Anda di halaman 1dari 18

ANALISIS KEBIJAKAN PENYAKIT TIDAK MENULAR

MENGANALISIS KEBIJAKAN DAN STRATEGI

MENGURANGI HIPERTENSI

ANALISIS KEBIJAKAN KESEHATAN

OLEH

Kelompok 4

Rohil Dwi Ramadani 2010070120018

Adela Shufia 2010070120033

Suci Septria Asmi 2010070120036

Dosen Pengampu:

Hary Budiman SKM.M.Kes

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

World Health Organization (2018) mengidentfikasikan Penyakit Tidak


Menular (PTM) merupakan salah satu atau masalah kesehatan dunia dan
Indonesia yang sampai saat ini masih menjadi perhatian dalam dunia kesehatan
karena merupakan salah satu penyebab dari kematian. Penyakit tidak menular
(PTM), juga dikenal sebagai penyakit kronis, tidak ditularkan dari orang ke orang,
mereka memiliki durasi yang panjang dan pada umumnya berkembang secara
lambat merupakan penyebab utama kematian dan ketidakmampuan fisik yang
diderita oleh masyarakat Indonesia maupun dunia. Pada tahun 2019, sebanyak
71% kematian saat ini disebabkan oleh panyakit tidak menular, 35% diantaranya
karena penyakit jantung dan pembuluh darah, 12% oleh penyakit kanker, 6% oleh
penyakit pernapasan kronis, 6% karena Diabetes, dan 15% disebabkan oleh
Penyakit Tidak Menular lainnya. Hampir tiga per empat dari semua kematian
akibat penyakit tidak menular dan 82% dari 16 juta orang yang meninggal
sebelum waktunya atau sebelum mencapai usia 70 tahun yang terjadi di negara-
negara berpenghasilan rendah dan menengah (Rahayu et al., 2021).

Hipertensi sebagai kondisi peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg


dan atau peningkatan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg (Dwi Ariani Febrina,
2021). Kondisi ini umumnya bersifat asimptomatik jarang menimbulkan gejala
dan sering tidak disadari, sehingga dapat menimbulkan morbiditas lain seperti
gagal jantung kongestif, hipertrofi ventrikel kiri, stroke, gagal ginjal stadium
akhir, atau bahkan kematian. Hipertensi merupakan salah satu penyebab terbesar
morbiditas di dunia, sering disebut sebagai pembunuh diam-diam atau silent killer
karena tidak menimbulkan gejala yang spesifik (Ibekwe, 2019). Hipertensi
menjadi topik pembicaraan yang hangat dan menjadi salah satu prioritas masalah
kesehatan di Indonesia maupun di seluruh dunia, karena dalam jangka panjang
peningkatan tekanan darah yang berlangsung kronik akan menyebabkan
peningkatan risiko kejadian kardiovaskuler, serebrovaskuler dan renovaskuler,
serta penyakit berbahaya lainnya (Aan et al., 2020).

Berdasarkan data dari WHO (World Health Organization) pada tahun


2018, penyakit ini menyerang lebih dari 22% penduduk dunia. Jumlah penderita
hipertensi diperkirakan akan terus meningkat mencapai angka 60% atau 1,56
miliar individu pada tahun 2025, dengan kematian mencapai 9,4 juta individu.
Survey dari WHO menunjukkan data bahwa prevalensi hipertensi tertinggi berada
pada wilayah Afrika (42%), sedangkan prevalensi terendah berada di wilayah
Amerika (35%). Prevalensi hipertensi umumnya ditemui lebih tinggi di negara
dengan pendapatan perkapita sedang sampai rendah dibandingkan dengan negara
pendapatan tinggi. Berdasarkan survey WHO menunjukkan bahwasanya pada
negara dengan pendapatan sedang sampai rendah angka kejadian hipertensi
sebesar 40%, sedangkan untuk negara berpendapatan tinggi sebesar 35%
(Anshari, 2020).

Di Indonesia sendiri masalah hipertensi juga memiliki kasus yang tinggi.


Berdasarkan hasil Riskesdas yang terbaru tahun 2018, prevalensi kejadian
hipertensi sebesar 34,1%. Angka ini meningkat cukup tinggi dibandingkan hasil
Riskesdas tahun 2013 yang menyampaikan kejadian hipertensi berdasarkan hasil
pengukuran tekanan darah pada masyarakat Indonesia berusia 18 tahun ke atas
adalah 25,8%. Prevalensi hipertensi mengalami peningkatan yang signifikan pada
pasien berusia 60 tahun ke atas. Data menunjukkan kejadian hipertensi pada usia
yang relatif lebih muda di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari prevalensi
hipertensi di Indonesia pada tahun 2013 pada kelompok usia muda, yaitu
kelompok usia 18-24 tahun sebesar 8,7%, kelompok usia 25-34 tahun sebesar
14,7% dan pada kelompok usia 35-44 tahun sebesar 24,8% berdasarkan hasil riset
yang terbaru pada tahun 2018 angka ini mengalami peningkatan yang cukup
signifikan menjadi 13,2% pada usia 18-24 tahun, 20.1% di usia 25-34 tahun dan
31,6% pada kelompok usia 25-44 tahun (Kemenkes, 2019).

Tingginya angka prevalensi hipertensi ini tentunya memerlukan pelayanan


kesehatan yang sesuai standar untuk mencegah kejadian tingkat lanjut.
Pencegahan hipertensi dapat dilakukan dengan berbagai upaya, baik dimulai dari
level promotif dan preventif hingga level kuratif dan rehabilitatif. Menurut
Kemenkes (2017) dalam (Tedjakusumana, 2012), upaya pencegahan dan
penanggulangan penyakit tidak menular terdiri dari empat upaya, yaitu melalui
kemitraan dan advokasi, promosi kesehatan dan penurunan faktor risiko,
Penguatan Pelayanan Kesehatan, sistem surveilans dan riset serta monitoring
evaluasi. Sedangkan, upaya pengobatan dapat dilakukan dengan tindakan
farmakologi, seperti pengobatan diuretic dengan hydrochlorothiazide, penghambat
Beta dengan Atenolol dan Bisoprolol, ACE Inhibitor dengan Captopril dan
Ramipril, Angiotensin-2 receptor blocker, dan lain sebagainya. Selain upaya
farmakologi, pengobatan hipertensi secara tradisional juga masih banyak
dilakukan masyarakat, seperti pengobatan dengan minuman dari tanaman herbal
yang diperoleh di lingkungan sekitarnya.

1.2 Tujuan

a. Memahami konsep dasar tentang hipertensi dan kebijakan


pengendaliannya.
b. Mengidentifikasi langkah-langkah kunci dalam pengembangan kebijakan
pengendalian hipertensi.

c. Menerapkan pengetahuan dalam pengembangan kebijakan pengendalian


hipertensi melalui studi kasus

1.3 Kebijakan Penyakit Tidak Menular Hipertensi

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) telah


mengembangkan Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis) (BPJS
Kesehatan, 2014). Program ini bertujuan untuk mencegah atau memperlambat
terjadinya komplikasi yang serius dan meningkatkan kualitas hidup penderita
hipertensi dan diabetes (BPJS Kesehatan, 2019). Kurang optimalnya program
penanggulangan dan pencegahan hipertensi yang ada saat ini, membuat para
pemangku kepentingan perlu memformulasikan strategi yang lebih menyeluruh
dan inovatif. Program intervensi baru yang dirumuskan harus menyasar beyond
individual mengingat realitas bahwa seorang individu tidak dapat dipisahkan dari
lingkungan dan konteks sosialnya. Selain itu, kemampuan pasien dalam
melakukan upaya perawatan diri seringkali terbatas. Oleh karena itu, Keluarga
memiliki peran yang penting mendorong.

Melakukan pelatihan kepada mahasiswa yang akan menjadi penyuluh


kesehatan serta berkoordinasi dengan Puskesmas untuk mencocokan jadwal
intervensi dengan program yang mereka miliki. Selain itu, waktu jeda tersebut
juga dimanfaatkan oleh tim untuk melakukan fund rising guna membiayai
intervensi yang akan diselenggarakan.

Program intervensi terdiri dari 3 jenis program yaitu,

1. Door to door campaign, dan cek tensi, Program ini berupa kampanye
kesehatan dengan mendatangi rumahrumah warga untuk membangun
kesadaran tentang bahaya hipertensi dan pentingnya mencegah
terjadinya hipertensi. Bagi keluarga yang memiliki pasien hipertensi,
penyuluh kesehatan memotivasi pasien dan anggota keluarga lain
untuk mempraktekan perilaku perawatan diri (self-care behavior)
seperti kepatuhan minum obat, aktivitas fisik, diet sehat, upaya
berhenti merokok, program penurunan berat badan, memonitor
tekanan darah, dan konsultasi ke dokter secara rutin. Selain itu, tim
juga melakukan pengecekan tekanan darah kepada seluruh anggota
keluarga
2. Edukasi kesehatan, dilakukan dengan mengumpulkan warga yang
memiliki tekanan darah di atas normal, kemudian diberikan edukasi
bagaimana menjaga kondisi tekanan darah agar tetap normal. Edukasi
juga dilakukan sebelum kegiatan senam bersama dilakukan..
3. Senam bersama dilakukan dengan mengundang instruktur senam
professional untuk memperagakan gerakan senam hipertensi yang
dapat dilakukan di rumah masing-masing.

Sedangkan untuk kebijakan penyakit tidak menular dapat ditemukan pada UU


RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Penyakit Tidak Menular Pasal 158
Upaya yang dilakukan berupa Pencegahan Pengendalian Penanganan penyakit
dan akibat yang ditimbulkan. Adapun tujuan kebijakan tersebut yaitu :

1) Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat


2) Kemauan berperilaku sehat Mencegah terjadinya PTM beserta
akibatnya
3) Melaksanakan upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif secara
komprehensif.
4) Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia.
5) Mengembangkan dan memperkuat sistem surveilans.
6) Penguatan jejaring dan kemitraan melalui pemberdayaan masyarakat.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Identifikasi Masalah

2.1.1 Hipertensi

Berbagai masalah kesehatan yang muncul belakangan ini meningkatkan


angka mortalitas yang tinggi. Masalah kesehatan tersebut didominasi oleh
penyakit tidak menular atau PTM, salah satunya yaitu hipertensi. World Health
Organization (WHO) mengatakan bahwa hipertensi merupakan penyebab
utama kematian dini di seluruh dunia. Hipertensi didefinisikan sebagai kondisi
peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau peningkatan tekanan
darah diastolik ≥ 90 mmHg (World Health Organization, 2013) (Dwi Ariani
Febrina, 2021). Kondisi ini umumnya bersifat asimptomatik jarang menimbulkan
gejala dan sering tidak disadari, sehingga dapat menimbulkan morbiditas lain
seperti gagal jantung kongestif, hipertrofi ventrikel kiri, stroke, gagal ginjal
stadium akhir, atau bahkan kematian. Hipertensi merupakan salah satu penyebab
terbesar morbiditas di dunia, sering disebut sebagai pembunuh diam-diam atau
silent killer karena tidak menimbulkan gejala yang spesifik (Ibekwe, 2019).

Faktor Risiko yang melekat pada penderita Hipertensi dan tidak dapat
diubah,antara lain :

1. Umur
Tekanan darah cenderung meningkat seiring bertambahnya usia.
Semakin tua, semakin besar kemungkinan terkena tekanan darah
tinggi. Biasanya, muncul di usia di atas 60 tahun. Hal ini karena
seiring bertambahnya usia, pembuluh darah secara bertahap kehilangan
sebagian dari kualitas elastisnya, yang dapat berkontribusi pada
peningkatan tekanan darah. Namun, anak-anak juga bisa mengalami
tekanan darah tinggi walaupun tidak sebanyak kasus pada orang
berusia tua.
2. Jenis Kelamin
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), wanita
memiliki kemungkinan yang sama dengan pria untuk mengembangkan
tekanan darah tinggi di beberapa titik selama hidup mereka. Hingga
usia 64 tahun, pria lebih mungkin terkena tekanan darah tinggi
daripada wanita. Sementara, pada usia di atas 65 tahun, wanita lebih
mungkin untuk mendapatkan tekanan darah tinggi.
3. Genetik
Faktor risiko yang tidak dapat diubah selanjutnya yaitu riwayat
keluarga (genetik). Gen memainkan beberapa peran dalam tekanan
darah tinggi, penyakit jantung, dan kondisi terkait lainnya. Ketika
anggota keluarga mewariskan sifat dari satu generasi ke generasi lain
melalui gen, proses ini disebut hereditas. Riwayat kesehatan keluarga
adalah alat yang berguna untuk memahami risiko kesehatan dan
mencegah penyakit yang dapat diskusikan dengan tenaga medis.

Faktor risiko kejadian hipertensi yang diakibatkan perilaku tidak sehat dari
penderita, diantaranya sebagai berikut :

1. Berat badan berlebih atau kegemukan


Timbulnya berbagai penyakit seperti obesitas biasanya diikuti oleh
keadaan antara lain hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung
seperti arterioklerosis, jantung koroner. Periksa IMT
2. Merokok
Rokok mengandung zat racun seperti tar, nikotin dan karbon
monoksida. Zat beracun tersebut akan menurunkan kadar oksigen ke
jantung, meningkatkan tekanan darah dan denyut nadi, penurunan
kadar kolesterol HDL (kolesterol baik), peningkatan gumpalan darah
dan kerusakan endotel pembuluh darah coroner
3. Diet tinggi lemak dan rendah serat
Konsumsi lemak yang berlebihan dapat menimbulkan risiko hipertensi
karena akan meningkatkan kadar kolesterol dalam darah .Kolesterol
tersebut akan melekat pada dinding pembuluh darah yang lama-
kelamaan pembuluh darah akan tersumbat diakibatkan adanya plaque
dalam darah yang disebut dengan aterosklerosis
4. Dislipidemia
Dislipidemia merupakan faktor risiko terbentuknya arteriosklerosis.
Aterosklerosis akan mengakibatkan penyumbatan dan penimbunan
lemak atau bekuan darah. Hal tersebut mengakibatkan tingginya
resistensi vaskular sistemik dan memicu peningkatan tekanan darah.
5. Konsumsi garam berlebih
Garam memiliki sifat mengikat cairan sehingga mengkonsumsi garam
dalam jumlah yang berlebihan secara terus-menerus dapat berpengaruh
secara langsung terhadap peningkatan tekanan darah.
6. Kurang aktivitas fisik
Orang yang kurang berolahraga atau kurang aktif bergerak dan yang
kurang bugar, memiliki risiko menderita tekanan darah tinggi atau
hipertensi meningkat 20-50% dibandingkan mereka yang aktif dan
bugar (Kartika et al., 2021).

Pengendalian hipertensi memerlukan pelayanan kesehatan yang sesuai


standar untuk mencegah kejadian tingkat lanjut. Pencegahan hipertensi dapat
dilakukan dengan berbagai upaya, baik dimulai dari level promotif dan preventif
hingga level kuratif dan rehabilitatif. Menurut Kemenkes (2019) dalam
(Tedjakusumana, 2012), upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak
menular terdiri dari empat upaya, yaitu melalui kemitraan dan advokasi, promosi
kesehatan dan penurunan faktor risiko, Penguatan Pelayanan Kesehatan, sistem
surveilans dan riset serta monitoring evaluasi. Upaya pencegahan hipertensi
meliputi :

a. Promosi kesehatan dapat dilakukan untuk mengurangi resiko yang


berhubungan dengan berbagai faktor-penentu kesehatan, yang dapat
menyebabkan penyakit serta dapat meningkatkan dan memperbaiki
kualitas hidup masyarakat.
b. Mengurangi berat badan ketingkat yang paling ideal bagi penderita berat
badan besar dan obesitas.
c. Minuman yang mengadung alkohol dihindari, kurangi atau batasi asupan
natrium atau garam, berhenti merokok, kurangi atau hindari makanan
tinggi lemak dan kolesterol tinggi dan olahraga teratur seperti gerakan
aerobic, jalan kaki, lari, mengayuh sepeda dan lain-lain.
d. Edukasi. Berbagai riset menunjukkan bahwa edukasi pasien berdampak
positif terhadap penurunan tekanan darah, serta peningkatan pengetahuan
dan sikap pasien (Telaumbanua & Rahayu, 2021).

Langkah pertama dalam pengembangan kebijakan yaitu pengumpulan


data. Rancangan penelitian hipertensi menggunakan pengumpulan data secara pre
penelitian kuantitatif dengan menggunakan rancangan penelitian analitik dan
desain cross sectional. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariate
untuk mengetahui pengaruh kebijakan dan strategi yang dimiliki dalam penekanan
angka hipertensi, terutama pada usia lanjut.

2.1.2 Pengumpulan Data

Data adalah bahan keterangan berupa himpunan fakta, angka, huruf, grafik,
tabel, lambang, objek, kondisi, situasi. Data merupakan bahan baku informasi.
Untuk mencapai tujuan penelitian, peneliti memerlukan data yang benar yang
dapat diperoleh di lapangan sesuai dengan topik dalam penelitian. Proses
pengumpulan data merupakan kegiatan mencari data di lapangan yang akan
digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian. Validitas pengumpulan data
serta kualifikasi pengumpul data sangat diperlukan untuk memperoleh data yang
berkualitas.

Pengumpulan data juga diartikan sebagai langkah yang strategis dalam


penelitian yang disebabkan karena tujuan utama dari penelitian adalah untuk
mendapatkan data untuk memenuhi standar yang sudah ditetapkan dalam
menjawab rumusan permasalahan yang diungkapkan di dalam penelitian.
Beberapa metode pengumpulan data antara lain:

1. Wawancara
Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui tatap
muka dan Tanya jawab langsung antara peneliti dan narasumber.
Wawancara terbagi atas dua kategori, yaitu :
a. Wawancara terstruktur
Dalam wawancara terstruktur, peneliti telah mengetahui dengan
pasti informasi apa yang hendak digali dari narasumber. Peneliti
juga bisa menggunakan berbagai instrumen penelitian seperti alat
bantu recorder, kamera untuk foto, serta instrumen-instrumen lain.
b. Wawancara tidak terstruktur
Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara bebas. Peneliti
tidak menggunakan pedoman wawancara yang berisi pertanyaan-
pertanyaan spesifik, namun hanya memuat poin-poin penting dari
masalah yang ingin digali dari responden.
2. Observasi
Observasi adalah metode pengumpulan data yang kompleks karena
melibatkan berbagai faktor dalam pelaksanaannya. eknik pengumpulan
data observasi cocok digunakan untuk penelitian yang bertujuan untuk
mempelajari perilaku manusia, proses kerja, dan gejala-gejala alam.
3. Angket (kuesioner)
Kuesioner merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan
cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada
responden untuk dijawab. Kuesioner merupakan metode pengumpulan
data yang lebih efisien bila peneliti telah mengetahui dengan pasti variabel
yag akan diukur dan tahu apa yang diharapkan dari responden.
4. Studi Dokumen
Studi dokumen adalah metode pengumpulan data yang tidak ditujukan
langsung kepada subjek penelitian. Studi dokumen adalah jenis
pengumpulan data yang meneliti berbagai macam dokumen yang berguna
untuk bahan analisis.
Di samping teknik pengumpulan data, pengumpulan data hipertensi dapat

dilakukan dengan menggumpulan data primer dan data sekunder, yaitu :

a. Data Primer

Data primer peneliti menggunakan kuesioner dengan wawancara yang


dibuat oleh peneliti yang terdiri dari kebijakan dan strategi dalam penekanan
angka hipertensi..

b. Data Sekunder

Data yang didapatkan dari instansi terkait yang mengelola pencatatan dan
pengumpulan data tentang kebijakan dan strategi dalam penekanan angka
hipertensi, seperti data Puskesmas Nanggalo Padang berupa bentuk-bentuk
kebijakan dan stategi puskesmas dalam menangani penderita hipertensi.

2.1.3 Analisis Situasi

Analisis situasi merupakan tahap pengumpulan data yang


dilakukan peneliti sebelum merancang dan merencanakan program. Analisis
situasi bertujuan untuk mengumpulkan informasi mencakup jenis dan
bentuk kegiatan, pihak atau publik yang terlibat, tindakan dan strategi yang akan
diambil, taktik, serta anggaran biaya yang diperlukan dalam melaksanakan
program.

Proses analisis situasi terdiri dari analisis situasi internal dan analisis
situasi eksternal, sebagai berikut :

1) Analisis situasi internal merupakan tinjauan ulang secara menyeluruh


terhadap persepsi dan tindakan organisasi. Jenis dari analisis situasi
internal adalah hubungan personal (personal contact), informasi kunci
(key informan), internet, badan pengawas (advisory board), ombudsman,
dan penelitian lapangan (field research).
2) Analisis situasi eksternal merupakan tinjauan ulang secara sistematis latar
belakang masalah yang berada di luar organisasi. Jenis dari analisis situasi
eksternal mencakup data sekunder (studi pustaka), survei, pengamatan,
dan analisis isi.

2.2 Perumusan Kebijakan

Dalam mengelola penyakit hipertensi termasuk penyakit tidak menular


lainnya, Kemenkes membuat kebijakan pengendalian hipertensi yaitu:

1. Mengembangkan dan memperkuat kegiatan deteksi dini hipertensi secara


aktif (skrining)
2. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan deteksi dini melalui
kegiatan Posbindu PTM
3. Meningkatkan akses penderita terhadap pengobatan hipertensi melalui
revitalisasi Puskesmas untuk pengendalian PTM melalui peningkatan
sumberdaya tenaga kesehatan yang profesional dan kompenten dalam
upaya pengendalian PTM khususnya tatalaksana PTM di fasilitas
pelayanan kesehatan dasar seperti Puskesmas, peningkatan manajemen
pelayanan pengendalian PTM secara komprehensif (terutama promotif dan
preventif) dan holistic, serta peningkatkan ketersediaan sarana dan
prasarana promotif-preventif, maupun sarana prasarana diagnostik dan
pengobatan.

Faktor risiko hipertensi dan hambatan pengendalian yang kompleks


memelukan perhatian khusus untuk menekan angka hipertensi, begitu pula dengan
beragamnya populasi yang terkena dampak hipertensi dan banyaknya lingkungan
dan sektor berbeda yang dapat berperan dalam mengidentifikasi, mengobati, dan
mengendalikan hipertensi. Pemilihan strategi pengendalian hipertensi yang efektif
dapat dilakukan dengan beberapa strategi, yaitu :

a. Meningkatkan kesadaran akan risiko kesehatan akibat hipertensi yang


tidak terkontrol
b. Kenali kerugian ekonomi yang besar akibat hipertensi yang tidak
terkontrol
c. Menghilangkan kesenjangan dalam pengobatan dan pengendalian
hipertensi
d. Meningkatkan akses dan ketersediaan peluang aktivitas fisik dalam
masyarakat

Menurut Prof. Tjandra upaya pencegahan dan penanggulangan hipertensi


dimulai dengan meningkatkan kesadaran masyarakat dan perubahan pola hidup ke
arah yang lebih sehat. Oleh karena itu Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan
kesehatan dasar perlu melakukan Pencegahan primer yaitu kegiatan untuk
menghentikan atau mengurangi faktor risiko Hipertensi sebelum penyakit
hipertensi terjadi, melalui promosi kesehatan seperti diet yang sehat dengan cara
makan cukup sayur-buah, rendah garam dan lemak, rajin melakukan aktifitas, dan
tidak merokok.

2.3 Implementasi Kebijakan

2.3.1 Langkah-Langkah Pelaksanaan Kebijakan

Langkah-langkah dalam pelaksanaan kebijakan pengendalian kejadian


hipertensi, yaitu :

1. Advokasi dan sosialisasi


a. Sosialisasi NSPK
Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria yang selanjutnya disebut
NSPK adalah petunjuk untuk melaksanakan urusan wajib dan pilihan.
1) Deteksi dini HT
Untuk Mencegah Penyakit Hipertensi yaitu dengan cara mengurangi
asupan garam atau memakai garam iodium, tidak merokok , sering
olah raga fisik secara teratur serta hindari stress
2) Surveilans
Surveilans Kesehatan adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan
terus menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit
atau masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya
peningkatan dan penularan penyakit atau masalah kesehatan untuk
memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan tindakan
pengendalian dan penanggulangan secara efektif dan efisien.
3) Promosi: KIE
Edukasi dan promosi kesehatan hipertensi ditekankan pada pentingnya
kepatuhan terapi demi tercapainya target tekanan darah.
4) Kemitraan
Kemitraan adalah salah satu strategi promosi kesehatan yang dilakukan
untuk melibatkan seluruh komponen masyarakat dalam pembangunan
kesehatan. Di sisi lain, keberhasilan suatu kerjasama sangat bergantung
pada komitmen yang diberikan oleh pihak yang bermitra.
5) Fasilitasi UKBM
Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM)
merupakan bentuk fasilitas pelayanan kesehatan yang dikelola oleh
masyarakat. Beberapa bentuk UKBM yang dikenal adalah Posyandu
(Pos Pelayanan Terpadu), Polindes (Pondok Bersalin desa) dan Desa
Siaga.
6) Bintek
Melakukan sosialisasi dan bimbingan teknis kepada Puskesmas/FKTP
terkait sasaran, target dan penatalaksanaan penderita hipertensi.
7) Monev
Monitoring dan evaluasi adalah kegiatan pemantauan dan penilaian
yang dapat dijelaskan sebagai kesadaran tentang apa yang ingin
diketahui, pemantauan berkadar tingkat tinggi dilakukan agar dapat
menilai keberhasilan penemuan dan tatalaksana kegiatan pad
pelayanan penderita hipertemsi melalui waktu yang menunjukkan
pergerakan ke arah tujuan.
2. Logistik
1) Posbindu Kit
Posbindu Kit (Pos Pembinaan Terpadu) Penyakit Tidak menular Kit
atau PTM merupakan peran serta masyarakat dalam melakukan
kegiatan deteksi dini dan pemantauan faktor risiko PTM Utama yang
dilaksanakan secara terpadu, rutin, dan periodik.contohnya seperti
hipertensi.
2) Media KIE
Media KIE adalah dokumen yang berisi informasi tentang bisnis,
produk, atau event organisasi atau perusahaan.
3) Obat dan Alkes
Menyediakan jenis obat antihipertensi ini diantaranya yaitu benazepril,
captopril, enalapril, fosinopril, serta menyediakan alat pengukur tensi
yaitu tensimeter Pemeriksaan penunjang yang sebaiknya dilakukan
saat menemukan kasus hipertensi adalah pemeriksaan darah rutin, gula
darah, profil lipid, elektrolit, fungsi ginjal, pemeriksaan rekam jantung
(elektrokardiografi/EKG) dan ronsen dada
4) Metode Morbiditas dan Konsumsi
Bawang putih banyak digunakan oleh pasien karena efek menurunkan
tekanan darahnya. Sebuah meta-analisis yang diterbitkan pada tahun
2019 menyimpulkan bahwa konsumsi bawang putih menurunkan
tekanan darah pada pasien hipertensi.
3. SDK Dana:
1) APBN (Dekon)
Dana Dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang
dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah yang mencakup
semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka
pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan
untuk instansi vertikal pusat di daerah.
2) Dana Perimbangan
a) Dana Alokasi Umum (DAU), adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan
kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan
Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
b) Dana Alokasi Khusus (DAK), adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu
dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang
merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
c) Dana Bagi Hasil (DBH), adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan
angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi.
2.3.2 Sumber Daya dan Keterlibatan Stakeholder

Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu indikator dalam


pelaksanaan program pengendalian dan pencegahan hipertensi. Beberapa gerakan
pemberdayaan masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan, seperti adanya dana
sehat, keterlibatan forum dan masyarakat terhadap program kesehatan, adanya
kegiatan penyuluhan rutin, peningkatan informasi melalui media promkes, dan
adanya seminar atau workshop kesehatan. Hal ini sesuai dengan indikator konsep
kota sehat untuk mewujudkan kawasan sehat yang difasilitasi oleh pemerintah
kota. Salah satu progam mengatasi permasalahan dampak dari hipertensi ini
adalah dengan inovasi pengembangan kota sehat.

Inovasi pengembangan kota sehat merupakan merupakan rancangan yang


dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan kota yang bersih, nyaman, aman
untuk dihuni melalui pemberdayaan masyarakat dan forum yang difasilitasi oleh
pemerintah. Salah satu inovasi yang dilaksanakan dengan optimalisasi peran
masyarakat untuk dilibatkan sebagai kader. Pelaksanaan inovasi program kader ini
dilaksanakan dengan mengoptimalkanpelaksanaan Pos Pembinaan Terpadu
Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Kegiatan yang dapat dilakukan kader
dalam pencegahan dan penanggulangan faktor risiko penyakit tidak menular
meliputi deteksi dini dan perawatan hipertensi dengan pendekatan keluarga.

2.4 Evaluasi dan Penyempurnaan

2.4.1 Dampak Kebijakan Pengendalian Hipertensi


Dampak dari pengendalian kebijakan hipertensi dapat sangat beragam
tergantung pada implementasi kebijakan dan faktor-faktor lingkungan yang
memengaruhi masyarakat :

1. Penurunan Angka Kejadian Hipertensi: Kebijakan yang efektif dapat


menyebabkan penurunan angka kejadian hipertensi di masyarakat,
mengurangi risiko penyakit jantung dan stroke.
2. Peningkatan Deteksi Dini: Kebijakan yang mendorong skrining dan
deteksi dini hipertensi dapat membantu pasien mendapatkan perawatan
lebih awal, meminimalkan komplikasi.
3. Peningkatan Kepatuhan Pasien: Edukasi dan dukungan yang disediakan
oleh kebijakan dapat meningkatkan kepatuhan pasien terhadap perawatan,
seperti pengobatan dan perubahan gaya hidup.
4. Peningkatan Kualitas Hidup: Dengan pengendalian hipertensi yang baik,
pasien dapat mengalami peningkatan kualitas hidup, termasuk
pengurangan gejala dan risiko komplikasi.
5. Pengurangan Beban Kesehatan Masyarakat: Dengan pengendalian
hipertensi, beban kesehatan masyarakat dapat berkurang, mengurangi
biaya perawatan kesehatan dan absensi kerja.

2.4.2 Penyempurnaan Kebijakan Hasil Evaluasi

Penyempurnaan kebijakan berdasarkan hasil evaluasi adalah proses yang


dapat memastikan bahwa program pengendalian hipertensi terus berkembang dan
memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat. Hal ini memerlukan komitmen
terus-menerus untuk meningkatkan perawatan dan pencegahan penyakit.
Penyempurnaan kebijakan pengendalian hipertensi berdasarkan hasil evaluasi
dapat melibatkan hal sebagai berikut :

1. Evaluasi Hasil Program


Evaluasi hasil program merupakan program dengan menganalisis
data hasil program pengendalian hipertensi, termasuk tingkat deteksi,
pengobatan, dan pengendalian tekanan darah pasien. Identifikasi
apakah program mencapai sasaran yang telah ditetapkan.
2. Evaluasi Kepatuhan
Evaluasi kepatuhan bertujuan untuk meninjau tingkat kepatuhan
pasien terhadap pengobatan dan perubahan gaya hidup. Apakah ada
faktor yang menghambat kepatuhan?
3. Penilaian Efektivitas Intervensi
Penilaian efektivitas hipertensi merupakan langkah dalam
mengevaluasi berbagai intervensi yang digunakan, seperti kampanye
penyuluhan, pengukuran tekanan darah berkala, atau pelayanan
kesehatan masyarakat.
4. Analisis Biaya-Manfaat
Analisis biaya manfaat merupakan tahapan melakukan analisis
biaya-manfaat untuk memahami efisiensi program. Apakah investasi
dalam program ini sebanding dengan manfaat kesehatan yang
diperoleh?
5. Evaluasi Kualitas Pelayanan Kesehatan
Bertujuan meninjau kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan
kepada pasien dengan hipertensi.
6. Evaluasi Aspek Ketidaksetaraan
Bertujuan untuk meninjau apakah program mencapai semua
kelompok sosial dan apakah ada ketidaksetaraan dalam akses dan hasil
perawatan.
7. Umpan Balik dari Pihak Terkait
Masukan dari tenaga medis, pasien, dan organisasi kesehatan
terkait mengenai pengalaman mereka dengan program pengendalian
hipertensi.
8. Perbaikan Kebijakan
Berdasarkan hasil evaluasi, lakukan perbaikan kebijakan, seperti
peningkatan strategi edukasi, alokasi sumber daya tambahan, atau
penyesuaian sasaran program.
2.5 Analisis Langkah Kebijakan

Menurut Dunn (2018), sebagaimana yang dikutip oleh Satrianegara (2020)


berpendapat bahwa tahapan-tahapan dalam menganalisis kebijakan terdiri dari
yaitu:

1. Perumusan masalah
Dalam hal ini suatu kebijakan harus mampu menganalisis dan menjelaskan

hal-hal yang menyebabkan mengapa kebijakan tersebut harus dibuat.

2. Memprediksikeberlangsungan kebijakan
Pelaku kebijakan harus pula mampu memprediksi tentang masa depan
kebijakan yang akan ditetapkannya. Hal ini bertujuan agar kebijakan
tersebut tidak hanya berlangsung sebentar, artinya kebijakan tersebut telah
sesuai dengan kebutuhan zaman dan perkembangan kebutuhan
masyarakat.
3. Merekomendasikan kebijakan
Pada tahap ini pelaku kebijakan turut serta mensyiarkan nilai-nilai
kebijakan kepada masyarakat luas.
4. Melakukan pemantauan terhadap hasil kebijakan
Dalam pelaksanaannya, suatu kebijakan tetap memerlukan adanya
perhatian, agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi penyalahgunaan dan
penyimpangan terhadap nilai-nilai kebijakan yang telah ditetapkan.
5. Melakukan evaluasi pelaksanaan kebijakan
Pada tahap ini, kebijakan yang telah ditetapkan perlu diuji kembali apakah
telah sesuai dengan perkembangan kebutuhan sosial.

Anda mungkin juga menyukai