Anda di halaman 1dari 66

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit kronis yang

tidak menular dan akan disandang oleh penderita dalam seumur

hidupnya (Perkeni, 2015). Diabetes Mellitus saat ini telah menjadi

penyebab kematian terbesar ke empat didunia. Di setiap tahunnya ada

2,3 juta kematian yang disebabkan langsung oleh diabetes mellitus,

yang berarti bahwa 1 orang per 10 detik atau 6 orang per menit yang

meninggal diakibatkan karena penyakit yang berkaitan dengan

diabetes mellitus ( Tandra, 2017)

Diabetes adalah penyakit kronis, yang membutuhkan

pendekatan multipronged untuk manajemen, dimana pasien memiliki

peran penting untuk bermain. Mereka diminta untuk mengikuti praktek-

praktek perawatan diri tertentu untuk mencapai yang optimal kontrol

glikemik dan mencegah komplikasi. Praktik-praktik ini meliputi kegiatan

rutin fisik, praktek diet yang tepat, praktek perawatan kaki harian,

sesuai dengan rejimen pengobatan, dan mengatasi komplikasi seperti

episode hipoglikemik. (American Diabetes Association, 2013).

Data WHO pada tahun 2011 menyatakan bahwa diabetes

mellitus termasuk penyakit yang paling banyak diderita oleh penduduk

di seluruh dunia dan merupakan urutan ke empat dari prioritas

penelitian nasional untuk penyakit degenerative. WHO telah

1
memprediksi akan adanya peningkatan jumlah yang cukup besar pada

tahun yang akan datang, yaitu kenaikan jumlah suatu penderita

Diabetes Melitus di Indonesia dari tahun 2000 menjadi 8,4 juta dan

pada tahun 2030 menjadi sekitar 21,3 juta jiwa. Peningkatan angka

prevalensi ini akan terjadi di negara-negara yang berkembang

( Darmono, 2005 Gibney, 2009)

Prevalensi dan insidensi diabetes ini terus meningkat dari tahun

ke tahun. Menurut IDF (International Diabetes Federation) Diabetes

Atlas pada tahun 2017 sebanyak 123 juta orang (usia lebih dari 65

tahun) dan 327 juta orang (usia antara 20-64 tahun) menderita

diabetes di dunia. Di Indonesia, jumlah estimasi penderita diabetes

sebanyak 10,3 juta orang. Angka tersebut membuat Indonesia

menempati peringkat ke-6 di dunia dengan prevalensi penderita

diabetes tertinggi setelah China, India, Amerika Serikat, Brazil, dan

Meksiko (IDF, 2017). IDF juga memperkirakan kenaikan jumlah

penderita DM di Indonesia dari 9.1 juta pada tahun 2014 menjadi 14.1

juta pada tahun 2035.

Penderita diabetes di Kalimantan Timur tertinggi kedua setelah

DKI Jakarta pada Riskesdas Tahun 2018, dan jumlah penderita

Diabetes Mellitus (DM) menurut kelompok umur terbanyak pada

kelompok umur 55-64 tahun yang artinya kelompok usia tersebut

masih tergolong pada kelompok usia yang produktif. Hasil Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, menyebutkan jumlah


6

absolut penderita DM di Indonesia sekitar 12 juta jiwa, sedangkan

untuk jumlah penderita DM di Provinsi Kaltim pada tahun 2013 adalah

sebanyak 2,7 % sebanyak 63.330 orang (Pusdatin Kemenkes RI,

2013)

Diabetes Mellitus apabila tidak dikelola dengan baik akan dapat

mengakibatkan terjadinya berbagai penyakit menahun, seperti

penyakit serebrvaskular, penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh

darah tungkai, penyulit pada mata, ginjal serta syaraf, jika kadar

glukosa darah dapat selalu dikendalikan dengan baik, diharapkan

semua penyulit menahun tersebut dapat dicegah paling tidak sedikit

dihambat (PERKENI, 2011).

Penatalaksanaan Diabetes Mellitus menurut konsensus

PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) pada tahun 2015

terdiri dari empat pilar yaitu edukasi, aktivitas fisik, terapi diet, dan

terapi farmakologi. Sehingga dalam pengendalian diabetes diperlukan

kemampuan untuk dapat mengelola kehidupannya sehari-hari,

sehingga bisa mengurangi dampak penyakit yang diderita. Hal ini yang

biasa disebut dengan self-management diabetes. Perilaku yang

mencerminkan self-management pada penderita diabetes seperti

melakukan diet sehat, meningkatkan aktivitas fisik, menggunakan obat

diabetes secara rutin dan juga teratur, dan melakukan pemantauan

glukosa darah rutin, serta melakukan perawatan kaki. Self-

management pada diabetes apabila dilakukan dengan baik, dan empat


6

pilar pengendalian diabetes bisa tercapai dan juga bisa mencegah

terjadinya komplikasi pada penderita diabetes mellitus (Phitri et al.,

2013)

Menurut Green et al., (2017) faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi individu dalam menjalankan self-management diabetes

adalah faktor pengetahuan, faktor emosional, faktor motivasi, faktor

pola hidup pengalaman self-management, kemampuan dalam

menciptakan self-management yang rutin, dan adanya transisi dalam

kehidupan. Faktor pengetahuan menjelaskan bagaimana pengetahuan

individu mengenai perjalanan penyakit DM, peran pengobatan serta

rencana terapi sehingga dapat mempengaruhi keberhasilan individu

dalam self-management. Kemudian faktor emosional dimana stress,

tekut, cemas, dan gangguan mood dapat menjadi hambatan dalam

melakukan self-management. Serta faktor motivasi dimana motivasi

dan kedisiplinan diri dapat mempengaruhi kegigihan dalam

pelaksanaan self-management.

Self-management bermanfaat untuk mengembangkan

keterampilan yang dihadapi oleh pasien untuk meningkatkan

keyakinan diri (self-efficacy) (Zainudin, Abu Bakar, Abdullah, &

Hussain, 2018). Keterampilan dan pengetahuan dapat menentukan

pengelolaan yang terbaik untuk dirinya sendiri (Handayani, Yudianto,

& Kurniawan, 2013).


6

Notoatmojo (2003), menyatakan bahwa faktor pendidikan

mendukung pengetahuan seseorang tentang sesuatu hal, sebab

dengan pendidikan seseorang dapat lebih mengetahui sesuatu hal

tersebut. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan

semakin mudah orang tersebut menerima informasi, sehingga

umumnya memiliki pemahaman yang baik tentang pentingnya perilaku

perawatan diri dan memiliki keterampilan manajemen diri untuk

menggunakan informasi peduli diabetes yang diperoleh melalui

berbagai media dibandingkan dengan tingkat pendidikan rendah

(Abbasi, et al., 2018)

Penelitian yang dilakukan oleh Riyambodo dan Purwanti (2017)

menyatakan bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan yang

rendah cenderung sulit menerima dan memahami informasi yang

diterima, sehingga orang tersebut akan acuh terhadap informasi baru

dan merasa tidak membutuhkan informasi baru tersebut.

Tingkat pendidikan yang rendah dapat meningkatkan non-

kepatuhan terhadap rencana terapi, karena kesulitan untuk membaca

dan memahami resep, sehingga meningkatkan risiko kesehatan.

Selain itu, tingkat pendidikan yang rendah dapat membatasi akses

informasi, mungkin karena membaca dikompromikan, menulis dan

keterampilan berbicara, serta pemahaman tentang penyakit dan

mekanisme yang kompleks pengobatan ini (Rodrigues, Santos,

Teixeira, Gonela & Zanetti, 2012)


6

Pengetahuan tentang manajemen perawatan diri berkaitan

dengan glukosa pemantauan dan kepatuhan pengobatan memberikan

umpan balik langsung dan data yang memungkinkan penderita

diabetes untuk menilai bagaimana pilihan makanan dan tingkat

aktivitas fisik, mempengaruhi kontrol glukosa darah mereka (Austin,

2005)

Pasien dengan pengetahuan yang sangat baik dan memahami

diabetes dapat mematuhi prinsip-prinsip perawatan diri dan telah

didokumentasikan kontrol yang lebih baik glikemik bersama dengan

hasil kesehatan ditingkatkan (Mc Pherson ML, 2008)

Pengetahuan diabetes sangat penting dalam mengembangkan

sikap yang sehat diabetes terkait yang meningkatkan keterampilan

perawatan diri pasien. (Kambar,S Jali, 2007)

Pengetahuan tentang diabetes mellitus sangat penting untuk

pasien. Pengetahuan juga mempengaruhi kepatuhan penggunaan

obat dan penerapan manajemen Diabetes Meliitus dalam mengontrol

kadar gula darah dan mencegah komplikasi kronik ( Yuwindry dan

Wiedyaningsih, 2012). Selain itu, peran pengetahuan diabetes

merupakan untuk meningkatkan hasil klinis dan keterampilan pada

perawatan diri pasien, serta juga dapat untuk mencegah komplikasi

sehingga dimulai dengan memberikan pengetahuan terkait Diabetes

Mellitus bisa meminimalkan dampak buruk yang bisa penderita

Diabetes rasakan.
6

Berdasarkan Studi Pendahuluan yang telah dilakukan pada 30

April 2019 di Puskesmas Palaran Samarinda Sebrang didapatkan

bahwa ada kenaikan jumlah penderita Diabetes Melitus dua tahun

terakhir ini yaitu, pada tahun 2017 sebanyak 626 orang, tahun 2018

sebanyak 824 Orang dan pada tahun 2019 data empat bulan terakhir

sebanyak 245 Orang. Terdapat Peningkatan jumlah pasien Diabetes

Melitus tipe II setiap tahunnya, sehingga sebagai petugas kesehatan

perlu melakukan penatalaksanaan secara komprehensif.

Berdasarkan hasil observasi dan juga wawancara kepada salah

satu tenaga kesehatan di Puskesmas Palaran tersebut yakni karena

cakupan wilayah demografi yang cukup luas dengan total kurang lebih

9000 Kepala Keluarga dan 109 RT membuat puskesmas palaran

menjadi urutan pertama banyaknya penderita DM, dan dari segi

kepatuhan berobatnya baik dengan setiap bulan rutin kontrol ke

puskesmas, namun perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut lagi karena

banyak penderita secara Self-management-nya kurang karena akibat

ulkus yang tidak dilakukan perawatan secara baik penderita sering

dibawa ke IGD dan jika kondisinya semakin memburuk langsung

dibawa ke poli bedah, hanya beberapa saja yang rajin kontrol karena

mengikuti saran dokter. Dan jumlah kunjungan penderita pada akhir

April 2019 perempuan berjumlah 57 orang, dan pria berjumlah 16

orang. Itulah beberapa data terkait dengan Self-management yang


6

masih kurang yang dibuktikan dengan masih banyaknya penderita

yang masuk poli bedah akibat luka yang tidak kunjung sembuh karena

manajemen diri yang kurang pada masyarakat Palaran.

Tingkat pengetahuan sangat diperlukan dalam pengelolaan

diet DM akan tetapi kemampuan individu dalam mengelola kehidupan

sehari-hari, mengendalikan serta mengurangi dampak penyakit yang

dideritanya dikenal dengan self-management diperlukan dalam

pengendalian DM ( Lin, 2008).

Self-Management memungkinkan pasien untuk

mengembangkan keterampilan dalam memecahkan masalah,

meningkatkan keyakinan diri (self-efficacy) dan mendukung aplikasi

pengetahuan dalam kehidupan nyata. Adanya keterampilan dan

pengetahuan memecahkan masalah pada penyakit DM,

memungkinkan pasien untuk membuat suatu keputussan tentang

pengelolaan yang terbaik untuk dirinya sendiri. Pengelolaan diri

tersebut sangat berpengaruh terhadap proses dan hasil pengelolaan

penyakit (Putri, Yudianto dan Kurniawan, 2013).

Menurut PERKENI edukasi dapat mendukung keberhasilan

perilaku sehingga membantu mengontrol gula darah secara individual.

Perubahan perilaku inilah yang akan menentukan sikap responden

terkait dengan kontrol gula darah (Soelistijo et al., 2015).

Pengetahuan sangat diperlukan untuk mengendalikan

mengurangi dampak yang disebabkan oleh DM ( Chen, et al, 2015)


6

Pengetahuan pasien mengenai penyakit DM adalah sarana

yang dapat membantu pasien menjalankan penanganan DM semasa

hidupnya, perilaku pasien yang didasari oleh pengetahuan dan sikap

yang positif akan berlangsung langgeng. Pengetahuan yang diberikan

kepada pasien DM, akan membuat pasien mengerti bagaimana harus

mengubah perilaku dalam menghadapi penyakit tersebut.

( KEMENKES, 2013).

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti untuk

mengetahui tertarik hubungan pengetahuan dengan Self Management

pada penderita Diabetes Mellitus tipe II di Puskesmas Palaran.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah

penelitian ini adalah “ Apakah ada Hubungan Pengetahuan dengan

Self-Management pada penderita Diabetes Mellitus Tipe II di

wilayah kerja Puskesmas Palaran Kota Samarinda ?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengidentifikasi adanya hubungan tingkat pengetahuan dengan

Self-Management pada penderita Diabetes Mellitus Tipe II di

wilayah kerja Puskesmas Palaran Kota Samarinda.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi karakteristik responden Diabetes Mellitus Tipe

II di wilayah kerja Puskesmas Palaran Kota Samarinda.


6

b. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan responden Diabetes

Mellitus Tipe II di wilayah kerja Puskesmas Palaran Kota

Samarinda.

c. Mengidentifikasi Self-Management pada penderita Diabetes

Mellitus Tipe II di wilayah kerja Puskesmas Palaran Kota

Samarinda.

d. Menganalisa hubungan pengetahuan dengan self-management

pada penderita Diabetes Mellitus Tipe II di wilayah kerja

Puskesmas Palaran Kota Samarinda.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat bagi para penderita diabetes mellitus

Hasil penelitian dapat digunakan sebagai informasi bagi pasien

diabetes mellitus tipe II untuk manajemen diri .

2. Manfaat Bagi Puskesmas

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Petugas

Kesehatan Puskesmas Palaran agar dapat menambah wawasan

pengetahuan terhadap self-management pada penderita Diabetes

Mellitus Tipe II di Wilayah Kerja Puskesmas Palaran Kota

Samarinda.

3. Manfaat Untuk Institusi Pendidikan

Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bagian pembelajaran

untuk mahasiswa guna menambah wawasan tentang hubungan


6

tingkat pengetahuan dengan Self-Management pada penderita

diabetes mellitus tipe II.

4. Manfaat bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai bahan

penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan hubungan tingkat pen

getahuan dengan dengan Self-Management pada penderita

diabetes mellitus tipe II di Puskesmas Palaran kota Samarinda.

5. Manfaat teoritis

a. Manfaat Keilmuan

Hasil penelitian dapat memberikan gambaran tentang

hubungan tingkat pengetahuan dengan dengan dengan Self-

Management pada penderita diabetes mellitus tipe II di

Puskesmas Palaran kota Samarinda, Sehingga dapat

menambah wawasan dan pengetahuan.

b. Manfaat Metodologi

Hasil penelitian dapat menambah wawasan jumlah

penelitian tentang hubungan tingkat pengetahuan dengan Self-

Management pada penderita diabetes mellitus tipe II di

Puskesmas Palaran kota Samarinda.


2

E. Keaslian Penelitian

Sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan penelitian yang

sama dilakukan penulis saat ini, namun berdasarkan penulusuran

pustaka didapat penelitian serupa antara lain dilakukan oleh

1. Wiwied Trihardiyanti Purnama (2018) yang melakukan dengan

judul “ Pengaruh Diabetes Self Management Education and

Support (DSME/S) terhadap stress pada penderita Diabetes

Mellitus tipe II di wilayah kerja Puskesmas Gamping 1 Sleman

Yogyakarta”. Perbedaan ada pada variabel dependent yaitu

stress,persamaan dengan penelitian ini adalah variabel

independent yaitu mengukur pengetahuan.

2. Kusnanto (2019) melakukan penelitian dengan judul “Hubungan

Tingkat Pengetahuan dan Diabetes Self-Management dengan

Tingkat Stress Pasien Diabetes Mellitus Yang Menjalani Diet”

Persamaan penelitian ada pada variabel independent yaitu

tingkat pengetahuan namun perbedaannya pada variabel

dependent tingkat stress sedangkan dalam penelitian variabel

dependentnya Self Management.

3. Ni Putu Wulan Purnama Sari (2016) melakukan penelitian

dengan judul “Diabetes Mellitus: Hubungan Antara

Pengetahuan Sensoris, Kesadaran diri, Tindakan Perawatan

Diri dan Kualitas Hidup” Persamaan penelitian ada pada

2
6

variabel independent yaitu pengetahuan namun perbedaannya

pada variabel independentnya.

4. Eva Rahayu (2014) melakukan penelitian dengan judul

“Pengaruh Progam Diabetes Self Management Education

Berbasis Keluarga Terhadap Kualitas Hidup Penderita Diabetes

Mellitus Tipe II di Wilayah Puskesmas II Batturaden” Persamaan

penelitian ada pada variabel independent yaitu pengetahuan

dan perbedaannya pada variabel dependent yaitu kualitas hidup

sedangkan pada penelitian yaitu self-management.

5. Trina Kurniawati (2019) melakukan penelitian dengan judul

“Pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME)

terhadap Self Management pada Pasien Diabetes Mellitus”

Persamaan penelitian ada pada variabel independent yaitu

pengetahuan dan variabel dependent yakni self management.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Konsep Diabetes Mellitus

a. Pengertian Diabetes Mellitus tipe II

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolik

akibat gangguan sekresi insulin, gangguan kerja insulin,

maupun keduanya (American Diabetes Association, 2014)

Adanya gangguan mengakibatkan gula di darah dalam

darah tidak dapat digunakan oleh sel tubuh sebagai energi

hingga akhirnya menyebabkan kadar gula dalam darah

tinggi hiperglikemia (International Diabetes Federation,

2014).

Penyakit diabetes mellitus dikenal juga dengan penyakit

kencing manis atau kecing gula. Lebih kurang dari dua ribu

tahun yang lalu, dua ahli kesehatan yunani yaitu, celcus dan

areteus, memberikan sebutan diabetes pada orang yang

menderita banyak minum dan banyak kencing. Oleh karena

itu, sampai saaat ini penderita “banyak minum” dan “ banyak

kencing” tersebut, dalam dunia kedokteraan dikenal dengan

istilah Diabetes Melitus (DM) . DM tergolong penyakit yang

tidak menular yang penderitanya tidak dapat secara otomatis

mengendalikan tingkat gula (glukosa) dalam darahnya .pada

13
tubuh yang sehat, kelenjar pancreas melepas hormon insulin

yang bertugas mengangkut gula melalui darah ke otot-otot

dan jaringan lain untuk memasok energi (Irianto, 2013).

1. Klasifikasi

Klasifikasi DM berdasarkan penyebabnya, menurut

American Diabetes Association/World Health

Organization (ADA/WHO), diklasifikasikan menjadi 4

empat macam:

a. DM tipe 1. Disebabkan oleh kerusakan sel beta di

pankreas. DM ini berhubungan dengan

antibody/autoimun berupa Islet Cell Antibodies (ICA),

Insulin Autoantibodies (IAA), kerusakan sel beta dapat

terjadi sejak anak-anak hingga dewasa. Penderita harus

mendapati suntikan insulin setiap hari selama hidupnya

sehingga dapat dikenal dengan Insulin Dependent

Diabetes Melitus (IDDM) Atau yang bergantung pada

insulin untuk mengatur Metabolisme gula dalam darah .

Berdasarkan kondisinya, Tipe ini merupakan DM yang

paling parah.

b. DM tipe 2 disebabkan oleh resistensi hormone insulin ,

karena jumlah reseptor insulin pada permukaan sel

berkurang dan jumlah insulin yang tidak berkurang yang

menyebabkan glukosa tidak dapat masuk kedalam sel

14
insulin, walaupun tersedia. Kondisi ini disebabkan oleh

obesitas terutama tipe sentral ,Diet tinggi lemak dan

rendah karbohidrat, kurangnya aktivitas olahraga dan

factor keturunan juga dapat mempengaruhi.

c. DM tipe spesifik yang dapat di sebabkan oleh kelainan

genetik, penyakit pankreas, gangguan endokrin dapat

mempengaruhi juga, dan efek obat-obatan yang di

konsumsi mengandung bahan kimia , infeksi virus dan

lain-lain.

d. DM pada kehamilan. Biasanya terjadi pada saat masa

kehamilan

2. Manifestasi Klinis

Menurut Perkeni (2015), keluhan yang umumnya

ditemukan pada penderita DM adalah

a. Keluhan Klasik : Polyuria, polydipsia, polyfagia, dan

penurunan berat badan.

b. Keluhan lain yang umumnya muncul : lemah badan,

kesemutan, gatal terutama pada daerah lipatan kulit,

gangguan penglihatan berupa mata kabur, dan disfungsi

ereksi pada pria serta pruritus vulva pada wanita (Irianto,

2014)

3. Etiologi dan Faktor Resiko

15
Menurut American Diabetes Association penyebab dari

DM tipe 2 adalah resistensi insulin yaitu suatu keadaan dimana

jumlah reseptor insulin pada permukaan sel berkurang sehingga

glukosa tidak bisa masuk ke dalam sel insulin. Resistensi insulin

dapat terjadi karena beberapa faktor resiko yaitu obesitas,

aktivitas fisik yang kurang, diet tinggi lemak dan rendah

karbohidrat, serta First degree relative DM atau faktor keturunan

DM. (Perkeni, 2015) (Irianto, 2014)

4. Patofisiologi

Patofisiologi Diabetes Melitus dapat diawali dari

penurunan jumlah insulin yang menyebabkan glukosa sel

menurun atau tidak ada sama sama sekali, sehingga energy di

dalam sel untuk metabolisme seluler berkurang, kondisi tersebut

direspon tubuh dengan meningkatkan kadar glukosa dasar.

Respon tersebut antara lain sensasi lapar, mekanisme lipolysis

dan gluconeogenesis, Jikar respon tersebut terjadi

berkepanjangan maka tubuh mengalami penurunan protein

jaringan dan menghasilkan benda keton. Kondisi ini dapat

mengakibatkan ketosis dan ketoasidosis ( Daniels, 2012).

Penderita Diabetes Melitus mengalami kenaikan kadar

glukosa yang akan mengakibatkan Advanced Glycation end

products (AGEs) (Xing et al, 2016), dimana dengan adanya

peningkatan AGEs akan menjadi radikal bebas yang

16
menyebabkan arteriorosklerosis yang akan menimbulkan

berbagai komplikasi vaskuler misalnya neuropati, retinopati,

penyakit jantung coroner, serya stroke. Dengan adanya

arteriosclerosis maka aliran darah dan nutrisi yang dialirkan ke

jaringan terganggu yang akan mengakibatkan kaki lebam,

dingin, mudah cidera, infeksi di kaki juga menjadi sukar

sembuh. Selain arteriosclerosis pada penderita diabetes

mellitus juga mengalami neuropati menyebabkan kaki tidak

dapat merasakan panas, nyeri, dan juga kesemutan. Oleh

sebab itu penderita tidak akan dapat merasakan luka,

gelembung kecil dibiarkan sampai pecah terinfeksi, neuropati

juga akan melemahkan otot kaki sehingga merubah gerakan

dan bentuk kaki, perubahan tekanan pada kaki lambat laun

akan memicu terjadinya luka (Tandra, 2017).

Diabetes Melitus tipe 2 disebabkan oleh gabungan dari

resistensi perifer terhadap kerja insulin dan respons sekresi

insulin yang tidak adekuat oleh sel beta pancreas. Kondisi

tersebut dapat terjadi karena beberapa factor antara lain

diantaranya genetik, gaya hidup, diet yang mengarah pada

obesitas. Resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin akan

menyebabkan toleransi glukosa terganggu yang akan

mengawali kondisi diabetes melitus tipe 2 dengan manifestasi

hiperglikemi (Ozougwo, Obimba and Unakalamba 2013).

17
Kondisi hiperglikemi pada penderita dengan diabetes

melitus tersebut bermanifestasi pada tiga gejala klasik diabetes

yaitu 3 P (polyuria, polydipsia, dan polyfagia).Poliuria (sering

buang air kecil), akibat kondisi hiperglikemi melampaui ambang

respon ginjal sehingga menimbulkan glukosuria. Kondisi

glukosuria pada selanjutnya menyebabkan diureis osmotic

sehingga akan timbul gejala banyak buang air kecil.

Polydipsia (sering merasa haus) yakni sangat berkaitan

erat dengan polyuria, karena banyaknya pengeluaran cairan

tubuh melalui ginjal ditambah dengan kondisi tubuh mengalami

hyperosmolar akibat peningkatan glukosa dalam tubuh

menyebabkan kondisi tubuh akan mengalami penurunan cairan

intrasel. Selanjutnya kondisi tersebut menyebabkan stimukasi

osmoreseptor pusat haus di otak sehingga penderita diabete

melitus sering mengeluh merasa haus.

Polifagia (peningkatan nafsu makan) kondisi ini

disebabkan penurunan insulin dan mengakibatkan penggunaan

glukosa oleh sel mengalami penurunan sehingga menimbulkan

pembentukan glukosa dari non karbohidrat yaitu dari protein

dan lemak (lipolysis). Peningkatan lipolysis dan katabolisme

protein akan menyebabkan keseimbangan energi positif yang

akan menyebabkan peningkatan pada nafsu makan.

18
Kelainan dasar pada DM tipe 2 yaitu resisten insulin pada

jaringan lemak, otot, kenaikan gula yang berakibat pada

hiperglikemia. Kekurangan sekresi insulin oleh pancreas yang

menyebabkan turunnya kecepatan transport glukosa ke jaringan

lemak, otot, dan hepar. Resistensi insulin terjadi karena

penurunan sensitivitas jaringan terhadap efek metabolisme

insulin.Penurunan sensitivitas insulin menganggu penggunaan

dan penyimpanan karbohidrat.

Perkembangan resistensi insulin terjadi secara bertahap

dimulai dari obesitas. Mekanisme yang terjadi pada DM tipe 2

yaitu sel-sel beta yang mengalami penurunan dan tidak mampu

memproduksi cukup insulin. Pada beberapa orang obesitas

memiliki resistensi insulin yang parah dan mengalami

peningkatan kadar gula dasar yang melebihi normal setelah

makan.

Hal tersebut dikarenakan pankreas mampu memproduksi

cukup insulin. Akan tetapi pada beberapa individu, pancreas

akan mengalami penurunan untuk mensekresikan insulin

(Guyton &Hall, 2007).

5. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan

pemeriksaan glukosa darah sewaktu, kadar glukosa darah

puasa, kemudian diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa Oral

19
standar. Untuk kelompok resiko tinggi DM, seperti usia dewasa

tua, tekanan darah tinggi, obesitas, dan adanya riwayat

keluarga, dan menghasilkan hasil pemeriksaan negative, perlu

pemeriksaan penyaring setiap tahun. Bagi beberapa pasien

yang berusia tua tanpa factor resiko, pemeriksaaan penyaring

dapat dilakukan setiap 3 tahun

Tabel 2.1 Interpretasi kadar glukosa darah (mg/dl)

Bukan DM Belum pasti DM DM


Kadar glukosa darah sewaktu
Plasma Vena <110 110 – 199 >200
Darah Kapiler <90 90 – 199 >200
Kadar glukosa darah puasa
Plasma Vena <110 110 – 125 >126
Darah Kapiler <90 90 – 109 >110

Tes Toleransi Glukosa Oral/TTGO

Tes ini telah digunakan untuk mendiagnosis diabetes

awal secara pasti, namun tidak dibutuhkan untuk penapisan dan

tidak sebaiknya dilakukan pada pasien dengan manifestasi

klinis diabetes dan hiperglikemia.

Cara pemeriksaaan tes toleransi Glukosa Oral/TTGO :

a. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien makan seperti biasa

b. Kegiatan jasmani cukup

c. Pasien puasa selama 10 – 12 jam

d. Periksa kadar glukosa darah puasa

e. Berikan glukosa 75 gram yang dilarutkan dalam air 250 ml,

lalu minum dalm waktu 5 menit

20
f. Periksa kadar glukosa darah saat 1/2, 1, dan 2 jam setelah

diberi glukosa

g. Saat pemeriksaan, pasien harus istirahat, dan tidak boleh

merokok

Pada keadaan sehat, kadar glukosa darah puasa individu

yang dirawat jalan dengan toleransi glukosa normal adalah 70 –

110 mg.dl. setelah pemberian glukosa, kadar glukosa akan

mengikat, namun akan kembali ke keadaan semula dalm waktu

2 jam. Kadar glukosa serum yang < 200 mg/dl setelah ½, 1 dan

1 ½ jam setelah pemberian glukosa, dan <140 mg/dl setelah 2

jam setelah pemberian glukosa, ditetapkan sebagai nilai TTGO

normal.

6. Penatalaksanaan

Menurut Dr. Irwan, 2016 penatalaksanaan Diabetes

Melitus dibagi menjadi 2 (dua) medikamentosa dan Non

medikamentosa, yaitu:

a. Non Medikamentosa

1) Menghindari atau meminimalkan factor resiko Diabetes

Melitus

2) Melakukan promosi kesehatan yag bertujuan untuk

mengendalikan factor resiko Diabetes Melitus

21
3) Bagi penderita maupun orang yang memiliki riwayat

keluarga DM harus memperhatikan terhadap makanan

dibawah ini :

a) Makanan yang harus dihindari seperti, Gula murni :

gula pasir, gula jawa, makanan dan minuman yang

dibuat menggunakan gula murni : abon, dendeng,

sarden, manisan, cake, tart, sirup, soft drink dll.

b) Makanan yang harus dibatasi seperti makanan yang

mengandung karbohidrat : nasi, ubi, roti, mie, dan

makanan yang diolah menggunakan tepung.

Kemudian harus dievaluasi 3 bulan bila menetap

perlu diberikan terapi medikamentosa

b. Medikamentosa

Jika diet tidak dapat menurunkan gula darah sampai ke

kisaran normal maka diperlukan anti diabetic oral :

1) Klorpropamid mulai dengan 0,5 mg/hari dalam sekali

pemberian, maksimal diberikan 0,5 mg/hari ½ jam

sebelum makan.

2) Glipizid 5-25 mg, 1-2 kali/hari, sebelum makan

3) Glikazid 20-30 mg, 1-2 kali/hari, sebelum makan

4) Glimepirid 0,5-6 mg, 1 kali/hari, sebelum makan

5) Methformin mulai dengan 0,5 gram/hari dalam 2-3 kali

pemberian, maksimal 15 mg/hari

22
7. Komplikasi

Kebesaran kerajaan Diabetes Melitus akan lebih terlihat

kekuasaaannya pada saat Diabetes Melitus memasuki tahapan

komplikasi. Diabetes Melitus dapat menyerang hampir seluruh

system tubuh manusia, mulai dari kulit sampai jantung.

Komplikasi Diabetes Melitus (tipe 2) dapat dibagi atas :

a. Komplikasi Awal (Early complication)

1) Hiperalbuminuria

2) Background retinophaty

3) Neuropathy

4) Klasifikasi arteri medial

5) Hipertensi

b. Komplikasi Lanjut ( Late complication )

1) Kegagalan ginjal (rebal failure)

2) Proliferative retinopathy

3) Gangrene dan amputasi

4) Coronary heart disease

5) Diabetes-related death

2. Konsep Self-Management

Pengendalian diabetes terdiri dari empat pilar utama,

yaitu edukasi, aktivitas fisik atau olahraga, terapi diet atau pola

makan, dan terapi farmakologi (Perkeni, 2015). Dalam

pengendalian diabetes, empat pilar utama tersebut harus

23
dilakukan secara rutin dalam kehidupan sehari-hari sehingga

dapat mengontrol dan mengurangi dampak penyakit atau

mencegah komplikasi pada diabetes melitus.Oleh karena itu,

dibutuhkan kemampuan untuk dapat mengelola perilaku sendiri

sangatlah penting, dan kemampuan inilah yang sering disebut

self-management. Perilaku yang mencerminkan self-

management pada penderita diabetes, yaitu melakukan diet

sehat, meningkatkan aktivitas fisik, menggunakan obat diabetes

secara rutin dan teratur, melakukan pemantauan kadar glukosa

darah rutin, dan melakukan perawatan kaki. (Phitri et al., 2013).

Self-management merupakan suatu perilaku yang

berfokus pada peran serta tanggung jawab individu dalam

pengelolaan penyakitnya (Kisokanth et al., 2013). Self-

management diabetes adalah tindakan individu secara rutin

24
14

untuk mengontrol diabetes termasuk melakukan pengobatan

dan mencegah komplikasi.

Tujuan self-management, yaitu untuk mencapai kadar

glukosa darah optimal (Mulyani, 2016). Kemampuan untuk

belajar, dikombinasikan dengan kemauan untuk menerima

tanggung jawab terhadap self-management dapat menjadi

faktor utama dalam menentukan prognosis DM untuk jangka

panjang (Kisokanth et al., 2013).

1. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Self Management

Menurut Green et al., (2017) faktor-faktor yang dapat

memengaruhi self-management adalah faktor personal, faktor

status kesehatan, faktor ekonomi, faktor lingkungan, dan faktor

pelayanan kesehatan. Faktor personal meliputi pengetahuan,

kebudayaan, emosional, motivasi dan gaya hidup.

a. Faktor Pengetahuan

Green et al, (2017) mengemukakan bahwa pengetahuan

mengenai perjalanan penyakit , peran terapi pengobatan,

dan rencana perawatan sangat penting dalam memengaruhi

keberhasilan self-management. Apabila seseorang tidak

mengetahui mengapa dan bagaimana manajemen penyakit

kronis yang diderita, maka akan menyebabkan self-

management terhambat (Green et al., 2017 dalam Inonu

2019).
15

b. Faktor Kebudayaan

Keyakinan budaya dan tradisi dapat memengaruhi sikap,

kepercayaan, dan nilai-nilai seseorang mengenai kesehatan.

Dilaporkan terdapat individu yang merasa takut untuk

menggunakan insulin karena dipercaya dapat menyebabkan

kebutaan. Hal ini menjadi hambatan dalam melakukan self-

management diabetes (Green et al, 2017; Kisokanth et al.,

2013 dalam Inonu 2019).

c. Faktor Emosional

Menurut Green et al, (2017) hambatan dalam melakukan

self-management dapat berupa stress, takut, cemas, dan

gangguan mood. Seseorang yang merasa sedih, cemas dan

takut terhadap penyakitnya akan memiliki self-management

yang lebih rendah daripada yang penerimaan dirinya baik,

yaitu seseorang yang menerima seutuhnya kondisi dan

keadaan dirinya (Dhamayanti, 2018; Inonu,2019). Dalam

manajemen diabetes, diperlukan penerimaan diri pasien

yang baik untuk melakukan perubahan pola hidup yang tidak

biasa. Hasan et al., (2013) menyatakan sebanyak 65,52%

penderita memiliki penerimaan diri sedang akibat subjek

kesulitan dalam menjalani manajemen diabetesnya. Hasil

penelitian tersebut menunjukkan adanya hubungan

penerimaan diri dengan self-management diabetes. Individu


16

yang memiliki penerimaan diri yang buruk cenderung

berpandangan negatif terhadap kemampuan atau potensi

dalam dirinya (Hasan et al., 2013). Sementara telah

disebutkan bahwa self-management termasuk dalam

kemampuan individu dalam mengelola kehidupannya.

Secara tidak langsung, individu dengan penerimaan diri

buruk akan memiliki pandangan yang negatif terhadap

kemampuannya dalam mengelola diabetes, sehingga dapat

memengaruhi self-management diabetesnya.

d. Faktor Motivasi

Motivasi dan kedisiplinan diri dapat memengaruhi ketekunan

dalam upaya pelaksanaan self-management (Green et al.,

2017). motivasi terdiri dari motivasi internal atau motivasi

yang tidak memerlukan rangsangan dari luar karena

memang telah ada dalam diri individu sendiri dan motivasi

eksternal atau motivasi yang timbul karena adanya

rangsangan dari luar individu. Motivasi internal memiliki

peranan penting dalam self-management diabetes. Menurut

(kisokanth et. All, 2013) salah satu factor yang

mempengaruhi self management pada diabetes dari

eksternal adalah dukungan sosial keluarga, Ketika dalam

suatu anggota keluarga terlibat dalam suatu proses self

management atau managemen diri mereka bisa memberikan


17

dukungan yang nantinya akan sangat membantu dalam

mencapai tujuan pengobatan dan pasien yang mendapatkan

tingkat dukungan dari keluarga yang baik maka akan

menunjukkan perilaku self-management yang baik pula

(Aklima et.all, 2012)

e. Faktor Pola Hidup

Pengalaman seseorang dalam melakukan self-management

sebelumnya, kemampuan untuk melakukan self-

management yang rutin, dan adanya transisi dalam

kehidupan merupakan faktor lain yang dapat memengaruhi

self-management (Green et al., 2017 dalam Inonu 2019).

3. Konsep Tingkat Pengetahuan

a. Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan merupakan suatu hasil dari rasa

keingintahuan melalui proses sensoris, terutama yakni pada

mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan

adalah domain yang penting dalam terbentuknya perilaku

terbuka atau open behavior ( Donsu, 2017).

Pengetahuan atau knowledge merupakan hasil

penginderan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap

suatu objek melalui pancaindra, yang dimilikinya. Panca

indra manusia manusia guna penginderaan terhadap objek

yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan


18

perabaan. Pada waktu penginderaan guna menghasilkan

oengetahuan tersebut dipengaruhi oleh intensitas perhatian

dan persepsi terhadap objek. Pengetahuan seseorang

sebagian besar diperoleh melalui indra pendengaran dan

indra penglihatan ( Notoatmodjo, 2014)

Pengetahuan dipengaruhi oleh salah satunya factor

pendidikan formal dan sangat erat hubungannya.

DIharapkan dengan pendidikan yang tinggi maka akan

semakin luas pengetahuannya. Tetapi orang yang

berpendidikan rendah tidak mutlak berpengetahuan rendah

pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari

pendidikan formal saja. Tetapi juga dapat diperoleh dari

pendidikan non formal. Pengetahuan akan suatu objek

mengandung dua aspek yaitu aspek positf dan aspek

negatif. Kedua aspek ini akan menentukan sikap seseorang.

Semakin banyak aspek positif dan objek yang diketahui,

maka akan menimbulkan sikap semakin positif terhadap

objek tertentu ( Notoatmojo, 2014)

Dari kedua pengertian tersebut maka penulis

menyimpulkan bahwa memang pengetahuan merupakan

hasil tahu dari seorang manusia terhadap berbagai panca

indera dan proses pendidikan untuk mengetahui kebenaran

dari hasil pengamatan.


19

b. Proses Perilaku Tahu

Menurut Rogers yang dikutip oleh Notoatmodjo (dalam

Donsu, 2017) mengungkapkan proses adopsi perilaku yakni

sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru di dalam diri

orang tersebut terjadi beberapa proses, diantaranya:

1. Awareness, ataupun kesadaran yakni pada tahap ini

individu sudah menyadari ada stimulu atau rangsangan

yang dating padanya.

2. Interest atau merasa tertarik yakni individu mulai tertarik

pada stimulus tersebut.

3. Evaluation atau menimbang-nimbang dimana individu

akan mempertimbangkan baik dan tidaknya stimulus

tersebut bagi dirinya. Inilah yang menyebabkan sikap

individu menjadi lebih baik.

4. Trial atau perobaan yaitu dimana individu mulai mencoba

perilaku baru

5. Adaption atau pengangkatan yaitu individu telah memiliki

perilaku baru sesuai dengan pengetahuan, sikap dan

kesadarannya terhadap stimulus.

c. Cara memperoleh pengetahuan.

Menurut Notoatmodo (2010) terdapat beberapa cara

memperoleh pengetahuan, yaitu :

1. Cara kuno atau non modern


20

Cara kuno atau tradisional dipakai untuk memperoleh

kebenaran pengetahuan, sebelum ditemukannya metode

ilmiah, atau metode penemuan statistic dan logis. Cara-

cara penemuan pengetahuan pada periode ini meliputi:

a. Cara coba salah (trial and error)

Cara ini dilakukan dengan menggunakan

kemungkinan dalam memecahkan masalah dan

apabila kemungkinan tersebut tidak bisa dicoba

kemungkinan yang lain.

b. Pengalaman pribadi

Pengalaman merupakan sumber pengetahuan untuk

memperoleh kebenaran pengetahuan

c. Melalui jalan fikiran

Untuk memperoleh pengetahuan serta

kebenarannya manusia harus menggunakan jalan

fikirannya serta penalarannya. Banyak sekali

kebiasaan-kebiasaan dan tradisi-tradisi yang

dilakukan oleh orang, tanpa melalui penalaran

apakah yang dilakukan baik atau tidak. Kebiasaan-

kebiasaan seperti ini biasanya diwariskan turun-

menurun dari generasi ke generasi berikutnya.

Kebiasaan-kebiasaan ini diterima dari sumbernya

sebagai kebenaran yang mutlak.


21

2. Cara Modern

Cara baru atau modern dalam memperoleh

pengetahuan lebih sistematis, logis dan alamiah.

Cara ini disebut “metode penelitian ilmiah” atau lebih

popular disebut motodologi penelitian, yaitu :

a. Metode Induktif:

Mula-mula mengadakan pengamatan langsung

terhadap gejala-gejala alam atau kemasyarakatan

kemudian hasilnya dikumpulan atau

diklasifikasikan, akhirnya diambil kesimpulan

umum.

b. Metode Deduktif

Metode yang menerapkan hal-hal yang umum

terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan

dengan bagian-bagiannya yang khusus.

c. Faktor yang mempengaruhi

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan

seseorang antara lain yaitu:

1) Faktor internal (dalam)

a) Pendidikan

Pendidikan ini diperlukan agar mendapatkan

informasi atau info contohnya hal-hal yang menunjang

kesehatan sehingga meningkatkan kualitas hidup


22

seseorang. Pada zaman sekarang tidak dapat

dipungkiri memang bahwa semakin tinggi tingkat

pendidikan seseorang maka semakin mudah pula

untuk menerima dan memahami informasi tersebut

dan pengetahuan yang mereka dapat semakin

banyak (Mubarak, 2011).

b) Pekerjaan

Kebutuhan wajib yang harus dilakukan dalam setiap

orang yang telah beranjak dewasa untuk menunjang

kehidupannya sendiri dan keluarganya. Bekerja pada

dasarya memanglah menyita waktu tetapi banyak

memberikan pengalaman ataupun pengetahuan baik

karena pekerjaan itu sendiri juga dapat membentuk

pengetahuan dengan cara bertukar informasi antara

satu teman keteman yang lain (Wawan dan Dewi,

2010)

c) Umur

Semakin kita bertambah dewasa semakin bertambah

pula umur kita, tingkat kematangan dan kekuatan

seseorang dalam berfikir dan bekerja akan semakin

meningkat. Informasi atau berita yang baik pada

masa seseorang telah dewasa dikarenakan pada

masa kedewasaan ini terjadi perkembangan


23

intelegensi yang cukup baik, kematangan mental,

kepribadian, perilaku sosial dan juga pola pikir.

Sehingga informasi yang didapat dapat membentuk

suatu sikap dan juga pengetahuan ditinjau dari respon

setelah suatu informasi tersebut diterima.

d) Informasi

Informasi dapat mempercepat seseorang untuk

mendapatkan pengetahuan yang baru dan juga bila

banyak mendapatkan informasi maka akan semakin

luas pengetahuan yang didapatkan (Wawan dan

Dewi, 2010), dan Riyanto (2013) menyampaikan

disini informasi bisa diperoleh dari pendiidikan forma

maupun non formal, dan juga dapat memberikan

pengaruh jangak pendek (immediate impact)

sehingga dapt menghasilkan perubahan atau

peningkatan pengetahuan itu sendiri.

e) Pengalaman

Suatu ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari

berbagai pengalaman baik itu pengalaman pribadi

ataupun pengalaman dari orang lain. Pengalaman

yang pernah kita lalui merupakan suatu cara untuk

memperoleh kebenaran tentang pengetahuan

tersebut.
24

2) Faktor Eksternal (Luar)

a) Faktor Lingkungan

Lingkungan merupakan suatu kondisi yang ada

dilingkungan sosial masyarakat dan pengaruhnya pun

bisa mempengaruhi perkembangan, tindakan, dan

sikap seseorang atau kelompok masyarakat.

b) Sosial Budaya

Pengaruh sosial budaya yang ada pada masyarakat

kita sekarang ini dapat mempengaruhi sikao

seseorang dalam menerima suatu informasi.

d. Sumber-Sumber Pengetahuan

Menurut Notoatmojo (2010) sumber-sumber pengetahuan

antara lain sebagai berikut:

1) Kekuasaan atau otoritas

Sumber pengetahuan tersebut berupa pemimpin-

pemimpin masyarakat baik secara formal maupun

informal, pemuka agama, pemegang pemerintahan

dan sebagainya. Pada pemegang otoritas pada

prinsipnya mempunyai mekanisme yang sama dalam

penemuan pengetahuan sehingga orang lain

menerima pendapat yang dikemukakan tanpa

terlebih dahulu membuktikan kebenarannya, baik

yang telah berdasarkan fakta empiris maupun


25

penalaran sendiri. Hal ini disebabkan karena orang

yang menerima pendapat tersebut menganggap apa

yang ditemukan itu adalah telah benar.

2) Pengalaman Pribadi

Pengalaman ialah guru yang baik, Pengalaman

dapat digunakan sebagai sumber pengetahuan

dengan cara mengulang kembali pengalaman yang

telah dilalui dalam memecahkan permasalahan yang

dihadapi masa lalu.

3) Akal Sehat

Sebelum pendidikan berkembang para orang tua

pada jaman dahulu agar anaknya dapat menuruti

perintah orang tuanya, maka dengan menggunakan

hukuman secara fisik salah satu contohny seperti

menjewer telinga.Cara ini sekarang berkembang

menjadi kebenaran, bahwa hukuman adalah metode

(meskipun bukan yang paling baik) bagi pendidikan

anak.

4) Intuisi

Kebenaran secara intuisi diperoleh secara cepat

melalui proses diluar kesadaran tanpa harus melalui

proses penalaran atau berpikir. Kesadaran yang

diperoleh melalui intuitif sukar dipercaya karena


26

kebenaran ini tidak menggunakan cara yang rasional

dan sistematis hanya berdasarkan intuisi atau suara

hati atau bahkan bisikan hati saja.

Sumber pengetahuan dapat dibedakan atas

dua bagian besar yaitu bersumber pada daya indrawi,

dan budi (intelektual) manusia.Pengetahuan indrawi

dimiliki oleh manusia melalui kemampuan indranya

namun bersifat relasional. Pengetahuan diperoleh

manusia juga karena ia juga mengandung kekuatan

psikis, daya indra memiliki kemampuan

menghubungkan hal-hal konkret material dalam

ketunggalannya. Pengetahuan indrawi bersifat parsial

disebabkan oleh adanya perbedaan kemampuan tiap

indra. Pengetahuan intelektual adalah pengetahuan

yang hanya dicapai oleh seorang manusia, melalui

rasio intelegensia. Pengetahuan intelektual mampu

menangkap bentuk atau kodrat objek dan tetap

menyimpannya di dalam dirinya (Notoatmodjo, 2003

dalam Wawan & Dewi, 2011).

e. Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain

yang sangat penting dalam membentuk tindakan

seseorang (overtbehavior). Tingkat pengetahuan di


27

dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan

(Notoatmodjo, 2014) yaitu.

1) Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang

telah dipelajari sebelumnya, Termasuk ke dalam

pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali

(recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang

dipelajari atau rangsangan yang telah dierima. Oleh

sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang

paling rendah dibanding yang lain.

2) Memahami (Comprehention)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

menjelaskan secara benar mengenai objek yang

diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut

secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek

atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan

contoh, menyimpulkan, meramaikan, dan sebagainya

terhadap objek yang dipelajari.

3) Aplikasi (Aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk

menggunakan materi yang telah dipelajaru pada saat

situasi atau kondisi yang real (sebenarnya). Aplikasi di


28

sini juga dapat diartikan sebagai aplikasi atau

penggunaan hokum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan

sebagainya dalalm konteks atau situasi yang lain.

4) Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan

materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen,

tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih

ada kaitannya antara satu sama lain. Kemampuan

analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja,

seperti dapat menggambarkan (membuat bagan),

membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan juga

sebagainya.

5) Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk

meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di

dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru, Dengan kata

lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun

formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada.

6) Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk

melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu

materi atau objek. Penilaian-penilaian itu juga didasarkan


29

pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau

menggunakan kriteria-kriteria yang ada.

a. Pengukuran

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan

menggunakan wawancara atau angket yang menanyakan

tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian

atau responden.Untuk mengukur suatu pengetahuan dapat

dengan menggunakan suatu pertanyaan. Adapun

pertanyaan yang dapat dipergunakan untuk pengukuran

pengetahuan secara umum dapat dikelompokkan menjadi

dua jenis yaitu pertanyaan subjektif misalnya jenis

pertanyaan essay dan jika pertanyaan objektif misalnya

dengan pertanyaan pilihan ganda (multiple choice).

Antara betul-salah dan pertanyaan menjodohkan.

Pertanyaan essay dikatakan pertanyaan subjektif karena

penilaian untuk pertanyaan ini melibatkan factor subjektif

dari nilai, sehingga nilai dan waktunya akan berbeda dari

seorang penilai yang satu dibandingkan dengan yang

lainnya. Sedangkan pertanyaan objektif yaitu dapat dinilai

secara pasti oleh penilainya tanpa harus melibatkan faktor

subjektifitas dari penilai.

Pertanyaan pengukuran pengetahuan secara umum

yaitu pertanyaan subjektif dari peneliti. Biasanya dalam


30

pertanyaan objektif khususnya pertanyaan pilihan ganda

lebih diminati dalam pengukuran pengetahuan karena lebih

mudah jika disesuaikan dengan pengetahuan yang akan

diukur dan juga penilainnya akan lebih cepat.

Menurut Arikunto (2010), pengukuran pengetahuan

ada dua kategori yaiti: menggunakan pertanyaan subjektif

misalnya jenis pertanyaan essay dan pertanyaan objektif

misalnya pertanyaan lipihan ganda (multiple choice),

pertanyaan betul salah dan pertanyaan menjodohkan.

Rumus Pengukuran Pengetahuan:

F
P= X 100%
N

Keterangan:

P: adalah persentase

F: Frekuensi ite, soal benar

N: Jumlah soal

Kriteria Tingkat Pengetahuan

Menurut Nursalam (2016) pengetahuan seseorang dapat

diinterpretasikan dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu:

1. Pengetahuan Baik : 76%-100%

2. Pengetahuan Cukup : 56%-75%

3. Pengetahuan Kurang : <56%

B. Penelitian Terkait
31

1. Penelitian dari Wiwied Trihardiyanti Purnama (2018). Meneliti

tentang “Pengaruh Diabetes Self Management Education and

Support (DSME/S) terhadap stress pada penderita Diabetes

Mellitus tipe II di Wilayah kerja Puskesmas Gampin 1 Sleman

Yogyakarta”. Metode yang digunakan dalam penelitian ini

adalah quasi eksperiment atau rancangan eksperimen semu

dengan bentuk rancangan non equivalent control group yaitu

penelitian yang dilakukan dengan membandinkan antara

kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Populasi dalam

penelitian ini adalah semua penderita diabetes mellitus tipe 2

yang mengalami stress di wilayah puskesmas gamping 1

sleman Yogyakarta dengan jumlah populasi 318 orang. Sampel

dalam penelitian ini sebanyak 30 responden dengan teknik

Accidental Sampling dengan mempertahankan kriteria inklusi.

Hasil analisis berdasarkan uji Wilcoxon menunjukkan bahwa

ada perbedaan yang bermakna antara stress pada kelompok

intervensi yang mendapatkan pendidikan kesehatan dengan

kelompok kontrol yang hanya diberi leafleat dan kuisioner yang

ditujukkan dengan nilai signifikan p=0,000 (<0,05).

2. Penelitian dari Kusnanto (2019). Meneliti tentang “Hubungan

Tingkat Pengetahuan dan Diabetes Self-Management dengan

Tingkat Stress Pasien Diabetes Mellitus Yang Menjalani Diet”

Desain penelitian ini menggunakan pendekatan Cross Sectional,


32

populasi dalam penelitian ini merupakan seluruh pasien DM

terbanyak di Puskesmas wilayah Surabaya, sampel dalam

penelitian ini sebanyak 106 responden, Sampel didapat dengan

menggunakan teknik multistage sampling

3. Penelitian dari Ni Putu Wulan Purnama Sari (2016). Meneliti

tentang “Diabetes Mellitus: Hubungan Antara Pengetahuan

Sensoris, Kesadaran diri, Tindakan Perawatan Diri dan Kualitas

Hidup” penelitian ini merupakan jenis penlitian observasional

analitik dengan pendekatan desain Cross Sectional, populasi

dalam penelitian ini adalah semua penduduk yang menderita DM

di diwilayah kelurahan Keputran Surabaya, Sampel dalam

penelitian ini sebanyak 32 responden yang merupakah penduduk

di Kelurahan Keputran Surabaya yang menderita DM dan

memenuhi kriteria sampel. Cara pengambilan sampel yang

digunakan adalah convenient sampling. Hasil penelitian

menunjukkan ada hubungan lemah yang signifikan antara

kesadaran diri dan kualitas hidp pada penderita DM.

4. Penelitian dari Eva Rahayu (2014) Meneliti tentang “Pengaruh

Progam Diabetes Self Management Education Berbasis

Keluarga Terhadap Kualitas Hidup Penderita Diabetes Mellitus

Tipe II di Wilayah Puskesmas II Batturaden” Desain penelitian

menggunakan Quasi Experiment One Group With Pre and Post

Test Design. populasi dalam penelitian ini adalah semua


33

penderita Dm dan keluarga yang berdomisili di wilayah kerja

Puskesmas 2 Baturraden. Jumlah sampel sebanyak 18

responden, Sampel didapat dengan menggunakan purposive

sampling, Simpulan dari penelitian ini Edukasi dengan

pendekatan prinsip Diabetes Self Management Education

(DSME) dapat meningkatkan kualitas hidup pada penderita DM

tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas 2 Baturraden.

5. Penelitian dari Trina Kurniawati (2019) Meneliti tentang

“Pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME)

terhadap Self Management pada Pasien Diabetes Mellitus”

Desain penelitian menggunakan quasy experiment (eksperimen

semu) dengan rancangan pre and post test control group design.

Sampel dalam penelitian ini sebanyak 46 orang yang dibagi

menjadi 2 kelompok yaitu 23 orang kelompok intervensi dan 23

orang kelompok kontrol dengan menggunakan metode

Probability sampling melalui Simple random sampling. Terdapat

hasil peningkatan nilai ratarata Self Management setelah

diberikan Diabetes Self Management Education (DSME) pada

kelompok intervensi dan terdapat perbedaan pengaruh antara

kelompok intervensi yang mendapatkan intervensi DSME dan

kelompok kontrol yang mendapatkan intervensi standar edukasi

dari PERSADIA.

C. Kerangka Teori
34

Menurut Notoatmodjo (2010) kerangka teori adalah suatu model

yang menerangkan bagaimana hubungan suatu teori dengan facto

r- faktor yang penting diketahui dalam suatu penelitian.

Gambar 2.1 kerangka teori hubungan tingkat pengetahuan de

ngan self-management:

FFaktor yang mempengaruhi self-


management:

+
Faktor Pengetahuan

Faktor Kebudayaan

Faktor Emosional

Faktor Motivasi

Faktor Pola Hidup

Self-Management Diabetes Mellitus

Keterangan:

Yang diteliti

Yang tidak diteliti

SUSumber: Green et al.(2017), Kisokanth et al (2013), Perkeni (2015), Hamzah


(2013), Kusniawati dalam Dhamayanti (2018)

D. Kerangka Konsep
35

Menurut Notoatmodjo (2012), kerangka konsep penelitian

merupakan kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin

diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan.

Gambar 2.2 kerangka konsep hubungan tingkat pengetahuan

dengan self-management:

VARIABEL INDEPENDEN VARIABEL DEPENDEN

Tingkat Pengetahuan: SELF-MANAGEMENT:

1. Baik : >76- 100% 1. 0-15 = Buruk

2. Cukup : 56- 75% 2. 16-31 = Cukup

3. Kurang : 0-56% 3. 32-48 = Baik

Notoatmodjo, ( 2010) (Schmitt et al, 2013


dalam Kumala Sari,
2017)

Keterangan : Arah Hubungan :

E. Hipotesis Penelitian

Menurut Thomas et al (2010) dalam Swarjana (2015),

hipotesis adalah hasil yang diharapkan atau hasil yang diantisipasi

dari sebuah penelitian. Hipotesis juga didefinisikan sebagai suatu

jawaban sementara dan penelitian patokan dugaan, dalil sementara

yang akan dibuktikan dalam penelitian. (Arikunto, 2010)

Dalam penelitian, hipotesis digolongkan menjadi dua jenis

yakni hipotesis alternative (Ha) yang menyatakan adanya

hubungan di antara satu variabel dengan variabel yang lainnya,


36

dan hipotesis nol (H0) yang menyatakan tidak adanya hubungan

antara satu variabel dengan variabel lainnya. (Thomas et al.,2010 ;

Swarjana., 2015)

Berdasarkan kerangka konsep di atas maka hipotesis

penelitian ini adalah:

1. Hipotesa Alternatif (Ha)

a. Ada hubungan antara pengetahuan dengan self-

management pada penderita DM Tipe II di wilayah kerja

Puskesmas Palaran Kota Samarinda.

2. Hipotesa Nol (H0)

a. Tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan self-

management pada penderita DM Tipe II di wilayah kerja

Puskesmas Palaran Kota Samarinda.


37
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Pada penelitian untuk mengetahui hubungan antara tingkat

pengetahuan dengan self-management pada penderita

Diabetes Mellitus tipe II di Puskesmas Palaran kota

Samarinda peneliti menggunakan desain penelitian yaitu

deskriptif korelasi, yaitu penelitian yang bertujuan untuk

menemukan ada tidaknya hubungan dan apabila ada, berapa

eratnya hubungan serta berarti atau tidaknya hubungan itu

(Arikunto, 2009). dengan pendekatan Cross Sectional yaitu

penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor

dan resiko dengan efek dengan cara pendekatan, observasi

atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Poin

approach) (Notoatmodjo, 2010).

Jenis penelitian ini menurut pendekatannya adalah

penelitian dengan kuantitatif, penelitian ini lebih

menekankan analisanya pada data-data numeral (angka-

angka) yang diolah dengan metode statistik (Syarifudin,

2010).

48
44

B. Populasi dan Sampel

Adapun populasi dan sampel yang ditetapkan dalam

penelitian ini akan dijabarkan sebagai berikut :

1. Populasi

Populasi adalah subyek atau klien yang menjadi sasaran

penelitian dengan memenuhi kriteria yang ditetapkan

(Nursalam, 2013).

Didalam penelitian ini populasinya adalah penderita diabetes

melitus tipe II berada di wilayah kerja Puskesmas Palaran

Kota Samarinda. Populasi dalam penelitian ini adalah

penderita d yang diabetes mellitus tipe II yang berada di

sekitaran wilaya kerja Puskesmas Palaran kota Samarinda

dengan jumlah penderita selama 4 bulan terakhir sebanyak

245 orang.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil

dengan menggunakan cara-cara tertentu. Sampel ditarik dari

populasi terjangkau ( Nursalam, 2008). Sampel merupakan

bagian dari jumlah karakteristik yang dimiliki oleh populasi

( Sugiyono, 2010). Pada penelitian ini menggunakan Teknik

Simple random sampling,


45

Pengambilan sampel dalam penelitian ini

menggunakan rumus Slovin ( Ridwan, 2009) sebagai

berikut:

N
n= 2
1+ N (d )

Keterangan ;

N = Besar Populasi

n = Besar Sampel

d = Taraf signifikasi atau taraf kepercayaan (5%)

Setelah ditentukan kriteria sampel selanjutnya menentukan

besar sampel yang dapat dihitung dengan rumus sebagai

berikut :

n = N/ (1 + (N xd2))

n = 245 / (1 + (245 x 0,052))

n = 245 / (1 + (245 x 0,0025))

n = 245 / (1 + 0,61)

n = 245 / 1,61

n = 152,17391304

Apabila dibulatkan maka besar sampel minimal pada

penelitian ini adalah sebesar 152 responden dengan kriteria

sampel sebagai berikut:

a. Kriteria inklusi

1) Menderita Diabetes Mellitus tipe II.

2) Usia 26-65 tahun.

48
45

3) Bisa baca tulis.

4) Bersedia menjadi responden dan menandatangani

informed consent.

b. Kriteria eksklusi

1) Menderita Diabetes Mellitus Gestasional.

2) Menderita Diabetes Mellitus Juvenile.

3) Data wawancara tidak lengkap.

C. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas

Palaran kota Samarinda pada pada 24 Januari 2020 sampai

dengan 28 Februari 2020, Waktu tersebut digunakan untuk

mengumpulkan data dengan kuesioner yang diisi lengkap

oleh responden dan dikembalikan kepada peneliti

D. Definisi Operasional

Menurut Sugiyono (2014), definisi operasional adalah

merupakan kontruksi dengan kata - kata yang

menggambarkan perilaku atau gejala yang diamati, dapat

diuji kebenarannya oleh orang lain. Definisi operasional

dalam penelitian ini diuraikan seperti pada tabel berikut ini.

Tabel 3.1 Definisi Operasional


N Definisi
Variabel Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
O Operasional
1. Faktor Pengetahuan Kuesioner DKQ- 1. Baik : 76-100% ( Ordinal
Pengetahuan penderita 24 (Diabetes jika jumlah
dengan Knowledge jawaban benar 16-
menggunakan Questionnaire) 21)

49
45

segala dengan 21 item 2. Cukup: 56-75%


pengalaman butir pertanyaan ( jika jumlah
dan dengan skala jawaban benar 13-
penginderaan guttman 15)
yang dimilikinya Benar=1 3. Kurang: 0-55%
tentang Salah=0 ( jika jumlah
penyakit jawaban benar 0-
diabetes 12)
mellitus dengan
berbagai (Notoatmodjo,
indikator 2010)
penderita dapat
mengetahui:
1.Pengertian
2.Faktor
penyebab,
3.Gejala,
4.Akibat yang
ditimbulkan
5.Cara
mencegah

2. Dependent Keterampilan Kuesioner 1. 0-15 = Buruk Ordinal


(terikat) yang dimiliki DMSQ 2. 16-31 = Cukup
Self- oleh pasien ( Diabetes Self- 3. 32-48 = Baik
Management dibetes mellitus Management (Schmitt et al, 2013
tipe 2 dalam Diabetes dalam Kumala
mengontrol dan Questionnaire) Sari, 2017)
mengatur dengan 16 item
penyakit yang pertanyaan
diderita. dengan
menggunakan
skala Likert

E. Instrument Penelitian

Menurut Notoadmodjo (2012), Instrument penelitian

merupakan alat yang digunakan untuk pengumpulan data.

Kuesioner penting sebagai alat pengumpulan data dengan

tujuan untuk memperoleh suatu data yang sesuai dengan

tujuan penelitian tersebut.Daftar pertanyaan yang sudah

tersusun dengan baik, sudah matang, dimana responden

50
45

tinggal memberikan jawaban atau dengan memberikan

tanda-tanda tertentu disebut kuesioner (Notoatmodjo, 2012).

Bagian pertama (A) memberikan informasi tentang data

demografi responden antara lain : nama inisial responden,

umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir, pekerjaan, kode

(diisi oleh peneliti).

Bagian kedua (B) untuk mengukur tentang tingkat

pengetahuan pada penderita DM tipe II dengan

menggunakan kuesioner, kuesioner dibuat dalam bentuk

pertanyaan dan jawaban dalam bentuk pilihan ganda dengan

menggunakan skala guttman. Dengan pilihan jawaban

favorable ya=1 dan tidak=0 , dan yang unfavorable ya=0,

tidak=1.

Bagian ketiga (C) untuk mengukur self-management pada

penderita diabetes mellitus tipe II dengan menggunakan

kuesioner, kuesioner dibuat dalam bentuk pertanyaan dan

jawaban dalam bentuk pilihan ganda dengan menggunakan

skala likert. Dengan pilihan jawaban favorable selalu=3 ,

sering=2 , kadang-kadang=1 , tidak pernah=0 , dan yang

unfavorable selalu=0, sering=1, kadang-kadang=2, tidak

pernah=3.

F. Uji Validitas dan Reliabilitas

51
45

Uji validitas dilakukan untuk menilai kesahihan alat ukur

yang digunakan dalam suatu penelitian.Validitas merupakan

ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan dari instrument.

Suatu instrument dapat dikatakan valid apabila instrument

tersebut memiliki validitas yang tinggi dan sebaliknya ,

instrument dikatakan kurang valid apabila memiliki validitas

yang rendah (Arikunto, 2010).

Reliabilitas adalah angka yang menunjukkan seberapa jauh

konsistensi dari suatu alat ukur dalam mengukur gejala yang

sama, setiap alat ukur harus memiliki kemampuan dalam

memberikan hasil yang konsisten (Sugiyono,2010).

Untuk mengukur variabel dalam penelitian ini digunakan

kuesioner baku, sehingga peneliti tidak melakukan uji

validitas dan reliabilitas. Untuk mengukur variabel

pengetahuan, digunakan kuesioner baku DKQ-24 yang telah

dikembangkan oleh (Anderso,D&Christion,J. 2008) kuesioner

ini menggunakan instrument penelitian sebelumnya oleh

Anderson,D. & Christison, J. (2008). Hasil uji validitas dan

reliabilitas yang telah dilakukan oleh Yuni Thiodora Gultom

(2012) dengan hasil validitas 41039 ≥ 0,361 dan hasil

reabilitas crobanch’s alpha sebesar 0,950≥0,6. Hasil dari

pengukuran tingkah pengetahuan dikategorikan menjadi tiga

tingkatan yaitu tingkah pengetahuan baik : 76-100% ( jika

52
45

jumlah jawaban benar 16-21), tingkat pengetahuan cukup:

56-75% ( jika jumlah jawaban benar 13-15), tingkat

pengetahuan kurang : 0-55% ( jika jumlah jawaban benar 0-

12).

Untuk mengukur variabel Self-Management Diabetes

Mellitus, digunakan kuesioner baku DSMQ (Diabetes Self-

Management Questionnaire). Kuesioner DSMQ dalam

Bahasa Indonesia telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas

oleh Keban & Ramdhani (2016) di Rumah Sakit Husada

Cibinong dengan nilai p>0.05 dan nilai koefisien alpha

Cronbach sebesar 0.889. (Inonu, 2019).

G. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan proses pendekatan

kepada subjek dan proses untuk mengumpulkan

karakteristik dari subjek yang diperlukan untuk penelitian.

(Nursalam, 2011).

Data adalah komponen terpenting sebagai penentu

terhadap berhasil atau tidaknya suatu penelitian.Oleh sebab

itu teknik pengumpulan data harus dilakukan dengan teliti

dan secermat mungkin.

Metode dalam pengumpulan data ini meliputi data primer

dan data sekunder:

1. Data primer

53
45

Data primer merupakan data yang diperoleh langsung

dari subyek penelitian dengan menggunakan alat

pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada

subyek sebagai informasi yang dicari (Azwar, 2009). Data

primer dari penelitian ini diperoleh dengan menggunakan

kuesioner. Kuisioner merupakan suatu Teknik untuk

mengumpulkan data dengan cara memberikan pertanyaan

atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab

( Sugiyono, 2010 )

Data primer ini adalah lembar jawaban responden atau

kuesioner yang diberikan pada saat penelitian yaitu

kuesioner hubungan antara tingkat pengetahuan dengan

self-management pada penderita Diabetes Mellitus tipe II

di wilayah kerja Puskesmas Palaran kota Samarinda.

2. Data sekunder

Data merupakan data yang diperoleh lewat pihak lain,

tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek

penelitiannya. Data sekunder biasanya berwujud data

dokumentasi atau data laporan yang telah tersedia

(Azwar, 2009). Data sekunder dari penelitian ini berupa

data penderita yang menderita diabetes melitus tipe II di

wilayah kerja Puskesmas Palaran kota Samarinda

H. Teknik Analisa Data

54
45

Menurut Notoamojo (2010), Memberikan tanda pada data

yang telah lengkap dengan langkah sebagai berikut :

1. Pengelohan Data

Dalam proses pengelolaan data Pada penelitian ini

langkah-langkah yang di tempuh dan di proses dengan

bantuan computer juga, tergantung pada kualitas data

tersebut ;

a. Editing

Melakukan pengecekan kembali data yang sudah terkumpul

diantaranya kelengkapan ketentuan identitas diri , apakah

sudah sesuai dengan yang diharapkan atau tidak , dalam

melakukan editing ada beberapa hal yang harus di

perhatikan yakni ; Memeriksa kelengkapan data dan

kemudian memeriksa keseragaman data apakah sesuai atau

tidak

b. Coding

Menyusun data mentah yang kemudian dimasukan ke mesin

pengelolaan data. Dan kemudian data yang terkumpul

diberikan kode yakni mengubah data berbentuk kalimat atau

huruf menjadi data angka atau bilangan, kode berisi nomor

responden , dan nomor-nomor pertanyaan yang telah

diberikan

c. Entry

55
45

Melakukan pemindahan data yang telah diubah menjadi

kode ke dalam mesin pengelolan data, dalam proses ini

perlunya ketelitian dari yang melakukan “data entry”. Apabila

tidak maka akan terjadi bias meskipun hanya memasukan

data saja.

d. Tabulating

Data yang telah dimasukan ke pengelolaan data jika sudah

lengkap dihitung sesuai dengan variable yang dibutuhkan

kemudian data dimasukan kedalam data distribusi frekuensi

e. Cleaning

Memastikan seluruh data dari setiap sumber data atau

responden selesai dimasukan ke pengelolaan data sudah

selesai dan benar dan untuk menilai kemungkinan adanya

kesalahan kode, ketidak lengkapan kemudian dilakukan

pembetulan atau koreksi. Proses ini disebut pembersihan

data ( Data Cleaning )

2. Analisis Univariat dan Bivariat

Dalam Notoatmodjo (2012), analisa data suatu

penelitian, biasanya melalui prosedur bertahap antara

lain:

a. Analisis Univariat

Tujuan Analisis ini adalah untuk menjelasakan

atau mendeskripsikan karakteristik masing-masing

56
45

variable yang diteliti.Bentuk tergantung pada jenis

datanya (Notoatmojo, 2010). Setiap variabel independen

dan variabel dependen pada penelitian ini dianalisis

dengan statistik deskriptif untuk memberikan gambaran

persentase terhadap total skor jawaban masing-masing

responden. Pada umumnya dalam analisis ini hanya

menghasilkan distribusi frekuensi dan presentase dari

setiap variabel (Notoatmodjo,2012).

Rumus untuk menghitung distribusi frekuensi sebagai

berikut (Arikunto, 2010):

f
p= x 100 %
n

keterangan:

p = persentase yang dicari

f = Frekuensi untuk setiap pertanyaan

n = jumlah sampel

b. Analisa Bivariat

Analisis bivariat yakni analisis yang dilakukan setelah

melakukan analisis univariat untuk mengetahui karakteristik

atau distribusi setiap variabel.Analisis bivariate yang

dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan

atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2012).

Apabila telah dilakukan analisa univariat tersebut diatas,

hasilnya akan diketahui karakteristik atau distribusi setiap

57
45

variabel dan dapat dilanjutkan analisa bivariate. Analisa

bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan dan berkorelasi yang dibuat dalam bentuk

distribusi untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara

variabel.

Untuk variabel pengetahuan peneliti menggunakan uji

korelasi gamma. Uji gamma adalah salah satu uji yang

digunakan untuk menguji korelasi antara dua variabel

dimana kedua variabel yang dihubungkan adalah variabel

ordinal. (Dahlan, 2011).

Rumus:

P−Q
y=
P+Q

Concordant−Discordant
gamma=
Concordant + Discordant

I. Etika Penelitian

Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah

yang sangat penting dan hal mutlak yang harus dipatuhi oleh

peneliti di bidang apapun, mengingat penelitan keperawatan

berhubungan dengan manusia, maka segi etika penelitian

harus diperhatikan (Hidayat, 2008; Polit and Beck, 2003

dalam Swarjana,2015). Pada penelitian ini menggunakan

58
45

etika penelitian terdiri dari informed consent, anonymity dan

confindentiality, yaitu sebagai berikut :

1. Informed consent (lembar persetujuan)

Lembar persetujuan penelitian yang diberikan, dengan

tujuan keluarga responden mengetahui maksud dan tujuan

serta dampak penelitian selama pengumpulan data.

59
42

2. Anonymity (tanpa nama)

Kerahasiaan identitas responden tetap diperhatikan, untuk

peneliti tidak akan mencantumkan nama responden pada

lembar pengumpulan data (kuesioner) yang diisi.

3. Confindentiality (kerahasiaan)

Peneliti menjamin kerahasiaan informasi yang diberikan

oleh keluarga responden dan hanya kelompok tertntu saja

yang akan dilaporkan sebagai hasil riset.

J. Jalannya Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahapan yang terdiri

dari tahapan persiapan, tahap pengumpulan data dan tahap

analisa data.

1. Tahap Persiapan

Hal pertama yang dilakukan peneliti adalah

mengidentifikasi tempat penelitian dan populasi target.

Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti

mengajukan judul penelitian pada pembimbing hingga

kemudia judul di setujui oleh pembimbing. Kemudian,

peneliti melanjutkan skripsi (Bab I, II, III) dan mendapat

bimbingan dari pembimbing. Namun, peneliti juga

melakukan studi surat permohonan izin ke Puskesmas

Palaran kota Samarinda.

2. Tahap pengumpulan data

60
42

Selanjutnya peneliti mengajukan surat

permohonan izin kepada kepala Puskesmas Palaran

kota Samarinda. Kemudian peneliti melakukan penelitian

dengan cara memberikan informasi dan informed

consent kepada responden. Setelah itu, peneliti

mengumpulkan data yang digunakan oleh peneliti

berupa kuesioner untuk data primer dan data sekunder.

Peneliti memberi waktu 30 menit kepada responden

untuk mengisi kuesioner tersebut, setelah itu peneliti

mengambil kuesioner, memastikan semua pertanyaan

terjawab oleh responden dan berdiskusi yang berkaitan

dengan penelitian.

3. Tahap Analisa Data

Setelah data terkumpul semua dari responden,

peneliti melakukan pengecekkan ulang terhadap data-

data yang didapatkan, sehingga data yang didapatkan

dapat diikut sertakan dalam kegiatan analisa data, tahap

berikutnya adalah melakukan pemberian coding dan

scording. Setelah data didapatkan kemudian dilakukan

analisa data dengan menggunakan jasa bantuan

program software komputer, sehingga didapatkan nilai

hubungan atau asosiasi dari data tersebut.

61
42

62

Anda mungkin juga menyukai