Anda di halaman 1dari 22

SHARING JURNAL KEPERAWATAN

IMPLEMENTATION OF A STROKE SELF-MANAGEMENT PROGRAM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners Departemen Medical

Di Rumah Dr Saiful Anwar Malang

Oleh :

KELOMPOK 2

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stroke merupakan penyakit serebrovaskular yang menjadi penyebab utama


disabilitas dan penderitaan. Stroke terjadi akibat berkurang atau gagalnya
vaskularisasi jaringan otak, hal ini dapat mengakibatkan gangguan fungsi
motoric, fungsi sensorik, saraf kranial, fungsi luhur, koordinasi dan otonom.
Semua keadaan ini akan menyebabkan gangguan pada aktivitas sehari- hari
penderita.

Data World Health Organization (WHO) mengungkapkan bahwa kematian


akibat penyakit pembuluh darah lebih banyak dibanding penyakit lain, yaitu
sekitar 15 juta tiap tahun atau sekitar 30% dari kematian total pertahunnya dan
sekitar 4,5 juta diantaranya disebabkan oleh stroke.Di Amerika 700.000 orang
terserang stroke tiap tahunnya dan sebuah studi terbaru tentang Korban Serangan
Iskemik Transien (TIA) di Kanada melaporkan sebesar 22% mengalami
kejadian pembuluh darah berulang

Penderita stroke tidak dapat disembuhkan secara total. Namun, apabila


ditangani dengan baik, maka dapat meringankan beban penderita, meminimalkan
kecacatan, dan mengurangi ketergantungan pada orang lain dalam beraktivitas.
Salah satu usaha penanganan terhadap pasien stroke adalah dengan
meningkatkan self-management pasien. Sebuah tinjauan menemukan bahwa
intervensi self- management efektif untuk meningkatkan kualitas seseorang yang
menderita penyakit kronik (Barlow dkk, 2002 dalam Chapman dan Bogle, 2014).

Gejala, pengobatan, konsekuensi fisik dan psikis, dan perubahan gaya hidup
dengan self-management didefinisikan adanya penyakit kronik Secara umum,
self-management terdiri atas beberapa komponen seperti ketersediaan informasi,
pengobatan, problem-solving, dan dukungan (Newman dkk, 2004 dalam
Chapman dan Bogle, 2014). Sedangkan menurut Barlow dkk. (2002) dalam
Lennon dkk. (2013) self-management didefinisikan dengan cara yang berbeda-
beda, tetapi secara umum sebagai kemampuan individu untuk mengatur

Tujuan dari banyaknya program self-management adalah untuk mengubah


kebiasaan dan mempengaruhi kemampuan individu untuk mengatasi kondisi
mereka dan beradaptasi, jadi program ini dibuat untuk melatih individu terhadap
skill-skill yang mereka perlukan untuk memonitor kondisi mereka, dan
menetapkan kesehatan dan persoalan social mereka (Silva, 2011 dan Foster dkk,
2007 dalam Lennon dkk., 2013)
Banyak tinjauan, percobaan control secara random, dan studi observasi
besar menguji hasil dari dukungan self-management untuk penderita penyakit
kronis. Ketika penemuan-penemuan dari studi individual disatukan, keseluruhan
bukti memberi kesan bahwa dukungan self-management dapat berguna bagi
perilaku dan kebiasaan seseorang, kualitas hidup, gejala klinis, dan penggunaan
fasilitas pelayanan kesehatan (The Health Foundation Inspiring Improvement,
2011).

Berdasarkan data yang menyatakan bahwa self-management adalah suatu


program yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien, maka dalam penelitian
ini akan menerapkan self-management pada pasien stroke yang mana kualitas
hidup itu sendiri diartikan sebagai ukuran konseptual atau operasional yang sering
digunakan dalam situasi penyakit kronik sebagai cara untuk menilai dampak
terapi pada pasien (Brooker, 2008)

1.2 Tujuan
Sharing jurnal ini ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan perawat tentang
metode implementasi self manajemen pada pasien stroke

1.3 Manfaat
 Mengetahui gambaran karakteristik pasien stroke
 Mengetahui gambaran self-management yang diterapkan oleh pasien stroke
 Mengetahui gambaran kualitas hidup pasien stroke
 Mengetahui hubungan antara self-management dengan kualitas hidup pasien
stroke
 Mengetahui hubungan antara masing-masing domain self-management
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1
Bab III
PEMBAHASAN

3.1. Identitas jurnal.


1 Authors : teresa m damush, ph.d.,1,3,4 susan ofner, ms,2 zhangsheng yu, ph.d.,2
laurie plue, ma, gloria nicholas, bsn rn,3 linda s williams, md.
2 Title : implementation of a stroke self-management program
3 Publisher : 1. hsrd coe, regenstrief institute,
inc., iu center for aging research,
va stroke queri center and
indiana university school of
medicine, indianapolis, in, usa
2.,biostatistics, indiana university, indianapolis, in, usa
3., va stroke queri center,
roudebush vamc, 1481 w 10th st, hsrd 11h, indianapolis, in
46202,usa
4., neurology, va stroke queri center and indiana university,
Indianapolis, in, usa, correspondence to: t damush
4 Publication type : article journal
5 Language : english
6 Published online : 2011

3.2. Latar belakang.


Stroke merupakan suatu keadaan darurat medis yang serius. Di amerika, stroke
menyerang 700 ribu penderita setiap tahunnya, 200 ribu diantaranya mengalami kejadian
berulang. Stroke menduduki peringkat ketiga penyebab kematian terbanyak dan
menyebabkan jumlah penderita penyakit neurologi terbanyak yang di rawat di rumah
sakit. Hal ini menyebabkan kecacatan akut pada usia dewasa dan membutuhkan waktu
yang lama. Sampai dengan 50 % penderita stroke yang sembuh mempunyai beberapa
gangguan fungsional diantara 6 bulan dari kejadian stroke iskemik. Stroke diperkirakan
dapat mempengaruhi sekurang – kurangnya 15 ribu pensiunan setiap tahun dengan
estimasi biaya 111 juta dollar untuk perawatan akut pasien rawat inap, 75 juta dolar utk
perawatan post akut pasien rawat inap, dan 88 juta dolar untuk kunjungan ulang setelah
6 bulan pasca stroke. Bahkan, pasien yang sudah pernah mengalami stroke beresiko
tinggi untuk mengalami serangan berulang atau bahkan kematian. Lebih dari 12 persen
penderita stroke ini, mengalami keluhan lain dalam kurun waktu setahun. Sebuah studi
terbaru di canada melaporkan bahwa rata – rata 22 persen penderita stroke diantaranya
mengalami kejadian berulang pada sistim vaskulernya. Meskipun beberapa faktor resiko
tidak bisa di modifikasi seperti usia, ada juga beberapa faktor resiko yang bisa di
modifikasi, seperti ; hipertensi, dan aktifitas fisik. Faktor resiko yang bisa dimodifikasi
lebih efektif di manage melalui combinasi antara gaya hidup, dan managemen
pengobatan dan oleh karena itu strategi mensyaratkan bahwa target dan dukungan
modifikasi perilaku serta penyerapan terapi oleh penyedia layanan.

3.3. Subyek
Pasien dari dua situs administrasi kesehatan veteran (indianapolis, in, dan gainesville,
fl). Subjek diidentifikasi selama penerimaan stroke dan kunjungan ke ruang gawat
darurat. Untuk semua subjek pada penelitian ini, peneliti mendapat izin untuk
mendiskusikan penelitian ini dengan dokter. Setiap subyek di screening terlebih dahulu
pada neurologi, layanan darurat, kedokteran, dan penerimaan rehabilitasi (termasuk
peninjauan rekam medis elektronik dan / atau rekaman medis tertulis dan kontak verbal
dengan penyedia) untuk mengidentifikasi semua pasien dengan stroke iskemik akut / tia.
Pasien yang tidak ingin berpartisipasi dalam penelitian ini dikeluarkan.
Kriteria inklusi :
Kriteria kelayakan pasien meliputi: (1) usia 18 tahun atau lebih; (2) memiliki diagnosis
stroke iskemik dalam sebulan terakhir; (3) mampu berbicara dan memahami bahasa
inggris; (4) tidak ada gangguan kognitif yang parah; (5) akses ke telepon; (6) mau
menindaklanjuti dalam perawatan rawat jalan va; dan (7) harapan hidup setidaknya 12
bulan seperti yang ditentukan oleh dokter. Strategi dalam mengidentifikasi kemampuan
bahasa dan kognitif, didanai oleh national institute of health dan dirancang untuk
memungkinkan pasien stroke dengan gangguan kognitif dan bahasa yang moderat masuk
dalam kriteria inklusi dalam penelitian ini. Peneliti menggunakan national institutes of
health stroke scale (nihss) untuk menscreening kemampuan perintah dan berbahasa.
Pasien dengan pemahaman bahasa yang signifikan (skor perintah > 0) atau defisit bahasa
reseptif (skor aphasia ≥ 2) dikeluarkan. Screening kemampuan kognitif diselesaikan
dengan Short Portable Mental Status Questionnaire, yang menilai memori, serta orientasi
jangka pendek dan jangka panjang. Kuesioner ini telah divalidasi dalam penelitian
terhadap orang dewasa yang tinggal di komunitas yang lebih tua dan peneliti juga
berhasil menggunakan kuesioner ini di pada pasien depresi pasca stroke. Semua pasien
dengan skor > 6 terdaftar, karena skor ini sebelumnya telah mengidentifikasi pasien tanpa
demensia berat, yang akan mengurangi reliabel yang melaporkan sendiri gejala dan
kepuasan, sambil membiarkan kriteria inklusi pada pasien dengan efek kognitif pada
stroke.
Sample :
Penelitian ini melakukan screening pada 1017 pasien yang dirawat di rumah sakit
Roudebush dan Randall VAMC (lihat Gambar 1). Dari yang di screening, 868 tidak
memenuhi syarat karena tidak mengalami stroke (78%), dan ini merupakan alasan
terbanyak sehingga tidak memenuhi syarat. Di antara 149 yang memenuhi syarat, satu
orang gagal di screening, 82 orang (55%) tidak terdaftar dengan alasan terbanyak
sebesar 61 % adalah menolak untuk menjadi partisipan. Peneliti mendaftarkan 66 peserta
(45% dari pasien yang memenuhi syarat), di antaranya tiga peserta mengundurkan diri,
dan 63 yang menjadi sampel dari penelitian ini yang terdiri dari 41 dari Indianapolis
VAMC dan 22 dari the Gainesville VAMC selama lebih dari 18 bulan. Sampel tersebut
adalah 20,6% Afrika-Amerika, 69,8% Putih dan sekitar 10% dengan ras tidak diketahui.
Dari semua partisipan ini, (1,6%) adalah laki-laki.
63 partisipan tdd ; 33 kelompok kontrol dan 30 kelompok intervensi.

3.4. Ethical Clearance.


Penelitian ini memperoleh persetujuan tertulis dan pasien yang terdaftar ke dalam uji
coba terkontrol secara acak menggunakan standar prosedur sesuai dengan Institutional
Review Board, HIPAA guidelines and VA R&D committees.. Peneliti tidak memberikan
insentif apapun kepada partisipan.

3.5. Metode
Design.
Peneliti menggunakan percobaan prospective, randomized trial untuk menilai efek dari
program self management pada kelompok intervensi vs. attention plasebo untuk
kelompok kontrol.
 Kelompok Intervensi.
Pada kelompok ini terdapat enam kali telepon dalam sesi setiap dua minggu untuk
memberikan program self manajemen stroke atau program panggilan telepon
plasebo untuk mengikuti jadwal intervensi. Program self manajemen mengikuti
standar manual, sedangkan pada panggilan plasebo hanya bertanya apa yang
sedang pasien lakukan, dan wawancara dilakukan pada bulan ke 3 dan bulan ke 6
bulan dengan panggilan pendukung/penyemangat pada bulan ke 4 dan ke 5.
Intervensi self managemen didasarkan pada Program Manajemen Diri Penyakit
Kronis, sebuah program yang berpusat pada peningkatan efikasi diri pasien,
mengelola gejala dan mendorong perubahan perilaku mengingat rendahnya efikasi
diri untuk melakukan perilaku seperti itu setelah stroke. Topik yang dibicarakan
dalam telpon terdapat di Lampiran 1 berikut.
Lampiran 1 : STROKE SELF-MANAGEMENT PROGRAM (SSMP)
OVERVIEW
Bagian khusus program termasuk ikhtisar stroke, perubahan khas disebabkan
oleh stroke, tanda-tanda peringatan stroke, pemulihan dari stroke, berurusan
dengan ketakutan para penyintas stroke, layanan rehabilitasi dan pemulihan setelah
stroke (menepati janji dan berlatih sesuai yang ditentukan terapi rumah), membuat
jadwal harian (untuk meminimalkan ketidakaktifan total seperti yang sering
dilaporkan keduanya oleh penyintas stroke dan pengasuh), beradaptasi /
mengatasinya dengan kecacatan terkait stroke, memodifikasi faktor risiko stroke,
mengadaptasi peran baru setelah stroke, menjangkau untuk penyintas stroke
lainnya dan sumber daya masyarakat
untuk kebutuhan terkait stroke.
Setiap sesi ditargetkan membangun self-efficacy menggunakan penetapan
tujuan dan perilaku mengontrak. Setiap pasien dilatih untuk pilih setidaknya satu
tujuan spesifik untuk dikerjakan di masing-masing sesi, termasuk spesifikasi
kapan, di mana, dan untuk berapa lama mereka akan melakukan perilaku tertentu.
Pasien menilai kepercayaan mereka dalam melakukan masing-masing perilaku dan
didorong untuk hanya memilih perilaku yang mereka nilai 7 dari kemungkinan 10
(Sepenuhnya percaya diri dalam melakukan). Dalam tindak lanjutnya panggilan
telepon, pasien menerima umpan balik individual tentang kemajuan mereka ke
arah tujuan yang mereka pilih dan didorong untuk terus bekerja untuk memilih atau
menambah tujuan perilaku yang baru selama 2 minggu ke depan. Rata-rata lama
pembicaraan setiap sesi sekitar 20 menit dan instrukturnya adalah seorang
perawat, asisten dokter, dan ilmuwan sosial tingkat master. Semua telah menerima
18 jam pelatihan standar sebelum program dimulai.
Pendaftaran, persetujuan dan variabel pasien lainnya dikumpulkan pada awal
(sebelum keluar dari rumah sakit atau dalam 4 minggu setelah dikeluarkan). Hasil
dikumpulkan melalui telepon pada 3 bulan (primer hasil) dan 6 bulan
(keberlanjutan) pasca-pendaftaran. Pasien yang ditugaskan untuk perawatan biasa
menerima pamflet pendidikan stroke dan pendidikan stroke umum. Sesi saat
pendaftaran, dan panggilan telepon untuk menilai gejala stroke (tanpa pelatihan
manajemen diri) pada titik waktu yang sama sebagai pasien intervensi sebagai
kontrol perhatian aktif.

Panggilan telepon
Tujuan dari panggilan telepon dalam manajemen diri Programnya ada dua.
Pertama, setengahnya sesi intervensi manajemen diri adalah dikirimkan melalui
telepon selama 6 bulan pertama mengingat hambatan transportasi dan mobilitas
tersebut menghambat partisipasi dalam program yang disampaikan oleh sesi
kelompok. Kedua, kami memberikan umpan balik dan dibantu dengan penetapan
tujuan melalui telepon tindak lanjut setiap dua minggu selama 6 bulan pertama.
Panggilan ditujukan untuk tujuan perilaku yang dipilih, strategi manajemen diri,
dan menilai kemajuan. Peneliti membantu pasien memecahkan masalah dan
mengidentifikasi sukses, dan memodifikasi tujuan dan strategi dengan tepat.
Pada semua panggilan, peneliti meminta pasien untuk menjelaskan praktik
manajemen diri pilihan perilaku mereka saat ini berdasarkan jenis, frekuensi dan
durasi.

 Kelompok Kontrol.

Salah satu peneliti tim peneliti mengamati sampel acak dari manajemen diri stroke
sesi program oleh semua instruktur untuk memastikan kesetiaan program. Untuk
situs sekunder sesi, kami menggunakan telekonferensi dengan izin peserta untuk
memantau panggilan selama sesi untuk tujuan kontrol kualitas. Umpan balik
diberikan kepada instruktur setelah panggilan.
3.6. Hasil.
Karakteristik sampel
Kelompok intervensi dan kontrol tidak berbeda secara signifikan pada usia (t (59) = -
1,24, p≤0,22), ras, jenis kelamin, atau berdasarkan proporsi hidup sendiri (lihat Tabel
1). Grup juga tidak berbeda pada penerimaan NIHSS (3,27 intervensi vs 3,33 kontrol) (t
(61) = 0,09, p≤0,93) menunjukkan peserta memiliki rata-rata minor keparahan stroke.
Meskipun secara statistik tidak berbeda, kelompok intervensi memiliki garis dasar yang
sedikit lebih tinggi skor gejala depresi daripada kelompok kontrol (rata-rata PHQ9 6.5
vs. 4.2) (t (56) = - 1.92, p≤0.06, efek size = −0.51).
Proses intervensi manajemen diri stroke
Dari enam sesi yang direncanakan, jumlah rata – rata sesi yang diselesaikan oleh
kelompok intervensi itu 5.0 dan jumlah rata-rata sesi perhatian diselesaikan oleh
kelompok kontrol adalah 5.7. Sesi harga yang diselesaikan tidak berbeda menurut situs.
Yang paling kegiatan yang sering dilaporkan dalam rencana perilaku oleh orang-orang
dalam intervensi adalah sebagai berikut: menjadi aktif di sekitar rumah, berjalan di
masyarakat, minum pil sesuai anjuran dokter, makan makanan sehat dan menghilangkan
makanan tidak sehat, melakukan aktivitas fisik lainnya dan mendengarkan CD relaksasi.

Efikasi diri
Skor rata-rata awal untuk ukuran kemandirian Berkomunikasi dengan Dokter pada
kelompok intervensi adalah 8,5 vs 8,9 pada kelompok kontrol (t (55) = 0,68, p≤0,50,
ukuran efek = 0,18). Perubahan rata-rata dari awal secara signifikan berbeda antara
kelompok pada kunjungan tindak lanjut kedua (kelompok intervensi dengan
peningkatan rata-rata kepercayaan 0,5 poin vs kelompok kontrol penurunan rata-rata 0,8
poin (t (52) = - 2,14, p≤0,04, efek size = .50.59). Perkiraan berdasarkan model
mengendalikan kelompok intervensi dan kunjungan juga menunjukkan perbedaan yang
signifikan dalam kemanjuran diri rata-rata dalam berkomunikasi dengan dokter pada
kunjungan follow-up kedua (t (50) = 2.34, p≤0.02) (lihat Gbr. 2).

Perilaku manajemen diri


Peserta dalam kelompok intervensi melaporkan suatu peningkatan waktu yang
dihabiskan dalam aktivitas aerobik (baseline 78,5 mnt mingguan) dibandingkan
dengan kelompok kontrol (baseline 107,4 menit mingguan) (t (55) = 1,18, p≤0,24,
ukuran efek = 0,31). Pada 3 bulan, intervensi kelompok menunjukkan peningkatan
rata-rata dalam 47,6 menit pada intervensi dibandingkan dengan penurunan rata – rata
3 menit pada kelompok kontrol (t (51) = - 1,56, p≤0,13, ukuran efek = −0.43); efek ini
dipertahankan pada 6 bulan (peningkatan dalam 24,4 menit dalam intervensi
kelompok dibandingkan dengan peningkatan 4 menit pada kontrol grup, (t (52) = -
0,69, p≤0,50, ukuran efek = −0,19), walaupun perbedaan ini tidak secara statistik
penting. Untuk praktik manajemen diri kognitif, kelompok tidak berbeda secara
signifikan pada awal atau pada tindak lanjut.
Kualitas hidup spesifik stroke
Pada awal, subjek dalam kelompok intervensi memiliki skor rata-rata secara signifikan
lebih rendah (lebih buruk) untuk beberapa Skala SS-QOL termasuk Mobilitas,
Berpikir, Energi, dan Bekerja serta skor keseluruhan SSQoL. Berarti perubahan dari
baseline dalam peran SSQoL Family (skor rata-rata intervensi awal = 3,6 dan kontrol
rata-rata = 4,2) (t (56) = 1,91, p≤0,06, ukuran efek = 0,51) secara signifikan berbeda
antara kelompok pada 3- kunjungan tindak lanjut sebulan. Rata-rata, subjek dalam
Kelompok intervensi menunjukkan peningkatan 0,5 poin, sedangkan subjek dalam
kelompok kontrol menunjukkan a penurunan 0,3 poin (t (54) = - 2,90, p≤0,01, ukuran
efek = −0.78). Perbandingan berdasarkan model saat ini titik juga berbeda; Namun,
perbedaan ini hanya sedikit signifikan (t (54) = 1,98, p≤0,05) (lihat Gbr. 3).

Berarti perubahan dari baseline untuk SSQoL Sosialskor peran (skor rata-rata
intervensi awal = 3,1 dan kontrol rata-rata = 3,6) (t (56) = 1,66, p≤0,10, efek
ukuran = 0,44) berbeda secara signifikan antara kelompok pada kunjungan
tindak lanjut pertama (kelompok intervensi meningkat sebesar 0,3 poin vs
kelompok kontrol menurun sebesar 0,4 poin) (t (55) = - 2,04, p≤0,05, ukuran
efek =0,54). Perbandingan berdasarkan model juga menunjukkan a perbedaan
serupa pada kunjungan tindak lanjut pertama dengan p = 0,04 (t (55) = 2,13,
p≤0,04) (lihat Gambar 4). Serupa estimasi perubahan rata-rata dari awal (t (51)
= 2.41, p≤0,02, ukuran efek = 0,66) dari skor SSQoL Work juga berbeda
secara signifikan antara kelompok di kunjungan 6 bulan.

3.7. Diskusi.
Dampak dan konteks intervensi manajemen diri Penelitian ini adalah salah satu
yang pertama untuk menguji kemanjuran a program swakelola diri yang dikembangkan
dengan masukan dari para pemangku kepentingan utama (mis., veteran dengan stroke,
pengasuh, penyedia klinis stroke perawatan) untuk konten spesifik goresan saat
memasukkan prinsip-prinsip manajemen diri umum dari kronis program penyakit mirip
dengan metode yang digunakan dalam pengembangan baru-baru ini dari Program
Manajemen Mandiri Hepatitis C [55]. Saat ini, tidak ada yang lain menerbitkan hasil
dari program manajemen diri spesifik stroke untuk perbandingan. Pengukuran proses
kami menunjukkan bahwa menawarkan manajemen diri stroke Program setelah stroke
layak dilakukan. Namun, merekrut ketat dari fase stroke akut dapat membatasi
jangkauan program ini ke dalam populasi veteran, terutama untuk fasilitas VA yang
kurang akut perawatan stroke rawat inap tetapi dapat memberikan signifikan rehabilitasi
stroke atau perawatan lanjutan. Selama rekrutmen, kami menemukan pasien stroke yang
menyatakan bahwa mereka perlu waktu untuk menyesuaikan diri dengan peristiwa akut
dan tidak dapat berkomitmen untuk berpartisipasi dalam program. Pemrograman masa
depan mungkin termasuk dirancang komponen untuk memenuhi kebutuhan pasien
berdasarkan lamanya waktu sejak kejadian stroke akut.
Para penyintas stroke veteran ditugaskan untuk mendapatkan perhatian
kelompok kontrol menerima lebih banyak kontak dengan instruktur kami daripada yang
ditugaskan untuk intervensi. Meskipun kami tidak meminta peserta grup kontrol
langsung tentang topik ini, banyak yang menyatakan penghargaan mereka untuk
panggilan telepon sebagai pengingat bahwa seseorang prihatin dengan kesehatan
mereka. Mengingat bahwa sebagian besar sampel kami tidak memiliki pengasuh hadir,
fasilitator program yang mendukung tampaknya menjadi komponen kunci dari program
ini.
Meskipun ukuran sampel kami membatasi statistik kami kekuatan untuk
mendeteksi efek intervensi, kami mengamati perbedaan konsisten dalam self-efficacy
pasien dan kualitas hidup spesifik stroke menunjukkan bahwa program memiliki potensi
untuk meningkatkan kualitas hidup veteran dengan stroke. Penggunaan telepon untuk
melakukan sesi terkadang menjadi penghalang biaya untuk berpartisipasi.
Meningkatkan akses adalah masalah implementasi utama untuk intervensi manajemen
diri selanjutnya Ada beberapa keterbatasan dalam penelitian ini. Pertama, ini Sampel
veteran adalah laki-laki. Perempuan yang selamat dari stroke mungkin memiliki
kebutuhan unik. Kami berencana untuk menyertakan a rumah sakit komunitas dengan
populasi stroke perempuan dalam evaluasi kami berikutnya untuk menentukan
perbedaan jenis kelamin ke program. Kedua, kami memasukkan pasien dengan baik
stroke iskemik atau TIA. Pasien dengan yang lain jenis stroke mungkin mengalami
stroke yang lebih parah kecacatan terkait dan mungkin terbatas pada kemampuan
mereka untuk belajar keterampilan manajemen diri. Meskipun demikian, mungkin ada
menjadi variasi yang luas dalam kecacatan dan defisit di antara penderita stroke dan
program manajemen diri mungkin disesuaikan untuk memasukkan lebih banyak terapi
rehabilitasi selama fase akut pasca untuk mendorong pemulihan dan akhirnya
meningkatkan keterampilan PSM. Akhirnya, penelitian ini dilakukan dalam
Administrasi Kesehatan Veteran (VHA). Penerapan program manajemen diri stroke di
organisasi kesehatan lain mungkin perlu navigasi tambahan melalui sistemnya. Dalam
VHA, ada peluang untuk koordinasi perawatan antara layanan khusus dan perawatan
primer termasuk pembinaan keterampilan manajemen diri stroke bangunan.
3.8. Kesimpulan.
Berpartisipasi dalam intervensi manajemen diri stroke dapat meningkatkan
kemanjuran diri penderita stroke berkomunikasi dengan penyedia layanan,
meningkatkan waktu yang dihabiskan di berolahraga (mis., berjalan) dan
meningkatkan stroke spesifik kualitas hidup. Dampak program dan hubungan antara
pasien ini terpusat domain perlu pemeriksaan lebih lanjut. Apalagi kita perlu
memahami cara terbaik untuk meningkatkan jangkauan program pasca-stroke untuk
veteran selama stroke pemulihan. Langkah selanjutnya kami dalam pengembangan
dan pengujian intervensi ini untuk survivor stroke veteran akan termasuk percobaan
kemanjuran prospektif multi-situs itu meningkatkan jendela rekrutmen dan
meningkatkan periode dukungan program untuk mempertahankan jangka pendek
keuntungan. Selain itu, kami berencana untuk menargetkan intervensi tentang peran
sosial dan keluarga veteran untuk diberikan dampak yang lebih besar pada kualitas
hidup stroke spesifik dan menargetkan pengembangan alat tambahan untuk
mendukung peningkatan aktivitas aerobik (mis., berjalan) setelah stroke.
Hasil penelitian ini menunjukkan kelayakan dalam berpartisipasi dalam
program manajemen diri untuk selamat stroke veteran. Program semacam itu mungkin
efektif dalam meningkatkan kualitas hidup veteran dengan stroke. Veteran dengan
stroke mungkin memiliki beberapa kebutuhan unik untuk manajemen diri dukungan
untuk beberapa masalah termasuk perasaan percaya diri dan cukup nyaman untuk
meninggalkan rumah dan berpartisipasi dalam komunitas setelah stroke. SEBUAH
kurangnya layanan transportasi (beberapa pukulan selamat tidak dapat mengemudi)
dan kesulitan dengan membaca dan menulis setelah stroke dapat menghasilkan
tantangan dalam proses belajar manajemen diri. Dengan demikian, metode pengiriman
alternatif adalah dijamin untuk memenuhi kebutuhan pengiriman veteran dan
mendorong peningkatan pasca-stroke manajemen diri.
BAB IV
SARAN DAN IMPLIKASI DI INDONESIA

4.1. Implikasi

 Implementasi Program management diri pasien stroke di Rumah Sakit di Indonesia


sudah dijalankan diantaranya di RSCM Jakarta dan RS Pusat Otak Nasional Jakarta.

 Untuk RS tentara yang memperhatikan masalah self management program pasien


stroke       adalah RSPAD Gatot Soebroto Jakarta

4.2. Saran

Untuk Institusi

Program rehabilitasi pada pasien stroke memerlukan tenaga ahli dalam proses
perawatan pasien baik disaat serangan maupun pasca serangan. Perencanaan pulang atau
discharge planning  harus dilakukan oleh dokter, perawat dan anggota tim stroke yang
lain, dengan melibatkan pasien stroke dan keluarga jika memungkinkan. Proses
perencanaan pulang dimulai sejak pasien masuk rumah sakit, termasuk edukasi kepada
pasien dan keluarga.  Materi pendidikan kesehatan mencakup hal berikut: tenaga care
giver yang merawat dirumah khususnya pada tiga bulan pertama pasca stroke, persiapan
kamar tidur, tempat tidur, meja di samping tempat tidur, kursi dan kursi roda, kamar
mandi, pakaian pasien, serta alat kesehatan dan alat non medis sesuai kebutuhan
pasien. Aktivasi tim home care rumah sakit yang didukung oleh tenaga profesional dalam
terapi ataupun tenaga terlatih yang sudah tersertifikasi sangat diperlukan untuk
memberikan pelayanan komprehensif pada pasien stroke untuk membantu menjaga
kestabilan kondisi dan mencegah serangan berulang. Apabila hal ini terlaksana dengan
baik maka pelayanan rumah sakit akan lebih bagus dan memberikan nilai lebih pada
kualitas layanan

Untuk Keluarga

Peran keluarga dalam merawat pasien pasca stroke di rumah sangatlah besar. Selama
perawatan di rumah, keluarga berperan penting dalam upaya meningkatkan kemampuan
pasien untuk mandiri, meningkatkan rasa percaya diri pasien, meminimalkan kecacatan
menjadi seringan mungkin, serta mencegah terjadinya serangan ulang stroke. Keluarga
dan pasien dapat menggunakan sumber-sumber yang ada di masyarakat untuk membantu
pasien pasca stroke beradaptasi dengan keadaan dirinya, antara lain dengan ikut kegiatan
di klub stroke yang diselenggarakan oleh Yayasan stroke Indonesia atau YASTROKI.

Untuk pasien stroke sendiri

 Tips untuk latihan kebugaran jasmani :


o Gunakan tangga dari pada lift
o Jalan cepat ke halte bus/stasiun kereta
o Parkirkanlah mobil anda jauh dari tempat yang dituju
o Berdirilah dengan merenggangkan lengan dan kaki ketika berbicara di telepon.
o Letakkan pesawat telepon agak jauh  dan berjalanlah kearah telepon untuk
meraihnya.
o Kencangkan otot-otot dengan lengan ketika berdiri
o Lebih baik jalan kaki ke toko dekat rumah dari pada bermobil
o Latihan olah raga secara teratur paling sedikit tiga kali seminggu
 Tips untuk berolah raga secara aman., Konsul ke dokter sebelum melakukan olah raga
untuk pertama kali. Kenakan baju yang menyerap keringat dan sepatu yang nyaman.
Frekuensi latihan sebaiknya 3 sampai 5 kali seminggu dan lama latihan minimal 20
menit atau sampai berkeringat setiap kali latihan. Latihan olah raga sebaiknya
terencana dengan baik, bila memungkinkan ukur tekanan darah sebelum latihan dan
ukur kadar gula darah bagi pasien yang menderita Diabetes Mellitus atau kencing
manis. Lakukan pemanasan sebelum memulai latihan dan segera berhenti bila terasa
sesak nafas atau rasa tidak enak di dada. Lakukan jenis olah raga yang anda senangi
dan hindari yang bersifat kompetisi. Bagi pasien dalam kondisi sehat sebaiknya
melakukan olah raga dengan perut kosong atau minimal 2 jam sesudah makan. 
 Pola makan sehat dan seimbang.
o Makan menu seimbang sesuai kalori yang dibutuhkan
o Kurangi asupan lemak, gula, dan garam
o Perbanyak makan sayur dan buah yang mengandung tinggi serat untuk
membantu mengontrol kadar gula dalam darah, menurunkan kolesterol darah,
serta dapat mengurangi risiko terserang penyakit kardiovaskular.
o Masak bahan makanan dengan cara merebus, mengukus, panggang, atau bakar,
hindari cara masak dengan menggoreng.
o Ikuti cara makan sehat sebagai berikut, gunakan piring kecil dan makan sesuai
kebutuhan, makan secara perlahan, dan makan camilan sehat seperti buah.
 Tips diet konsumsi rendah lemak
o Perbanyak makan ikan dan tempe.
o Hindari asupan lemak, minyak goreng dan santan.
o Perbanyak makan sayur dan buah.
o Timbang berat badan secara teratur, hindari kegemukan.
o Bila memasak daging, pisahkan lemak dan jangan dimakan.
o Hindari makan yang digoreng.
o Hindari biskuit, cake, tart, coklat.
o Pilih susu yang rendah lemak.
o Kontrol berat badan.
 Tips diet konsumsi rendah garam.
o Hindari makanan yang menggunakan banyak garam dapur.
o Batasi makanan yang menggunakan soda.
o Hindari makanan kaleng yang menggunakan bahan pengawet dari natrium
o Hindari makanan, minuman atau bumbu yang mengandung tinggi natrium.
  Tips berhenti merokok.
o Stop merokok secara total, jangan bertahap.
o Jauhkan asbak dari pandangan.
o Gunakan sarana umum dan ruang tunggu khusus bagi bukan perokok.
o Bila tiba-tiba ingin merokok, makanlah buah segar.
o Bila mulut terasa asam, minumlah air putih atau sikat gigi.
o Hindari tempat-tempat yang banyak orang merokok, misalnya : pub, bar,
diskotik dan sebagainya.
Untuk peneliti lain
Untuk penelitian yang lebih baik maka perlu penambahan jumlah sampel yang diambil
lebih banyak dari penelitian sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai