Anda di halaman 1dari 32

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hipertensi merupakan salah satu penyakit penyebab

kematian paling utama di dunia. Hipertensi dapat membebani

jantung dan pembuluh darah secara berlebihan sehingga

mempercepat penyumbatan pembuluh arteri. Hipertensi yang

terjadi terus-menerus menyebabkan meningkatnya risiko terhadap

stroke, penyakit jantung, gagal jantung, dan gagal ginjal (Myra

Puspitorini, 2009).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menjelaskan kejadian

hipertensi pada tahun 2017 menyerang 22% penduduk dunia, dan

mencapai 36% angka kejadian di Asia Tenggara.Penelitian WHO-

Comunity Study of the Elderly. Central Java menemukan bahwa

tekanan darah tinggi dan penyakit kardiovaskuler merupakan

penyakit kedua terbanyak yang diderita lansia setelah artritis, yaitu

sebesar 15,2%.

Prevalensi Hipertensi yang tinggi tidak hanya terjadi di

negara maju tetapi juga negara berkembang seperti Indonesia.

Penyakit hipertensi menjadipenyebab kematian dengan angka

23,7% dari total 1,7 juta kematian di Indonesia tahun 2018 (Adam,

2019)Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018 juga

menunjukkan angka prevalensi hipertensi, hasil pengukuran

mencapai 34,1% meningkat tajam dari 25,8% pada tahun 2013,


2

dengan angka prevalensi tertinggi di Provinsi Kalimantan Selatan

sebesar 44,1% dan terendah di Provinsi Papua sebesar 22,2%.

Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 juga menunjukkan

bahwa penderita hipertensi di Indonesia berdasarkan kelompok

usia 45-54 tahun sebanyak 45,3%, usia 55-64 tahun sebanyak

55,2%, usia 65-74 tahun sebanyak 63,2% dan pada usia ≥ 75

tahun sebanyak 69,5%. Berdasarkan data-data yang diperoleh

menunjukkan prevalensi hipertensi di Indonesia menempati urutan

pertama jenis penyakit kronis tidak menular yang dialami pada

kelompok usia dewasa, yaitu sebesar 26,5%. Data yang diperoleh

dari Dinas Kesehatan Provinsi NTB (2017), dari 2.981.909

penduduk usia 18 tahun ke atas, sebanyak 100.114 jiwa (24,90%)

mengalami hipertensi.

Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat

(NTB) tahun 2019 menunjukkan penyakit yang menempati

peringkat kedua terbanyak di Provinsi NTB adalah hipertensi.

Tercatat penderita hipertensi yang berusia ≥15 tahun di Provinsi

NTB sebanyak 758.051 jiwa dan mendapatkan pelayanan sebesar

321.388 (42,40%). Prevalensi hipertensi di Provinsi NTB dengan

tingkat kejadian tertinggi di Kabupaten Sumbawa sebanyak

321.216 jiwa diikuti oleh Kabupaten Lombok Tengah sebanyak

137.852 jiwa, Lombok Timur 88.903 jiwa, Bima 72.760 jiwa,

Lombok Barat 51.909 jiwa, Kota Bima 29.909 jiwa, Lombok Utara
3

21.642 jiwa, Dompu 17.519 jiwa, Sumbawa Barat 11.076 dan Kota

Mataram sebanyak 5.265 jiwa (Profil Kesehatan NTB, 2019).

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Lombok barat dari

10 penyakit terbanyak yang ada di Lombok barat tahun 2020,

Puskesmas sigerongan termasuk puskesmas dengan nomor urut

ke 3 terbanyak di Lombok Barat dengan jumlah kasus 2045 jiwa.

Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh

peneliti pada sabtu, 30 Oktober 2021 pukul 09.00 WITA di

Posbindu Lingkungan Sigerongan di Wilayah Kerja Puskesmas

Sigerongan didapatkan hasil bahwa sebanyak 10 orang dari 30

responden tidak mengunjungi layanan kesehatan, dikarenakan

kondisi pandemi Covid-19. Responden mengatakan berada

dirumah lebih aman dan dapat mengurangi resiko terpapar covid-

19. Dari 30 responden 5 diantaranya mengatakan kurang patuh

mengkomsumsi obat penurunan tekanan darah dikarenakan

kesibukan sehari-hari sehingga lupa untuk minum obat.

Hipertensi yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan

komplikasi bahkan kematian. Kurangnya berolahraga, stress yang

tidak teratur, komsumsi lemak dan garam berlebihan merupakan

faktor-faktor penyebab yang berbahaya bagi penderita hipertensi.

Penyempitan pembuluh darah akibat hipertensi dapat

menyebabkan berkurangnya suplai darah dan oksigen ke jaringan

yang akan mengakibatkan mikroinfark pada jaringan. Komplikasi


4

berat hipertensi adalah kematian karena obstruksi dan rupturnya

pembuluh darah otak (Price & Wilson, 2009).

Hipertensi merupakan penyakit yang tidak dapat

disembuhkan, akan tetapi penaganan yang tepat dapat mengurangi

resiko berbahaya yang diakibatkan oleh hipertensi yang tidak

terkontrol atau ditangani dengan benar. Penanganan pada

penderita hipertensi dapat dilakukan dengan cara farmakologi dan

non farmakologi.

Pada umumnya hipertensi dapat ditangani dengan cara

farmakologi dan non farmakologi. Penangan hipertensi lebih sering

menggunakan cara farmakologi dengan obat-obatan. Namun

karena kondisi saat ini penderita takut berkunjung ke layanan

kesehatan untuk mendapatkan pengobatan, sehingga peneliti

memberikan intervensi non farmakologi seperti pola makan dengan

diet seimbang, berhenti merokok, berhenti merokok, berenti

mengonsumsi alkohol, mengendalikan stress, terapi herbal, terapi

pijat, senam yoga, olahraga atau aktivitas fisik, dan Self Regulated

Learning.

Salah satu cara yang dapat di lakukan adalah dengan

menggunakan Self Regulated Learning. Self Regulated Learning

merupakan suatu konsep yang penting dalam teori latihan dan

belajar kognitif yang mendasarkan pada banyak prinsip-prinsip

belajar perilakuan tetapi memberi perhatian besar pada dampak

tanda-tanda terhadap perilaku dan pada proses mental internal


5

serta menekankan dampak pikiran terhadap tindakan.

(Slavin,2019).

Secara internal Self Regulated Learning mensyaratkan

sejumlah proses internal dasar seperti memori, perhatian, kapasitas

untuk mengatasi gangguan terhadap apa yang sedang dilakukan,

dan kemampuan untuk memonitor keberhasilan dan atau

kegagalan terkait dengan apa yang sedang dilakukan. (Bukatko &

Daehler, 2018).

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul

“Pengaruh Self Regulated Learning Terhadap Kepatuhan Minum

Obat Pada Pasien Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas

Sigerongan”

B. Rumusan Masalah

“Apakah Ada Pengaruh Self Regulated Learning Terhadap

Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Hipertensi Di Wilayah Kerja

Puskesmas Sigerongan ?”

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh Self Regulated Learning Terhadap

Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Hipertensi Di Wilayah

Kerja Puskesmas Sigerongan.

2. Tujuan Khusus
6

a. Mengidentifikasi nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan

diastolic sebelum diberikan senam hipertensi terhadap

pasien hipertensi

b. Mengidentifikasi nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan

diastolic sesudah diberikan senam hipertensi terhadap

pasien hipertensi

c. Menganalisis pengaruh Self Regulated Learning Terhadap

Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Hipertensi

D. Manfaat

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan

wawasan perawat, serta sebagai bahan untuk pengembangan

ilmu pengetahuan dan penelitian khususnya dalam bidang

keperawatan.

2. Manfaat praktis

a. Bagi Responden

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan yang

bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan dalam upaya

penanganan hipertensi secara mandiri.

b. Bagi Tempat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi

pihak puskesmas untuk dijadikan agenda promkes untuk

penderita hipertensi.

c. Bagi peneliti selanjutnya


7

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

terhadap peneliti seputar senam hipertensiyang berhubungan

dengan perubahan tekanan darah lansia. Semoga dengan

penelitian ini dapat memperkaya penelitian ilmiah tentang

senam hipertensi di Indonesia.


8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoritis

1. Konsep Hipertensi

a. Definisi Hipertensi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu

peningkatan abnormal tekanan darah dalam pembuluh darah

arteri secara terus-menerus, baik tekanan systolic dan atau

diastolic. Menurut WHO, batasan tekanan darah yang masih

dianggap normal adalah 140/90 mmHg, sedangkan tekanan darah

yang ≥140/90 mmHg dinyatakan sebagai Hipertensi

b. Etiologi

Hipertensi disebabkan oleh berbagai faktor yang sangat

mempengaruhi satu sama lain, kondisi masing-masing orang tidak

sama sehingga faktor penyebab hipertensi pada setiap orang

sangat berlainan.

Berikut ini faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

hipertensi secara umum (Susilo, 2010):

1) Faktor resiko tidak terkendali

a) Faktor Genetik

Adanya faktor genetic pada keluarga tertentu akan

menyebabkan keluarga tersebut mempunyai risiko menderita

hipertensi. Individu dengan orang tua hipertensi mempunyai

resiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi


9

daripada individu yang tidak mempunyai keluarga dengan

hipertensi.

b) Umur

Kepekaan terhadap hipertensi akan meningkat seiring

dengan bertambahnya umur seseorang. Individu yang

berumur diatas 60 tahun, 50 - 60% mempunyai tekanan

darah lebih besar dari 140/90 mmhg. Hal itu merupakan

pengaruh degenerasi yang terjadi pada orang yang

bertambah usianya.

c) Jenis kelamin

Setiap jenis kelamin memiliki struktur organ dan hormon

yang berbeda. Demikian juga pada perempuan dan laki-laki.

Berkaitan dengan hipertensi, laki-laki mempunyai risiko lebih

tinggi untuk menderita hipertensi lebih awal. Laki-laki juga

mempunyai risiko yang lebih besar terhadap morbiditas dan

mortalitas kardivaskuler. Sedangkan pada perempuan biasa

lebih rentan terhadap hipertensi ketika mereka sudah

berumur diatas 50 tahun.

d) Etnis

Setiap etnis memiliki kekhasan masing-masing yang

menyebabkan ciri khas dan pembeda satu dengan yang

lainnya. Hipertensi lebih banyak terjadi pada orang berkulit

hitam daripada yang berkulit putih. Belum diketahui secara

pasti penyebabnya, tetapi pada orang kulit hitam ditemukan


10

kadar renin yang lebih rendah dan sensitivitas terhadap

vasopressin yang lebih besar.

2) Faktor resiko terkendali

a) Stress

Stress akan meningkatkan resistensi pembuluh perifer dan

curah jantung sehingga akan menstimulus aktivitas saraf

simpatik. Adapun stress ini dapat berhubungan dengan

pekerjaan, kelas social, ekonomi, dan karakteristik personal.

Stress yang dialami seseorang akan membangkitkan saraf

simpatis yang akan memicu kerja jantung dan menyebabkan

peningkatan tekanan darah.

b) Obesitas

Kegemukan (obesitas) juga merupakan salah satu faktor

yang menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit

berat, salah satunya hipertensi. Penelitian epidomologi

menyebutkan adanya hubungan berat badan dengan

tekanan darah baik pada pasien hipertensi maupun

normotensi.

c) Nutrisi

Sodium adalah penyebab penting terjadinya hipertensi

primer.Asupan garam tinggi akan menyebabkan pengeluaran

berlebihan dari hormon natriouretik yang secara tidak

langsung akan meningkatkan tekanan darah. Asupan garam

tinggi dapat menimbulkan perubahan tekanan darah yang


11

dapat terdeteksi yaitu lebih dari 14 gram per hari atau jika di

konversi ke dalam takaran sendok makan adalah lebih dari 2

sendok makan.

d) Merokok

Penelitian terbaru menyatakan bahwa merokok menjadi

salah satu faktor risiko hipertensi yang dapat dimodikasi.

Merokok merupakan faktor risiko yang potensial untuk

ditiadakan dalam upaya melawan arus peningkatan

hipertensi khususnya dan penyakitnya kardiovaskuler secara

umum di Indonesia.

e) Alkohol

Penggunaan alkohol secara berlebihan juga akan memicu

tekanan darah seseorang. Selain tidak bagus bagi tekanan

darah, alkohol juga membuat kita kecanduan yang akan

sangat menyulitkan untuk lepas.

f) Kafein

Kandungan kafein selain tidak baik pada tekanan darah

dalam jangka panjang, pada orang-orang tertentu juga

menimbulkan efek yang tidak baik seperti tidak bisa tidur,

jangan berdebar-debar, sesak nafas, dan lain-lain.

g) Kurang olahraga

Karena banyak kesibukan yang luarbiasa, manusia pun

merasa tidakpunya waktu lagi untuk berolahraga. Akibatnya,


12

kita menjadi kurang gerak dan kurang olahraga. Kondisi

inilah yang memicu kolesterol tinggi dan juga adanya

tekanan darah yang terus menguat sehingga memunculkan

hipertensi.

c. Klasifikasi Hipertensi

Para ahli memberikan klasifikasi tekanan darah yang

berbeda –beda, namunpada dasarnya seseorang dikatakan

menderita tekanan darah tinggi jika tensinya diatas 140/90 mmHg.

Menurut WHO, tekanan darah dianggap normal bila kurang dari

135/85 mmHg, dikatakan hipertensi bila lebih dari 140/90 mmHg,

dan diantara nilai tersebut digolongkan normal tinggi.

Seventh Report of the Joint National Committee VII (JNC

V11) on Prevention, Detection, Evaluation and Treathmet of High

Blood Pressure memberikan klasifikasi tekanan darah bagi

dewasa usia 18 tahun ke atas yang tidak sedang dalam

pengobatan tekanan darah tinggi dan tidak menderita penyakit

serius dalam jangka waktu tertentu (Myra Puspitorini, 2009).

Tabel 2.1 Klasifikasi hipertensi berdasarkan JNC VII

Tekanan Darah
KategoriQA
Sistolik Diastolik
Normal <120 <80
Prahipertensi 120-139 80-89
Hipertensi ≥140 ≥90
Stadium 1 140-159 90-99
Stadium 2 160-≥180 100-≥110
13

d. Patofisiologi

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi

pembuluh darah terletak dipusat vasomotor pada medula di otak.

Dari pusat vasomotor ini bermula jarak saraf sympatis yang

berlanjut ke bawah ke korda spinalis ke ganglia sympati di thoraks

dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam

bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui sistem saraf

simpatys ke ganglisa sympatis (Stanley, 2012).

Pada titik ini, neuron pre ganglion melepaskan asetilkolin

yang akan merangsang serabut syaraf pasca ganglion ke

pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin

mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperi

kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh

darah terhadap rangsang vasokonstriktor (Stanley, 2012).

Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis

merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi,

kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan

aktivitas vasokonstriksi. Medula adrenal mensekresi epinefrin

yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi

kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respon


14

vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang

mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal menyebabkan

pelepasan renin (Stanley, 2012).

Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang

kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor

kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh

korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air

oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume

intravaskuler (Stanley, 2012).

e. Manifestasi Klinis

1) Tidak ada gejala

Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan

dengan peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan

arteri oleh dokter yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi

arrterial tidakakan pernah terdiagnosa jika tekanan arteri tidak

terukur.

2) Gejala yang lazim

Sering dikatakan bahwa gejala yang menyertai hipertensi

meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataannya ini

merupakan gejala terlazim yang mengenai kebanyakan pasien

yang mencari pertolongan medis. Beberapa pasien yang

menderita hipertensi yaitu :

a) Mengeluh sakit kepala, pusing.

b) Lemas, kelelahan, gelisah


15

c) Sesak nafas.

d) Mual.

e) Muntah.

f) Epistaksis.

g) Kesadaran menurun

Nurarif Huda, A. (2015).

f. Penatalaksanaan hipertensi

Secara umum pengobatan hipertensi dapat dilakukan

dengan dua cara, yaitu tanpa obat-obatan (pengobatan secara

non farmakologi) dan dengan obat-obatan (pengobatan secara

farmakologi) (Nurarif Huda, 2015).

1) Pengobatan Secara Nonfarmakologi

Pengobatan secara non farmakologi atau lebih dikenal dengan

pengobatan tanpa obat-obatan, pada dasarnya merupakan

tindakan yang bersifat pribadi atau perseorangan. Artinya ada

tindakan yang bagi sebagian penderita hipertensi tidak

menimbulkan pengaruh yang berarti. Namun, bagi penderita

lain tindakan itu cukup signifikan dalam mengendalikan

tekanan darah. seseorang yang terbukti menderita hipertensi

sulit untuk sembuh, tetapi ia dapat berusaha mengendalikan

tekanan darahnya agar tidak terlalu berdampak pada

kesehatannya. Pada dasarnya pengobatan hipertensi tanpa

obat-obatan lebih menekankan pada perubahan pola makan

dan gaya hidup.


16

a) Mengurangi Konsumsi Garam

Garam dapur mengandung 40% natrium. Oleh karena itu,

tindakan mengurangi garam juga merupakan usaha

mencegah sedikit mungkin natrium masuk ke dalam tubuh.

b) Mengendalikan Berat Badan

Mengendalikan berat badan dapat dilakukan dengan

berbagai cara. Misalnya mengurangi porsi makanan yang

masuk dalam tubuh atau mengimbangi dengan melakukan

banyak aktivitas. Seorang Kepala Klinik Hipertensi pada

Veteran Administrator Center di Washington DC

menyatakan, perlindungan terbaik terhadap hipertensi

adalah pertama jangan sampai kegemukan. Terdapat bukti

yang nyata bahwa setiap penurunan 1 kg berat badan,

tekanan darah mengalami penurunan 1 mmHg. Kalaupun

susah untuk menurunkan berat badan, paling tidak

penderita dapat mengendalikan berat badan agar tekanan

darahnya tidak terus naik.

c) Mengendalikan Minum (Kopi dan Alkohol)

Beberapa referensi kesehatan menyatakan kopi tidak

baik bagi penderita tekanan darah tinggi. Senyawa kafein

terdapat pada kopi dapat memacu meningkatkan denyut

jantung yang berdampak pada peningkatan tekanan darah.

Tentang minuman beralkohol, terdapat bukti yang kuat

dapat menyebabkan naiknya tekanan darah. Selain itu,


17

konsumsi alkohol yang berlebih dapat mengakibatkan

kerusakan organ hati dan sistem saraf.

d) Membatasi Konsumsi Lemak

Konsumsi lemak berkaitan dengan kadar kolesterol dalam

darah. Kadar kolesterol dalam darah yang tinggi dapat

mengakibatkan penebalan pembuluh darah. Jika endapan

itu semakin banyak, dinding pembuluh darah makin kaku

atau berkurang kelenturannya. Kondisi ini akan

memperparah jantung karena jantung bekerja semakin

berat saat memompa darah sehingga memperparah

penderita hipertensi.

e) Berolahraga Secara Teratur

Olahraga yang efektif dalam menurunkan tekanan darah

padapasien hipertensi adalah olahraga dinamis sedang.

Olahraga seperti senam, jalan cepat, berenang dapat

menurunkan tekanan darah pasien hipertensi. (Arcole

Margatan, 2009) menyatakan berolahraga secara teratur

dapat menyerap atau menghilangkan endapan kolesterol

pada dinding pembuluh darah.

f) Menghindari Stres

Suatu penelitian yang dilakukan oleh Cornell Medical

Collage menyatakan bahwa seseorang yang mengalami

tekanan jiwa (stres) selama bertahun-tahun ditempat kerja

dapat mengalami hipertensi sebanyak tiga kali lebih besar.


18

Sebaliknya orang-orang yang berpikiran positif dan optimis

mempunyai peluang lebih kecil terkena hipertensi. Namun,

demikian jika tidak mungkin keluar dari bidang kerja yang

selalu mengalami tekanan, perlu dilakukan perubahan pola

berpikir agar tekanan darahnya stabil. Beberapa cara dapat

dilakukan untuk menghindari stres, diantaranya dengan

melakukan relaksasi atau meditasi serta berusaha dan

membina hidup yang positif. Relaksasi dapat dilakukan

dengan mengencangkan otot dan mengendorkan otot tubuh

sambil membayangkan sesuatu yang damai.

g) Terapi Komplementer

Terapi komplementer merupakan usaha pengobatan

hipertensi untuk menunjang penyembuhan hipertensi yang

telah dilakukan secara kedokteran. Jadi, terapi ini bukan

untuk mengganti pengobatan konvensional (kedokteran),

melainkan sebagai pelengkap untuk mempercepat

penyembuhan. Beberapa jenis terapi yang bisa dilakukan,

yaitu terapi herbal, terapi nutrisi, relaksasi otot progresif,

meditasi atau yoga.

2) Pengobatan Secara Farmakologi

Saat ini terdapat banyak pilihan jenis obat anti hipertensi. Obat-

obat itu terbukti menurunkan hipertensi, termasuk penyakit

akibat hipertensi seperti stroke dan gagal jantung. Namun


19

demikian, pemakaian obat-obatan antihipertensi itu

memerlukan pengawasan dokter.

2. Konsep SRL (Self Regulated Learning)

a. Pengertian SRL (Self Regulated Learning)

SRL merupakan suatu konsep yang penting dalam teori

belajar, kognitif sosial yang mendasarkan pada banyak prinsip-

prinsip belajar perilakuan tetapi memberi perhatian besar pada

dampak tanda-tanda pada perilaku dan pada proses mental

internal serta menekankan dampak pikiran terhadap tindakan

dan tindakan terhadap yang terbukti paling penting dalam

menyumbang pikiran (Slavin, 2003).

b. Komponen-komponen Self-Regulated Learning (SRL)

Dari banyak definisi mengenai SRL, terdapat komponen-

komponen performansi siswa di kelas, yaitu (Pintrich & De Groot,

1990; Zimmerman, 1986), yaitu :

1) Komponen metakognitif

Secara umum metakognisi dipandang sebagai

pengetahuan tentang apa yang diketahui seseorang. Dalam

hubungannya dengan belajar, metakognisi diartikan sebagai

kemampuan untuk memantau seberapa baik seseorang

memahami sesuatu dan kemampuan untuk meregulasi

aktivitas belajar (Flavell, 1979). Pengetahuan metakognitif

siswa memiliki pengaruh penting dalam mencapai prestasi.


20

Inti dari metakognitif adalah pengelolaan diri dalam belajar

(Marzano & Kendall, 2007).

Metakognitif merupakan kesadaran siswa tentang

kelebihan dan kelemahannya dalam bidang akademik secara

umum dan sumber-sumber kognitif yang dapat diterapkan

ketika berhadapan dengan tuntutan tugas tertentu.

Metakognitif juga diartikan sebagai pengetahuan dan

keterampilan siswa mengenai bagaimana meregulasi

keterlibatannya dalam suatu tugas untuk mengoptimalkan

proses dan hasil belajar (Winne & Perry, 2000). Komponen

ini berfungsi untuk merencanakan, memonitor. memodifikasi,

dan mengevaluasi cara berpikir. Komponen metakognitif

meliputi merencanakan, menetapkan tujuan, mengorganisir,

memonitor diri, dan mengevaluasi diri. Komponen ini

memungkinkan siswa menyadari kondisi diri, menyadari

pengetahuan yang dimiliki, dan mampu menentukan

pendekatan belajar sendiri.

2) Komponen motivasional

Komponen motivasional disebut juga dengan variabel afektif.

Dalam SRL, tidak cukup hanya mengetahui strategi yang

efektif, tetapi siswa juga perlu memiliki motivasi untuk

menggunakannya. Komponen motivasi dalam SRL meliputi

efikasi diri dan minat intrinsik terhadap tugas, Motivasi, yaitu

keinginan atau dorongan siswa untuk terlibat dan berusaha


21

komit untuk menyelesaikan tugas, merupakan komponen

yang penting untuk meregulasi diri dalam pembelajaran di

kelas.Motivasi siswa nampak dari pilihan siswa untuk terlibat

dalam aktivitas tertentu dan intensitas dari usaha dan

ketekunannya terhadap aktivitas tersebut (Pintrich &

Schrauben, 1992).

3) Komponen Strategi Kognitif

Komponen strategi kognitif merupakan tindakan nyata yang

digunakan siswa untuk belajar, mengingat, dan memahami

materi. Beberapa strategi kognitif seperti rehearsal,

elaboration, dan organizational telah terbukti meningkatkan

komitmen kognitif dalam belajar dan menghasilkan prestasi

belajar yang tinggi (McKeachie, Pintrich, Lin & Smith, 1986;

Pintrich, 1989; Pintrich & De Groot, 1990). Strategi-strategi

tersebut dapat diterapkan pada tugas-tugas mengingat

sederhana maupun tugas tugas yang lebih kompleks yang

mensyaratkan pemahaman informasi (Weinstein, Mayer, &

Wittrack, 1986).

4) Komponen Kelola Sumber Daya

Komponen kelola sumber daya meliputi menyeleksi, mengatur,

dan mengendalikan lingkungan untuk mengoptimalkan belajar.

Komponen ini juga meliputi mencari bantuan ahli, informasi, dan

tempat yang paling ideal untuk belajar, menginstruksikan diri

sendiri saat belajar, serta memberikan penguatan diri. Contoh dari


22

kegiatan yang dilakukan dalam komponen ini adalah mengelola

dan mengontrol waktu, usaha, lingkungan belajar, dan juga orang-

orang lain di sekitarnya, termasuk guru dan teman-teman, serta

menggunakan strategi mencari bantuan (Corno, 1989; Ryan &

Pintrich, 1998; Zimmerman & Pons, 1986, 1988). Strategi ini

membantu siswa untuk beradaptasi dengan lingkungan mereka

dengan mengubah lingkungan sesuai tujuan dan kebutuhan

belajar mereka.

c. Teori-teori Self-Regulated Learning (SRL)

SRL memiliki konsep teoritis yang beragam. Dalam

buku ini dibahas lima teori utama dalam SRL yaitu teori

perilakuan operan, teori kognitif sosial, teori kognitif-

pengolahan informasi, teori perkembangan, dan teori

sosiokultural.

1) Teori Perilakuan Operan

Secara umum, teori operan berbicara tentang bagaimana

suatu perilaku terjadi tergantung pada konsekuensi yang

dihasilkan dari lingkungan, yaitu adanya hadiah atau

hukuman. Dari teori operan yang ditemukan oleh Skinner

(1953), seseorang memutuskan perilaku yang akan

diregulasi, menetapkan stimuli, mengevaluasi performansi

sesuai standar, dan mengatur penguat yang akan

diberikan jika suatu hadiah diperoleh. Regulasi diri dalam

teori operan terkait dengan pengalaman pengalaman


23

seperti komitmen, kontrol diri, atau impulsivitas. Ketika

siswa atau guru terlibat dalam regulasi diri, mereka

memilih di antara berbagai alternatif perilaku.

2) Social Cognitive Theory

Dalam kerangka teoritis kognitif sosial, regulasi diri

diterangkan sebagai hal yang khusus dalam situasi

tertentu, yaitu, pembelajar tidak diharapkan untuk memiliki

regulasi diri yang seimbang dalam semua domain.

Menurut Bandura (1986), keberfungsian manusia

mencakup interaksi resiprokal antara perilaku, variabel

lingkungan, serta kognis.

d. Strategi-strategi dalam Self-Regulated Learning (SRL)

Di dalam SRL terdapat strategi-strategi yang dilakukan ketika siswa

berhadapan dengan tugas tertentu. Zimmerman (1989)

mendeskripsikan strategi - strategi dalam SRL sebagai berikut:

1) Organizing and transforming, yaitu inisiatif untuk

mengorganisasikan materi pelajaran. Ketika menerima materi,

siswa dengan SRL tinggi akan membuat klasifikasi materi terlebih

dahulu. Hal ini akan membantunya dalam mempelajari materi.


24

2) Goal-setting and planning, yaitu penetapan tujuan belajar

beserta perencanaan terkait konsekuensi, waktu, dan

penyelesaian aktivitas yang terkait tujuan yang telah

ditetapkan. Sebelum proses belajar dimulai, perlu ditetapkan

terlebih dahulu tujuan beserta target target untuk

mencapainya.

3) seeking information, yaitu usaha untuk mencari informasi

lebih lanjut terkait dengan tugas-tugas belajarnya melalui

sumber-sumber non sosial. Pencarian informasi ini dilakukan

dengan asumsi siswa sudah mempelajari materi tertentu dan

membutuhkan pendalaman terhadap materi tertentu atau

penjelasan terhadap materi yang belum dipahami. Berbagai

sumber dapat digunakan, seperti buku, internet, dan

sebagainya.

4) keeping records and monitoring, yaitu usaha untuk mencatat

kejadian kejadian dan hasil-hasil belajar. Proses belajar pada

siswa dengan SRL tinggi tidak lepas dari pantauan. Siswa

mencatat setiap kejadian yang muncul sehingga kemajuan

belajar dapat diketahui.


25

5) environmental structuring, yaitu usaha untuk mengatur

lingkungan secara fisik supaya proses belajar menjadi lebih

mudah. Lingkungan belajar merupakan hal yang penting

dalam memengaruhi proses dan hasil belajar. Lingkungan

yang kondusif akan mendukung proses belajar, dan ini dapat

diciptakan oleh siswa sendiri.

6) self-consequating, yaitu upaya menyusun atau

membayangkan hadiah dan hukuman atas keberhasilan dan

kegagalan yang dialami dalam belajar. Supaya menjadi

pengalaman mengesankan sehingga terus dapat diingat,

setiap hasil belajar perlu diberi konsekuensi. Pemberian

konsekuensi ini akan memudahkan siswa mengingat apa

yang sudah baik dalam dirinya dan apa yang masih perlu

diperbaiki.

7) rehearsing and memorizing, yaitu usaha untuk mengingat

materi dengan mempraktekkan, baik dalam bentuk perilaku

terbuka maupun tertutup. Agar dapat dipanggil kembali jika

diperlukan, materi pelajaran perlu disimpan baik-baik dalam

ingatan siswa. Terdapat banyak sekali metode mengingat

materi, dan siswa dapat mengenali metode manakah yang

paling sesuai untuk pelajaran tertentu dan sesuai dengan

karakteristik pribadinya.
26

8) seeking social assistance, yaitu usaha untuk mendapatkan

bantuan dari teman sebaya, guru, atau orang dewasa

lainnya. Bertanya merupakan hal yang tidak pantang

dilakukan oleh siswa dengan SRL tinggi. Jika mengalami

kesulitan, siswa tidak sungkan mencari bantuan dari orang-

orang di sekitarnya.

9) reviewing records, yaitu usaha untuk membaca kembali

catatan, hasil hasil ujian, atau textbook untuk menyiapkan

ujian berikutnya.

3. Konsep Kepatuhan

a. Pengertian

Kepatuhan adalah suatu bentuk perilaku yang timbul

akibat adanya interaksi anatara petugas kesehatan dan pasien

sehingga pasien mengerti rencana dengan segala

konsekuensinya dan menyetujui rencana tersebut serta

melaksanakannya (Kemenkes R.I, 2011).

Jenis ketidakpatuhan pada terapi obat, mencakup kegagalan

menebus resep, melalaikan dosis, kesalahan dalam waktu

pemberian konsumsi obat, dan penghentian obat sebelum

waktunya. Ketidakpatuhan akan mengakibatkan penggunaan

suatu obat yang kurang. Dengan demikian, Pasien kehilangan

manfaat terapi dan kemungkinan mengakibatkan kondisi secara

bertahap memburuk. Ketidakpatuhan juga dapat berkibat dalam

penggunaan suatu obat berlebih. Apabila dosis yang digunakan


27

berlebihan atau apabila obat dikonsumsi lebih sering daripada

dimaksudkan, terjadi resiko reaksi merugikan yang meningkat.

Masalah ini dapat berkembang, misalnya seorang klien

mengetahui bahwa dia lupa satu dosis obat dan menggandakan

dosis berikutnya untuk mengisinya (Padila, 2012).

b. Faktor Ketidakpatuhan Terhadap Pengobatan

1) Kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan. Alasan

utama untuk tidak patuh adalah kurang mengerti tentang

pentingnya manfaat terapi obat dan akibat yang mungkin jika

obat tidak digunakan sesuai dengan instruksi.

2) Tidak mengertinya pasien tentang pentingnya mengikuti

aturan pengobatan yang ditetapkan

3) Sukanya memperoleh obat diluar rumah sakit.

4) Mahalnya harga obat. Pasien akan lebih enggan mematuhi

instruksi penggunaan obat yang mahal, biaya penghentian

penggunaan sebelum waktunya sebagai alasan untuk tidak

menebus resep.

Sementara menurut Notoatmodjo (2007) factor yang

mempengaruhi kepatuhan terbagi menjadi :

1) Faktor predisposisi (faktor pendorong)

a) Kepercayaan atau agama yang dianut

Kepercayaan atau agama merupakan dimensi spiritual

yang dapat menjalani kehidupan. Penderita yang


28

berpegang teguh terhadap agamanya akan memiliki jia

yang tabah dan tidak mudah putus asa serta menerima

keadaanya, demikian juga cara akan lebih baik. Kemauan

untuk melakukan control penyakitnya dapat dipengaruhi

oleh kepercayaan penderita dimana penderita yang

memiliki kepecayaan yang kuat akan lebih patuh terhadap

anjuran dan larangan kalau tahu akibatnya.

b) Faktor geografi

Lingkungan yang jauh jarak yang jauh dari

pelayanan kesehatan memberikan kontribusi

rendahnya kepatuhan.

c) Individu

(1) Sikap individu yang ingin sembuh

Sikap merupakan hal yang paling kuat dalam diri individu

sendiri keinginan untuk tetap mempertahankan kesehatan

sangat berpengaruh terhadap faktor-faktor yang

berhubungan dengan penderita dalam control penyakit

(2) Pengetahuan

Penderita dengan kepatuhan rendah adalah mereka

yang tidak terindentifikasi mempunyai gejala sakit.

Mereka berfikir bahwa dirinya sembuh dan sehat dan

sehat sehingga tidak perlu melakukan control terhadap

kesehatannya.
29

2) Faktor Reinforcing (Faktor penguat)

a) Dukungan petugas

Dukungan dari petugas sangatlah besar artinya bagi

penderita sebab petugas adalah pengelola penderita yang

sering berinteraksi sehingga pemahaman terhadap kondisi

fisik maupun psikis lebih baik, dengan sering berinteraksi,

sangatlah mempengaruhi rasa percaya dan selalu

menerima kehadiran petugas kesehatan termasuk

anjuran-anjuran yang diberikan.

b) Dukungan Keluarga

Keluarga merupakan bagian dari penderita yang paling

dekat dan tidak dapat dipaksakan. Penderita akan merasa

senang dan tentram apabila mendapat perhatian dan

dukungan dari keluarganya. Karena dengan dukungan

tersebut akan menimbulkan kepercayaan dirinya untuk

menghadapi atau mengelola penyakit dengan baik, serta

penderita mau menuruti saran-saran yang diberikan oleh

keluarga untuk penunjang pengelolaan penyakitnya

(Fredman, 1998).

3) Faktor enabling (Faktor pemungkin)

Fasilitas kesehatan merupakan saran penting dalam

memberikan penyuluhan terhadap penderita yang diharapkan

dengan prasarana kesehatan yang lengkap dan mudah


30

terjangkau oleh penderita dapat lebih mendorong kepatuhan

penderita.

a. Kepatuhan Minum Obat

1) Tepat dosis

Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat

yang dengan rentang tetapi yang sempit akan sangat

beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang

terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi

yang diharapkan (Anonima, 2006).

2) Cara pemberian obat

Cara pemberian obat memerlukan pertimbangan

farmakokinetik, yaitu cara atau rute pemberian, besar

dosis, frekuensi pemberian, sampai kepemilihan cara

pemakaian yang paling mudah diikuti pasien, aman dan

efektif untuk pasien (Munaf, 2004).

3) Waktu pemberian obat

Cara pemberian obat hendaknya dibuat

sesederhana mungkin dan praktis agar mudah

ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi

pemberian obat perhari semakin rendah tingkat

ketaatan minum obat (Anonima, 2006).

4) Priode minum obat

Lama pemberian obat harus tepat sesuia penyakit

masing-masing.
31

B. Kerangka Konsep

Hipertensi Kepatuhan Minum Self regulated


Obat pada Pasien learning
Hipertensi

Memonitor atau berfikir


kognisinya sendiri
Faktor yang mempengaruhi
kepatuhan minum obat :
1. Faktor predisposisi (faktor
pendorong) Penekanan pada regulasi
a. Kepercayaan atau agama
perilaku dan emosi
yang dianut
b. Faktor Geografi
c. Individu
2. Faktor Reinforcing (Faktor
Motivasi atau kesadaran
penguat)
a. Dukungan Petugas muncul sebagai area
b. Dukungan Keluarga regulasi
3. Faktor Enabling (Pemungkin)

Kepatuhan minum
obat

Keterangan :

: Diteliti

: Tidak Diteliti

Gambar 1 : kerangka konsep pengaruh hubungan self regulated

learning terhadap kepatuhan meminum obat pad apasien

hipertensi diwilayah kerja puskesmas sigerongan tahun

2022
32

C. Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Hipotesis (H0)

Tidak ada pengaruh pemberian self regulated learning terhadap

kepatuhan meminum obat pada pasien hipertensi

2. Hipotesis Alternatif (Ha)

Ada pengaruh pemberian self regulated learning terhadap

kepatuhan meminum obat pada pasien hipertensi

Anda mungkin juga menyukai