Anda di halaman 1dari 8

Jurnal Keperawatan

Volume 13 Nomor 1, Maret 2021


e-ISSN 2549-8118; p-ISSN 2085-1049
http://journal.stikeskendal.ac.id/index.php/Keperawatan

LITERATUR REVIEW : FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP


MANAJEMEN DIRI PASIEN GAGAL JANTUNG
Basuki Rachmat1*, I Made Kariasa2
1
Program Studi Magister Ilmu Keperawatan, Peminatan Keperawatan Medikal Bedah, Fakultas Ilmu
Keperawatan, Universitas Indonesia, Jl. Prof. Bahder Djohan, Kampus UI, Depok, Jawa Barat, Indonesia 16425
2
Departemen Keperawatan Medikal Bedah, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Jl. Prof. Bahder
Djohan, Kampus UI, Depok, Jawa Barat, Indonesia 16425
*ukitop70@gmail.com

ABSTRAK
Gagal jantung merupakan masalah kesehatan progresif dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi,
dan prevalensi yang semakin meningkat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa manajemen atau
perawatan diri akan menurunkan angka rawat inap dan komplikasi akibat gagal jantung. Penelitian lain
menyebutkan adanya perbaikan yang signifikan terhadap perawatan diri, kualitas hidup dan
pengobatan pada pasien gagal jantung setelah mendapatkan edukasi dibandingkan dengan yang tidak
mendapatkan edukasi. Artikel ini ditulis untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
perawatan diri pasien gagal jantung, melalui telaah literature yang relevan. Artikel diambil dari jurnal
yang dicari melalui google search, yang terbit antara tahun 2005 sampai 2019, dengan kata kunci
edukasi, gagal jantung, perawatan diri. Telaah kritis dilakukan dengan menggunakan tools CASP.
Fokus telaah untuk mencari faktor yang berpengaruh terhadap manajemen diri pasien gagal jantung.
Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi manajemen diri pasien
gagal jantung yaitu faktor psikologis, tingkat pengetahuan dan faktor pelayanan kesehatan.
Memperbaiki persepsi dan konsep diri, meningkatkan pengetahuan dengan literasi dan edukasi,
ketersediaan pelayanan kesehatan dan kepedulian petugas kesehatan saat memberikan pelayanan dapat
meningkatkan manajemen diri pasien gagal jantung. Kesimpulan, bahwa untuk meningkatkan
kemampuan manajemen diri dapat dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor yang
mempengaruhi manajemen diri pasien gagal jantung, misalnya dengan cara edukasi baik saat rawat
inap maupun rawat jalan, serta peningkatan peran advokasi petugas kesehatan terhadap pelaksanaan
manajemen diri.

Kata kunci: edukasi; gagal jantung; perawatan diri

LITERATURE REVIEW: FACTORS RELATED TO THE SELF MANAGEMENT OF


HEART FAILURE PATIENTS

ABSTRACT
Heart failure is a progressive health problem with high mortality, morbidity and increasing
prevalence. Several studies have shown that management or self care will reduce hospitalization and
complication due to heart failure. Another studies also have shown a significant improvement in self
care, quality of life and treatment in patients with heart failure after getting education compared to
those not getting education. This article was written to determine the factor that influence the self care
of heart failure patients, through reviewing relevant literature. Articles are taken from journal that are
searched to google search, published between 2005 and 2019 with the keyword education, heart
failure, self care. Critical analysis was done using CASP tools. Focus on looking for factors that affect
self management of heart failure patients. The results show that there are three main factors that
affect self management of heart failure patients, such were psychological factors, level of knowledge
and health care factors. Improving the perception and self concept, gaining level of knowledge from
both literacy and education, the availability of health services coupled with the health workers care
would improve self management of heart failure patient. Conclusion, that to improve the ability of self
management can be done with watching factors that affect the self management of heart failure

91
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 91 - 98, Maret 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

patients, for example by education both in and outpatient, and increasing the role of advocacy of
health workers towards the implementation of self management.

Keywords: education; heart failure; self care

PENDAHULUAN
Gagal Jantung didefinisikan sebagai ketidakmampuan jantung memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi jaringan tubuh. (Tatukude, et al, 2016). Gagal
jantung merupakan masalah kesehatan progresif dengan angka mortalitas dan morbiditas yang
tinggi, baik dinegara maju maupun berkembang. Diperkirakan prevalensi gagal jantung akan
terus meningkat hingga 46% pada tahun 2030 yaitu mencapai >8 juta kasus pada penduduk
berusia > 18 tahun. (Mozaffariant, 2015 dalam Tatukude et al, 2016). Prevalensi gagal
jantung meningkat seiring dengan bertambahnya usia, tertinggi pada usia 65-74 tahun, dan
lebih tinggi di perkotaan dan tingkat perekonomian tinggi.

Menurut Suryadipraja dalam Madjid, 2010, Congestif Heart Failure atau yang biasa disebut
gagal jantung kongestif merupakan penyakit kardiovaskular yang terus meningkat insiden dan
prevalensinya. Risiko kematian akibat gagal jantung berkisar antara 5-10% pertahun pada
gagal jantung ringan dan meningkat 30-40% pada gagal jantung berat. Kejadian rawat inap
akibat gagal jantung juga cenderung tinggi, diantaranya disebabkan oleh eksaserbasi akibat
atrial fibrilasi, krisis hipertensi dan pneumonia, namun juga bisa terjadi karena kegagalan
tindakan preventif seperti monitoring dan manajemen diri. (Azhar, 2015). Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa manajemen atau perawatan diri melalui modifikasi gaya hidup dan
kepatuhan terhadap pengobatan akan menurunkan angka rawat inap dan komplikasi akibat
gagal jantung. Keberhasilan program perawatan diri salah satunya dipengaruhi oleh
pengetahuan dan ketrampilan, namun banyak pasien yang memiliki kesadaran yang rendah
terhadap perawatan dirinya, seperti monitoring gejala dan tindakan yang harus diambil saat
gejala muncul. (Razazi et al, 2018).

Keadaan patologis gagal jantung seperti kerusakan struktur dan fungsi jantung akan
menyebabkan keterbatasan fungsional sehingga mempengaruhi kualitaas hidup pasien.
Keterbatasan fungsional ini merujuk pada kondisi keterbatasan fisik, sosial, fungsi mental dan
fungsi peran sebagai dampak dari penyakit gagal jantung. (Dunderdale K, 2005 dalam
Tatukude, 2016). Tingkat pengetahuan yang rendah berhubungan dengan kegagalan untuk
mengenal dan mencari bantuan ketika muncul tanda dan gejala abnormal, ketidak patuhan
dalam pengobatan, perawatan diri yang tidak adekuat, penurunan fungsi fisik dan emosional
serta penurunan pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan preventif. (Azhar, 2015).
Pengetahuan sangat dibutuhkan untuk mencapai perawatan diri yang efektif. Beberapa
penelitian menunjukkan adanya perbaikan yang signifikan terhadap perawatan diri, kualitas
hidup dan pengobatan pada pasien gagal jantung setelah mendapatkan edukasi dibandingkan
pasien gagal jantung yang tidak mendapatkan edukasi. (Roin et al, 2019). Artikel ini ditulis
untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap manajemen diri pasien gagal
jantung, melalui penelusuran dan telaah literature yang relevan.

METODE
Artikel diambil dari jurnal yang dicari melalui google search. Dipilih artikel yang terbit antara
tahun 2005 sampai 2019, dari berbagai jurnal, dengan kata kunci edukasi, gagal jantung,
perawatan diri. Artikel terpilih kemudian dilakukan telaah kritis dengan menggunakan tools
CASP (Critical Appraisal Skills Programme). Fokus telaah untuk mencari faktor yang
berpengaruh terhadap manajemen diri pasien gagal jantung.

92
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 91 - 98, Maret 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

HASIL
Hasil telaah artikel yang telah dilakukan disimpulkan bahwa terdapat tiga faktor besar yang
berpengaruh terhadap manajemen diri pada pasien gagal jantung, seperti tersebut dibawah ini.

Faktor psikologis (persepsi, depresi dan kecemasan)


Menurut Morgan, 2014, terdapat faktor psikologis yang dapat mempengaruhi manajemen diri,
yang disebut sebagai pengaturan diri (self regulatory) berupa nilai dan kepercayaan diri
terhadap kesehatan dan penyakit. Persepsi pasien terhadap sakitnya akan memicu mekanisme
koping yang dapat mempengaruhi perilakunya sehingga akan memunculkan outcome
berdasarkan koping yang dilakukan. Mekanisme koping ini yang harus menjadi titik perhatian
petugas kesehatan sehingga pasien dapat melakukan atau berperilaku yang baik yang akan
berdampak pada outcome penyakit yang lebih baik. Mekanisme koping yang baik akan
menurunkan kejadian depresi dan kecemasan pada pasien gagal jantung, dan ini dapat dicapai
dengan psikoedukasi. (Ludwig, 2014, Goodman, 2013 dalam Morgan, 2013). Pasien dengan
gagal jantung kronik memiliki prevalensi kejadian depresi yang tinggi (10-60%), dan
kecemasan (11-40%). (Morgan, 2014). Gejala depresi dan kecemasan dapat memperburuk
gejala utama gagal jantung serta dapat mempengaruhi proses pemulihan pada pasien gagal
jantung, dimana pasien yang depresi umumnya tidak disiplin dalam menjalankan pengobatan
dan pencegahan (pengaturan diit, pembatasan cairan, pembatasan intake garam dan aktivitas
fisik). Apabila hal ini terus berlangsung akan mempengaruhi kualitas hidup baik pasien
maupun keluarga dan secara signifikan dapat meningkatkan risiko kematian. (Morgan, 2014,
Tatukude, 2016). Lebih lanjut Morgan, 2014 menjelaskan bahwa psikoedukasi menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dalam manajemen diri pasien dengan gagal jantung.

Tingkat pengetahuan
Pengetahuan sangat dibutuhkan untuk mencapai perawatan diri yang efektif. Beberapa
penelitian menunjukkan adanya perbaikan yang signifikan terhadap perawatan diri, kualitas
hidup dan pengobatan pada pasien gagal jantung setelah mendapatkan edukasi dibandingkan
pasien gagal jantung yang tidak mendapatkan edukasi. (Roin et al, 2019).

Menurut Jemal Beker, 2014 disebutkan bahwa pengetahuan tentang gagal jantung merupakan
salah satu faktpr predictor independen perilaku perawatan diri. Juga menurut menurut Assen
MS, Abdela OA, Zeleke EG, 2019, menyebutkan bahwa terdapat faktor yang memperkuat
kepatuhan, salah satunya adalah tingkat pengetahuan tentang gagal jantung yang baik. Hal ini
juga sejalan dengan pendapat Vincent, SE, 2015 yang menyatakan bahwa kemampuan untuk
mengenal secara dini tanda dan gejala gagal jantung dan kapan waktu yang tepat untuk
mencari pertolongan bila didapatkan tanda dan gejala memburuknya kondisi pasien sangat
penting untuk memperbaiki outcome gagal jantung yang lebih baik. Petunjuk dari The
American College of Cardiology Foundation/ American Heart Association and the Heart
Failure Society of Amerika merekomendasikan fokus prioritas perawatan gagal jantung yaitu
terhadap diet, terapi saat pulang, timbang BB tiap hari, restriksi cairan, aktifitas fisik dan
pengenalan terhadap tanda dan gejala dan waktu yang tepat untuk mencari pertolongan saat
gejala memburuk atau waktu yang tepat untuk kontrol teratur. Lebih lanjut Vincent
merekomendasikan beberapa tools (alat bantu) untuk meningkatkan kepatuhan pasien,
misalnya Catatan kejadian gejala, Kartu instruksi tanda-tanda peringatan dan Kartu rencana
tindakan berdasarkan warna, Hijau, Kuning, Merah. Dengan alat bantu tersebut pasien dan
keluarga secara dini dapat mengenali tanda dan gejala perburukan gagal jantungnya dan dapat
melakukan tindakan sederhana serta secepatnya mencari pertolongan atau ke fasilitas
pelayanan kesehatan terdekat.

93
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 91 - 98, Maret 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

Faktor pelayanan kesehatan


Aktifitas perawatan diri pasien gagal jantung memiliki hubungan yang erat dengan petugas
fasyankes dan dukungan keluarga / teman dekat. Pasien merasa terbantu dengan peran petugas
sebagai advokat dalam perawatan diri pasien. Aktifitas perawatan diri pasien juga merupakan
tanggung jawab keluarga dan pasien sendiri, serta adanya masalah kesehatan mental yang
sering terlupakan oleh petugas fasyankes primer. (Skaperdas, 2014). Madjid (2010) dalam
tesisnya menyebutkan bahwa salah satu intervensi keperawatan pada pasien gagal jantung
berfokus pada penyuluhan pasien. Pada saat memberikan pelayanan, petugas seharusnya
menjadi advokat dengan meningkatkan koordinasi dan komunikasi baik dengan pasien
maupun keluarga/teman dekat dan sesama petugas sehingga manajemen atau perawatan diri
pasien gagal jantung menjadi lebih efektif dan tepat sasaran.

PEMBAHASAN
Manajemen diri yang secara konsep didefinisikan sebagai partisipasi aktif pasien terhadap
perawatan dirinya sendiri telah secara luas diterima sebagai salah satu intervensi pada pasien
gagal jantung untuk mendapatkan outcome yang lebih baik. (Skaperdas, 2013). Pasien
diharapkan dapat memanage penyakitnya sendiri seperti patuh terhadap regimen pengobatan,
restriksi diet dan mengkaji perubahan gejala misalnya peningkatan berat badan dan sesak
nafas. (Skaperdas, 2013).

Sistematik review yang dilakukan Clark, et al, 2014 menyatakan bahwa terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi manajemen diri pasien gagal jantung seperti terbatasnya
pengetahuan pasien dan keluarga terhadap program rekomendasi (pembatasan garam,
monitoring berat badan, kepatuhan minum obat dan aktifitas fisik), dan keinginan pasien
bahwa manajemen diri adalah berbagi antara pasien dan pemberi pelayanan (keluarga,
pasangan hidup, petugas kesehatan). Dalam hal ini kembali tingkat pengetahuan menjadi
modal pokok tercapainya manajemen diri pasien dimana tingkat pengetahuan pasien dan
pemberi pelayanan secara terintegrasi akan meningkatkan kepatuhan pasien terhadap program
rekomendasi.

Hasil yang sama juga didapatkan oleh Gonzalez, et al, 2006, yang meneliti penggunaan
European Health Failure Self-care Behaviour Scale (EHFScBS) di unit Health Failure di
Spanyol. Hasil penelitian ini merekomendasikan bahwa perilaku perawatan diri (manajemen
diri) pasien gagal jantung semakin membaik apabila pasien semakin lama di kontrol (follow
up) dan mendapatkan edukasi oleh petugas kesehatan. Manajemen diri pasien juga membaik
bila keluarga dilibatkan dan juga diberikan edukasi tersebut. Meskipun dari total skor yang
didapat menunjukkan bahwa tingkat perawatan diri pasien masih berada di rentang sedang
sampai baik.

Perbedaan hasil ditemukan pada penelitian RCT yang dilakukan oleh Powell, et al, (2010) di
Chicago, yang menyebutkaan bahwa pelatihan manajemen diri disertai edukasi ternyata tidak
memberikan hasil yang signifikan terhadap kematian dan readmisi (rawat inap kembali) pada
pasien gagal jantung dibandingkan dengan edukasi saja, meskipun Powell mengatakan bahwa
penelitian yang dilakukan menggunakan metoda yang lebih baik dibandingkan penelitian
sebelumnya. Penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang menyimpulkan bahwa
manajemen diri dan edukasi tidak berpengaruh terhadap kematian dan rawat inap kembali
pasien gagal jantung. Bahkan Chen (2013) menemukan bahwa meskipun literasi
berhubungan dengan tingkat pengetahuan namun tidak berhubungan dengan tingkat
kepatuhan perawatan diri pasien gagal jantung. Namun dari penelitian Powell ini didapaatkan
hasil yang menarik dimana edukasi pasien ternyata lebih bermanfaat terhadap manajemen diri

94
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 91 - 98, Maret 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

pada pasien gagal jantung dengan penghasilan rendah. Hal ini dapat menjadi dasar untuk
penelitian lebih lanjut mengenai efek edukasi terhadap manajemen diri pada pasien gagal
jantung dinegara dengan penghasilan penduduknya rendah dibandingkan dengan pasien dari
negara dengan penghasilan sedang atau tinggi.

Penelitian terbaru seperti Roin (2019), Razasi (2018), Jung (2019) dan Assem (2019)
menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan yang didapatkan baik melalui literasi maupun
edukasi selama follow up (rawat jalan), berhubungan erat dengan perbaikan perawatan diri
pasien gagal jantung. Dari penelitian tersebut juga didapatkan bahwa usia, penghasilan
(tingkat sosial ekonomi) dan pelayanan kesehatan (rawat jalan) mempengaruhi tingkat
pengetahuan pasien tentang gagal jantung. Hal ini juga mendukung penelitian dari Azhar,
2013 yang menemukan bahwa lebih dari 60% sampel tidak mengerti tentang pengobatan dan
monitoring BB pada gagal jantung dan > 90% sampel menyatakan perlu adanya informasi dan
edukasi tentang gagal jantung.

Pelayanan kesehatan memainkan peranan yang sangat penting dalam meningkatkan


kemampuan manajemen diri pasien gagal jantung tidak hanya dari segi jenis pelayanan
namun juga petugas kesehatan (perawat dan dokter) yang memberikan pelayanan. Penelitian
kualitatif yang dilakukan oleh Skaperdas, 2013, terhadap pasien gagal jantung di rumah sakit
veteran Amerika Serikat melalui wawancara mendalam terungkap bahwa pasien sangat
mengharapkan peran petugas kesehatan sebagai ‘advocate” dan tempat bertanya berkaitan
dengan maanajemen perawatan gagal jantung. Mereka mengharapkan waktu yang lebih
banyak dari petugas kesehatan untuk mengungkapkan berbagai masalah pasien.

Masalah psikologis seperti kecemasan, depresi, kesendirian menjadi beban tersendiri bagi
pasien dalam menghadapi penyakit gagal jantungnya. Hal ini berdampak pada rendahnya
kemampuan pasien melakukan manajemen diri, sehingga memperburuk kondisi gagal jantung
dan meningkatkan angka rawat inap kembali. Selain itu juga pasien mengharapkan adanya
fasilitas pelayanan kesehatan lain yang memberikan pelayanan perawatan gagal jantung.
Disadari oleh mereka bahwa jarak yang jauh dan kondisi fisik yang lemah tidak
memungkinkan pasien berobat atau kontrol ke rumah sakit, sehingga hal ini akan dapat
memperburuk kondisi pasien. Hal senada juga dikemukakan oleh Madjid A, 2010 dalam
tesisnya yang mengatakan bahwa peran petugas kesehatan sangat dibutukan sebagai advokat
dan konselor sehingga dapat mengkoordinasikan pelayanan dan penyuluhan yang diberikan
untuk meningkatkan kemampuan manajemen diri pasien gagal jantung dan keluarganya.

SIMPULAN
Manajemen diri pada pasien gagal jantung dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor
psikis (persepsi, depresi dan kecemasan), faktor tingkat pendidikan dan pengetahuan serta
faktor petugas kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan). Selain itu juga ditemukan faktor
pendukung sepertu usia, jenis kelamin, penyebab gagal jantung, dukungan keluarga dan
tingkat aktifitas fisik. Untuk meningkatkan kemampuan manajemen diri dapat dilakukan
dengan edukasi yang berkelanjutan, tidak hanya pada saat pasien dirawat inap, namun bisa
terus berlanjut saat pasien rawat jalan, dengan pemantauan yang ketat dari petugas kesehatan
serta peningkatan peran advokasi petugas kesehatan terhadap pelaksanaan manajemen diri.

DAFTAR PUSTAKA
Assen, M. S., Abdela, O. A., & Zeleke, E. G. (2019). Adherence to self-care
recommendations and associated factors among adult heart failure patients . From the
patients ’ point of view, 1–13. PLoS ONE 14(2): e0211768. https://doi.org/10.1371/

95
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 91 - 98, Maret 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

journal.pone.0211768.

Azhar, G. (2015). Congestive Heart Failure Awareness Assessment in a Geriatrics Out-


patient Clinic in Central Arkansas, 3(2). J Res Development 2015, 3:2 DOI:
10.4172/2311-3278.1000128.

Chen, A. M. H., Yehle, K. S., Albert, N. M., Ferraro, K. F., Mason, H. L., Murawski, M. M.,
& Plake, K. S. (2013). Health Literacy Influences Heart Failure Knowledge Attainment
but Not Self-Efficacy for Self-Care or Adherence to Self-Care over Time, 2013.
Hindawi Publishing Corporation Nursing Research and Practice Volume 2013, Article
ID 353290, http://dx.doi.org/10.1155/2013/353290.

Clark, A. M., Spaling, M., Harkness, K., Spiers, J., Strachan, P. H., Thompson, D. R., &
Currie, K. (2014). Determinants of effective heart failure self-care : a systematic review
of patients ’ and caregivers ’ perceptions, 716–721. https://doi.org/10.1136/heartjnl-
2013-304852.

CASP (Critical Appraisal Skills Programme). http://creativecommons.org/licences/by-nc-


sa/3.0/www.casp-uk.net.

González, B., Lupón, J., Parajón, T., Urrutia, A., & Herreros, J. (2006). Use of the European
Heart Failure Self-care Behaviour Scale ( EHFScBS ) in a Heart Failure Unit in Spain,
Rev Esp Cardiol. 2006;59(2):166-70.

Jemal Beker1, Tefera Belachew2, Altayeworke Mekonin2 and Endalew Hailu1* (2014).
Predictors-of-adherence-to-selfcare-behaviour-among-patients-with-chronic-heart-
failure-attending-jimma-university-specialized-hospital-chronic-follow-up-clinic-south-
west-ethiopia-2329-9517.1000180.pdf. (n.d.). , J Cardiovasc Dis Diagn 2014, 2:6
http://dx.doi.org/10.4172/2329-9517.1000180.

Jung, M., Kim, H., Choi, J. H., Lee, S., Kong, M. G., Na, O., … Id, K. (2019). Heart failure
awareness in the Korean general population : Results from the nationwide survey, 1–15.
PLoS ONE 14(9): e0222264. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0222264.

Lefteriotis, C. (2013). Review Article Depression in Heart Failure patients, Health Science
Journal Vol.7, 349–355. E-ISSN:1791-809x │hsj.gr.

Madjid, Abdul, FIK-UI (2010). Analisis faktor yang berhubungan dengan kejadian rawat inap
ulang pasien gagal jantung kongestif di Rumah Sakit Yogyakarta Tahun 2010, Tesis
FIK-UI 2010.

Morgan, K., Villiers-tuthill, A., Barker, M., & Mcgee, H. (2014). The contribution of illness
perception to psychological distress in heart failure patients, 1–9. BMC Psychology
2014, 2:50 http://www.biomedcentral.com/2/1/50

Powell, Lynda H, PhD, Calvin, James E, MD, Richardson, Dejuran, PhD, et al. (2010). Self-
management Counseling in Patients With Heart Failure_ The Heart Failure Adherence
and Retention Randomized Behavioral Trial _ Cardiology _ JAMA _ JAMA Network.
(n.d.). JAMA.2010;304(12):1331-1338. doi: 10.1001/jama.2010.1362.

Razazi, R., Aliha, J. M., Amin, A., Taghavi, S., Ghadrdoost, B., & Naderi, N. (2018). The
Relationship between Health Literacy and Knowledge about Heart Failure with

96
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 91 - 98, Maret 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

Recurrent Admission of Heart Failure Patients. https://doi.org/10.4103/rcm.rcm.

Rod, N. H., Andersen, I., & Prescott, E. (2011). Original Contribution Psychosocial Risk
Factors and Heart Failure Hospitalization : A Prospective Cohort Study, American
Journal of Epidemioloy: Vol 174(6), 672–680. https://doi.org/10.1093/aje/kwr144.

Róin, T., Lakjuni, K. Á., Kyhl, K., Thomsen, J., Veyhe, A. S., Róin, Á., … Marin, S. (2019).
Knowledge about heart failure and self-care persists following outpatient programme- a
prospective cohort study from the Faroe Islands. International Journal of Circumpolar
Health, 78(00). https://doi.org/10.1080/22423982.2019.1653139.

Self-management of coronary heart disease in angina patients after elective percutaneous


coronary intervention : A mixed methods study Thesis submitted in partial fulfilment of
the requirements of Edinburgh Napier University , for the award of Doctor of
Philosophy Susan Dawkes. (2014), (October).

Skaperdas, E., Nicolaidis, C., Robb, J. K., & Kansagara, D. (2014). PDXScholar Congestive
Heart Failure Self-Management Among US Veterans : The Role of Personal and
Professional Advocates, 95, 371–377. http://dx.doi.org/10.1016/j.pec.2014.03.002
0738-3991/Published by Elsevier Ireland Ltd.

Tatukude, Christin, Panda Agnes, L & Rampengan, S. H. (2016). Hubungan tingkat depresi
dan kualitas hidup pada pasien gagal jantung kronik di poliklinik jantung RSUP Prof.
Dr. R. D. Kandau Manado, Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni
2016

Vincent, S E, DNP, RN, MSN and Mutsch, K S, DNP, RN, MSN. (2015). Recognizing heart
failure symptoms can improve patient self-management, American Nurse Today Vol.
10 (2) (February), 1–5.

97
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 91 - 98, Maret 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

98

Anda mungkin juga menyukai