Anda di halaman 1dari 28

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini membahas hasil penelitian tentang Hubungan

Penerimaan Diri dengan Self-Management pada Penderita Diabetes

Mellitus Tipe II di Wilayah Kerja Puskesmas Palaran Samarinda,

pengumpulan data saat penelitian menggunakan instrument berupa

kuesioner yang dilakukan sejak Januari 2020 sampai Februari 2020.

Dalam bab ini juga membahas mengenai gambaran umum lokasi

penelitian serta hasil analisa data yang terdiri dari hasil univariat dan

bivariat.

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Puskesmas Palaran merupakan salah satu puskesmas milik

pemerintah di Samarinda, Kalimantan Timur. Puskesmas Palaran

berada di Jalan Kesehatan, Kelurahan Rawa Makmur, Kecamatan

Palaran. Pada tahun 1968 sebelum berdirinya puskesmas Palaran

telah berdiri sebuah Balai Pengobatan Transmigrasi lalu dua tahun

kemudian yaitu pada tahun 1970 berdirilah Puskesmas Palaran.

Adapun visi dan misi, tata nilai, motto, dan budaya kerja

Puskesmas Palaran Samarinda sebagai berikut:

1. Visi

1
Terwujudnya derajat kesehatan mandiri pada individu, keluarga,

kelompok dan masyarakat melalui pelayanan yang bermutu,

berkualitas serta berdaya saing dengan sumber daya manusia

yang handal.

2. Misi

a. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang terintegrasi.

b. Memantapkan komitmen pegawai melalui pelayanan yang

profesional, berbudaya dan mampu berinovasi.

c. Mengikutsertakan masyarakat dalam upaya peningkatan

derajat kesehatannya melalui perilaku hidup bersih dan sehat.

d. Mengembangkan kemitraan dibidang kesehatan bersama

lintas sektor dan swasta.

3. Tata Nilai “PALARAN”

Profesional, Adil, Loyalitas, Aman, Ramah tamah, Amanah,

Nyaman.

4. Motto

“Kepuasan Anda adalah Semangat Kami”

5. Budaya Kerja 4K

a. Keramahan

b. Kerjasama

c. Kedisiplinan

d. Kesetiaan

B. Hasil Penelitian

2
1. Karakteristik Reponden

a. Berdasarkan Usia

Tabel 4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia Pada

Penderita Diabetes Mellitus Tipe II di Puskesmas Palaran

Samarinda.

USIA FREKUENSI %
26-35 Dewasa Awal 5 3.3
36-45 Dewasa Akhir 12 7.9
46-55 Lansia Awal 39 25.7
56-65 Lansia Akhir 60 39.5
>65 Manula 36 23.7
Jumlah 152 100
Sumber: Data Primer 2020.

Pada tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa dari 152

responden sebagian besar adalah usia lansia akhir yaitu

sebanyak 60 (39,5%) responden, lansia awal sebanyak 39

(25,7%) responden, manula sebanyak 36 (23,7%) responden,

dewasa akhir sebanyak 12 (7,9%) responden, dan dewasa

awal sebanyak 5 (3,3%).

b. Berdasarkan Jenis Kelamin

3
Tabel 4.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis

Kelamin Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe II di

Puskesmas Palaran Samarinda.

Jenis Kelamin Frekuensi %


Laki-Laki 48 31.6
Perempuan 104 68.4
Jumlah 152 100
Sumber: Data Primer 2020

Pada tabel 4.2 di atas menunjukan bahwa dari 152 responden

sebagian besar adalah berjenis kelamin perempuan yaitu

sebanyak 104 (68,4%) responden, berjenis kelamin laki- laki

sebanyak 48 (31,6%) responden.

c. Berdasarkan Pendidikan Terakhir

Tabel 4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan

Pendidikan Terakhir Pada Penderita Diabetes Mellitus

Tipe II di Puskesmas Palaran Samarinda.

Pendidikan Terakhir Frekuensi %


Tidak Sekolah 11 7.2
SD 77 50.7
SMP 34 22.4
SMA Sederajat 28 18.4
Perguruan Tinggi 2 1.3
Jumlah 152 100
Sumber: Data Primer 2020

Pada tabel 4.3 di atas menunjukan bahwa dari 152 responden

sebagian besar adalah SD 77 (50,7%) responden, SMP

4
sebanyak 34 (22,4%) responden, SMA sebanyak 28 (18,4%)

responden, tidak sekolah sebanyak 11 (7,2%) responden,

perguruan tinggi sebanyak 2 (1,3%) responden.

d. Berdasarkan Pekerjaan

Tabel 4.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan

Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe II di Puskesmas

Palaran Samarinda.

Pekerjaan Frekuensi (%)

Tidak Bekerja 7 4.6

IRT 73 48

Swasta 15 9.9

Petani 42 27.6

Nelayan 1 0.7

PNS 1 0.7

Pedagang 8 5.3

Pensiun 5 3.3

Jumlah 152 100,0

Sumber: Data Primer 2020

Pada tabel 4.4 di atas menunjukan bahwa dari 152 responden

adalah IRT sebanyak 73 (48%) responden, petani 42 (27,6%)

responden, swasta 15 (9,9 %) responden, pedagang 8 (5,3 %)

responden, tidak bekerja 7 (4,6 %) responden, pensiun 5 (3,3 %),

nelayan 1 orang (0,7%), PNS 1 orang (0,7%).

5
2. Analisa Univariat

Analisa univariat dilakukan dengan tujuan menjelaskan atau

mendeskripsikan karakteristik masing- masing variabel yang

diteliti. Dalam penelitian ini, variabel independent adalah

penerimaan diri dan variabel dependent adalah self-management.

a. Variabel Independen (Penerimaan Diri)

Distribusi frekuensi penerimaan diri responden yang

menderita penyakit Diabetes Melitus Tipe II di Puskesmas

Palaran Samarinda dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut ini:

Tabel 4.6 Analisis Variabel Independen Penerimaan Diri Pada

Penderita Diabetes Melitus Tipe II Di Puskesmas Palaran

Samarinda

Penerimaan Diri Frekuensi %


Rendah 2 1.3
Medium 63 41.4
Tinggi 87 57.2
Jumlah 152 100
Sumber: Data Primer 2020

Pada tabel 4.6 di atas menunjukan bahwa dari 152

responden sebagian besar memiliki tingkat penerimaan diri

yang tinggi sebanyak 87 (57,2%) responden, medium 63

(41,4%) responden, rendah 2 (1,3%) responden.

b. Variabel Dependen (Self-Management)

6
Distribusi frekuensi self-management responden yang

menderita penyakit Diabetes Melitus Tipe II di Puskesmas

Palaran Samarinda dapat dilihat pada tabel 4.7 berikut ini:

Tabel 4.7 Analisis Variabel Dependen Self-Management Pada

Penderita Diabetes Melitus Tipe II Di Puskesmas Palaran

Samarinda

Self-Management Frekuensi %
Buruk 1 0.7
Cukup 68 44.7
Baik 83 54.6
Jumlah 152 100
Sumber: Data Primer 2020

Pada tabel 4.7 di atas menunjukan bahwa dari 152

responden sebagian besar memiliki tingkat self-management

yang baik sebanyak 83 (54,6%) responden, cukup 68 (44,7%)

responden, buruk 1 (0,7%) responden.

3. Analisa Bivariat

Analisa bivariat dilakukan untuk menguji kemaknaan

hubungan antara variabel independent yaitu penerimaan diri dan

variabel dependent yaitu self-management, maka digunakan uji

dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.8 Analisis Hubungan Penerimaan Diri Dengan Self-

Management Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe II Di Puskesmas

Palaran Samarinda

7
Sumber: Data Primer 2020 Ordinal by Ordinal P
Penerimaan Jumlah
Self-Management Gamma Value
Diri
Buruk Cukup Baik
Rendah 1 1 0 2
Medium 0 40 23 63 0,000
0,618
Tinggi 0 27 60
Jumlah 1 68 83 152

Hasil analisis dari tabel 4.8 dapat diketahui bahwa dari 152

responden yang memiliki tingkat penerimaan diri rendah dengan

self-management buruk terdapat 1 responden, dengan self-

management cukup terdapat 1 responden, dan self-management

baik terdapat 0 responden. Responden yang memiliki tingkat

penerimaan diri medium dengan self-management buruk terdapat 0

responden, self-management cukup terdapat 40 responden, dan

self-management baik 23 responden. Responden yang memiliki

tingkat penerimaan diri tinggi dengan self-management buruk

terdapat 0 responden, dengan self-management cukup terdapat 27

responden, dan self-management baik terdapat 60 responden.

Hasil uji statistik dengan menggunakan uji gamma diperoleh

P value 0,000 < α (0,05) sehingga dapat dinyatakan bahwa H0

ditolak dan Ha diterima yang mengatakan terdapat hubungan

bermakna antara penerimaan diri dengan self-management pada

penderita Diabetes Melitus Tipe II dengan nilai koefisien

8
korelasinya 0,618 yang berarti nilai korelasinya positif dengan

kekuatan korelasinya kuat.

C. Pembahasan Karakteristik Responden

1. Usia

Berdasarkan hasil penelitian dari 152 responden sebagian

besar adalah usia lansia akhir (56-65 tahun) yaitu sebanyak 60

(39,5%) responden, lansia awal (46-55 tahun) sebanyak 39

(25,7%) responden, manula (>65 tahun) sebanyak 36 (23,7%)

responden, dewasa akhir (36-45 tahun) sebanyak 12 (7,9%)

responden, dan dewasa awal (26-35 tahun) sebanyak 5 (3,3%).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian (Kusnanto,2019)

dengan responden berjumlah 106 orang didapatkan hasil usia 46-

65 tahun sebanyak 96 (90,6%) responden dan yang paling sedikit

umur 26-35 tahun yaitu sebanyak 1 (0,9%) responden.

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian (Trisnadewi,

Adiputra, & Mitayanti, 2018) dengan responden berjumlah 80

orang dan didapatkan hasil usia 56-65 tahun sebanyak 27 (33.8%)

responden.

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2019 usia

merupakan faktor risiko utama untuk diabetes. Pengujian diabetes

harus dimulai paling lambat usia 45 tahun.

9
Menurut Damayanti (2015) dalam (Derek, Rottie & Kallo.

2017) faktor risiko menyandang diabetes melitus tipe II adalah

usia diatas 30 tahun, hal ini terjadi karena adanya penurunan

anatomis, fisiologis, dan biokimia. Ketua Indonesia Diabetes

Association juga menyebutkan bahwa diabetes mellitus tipe II

biasanya ditemukan pada orang dewasa usia diatas 40 tahun.

Menurut smeltzer et al (2010) dalam muflihatin (2015) usia

merupakan salah satu faktor resiko penyebab diabetes mellitus

tipe II. Mayoritas diderita oleh orang yang berusia diatas 45 tahun

dan mulai meningkat diatas usia 65 tahun. Diabetes mellitus tipe II

disebabkan oleh penurunan kemampuan tubuh dalam sensitivitas

insulin (resistensi insulin) dan sekresi insulin terganggu.

Berdasarkan uraian diatas peneliti berasumsi bahwa

semakin bertambahnya usia seseorang maka akan terjadi

perubahan anatomis, fisiologis dan biokimia sehingga semakin

menurun fungsi tubuh nya oleh karena itu usia >45 tahun rentan

terkena penyakit diabetes mellitus.

2. Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian pada 152 responden sebagian

besar adalah berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 104

(68,4%) responden, berjenis kelamin laki- laki sebanyak 48

(31,6%) responden.

10
Penelitian ini sejalan dengan penelitian (Derek, Rottie, &

Kallo, 2017) dengan jumlah responden 75 orang dan didapatkan

hasil yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 47 (62,7%)

responden dan yang berjenis kelamin laki- laki sebanyak 28 (37,3)

responden.

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Ikhwan dkk

(2018) dengan responden berjumlah 32 orang didapatkan hasil

yang berjenis kelamin laki- laki sebanyak 18 (56,2%) responden

dan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 14 (43,8%)

responden.

Pada penelitian Keban & Ramdhani (2016) dengan jumlah

responden 109 orang didapatkan sebagian besar responden

berjenis kelamin perempuan sebanyak 62 (56,88 %). Menurut

Keban & Ramdhani (2016) diabetes mellitus tipe II paling banyak

terjadi pada perempuan dikarenakan perempuan memiliki peluang

peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar, sindroma siklus

bulanan (premenstrual syndrome), serta pasca –menopause yang

membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi

akibat proses hormonal. Jumlah lemak pada laki-laki rata-rata

berkisar antara 15-20% dari berat badan total dan pada

perempuan sekitar 20-25% sehingga peningkatan kadar lipid

dalam darah perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki hal ini

11
menyebabkan perempuan berisiko 3-7 kali untuk mengalami

diabetes mellitus dibandingkan dengan laki-laki.

Menurut (Odume et al, 2015) dalam (Yan, Marisdayana &

Irma, 2017) menyatakan selain karena faktor hormonal dan jumlah

lemak dalam tubuh serta tingkat trigeliserida yang lebih tinggi

pada perempuan dibandingkan laki-laki, faktor aktivitas fisik

perempuan yang lebih rendah dibanding laki-laki menjadi faktor

risiko terjadinya diabetes mellitus. Aktivitas fisik yang rendah pada

perempuan dapat menyebabkan obesitas, dan resistensi insulin

serta penurunan toleransi glukosa.

Berdasarkan uraian diatas peneliti berasumsi bahwa

perempuan lebih beresiko lebih tinggi untuk mengalami diabetes

mellitus karena perempuan memiliki hormone esterogen yang

dapat meningkatkan kadar gula darah.

3. Pendidikan Terakhir

Berdasarkan hasil penelitian dari 152 responden sebagian

besar adalah SD 77 (50,7%) responden, SMP sebanyak 34

(22,4%) responden, SMA sebanyak 28 (18,4%) responden, tidak

sekolah sebanyak 11 (7,2%) responden, perguruan tinggi

sebanyak 2 (1,3%) responden.

12
Penelitian ini sejalan dengan penelitian (Kusnanto, 2019)

dengan responden berjumlah 106 orang didapatkan hasil SD

sebanyak 63 (59,4%) responden.

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian (Hersanti &

Asriyadi, 2019) dengan responden berjumlah 70 orang didapatkan

hasil SD sebanyak 50 (71,4%) responden.

Menurut Abbasi et al, 2018 dalam Kusnanto 2019 semakin

tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin mudah

orang tersebut menerima informasi. Seseorang yang memiliki

pendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih

luas dibandingkan seseorang yang tingkat pendidikannya lebih

rendah. (Notoatmodjo dalam Trisnadewi, Adiputra &

Mitayanti,2018)

Menurut Irawan (2010) dalam Agustina (2019) seseorang

yang memiliki tingkat pendidikan tinggi biasanya akan memiliki

pengetahuan tentang kesehatan sehingga orang tersebut memiliki

kesadaran dalam menjaga kesehatan

Berdasarkan uraian diatas peneliti berasumsi bahwa tingkat

pendidikan mempengaruhi pola pikIr dan wawasan seseorang

terhadap kesehatannya.

4. Pekerjaan

13
Berdasarkan hasil penelitian dari 152 responden adalah

IRT sebanyak 73 (48%) responden, petani 42 (27,6%) responden,

swasta 15 (9,9 %) responden, pedagang 8 (5,3 %) responden,

tidak bekerja 7 (4,6 %) responden, pensiun 5 (3,3 %), nelayan 1

orang (0,7%), PNS 1 orang (0,7%).

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Muflihatin

(2015) dengan responden berjumlah 42 responden didapatkan

hasil yang bekerja sebagai IRT sebanyak 14 (33,3%) responden.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Yan, Marisdayana

& Irma (2017) dengan responden berjumlah 77 responden

didapatkan hasil yang bekerja sebagai IRT sebanyak 37 (48,1%)

responden. Salah satu faktor resiko terkena penyakit DM tipe II

yaitu tingkat aktivitas fisik yang kurang. Dalam penelitian ini

diperkuat dengan adanya sebagian besar lansia perempuan yang

hanya bekerja dirumah sebagai IRT sehingga memiliki aktifitas

fisik yang rendah. (Ani Astuti, 2017).

Berdasarkan Riskesdas (2007) didapatkan prevalensi

diabetes mellitus tertinggi pada kelompok yang tidak bekerja dan

IRT. Orang yang tidak bekerja memiliki aktivitas fisik yang kurang

sehingga meningkatkan risiko obesitas dan menyebabkan

Diabetes Mellitus tipe II (Irawan, 2010; Soewondo, 2006; dalam

Rofiah, Sulistyaningsih & Wahyuningsih, 2019).

14
Menurut peneliti IRT lebih rentan terkena diabetes mellitus

karena memiliki aktivitas fisik yang rendah yang dapat

meningkatkan terjadinya obesitas.

D. Pembahasan Univariat

1. Penerimaan Diri

Berdasarkan hasil penelitian dari 152 responden sebagian

besar memiliki tingkat penerimaan diri yang tinggi sebanyak 87

(57,2%) responden, medium 63 (41,4%) responden, rendah 2

(1,3%) responden.

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian (Inonu,

Wulan, & Rodiani, 2018) dengan responden berjumlah 52 orang

dimana hasil yang didapatkan sebagian besar responden memiliki

penerimaan diri sedang sebanyak 33 (63,5%).

Menurut Hurlock (dalam Ridha, 2012; dalam Laila,2016)

mengemukakan bahwa penerimaan diri dipengaruhi oleh

beberapa faktor, diantaranya mampu menerima diri,

mengembangkan potensi yang dimiliki dengan optimal, menilai

dirinya secara realistis, menyesuaikan diri dengan pandangan

orang lain serta melihat diri sendiri dari berbagai sudut pandang.

Menurut Shereer (dalam Cronbach,1954; dalam Hasan,

2012) penerimaan diri merupakan sikap individu untuk menerima

15
kenyataan pada dirinya berupa kekurangan dan kelebihannya,

serta mampu mengaktualisasikan kehidupannya. Teori tersebut

sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Johnson (dalam

Hamidah, 2012; dalam Laila,2016) bahwa penerimaan diri adalah

suatu bentuk sikap positif terhadap dirinya sendiri yang mengarah

pada suatu kemampuan untuk dapat mencintai dirinya sendiri.

Menurut Nugroho (dalam Sofiyah, 2016) menyatakan

bahwa ketiadaan penerimaan diri akan menyebabkan penderita

diabetes mellitus merasa tersisihkan, tidak berharga, dan akhirnya

akan terisolasi dari lingkungan. Kondisi ini akan menyebabkan

penderita diabetes melitus mudah mengalami depresi. Hal ini

menunjukkan apabila subjek mempunyai penerimaan diri yang

tinggi, akan tampak dari keyakinan dan kemampuan subjek

menghadapi kehidupan.

Menurut Fennell dalam (Inonu, Wulan, & Rodiani,2018) ,

seorang penderita penyakit kronis yang menerima dan

mengintegrasikan penyakitnya ke dalam kehidupannya yang

penuh makna, telah dikatakan memiliki penerimaan diri yang baik.

Hal ini berarti individu telah memasuki fase integrasi atau fase

akhir dari manajemen penyakit kronis. Pada fase ini, individu

memiliki banyak minat dan telah memahami bahwa pemulihan,

16
stabil, dan kekambuhan merupakan suatu siklus dari penyakit

kronis.

Berdasarkan uraian diatas peneliti berasumsi bahwa

penerimaan diri adalah sikap positif individu yang mampu

menerima segala kekurangan dan kelebihannya. Penerimaan diri

pada penderita penyakit kronis seperti diabetes mellitus memiliki

peranan penting karena jika penerimaan dirinya baik maka

individu tersebut mampu menyesuaikan perubahan-perubahan

yang terjadi pada hidupnya, sedangkan jika penerimaan dirinya

buruk individu tersebut akan merasa tidak berharga sehingga

mudah depresi yang akan mempengaruhi kehidupannya.

2. Self-Management

Berdasarkan hasil penelitian dari 152 responden sebagian

besar tingkat self-management yang baik sebanyak 83 (54,6%)

responden, cukup 68 (44,7%) responden, buruk 1 (0,7%)

responden.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian (Firmansyah,2019)

dengan responden berjumlah 70 orang didapatkan hasil

manajemen perawatan diri yang tinggi sebanyak 45 (64,3%).

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian (Inonu, Wulan &

Rodiani, 2018) dengan responden berjumlah 52 orang didapatkan

17
hasil self-management yang baik sebanyak 36 (69,2%)

responden.

Menurut Nunung (dalam Hersanti & Asriyadi, 2019) self-

management atau manajemen perawatan diri merupakan upaya

seseorang untuk mengatur dan mengendalikan perilakunya

sendiri. Dengan self-management, seseorang dapat melatih diri

untuk mengevaluasi, mengatur, memonitor dan bertanggung

jawab terhadap dirinya sendiri.

Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI,

2015) pengendalian diabetes terdiri dari empat pilar, yaitu edukasi,

aktivitas fisik, terapi diet, dan terapi farmakologi. Kemampuan

untuk mengelola empat pilar tersebut dalam kehidupan sehari-hari

sehingga dapat mengontrol dan mencegah komplikasi diabetes

mellitus disebut self-management. Perilaku yang mencermikan

self-management diabetes meliputi melakukan diet sehat dengan

mengatur pola makan, meningkatkan aktivitas fisik, melakukan

pemantauan kadar glukosa darah secara rutin, kepatuhan minum

obat secara rutin dan teratur, serta melakukan perawatan kaki.

(Huang et al, 2014; Putri et al, 2013).

Berdasarkan uraian diatas peneliti berasumsi bahwa

pengendalian self-management yang baik dapat mengontrol dan

mencegah komplikasi pada diabetes. Di Puskesmas Palaran

18
sebagian besar responden memiliki self-management yang baik

dan self-management sedang karena mereka patuh minum obat,

menjaga pola makan dengan baik, rutin periksa ke puskesmas

dan melakukan aktivitas fisik.

E. Pembahasan Bivariat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan

bermakna antara penerimaan diri dengan self-management pada

penderita Diabetes Melitus Tipe II di wilayah kerja Puskesmas

Palaran.

Dari 152 responden didapatkan yang memiliki tingkat

penerimaan diri rendah dengan self-management buruk sebanyak 1

orang, responden yang memiliki tingkat penerimaan diri rendah

dengan self-management cukup sebanyak 1 orang, dan responden

yang memiliki tingkat penerimaan diri rendah dengan self-

management baik sebanyak 0 orang. Hasil tersebut dikarenakan

self-management yang baik pada penderita DM dapat dicapai dengan

kepatuhan dan kedisiplinan dalam melakukan diet sehat dengan

mengatur pola makan, meningkatkan aktivitas fisik, melakukan

pemantauan kadar glukosa darah secara rutin, kepatuhan minum obat

secara rutin dan teratur, serta melakukan perawatan kaki. Untuk

mendapatkan kepatuhan tersebut diperlukan penerimaan diri yang

baik, semakin baik penerimaan diri semakin baik self-management

19
dan begitu pula sebaliknya semakin rendah penerimaan diri maka

self-management juga semakin buruk. Namun terdapat responden

yang penerimaan dirinya rendah dengan self-management cukup hal

ini menunjukkan bahwa meskipun dengan penerimaan diri yang

rendah responden mampu menyesuaikan diri dalam melakukan self-

management DM dan tentunya didukung oleh faktor lain seperti

pengetahuan dan dukungan sosial.

Responden yang memiliki tingkat penerimaan diri medium

dengan self-management buruk sebanyak 0 orang, responden yang

memiliki tingkat penerimaan diri medium dengan self-management

cukup sebanyak 40 orang dikarenakan penerimaan diri medium

menunjukkan tingkat penerimaan diri yang semakin baik memiliki self-

management yang baik dibandingkan penderita DM dengan

penerimaan diri yang rendah. Responden yang memiliki tingkat

penerimaan diri medium dengan self-management baik sebanyak 23

orang hal ini menunjukkan bahwa meskipun tingkat penerimaan

dirinya medium beberapa responden melakukan self-management

yang lebih baik dan terkontrol karena mereka mengetahui pola hidup

sehat yang benar untuk pasien DM seperti pola makan, aktivitas fisik

dan rutin kontrol sehingga gula darah mereka dapat terpantau dengan

baik.

Responden yang memiliki tingkat penerimaan diri tinggi dengan

self-management buruk sebanyak 0 orang, responden yang memiliki

20
tingkat penerimaan diri tinggi dengan self-management cukup

sebanyak 27 orang hal ini menunjukkan meskipun dengan

penerimaan diri yang tinggi beberapa responden hanya memiliki self-

management yang cukup dikarenakan terdapat faktor-faktor lain yang

mempengaruhi self-management seperti pengetahuan, dukungan

sosial keluarga dan lain-lain. Responden yang memiliki tingkat

penerimaan diri tinggi dengan self-management baik sebanyak 60

orang hal ini menunjukkan semakin baik penerimaan diri maka

semakin baik self-management penderita DM. Hal ini juga

menunjukkan bahwa self-management semakin baik dan terkontrol

karena mereka mampu menerima keadaan diri yang baik, dan berpikir

positif terhadap dirinya dan penyakitnya sehingga dapat

menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi akibat

penyakit DM.

Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji gamma

diperoleh P value 0,000 < α (0,05) sehingga dapat dinyatakan bahwa

H0 ditolak dan Ha diterima yang artinya terdapat hubungan bermakna

antara penerimaan diri dengan self-management pada penderita

Diabetes Melitus Tipe II dan nilai koefisien korelasinya 0,618 yang

berarti nilai korelasinya positif dengan kekuatan korelasinya kuat.

Penelitian ini bertolak belakang dengan hasil penelitian (Inonu,

Wulan, & Rodiani, 2018) yang berjudul “Hubungan Penerimaan Diri

dengan Self-Management Diabetes Mellitus Pada Peserta Prolanis di

21
Puskesmas Kedaton Bandarlampung” dari penelitian tersebut

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan penerimaan diri dengan self-

management penderita Diabetes Mellitus sebagaimana ditunjukkan

oleh hasil uji chi square dengan p value 0,354 (> 0,05).

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian (Schmitt et

al, 2014) yang berjudul “Assessment of Diabetes Acceptance Can

Help Identify Patients With Ineffective Diabetes Self-Care and Poor

Diabetes Control ” dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa

penerimaan diabetes yang rendah memiliki hubungan yang signifikan

dengan gangguan perawatan diri dan kontrol glukosa darah.

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian (Ayu, D.U.S &

Lestari, M.D, 2017) yang berjudul “Peran Dukungan Sosial dan

Penerimaan Diri pada Status Diabetes Mellitus Tipe II terhadap

Kepatuhan Menjalani Diet pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe II

Berusia Dewasa Madya di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Kota

Denpasar” dari penelitian tersebut disimpulkan dukungan sosial dan

penerimaan diri pada status DM tipe II bersama-sama berperan

secara signifikan terhadap kepatuhan menjalani diet sebagaimana

ditunjukkan oleh hasil uji regresi pada koefisien R sebesar 0,535 dan

nilai signifikansi uji F adalah 0,000.

Menurut (Fennell dalam Inonu, Wulan, & Rodiani, 2018),

penderita penyakit kronis seperti Diabetes Mellitus yang dapat

22
menerima dan mengintegrasikan penyakitnya ke dalam kehidupannya

yang penuh makna, maka telah memiliki penerimaan diri yang baik.

Hal ini berarti individu tersebut telah memasuki fase integrasi atau

fase akhir dari manajemen penyakit kronis. Pada fase ini, individu

memiliki banyak minat dan telah memahami bahwa pemulihan, stabil,

dan kekambuhan merupakan suatu siklus dari penyakit kronis.

Penerimaan diri ini erat kaitannya dengan aktivitas dasar seperti

makan, minum dan istirahat sehingga individu yang memiliki

penerimaan diri yang baik tidak akan mengalami hambatan dalam

melakukan aktivitas.

Menurut (Tristiana dkk, 2016 dalam Inonu, Wulan, & Rodiani,

2018) menyatakan bahwa penderita diabetes yang belum memasuki

tahap penerimaan memiliki perawatan diri yang rendah. Hal ini

menunjukkan semakin penderita diabetes tidak menerima dirinya,

semakin rendah perawatan dirinya atau self-management. Hal ini

mendukung teori Green et al (2016) yang menyatakan bahwa self-

management dapat dipengaruhi oleh faktor emosional seperti

penerimaan diri, stres dan depresi.

Menurut Nugroho (dalam Sofiyah, 2016) menyatakan bahwa

ketiadaan penerimaan diri akan menyebabkan penderita diabetes

mellitus merasa tersisihkan, tidak berharga, dan akhirnya akan

terisolasi dari lingkungan. Kondisi ini akan menyebabkan penderita

diabetes melitus mudah mengalami depresi. Hal ini sejalan dengan

23
penelitian Bertolin et al, 2015 yang menemukan bahwa semakin besar

stress yang dirasakan oleh pasien Diabetes Mellitus Tipe II maka

semakin rendah adaptasi psikologisnya. Hal ini menunjukkan bahwa

penderita yang memiliki adaptasi fisiologis yang baik akan mampu

menerima penyakit yang diderita dan cenderung merasakan stress

yang rendah sehingga dapat menjalankan terapi pengobatan dengan

baik.

Berdasarkan uraian diatas peneliti berasumsi bahwa penderita

Diabetes Mellitus Tipe II yang menerima penyakitnya dan memiliki

penerimaan diri yang tinggi maka akan memiliki kesehatan mental

yang baik dan dapat memicu semangat untuk patuh dalam melakukan

diet sehat, meningkatkan aktivitas fisik, melakukan pemantauan kadar

glukosa darah secara rutin, kepatuhan minum obat secara rutin dan

teratur, serta melakukan perawatan kaki yang dapat disebut dengan

self-management Diabetes Mellitus. Artinya semakin tinggi

penerimaan diri penderita Diabetes Mellitus Tipe II makan akan

semakin baik self-management penderita tersebut.

F. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini mempunyai keterbatasan-keterbatasan yang dapat

mempengaruhi hasil penelitian. Keterbatasan-keterbatasan tersebut

diantaranya:

1. Rancangan Penelitian

24
Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan

pendekatan cross sectional yang mengukur variabel independen

maupun variabel dependen pada waktu yang bersamaan dan

hanya dapat menggambarkan hubungan satu arah saja sehingga

penelitian ini tidak dapat diketahui hubungan sebab akibat secara

langsung.

2. Sampel Penelitian

Penelitian ini hanya dilakukan di puskesmas, sehingga hasil

penelitian tidak dapat di generalisasi untuk penelitian di instansi

lain seperti rumah sakit. Penelitian ini juga dilakukan di daerah

pedesaan, sehingga hasil penelitian tidak dapat di generalisasi

untuk penelitian di daerah perkotaan dan tidak memberikan

gambaran secara menyeluruh terhadap penerimaan diri dengan

self-management pada penderita diabetes mellitus tipe II di

Puskesmas Palaran Samarinda.

Beberapa responden dalam penelitian ini kurang

memahami maksud dari kuesioner sehingga peneliti harus

membacakan kuesioner kepada responden dan terdapat

beberapa responden yang kelelahan karena item yang terdapat

dalam kuesioner penelitian yang banyak. Self-Management dalam

penelitian ini hanya diukur dengan menggunakan kuesioner

berupa skala yang mengandung sebuah pernyataan, sehingga

25
tidak bersifat objektif karena tidak mengukur self-management

secara langsung.

26
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan penerimaan diri
dengan self-management pada penderita Diabetes Mellitus Tipe II di
wilayah kerja Puskesmas Palaran Kota Samarinda diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1. Karakteristik responden di Puskesmas Palaran Kota Samarinda
didapatkan hasil yaitu usia sebagian besar responden berada
dalam golongan usia lansia akhir sebanyak 60 (39,5 %)
responden, sebagian besar responden berjenis kelamin
perempuan yaitu sebanyak 104 (68,4%) responden, sebagian
responden berpendidikan SD yaitu sebanyak 77 (50,7%)
responden, dan sebagian besar responden bekerja sebagai IRT
yaitu sebanyak 73 (48%) responden.
2. Variabel independent (penerimaan diri) didapatkan hasil yaitu
sebagian besar responden memiliki tingkat penerimaan diri yang
tinggi sebanyak 87 (57,2%) responden, penerimaan diri medium
sebanyak 63 (41,4%) responden, dan penerimaan diri rendah
sebanyak 2 (1,3%) responden.
3. Variabel dependent (self-management) didapatkan hasil yaitu
sebagian besar responden memiliki tingkat self-management yang
baik sebanyak 83 (54,6 %) responden, yang memiliki self-
management cukup sebanya 68 (44,7 %) dan self-management
buruk sebanyak 1 (0,7 %) responden.
4. Hasil uji statistic diperoleh P value 0,000 < (0,05) sehingga dapat
dinyatakan bahwa H0 ditolak dan Ha diterima yang mengatakan
terdapat hubungan bermakna antara penerimaan diri dengan self-
management pada penderita Diabetes Mellitus Tipe II dengan nilai
koefisien korelasinya 0,618 yang berarti nilai korelasinya positif
dengan kekuatan korelasinya kuat.

27
B. Saran
1. Bagi responden
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah wawasan tentang
penyakit diabetes mellitus terutama tentang pentingnya
kesejahteraan psikologis penerimaan diri dan tentang self-
management diabetes mellitus.
2. Bagi puskesmas
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
masukan informasi dan evaluasi untuk memperhatikan tingkat
penerimaan diri agar pasien dapat menyesuaikan diri dalam
melaksanakan self-management diabetes mellitus.
3. Bagi institusi pendidikan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data
dasar untuk acuan dan pedoman dalam melakukan penelitian
selanjutnya. Dan juga hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber
referensi atau acuan di institusi pendidikan tentang hubungan
penerimaan diri dengan self-management pada penderita
Diabetes Mellitus Tipe II.
4. Bagi peneliti selanjutnya
Penelitian ini memiliki keterbatasan dan belum sepenuhnya
membahas secara spesifik lagi mengenai hubungan penerimaan
diri dengan self-management pada penderita Diabetes Mellitus
Tipe II. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai data dasar untuk acuan dan pedoman dalam melakukan
penelitian selanjutnya.

28

Anda mungkin juga menyukai