakan obat, menaati semua aturan dan
nasihat serta dilanjutkan oleh tenaga kesehatan (Smantummkul, 2014).
Kepatuhan minum obat seseorang dapat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan,

3
bisa diketahui bahwa pengetahuan merupakan hal yang sangat penting agar 3
seseorang yang menderita hipertensi tidak mengalami komplikasi lebih lanjut.
Kurangnya pemahaman pasien tentang hipertensi dan tujuan terapi hipertensi
dapat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam pengobatan hipertensi. Tambahan
informasi perlu dilakukan agar pasien yang menderita mau mematuhi
pengobatannya (Susanto, 2015).
Pengetahuan mempunyai kemampuan prediktif terhadap sesuatu sebagai
hasil pengenalan atas suatu pola yang berkaitan dengan proses pembelajaran
yang dipengaruhi faktor dalam seperti motivasi dan faktor luar berupa sarana
informasi serta keadaan sosial budaya (Budiman & Riyanto, 2013). Dengan
mendapatkan informasi yang benar, diharapkan penderita hipertensi mendapat
bekal pengetahuan yang cukup sehingga dapat menurunkan resiko komplikasi
(Sutrisno, 2013). Upaya yang bisa diberikan agar kepatuhan meningkat yaitu
dengan pemberian edukasi.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Edukasi Terhadap Pengetahuan,
Sikap, dan Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Hipertensi”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam


penelitian ini adalah “Apakah edukasi berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap
dan kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi?”

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan dalam penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengaruh edukasi terhadap pengetahuan, sikap, dan
kepatuhan minum obat terhadap pasien hipertensi.

4
1.4 Manfaat Penelitian

1) Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi keperawatan pada kualitas asuhan keperawatan serta
memberikan suatu pemikiran bagi masyarakat dalam menanggulangi penyakit
hipertensi sebagai bentuk tindakan yang dapat dilakukan secara mandiri
dengan memperhatikan sisi positif dari asuhan keperawatan untuk pasien
hipertensi dengan kesiapan peningkatan pengetahuan.

2) Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan peneliti mengenai
asuhan keperawatan pada hipertensi dengan kesiapan peningkatan
pengetahuan.
b. Bagi Puskesmas
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam
peningkatan inovasi dalam asuhan keperawatan pada hipertensi dengan
kesiapan peningkatan pengetahuan.
c. Bagi klien dan keluarga
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai media
informasi bagi klien dan keluarga tentang hipertensi dengan masalah
kesiapan peningkatan pengetahuan.

5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konsep Edukasi


2.1.1 Pengertian
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) edukasi adalah proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Menurut
Fitriani (2011), edukasi atau pendidikan merupakan pemberian pengetahuan
dan kemampuan seseorang melalui pembelajaran, sehingga seseorang atau
kelompok orang yang mendaapat pendidikandapat melakukan sesuai yang
diharapkan pendidik, dari yang tidak tahu menjadi tahu dan dari yang tidak
mampu mengatasi kesehatan sendiri menjadi mandiri.
Edukasi atau pendidikan secara umum adalah segala upaya yang
direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau
masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku
pendidikan. Pendidikan kesehatan adalah suatu penerapan konsep pendidikan
di dalam bidang kesehatan. Dilihat dari segi pendidikan, pendidikan kesehatan
adalah suatu pedagogik praktis atau praktek pendidikan, oleh sebab itu konsep
pendidikan kesehatan adalah konsep pendidikan yang diaplikasikan pada
bidang kesehatan. Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses belajar yang
berarti di dalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan,
atau perubahan ke arah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada
diri individu, kelompok atau masyarakat (Notoadmodjo, 2003).
Edukasi adalah suatu proses usaha memberdayakan perorangan,
kelompok, dan masyarakat agar memelihara, meningkatkan dan melindungi
kesehatannya melalui peningkatan pengetahuan, kemauan, dan kemampuan,
yang dilakukan dari, oleh, dan masyarakat sesuai dengan faktor budaya
setempat (Depkes RI, 2012 dalam keperawatan kesehatan komunitas).

6
Edukasi merupakan suatu bentuk tindakan mandiri keperawatan untuk
membantu penderita hipertensi baik individu, kelompok, maupun masyarakat
dalam mengatasi masalah kesehatannya melalui kegiatan pembelajaran, yang
di dalamnya perawat sebagai perawat pendidik. Merubah gaya hidup yang
sudah menjadi kebiasaan seseorang membutuhkan suatu proses yang tidak
mudah. Untuk merubah perilaku ada beberapa faktor yang sangat
mempengaruhi salah satunya adalah pengetahuan seseorang tentang objek
baru tersebut.
Edukasi kesehatan membutuhkan yang namanya pengetahuan, sikap,
tujuan, dan aspek-aspek lain tentang kesehatan yang bisa digunakan oleh
masyarakat. Kesehatan individu tidak bisa eksis jika kondisi sosial tidak
mendukungnya. 

2.1.2 Tujuan Edukasi

Tujuan pendidikan kesehatan adalah untuk mengubah perilaku


masyarakat yang tidak sehat menjadi sehat. Tujuan tersebut dapat dicapai
dengan anggapan bahwa manusia selalu dapat belajar dan berubah (pada
umumnya manusia dalam hidupnya hidupnya selalu berubah berubah untuk
menyesuaikan menyesuaikan diri terhadap terhadap lingkungan sekitar),
perubahan yang terjadi dapat diinduksikan. Pendidikan kesehatan sangat
diperlukan sebagai dasar untuk kegiatan dalam kesehatan masyarakat menuju
masyarakat sehat jasmani, rohani, sosial dan ekonomi.

Tujuan dari pendidikan kesehatan menurut Undang-Undang Kesehatan


No. 23 tahun 1992 maupun WHO yakni: “meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan baik fisik,
mental, dan sosialnya sehingga produktif secara ekonomi maupun secara
sosial, pendidikan kesehatan disemua program kesehatan baik pemberantasan
penyakit menular, sanitasi lingkungan, gizi masyarakat pelayanan kesehatan
maupun program kesehatan lainnya. Pendidikan kesehatan sangat berpengaruh

7
untuk meningkatkan derajat kesehatan seseorang dengan cara meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk melakukan upaya kesehatan itu sendiri.

Menurut Chayatin, Rozikin, dan Supradi (2007) terdapat tiga tujuan


utama dalam pemberian edukasi kesehatan agar seseorang itu mampu untuk:

1) Menetapkan masalah dan kebutuhan yang mereka inginkan.


2) Memahami apa yang mereka bisa lakukan terhadap masalah kesehatan
dan menggunakan sumber daya yang ada.
3) Mengambil keputusan yang paling tepat untuk meningkatkan kesehatan.

Pendidikan kesehatan menurut Rusli Lutan dkk (2000) memiliki tujuan


sebagai berikut:

1) Meningkatkan perilaku sehat yang meliputi pilihan, tindakan, kebiasaan


yang positif bagi perkembangan gaya hidup yang sehat.
2) Membantu perkembangan kepribadian yang seimbang.
3) Memperjelas kesalahan konsep dan menyediakan informasi yang akurat
tentang tentang fakta kesehatan kesehatan pribadi pribadi dan masyarakat
masyarakat.
4) Menyumbang pada pembentukan kesehatan masyarakat melalui
pengembangan warga Negara yang terdidik-sehat sehingga mendukung
takaran sehat dimasa datang.
5) Mengembangkan kemauan anak untuk melihat sebab akibat tentang
kesehatan, mengambil langkah pencegahan, penyembuhan di mana
memungkinkan, memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup.

2.1.3 Sasaran Edukasi

Sasaran edukasi kesehatan adalah mencakup individu, keluarga,


kelompok dan masyarakat baik di rumah, di puskesmas, dan dimasyarakat
secara terorganisir dalam rangka menanamkan perilaku sehat, sehingga terjadi
perubahan perilaku seperti yang diharapkan dalam mencapai tingkat kesehatan
yang optimal (Effendy, 1998). Pendidikan kesehatan mengupayakan agar

8
perilaku individu, kelompok, atau masyarakat mempunyai pengaruh positif
terhadap pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Agar intervensi atau upaya
tersebut efektif, maka sebelum dilakukan intervensi perlu dilakukan analisis
terhadap masalah perilaku tersebut (Notoatmodjo, 2007).

Mubarak et al tahun 2009 mengemukakan bahwa sasaran pendidikan


kesehatan dibagi dalam tiga kelompok sasaran yaitu:

1) Sasaran primer (Primary Target)


Sasaran langsung pada masyarakat segala upaya pendidikan atau promosi
kesehatan.
2) Sasaran sekunder (Secondary Target)
Sasaran para tokoh masyarakat adat, diharapkan kelompok ini pada
umumnya akan memberikan pendidikan kesehatan pada masyarakat
disekitarnya.
3) Sasaran Tersier (Tersiery Target)
Sasaran pada pembuat keputusan atau penentu kebijakan baik ditingkat
pusat maupun ditingkat daerah, diharapkan dengan keputusan dari
kelompok ini akan berdampak kepada perilaku kelompok sasaran
sekunder yang kemudian pada kelompok primer.

2.1.4 Prinsip Edukasi Kesehatan


Prinsip pendidikan kesehatan harus mampu dipahami oleh setiap
petugas kesehatan dan sasaran (masyarakat). Adapu prinsip pendidikan
kesehatan yaitu:
1) Pendidikan kesehatan bukan hanya pelajaran di kelas, tetapi merupakan
kumpulan pengalaman dimana saja dan kapan saja sepanjang dapat
mempengaruhi pengetahuan sikap dan kebiasaan sasaran pendidikan.
2) Pendidikan kesehatan tidak dapat secara mudah diberikan oleh seseorang
kepada orang lain, karena pada akhirnya sasaran pendidikan itu sendiri
yang dapat mengubah kebiasaan dan tingkah lakunya sendiri.

9
3) Bahwa yang harus dilakukan oleh pendidik adalah menciptakan sasaran
agar individu, keluarga, kelompok dan masyarakat dapat mengubah sikap
dan tingkah lakunya sendiri.
4) Pendidikan kesehatan dikatakan berhasil bila sasaran pendidikan
(individu, keluarga, kelompok dan masyarakat) sudah mengubah sikap
dan tingkah lakunya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Menurut Mubarak (2007), terdapat beberapa prinsip pendidikan


kesehatan adalah sebagai berikut :

1) Belajar mengajar berfokus pada klien, pendidikan klien adalah hubungan


klien yang berfokus pada kebutuhan klien yang spesifik.
2) Belajar mengajar bersifat menyeluruh, dalam memberikan pendidikan
kesehatan harus dipertimbangkan klien secara kesehatan tidak hanya
berfokus pada muatan spesifik saja.
3) Belajar mengajar negosiasi, pentingnya kesehatan dan klien bersama-
sama menentukan apa yang telah diketahui dan apa yang penting untuk
diketahui.
4) Belajar mengajar yang interaktif, adalah suatu proses yang dinamis dan
interaktif yang melibatkan partisipasi dari petugas kesehatan dan klien.
5) Pertimbangan umur dalam pendidikan kesehatan, untuk menumbuh
kembangkan seluruh kemampuan dan perilaku manusia melalui
pengajaran sehingga perlu dipertimbangkan umur klien dan hubungan
dengan proses belajar mengajar.

2.2 Pengetahuan

2.2.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah


melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh

10
melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan faktor
dominan yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang, sebab
dari hasil penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan
lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan
(Notoatmodjo, 2012).
Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil
penggunaan panca inderanya. Berbeda sekali dengan kepercayaan, takhayul,
dan penerangan-penerangan yang keliru (Soekanto, 2003). Pengetahuan
adalah hasil mengingat suatu hal, termasuk mengingat kembali kejadian yang
pernah dialami baik secara disengaja dan ini terjadi setelah orang melakukan
kontak atau pengamatan terhadap suatu objek tertentu. Perilaku yang didasari
oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak disadari
oleh pengetahuan, sebab perilaku ini terjadi akibat adanya paksaan atau aturan
yang mengharuskan untuk berbuat (Mubarak, 2006).

2.2.2 Pentingnya Pengetahuan

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting


untuk terbentuknya tindakan seseorang (Over Behaviour). Dari pengalaman
dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih
langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan
(Notoatmodjo,2007).

Menurut Notoatmodjo (2007), sebelum orang mengadopsi perilaku


baru (berperilaku baru di dalam diri seseorang) terjadi proses berurutan yakni:

1) Awareness (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti


mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulasi (objek).
2) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulasi atau objek tertentu. Disini
sikap subjek sudah mulai timbul.
3) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulasi
tersebut bagi dirinya.

11
4) Trial, sikap dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai
dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
5) Adaption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses


seperti ini, dimana didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang
positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng. Sebaliknya, apabila
perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran akan tidak
berlangsung lama. Jadi, pentingnya pengetahuan disini adalah dapat menjadi
dasar dalam merubah perilaku sehingga perilaku itu langgeng (Notoatmodjo,
2007).

2.2.3 Tingkat Pengetahuan di dalam Domain Kognitif

Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan yang dicakup dalam


domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu:

1) Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik, dan seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, “tahu” ini
adalah merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja
untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain:
menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan
sebagainya.

2) Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi
materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau
materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan,

12
meramaikan, dan sebagainya terhadap objek yang telah dipelajari.
Misalnya dapat menjelaskan mengapa harus makan makanan yang
bergizi.

3) Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi telah
dipelajari pada situasi atau kondisi yang riil (sebenarnya). Aplikasi disini
dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,
prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya
dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan hasil penelitian,
dapat menggunakan prinsipprinsip siklus pemecahan masalah (problem
solving cycle) di dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang
diberikan.

4) Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek
ke dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam suatu struktur
organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan
analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja : dapat
mengambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan,
mengelompokkan dan sebagainya.

5) Sintesis (syntesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk
meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk
keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis itu suatu kemampuan
untuk menyusun formulasi baru dari formulasi- formulasi yang ada.
Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkas, dapat
menyesuaikan dan sebagainya.

6) Evaluasi (evaluation)

13
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini
berdasarkan suatu kriteria yag ditentukan sendiri, atau menggunakan
kriteria - kriteria yang ada.

2.2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan

Notoatmodjo (2010) memaparkan beberapa faktor yang dapat


mempengaruhi pengetahuan seseorang antara lain :

1) Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.
Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan
seseorang makin mudah orang tersebut menerima informasi. Dengan
pendidikan tinggi maka seseorang cenderung untuk mendapatkan
informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa. Pengetahuan
sangat erat kaitannya dengan pendidikan, dengan pendidikan tinggi
diharapkan akan semakin luas pula pengetahuannya.
2) Media massa atau informasi
Informasi yang diperoleh dari pendidikan formal maupun non formal
dapat memberikan pengaruh jangka pendek sehingga menghasilkan
perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi berimbas
pada banyaknya media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan
masyarakat tentang inovasi. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk
media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain
mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan
orang.
3) Jenis kelamin
Angka dari luar negeri menunjukkan angka kesakitan lebih tinggi
dikalangan wanita dibandingkan dengan pria, sedangkan angka kematian
lebih tinggi dikalangan pria, juga pada semua golongan umur. Untuk

14
Indonesia masih perlu dipelajari lebih lanjut perbedaan angka kematian
ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor intrinsik.
4) Pekerjaan
Pekerjaan adalah faktor yang mempengaruhi pengetahuan. Ditinjau dari
jenis pekerjaan yang sering berinteraksi dengan orang lain lebih banyak
pengetahuannya bila dibandingkan dengan orang tanpa ada interaksi
dengan orang lain. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan
memberikan pengetahuan dan keterampilan profesional serta pengalaman
belajar dalam bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan dalam
mengambil keputusan yang merupakan keterpaduan menalar secara
ilmiah dan etik.
5) Usia
Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang.
Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap
dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin
membaik. Semakin banyak informasi yang dijumpai dan semakin banyak
hal yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuannya.

2.3 Konsep Sikap

2.3.1 Pengertian Sikap

Menurut Notoatmodjo (2012), sikap merupakan suatu reaksi atau


respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau
objek. Sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan
terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap adalah suatu tingkatan
afeksi yang baik yang bersifat positif maupun dalam hubungannya dengan
objek-objek psikologis. Sikap juga sebagai tingkatan kecenderungan yang
bersifat positif atau negatif yang berhubungan dengan objek psikologi. Sikap
merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap
stimulus objek dan tidak langsung terlihat yang berarti seseorang mempunyai
kesiapan untuk bertindak, tetapi belum melakukan aktifitas yang disebabkan

15
oleh penghayatan pada suatu objek. Sikap dapat didefinisikan sebagai
kecenderungan afektif suka tidak suka pada suatu objek sosial tertentu
(Hakim, 2012).

Sikap adalah predisposisi untuk melakukan atau tidak melakukan suatu


perilaku tertentu, sehingga sikap bukan hanya kondisi internal psikologis yang
murni dari individu (purely psychic inner state), tetapi sikap lebih merupakan
proses kesadaran yang sifatnya individual. Artinya proses ini terjadi secara
ubjektif dan unik pada diri setiap individu. Keunikan ini dapat terjadi oleh
adanya perbedaan individual yang berasal dari nilai-nilai dan norma yang
ingin dipertahankan dan dikelola oleh individu (Wawan dan Dewi 2010).

2.3.2 Ciri-ciri Sikap

Ciri-ciri sikap menurut Heri Purwanto (1998) dalam buku Notoadmodjo


(2003) adalah:

1) Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari


sepanjang perkembangan itu dalam hubungannya dengan obyeknya.
2) Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari dan sikap
dapat berubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan
syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.
3) Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan
tertentu terhadap suatu obyek. Dengan kata lain sikap itu terbentuk,
dipelajari, atau berubah senantiasa berkenaan dengan suatu obyek tertentu
yang dapat dirumuskan dengan jelas.
4) Obyek sikap itu merupakan suatu hal tertentu tetapi dapat juga merupakan
kumpulan dari hal-hal tersebut.
5) Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan, sifat alamiah
yang membedakan sikap dan kecakapan- kecakapan atau pengetahuan-
pengetahuan yang dimiliki orang.

2.3.3 Tingkatan Sikap

16
Menurut Notoadmodjo (2003) dalam buku Wawan dan Dewi (2010),
sikap terdiri dari berbagai tingkatan yaitu:

1) Menerima (receiving)
Menerima berarti mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan/objek
(misalnya, sikap terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian
terhadap ceramah-ceramah gizi).
2) Merespons (responding)
Memberikan jawaban jika ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan
tugas yang diberikan merupakan indikasi sikap. Terlepas dari benar atau
salah, hal ini berarti individu menerima ide tersebut.
3) Menghargai (valuing)
Pada tingkat ini, individu mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah.
4) Bertanggung jawab (responsible)
Merupakan sikap yang paling tinggi, dengan segala risiko bertanggung
jawab terhadap sesuatu yang telah dipilih, meskipun mendapat tantangan
dari keluarga. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung
(langsung ditanya) dan tidak langsung.

2.3.4 Kompenen Pokok Sikap

Notoatmodjo (2012) menjelaskan bahwa sikap mempunyai 3 komponen


pokok yaitu :

1) Kepercayaan (keyakinan) Ide dan konsep terhadap suatu objek artinya


bagaimana keyakinan, pendapat atau pemikiran seseorang terhadap
objek.
2) Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek
artinya bagaimana penilaian (terkandung didalamnya faktor emosi)
orang tersebut terhadap objek.

17
3) Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave) artinya sikap adalah
merupakan kompenen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka.

Ketiga kompenen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh


(total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran,
keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.

2.3.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap

Sikap tidak dibawa sejak lahir, tetapi dipelajari dan dibentuk


berdasarkan pengalaman dan latihan sepanjang perkembangan individu.
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak lepas dari pengaruh interaksi dengan
orang lain (eksternal), selain makhluk individual (internal). Kedua faktor
tersebut berpengaruh terhadap sikap.

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan sikap


pada manusia (Azwar, 2013) antara lain :

1) Pengalaman Pribadi
Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan
mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial.
2) Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Orang lain di sekitar kita merupakan salah satu diantara kompenen sosial
yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang yang dianggap penting,
seseorang yang kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak, tingkah
dan pendapat kita, seseorang yang tidak ingin kita kecewakan atau
seseorang yang berarti khusus bagi kita akan mempengaruhi
pembentukan sikap kita trhadap sesuatu. Contoh : orang tua, teman dekat,
guru, istri, suami dan lain-lain.
3) Pengaruh kebudayaan
Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh
besar terhadap pembentukan sikap kita. Tanpa kita sadari, kebudayaan
telah menanamkan garis pengaruh sikap kita terhadap berbagai masalah.

18
4) Media Massa
Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi,
radio, surat kabar, majalah dan lain-lain mempunyai pengaruh besar
dalam pembentukan opini dan kepercayaan. Adanya informasi baru
mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif bagi terbentuknya
sikap terhadap hal tersebut.
5) Lembaga pendidikan dan lembaga agama
Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu system
mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya
meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu.
6) Pengaruh faktor emosional
Tidak semua bentuk sikap dipengaruhi oleh situasi lingkungan dan
pengalaman pribadi seseorang, kadang - kadang sesuatu bentuk sikap
merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai
penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.

2.4 Konsep Kepatuhan

2.4.1 Pengertian Kepatuhan

Kepatuhan berasal dari kata dasar patuh yang berarti taat, suka
menurut perintah. Kepatuhan adalah tingkat pasien melaksanakan cara
pengobatan dan perilaku yang disarankan dokter atau oleh orang lain.
Kepatuhan merupakan suatu perubahan perilaku dari perilaku yang tidak
mentaati peraturan ke perilaku yang mentaati peraturan (Ilmah, 2015)

2.4.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan

Faktor – faktor yang mempengaruhi kepatuhan menurut (Ilmah, 2015)


diantaranya :
1) Pengetahuan

19
Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
panca indera manusia, yakni: indera penglihatan, pendengar, pencium,
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui
mata dan telinga.
2) Motivasi
Motivasi adalah keinginan dalam diri seseorang yang mendorongnya
untuk berperilaku. Motivasi yang baik dalam mengkonsumsi tablet
kalsium untuk menjaga kesehatan ibu hamil dan janin, keinginan ini
biasanya hanya pada tahap anjuran dari petugas kesehatan, bukan atas
keinginan diri sendiri. Semakin baik motivasi maka semakin patuh ibu
hamil dalam mengkonsumsi tablet kalsium karena motivasi merupakan
kondisi internal manusia seperti keinginan dan harapan yang mendorong
individu untuk berperilaku agar mencapai tujuan yang dikehendakinya
(Ilmah, 2015).
3) Dukungan Keluarga
Upaya yang dilakukan dengan mengikutkan peran serta keluarga adalah
sebagai faktor dasar penting yang ada berada disekeliling ibu hamil
dengan memberdayakan anggota keluarga terutama suami untuk ikut
membantu para ibu hamil dalam meningkatkan kepatuhannya
mengkonsumsi tablet kalsium Upaya ini sangat penting dilakukan, sebab
ibu hamil adalah seorang individu yang tidak berdiri sendiri, tetapi ia
bergabung dalam sebuah ikatan perkawinan dan hidup dalam sebuah
bangunan rumah tangga dimana faktor suami akan ikut mempengaruhi
pola pikir dan perilakunya termasuk dalam memperlakukan kehamilannya
(Ilmah, 2015).

2.4.3 Cara Mengukur Kepatuhan

20
Menurut (Ilmah, 2015) terdapat 5 (lima) cara yang dapat digunakan
untuk mengukur kepatuhan pada pasien, yaitu :
1) Menanyakan pada petugas klinis
Metode ini adalah metode yang hampir selalu menjadi pilihan terakhir
untuk digunakan karena keakuratan atas estimasi yang diberikan oleh
dokter pada umumnya salah.
2) Menanyakan pada individu yang menjadi pasien
Metode ini lebih valid dibandingkan dengan metode yang sebelumnya.
Metode ini juga memiliki kekurangan, yaitu: pasien mungkin saja
berbohong untuk
3) Menghindari ketidak sukaan dari pihak tenaga kesehatan, dan mungkin
pasien tidak mengetahui seberapa besar tingkat kepatuhan mereka sendiri.
Jika dibandingkan dengan beberapa pengukuran objektif atas konsumsi
obat pasien, penelitian yang dilakukan cenderung menunjukkan bahwa
para pasien lebih jujur saat mereka menyatakan bahwa mereka tidak
mengkonsumsi obat.
4) Menghitung banyak obat
Dikonsumsi pasien sesuai saran medis yang diberikan oleh dokter.
Prosedur ini mungkin adalah prosedur yang paling ideal karena hanya
sedikit saja kesalahan yang dapat dilakukan dalam hal menghitung jumlah
obat yang berkurang dari botolnya. Tetapi, metode ini juga dapat menjadi
sebuah metode yang tidak akurat karena setidaknya ada dua masalah
dalam hal menghitung jumlah pil yang seharusnya dikonsumsi. Pertama,
pasien mungkin saja, dengan berbagai alasan, dengan sengaja tidak
mengkonsumsi beberapa jenis obat. Kedua, pasien mungkin
mengkonsumsi semua pil, tetapi dengan cara yang tidak sesuai dengan
saran medis yang diberikan.
5) Memeriksa bukti-bukti biokimia
Metode ini mungkin dapat mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada
pada metode-metode sebelumnya. Metode ini berusaha untuk menemukan

21
bukti-bukti biokimia, seperti analisis sampel darah dan urin. Hal ini
memang lebih reliabel dibandingkan dengan metode penghitungan pil
atau obat diatas, tetapi metode ini lebih mahal dan terkadang tidak terlalu
‘berharga’ dibandingkan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan.

Lima cara untuk melakukan pengukuran pada kepatuhan pasien yaitu


menanyakan langsung kepada pasien, menanyakan pada petugas medis,
menanyakan pada orang terdekat pasien, menghitung jumlah obat dan
memeriksa bukti-bukti biokimia. Pada kelima cara pengukuran ini terdapat
beberapa kekurangan dan kekunggulan masing-masing dalam setiap cara
pengukuran yang akan diterapkan.

2.4.4 Cara – Cara Mengurangi Ketidakpatuhan

Menurut (Ilmah, 2015) ada berbagai cara untuk mengatasi ketidak


patuhan pasien antara lain:
1) Mengembangkan tujuan dari kepatuhan itu sendiri, banyak dari pasien
yang tidak patuh yang memiliki tujuan untuk mematuhi nasihat-nasihat
pada awalnya. Pemicu ketidakpatuhan dikarenakan jangka waktu yang
cukup lama serta paksaan dari tenaga kesehatan yang menghasilkan efek
negatif pada penderita sehingga awal mula pasien mempunyai sikap pat
uh bisa berubah menjadi tidak patuh.
2) Perilaku sehat, hal ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, sehingga perlu
dikembangkan suatu strategi yang bukan hanya untuk mengubah perilaku,
tetapi juga mempertahankan perubahan tersebut. Kontrol diri, evaluasi
diri dan penghargaan terhadap diri sendiri harus dilakukan dengan
kesadaran diri. Modifikasi perilaku harus dilakukan antara pasien dengan
pemberi pelayanan kesehatan agar terciptanya perilaku sehat.
3) Dukungan sosial, dukungan sosial dari anggota keluarga dan sahabat
merupakan faktor-faktor penting dalam kepatuhan pasien.

2.4.5 Cara Meningkatkan Kepatuhan

22
Menurut (Ilmah, 2015) ada berbagai cara untuk meningkatkan
kepatuhan, diantaranya :
1) Segi Penderita
Usaha yang dapat dilakukan penderita untuk meningkatkan kepatuhan
dalam menjalani pengobatan yaitu:

a. Meningkatkan kontrol diri


Penderita harus meningkatkan kontrol dirinya untuk meningkatkan
ketaatannya dalam menjalani pengobatan, karena dengan adanya
kontrol diri yang baik dari penderita akan semakin meningkatkan
kepatuhannya dalam menjalani pengobatan.
b. Meningkatkan efikasi diri
Efikasi diri dipercaya muncul sebagai prediktor yang penting dari
kepatuhan. Seseorang yang mempercayai diri mereka sendiri untuk
dapat mematuhi pengobatan yang kompleks akan lebih mudah
melakukannya.
c. Mencari informasi tentang pengobatan.
Kurangnya pengetahuan atau informasi berkaitan dengan
kepatuhan serta kemauan dari penderita untuk mencari informasi
mengenai penyakitnya dan terapi medisnya, informasi tersebut
biasanya didapat dari berbagai sumber seperti media cetak,
elektronik atau melalui program pendidikan di rumah sakit.

2) Segi Tenaga Medis


Usaha-usaha yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar penderita
untuk meningkatkan kepatuhan dalam menjalani pengobatan antara
lain:

a. Meningkatkan keterampilan komunikasi para dokter


Salah satu strategi untuk meningkatkan kepatuhan adalah
memperbaiki komunikasi antara dokter dengan pasien. Ada banyak
cara dari dokter untuk menanamkan kepatuhan dengan dasar

23
komunikasi yang efektif dengan pasien.
b. Memberikan informasi yang jelas kepada pasien
Tenaga kesehatan, khususnya dokter adalah orang yang berstatus
tinggi bagi kebanyakan pasien dan apa yang ia katakan secara
umum diterima sebagai sesuatu yang sah atau benar.
c. Memberikan dukungan sosial
Tenaga kesehatan harus mampu mempertinggi dukungan sosial.
Selain itu keluarga juga dilibatkan dalam memberikan dukungan
kepada pasien, karena hal tersebut juga akan meningkatkan
kepatuhan.
d. Pendekatan perilaku
Pengelolaan diri yaitu bagaimana pasien diarahkan agar dapat
mengelola dirinya dalam usaha meningkatkan perilaku kepatuhan.
Dokter dapat bekerja sama dengan keluarga pasien untuk
mendiskusikan masalah dalam menjalani kepatuhan.

2.5 Konsep Hipertensi


2.5.1 Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah istilah medis bagi tekanan darah tinggi. Hipertensi
adalah suatu keadaan dimana seorang mengalami tekanan darah di atas normal
yang mengakibatkan peningkatan angka morbiditas dan angka
kematian/mortalitas (A. J. Ramadhan, 2010).

Penyakit darah tinggi atau hipertensi (hypertension) adalah suatu


keadaan di mana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas
normal yang ditunjukkan oleh angka systolic (bagian atas) dan diastolik
(angka bawah) pada pemeriksaan tensi darah menggunakan alat pengukur
tekanan darah baik yang berupa alat cuff air raksa (sphygmomanometer)
ataupun alat digital lainnya. Nilai normal tekanan darah seseorang dengan
ukuran tinggi badan, berat badan, tingkat aktivitas normal dan kesehatan
secara umum adalah 120/80 mmHg. Dalam aktivitas sehari- hari, tekanan

24
darah normalnya adalah dengan nilai angka kisaran stabil. Tetapi secara
umum, angka pemeriksaan tekanan darah menurun saat tidur dan meningkat
diwaktu beraktifitas atau olahraga (Pudiastuti, 2013).

Hipertensi atau tekanan darah tinggi didefinisikan sebagai keadaan


dimana terjadi peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan
tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan
selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang (Pusat Data
dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2015). Hipertensi adalah tekanan
darah yang meningkat. Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam
jangka waktu lama dapat menimbulkan kerusakan ginjal, penyakit jantung
koroner dan menyebabkan stroke bila tidak dideteksi secara dini. Keberhasilan
pengobatan tergantung perilaku diet dan kepatuhan minum obat seseorang.
Seseorang yang paham tentang hipertensi dan berbagai penyebabnya maka
akan melakukan tindakan sebaik mungkin agar penyakitnya tidak berlanjut
kearah komplikasi (Setiawan, 2008).

Organisasi kesehatan dunia (WHO), memberikan batasan tekanan


darah normal adalah 140/90 mmHg dan tekanan darah sama atau di atas
160/95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi (Sofia Dewi & Digi Familia,
2010). Hipertensi merupakan penyakit degenerative yang banyak di derita
bukan hanya oleh usia lanjut saja, bahkan saat ini sudah menyerang orang
dewasa muda. Bahkan di ketahui bahwa 9 dari 10 orang yang menderita
hipertensi tidak dapat diidentifikasi penyebab kematiannya. Itulah sebabnya
hipertensi di juluki sebagai Pembunuh Diam-Diam (silent killer) (Zauhani,
Zainal, 2012).

Penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah salah satu jenis
penyakit pembunuh paling dahsyat di dunia saat ini. Usia merupakan salah
satu faktor resiko hipertensi. Lebih banyak dijumpai bahwa penderita penyakit
tekanan darah tinggi atau hipertensi pada usia senja (Deni Damayanti, 2013).
Penyakit darah tinggi merupakan suatu gangguan pada pembuluh darah dan

25
jantung yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh
darah terhambat sampai ke jaringan yang membutuhkannya. Arteri-arteri
adalah pembuluh-pembuluh yang mengangkut darah dari jantung yang
memompa ke seluruh jaringan dan organ-organ tubuh (Pudiastuti, 2013).

2.5.2 Etiologi

Berdasarkan penyebab hipertensi dibagi menjadi dua, yaitu (Pusat


Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2015):

1) Hipertensi Primer/Hipertensi Esensial


Hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik), walaupun
dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang bergerak
(inaktivitas) dan pola makan. Terjadi pada sekitar 90% penderita
hipertensi.
Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat
dikontrol. Penderita hipertensi esensial sering tidak menimbulkan gejala
sampai penyakit menjadi parah, bahkan sepertiganya tidak menunjukkan
gejala selama 10 atau 20 tahun. Penyakit hipertensi sering ditemukan
sewaktu dilakukan pemeriksaan kesehatan lengkap dengan gejala sakit
kepala, pandangan kabur, badan terasa lemah palpitasi atau jantung
berdebar dan susah tidur (Masriadi, 2016).

2) Hipertensi Sekunder/Hipertensi Non Esensial


Hipertensi yang diketahui penyebabnya. Pada sekitar 5-10% penderita
hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%,
penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu
(misalnya pil KB).

Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya


perubahan-perubahan pada :

1) Elastisitas dinding aorta menurun


2) Katub jantung menebal dan menjadi kaku

26
3) Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah
berumur 20 tahun kemampuan jantung memompa darah menurun
menyebabkan menurunnya kontraksi dan volume.
4) Kehilangan elastisitas pembuluh darah. Hal ini terjadi karena kurangnya
efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi.
5) Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer.

2.5.3 Klasifikasi

Berdasarkan bentuknya hipertensi dapat dibagi menjadi 3 yaitu


hipertensi diastolik (diastolic hypertension), hipertensi campuran (sistol dan
diastol yang meninggi) dan hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension).
Hipertensi sistolik paling sering dijumpai pada usia lanjut, merupakan suatu
kondisi meningkatnya tekanan darah sistolik sementara tekanan darah
diastolik berada pada batas yang normal. Selanjutnya hipertensi diastolik
jarang terjadi pada usia lanjut, kondisi ini lebih sering terjadi pada anak-anak
dan dewasa muda. Hipertensi diastolik terjadi jika tekanan darah diastolik
mengalami peningkatan, walaupun biasanya peningkatan tersebut bersifat
ringan seperti 120/100 mmHg (Pusat Data dan Informasi Kementrian
Kesehatan RI, 2015).
Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah menurut The seventh
Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation,
and Treatment of High Blood Pressure (JNC-7) tahun 2003 yang termuat
dalam Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI (2015)
diklasifikasikan menjadi empat klasifikasi seperti yang terlihat pada tabel 2.1

27
Tabel 2.1
Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC 7, 2003. Sumber: Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI (2015)
Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah
Darah Sistol (mmHg) Diastol
(mmHg)
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stage 1 140-159 90-99
Hipertensi stage 2 160 atau >160 100 atau >100

Berdasarkan pengukuran tekanan darah sistolik dan tekanan


darah diastolik di klinik menurut Perhimpunan Dokter Hipertensi
Indonesia (2019) yang dikutip dari European Society of
Cardiology/European Society of Hypertension Hypertension
Guidelines tahun 2018, pasien digolongkan menjadi sesuai
dengan tabel 2.2 berikut.

Kategori Tekanan Darah Tekanan


Sistolik Darah

(mmHg) Diastolik
(mmHg)
Optimal < 120 Dan < 80
Normal 120-129 dan/atau 80-84
Normal-tinggi 130-139 dan/atau 85-89
Hipertensi 140-159 dan/atau 90-99
derajat 1
Hipertensi 160-179 dan/atau 100-109
derajat 2

28
Hipertensi ≥ 180 dan/atau ≥ 110
derajat 3
Hipertensi ≥ 140 Dan < 90
sistolik
terisolasi

2.6.3 Faktor-Faktor Risiko Hipertensi


Menurut (Yunita sari 2017), faktor-faktor yang memiliki potensi
menimbulkan masalah atau kerugian kesehatan biasa disebut dengan faktor
risiko. Faktor-faktor risiko kejadian hipertensi yaitu :
1) Usia
Usia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya hipertensi yang tidak
dapat diubah. Pada umumnya semakin bertambahnya usia semakin besar
pula risiko terjadinya hipertensi. Hal tersebut disebabkan oleh
perubahan struktur pembuluh darah seperti penyempitan lumen, serta
dinding pembuluh darah menjadi kaku dan elastisnya berkurang
sehingga meningkatkan tekanan darah. Penelitian menunjukkan bahwa
seraya usia seseorang bertambah, tekanan darah pun akan meningkat.
Hipertensi pada orang dewasa berkembang mulai umur 18 tahun ke atas.
Hipertensi meningkat seiring dengan pertambahan umur, semakin tua
usia seseorang maka pengaturan metabolisme zat kapur (kalsium)
terganggu. Hal ini menyebabkan banyaknya zat kapur yang beredar
bersama aliran darah. Akibatnya darah menjadi lebih padat dan tekanan
darah pun meningkat. Endapan kalsium di dinding pembuluh darah
menyebabkan penyempitan pembuluh darah (arteriosklerosis). Aliran
darah pun menjadi terganggu dan memacu peningkatan tekanan darah.
2) Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko terjadinya hipertensi.
Dalam hal ini, pria cenderung lebih banyak mnderita hipertensi
dibandingkan wanita. Hal tersebut terjadi karena adanya dugaan bahwa

29
pria memiliki gaya hidup yang kurang sehat dibandingkan dengan
wanita. Wanita dipengaruhi oleh beberapa hormon termasuk hormon
estrogen yang melindungi wanita dari hipertensi dan komplikasinya
termasuk penebalan dinding pembuluh darah atau aterosklerosis. Wanita
usia produktif sekitar 30-40 tahun, kasus serangan jantung jarang terjadi,
tetapi meningkat pada pria. Arif Mansjoer mengemukakan bahwa pria
dan wanita menopause memiliki pengaruh sama pada terjadinya
hipertens. Ahli lain berpendapat bahwa wanita menopause mengalami
perubahan hormonal yang menyebabkan kenaikan berat badan dan
tekanan darah menjadi lebih reaktif terhadap konsumsi garam, sehingga
mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Terapi hormon yang
digunakan oleh wanita menopause dapat pula menyebabkan peningkatan
tekanan darah.
3) Riwayat keluarga
Individu dengan riwayat keluarga memiliki penyakit tidak menular lebih
sering menderita penyakit yang sama. Jika ada riwayat keluarga dekat
yang memiliki faktor keturunan hipertensi, akan mempertinggi risiko
terkena hipertensi pada keturunannya. Keluarga dengan riwayat
hipertensi akan meningkatkan risiko hipertensi sebesar empat kali lipat.
Data statistik membuktikan jika seseorang memiliki riwayat salah satu
orang tuanya menderita penyakit tidak menular, maka dimungkinkan
sepanjang hidup keturunannya memiliki peluang 25% terserang
penyakit tersebut. Jika kedua orang tua memiliki penyakit tidak menular
maka kemungkinan mendapatkan penyakit tersebut sebesar 60%.
4) Obesitas
Penelitian dan beberapa studi yang dilakukan dunia telah menemukan
bahwa berat badan berhubungan dengan tekanan darah. Berdasarkan
Framingham Heart Study, sebanyak 75% dan 65% kasus hipertensi yang
terjadi pada pria dan wanita secara langsung berkaitan dengan kelebihan
berat badan dan obesitas. Namun tidak semua jenis kegemukan

30
berhubungan dengan hipertensi. Ada dua jenis kegemukan, yaitu
kegemukan sentral dan kegemukan perifer. Pada kondisi kegemukan
sentral lemak mengumpul disekitar perut atau dalam kata lain, buncit.
Sedangkan kegemukan perifer adalah kegemukan yang merata diseluruh
tubuh. artinya lemak menyebar rata diseluruh bagian tubuh. Meskipun
demikian obesitas sentral merupakan fakror penentu yang lebih penting
terhadap peningkatan tekanan darah. Dibandingkan dengan kelebihan
berat badan perifer. Dan hipertensi lebih banyak ditemukan pada orang
dengan kegemukan sentral dibandingkan perifer (Putu Yuda, 2011).
5) Merokok
Merokok merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan
hipertensi, sebab rokok mengandung nikotin. Merokok dapat
menyebabkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke
otot jantung mengalami peningkatan. Bagi penderita yang memiliki
aterosklerosis atau penumpukan lemak pada pembuluh darah, merokok
dapat memperparah kejadian hipertensi dan berpotensi pada penyakit
degenerative e lain seperti stroke dan penyakit jantung. Pada umumnya
rokok mengandung berbagai zat kimia berbahaya seperti nikotin dan
karbon monoksida. Zat tersebut akan terisap melalui rokok sehingga
masuk ke aliran darah dan menyebabkan kerusakan lapiran endotel
pembuluh darah arteri, serta mempercepat terjadinya aterosklerosis.
Nikotin misalnya, zat ini dapat diserap oleh pembuluh darah kemudian
diedarkan melalui aliran darah ke seluruh tubuh termasuk otak.
Akibatnya otak akan bereaksi dengan memberikan sinyal pada kelenjar
adrenal untuk melepaskan epinefrin (adrenalin). Hormon inilah yang
akan membuat pembuluh darah mengalami penyempitan. Penyempitan
pembuluh darah otak tersebut memaksa jantung bekerja lebih berat.
Keadaan memaksa jantung sangat berbahaya karena dapat menyebabkan
pecahnya pembuluh darah di otak sehingga terjadi stroke. Selain itu
karbon monoksida yang terdapat dalam rokok diketahui dapat mengikan

31
hemoglobin dalam darah dan mengentalkan darah. Hemoglobin sendiri
merupakan protein yang mengandung zat besi dalam sel darah merah
yang berfungsi mengangkut oksigen. Karbon moniksida menggantikan
ikatan oksigen dalam darah sehingga memaksa jantung memompa untuk
memasukkan oksigen yang cukup dalam organ dan jaringan tubuh. Hal
inilah yang dapat meningkatkan tekanan darah.
6) Aktifitas Fisik
Aktivitas fisik sangat mempengaruhi stabilitas tekanan darah. Pada
orang yang tidak aktif melakukan kegiatan fisik cenderung mempunyai
frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi. Hal tersebut mengakibatkan
otot jantung bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras
usaha otot jantung dalam memompa darah, makin besar pula tekanan
yang dibebankan pada dinding arteri sehingga meningkatkan tahanan
perifer yang menyebabkan kenaikkan tekanan darah. Kurangnya
aktifitas fisik juga dapat meningkatkan risiko kelebihan berat badan
yang akan menyebabkan risiko hipertensi meningkat.
7) Konsumsi garam berlebih
Garam dapat meningkatkan tekanan darah dengan cepat pada beberapa
orang, khususnya bagi penderita diabetes, penderita hipertensi ringan,
orang dengan usia tua, dan mereka yang berkulit hitam (Manurung,
2016).
8) Stress
Stres dan kondisi emosi yang tidak stabil juga dapat memicu tekanan
darah tinggi. Stres akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer
dan curah jantung sehingga akan merangsang aktivitas saraf simpatetik.
Stres ini dapat berhubungan dengan pekerjaan, kelas sosial, ekonomi,
dan karakteristik personal (Nurrahmani, dkk, 2015).
9) Alkohol
Konsumsi alkohol secara berlebihan juga menyebabkan tekanan darah
tinggi. Jika meminum minuman keras (alkohol) sedikitnya dua kali per

32
hari, maka tekanan darah sistolik meningkat kira-kira 1,0 mmHg dan
tekanan darah diastolik juga meningkat kira-kira 0,5 mmHg per satu kali
minum. Peminum harian mempunyai tekanan darah sistolik dan
diastolik lebih tinggi, berturut-turut 6,6 mmHg dan 4,6 mmHg
dibandingkan dengan peminum sekali seminggu (Bustan, 2015).

33
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Design Penelitian


Jenis penelitian ini ialah penelitian observasional (non eksperimental)
dengan analisis cross sectional.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan untuk mengambil data pada penelitian ini ialah
data rekam medik dan kuesioner. Kuesioner yang dipakai ialah Morisky
medication adherence scales-8 untuk kuesioner kepatuhan dan kuesioner
Hypertension Knowledge-Level Scale (HK-LS) untuk kuesioner pengetahuan
hipertensi. Bahan yang dipakai ialah jawaban kuesioner dari responden dan
informasi tertulis dari rekam medik.

3.3 Sampel Penelitian

Sampel yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 100 sampel


dengan kriteria inklusi dan kriteria ekslusi sebagai berikut. Kriteria inklusi:
a) pasien yang menderita hipertensi di rawat jalan minimal menjalani dua
bulan pengobatan
b) pasien yang mendapatkan obat antihipertensi
c) berusia ≥ 18 tahun
d) bisa diajak berkomunikasi
e) bersedia mengisi kuesioner. Sedangkan untuk kriteria ekslusinya ialah
pasien berlatar belakang pendidikan kesehatan dan berprofesi sebagai
tenaga kesehatan.

3.4 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan teknik


non random sampling secara purposive sampling.

34
3.5 Instrumen Penelitian

Salah satu cara mengukur kepatuhan yaitu dengan kuesioner. Metode


ini cukup sederhana, murah, dan mudah dilakukan. Salah satu model kuesioner
yang tepat untuk menilai kepatuhan pada terapi jangka panjang adalah Morisky
medication adherence scales-8. Kuesioner MMAS-8 merupakan kuesioner
kepatuhan penggunaan obat yang terdiri dari sejumlah 8 item pertanyaan
tertutup berupa jawaban “Ya” dan “Tidak”. Morisky Medication Adherence
Scales-8 dikategorikan menjadi 2 tingkat kepatuhan obat: kepatuhan tinggi
(nilai 8) dan kepatuhan rendah (nilai ≤ 7) (Morisky et al, 2008).
Kuesioner pengetahuan yang digunakan pada penelitian ini yaitu
Hypertension KnowledgeLevel Scale (HK-LS). Kuesioner HK-LS digunakan
untuk menilai pengetahuan responden dalam memahami apa arti dari hipertensi,
gaya hidup, perawatan medis, kepatuhan menggunakan obat, 4 diet dan
komplikasi hipertensi. Kuesioner HK-LS mempunyai nilai reliabilitas sebesar
0,81. Setiap item pertanyaan memiliki jawaban benar atau salah. Jumlah
seluruh pertanyaan berjumlah 22, dengan setiap jawaban yang benar bernilai 1
poin dan setiap jawaban yang salah bernilai 0. Knowledge-Level Scale (HK-LS)
dikategorikan menjadi 2 tingkat pengetahuan hipertensi: pengetahuan tinggi
(nilai 18-22 poin), pengetahuan rendah (≤ 17 poin) (Polariska et al, 2016).

3.6 Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan program SPSS


menggunakan uji chi square untuk mengetahui pengaruh pengetahuan terhadap
kepatuhan pasien hipertensi.

35
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Susanto. 2015. Teori Belajar Dan Pembelajaran Disekolah Dasar. Jakarta:
Prenada Media.
Ardiansyah, M. 2012. Medikal Bedah. Yogyakarta: DIVA Press.
Effendy, Nasrul. 1998. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat Edisi 2.
EGC: Jakarta.
Fitriani. S. 2011. Promosi Kesehatan. Ed 1. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Harwandy & Maziyyah, Nurul. 2017. Pengaruh Edukasi Terhadap Tingkat
Kepatuhan Pada Pasien Hipertensi di Puskesmas Kasihan 1 Bantul. Eprint
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 1(1), 1-7.
Kemenkes. 2015. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Diakses 25 Februari 2021. Pukul 15.00
WITA.
Maulana, Heri, d.j. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Mubarak, Wahid I. Chayatin N., Rozikin K. & Supradi. 2007. Promosi Kesehatan.
Yogyakarta : Graha Ilmu.
Notoatmodjo, Soekidjo, 2003, Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
________. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta : Rineka Cipta.
________. 2012. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Rusli Lutan. 2000. Belajar Keterampilan Motorik Pengantar Teori dan Metode.
Jakarta DEPDIKBUD.
Smantummkul, Chayanee., Sutrisna, EM., dan Suharsono. 2014. Tingkat Kepatuhan
Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Hipertensi Di Instalasi Rawat
Jalan Rumah Sakit X Pada Tahun 2014. Eprint Universitas Muhammadiyah
Surakarta. 1-11.
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth, edisi 8. Jakarta : EGC.

36

Anda mungkin juga menyukai