Anda di halaman 1dari 153

“ESAI ILMIAH POPULER”

PERAN MAHASISWA KEDOKTERAN UNTUK


INTEGRASI PELAYANAN KESEHATAN FISIK DAN
MENTAL DALAM MEWUJUDKAN KESEHATAN
BERDASARKAN WHO DALAM DEKLARASI ALMA
ATA

DENGUE HEMORRHAGIC FEVER


INFECTIOUS DISEASE
27

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
1

Peran Mahasiswa Kedokteran Untuk Integrasi Pelayanan


Kesehatan Mental dan Fisik Dalam Mewujudkan Kesehatan
Berdasarkan WHO dalam Deklarasi Alma Ata
Dengue Hemorrhagic Fever/27

WHO mengatakan bahwa kesehatan adalah sebuah kondisi yang baik secara
fisik, mental, dan juga sosial, bukan sekedar ketiadaan sebuah penyakit atau
kelainan.1 Definisi kesehatan ini dituliskan dalam Deklarasi Alma Ata oleh WHO
dan menjadi tonggak dasar pengertian kesehatan saat ini. Namun banyak sekali
permasalahan kesehatan yang belum terpecahkan untuk mewujudkan kesehatan
manusia berdasarkan WHO. Salah satu permasalahan besar dari kesehatan yang
menjadi permasalahan saat ini adalah non-communicable diseases (NCDs), dan
permasalahan kesehatan ini semakin meningkat setiap tahunnya. NCD adalah
sebuah istilah yang diberikan untuk penyakit yang tidak menular, dan terdapat
empat golongan besar NCD yang menjadi permasalahan di dunia saat ini yaitu
penyakit kardiovaskular, diabetes, kanker, dan penyakit kronis pernapasan. NCD
menjadi salah satu penyebab terbesar kematian saat ini. Berdasarkan data WHO,
NCD diperkirakan mengakibatkan 70% dari seluruh kasus kematian global pada
tahun 2015 yang dimana 75% dari kematian NCD terjadi di negara dengan
pendapatan rendah dan menengah dan 48% dari kematian dari NCD terjadi pada
manusia dengan usia dibawah 70 tahun.2 Di Indonesia, dalam rentang tahun 2000-
2015, kasus kematian diakibatkan NCD semakin meningkat, dimana pada tahun
2000 terdapat 975.000 kematian, dan pada tahun 2015 menjadi 1,3 juta kasus
kematian.3 NCD juga mengakibatkan penurunan kualitas hidup manusia, dilihat
melalui Daily Adjusted Life Years (DALYs). Pada tahun 2012, penelitian yang
dilakukan di 21 region menunjukkan bahwa NCD mengakibatkan lebih dari 15
juta DALYs pada tahun 2010, dan menunjukkan bahwa keluarga pasien NCD
memiliki pengeluaran dua sampai tiga kali lipat lebih besar dibanding keluarga
yang tidak memiliki pasien NCD.4-5
Permasalahan yang mungkin seringkali diabaikan oleh tenaga kesehatan
adalah dampak dari NCDs yaitu gangguan mental adalah sesuatu yang bersifat
komorbid.6 Berdasarkan WHO pada tahun 2014, sehat mental didefinisikan
2

sebagai suatu kondisi dimana setiap individu menyadari potensi dirinya, dapat
bertahan dan menghadapi stres dalam hidup, dapat bekerja dengan produktif dan
menghasilkan, dan mampu untuk berkontribusi bagi komunitas lingkungannya.
Dimensi positif ini pun ditekankan oleh WHO yang didasarkan menjadi konstitusi
WHO bahwa sehat adalah sebuah kondisi yang baik secara fisik, mental, dan juga
sosial, bukan sekedar ketiadaan sebuah penyakit atau kelainan.1 Namun
sayangnya seringkali kesehatan mental menjadi suatu hal yang diabaikan,
terutama stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa. Hal yang sering tidak
disadari bahwa gejala gangguan mental dapat muncul bersamaan dengan gejala
NCDs. Studi menunjukkan secara umum, bahwa 30% pasien NCDs yang sudah
kronis mengalami gangguan mental, dan ditemukan lebih tinggi pada pasien
dewasa.7,8 Oleh sebab itu antara NCDs dan kesehatan mental memiliki hubungan
baik sebagai kausal, konsekuensi, ataupun komorbid.
Sayangnya, kondisi pelayanan kesehatan saat ini merupakan tipe pelayanan
yang bersifat independen dan mandiri, terlepas dari satu bagian dengan bagian
yang lain. Seringkali, pelayanan kesehatan tidak bersifat holistik, tidak efisien
biaya (biaya harus semakin meningkat), bahkan mengganggu anggaran belanja
negara pada bidang kesehatan, terutama pada kasus komorbid yang semakin
kompleks, dan mengakibatkan prosedur kesehatan yang harus dilakukan semakin
panjang.9-11
Oleh sebab itu, mahasiswa kedokteran harus mampu belajar untuk menjadi
sumber daya yang berkualitas dan mampu untuk melakukan peningkatan
kesehatan secara holistik. Mahasiswa kedokteran diharapkan dapat melakukan
suatu integrasi pelayanan kesehatan primer, interprofesional, dan pada topik ini
ditekankan mengenai kolaborasi pelayanan kesehatan mental dan fisik. Tanpa
integrasi dari pelayanan kesehatan mental dan fisik pada pasien NCDs, maka
penanganan pasien NCDs akan bersifat inefektif dengan biaya yang lebih tinggi.12
Mahasiswa kedokteran yang kedepannya menjadi seorang tenaga kesehatan
umum harus mampu menjadi garda utama dalam memberikan pelayanan
kesehatan tingkat awal dan melakukan pemeriksaan dan pemberian manajemen
secara holistik baik pengobatan mental dan fisik. Selain dokter umum, perawat
memiliki peran penting dalam pelayanan primer, dalam memberikan manajemen
3

yang bersifat patient-centered, dan mengikuti guideline prosedural perawatan


mental dan NCDs. Perawat juga mampu untuk mengedukasi pasien dalam
meningkatkan self-care dan self-conciousness dalam menjalankan prosedur
perawatan yang ada dalam tingkatan primer. Kolaborasi antara perawat dan dokter
umum dalam memberikan manajemen dan melakukan supervisi merupakan garis
utama penting dalam intervensi kesehatan mental dan NCDs dalam tingkat
primer13.
Dari pemaparan diatas, kualitas sumber daya manusia merupakan kualitas
utama untuk mewujudkan kesehatan WHO, yang menyeluruh dari kesehatan fisik
dan mental. Sumber daya manusia menjadi komponen utama dalam penerapan
sistem ini. Pada integrasi tingkat primer, diperlukan tenaga kesehatan yang terlatih
dalam penanganan fisik dan juga mental. Minimnya pelatihan penanganan
kesehatan mental bagi tenaga layanan kesehatan primer dapat menjadi tantangan
tersendiri dalam integrasi pelayanan kesehatan mental dan fisik.14 Namun,
terlepas dari tantangan yang ada, penerapan sistem integrasi pelayanan kesehatan
mental dan fisik merupakan solusi dari permasalahan kesehatan mental NCDs
yang saling terkait. Dibutuhkan suatu sistem kesehatan yang kuat agar dapat
melakukan pendekatan dan perawatan masalah kesehatan dalam aspek yang lebih
luas. Sistem integrasi ini juga memberikan keuntungan bagi tenaga kesehatan agar
bisa berkontribusi lebih dalam menangani permasalahan kesehatan, tidak
terorientasi pada dokter saja, namun dengan gabungan komponen lain seperti
perawat dan psikolog.15
4

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Mental health: a state of well-being. 2014. [online]


Available at: http://www.who.int/features/factfiles/mental_health/en/ [Accessed 3
Feb. 2018].
2. World Health Organization. NCD mortality and morbidity. 2015. [online]
Available at: http://www.who.int/gho/ncd/mortality_morbidity/en/ [Accessed 31
Jan. 2018].
3. World Health Organization. Total NCD Mortality - Data by country. 2015. [online]
Available at: http://apps.who.int/gho/data/node.main.A860 [Accessed 31 Jan.
2018].
4. Murray C, Vos T, Lozano R, Naghavi M, Flaxman A, Michaud C et al.
Disability-adjusted life years (DALYs) for 291 diseases and injuries in 21 regions,
1990–2010: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2010.
The Lancet. 2012;380(9859):2197-2223.
5. Kankeu HT, Saksena P, Xu K, Evans DB. The financial burden from non-
communicable diseases in low-and middle-income countries: a literature review.
Health Research Policy and Systems. 2013 Dec;11(1):31.
6. DeJean D, Giacomini M, Vanstone M, Brundisini F. Patient experiences of
depression and anxiety with chronic disease: a systematic review and qualitative
meta-synthesis. Ontario health technology assessment series. 2013;13(16):1.
7. Cimpean D, Drake RE. Treating co-morbid chronic medical conditions and
anxiety/depression. Epidemiology and psychiatric sciences. 2011 Jun;20(2):141-50.
8. McManus S, Meltzer H, Brugha TS, Bebbington PE, Jenkins R. Adult
psychiatric morbidity in England, 2007: results of a household survey. The NHS
Information Centre for health and social care; 2009.
9. Hochlehnert A, Niehoff D, Wild B, Jünger J, Herzog W, Löwe B. Psychiatric
comorbidity in cardiovascular inpatients: costs, net gain, and length of
hospitalization. Journal of psychosomatic research. 2011 Feb 1;70(2):135-9.
10. Hutter N, Schnurr A, Baumeister H. Healthcare costs in patients with diabetes
mellitus and comorbid mental disorders—a systematic review. Diabetologia. 2010
Dec 1;53(12):2470-9.
5

11. Unützer J, Schoenbaum M, Katon WJ, Fan MY, Pincus HA, Hogan D, Taylor J.
Healthcare costs associated with depression in medically ill fee‐for‐service
Medicare participants. Journal of the American Geriatrics Society. 2009
Mar;57(3):506-10.
12. Kessler RC, Heeringa S, Lakoma MD, Petukhova M, Rupp AE, Schoenbaum M,
Wang PS, Zaslavsky AM. Individual and societal effects of mental disorders on
earnings in the United States: results from the national comorbidity survey
replication. American Journal of Psychiatry. 2008 Jun;165(6):703-11.
13. Katon WJ, Lin E, Von Korff M, Ciechanowski P, Ludman E, Young B et al.
Collaborative Care for Patients with Depression and Chronic Illnesses. New
England Journal of Medicine. 2010;363(27):2611-2620.
14. Ngo VK, Rubinstein A, Ganju V, Kanellis P, Loza N, Rabadan-Diehl C, Daar
AS. Grand challenges: integrating mental health care into the non-communicable
disease agenda. PLoS medicine. 2013 May 14;10(5):e1001443.
15. Patel V, Belkin GS, Chockalingam A, Cooper J, Saxena S, Unützer J. Grand
challenges: integrating mental health services into priority health care platforms.
PloS medicine. 2013 May 28;10(5):e1001448.
PROPOSAL PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

INOVASI PERENCANAAN APLIKASI FOOD NUTRITION SCANNING


UNTUK MENGONTROL KECUKUPAN GIZI PENDERITA OBESITAS

BIDANG KEGIATAN:
PKM-GAGASAN TERTULIS

Diusulkan oleh:

Ni Nyoman Putri Wantini ; 1902561009; 2019


I Gusti Ayu Agung Mas Ariantini ; 1902561008; 2019
Ida Ayu Made Gia Cahyani ;1902561011; 2019

UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019

i
PENGESAHAN PROPOSAL PKM-GAGASAN TERTULIS

1. Judul Kegiatan : Inovasi Perencanaan Aplikasi Food


Nutrition Scanning untuk Mengontrol
Kecukupan Gizi Penderita Obesitas
2. Bidang Kegiatan : PKM-GT
3. Ketua Pelaksana Kegiatan
a. Nama Lengkap : Ni Nyoman Putri Wantini
b. NIM : 1902561009
c. Jurusan : Kesehatan Masyarakat
d. Universitas/Institute/Politeknik : Universitas Udayana
e. Alamat Rumah dan No. Tlp/HP : 083119326038
f. Alamat email : putriwantini31@gmail.com
4. Anggota Pelaksana Kegiatan/Penulis : 2 orang
5. Dosen Pendamping
a. Nama Lengkap dan Gelar : Dr.dr. Gde Ngurah Indraguna
Pinatih, M.Sc.,SpGK
b. NIDN : 0021055807
c. Alamat Rumah dan No.Tlp/HP : Jl. Srikarya No. 14 Denpasar
dan 08123816424

Menyetujui
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Ketua Pelaksana Kegiatan
dan Informasi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana,

(Dr. dr. I Made Sudarmaja, M. Kes) (Ni Nyoman Putri Wantini)


NIP. 19660824 199601 1 001 NIM. 1902561009

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaaan Dosen Pembimbing


Universitas Udayana,

(Prof. Dr. Ir. I Made Sudarma,M.S ) (Dr.dr.Gde Ngurah Indraguna


NIP. 19590923 198601 1 001 Pinatih,M.Sc.,SpGK )
NIDN. 0021055807

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL…………………………………………………….. i
LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………... ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………….. iii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………. iv
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang……………………………………………. 1
1.2 Tujuan…………………………………………………….. 2
1.2.1 Tujuan Umum…………………………................. 2
1.2.2 Tujuan Khusus…………………………………… 2
1.3 Manfaat…………………………………………………… 2
1.3.1 Manfaat Teoritis………………………………….. 2
1.3.2 Manfaat Praktis…………………………………... 2
BAB II GAGASAN……………………………………………………… 3
2.1 Kondisi Terkini Pencetus Gagasan……………………….. 3
2.2 Solusi yang Pernah Diterapkan untuk Memperbaiki 5
Kondisi Pencetus Gagasan………………………………..
2.3 Seberapa Jauh Kondisi Terkini Pencetus Gagasan Dapat 5
Diperbaharui atau Dikembangkan…………………………
2.4 Peran Pihak yang Dipertimbangkan Dapat Membantu 6
Mengimplementasikan Gagasan …………………………
2.5 Langkah-Langkah Strategis………………………………. 7
BAB III KESIMPULAN…………………………………………………. 7
3.1 Gagasan yang Diajukan…………………………………… 7
3.2 Teknik Implementasi……………………………………… 7
3.3 Prediksi Hasil……………………………………………... 8
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 8
Lampiran 1. Biodata Ketua dan Anggota………………………………... 10
Lampiran 2. Biodata Dosen Pendamping………………………………... 13
Lampiran 3. Susunan Organisasi Tim Penyusun dan Pembagian Tugas 15
Lampiran 4. Surat Pernyataan Ketua Tim………………………............. 16

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Contoh Pengimplementasian Aplikasi Food Nutrition


3.2.1 Scanning………………………………………………………. 8

iv
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Obesitas adalah kondisi kronis akibat penumpukan lemak dalam tubuh
yang berlebihan. Penentuan obesitas ini diakukan berdasarkan IMT (Indeks Massa
Tubuh) yaitu pembagian berat badan dalam kilogram dengan kuadrat tinggi badan
dalam meter (kg/m2). Obesitas secara klinis dinyatakan dalam bentuk IMT ≥ 25
kg/m2. Permasalahan ini terjadi hampir di seluruh dunia dengan prevalensi yang
semakin meningkat tiap tahunnya, baik di negara-negara maju maupun di negara
berkembang, termasuk Indonesia (WHO, 2010).
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) dalam Global
Health Risks Report pada tahun 2009, prevalensi overweight mencapai lebih dari
1 miliar orang di seluruh dunia dan lebih dari 300 juta mengalami obesitas (WHO,
2009). Sedangkan berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2007, 2013
dan 2018 menunjukkan prevalensi penderita obesitas terus mengalami
peningkatan tiap tahunnya. Terlihat pada orang dewasa yang berusia lebih dari 18
tahun pada tahun 2007 prevalensi obesitasnya sebesar 10,5%, tahun 2013
mencapai 14,8% dan kemudian mengalami peningkatan yang sangat tinggi yakni
pada tahun 2018 prevalensi obesitasnya mencapai 21,8 %. Dilihat berdasarkan
jenis kelamin, prevalensi obesitas pada perempuan lebih tinggi (32,9%)
dibandingkan dengan laki-laki (19,7%) (Riskesdas, 2018). Ada beberapa provinsi
di Indonesia yang memiliki prevalensi sangat gemuk di atas nasional, salah
satunya adalah Provinsi Bali (Maryam, et al., 2016).
Penyebab mendasar terjadinya obesitas adalah ketidakseimbangan energi
yang masuk dan energi yang keluar. Energi yang masuk adalah jumlah energi
yang kita dapatkan dari makanan dan minuman. Sedangkan energi yang keluar
adalah jumlah energi yang digunakan tubuh dalam hal seperti melakukan berbagai
kegiatan (Gibney, et al., 2009). Genetik merupakan salah satu faktor penyebab
seseorang menderita penyakit obesitas. Jika kedua orang tuanya menderita
obesitas maka 80% keturunannya juga akan menderita obesitas (Budiyati, 2011).
Di samping itu arus globalisasi menyebabkan penyimpangan -penyimpangan pola
makan dan aktivitas fisik yang berperan penting terhadap munculnya obesitas,
dimana masyarakat cenderung malas untuk olahraga dan lebih banyak
mengkonsumsi makanan dan minuman dengan kadar lemak serta gula yang tinggi
(Merryana & Bambang, 2012). Asupan lemak yang berlebih pada makanan
tersebut akan disimpan dalam bentuk sel-sel lemak dalam tubuh, kemudian dalam
jangka waktu yang lama akan menambah berat badan sehingga terjadi obesitas
(Djanggan & Sri, 2011). Selain itu faktor sosial ekonomi juga merupakan faktor
pemicu munculnya obesitas. Perubahan jumlah pendapatan seseorang
menyebabkan terjadinya perubahan pola makan dan aktivitas manusia. Kondisi ini
2

sangat mendukung terjadinya peningkatan jumlah penderita obesitas (Sikalak, et


al., 2017).
Masalah obesitas ini menyebabkan timbulnya berbagai penyakit bahaya
lainnya seperti gangguan sistem kardiovaskular, stroke, hipertensi bahkan berisiko
menderita kanker. Hal paling buruk yang dapat terjadi pada penderita obesitas
adalah terkena serangan jantung yang dapat menyebabkan kematian (Wijayanti,
2013). Dalam lain hal obesitas juga dapat menyebabkan terjadinya Metabolic
Syndrome (Jafar, 2011). Dimana Metabolic Syndrome ini merupakan kumpulan
gejala klinis yang meliputi rendahnya kadar HDL-kolesterol, tingginya
trigliserida, meningkatnya kadar gula darah, meningkatnya tekanan darah dan
abdomen obesitas (Yusuf, et al., 2014). Prevalensi Metabolic Syndrome sebesar
18,7%, berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa prevalensi Metabolic
Syndrom di dunia termasuk di Indonesia sangat tinggi (Sulistiowati & Sirait,
2014).
Berdasarkan paparan diatas tentunya mengatasi masalah gizi masyarakat
khususnya penderita obesitas di Indonesia adalah hal yang sangat penting
dilakukan. Namun hal tersebut sangat sulit untuk dilakukan mengingat kurangnya
kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan serta adanya arus globalisasi
yang menyebabkan masyarakat, khususnya penderita obesitas sulit untuk
mengatur pola makannya, maka dari itu penyusun memiliki suatu inovasi
mengenai perencanaan aplikasi yang bernama Food Nutrition Scanning. Aplikasi
ini dirancang sebagai salah satu usaha untuk menanggulangi obesitas.

1.2. Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk memberikan informasi kecukupan gizi yang dikonsumsi masyarakat
dengan menggunakan aplikasi Food Nutrition Scanning.
1.2.2 Tujuan Khusus
Membuat program aplikasi Food Nutrition Scanning yang dapat :
a. Mudah dibaca dan dapat dimengerti oleh pengguna aplikasi Food
Nutrition Scanning.
b. Memberikan edukasi kepada penderita obesitas mengenai kecukupan
gizi yang dikonsumsi dari makanan yang tertera pada aplikasi Food
Nutrition Scanning dalam rangka mengurangi kasus obesitas di
Indonesia.

1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
Aplikasi ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi dunia pendidikan
khususnya pada ilmu gizi dan teknologi informasi.
1.3.2 Manfaat Praktis
a. Bagi Mahasiswa

2
3

Dapat mengimplementasikan ilmu yang diperoleh kepada masyarakat


melalui perencanaan aplikasi Food Nutrition Scanning.
b. Bagi Institusi
Sebagai bahan kepustakaan di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana.
c. Bagi Masyarakat
Dapat menambah wawasan masyarakat tentang kecekupan gizi yang mereka
konsumsi, khususnya pada penderita obesitas dengan menggunakan aplikasi
Food Nutrition Scanning.

BAB II
GAGASAN

2.1 Kondisi Terkini Pencetus Gagasan


Obesitas merupakan masalah kesehatan yang terjadi hampir di seluruh
negara baik negara maju maupun negara berkembang dengan peningkatan yang
terus berkembang setiap tahunnya. Menurut WHO saat ini obesitas menjadi salah
satu masalah epidemi global yang harus segera ditangani (Danari, et al., 2013).
Berdasarkan data WHO pada tahun 2011, tercatat 1,6 miliar orang dewasa
menderita berat badan berlebih dan 400 juta diantaranya menderita obesitas
(WHO, 2011). Sedangkan berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun
2007, 2013 dan 2018 mengenai prevalensi penderita obesitas terus mengalami
perkembangan yang cukup tinggi. Terlihat pada orang dewasa yang berusia lebih
dari 18 tahun, pada tahun 2007 prevalensi obesitasnya sebesar 10,5%, tahun 2013
mencapai 14,8% dan kemudian mengalami peningkatan yang sangat tinggi yakni
pada tahun 2018 prevalensi obesitasnya mencapai 21,8 % (Riskesdas, 2018).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa penderita obesitas di Indonesia terus
mengalami peningkatan yang cukup tinggi setiap tahunnya. Terdapat beberapa
provinsi di Indonesia yang memiliki prevalensi sangat gemuk diatas nasional dan
Provinsi Bali merupakan salah satu dari provinsi tersebut (Maryam, et al., 2016).
Obesitas terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara jumlah asupan
energi yang masuk dengan jumlah energi yang keluar. Banyaknya jumlah asupan
energi yang masuk disebabkan oleh konsumsi makanan yang berlebihan
sedangkan energi yang dikeluarkan kecil. Kondisi ini terjadi karena rendahnya
aktivitas fisik yang dilakukan oleh seseorang (Pramono & Sulchan, 2014).
Faktor genetik merupakan salah satu penyebab seseorang menderita
penyakit obesitas. Apabila kedua orang tua menderita obesitas maka 80%
keturunannya juga akan menderita obesitas (Budiyati, 2011). Namun tidak hanya
faktor genetik yang menjadi pemicu seseorang mengalami penyakit obesitas, pola
makan seseorang juga menjadi pemicu utama timbulnya pemyakit ini. Semakin
tinggi taraf hidup masyarakat membuat terjadinya perubahan gaya hidup dan pola
makan di masyarakat (Pramono & Sulchan, 2014). Perubahan yang terjadi

3
4

bukanlah perubahan yang membawa masyarakat menuju ke kehidupan yang lebih


sehat melainkan menuju kondisi kesehatan yang lebih buruk. Saat ini masyarakat
mulai melupakan makanan tradisional yang banyak mengandung serat dan
karbohidrat melainkan lebih banyak mengonsumsi makanan yang mengandung
lemak, gula dan garam yang tinggi sehingga terjadi ketidakseimbangan mutu dan
gizi (Pramono & Sulchan, 2014). Ditambah lagi keberadaan rumah makan fast
food yang banyak mengandung kalori, lemak dan kolesterol sangat mudah ditemui
disekitar masyarakat membuat pilihan makanan sehat masyarakat menjadi
semakin tebatas (Damopolii, et al, 2013). Di era modern ini sebagian besar
masyarakat Indonesia juga mulai mengadopsi gaya hidup yang tidak sehat seperti
merokok, minum minuman beralkohol dan minum minuman berkalori tinggi
yang banyak tersedia di mini market yang tanpa disadari semua ini juga dapat
menjadi pemicu munculnya penyakit obesitas (Sundari, et al, 2015). Selain itu
faktor yang tidak kalah penting adalah faktor sosial ekonomi yang merupakan
salah satu faktor pemicu munculnya penderita obesitas. Dimana perubahan jumlah
pendapatan seseorang akan menyebabkan terjadinya perubahan pola makan dan
aktivitas manusia. Kondisi ini sangat mendukung terjadinya peningkatan jumlah
penderita obesitas (Sikalak, et al., 2017).
Pola makan yang berlebih tanpa diimbangi dengan olahraga atau aktivitas
fisik membuat risiko menderita penyakit diabetes menjadi semakin besar.
Kemajuan teknologi yang semakin modern membuat aktivitas manusia mulai
digantikan oleh mesin dan komputer. Kondisi ini menyebabkan aktivitas manusia
mulai berkurang sehingga tenaga yang dikeluarkan juga semakin sedikit.
Kurangnya aktivitas fisik ini terjadi karena sebagian besar masyarakat hanya
duduk dan bekerja di dalam ruangan tanpa melakukan kegiatan yang membuat
tubuhnya melakukan suatu aktivitas (Pramono & Sulchan, 2014). Ditambah lagi
kemajuan teknologi di bidang transportasi membuat sebagian besar masyarakat
malas untuk berjalan kaki. Hal tersebut mengakibatkan sebagian besar masyarakat
ketergantungan dengan kendaraan pribadi. Keberadaan kendaraan umum
kenyataannya tidak digunakan dengan baik oleh masyarakat sedangkan, jika
masyarakat menggunakan kendaraan umum tersebut mereka secara tidak langsung
akan mengeluarkan tenaganya dengan berjalan kaki menuju lokasi tempat
pemberhentian kendaraan umum. Banyak masyarakat yang tidak sadar akan
bahaya obesitas sehingga sebagian besar masyarakat belum dapat mengatur pola
makannya dengan baik. Seseorang yang menderita obesitas akan berisiko tinggi
menderita berbagai penyakit lainnya seperti gangguan sistem kardiovaskular,
diabetes, hipertensi bahkan berisiko menderita kanker. Hal paling buruk yang
dapat terjadi pada penderita obesitas adalah terkena serangan jantung yang dapat
menyebabkan kematian (Wijayanti, 2013).
Obesitas merupakan penyebab kematian utama di dunia, sebanyak 3,4 juta
orang dewasa meninggal setiap tahunnya akibat obesitas. Dilaporkan 44%
kematian terjadi akibat diabetes, 7-14% adalah akibat kanker, semua itu

4
5

disebabkan oleh adanya obesitas (WHO, 2013). Selain kanker, hipertensi dengan
persentase 34,1% (Riskesdas, 2018) dan kardiovaskular dengan persentase 46,2%
(WHO, 2011).

2.2 Solusi yang Pernah Diterapkan untuk Memperbaiki Kondisi Pencetus


Gagasan
Langkah-langkah yang dilakukan sebelumnya oleh pemerintah untuk
menangani masalah obesitas salah satunya dengan program gerakan masyarakat
hidup sehat (GERMAS) dengan tujuan untuk membudayakan hidup sehat.
Kegiatan GERMAS dikakukan dengan mengampanyekan kegiatan aktivitas fisik,
konsumsi buah dan sayur, dan memeriksakan kesehatan secara rutin. Dengan
gerakan ini diharapkan terciptanya perilaku yang sehat sehingga dapat
menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit tidak menular seperti
obesitas. Tetapi dalam pelaksanaannya, keterbatasan dana, sumber daya, serta
kurangnya kesadaran masyarakat menjadi hambatan pelaksanaan GERMAS
sehingga pelaksaan GERMAS ini belum terlaksana secara optimal
(Cokroadhisuryani, 2018).
Selain itu sudah banyak juga cara yang ditawarkan untuk menangani
masalah obesitas, namun cara tersebut kebanyakan adalah suatu tindakan yang
harus dilakukan oleh para penderita obesitas itu sendiri. Seperti dengan cara
menurukan berat badan sendiri melalui panduan atau saran dari suatu iklan. Tetapi
cara tersebut memiliki risiko yang besar karena jika kurang memahami saran dari
suatu iklan tersebut, mereka akan jatuh dalam kondisi yang tidak seimbang dan
dari kesalahan dalam penerapan teori tersebut akan berdampak pada prevalensi
obesitas yang tidak akan turun. Selain itu penderita obesitas juga dapat
menurunkan berat badannya dengan cara berkonsultasi terlebih dahulu dengan
dokter ataupun personal trainer. Cara tersebut mungkin saja akan berpengaruh
besar terhadap penurunan angka penderita obesitas, tetapi kekurangan dari solusi
ini yaitu dana yang dikeluarkan cukup besar serta diperlukan cukup banyak waktu
untuk berkonsultasi dan bertatap muka secara langsung dengan dokter maupun
personal trainer. Meskipun semua solusi yang pernah ditawarkan tersebut sudah
dilaksanakan, namun pada kenyataannya masih banyak masalah obesitas yang
terjadi di Indonesia (Arywibowo, et al., 2009).

2.3 Seberapa Jauh Kondisi Terkini Pencetus Gagasan Dapat Diperbaharui


atau Dikembangkan
1. Mengedukasi Penderita Obesitas Tentang Kecukupan Gizi dengan
Menggunakan Aplikasi Food Nutrition Scanning
Aplikasi Food Nutrition Scanning adalah aplikasi yang bermanfaat sebagai
sarana edukasi kepada masyarakat yang menderita obesitas. Cara
menggunakan aplikasi Food Nutrition Scanning ini sangat mudah, setelah
pengguna memindai makanan yang akan konsumsi, maka selanjutnya layar

5
6

akan menampilkan jumlah gizi dari makanan tersebut dan berapa kecukupan
gizi yang harus dikonsumsi oleh pengguna aplikasi. Selain itu Food Nutrition
Scanning juga dilengkapi dengan sistem seperti alarm yang bisa mengingatkan
penggunanya apabila jumlah gizi yang dikonsumsi pada hari itu melebihi batas
normal sehingga pengguna aplikasi dapat mengantisipasi agar berat badannya
tidak meningkat dan tidak menimbulkan dampak buruk seperti penyakit
diabetes melitus, hipertensi, maupun jantung koroner.

2. Mempermudah Masyarakat Umum untuk Mengetahui Kecukupan Gizi


Makanan yang Dikonsumsinya dengan Menggunakan Aplikasi Food
Nutrition Scanning
Aplikasi Food Nutrition Scanning adalah aplikasi yang sangat menarik dan
mudah digunakan. Tidak hanya dapat digunakan oleh penderita obesitas saja
tetapi dapat juga digunakan oleh masyarakat umum karena didalam aplikasi
tersebut ada settingan untuk memasukkan data berapa usia pengguna aplikasi
sehingga nantinya sistem akan mengetahui berapa kecukupan gizi makanan
yang harus dikonsumsi oleh pengguna aplikasi. Tidak hanya itu aplikasi ini
juga dilengkapi dengan sistem database dimana nantinya pengguna bisa
menambahkan data komponen dari suatu makanan yang belum ada di dalam
aplikasi Food Nutrition Scanning. Bagi mereka yang tidak menderita obesitas
banyak manfaat yang bisa didapat dari aplikasi ini salah satunya dapat
mengetahui kecukupan gizi makanan yang harus dikonsumsinya sehingga
dapat mengontrol berat badan.

2.4 Peran Pihak yang Dipertimbangkan Dapat Membantu


Mengimplementasikan Gagasan
1. Progammer
Progammer sebagai pihak yang berperan dalam pembuatan aplikasi,
database dan juga menerangkan bagaimana cara mengoperasikan aplikasi
Food Nutrition Scanning kepada mahasiswa.
2. Mahasiswa Perguruan Tinggi
Peran mahasiswa di sini yaitu sebagai pengedukasi masyarakat dalam
penggunaan aplikasi Food Nutrition Scanning.
3. Media Massa
Berfungsi untuk tempat penyebaran informasi mengenai aplikasi ini
kepada masyarakat melalui media massa seperti tv, radio, koran, serta
majalah.
4. Masyarakat
Masyarakat di sini adalah sebagai konsumen yang harus bersikap
kooperatif serta menerima dengan baik aplikasi Food Nutrition Scanning
dan dapat menggunakan aplikasi ini dengan maksimal.

6
7

2.5 Langkah-langkah strategis :


1. Pembuatan aplikasi Food Nutrition Scanning oleh progammer yang
nantinya dapat diakses secara gratis oleh masyarakat.
2. Sosialisasi mengenai aplikasi tersebut kepada mahasiswa Fakultas
Kedokteran.
3. Pembuatan surat izin dari pihak fakultas untuk melakukan sosialisasi
mengenai aplikasi Food Nutrition Scanning kepada masyarakat umum.
4. Penyebaran informasi yang lebih luas mengenai kelebihan serta manfaat
penggunaan aplikasi Food Nutrition Scanning melalui media massa seperti
tv, radio, koran ataupun majalah.
5. Penyusunan laporan oleh mahasiswa
Penyusunan laporan ini bertujuan sebagai bahan evaluasi dan rekomendasi
khususnya untuk dinas kesehatan.
6. Evaluasi

BAB III
KESIMPULAN

3.1 Gagasan yang Diajukan


Aplikasi Food Nutrition Scanning merupakan aplikasi yang berfungsi
untuk memberikan informasi mengenai kecukupan gizi yang ada pada suatu bahan
makanan atau minuman yang harus dikonsumsi masyarakat. Manfaat dari aplikasi
Food Nutrition Scanning yaitu membantu masyarakat untuk mengetahui
kecukupan gizi yang telah dikonsumsinya.

3.2 Teknik implementasi


Aplikasi ini dirancang seperti scanning barcode, dimana nantinya setelah
pengguna memotret makanan tersebut sistem akan memindai apa saja komponen
bahan dan komposisi nutrisi dari bahan makanan tersebut. Misalnya nasi goreng,
maka nanti sistem akan menscan nasi goreng tersebut setelah itu di layar
smartphone anda akan menampilkan kandungan nutrisi dari masing-masing
komposisi bahan makanan yang dipakai untuk membuat nasi goreng tersebut.
Selain itu di dalam aplikasi ini kami juga menyediakan tampilan yang khusus
memperlihatkan komponen suatu makanan olahan. Misalnya seperti sate, maka
nantinya sistem akan memperlihatkan tabel yang berisikan komponen dari sate
tersebut. Karena kondisi wilayah Indonesia yang menyebar maka di dalam
aplikasi ini akan tersedia database yang bisa diisi oleh semua kalangan. Agar
aplikasi ini nantinya dapat memberikan informasi komposisi serta komponen
makanan-makanan yang ada di seluruh Indonesia. Selain makanan, minuman juga
bisa di scan dan ditambahkan dalam database aplikasi ini.

7
8

Gambar 3.2.1 Contoh Pengimplementasian Aplikasi Food Nutrition Scanning

3.3 Prediksi Hasil


Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tingkat obesitas yang ada di Indonesia
masih terbilang tinggi (Riskesdas, 2014). Maka dari itu melalui aplikasi Food
Nutrition Scanning ini diharapkan dapat menjadi suatu terobosan terkini yang
mampu meningkatkan kualitas gizi yang ada di Indonesia dimulai dari diri sendiri
hanya dengan menggunakan smartphone yang dimiliki, agar tercipta setidaknya
54,68% (APJII, 2018) penduduk Indonesia memiliki gizi yang baik dan tidak
terkena obesitas, setelah itu pemerintah dapat fokus kepada penduduk yang
mungkin belum terakses internet bisa mendapat bantuan dari pemerintah untuk
memperbaiki gizi mereka dan terakhir akan tercipta Indonesia sebagai negara
yang memiliki tingkat gizi penduduknya lebih baik dari negara lain.

DAFTAR PUSTAKA

Arywibowo, D. M., Prihartanti, N. & N.A, N. R., 2009. Penurunan Berat Badan
Pada Obesitas Melalui Pengaturan Diri.
APJII.2018. Potret Zaman Now Pengguna & Perilaku Internet Indonesia.Edisi
ke-23, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. Jakarta.
Budiyati. 2011. Analisis Faktor Penyebab Obesitas Pada Anak Sekolah di SD
Islam Al-Azhar 14 Kota Semarang.
Cahyaningtyas, M. D.2018. Hubungan Frekuensi Konsumsi Minuman Berkalori
dengan Status Gizi Pada Siswa di SMA Negeri 5 Surakarta.
Cokroadhisuryani, H. 2018. Analisis Pelaksanaan Gerakan Masyarakat Hidup
Sehat (GERMAS) di Wilayah Kerja Puskesmas Ngaglik I.

8
9

Damopolii, W., Mayulu, N. & Masi, G., 2013. Hubungan Konsumsi dengan
Kejadian Obesitas Pada Anak SD di Kota Manado.
Danari, A. L., Mayulu, N. & Onibala, F., 2013. Hubungan Aktivitas Fisik
dengan Kejadian Obesitas Pada Anak SD di Kota Manado.
Depkes RI. 2018. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan : Jakarta.
Diana, R., Yuliana, DI., Yasmin, G& H., 2013. Faktor Resiko Kegemukan
Pada Wanita Dewasa Indonesia.
Djanggan Sargowo dan Sri Andarini. 2011. The Relationship Between Food
Intake and Adolescent Metabolic Syndrome.
Gibney, M.J., Margetts, B.M., Kearney, J.M., dan Arab, L. 2009. Gizi Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Hidayati, D. R., 2017. Hubungan Asupan Lemak Dengan Kadar Trigliserida dan
Indeks Massa Tubuh Sivitas Akademika UNY.
Justitia, N. L., 2012. Hubungan Obesitas dengan Peningkatan Kadar Gula Darah
Pada Guru-Guru SMPN 3 Medan.
Maryam, P. S. E., Mardhiati, R. & Rachmawati, E., 2016. Hubungan Karakteristik
Anak, Karakteristik Orang Tua, Pola Makan, Aktivitas Fisik dan
Konsumsi Makanan Cepat Saji Dengan Kejadian Gizi Lebih.
Adriani, M . & Wirjatmadi, B . 2012. Pengantar Gizi Masyarakat.
Kencana Prenada Media Grup.Jakarta.
Pramono, A. & Sulchan, M. 2014. Kontribusi Makanan Jajan dan Aktivitas
Fisik Terhadap Kejadian Obesitas Pada Remaja di Kota Semarang.
Safitri, A., Jahari, A. B. & Ernawati, F., 2016. Konsumsi Makanan Penduduk
Indonesia Ditinjau dari Norma Gizi Seimbang.
Sirait, A. M. & Sulistiowati, E. 2014. Sindrom Metabolik Pada Orang Dewasa Di
Kota Bogor, 2011-2012, Volume 24.
Suiraoka, I. P. 2015. Pencegahan dan Pengendalian Obesitas Pada Anak Sekolah.
Sundari, E., Masdar, H. & Rosdiana, D. 2015. Angka Kejadian Obesitas
Sentral Pada Masyarakat Kota Pekan Baru. (Poltekes, 2010).
WHO. 2009. Global Health Risks Report 2009. WHO : France.
WHO. 2011. Regional Office for South-East Asia. Department of Sustainable
Development and Healthy Environments. Non Communicable Disease:
Hypertension.
Wijayanti , D. N. 2013. Analisis Faktor Penyebab Obesitas dan Cara Mengatasi
Obesitas Pada Remaja.
World Health Organization. 2010. Obesity: preventing and managing global
epidemic. Report of a WHO Consultation Technical Report .Series 894.
Geneva.Switzerland.
World Health Organization. 2013. Obesity and overweight. WHO technical report
series. Geneva.

9
10

Lampiran 1. Biodata Ketua dan Anggota


Biodata Ketua

A. Indentitas Diri
1 Nama Lengkap (dengan gelar) Ni Nyoman Putri Wantini
2 Jenis Kelamin Perempuan
3 Program Studi Kesehatan Masyarakat
4 NIM 1902561009
5 Tempat dan Tanggal Lahir Denpasar, 12 Oktober 2000
6 Alamat E-Mail putriwantini31@gmail.com
7 Nomor Telepon/HP 083119326038
B. Kegiatan Kemahasiswaan Yang Sedang/Pernah Diikuti
No Jenis Kegiatan Status dalam Kegiatan Waktu dan Tempat
1
2
3
C. Penghargaan Yang Pernah Diterima
No Jenis Penghargaan Pihak Pemberi Penghargaan Tahun
1.
2.
3.
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata
dijumpai ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi.
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu
persyaratan dalam pengajuan PKM-GT
Denpasar, 1 Desember 2019
Ketua Pengusul

(Ni Nyoman Putri Wantini)

10
11

Biodata Anggota
A. Identitas Diri
1 Nama Lengkap (dengan gelar) I Gusti Ayu Agung Mas Ariantini
2 Jenis Kelamin Perempuan
3 Program Studi Kesehatan Masyarakat
4 NIM 1902561008
5 Tempat dan Tanggal Lahir Dalung, 12 Januari 2001
6 Alamat E-Mail gungmas38@gmail.com
7 Nomor Telepon/HP 081353026547
B. Kegiatan Kemahasiswaan Yang Sedang/Pernah Diikuti
No Jenis Kegiatan Status dalam Kegiatan Waktu dan Tempat
1
2
3
C. Penghargaan Yang Pernah Diterima
No Jenis Penghargaan Pihak Pemberi Penghargaan Tahun
1.
2.
3.
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata
dijumpai ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi.
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu
persyaratan dalam pengajuan PKM-GT.
Denpasar, 1 Desember 2019
Anggota Tim

(I Gusti Ayu Agung Mas Ariantini)

11
12

Biodata Anggota
A. Identitas Diri
1 Nama Lengkap (dengan gelar) Ida Ayu Made Gia Cahyani
2 Jenis Kelamin Perempuan
3 Program Studi Kesehatan Masyarakat
4 NIM 1902561011
5 Tempat dan Tanggal Lahir Dsn. Geria Batuan, 29 Januari 2001
6 Alamat E-Mail giayani21@gmail.com
7 Nomor Telepon/HP 081239085095
B. Kegiatan Kemahasiswaan Yang Sedang/Pernah Diikuti
No Jenis Kegiatan Status dalam Kegiatan Waktu dan Tempat
1
2
3
C. Penghargaan Yang Pernah Diterima
No Jenis Penghargaan Pihak Pemberi Penghargaan Tahun
1.
2.
3.

Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata
dijumpai ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi.
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu
persyaratan dalam pengajuan PKM-GT.
Denpasar, 1 Desember 2019
Anggota Tim

(Ida Ayu Made Gia Cahyani)

12
13

Lampiran 2. Biodata Dosen Pendamping

A. Identitas Diri
1. Nama Lengkap (dengan gelar) Dr.dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih,
M.Sc.,SpGK
2. Jenis Kelamin Laki-Laki
3. Program Studi Pendidikan Dokter
4. NIP/NIDN 0021055807
5. Tempat dan Tanggal Lahir Denpasar, 21 Mei 1958
6. Alamat E-Mail ngurah_indraguna@unud.ac.id
7. Nomor Telepon/HP 08123816424
B. Riwayat Pendidikan
Program S-1 S-2 S-3
Pendidikan Dokter Fakultas - -
Kedokteran
Universitas
Udayana
MSc. Human Nutrition - LSHTM, London -
UK
Dr. Ilmu Kedokteran - - Pascasarjana
Universitas
Udayana
C. Rekam Jejak Tri Dharma PT
Pendidikan/Pengajaran
No Nama Mata Kuliah Wajib/Pilihan SKS
1 Gizi Klinik Wajib 3
2 Nutrisi Dasar Wajib 2
3 Workshop Obesity Wajib 1
Penelitian
No Judul Penelitian Penyandang dana Tahun
1 Analisis Kualitatif Jenis Antioksidan Pribadi 2010
Dalam Bumbu Babi Guling
2 Bumbu Babi Guling Menurunkan Pribadi 2011
Kadar Cholesterol Darah Yang
Diinduksi Oleh Mengkonsumsi
Daging Babi Pada Tikus Wistar
3 Analisa Bahan Aktif Bumbu Babi Universitas Udayana 2014
Guling Yang Dapat Menguap Yang
Bersifat Sebagai Antioksidan
4 Analisa Bahan Aktif Bumbu Babi Universitas Udayana 2016
Guling Yang Tidak Menguap Yang

13
14

Bersifat Sebagai Antioksidan

Pengabdian Kepada Masyarakat


No Judul Pengabdian kepada Penyandang Dana Tahun
Masyarakat
1 Pemeriksaan St Gizi Dan Pengenalan DIPA Universitas 2013
Sarapan Sehat Pada Siswa SDN No. Udayana
1 Tianyar Barat, Kubu, Karangasem
2 Sosialisasi Makan Gizi Seimbang DIPA Universitas 2012
Pada Siswa/I SD 1 Taro Kec. Udayana
Tegalalang- Gianyar
3 Penyuluhan Pola Makan Gizi DIPA Fakultas 2011
Seimbang Pada Siswa SDN Kedokteran
Abiansemal Di Kec. Abiansemal- Universitas Udayana
Badung
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata
dijumpai ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi.
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu
persyaratan dalam pengajuan PKM-GT.
Denpasar, 1 Desember 2019
Dosen Pendamping

( Dr.dr. Gede Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc.,SpGK)

14
15

Lampiran 3. Susunan Organisasi Tim Kegiatan dan Pembagian Tugas


No Nama/NIM Program Bidang Alokasi Waktu Uraian Tugas
Studi Ilmu (jam/minggu)
1 Ni Nyoman Kesehatan Kesehatan 8 jam/ minggu Membuat
Putri Masyarakat latar
Wantini/ belakang,
19025610009 tujuan,
manfaat,
solusi
sebelumnya,
kondisi
terkini
pencetus dan
menyunting.
2 I Gusti Ayu Kesehatan Kesehatan 8 jam/ minggu Membuat
Agung Mas Masyarakat kondisi
Ariantini/ terkini, daftar
1902561008 pustaka dan
lampiran
3 Ida Ayu Kesehatan Kesehatan 8 jam/ minggu Membuat
Made Gia Masyarakat pihak terkait,
Cahyani/ langkah
1902561011 strategis,
kesimpulan
dan mencari
ide.

15
16

Lampiran 4. Surat Pernyataan Ketua Tim Pelaksana

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN


PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS UDAYANA
Alamat : Kampus Unud Bukit Jimbaran Badung, Bali
Telepon (0361) 701954, 701797, Fax (0361) 701907
Laman www.unud.ac.id

SURAT PERNYATAAN KETUA PELAKSANA

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : Ni Nyoman Putri Wantini
NIM : 1902561009
Program Studi : Kesehatan Masyarakat
Fakultas : Kedokteran

Dengan ini menyatakan bahwa proposal PKM –GT saya dengan judul Inovasi
Perencanaan Aplikasi Food Nutrition Scanning Untuk Mengontrol Kecukupan
Gizi Penderita Obesitas untuk tahun anggaran 2019 adalah asli karya kami dan
belum pernah dibiayai oleh lembaga atau sumber dana lain.

Bilamana di kemudian hari ditemukan ketidaksesuaian dengan pernyataan ini,


maka saya bersedia dituntut dan diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dan mengembalikan seluruh biaya yang sudah diterima ke kas negara.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sesungguhnya dan dengan sebenar –
benarnya.

Dosen Pendamping, Denpasar, 1 Desember 2019


Yang menyatakan,

(Dr.dr.Gde Ngurah Indraguna (Ni Nyoman Putri Wantini)


Pinatih,M.Sc.,SpGK ) NIM. 1902561009
NIDN. 0021055807

Mengetahui,
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan
dan Informasi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana

(Dr. dr. I Made Sudarmaja, M. Kes)


NIP. 19660824 199601 1 001

16
1
“KAJIAN ISU”
PENDIDIKAN KEDOKTERAN, KUALITAS ATAU
KUANTITAS?

RIBOFLAVIN
NUTRISI
11

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2020

1
Latar Belakang
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi kini tengah membuka
fakultas kedokteran baru guna mewujudkan jumlah dokter yang ideal, namun
kurang memperhatikan dari segi kualitas sistem pendidikan kedokteran.
Berdasarkan pada pasal 36 Undang-Undang No. 20 tahun 2013 mengenai
Pendidikan Kedokteran, dimana pada tahun 2014 pertama kalinya diberlakukan
Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter, yang menjadi syarat
mahasiswa kedokteran memperoleh sertifikat profesi dan kompetensi. Kini sekitar
83 fakultas kedokteran telah tersebar di Indonesia dan kemungkinan akan terus
bertambah. Sekilas penambahan jumlah fakultas kedokteran menjadi kabar yang
menggembirakan, namun menimbulkan berbagai kontroversi dimana kualitas
fakultas kedokteran sendiri belum dapat dikatakan baik (Putri, 2018).

Penjabaran Masalah
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, moratorium memiliki arti
penundaan dan penangguhan. Jadi, moratorium Fakultas Kedokteran memiliki arti
penundaan atau penangguhan izin mendirikan Fakultas Kedokteran yang baru.
Sebelumnya moratorium Fakultas Kedokteran dilakukan dengan beberapa alasan,
yaitu (1) Daerah terpencil di Indonesia masih belum terjangkau oleh tenaga
kesehatan; (2) Lulusan dokter umum di Indonesia berlebih, dimana lulusan dokter
spesialis sedikit; dan (3) Fakultas kedokteran dengan akreditasi C masih banyak
dan perlu peningkatan kualitas (Hidayat, 2016).

Pembahasan
Berakhirnya moratorium Fakultas Kedokteran terjadi pada tahun 2017,
dimana Menristekdikti, Mohammad Nasir mencabut moratorium izin mendirikan
Fakultas Kedokteran dengan alasan masih kurangnya jumlah dokter tersebar di
Indonesia guna mencapai SDGs tahun 2030 dimana kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat secara menyeluruh. Disamping itu telah terjadi peningkatan dari
akreditas C menjadi akreditasi B. Persentase akreditasi berubah, dari 83 fakultas
kedokteran, 17 di antaranya terakreditasi A, 34 akreditasi B, 22 akreditasi C, dan
10 lain mengantongi akreditasi minimal. Padahal ketika itu hanya 8 dari 23

1
Fakultas Kedokteran yang terakreditasi C menjadi akreditasi B. Menurut
Bambang, idealnya pencabutan moratorium Fakultas Kedokteran dilakukan ketika
jumlah Fakultas Kedokteran terakreditasi C tersisa hanya 10 persen. Hal ini
membuktikan bahwa, fakultas kedokteran dengan akreditasi C (terendah)
menyumbang persentase yang banyak, yang tentunya menjadi beban bagi
pemerintah (Hidayat, 2016).
Terkait permasalahan kurangnya dokter di Indonesia berdasarkan data
Konsil Kedokteran Indonesia tahun 2016, dokter mencapai 110.720 orang, dimana
seorang dokter dapat melayani 2.270 penduduk. Jika mengacu pada standar World
Health Organization (WHO) dimana perbandingannya adalah 1: 2500, maka
sesungguhnya jumlah dokter di Indonesia sudah memenuhi kebutuhan, bahkan
dapat dikatakan kelebihan jumlah dokter di Indonesia. Namun, kementerian
menargetkan rasio dokter Indonesia 1:2.000 mengingat perkiraan di tahun 2030,
Indonesia diprediksi mengalami kekurangan dokter sebanyak 25.740 tiap
tahunnya (Kemenristekdikti, 2017).
Pendidikan kedokteran merupakan salah satu pendidikan yang krusial
mengingat tanggung jawab nantinya yang diemban untuk keselamatan nyawa
seseorang. Pembina Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
mempertanyakan mengenai pembukaan Fakultas Kedokteran baru, melihat dari
Fakultas Kedokteran yang saat ini berjalan saja masih belum memiliki sumber
daya manusia, sarana dan prasarana, dan akreditasi kelulusan kompetensi yang
terbilang rendah (YLKI, 2018).
Selama ini pemerintah terkesan sangat mudah membuka Fakultas
Kedokteran baru, sedangkan hasil akreditasi dan UKMPPD masih belum sesuai
harapan, karena hal yang ditakutkan adalah dengan pembukaan FK baru kembali
hanya menjadi beban mendatang bagi negara.
Berdasarkan atas analisis PNUKMPPD beserta tim ahli, hasil UKMPPD
berkorelasi positif terhadap status program studi kedokteran. Berdasarkan data
UKMPPD hingga akhir 2017, fakultas kedokteran yang terakreditas A,
mahasiswanya yang mengikuti UKMMPD lulus >80% dengan jumlah
keseluruhan peserta di atas 500 orang, sedangkan fakultas kedokteran
berakreditasi C mahasiswanya lulus dalam UKMPPD <50% dari 200 peserta.

2
Namun juga terdapat fakultas kedokteran berakreditasi A yang meluluskan
mahasiswanya <50%. Hal ini dikarenakan sistem penerimaan mahasiswa yang
kurang baik 10 tahun sebelumnya. Terdapat juga fakultas kedokteran berakreditas
C yang meluluskan mahasiswanya >50% (Kemenristekdikti, 2016a;
Kemenristekdikti 2016b).
Fakultas Kedokteran yang telah terakreditasi belum tentu menjamin kualitas
dari sumber daya manusianya, begitu sebaliknya. Akreditasi FK salah satunya
diambil dari kelulusan mahasiswanya, namun sistem UKMPPD saat ini masih
dianggap kurang diperbaiki, pasalnya penilaian OSCE masih menggunakan
penilaian lokal sehingga masih dapat kemungkinan celah subjektifitas dan
ketidaksetaraan kelulusan tiap daerah, namun diketahui bahwa keterampilan
seorang dokter tidak dapat dinilai hanya dari OSCE.

Solusi dan Langkah Konkret


Jika dikaji kembali peningkatan akreditasi Fakultas Kedokteran di Indonesia
tidak signifikan. Oleh karena itu diperlukan pengawasan, pengelolaan, serta
pembinaan dari kementerian riset dan pendidikan tinggi agar adanya peningkatan
mutu pendidikan Fakultas Kedokteran yang lebih progresif. Meningat tugas utama
dari Kemenristekdikti adalah peningkatan kualitas pendidikan, karena apabila
hanya peningkatan kuantitas tanpa pengembangan kualitas, akan memberatkan
negara kedepannya. Adapun hal yang perlu ditingkatkan untuk kualitas Fakultas
Kedokteran, adalah:
1. Pengkajian kembali sistem UKMPPD
Peningkatan kualitas ini dapat dilakukan dengan mengkaji kembali
khususnya dalam sistem UKMPPD saat ini yang angka kelulusannya rendah.
Apakah sistem penilaian CBT dan OSCE sudah sesuai dan dapat menilai kualitas
dokter di masa depan.
2. Kualitas Sarana dan Prasarana
Sarana dan Prasarana ditiap Fakultas Kedokteran pun harus lebih
diperhatikan. Karena tanpa adanya prasarana yang memadai, pendidikan
kedokteran yang dekat dengan alat dan teknologi menjadi sia-sia seberapa baiknya
pun sumber daya manusia yang dimilikinya.

3
3. Sistem Masuk Fakultas Kedokteran
Akreditasi Fakultas Kedokteran dipengaruhi juga oleh sumber daya
manusianya. Kualitas mahasiswa kedokteran juga tercermin dari bagaimana
seleksi masuk Fakultas Kedokteran. Saat ini penilaian masih sebatas SNMPTN,
SBMPTN, dan mandiri. Baiknya apabila kedepannya dapat dilakukan seleksi
psikotes dan kesehatan. Mengingat menjadi dokter tak hanya sehat akademik,
namun sehat mental dan fisik perlu diperhatikan. Sehingga kedepannya, mental
yang masuk Fakultas Kedokteran memang mental seorang dokter yang baik.

Pendirian Fakultas Kedokteran yang baru cukup membuat ketakutan di mata


masyarakat. Masyarakat khawatir akan pendirian FK yang terus menerus tidak
diiringi oleh peningkatan kualitas yang mumpuni. Oleh karena itu, akreditasi dan
kualitas Fakultas Kedokteran harus terus ditingkatkan guna memenuhi standar dan
kepercayaan masyarakat kepada profesi dokter masih tetap terjaga.

4
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, R. Darurat Dokter Lulusan Fakultas Kedokteran Akreditasi C. [Online].


Diakses pada 4 September 2019. Diambil dari:
http://ldkti12.ristekdikti.go.id/2017/09/07/moratorium-pembukaan-prodi-
kedokteran-dicabut -mutu-dipertaruhkan.html
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. 2017.
Moratorium Pembukaan Prodi Kedokteran Dicabut, Mutu Dipertaruhkan.
[Online]. Diakses pada 4 September 2019. Diambil dari:
http://ldkti12.ristekdikti.go.id/2017/09/07/moratorium-pembukaan-prodi-
kedokteran-dicabut -mutu-dipertaruhkan.html
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. 2016a.
Potret Pendidikan Kedokteran di Indonesia dalam Menghadapi Tantangan
Era Revolusi Industri 4.0. Diakses pada 4 September 2019. Diambil dari:
https://ristekdikti.go.id/kabar/potret-pendidikan-kedokteran-di-Indonesia-
dalam-menghadapi-tantangan-era-revolusi-industri-4-
0/#Y2zderwHJ49WliwG.99
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. 2016b.
Distribusi Dokter Bermasalah. Diakses pada 4 September 2019. Diakses
dari: http://ldkti12.ristekdikti.go.id/2016/05/10/distribusi-dokter-
bermasalah.html
Putri, A.W. 2018. Karut Marut Sistem Pendidikan Kedokteran Indonesia.
[Online]. Diakses pada 3 September 2019. Diambil dari: https://tirto.id/cNit
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). 2018. Bom Waktu Pendidikan
Kedokteran. [Online] Diakses pada 4 September 2019. Diambil dari:
https://ylki.or.id/2018/08/bom-waktu-pendidikan-kedokteran/
Lampiran 1.
Bom Waktu Pendidikan Kedokteran

Bak cendawan di musim penghujan! Itulah gambaran nyata maraknya


pendidikan kedokteran di Indonesia. Kini tidak kurang dari 83 fakultas
kedokteran, yang tersebar di seluruh Indonesia, dan fenomenanya akan terus
bertambah. Sepintas banyaknya jumlah fakultas kedokteran adalah hal yang
menggembirakan. Namun, jika didalami, fenomena ini justru menggambarkan
adanya masalah serius yang membelit pada dunia pendidikan kedokteran di
Indonesia.
Maraknya pendidikan kedokteran, menyisakan pertanyaan mendasar,
misalnya, apakah hal ini mencerminkan adanya ratio dokter yang masih kurang
dibanding jumlah penduduk? Dan apakah fenomena tersebut dibarengi dengan
kualitas alumni kedokteran? Berikut ini diskripsi penjelasannya.
Ada beberapa faktor kenapa fakultas kedokteran di Indonesia menjamur.
Secara sosiologis dokter masih merupakan profesi bergengsi. Masyarakat akan
bejibaku masuk ke fakultas kedokteran, sekalipun biayanya selangit. Demikian
juga banyak pimpinan daerah yang sok gengsi, ngotot agar perguruan tinggi di
daerahnya punya fakultas kedokteran. Bahkan ada hal yang ironis terkait hal ini.
Banyak pimpinan universitas, menjadikan fakultas kedokteran sebagai tambang
uang bagi institusinya. Jadi tujuan mendirikan fakultas kedokteran hanya sebagai
business oriented only. Maka tidak heran jika mereka mematok harga selangit
pada calon mahasiswanya.
Lalu apakah jumlah dokter di Indonesia masih kurang? Data menunjukkan,
di Indonesia kini terdapat 180 ribuan dokter, terdiri atas 128 ribuan dokter umum
dan dokter gigi, dan sisanya adalah dokter spesialis. Jika mengacu pada standar
WHO perbandingannya adalah 1: 2.500 orang, maka jumlah dokter di Indonesia
sudah sesuai kebutuhan. Bahkan sudah terjadi inflasi, alias over kuota dokter.
Masalah krusialnya justru pada distribusi dokter yang sangat tidak merata. Jumlah
dokter yang mencapai 180 ribuan itu secara dominan hanya tersebar pada 11
provinsi, dari 34 provinsi di Indonesia. Para dokter lebih asyik menambang uang

6
(berpraktik) di kota-kota besar saja. Jadi yang sangat mendesak adalah distribusi
dokter ke seluruh pelosok Indonesia, bukan memproduksi dokter secara ugal-
ugalan, bak sopir angkutan mengejar setoran.
Bagaimana dengan profil pendidikan kedokteran yang ada? Dari 83 fakultas
kedokteran sebarannya adalah sebagai berikut; 22 fakultas (27 persen)
terakreditasi A, 37 fakultas (45 persen) terakreditasi B, dan 24 fakultas (29
persen) terakreditasi C. Dengan kata lain, jika dilihat status akreditasinya,
mayoritas fakultas kedokteran di Indonesia (55 persen) kualitasnya
mengkhawatirkan. Apalagi fakultas kedokteran dengan akreditasi C, yang
jumlahnya cukup signifikan (24 fakultas, 29 persen).
Inilah bukti, bahwa pemerintah–Ditjen Dikti Kemenristek dan Perguruan
Tinggi, di satu sisi “mengobral” izin operasional fakultas kedokteran, tetapi di sisi
lain gagal dalam menstandardisasi kualitas fakultas kedokteran. Padahal
Menristek dan Perguruan Tinggi, Muhammad Nasir, pernah menjanjikan bahwa
jika fakultas kedokteran dengan akreditasi C mengalami kegagalan hingga dua
kali untuk naik tingkat, maka fakultas kedokteran tersebut akan ditutup alias
dicabut izin operasinya. Tetapi hal ini tidak pernah dilakukan, hingga detik ini
belum ada satupun fakultas kedokteran dengan akreditasi C yang ditutup, akibat
tidak mampu meningkatkan statusnya. Ini menunjukkan Menristek inkonsisten
dan tidak peduli dengan kualitas lulusan kedokteran. Menristek tidak peduli
dengan patient safety, sebagai basis profesi kedokteran. Secara empirik
pendidikan kedokteran dengan akreditasi C hanya akan menghasilkan lulusan
“abal-abal”.
Hal ini bisa ditengarai dari 2.700-an alumni kedokteran yang tidak lulus
ujian sertifikat kompetensi, mayoritas adalah lulusan fakultas kedokteran dengan
akreditasi C. Tanpa mengantongi sertifikat kompetensi, seorang dokter tidak akan
bisa membuka izin praktik alias “dokter tanpa stetoskop”. Ibarat seorang hakim
tidak boleh menangani suatu perkara di pengadilan, alias “hakim non palu”. Tentu
hal ini terasa sangat menyakitkan, baik bagi orang tua dan terutama bagi lulusan
kedokteran. Yang sungguh mengerikan, fenomena “dokter tanpa stetoskop” akan
terus bertambah.

7
Mengingat setiap tahun tidak kurang dari 10-12 ribuan alumni kedokteran di
Indonesia. Jika fenomena ini terus dibiarkan, tanpa kontrol dan kendali yang jelas
maka akan menjadi permasalahan sosial yang sangat mengerikan. Akan ada
pengangguran dokter! Sebuah bom waktu yang siap meledak setiap saat! Harus
ada langkah radikal dari sisi hulu, untuk mengatasi hal ini, yakni, pertama, Ditjen
Dikti Kemenristek dan Perguruan Tinggi harus menghentikan aksi “obral izin
operasional” fakultas kedokteran.
Harus ada moratorium mendirikan fakultas kedokteran! Patut diduga, ada
oknum Ditjen Dikti yang bermain mata dengan pihak universitas bahkan
pimpinan daerah, untuk meloloskan izin operasi fakultas kedokteran sekalipun
tanpa rekomendasi dari KKI (Konsil Kedokteran Indonesia), AIPKI (Asosiasi
Ilmu Pendidikan Kedokteran Indonesia), PBIDI (Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia), dan asosiasi profesi lainnya.
Kedua, Ditjen Dikti harus berani menutup izin operasi fakultas kedokteran
yang tidak mampu meningkatkan derajat akreditasinya, khususnya akreditasi C.
Jangan pertaruhkan reputasi profesi kedokteran dan patient safety, hanya karena
mempertahankan fakultas kedokteran tertentu. Lebih baik ditutup daripada
menyisakan bom waktu di kemudian hari.
Ketiga, pimpinan universitas jangan menjadikan fakultas kedokteran sebagai
gengsi , tanpa dibarengi dengan investasi sumber daya manusia dan infrastruktur
memadai. Jangan pula fakultas kedokteran untuk tambang uang.
Orang tua dan calon mahasiswa jangan memaksakan diri masuk ke fakultas
kedokteran jika memang tidak mempunyai kemampuan intelektual yang cukup.
Jangan hanya karena punya uang segunung, memaksakan diri masuk ke fakultas
kedokteran yang mutunya tidak jelas. Praktik komersialisasi ujian kompetensi
juga harus dihentikan. Patut diduga selama ini panitia nasional ujian kompetensi
hanya ingin mendulang uang semata.
Biaya ujian Rp 1.000.000 per orang, adalah kue bisnis yang lumayan
menggiurkan. Dan patut diwaspadai, guna meloloskan alumni kedokteran yang
masih magkrak itu, yang jumlahnya 2.700-an, ada wacana untuk mendegradasi
ujian kompetensi. Misalnya, dengan mempermudah soal ujian atau bahkan
meniadakan ujian kompetensi.

8
Jika upaya tersebut berhasil, maka tamatlah riwayat kualitas dan
profesionalitas dokter di Indonesia. Yang tersisa hanyalah profesi “terkun”, alias
dokter tapi dukun. Mendegradasi ujian kompetensi sama artinya mendorong
terjadinya fenomena malpraktek profesi kedokteran. Dan siapa lagi yang akan
menjadi korban massal, kalau bukan konsumen/pasien sebagai pengguna jasa
profesi kedokteran. Apakah ini yang akan diwariskan oleh rezim sekarang? ***

9
“RESUME JURNAL”
Prevalence of Metabolic Syndrome Diagnosed by Three
Different Criteria in School-Aged Children from Rural and
Urban Areas of Northwest Mexico

RIBOFLAVIN
NUTRISI
11

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2020

10
Judul Prevalence of Metabolic Syndrome Diagnosed by
Three Different Criteria in School-Aged Children
from Rural and Urban Areas of Northwest Mexico
Nama Jurnal Journal of Metabolic Syndrome

Volume dan Vol. 4 dan Hal.1-9


Halaman

Tahun 2015
Author Cecilia Ramírez-Murillo

Co-author Elizabeth Guillot-Sánchez, Elizabeth Artalejo-Ochoa Q


B, Alma E. Robles-Sardin, José A. Ponce-Martínez,
María I Grijalva-Haro, Graciela Caire-Juvera, María I.
Ortega-Vélez and Martha N. Ballesteros-Vásquez
DOI 10.4172/2167-0943.1000181

Abstrak Pada jurnal ”Prevalence of Metabolic Syndrome


Diagnosed by Three Different Criteria in School-Aged
Children from Rural and Urban Areas of Northwest
Mexico” meneliti bahwa salah satu federasi
internasional yakni The Internasional Diabetes
Federation memberikan evaluasi bahwa anak yang
kurang dari 10 tahun , diluar dari faktor genetic pada
keluarga, kelaziman oleh berat badan serta obesitas
pada daerah Northwest Mexico semakin hari
peningkatan nya semakin tinggi. Ini membuat populasi
akan terkena nya Metabolic syndrome lebih meningkat.
Dalam abstrak ini, terdiri pada satu bahasa yakni
bahasa Inggris. Pada abstrak ini, memberikan
gambaran umum tentang penelitian yang dibuat pada
jurnal secara singkat serta memberikan langsung point
yang telah diteliti dan dibahas. Sehingga mudah
mengetahui inti dari permasalahan nya.
Tujuan Untuk mengetahui mengetahui evaluasi pada anak-
anak usia dibawah 10 tahun mengenai metabolic
syndrome
Pendahuluan Di penelitian ini, para penulis memberitahu di awal
paragraf bahwa kelebihan berat badan dan obesitas
memberikan resiko bahwa dapat menyebabkan
penyakit jantung dan tipe 2 Diabetes Mellitus. Faktor
dari kedua penyakit tersebut kelebihan berat badan
diarea perut,hipertensi, tidak tolerannya glukosa.
Di paragraf kedua dan ketiga , penulis memberi tahu
bahwa salah satu kesulitan dalam mengevaluasi ini
adalah karena perubahan insulin pada saat anak anak
dan daya tahan insulin pada pada saat pubertas. Dan
sekarang ini untuk mencari penyebab Metabolic
syndrome di perbedaan usia pada perbedaan populasi
karena perkembangan nya yang pesat. Hal ini juga
dapat membantu dan mengetahui seberapa tinggi
resiko yang dialami.
Di paragraf terakhir ini , menjelaskan bahwa daerah
Mexico T2DM dan penyakit jantung salah satu
penyebab kematian utama pada orang dewasa. Resiko
ini didapat karena pada masa anak-anak faktor
keturunan dan gaya hidup. Ada dua area di daerah
Northwest Mexico yakni di rural dan urban. Di area
urban sendiri memiliki banyak warganya yang
mengalami obesitas daripada kelebihan berat badan
bagi anak.
Metode Pada bagian metode, penulis menggunakan 4 langkah
yakni sample seleksi, protokol pembelajaran, analisis
biokimia dan analasis statiska. Sample seleksi, dipilih
nya beberapa sekolah dari berbagai tempat, kemudian
rentang umur yang digunakan adalah 6-9 tahun dan
total anak yang dijadikan sample ada 295 anak.
Protokol pembelajaran nya, mengundang para orang
tua dan anak nya untuk berpartisipasi dalam penelitian
ini. Para orang tua akan diberi kuisioner untuk
memperoleh informasi serta terdapat wawacara
langsung untuk mengetahui sejarah keluarga yang
memiliki obesitas, diabetes, dan penyakit jantung.
Kemudian analisis biokimia dengan melakukan
pengecekan sample darah pada individu untuk
mengetahui dan untuk mendiagnosis apa yang dialami
pada individu tersebut. Analisis statiska dengan
mengumpulkan data -data yang diperoleh dari
beberapa tahap yang dilalui. Kemudian memverifikasi
data tersebut dan mendeskripsikan statistik berapa
banyak yang normal, terkena obesitas dan kelebihan
berat badan dari dua area tersebut. Data yang
didapatkan telah memenuhi standar yang ditentukan.
Hasil Di hasil ini , penulis tidak ada perbedaan yang
menonjol antara rural dan urban dalam kurun watu 5 –
10 tahun pada tekanan darah dan indikator AN.
Terdapat perbedaan statistik yang menonjol antar
Urban dan Rural yaitu pada variabel metabolik. Ada
juga anak-anak yang insulinnya mmemiliki level tinggi
yaitu terdapat 15 anak , 9 orang dari rural dan 6 dari
urban. Kebanyakan dari mereka yang dijadikan sampel
memiliki keturunan dari keluarga yang obesitas,
diabetes dan penyakit jantung.
Pembahasan Tidak hanya keturunan yang menjadi penyebab, ada
beberapa faktor lainnya yaitu kurang nya aktifitas fisik
dan diet sehat. Karena makanan yang dikonsumsi oleh
anak-anak tersebut juga menjadi salah satu faktor.
Obesitas sentral faktor utama yang menjadi resiko
terjadi nya penyakit jantung dan T2DM tidak termasuk
anak-anak yang bukan obesitas karena memiliki
perubahan metabolik
Kekuatan Pada jurnal ini, memiliki pendahuluan yang terperinci
Penelitian dan jelas, hasil yang di peroleh di penelitian pada data
sangat memudahkan untuk mengetahui yang faktor
faktor yang terjadi.
Kelemahan Tidak terdapat nya informasi lebih lanjut tentang
Penelitian aktifitas fisk seperti apa dan diet seperti apa yang
diperlukan.
“STUDENT PROJECT”
EPIDIDIMITIS

NUTRISI
11

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena

berkat rahmat-Nya penulis mampu menyelesaikan student project yang berjudul

“Epididimitis” dengan baik.

Student project ini disusun dalam rangka memenuhi penugasan tugas akhir.

Dalam penyusunan student project ini, berbagai bantuan, petunjuk, serta saran dan

masukan penulis dapatkan dari banyak pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan

ini penulis berterimakasih kepada beberapa pihak yang membantu melancarkan

pembuatan dari karya tulis ilmiah ini.

Penulis sadar bahwa student project ini masih jauh dari sempurna.

Penulis berharap agar mendapatkan kritik dan saran yang membangun demi

penyempurnaan karya tulis ini. Akhir kata semoga student project ini dapat

membantu berbagai pihak.

Denpasar, Mei 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL……………………………………………………………ii
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1
BAB II ..................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 2
2.1 Definisi ..................................................................................................... 2
2.2 Epidemiologi ............................................................................................ 2
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko........................................................................ 3
2.4 Patogenesis ............................................................................................... 3
2.5 Diagnosis ................................................. Error! Bookmark not defined.
2.6 Diagnosis Banding.................................................................................... 4
2.7 Penatalaksanaan/Manajemen .................................................................... 6
2.8 Komplikasi ............................................................................................... 7
2.9 Pencegahan ............................................................................................... 7
2.10 Prognosis .................................................................................................. 8
BAB III.................................................................................................................... 9
PENUTUP ............................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Epididimitis merupakan infeksi akibat terjadinya inflamasi pada struktur
tubular yang terletak pada daerah posterior dan superior testis sebagai tempat
pematangan sperma, yaitu epididimis. Epididimitis biasanya diakibatkan oleh
bakteri. Penderita epidididmitis biasanya mengeluh sakit bagian panggul dan
skrotum yang lebih sering merupakan tanda awal dari fase akut. Keluhan lain
yang sering ditemukan pada sistem perkemihan adalah dysuria, frekuensi kencing,
urgensi, keluarnya cairan uretra.1
Epididimis dapat terjadi pada pria segala usia, dengan rentang usia 20
hingga 39 tahun. Sebanyak 50% dari penderita epididimis diakibatkan oleh
Chlamydia trachomatis danNeisseria gonorrhoea pada pria berumur kurang dari
39 tahun. Setelah umur 39 tahun, epididimitis sering diakibatkanoleh Escherichia
coli dan bentuk bakteri coli yang terdapat pada sistem gastrointestinal. Edidimitis
juga dapat diakibatkan oleh gerakan yang repetitif pada skrotum dan konten di
dalamnya yang menimbulkan inflamasi bukan hanya pada testis, tetapi juga pada
epididimis.1
Epididimitis dapat terjadi secara akut dan kronis, bahkan dapat menjadi
salah satu kondisi darurat dengan frekuensi kejadian yang cukup sering.1 Hasil
akhir pada epididimitis yang diobati memiliki prognosis kesembuhan yang baik,
tetapi kekambuhandapat terjadi pada individu yang tidak diobati.2
Statistika mengenai epididimitis masih belum diketahui secara pasti.3 Data
studi terkini di Indonesia mengenai epididimitis masih terbatas. Data terakhir
epididimitis di Indonesia disinggung pada tahun 2003. 4 Berdasarkan latar
belakang di atas, pembahasan secara komprehensif mengenai epididimitis
diperlukan untuk meningkatkan pemahaman penyakit berikut tatalaksananya di
masyarakat.

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Epididimisadalah sebuah struktur pada sistem genitourinaria pria yang
berfungsi sebagai tempat dimana terjadi maturasi sperma sebelum dikeluarkan
melalui proses yang disebut ejakulasi. Epididimitis sendiri merupakan sebuah
infeksi yang menyebabkan terjadinya inflamasi pada daerah tuba melingkar dekat
testis, dan menghasilkan rasa sakit di bagian regio scrotal posterior. 5 Terkadang,
infeksi tersebut dapat menyebar ke testis itu sendiri dan menyebabkan
pembengkakan serta rasa gatal, yang disebut dengan kondisi epididymo-
orchitis.6 Gejala yang ditimbulkan oleh pria yang terkena epididimitis adalah
nyeri skrotum unilateral dan pembengkakan epididymis, serta disertai oleh rasa
sakit dan peningkatan sensitivitas dari daerah tersebut.1,7
Apabila dibiarkan, infeksi ini dapat menyebabkan infark dan atrofi testis
sehingga menyebabkan kematian dari organ, yang mengarah kepada infertilitas.
Meskipun sangat jarang, pada kasus ekstrim, infeksi mungkin saja dapat
menyebar secara sistemik, menyebabkan sepsis sehingga terjadi kematian.8
2.2 Epidemiologi
Epididimitis adalah penyebab paling umum untuk nyeri skrotum pada orang
dewasa. Para peneliti menemukan bahwa hampir 80% kunjungan ke ahli urologi
karena nyeri skrotum adalah untuk epididimitis kronis.9Seperti namanya,
epididimitis hanya terjadi pada pria dan dapat terjadi pada pria dari segala usia,
tetapi sebagian besar kasus epididimitis paling sering terjadi pada pria usia 19
hingga 35 tahun.10
Di Amerika Serikat, hampir 600.000 kasus epididimitis terjadi setiap
tahunnya.11Sementara itu, data di Inggris menunjukkan bahwa angka kejadian
epididimitis adalah 25/10000 orang setiap tahunnya. Epididimitis juga lebih
umum pada populasi militer dan pada pria yang memiliki riwayat hubungan
seksual yang tidak sehat.12 Dalam sebuah penelitian tentara tentara Amerika
Serikat, tingkat kejadian epididimitis tertinggi pada pria yang berusia 20 dan 29
tahun.11

2
3

Di Asia Tenggara, insiden penyakit menular seksual yang disebabkan oleh


Chlamydia trachomatis dan Neisseria gonnorheae masing-masing sekitar 7,2 juta
dan 25,4 juta. Di Indonesia, data penelitian World Health Organization
menemukan bahwa ada 23% dan 29,7% penyakit menular seksual di Indonesia
disebabkan oleh Chlamydia trachomatis dan Neisseria gonnorheae.13
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko
Sebagian besar kasus epididimitis yang menular diakibatkan oleh infeksi
bakteri pada area uretra, prostat, dan kandung kemih. Pada laki-laki dengan usia
di bawah 14 tahun dan di atas 35 tahun, Escherichia coli merupakan penyebab
utama dari terjadinya epididimitis. Sedangkan pada pria yang aktif berhubungan
seksual, yaitu pria dengan rentang usia 14 sampai 35 tahun, Neisseria
gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis merupakan organisme yang sering
dijumpai dalam kasus–kasus epididimitis. Epididimitis kronis biasanya
diakibatkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis serta organisme lain yang
menginduksi granulomatous reaction. Infeksi virus, terutama golongan
enterovirus dan adenovirus, menjadi penyebab utama epididimitis pada anak-
anak.3
Untuk kasus epididimitis yang tidak menular biasanya disebabkan oleh
trauma, biopsi post-prostatic dan post-vasectomy inflamasi epididimal,
sarcoidosis, Behçet disease, serta efek samping penggunaan obat amiodarone.
Berhubungan seksual tanpa menggunakan alat pengaman dapat meningkatkan
faktor risiko terjadinya epididimitis. Pria yang memiliki letak anatomis saluran
kemih yang tidak normal juga dapat meningkatkan risiko menderita epididimitis.3
2.4 Patogenesis
Epididimitis akibat hubungan seksual, bakteri bermigrasi melewati saluran
genitourinaria ke epididimis. Hal ini disebabkan oleh aliran urin yang retrograde
di sepanjang saluran genitourinaria. Ketika gerakan tersebut terjadi, mobilitas
skrotum dan isinya dapat menyebabkan peradangan pada testis atau epididimis.1
Menurut Campbell, transmisi dari infeksi epididimitis berawal dari
meningkatnya kadar patogen dalam uretra yang dapat menghasilkan urethritis
dimana hal ini diperkuat dengan banyak penelitian yang telah dilakukan melalui
menyelidiki mikroorganisme yang terkandung dalam urin dan jaringan
4

epididimis.12Meskipun penyebab utama infeksi ini adalah penyakit menular


seksual tetapi juga dapat didapatkan oleh pasien yang memiliki patogen enterik
dan Mycobacterium tuberculosis yang menginfeksi melalui penyebaran
hematogen.14
2.5 Diagnosis
Ketika infeksi bakteri terjadi, epididimis berangsur mengalami
pembengkakan dan nyeri. Hal tersebut biasanya hanya terjadi pada satu testis,
dibanding keduanya. Gejala ini dapat bertahan hingga enam bulan jika tidak
diobati.
Tanda dan gejala dari epididimitis, antara lain: 15,16
1. Kemerahan dan pembengkakan pada skrotum
2. Buang air kecil menjadi lebih sering
3. Rasa sakit dan nyeri pada testis
4. Kencing dan ejakulasi terasa sakit atau nyeri
5. Urin berdarah
6. Nyerti atau ketidaknyamanan pada perut bagian bawah atau daerah panggul
7. Pembesaran kelenjar getah bening di pangkal paha
8. Terdapat benjolan pada testis
9. Darah dalam semen
10. Urethral discharge, sebelum timbulnya epididimitis akut (dalam beberapa
kasus)
11. Lebih jarang, demam
Pengujian diagnostik akan membantu dalam memastikan epididimitis dan
dalam mendeteksi organisme atau proses yang menjadi penyebab. Pada pria
dengan usia>35 tahun dan pada anak laki-laki dan remaja yang tidak aktif secara
seksual, urin pancar tengah harus diperiksa dengan urinalisis, mikroskop, dan
kultur urin. Hal yang sama berlaku untuk pria yang telah menjalani instrumentasi
atau biopsi saluran kemih, dan pria yang melakukan hubungan anal dubur.5
Untuk pria yang aktif secara seksual <35 tahun, pengujian menggunakan
pewarnaan gram atau pewarnaan metilen biru/gentian violet dari sekresi uretra
harus dilakukan untuk menunjukkan adanya uretritis. Noda metilen biru/gentian
violet adalah pewarnaan 2 langkah yang sederhana dan cepat, digunakan untuk
5

mengevaluasi hapusan uretra. Kedua noda ini akan menentukan jumlah sel darah
putih (White Blood Cell, WBC) per bidang imersi minyak dan keberadaan
diplokokus intraseluler. Secara tradisional, kriteria diagnostik untuk uretritis
adalah ≥ 5 WBCs per bidang minyak, tetapi Rietmeijer dan Mettenbrink baru-baru
ini merekomendasikan penurunan angka ini menjadi ≥2 WBCs per bidang minyak
imersi. Pada kondisi klinis dimana pemeriksaan hapusan uretra tidak bisa
dilakukan, tes esterase leukosit positif pada urin pertama atau pemeriksaan
mikroskopis dari sedimen urin pertama dapat dilakukan. Hasil positif dinyatakan
apabila pemeriksaan menunjukkan adanya ≥10 WBCs per lapang pandang. 5
Setiap pria yang aktif secara seksual harus melakukan pengujian Nucleic
Acid Amplification Test (NAAT) untuk mendeteksi infeksi gonore dan/atau
klamidia. Tes-tes ini sangat sensitif dan dapat dilakukan pada swab uretra dan
spesimen urin dalam evaluasi pria dengan epididimitis. Selain itu, ultrasonografi
Color Doppler juga dapat digunakan dalam diagnosis epididimitis melalui
penilaian anatomi skrotum dan perfusi testis. Peningkatan aliran darah atau
peningkatan pulsasi gelombang Doppler, dengan epididimis yang membesar,
didiagnosis sebagai epididimitis. Sementara itu, testis normal dengan penurunan
aliran darah atau denyut gelombang Doppler yang konsisten didiagnosis sebagai
torsi testis.5
2.6 Diagnosis Banding
Terdapat beberapa kondisi yang perlu dipertimbangkan dalam diagnosis
banding epididimitis. Hal tersebut dikarenakan oleh epididimitis sering di
misdiagnosis sebagai torsio testis. Selain torsio testis, orchitis, torsion of appendix
testis dan kanker testis juga dapat di misdiagnosis sebagai epididimitis.17
Torsio testis adalah terputarnya atau melilitnya korda spermatika, yang
menyebabkan terputusnya aliran darah ke testis dan struktur jaringan di dalam
skrotum.5 Perbedaan antara epididimitis dan torsio testis dapat dilihat pada onset
timbulnya nyeri pada skrotum. Dalam hal ini, nyeri skrotum yang disebabkan oleh
epididimitis terjadi secara bertahap sedangkan nyeri skrotum yang disebabkan
oleh torsio testis terjadi secara tiba-tiba.5 Perbedaan antara epididimitis dan torsio
testis juga dapat diidentifikasi melalui hasil dari temuan ultrasonografi. Hasil
ultrasonografi atau USG pada epididimitis adalah hyperemia serta peningkatan
6

aliran darah pada epididymis yang terdeteksi oleh color doppler. Sedangkan, hasil
USG pada torsio testis menunjukkan penurunan atau tidak adanya aliran darah
yang terdeksi oleh color Doppler.3
Orchitis adalah suatu inflamasi testis (kongesti testikular) yang biasanya
terjadi sebagai reaksi sekunder dari infeksi di bagian tubuh lainnya. Peradangan
ini dapat terjadi pada salah satu atau kedua testis sekaligus. Sama halnya dengan
epididimitis, orchitis juga dapat menyebabkan nyeri pada skrotum serta dapat
timbul secara bersamaan dengan epididimitis. Untuk membedakan, nyeri akibat
pembengkakan yang disebabkan oleh epididimitis umunya terjadi di bagian
belakang testis (epididimis) yang menyimpan serta membawa sperma. Sedangkan,
nyeri akibat pembengkakan yang disebabkan oleh orchitis umumnya terjadi pada
satu atau kedua testis. Orchitis juga dapat teridentifikasi dengan adanya massa
testis (hypoechoic mass) atau pembengkakan testis yang terdeteksi dari USG.11
Epididimitis biasanya berasal dari bakteri seperti Neisseria gonorrhoeae dan
Escherichia coli sedangkan, orchitis umumnya disebabkan oleh infeksi sekunder
seperti infeksi gondong serta dapat disebabkan oleh suatu proses inflamasi di
testis.18
Torsion of appendix testis atau torsio appendiks testis adalah keadaan
dimana appendiks testis terpuntir serta memberikan rasa nyeri pada skrotum dan
testis, umumnya pada testis bagian atas. Torsi appendiks testis dapat dibedakan
melalui pemeriksaan fisik dimana ditandai dengan karakterisasi tanda titik biru
yang merupakan perubahan warna kebiruan di area skrotum. Hal tersebut
menunjukkan infark atau nekrosis.5
Kanker testis adalah kondisi yang terjadi ketika sel-sel pada testis tumbuh
secara tidak terkendali yang ditandakan oleh benjolan atau pembengkakan di salah
satu testis serta asa sakit yang tajam dan rasa pegal pada bagian testis dan
skrotum. Untuk menunjukkan perbedaan antara epididimitis dan kanker testis,
pemeriksaan fisik dan USG perlu dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat
nodul yang timbul dari testis serta mengidentifikasi adanya massa berbeda yang
melibatkan testis. Jika kedua gejala tersebut ditemukan, maka hal tersebut
menandakan gejala kanker testis. Pemeriksaan USG perlu dilakukan untuk
7

memastikan bahwa massa atau nodul yang timbul pada testis disebabkan oleh
kanker testis dan bukan oleh pembengkakan pembuluh darah atau varikoke.5
2.7 Penatalaksanaan/Manajemen
Berdasarkan pedoman dari Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) pada tahun 2015, dijabarkan panduan pengobatan untuk penyakit
epididimitis akut yang biasanya disebabkan oleh penularan secara seksual oleh
patogen gonore dan klamidia. CDC merekomendasikan pengobatan:
1. Untuk pengobatan epididimitis akut dengan kemungkinan patogen klamidia
dan gonore. Rekomendasi CDC adalah sebagai berikut: Ceftriaxone 250 mg
I.M dalam dosis tunggal ditambah Doksisiklin 100 mg per oral dua kali
sehari selama 10 hari
2. Untuk pengobatan epididimitis akut dengan kemungkinan disebabkan oleh
klamidia atau gonore yang ditularkan secara seksual dan organisme enterik
seperti E.Coli. misalnya, pada pria yang melakukan seks anal insertif,
adalah sebagai berikut: Ceftriaxone 250 mg I.M dalam dosis tunggal
ditambah Levofloxacin 500 mg oral sekali sehari selama 10 hari atau
Ofloxacin 300 mg per oral dua kali sehari selama 10 hari
3. Untuk pengobatan epididimitis akut dengan kemungkinan disebabkan oleh
organisme enteric. misalnya, kasus orang yang mengalami Urinary Tract
Surgery. Rekomendasi CDC adalah sebagai berikut: Levofloxacin 500 mg
oral sekali sehari selama 10 hari atau Ofloxacin 300 mg per oral dua kali
sehari selama 10 hari.5,19
Terapi untuk epididimitis digunakan untuk menghilangkan gejala,
penyelesaian faktor-faktor penyebab, dan pencegahan komplikasi. Terapi
antibiotik empiris dipilih bedasarkan pada karakteristik pasien seperti usia dan
riwayat seksual serta patogen yang paling memungkinkan. Sedangkan untuk
chronic Epididimitis, terapi medis yang paling umum adalah antibiotik dan agen
anti-inflamasi. Jika gejala tidak membaik, menambahkan antidepresan trisiklik
atau neuroleptik seperti gabapentin (Neurontin) dapat
membantu.19Epididimektomi adalah pilihan lain untuk pasien dengan epididimitis
yang terapi konservatif dan mediknya gagal.20
8

2.8 Komplikasi
Komplikasi yang berkaitan dengan epididimitis akut meliputi antara lain: 21
1. Abses skrotum dan pyocele
2. Infark testis (pembengkakan spermatic cord dapat membatasi aliran darah
arteri ke testis)
3. Masalah kesuburan
4. Atrofi testis
5. Cutaneous fistulization dari pecahnya abses melalui tunica vaginalis
(biasnya terjadi pada tuberculosis)
6. Kekambuhan, epididimitis kronis, dan orchialgia
2.9 Pencegahan
Berdasarkan etiologi dan pathogenesis dari penyakit infeksi ini, maka ada
beberapa cara pencegahan yang dapat dilakukan. Pertama, ada baiknya untuk
mencari fakta mengenai penyakit ini. Kemudian, lakukan pengontrolan untuk
melindungi diri sendiri ataupun pasangan. Adapun pengontrolan ini dapat berupa
abstinence/ tidak melakukan hubungan seksual, setia pada satu pasangan, serta
menggunakan kondom saat berhubungan seksual. Selain itu, melakukan beberapa
tes untuk mengetahui status kesehatan secara berkala serta menjaga kebersihan
organ reproduksi juga penting dilakukan.22
2.10 Prognosis
Epididimitis kebanyakan dapat disembuhkan dengan obat antibiotik. Dalam
kebanyakan kasus epididimitis tidak menyebabkan masalah pada seksualitas dan
reproduksi jangka panjang, namun kondisi tersebut mungkin saja kembali terjadi.
Rasa sakit akan membaik dalam waktu 1 hingga 3 hari, walaupun prosesnya akan
memakan waktu bebarapa minggu atau bulan. Infeksi epididimis dapat
menyebabkan pembentukan abses epididimis. Di lain sisi, perkembangan infeksi
tersebut dapat berpengaruh terhadap testis, menyebabkan epididymo-orchitis atau
abses testis. Sepsis merupakan konsekuensi yang mungkin terjadi dari beberapa
infeksi.11
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Hongo et al, didapatkan bahwa usia
tua dengan riwayat diabetes melitus demam, dan jumlah sel darah putih yang
lebih tinggi, C-reactive protein, serta tingkat nitrogen urea darah secara
9

independen terkait dengan keparahan pasien dengan epididimis di Jepang.23


Pasien dengan epididimis sekunder akibat penyakit menular seksual memiliki
resiko 2-5 kali lebih besar terkena HIV. Seluruh pasangan seksual dari pasien
dengan epididimis sekunder akibat penyakit menular seksual memerlukan rujukan
untuk memastikan bahwa mereka mendapatkan pengujian dan penanganan yang
memadai.24
BAB III
PENUTUP

Epididimitis merupakan infeksi akibat terjadinya inflamasi pada struktur


tubular yang terletak pada daerah posterior dan superior testis sebagai tempat
pematangan sperma, yaitu epididimis. Epididimitis adalah penyebab paling umum
untuk nyeri skrotum pada orang dewasa dengan gejala yang paling sering terjadi
pada pria usia 19-35 tahun. Secara umum, epididimitis dapat disebabkan oleh
Escherichia coli, Neisseria gonorrhoeae,Chlamydia trachomatis, dan
Mycobacterium tuberculosis serta virus, terutama golongan enterovirus dan
adenovirus. Penyakit ini dapat terjadi akibat aliran retrograde urin dari area
genitourinaria yang sudah terinfeksi bakteri ke epididimitis sehingga
menimbulkan peradangan. Meskipun penyebab utama infeksi ini adalah penyakit
menular seksual tetapi juga dapat didapatkan oleh pasien yang memiliki patogen
enterik dan Mycobacterium tuberculosis yang menginfeksi melalui penyebaran
hematogen. Ketika infeksi bakteri terjadi, epididimis berangsur mengalami
pembengkakan dan nyeri. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan
meliputi urinalisis, mikroskop, dan kultur urin, serta NAAT dan ultrasonografi.
Diagnosis banding epididimitis meliputi torsio testis, orchitis, torsion of appendix
testis dan kanker testis. Terapi untuk epididimitis digunakan untuk menghilangkan
gejala, penyelesaian faktor-faktor penyebab, dan pencegahan komplikasi dengan
mempertimbangkan pathogen penyebab serta karakteristik pasien. Prognosis
epididimitis kebanyakan baik karena dapat ditangani dengan antibiotik

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Rupp TJ, Leslie SW. Epididymitis. InStatPearls [Internet] 2018 [cited 5


October 2019]. StatPearls Publishing.
2. Lampejo T, Abdulcadir M, Day S. Retrospective review of the
management of epididymo-orchitis in a London-based level 3 sexual health
clinic: an audit of clinical practice. International journal of STD & AIDS.
2017;28(10):1038-40.
3. Taylor SN. Epididymitis. Clinical Infectious Diseases.
2015;23;61(suppl_8):S770-3.
4. Hagley M. Epididymo-orchitis and epididymitis: a review of causes and
management of unusual forms. International journal of STD & AIDS.
2003;14(6):372-8.
5. McConaghy J, Panchal B. Epididymitis: An Overview [Internet]. Aafp.org.
2016 [cited 5 October 2019]. Available
from: https://www.aafp.org/afp/2016/1101/p723.html
6. Hedger M, Meinhardt A, Michel V, Pilatz A. Epididymitis: revelations at
the convergence of clinical and basic sciences. Asian Journal of Andrology.
2015;17(5):756-763.
7. Lai Y, Yu Z, Chen D, Shi B, Ni L, Liu Y et al. Chronic scrotal pain caused
by Mild Epididymitis: Report of a series of 44 cases. Pakistan Journal of
Medical Sciences. 1969;30(3):638-641.
8. Rhudd A, Moghul M, Reid G. Epididymo-orchitis causing testicular
infarction: a serious complication of a common disorder. Journal of
Surgical Case Reports. 2017;17(10).
9. Kavoussi, Parviz, K., Costabile, Raymond, A. "Disorders of scrotal
contents: orchitis, epididimytis, testicular torsion, torsion of the
appendages, and Fournier's gangrene". In Chapple, Christopher R.; Steers,
William D. (eds.). Practical urology: essential principles and practice.
2011. London: Springer-Verla.
10. Geisler, W.M. "Diseases caused by chlamydiae". In: Goldman L, Schafer
AI, eds. Goldman-Cecil Medicine. 25th ed. 2016. Philadelphia, PA:
Elsevier Saunders.
11. Trojian, T.H., Lishnak, T.S., Heiman, D. "Epididymitis and orchitis: an
overview". American Family Physician. 2009;79(7):583–7.PMID
19378875.
12. Michel V, Pilatz A, Hedger MP, and Meinhardt A. Epididymitis: revelations
at the convergence of clinical and basic science. Asian Journal Of Andrology.
2015;17:756-763.
13. World Health Organization. "Global incidence and prevalence of selected
curable sexually transmitted infections: 2008".2012. Department of
Reproductive Health and Research.
14. Cek M, Sturdza L and Pilatz A. Acute and Chronic Epididymitis. European
Urology Supplements. 2017;16(4):124-131.
15. DerSarkissian, C. What Is Epididymitis? [Internet] WebMD. 2016 [cited 5
Oct. 2019]. Available from: https://www.webmd.com/men/what-is-
epididymitis#1
16. Ching, C. and Kim, E. Epididymitis Clinical Presentation: History,
Physical Examination [Internet] Emedicine.medscape.com. 2018 [Cited on
5 Oct. 2019]. Available
from: https://emedicine.medscape.com/article/436154-clinical
17. Roth, B., Giannakis, I., Ricklin, M., Thalmann, G. and Exadaktylos, A. An
Accurate Diagnostic Pathway Helps to Correctly Distinguish Between the
Possible Causes of Acute Scrotum. Oman Medical Journal. 2018; 33(1),
pp.55-60.
18. Terry, N. Orchitis: Practice Essentials. [Internet] Emedicine.medscape.com.
2017 [cited 5 Oct. 2019]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/777456-overview.
19. CDC. Epididymitis 2015-STD Treatment Guidelines [Internet]. 2015 [cited
5 Oct 2019]. Available from
: https://www.cdc.gov/std/tg2015/epididymitis.html
20. Bradford R, Farry S, Kyle JA. Antibiotic therapy for epididymitis. US
Pharm. 2015;40(8):39–43.
21. Ching C, Sabanegh E. Epididymitis: Practice Essentials, Anatomy, Etiology
[Internet]. Emedicine.medscape.com. 2018 [cited 24 May 2020]. Available
from: https://emedicine.medscape.com/article/436154-overview
22. CDC. How You Can Prevent Sexually Transmitted Diseases [Internet].
cdc.gov. 2018 [cited 24 May 2020]. Available from:
https://www.cdc.gov/std/prevention/default.htm.
23. Hongo H, Kikuchi E, Matsumoto K, Yazawa S, Kanao K, Kosaka T et al.
Novel algorithm for management of acute epididymitis. International Journal
of Urology. 2016;24(1):82-87.
24. Nusbaum MR, Wallace RR, Slatt LM, Kondrad EC. Sexually transmitted
infections and increased risk of co-infection with human immunodeficiency
virus. J Am Osteopath Assoc. 2004;104(12):527-35.
CONTOH JURNAL
UNTUK RESUME
JURNAL
See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/282980088

Prevalence of Metabolic Syndrome Diagnosed by Three Different Criteria in


School-Aged Children from Rural and Urban Areas of Northwest Mexico

Article · October 2015


DOI: 10.4172/2167-0943.1000181

CITATIONS READS
0 111

9 authors, including:

Ricardo Ramírez-Murillo Artalejo Elizabeth


Instituto de Educación Media Superior Research Center for Food and Development A.C.
5 PUBLICATIONS   7 CITATIONS    11 PUBLICATIONS   107 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Alma Elizabeth Robles-Sardin José Antonio Ponce-Martínez


Research Center for Food and Development A.C. 13 PUBLICATIONS   101 CITATIONS   
23 PUBLICATIONS   168 CITATIONS   
SEE PROFILE
SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Comparison of Measurements of Bone Mineral Density in Young and Middle-Aged Adult Women in Relation to Dietary, Anthropometric and Reproductive Variables View
project

Estructura poblacional de las especies dominantes de importancia comercial en la pesca de arrastre en la FAC del camarón, en función de la selectividad de una red
modificada comparada con la tradicional en el Golfo de Tehuantepec, México. View project

All content following this page was uploaded by Martha Nydia Ballesteros on 19 October 2015.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Met
abolic
Sy
Ramírez-Murillo et al., J Metabolic Synd 2015, 4:3
of
http://dx.doi.org/10.4172/2167-0943.1000181
Metabolic Syndrome
nd
al
Journ

rome
ISSN: 2167-0943

Research Article Open Access

Prevalence of Metabolic Syndrome Diagnosed by Three Different Criteria in


School-Aged Children from Rural and Urban Areas of Northwest Mexico
Cecilia Ramírez-Murillo, Elizabeth Guillot-Sánchez, Elizabeth Artalejo-Ochoa Q B, Alma E. Robles-Sardin, José A. Ponce-Martínez, María I
Grijalva-Haro, Graciela Caire-Juvera, María I. Ortega-Vélez and Martha N. Ballesteros-Vásquez*
Centro de Investigación en Alimentación y Desarrollo, A.C. Carretera a la Victoria km 0.6, Hermosillo, Sonora México

Abstract
The International Diabetes Federation (IDF) does not justify the evaluation of metabolic syndrome (MetS) in
children aged less than 10 years, unless they have a family history of risk factors. The prevalence of overweight
and obesity in the Northwest of Mexico has increased in recent decades, making it possible to consider that MetS is
already present in this group of population.
Objective: The primary objective of this study was to determine the prevalence of metabolic syndrome in
children aged 6 to 9 years living in rural (RA) or urban (UA) areas of Northwest of Mexico. A secondary objective was
to find adequate criteria to diagnose the prevalence of MS in children.
Methods: Participated 268 school-aged children in a random-selected cross sectional study. Anthropometric
and blood pressure measurement were performed, and biochemical indicators were analyzed. MetS was defined
as the presence of three or more risk factors and diagnosed using three different criteria. One of them according to
what was proposed by the International Diabetes Federation (IDF) for children and two additional criteria proposed
by this study considering suitable cutoffs for age for lipids and blood pressure.
Results: The general prevalence of MetS according to the three different criteria used was as follows.1)
IDF criteria, 4.1%; 2) using cutoffs suggested for age for lipids and blood pressure and taking into account waist
circumference as a criterion for MetS, 6.3%; and 3) cutoffs suggested for age, lipids and blood pressure without
considering waist circumference as a criterion for MetS, 10.4%. Children living in the RA with a history of obesity
and cardiovascular disease had higher waist circumference, triglycerides, and very low-density lipoprotein-C, and
children from the UA had higher systolic and diastolic blood pressure, and higher levels of glucose and insulin.
Conclusion: MetS is present in children aged 6 to 9 years in the northwest region of Mexico, with higher
proportions of the syndrome observed in overweight and obese children. The second criteria used in this study could
be the most suitable for diagnosis of MetS, and the third criteria, for children at higher risk for cardiovascular disease
and type 2 diabetes mellitus associated to heredity factors.

Keywords: Metabolic syndrome; Obesity; School-Aged Mexican Currently, research on MetS focuses on identifying its components
children; Cardiovascular disease; Type 2 diabetes mellitus in different populations and at different ages as well as developing a
useful definition for clinical and epidemiological practices. In addition
Introduction to the traditional components of MetS, researchers are considering
Overweight and obesity are highly associated with metabolic other indicators that could be helpful in identifying people at higher
syndrome (MetS). This is defined as a clustering of metabolic risk, such as acanthosis nigricans (AN) and inflammatory markers
abnormalities characterized by risk factors that are associated with [8,9].
cardiovascular disease and type 2 diabetes mellitus (T2DM). These In Mexico, T2DM and cardiovascular diseases are the main causes
factors are abdominal obesity, lipid profile alterations, glucose of mortality in the adult population [10]. Risk factors leading to these
intolerance, and hypertension [1]. The presence of MetS increases pathologies could be present during childhood mainly due to heredity
the risk of developing cardiovascular disease and T2DM [2]. For or life style factors such as inadequate diets higher in carbohydrates or
adolescents, the evaluation criteria are not well defined and there is no
fat, together with low levels of physical activity [11,12].
accepted definition to diagnose MetS [3]. The International Diabetes
Federation (IDF) [4]. does not justify the evaluation of MetS in children In this context and according to data from the National Health and
less than 10 years old, suggesting that the presence of MetS is out that Nutrition Survey in Mexico in 2012, the state of Sonora, located in the
its presence is unlikely in this population. Nevertheless, IDF states that
more studies are needed to corroborate this statement.
*Corresponding author: Martha N. Ballesteros Vásquez, Centro de Investigación
One of the difficulties in evaluating MetS in children is the constant en Alimentación y Desarrollo, A.C. Carretera a la Victoria km 0.6, Hermosillo,
change in the level of insulin during childhood and the presence of Sonora México, Tel: +52 (662) 2892400 (ext. 297); E-mail: nydia@ciad.mx
physiological insulin resistance during puberty [5]. However, evidence Received July 30, 2015; Accepted August 19, 2015; Published August 24, 2015
indicates that people who develop diabetes in adulthood had higher
Citation: Ramírez-Murillo C, Guillot-Sánchez E, Elizabeth Artalejo-Ochoa QB,
body mass index (BMI) and subscapular skin fold as well as higher Robles-Sardin AE, Ponce-Martínez JA, et al. (2015) Prevalence of Metabolic
levels of glucose, triglycerides, and insulin, higher blood pressure, and Syndrome Diagnosed by Three Different Criteria in School-Aged Children
lower levels of HDL-cholesterol (HDL-C) during childhood than those from Rural and Urban Areas of Northwest Mexico. J Metabolic Synd 4: 181.
doi:10.4172/2167-0943.1000181
who do not develop diabetes [6]. Additionally, the American Pediatric
Association suggests that cardiovascular risk factors be evaluated in Copyright: © 2015 Ramírez-Murillo C, et al. This is an open-access article
distributed under the terms of the Creative Commons Attribution License, which
children between 2 and 10 years of age when they have family history permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided
of cardiovascular diseases [7]. the original author and source are credited.

J Metabolic Synd Volume 4 • Issue 3 • 1000181


ISSN: 2167-0943 JMS, an open access journal
Citation: Ramírez-Murillo C, Guillot-Sánchez E, Elizabeth Artalejo-Ochoa QB, Robles-Sardin AE, Ponce-Martínez JA, et al. (2015) Prevalence of
Metabolic Syndrome Diagnosed by Three Different Criteria in School-Aged Children from Rural and Urban Areas of Northwest Mexico. J
Metabolic Synd 4: 181. doi:10.4172/2167-0943.1000181

Page 2 of 9

northwest region of Mexico, is one of the states in the country with a standing balanced on both feet. Body composition was measured using
higher prevalence of childhood overweight and obesity (36.9%). Both bioelectrical impedance analysis (Impedimed IMP5TM). Since we could
rural and urban areas are affected, although in different ways; there are not assess a hydration status of the children before measurement, we
more overweight (24.8%) than obese (6.4%) children in rural areas, applied a brief clinical questionnaire to the parents in order to know if
whereas the urban areas have more obese (19.4%) than overweight their children presented illness or diarrhea episodes 5 days before the
(18.3%) children [13]. Among the complications associated with excess evaluation. If the answer was positive, the child was not included in the
body fat are insulin resistance [14], non-alcoholic fatty liver disease, study. Total body fat and lean mass were obtained using the Ramirez-
hypertension, dyslipidemias, sleep disorders, orthopedic problems, López formula developed for the population of school children
and psychological and social issues [15]. living in Sonora [18]. Body fat percentage was classified according to
Freedman´s values for age and gender [19].
The evaluation of MetS in children and adolescents is important
for timely prevention and control of non-communicable disease Blood pressure was measured according to the technique proposed
development such as heart disease and T2DM. Therefore, the primary by the National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP)
objective of this study was to determine the prevalence of metabolic for children and adolescents [20] after 5 minutes of rest in a sitting
syndrome in children aged 6 to 9 years living in rural and urban areas position with the child’s feet on the floor and their arms supported at
of Northwest of Mexico. A secondary objective was to compare MetS heart level. Two measurements were performed at 10-minute intervals
prevalence differences based on three criteria in a sample of children using mercurial sphygmomanometers (Desk Model Mercurial
from Sonora, Mexico and determine the most appropriate criterion to Sphygmomanometer, Model 100, China Meheco Medical instrument,
diagnose it in a pediatric population. RPC) with an appropriate cuff for the arm diameter. Hypertension was
defined as the average systolic (SBP) or diastolic (DBP) blood pressure
Materials and Methods level greater than or equal to the 95th percentile for the child’s sex, age,
Study design and sample selection and height. AN was defined as a skin darkening and thickening at the
neck [21]. The determination of AN child was assessed by a trained
For this study, a cross-sectional sample of school-aged children aged individual.
6 to 9 years was assessed. Eighteen public elementary schools located in
two different areas (rural and urban) in the state of Sonora in northwest Biochemical analyses
Mexico participated in the study. In the rural area, 7 schools from Plasma obtained after overnight fasting was used to determine
different towns were involved. In the urban area, 11 schools located plasma glucose, total cholesterol (TC), HDL-C, triglycerides, and
in the city of Hermosillo (the capital) participated in the study. The insulin. Two fasting (12-h) blood samples were collected from each
rural and urban areas were defined according to the criteria established subject on 2 different days. Blood was collected in tubes containing
by Villalvazo [16], who defined a rural area as having less than 15,000 0.15 g/100 g EDTA to determine plasma lipids. Plasma was separated
inhabitants. A total of 295 children participated in the study. by centrifugation at 1500 g for 20 min at 4°C then placed into vials
Study protocol containing phenyl methyl sulfonyl fluoride (0.015 g/100 g), sodium
azide (0.01 g/100 g), and aprotinin (0.01 g/100 g).
The experimental protocol was approved by the Ethical Review
Board of Centro de Investigación en Alimentación y Desarrollo A.C. TC was determined using an enzymatic method (CHOD-PAO)
We used simple random sampling for the selection of the schools. Forty with Roche-Diagnostic standards and kits [22]. HDL-C was measured
in supernatant after precipitation of apo B-containing lipoproteins
invitations were left in each school, inviting parents who had children
[23], and low density lipoprotein (LDL)-C was determined using
between 6 and 9 years old to participate in the study. Parents and
the Friedwald equation [24]. Triglycerides were measured using an
children who attended the invitation, received a detailed explanation of
enzymatic method (GPO-PAP) with Roche-Diagnostics standards and
the protocol and provided informed consent. The parents answered a
kits [25]. Means of two blood draws were used.
clinical questionnaire about family history of diabetes or cardiovascular
risks, current medical conditions, and medication use. Plasma glucose was determined using an enzymatic method
(GOD-PAO) with Roche Diagnostic kits [26]. Fasting plasma insulin
A standard questionnaire was used to collect information about
concentration was determined by enzyme-linked immunosorbent assay
socio-demographic characteristics, and patient´s medical and family
(ELISA) using a sandwich type immunoassay (ALPCO Diagnostics,
history during face-to-face interviews conducted by trained staff.
NH, USA). The homeostasis model assessment (HOMA) [27] was used
Family history of obesity, diabetes, and cardiovascular disease were
to calculate insulin resistance (IR) according to the following equation:
defined as the existence of these conditions in at least one first-degree
IR (HOMA IR) − fasting insulin (µU/mL) fasting glucose (mmol/L)
relative.
÷22.5. The HOMA model has been shown to be a reliable method for
Anthropometric measurements were performed according to measuring insulin resistance in various populations when other more
standard procedures. Body weight was measured using an electronic invasive methods are not feasible [28]. The HOMA-IR value of 3.4 was
scale with a capacity of 0 to 150 ± 0.05 kg (AND FV-150 KA1; A&D chosen as the reference value to define IR [28] and the insulin blood
Co. Japan), and height was measured using a portable stadiometer concentration was classified as normal, borderline, or high [29].
(Holtain Limited Dyfed, Britain, UK). BMI was calculated using weight
Definition of metabolic syndrome
and height (kg/m2) and BMI for age z score, height for age z score, and
weight for age z score were calculated using the Anthro Plus software Because there is no single accepted criteria for the diagnosis of MetS
[17]. Obesity was defined following World Health Organization in children aged 6 to 9 years, the presence of MetS in this population
(WHO) criteria for children of the same age. Waist circumference was determined using three different criteria as follows: 1) according
(WC), was measured with non-elastic tape (Lafayette Instruments, to the definition proposed by IDF [4] for children aged 10 years,
USA) at the midpoint between the lower rib margin and the iliac considering the presence of central obesity as a mandatory condition
crest, perpendicular to the long axis of the body, with the subject for diagnosis coupled with the presence of two or more additional risk

J Metabolic Synd Volume 4 • Issue 3 • 1000181


ISSN: 2167-0943 JMS, an open access journal
Citation: Ramírez-Murillo C, Guillot-Sánchez E, Elizabeth Artalejo-Ochoa QB, Robles-Sardin AE, Ponce-Martínez JA, et al. (2015) Prevalence of
Metabolic Syndrome Diagnosed by Three Different Criteria in School-Aged Children from Rural and Urban Areas of Northwest Mexico. J
Metabolic Synd 4: 181. doi:10.4172/2167-0943.1000181

Page 3 of 9

factors; 2) considering the presence of central obesity according to Total Rural area Urban area
Indicator p1
the provisions of the IDF [4], but using predefined cutoffs for lipids (n=268) (n=119) (n=149)
specific for children [30] and blood pressure [20]; 3) establishing the Age (years)*
7.5 7.6 7.3
0.54
presence of three or more risk factors regardless of central obesity as a (1.4-3.9) (1.3-3.7) (1.45-3.9)

mandatory condition and using predefined cutoffs determined by the 24.59 25.29 24.14
Weight (Kg)* 0.25
(8.86-44.65) (7.8-44.65) (10.17-31.05)
IDF [4] for waist circumference and glucose, the National Cholesterol
124.05 ± 7.30 124.76 ± 7.13 123.48 ± 7.40
Education Program (NCEP) criteria [30] for lipids, and the NHBPEP Height (cm) †
(105.2-144.4) (105.2-144.4) (108.5-140.9)
0.15
criteria [20] for blood pressure (Table 1). 0.015 0.12 -0.06
z-BMI/A* 0.15
(2.07-8.33) (2.02-7.49) (2.27-7.87)
Central obesity was defined as a waist circumference value at
0.006 ± 0.99 0.093 ± 0.99 -0.06 ± 0.99
or above the 90th percentile for sex, age, and ethnicity from the IDF z-H/A†
(-2.54-2.56) (-2.54-2.54) (-2.33-2.56)
0.20
definition [4]. For the lipid profile, we considered the cut off values 0.21 0.28 0.14
z-W/A* 0.38
from the National Cholesterol Education Program [30]. Triglycerides, (2.06-8.11) (1.81-7.72) (2.19-7.04)
LDL-C, and TC were considered elevated when values were at or above 55.4 56.4 55.0
WC (cm) * 0.21
the 95th percentile for age and sex, and HDL-C was considered low (10.57-55.5) (10.1-50.6) (10.5-45.3)
when the values were at or under the 5th percentile [30]. Elevated SBP 28.06 ± 8.93 27.49 ± 8.78 28.52 ± 9.05
% fat mass (BIA) † 0.35
(8.49-50.22) (11.46-49.70) (8.49-50.22)
or DBP were defined as values at or above the 95th percentile for age,
88.29 92.04 84.55
sex, and height [20]. The reference value for impaired fasting glucose Triglycerides (mg/dL) *
(44.38-341.0) (40.75-174.95) (45.67-341.0)
0.01
was taken from the IDF and considered as 100 mg/dL or higher. 170.82 ± 33.40 172.23 ± 33.79 169.69 ± 33.15
TC (mg/dL) † 0.53
(86.07-304.92) (86.78-304.92) (86.07-277.15)
Statistical analysis
48.71 51.27 47.01
HDL-C (mg/dL) * 0.01
Normality of the data was verified and descriptive statistics were (11.89-96.68) (13.07-96.68) (11.59-60.3)
performed to show the study population characteristics by rural/ 101.12 103.06 99.8
LDL-C (mg/dL) * 0.61
(43.54-194.01) (39.32-189.08) (48.40-169.95)
urban area. Data are presented as means ± standard deviations and as
17.66 18.41 16.91
medians and interquartile ranges accordingly. Normality and equality VLDL (mg/dL) *
(8.87-68.2) (8.15-34.99) (9.13-68.2)
0.01
of variances were evaluated and the tests were used accordingly. Two- 90
sample Student´s t-test was used to compare both areas of study. For 90 90
SBP (mmHg) * (20-70) 0.30
(20-70) (15-60)
non-normal variables, we used the Mann Whitney U Test. For non-
equal variances, the Aspin Welch p value was selected. The Chi-squared DBP (mmHg) *
60 60 60
0.60
(17.5-67.5) (17.5-52.5) (18.75-65)
test for Independence was used to compare frequencies. Differences
Fasting glucose (mg/ 93.29 ± 13.99 89.86 ± 14.40 96.04 ± 13.05
with p˂0.05 were considered significant. The kappa coefficient was dL) † (44.82-130.21) (44.82-126.64) (61.65-130.21)
<0.01
used to test the level of agreement for the three definitions. All data 7.27
were analyzed using NCSS 2007 (Number Cruncher Statistical System 6.24 5.32
Insulin (mU/L) * (6.97-62.51) 0.03
(6.21-62.51) (5.41-38.95)
for Windows, Kaysville, Utah, USA) Software.
1.4 1.22 1.70
HOMA* <0.01
Results (1.53-15.02) (1.17-10.21) (1.83-15.02)
AN, n (%)** 15 (5.6) 9 (7.6) 6 (4) 0.21
Children´s anthropometric characteristics by area (rural and urban) †
Mean ± standard deviation (minimum - maximum).
are presented in Table 2. The mean age of the children was 7.4 ± 1.03 *Median (interquartile range [p25-p75]).
1
Difference between groups by two sample Student’s t-test and Mann Whitney U
Three or more Test for non-normal data (p<0.05). **Chi-squared test.
IDF (2007), NCEP risk factors NCEP Abbreviations: z-BMI/A z: score of body mass index for age, z-H/A z: score
(1991), NHBPEP (1991), NHBPEP height for age, z-W/A z: score weight for age, SBP: systolic blood pressure, DBP:
Risk factor IDF, 2007 (2005) (2005) without WC diastolic blood pressure, AN: acanthosis nigricans, WC: waist circumference,
(proposed in this as a condition. HDL-C: high density lipoprotein cholesterol, TC: total cholesterol, LDL-C: low
study) (proposed in this density lipoprotein, VLDL: very low density lipoprotein, HOMA: Homeostasis
study) Model Assessment.
Obligatory Obligatory Table 2: Anthropometric characteristics and metabolic profile of the total population
presence of waist presence of waist and by rural or urban area.
Waist circumference
circumference ≥ 90th circumference
Obesity in ≥90th percentile
percentile for age ≥ 90th percentile for
for age and sex [4] years, ranging from 5 to 10 years. No statistically significant differences
and sex age and sex [4]
were observed between rural and urban areas in the anthropometric
+ 2 risk factors + 2 risk factors
variables, blood pressure and the AN indicator (p˃0.05). According to
Triglycerides ≥ 95th percentile for ≥ 95th percentile for
(mg/dL)
≥150
age and sex [28] age and sex [28] the z BMI/A, the prevalence of overweight and obesity was 31.1% in
Glucose rural areas and 32.9% in urban areas. Waist circumference was at or
≥ 100 ≥ 100 mg/dL [4] ≥ 100 mg/dL [4]
(mg/dL) above the 90th percentile in 10.1% of children in rural areas and 12%
HDL-C
<40
≤ 5 percentile for
th
≤ 5th percentile for in urban areas. Likewise, children with moderate and high body fat
(mg/dL) age and sex [28] age and sex [28] percentage were observed in both study areas: 26% and 33% in rural
SBP and/ ≥ 95th percentile for ≥ 95th percentile for and 27% and 36% in urban areas, respectively.
Systolic ≥130
or DBP (mm age, sex and height age, sex and height
Diastolic ≥ 85
Hg) [18] [18] There were statistically significant differences between the urban
Abbreviations: HDL-C: High Density Lipoprotein Cholesterol, IDF: International and rural areas in some metabolic variables. Fasting blood glucose,
Diabetes Federation, NCEP: National Cholesterol Education Program, NHBPEP:
National High Blood Pressure Education Program, SBP: Systolic Blood Pressure,
insulin, and the HOMA index were higher in the urban area, whereas
DBP: Diastolic Blood Pressure. concentrations of triglycerides, HDL-C, and very low density
Table 1: Criteria used to diagnose metabolic syndrome.
lipoprotein (VLDL)-C were higher in the rural area (Table 2).

J Metabolic Synd Volume 4 • Issue 3 • 1000181


ISSN: 2167-0943 JMS, an open access journal
Citation: Ramírez-Murillo C, Guillot-Sánchez E, Elizabeth Artalejo-Ochoa QB, Robles-Sardin AE, Ponce-Martínez JA, et al. (2015) Prevalence of
Metabolic Syndrome Diagnosed by Three Different Criteria in School-Aged Children from Rural and Urban Areas of Northwest Mexico. J
Metabolic Synd 4: 181. doi:10.4172/2167-0943.1000181

Page 4 of 9

According to the American Diabetes Association [31], fasting the population stratified by family history of obesity, diabetes, and
glucose values in children with normal, impaired, and probable cardiovascular disease are shown in Table 3. Children with a history of
diagnosis of diabetes are 86.1 mg/dL, 108.5 mg/dL, and 128.4 mg/dL obesity had a significantly higher weight/age (W/A) and percentage of
(p<0.01), respectively. Figure 1a shows the classification of the study fat mass compared to children with no familiar history of obesity. Those
population according to their blood glucose concentration. with a history of diabetes had higher BMI/A and waist circumference,
and children from families with a history of cardiovascular disease had
Glucose data were divided according to normal, borderline, and
higher systolic blood pressure, DBP, TC, and LDL-C compared with
high insulin blood levels. There were no differences in concentrations
children without a family history of cardiovascular disease. Particularly
of glucose (p=0.99) relative to insulin levels, even when we found
in the rural area, a family history of obesity and cardiovascular diseases
borderline and high values of insulin (Figure 1b).
was present in children with a higher waist circumference (58.5 vs. 53.8
According to the HOMA index, insulin resistance was present in 9 cm, p<0.02; 59 vs. 54.2 cm, p<0.01). In contrast, urban children had
children from the rural area (7.5%) and 22 from the urban area (14.8%). higher SBP (94.46 ± 11.97 vs. 88.17 ± 10.98 mmHg, p<0.001) and DBP
There were no statistically significant differences between study groups (63.36 ± 12.92 vs 57.60 ± 10.08 mmHg; p<0.001) when a family history
(p=0.06). AN, which is associated with high levels of insulin, was found of obesity and cardiovascular diseases was present.
in 15 children including 9 from the rural and 6 from the urban areas
Table 4 shows the proportion of children with MetS according to
(Table 2). This indicator was observed only in children with a high
the different definitions used in the present study. For the first criteria
body fat mass.
suggested by the IDF [4], MetS was present in 11 children (4.1%). In
Results of the anthropometric and metabolic characteristics in the rural and urban areas, 2.5% and 5.4% of the children had MetS,

a)
90
78.2
80
70 61.1
Proportion (%)

60
50
Rural area
38.3
40
Urban area
30
21
20
10
0.8 0.7
0
<100 mg/dL 100-126 mg/dL >126 mg/dL

Normal Impaired Probable Diagnosis of


Diabetes
b)

98
96.4 96.1
95.8
96

p <0.01 p=0.46 p=0.32


94
Glucose (mg/dL)

92

89.9 89.6
90 Rural area
88.9
Urban area
88

86

84
Normal (<15) Borderline (15-20) High (>20)
Insulin level (mU/L)
Figure 1: a) Classification of the study population according to their blood glucose concentration (p<0.01). b) Relationship between three different levels of insulin and
blood glucose concentration. Abbreviations: PDD Probable diagnosis of diabetes.

J Metabolic Synd Volume 4 • Issue 3 • 1000181


ISSN: 2167-0943 JMS, an open access journal
Citation: Ramírez-Murillo C, Guillot-Sánchez E, Elizabeth Artalejo-Ochoa QB, Robles-Sardin AE, Ponce-Martínez JA, et al. (2015) Prevalence of
Metabolic Syndrome Diagnosed by Three Different Criteria in School-Aged Children from Rural and Urban Areas of Northwest Mexico. J
Metabolic Synd 4: 181. doi:10.4172/2167-0943.1000181

Page 5 of 9

Without obesity Obesity Without diabetes Diabetes Without CVD CVD


Indicator p1 p1 p1
(n =44) (n=90) (n=93) (n=18) (n = 63) (n= 25)
7.5 ± 0.7† 7.4 ± 0.9 7.3 ± 0.9† 7.5 ± 0.7 7.33 ± 0.73† 7.46 ± 0.94
Age (years) 0.58 0.47 0.49
(6.1-9) (6-9.7) (6-9.7) (6.1-8.4) (6.1-8.8) (6.1-9.7)
25.9 ± 7.1† 28.36 ± 8.1 24.9* 28.1 25.4* 27.9
Weight (Kg) 0.10 0.04 0.34
(16.1-43) (16.3-60.7) (10.6-44.6) (10.6-32) (9.3-30.2) (11.4-34.2)
123.75 ± 7.2† 125.14 ± 7.3 123.7 ± 7.9† 126.7 ± 5.7 124.24 ± 5.9† 124.45 ± 7.9
Height (cm) 0.29 0.16 0.89
(108.8-136.9) (108.5-144.4) (108.5-144.4) (116.1-134.4) (111.8-134.4) (108.9-144.4)
0.34 ± 1.7† 0.86 ± 1.6 0.48 ± 1.5† 1.31 ± 1.7 0.60 ± 1.44† 1.1 ± 1.83
z-BMI/A 0.08 0.04 0.17
(-1.8-4.7) (-2.8-5.5) (-2.8-4.2) (-0.9-5.5) (-1.9-3.7) (-1.4-5.5)
0.03 ± 1.0† 0.3 ± 0.9 0.13 ± 0.9† 0.45 ± 0.7 0.2 ± 0.85† 0.08 ± 1.07
z-H/A 0.06 0.23 0.60
(-2.0-2.0) (-2.2-2.56) (-2.0-2.5) (-0.96-1.8) (-1.9-2.5) (-2.0-2.0)
0.3 ± 1.6† 0.9 ± 1.5 0.46 ± 1.5† 1.32 ± 1.5 0.59 ± 1.3† 0.88 ± 1.7
z-W/A 0.03 0.04 0.39
(-2.3-4.1) (-2.3-5.3) (-2.3-4.8) (-0.7-5.3) (-2.1-3.8) (-2.3-5.3)
57.2 ± 9.1† 60.5 ± 10.3 55.6* 59.7 56.6* 58.5
WC (cm) 0.08 0.02 0.35
(44.5-80) (45.5-96.6) (11.2-50.6) (15.9-36.1) (9.8-39.6) (14.6-39.3)
% fat mass 26.9 ± 9.1† 30.5 ± 9.5 28.1 ± 9.0† 31.2 ± 10.1 28.47 ± 9.2† 30.8 ± 2.0
0.03 0.32 0.29
(BIA) (13-48.3) (11.5-50.2) (11.5-50.2) (13-49.3) (11.5-49.5) (15.8-49.3)
Triglycerides 98.6 ± 57.3† 99.9 ± 34.4 89.2* 123.4 86.9* 102.3
0.86 0.19 0.37
(mg/dL) (47.8-378.5) (37.5-193) (42.6-225.5) (56.7-310.3) (41.2-341) (58.4-129.5)
175 ± 33.3† 173.8 ± 37.2 179.43 ± 32.6† 159.6 ± 21.7 168.79 ± 35.6† 185.36 ± 33.9
TC (mg/dL) 0.86 0.01 0.04
(86.8-277.1) (86.1-304.9) (86.8-304.9) (129.3-76.8) (86.1-251.7) (142.4-277.1)
47.14 ± 10.7† 51.3 ± 12.1 50.6* 46.3 51.3* 50.2
HDL-C (mg/dL) 0.05 0.36 0.64
(19.2-70.1) (8-104.7) (11.7-81) (10.7-71.5) (12.5-96.7) (14.6-48.4)
108.1 ± 31.3† 102.5 ± 34.0 108.9 ± 30.5 87.6 ± 20.8 98.18 ± 33.0† 114.22 ± 30.7
LDL-C (mg/dL) 0.36 0.00 0.03
(37.4-200.2) (30.2-224.2) (37.4-186.9) (47.9-126.3) (30.2-179.3) (78.8-200.2)
19.7 ± 11.5† 19.9 ± 6.9 17.8* 24.7 17.4* 20.5
VLDL (mg/dL) 0.86 0.19 0.37
(9.6-75.7) (7.5-38.6) (8.5-45.1) (11.3-62) (8.2-68.2) (11.7-25.9)
90* 90 92.3 ± 11.3† 98.7 ± 15.8 90* 90
SBP (mmHg) 0.82 0.03 0.03
(10-55) (15-55) (70-130) (75-127.5) (15-50) (20-55)
59.3* 61.9 59.3 ± 11.9† 65.4 ± 15.4 59.72 ± 10.9† 67.7 ± 15.0
DBP (mmHg) 0.30 0.05 0.02
(18.7-42.4) (20-65) (37.5-90) (40-105) (37.5-80) (45-105)
Fasting glucose 96.5 ± 15.0† 92.2 ± 14.4 93.70 ± 14.0† 96.6 ± 14.1 94.53 ± 14.3† 97.0 ± 17.0
0.11 0.32 0.47
(mg/dL) (61.9-126.4) (49.8-119) (49.8-120.7) (79.3-122.8) (52.6-122.8) (24.4-71.9)
7.56 ± 5.4† 7.74 ± 6.33 7.2* 6.2 7.02* 7.5
Insulin (mU/L) 0.87 0.31 0.37
(0-24.4) (0-38.9) (6.3-38.9) (8-25.4) (5.3-25.4) (6.4-17.2)
1.5 1.5 1.61* 1.57 1.56 1.79
HOMA 0.59 0.60 0.24
(1.8-6.8) (1.8-10.2) (1.6-10.2) (1.8-6.6) (1.32-6.6) (2.2-4.4)
AN, n (%) ** 0 (0) 8 (8.9) 0.04 6(6.4) 2(11.7) 0.48 3 (4.7) 3 (12) 0.22

Mean ± standard deviation (minimum - maximum). *Median (interquartile range [p25-p75]). Abbreviations: z-BMI/A z: score of body mass index for age, z-H/A z: score
height for age, z-W/A z: score weight for age, SBP: systolic blood pressure, DBP: diastolic blood pressure, AN: acanthosis nigricans, WC: waist circumference, HDL-C:
high density lipoprotein cholesterol, SBP: systolic blood pressure, DBP: diastolic blood pressure, TC: total cholesterol, LDL-C: low density lipoprotein, VLDL: very low
density lipoprotein, HOMA: Homeostasis Model Assessment. 1Difference between groups by two sample Student’s t-test and Mann Whitney U Test for non-normal data
(p<0.05). **Chi-squared test.
Table 3: Anthropometric characteristics and metabolic profile of the total population and categorized by family history of obesity, diabetes, and cardiovascular disease.

Three or more risk factors NCEP (1991), NHBPEP


IDF (2007) for children over 10 IDF (2007), NCEP (1991), NHBPEP (2005)
(2005) without WC as a condition.
Criteria years old (this study analysis)
(this study analysis)
(%) (%)
(%)
Total 4.1 6.3 10.4
Area
Rural 2.5 5.0 10.1
Urban 5.4 7.4 10.7
Sex
Girls 5.7 7.9 11.4
Boys 2.3 4.7 9.4
Abbreviations: IDF: International Diabetes Federation, NCEP: National Cholesterol Education Program, NHBPEP: National High Blood Pressure Education Program.
Table 4: Proportion (%) of children with metabolic syndrome according to the different criteria used in this study.

and the differences between groups was not significant (p=0.24). The and the same percentage of children with MetS was present in both
second criteria for MetS (Table 5) considered abdominal obesity plus areas of study (rural 10.1% vs. urban 10.7%, p=0.86). The reliability
two other risk factors according to the NCEP [30] and NHBPEP [20] analysis using the kappa coefficient (0.6487, p=0.000) showed that the
percentiles. MetS was found in 17 children (6.3%), 5.0% from the rural agreement was substantial in the total population.
and 7.4% from the urban areas, with no significant differences between
groups. The third criteria for MetS diagnosis considered children with
Discussion
three or more risk factors for MetS and the presence of abdominal This study demonstrates that MetS is present in children aged 6 to 9
obesity was not obligatory. Of the total population, 10.4% had MetS, years living in urban and rural areas of northwest Mexico. In this study

J Metabolic Synd Volume 4 • Issue 3 • 1000181


ISSN: 2167-0943 JMS, an open access journal
Citation: Ramírez-Murillo C, Guillot-Sánchez E, Elizabeth Artalejo-Ochoa QB, Robles-Sardin AE, Ponce-Martínez JA, et al. (2015) Prevalence of
Metabolic Syndrome Diagnosed by Three Different Criteria in School-Aged Children from Rural and Urban Areas of Northwest Mexico. J
Metabolic Synd 4: 181. doi:10.4172/2167-0943.1000181

Page 6 of 9

Without MS With MS
explanation is that in the urban areas, there is a greater tendency to
Indicator p1 consume fast foods that typically have a high sodium content, which
(n=251) (n=17)
probably could be affecting the gene expression associated with blood
7.5 7.3
Age (years)* 0.45 pressure. Kuschnir and Mendoça mentioned that the risk of developing
(1.3-3.9) (1.45-2.7)
24.14 42.69 hypertension is higher when both parents have the disease [35].
Weight (Kg)* <0.01
(8.1-31.85) (9.87-28.8)
123.67 ± 7.24 129.58 ± 5.97
Beside heredity, other factors that may contribute to the growing
Height (cm) † <0.01 prevalence of obesity and its complications in this population are low
(123-124.8) (122.7-129.2)
55 78.5 physical activity and an inadequate diet. Although data on dietary habits
WC (cm)* <0.01
(8.8-45.3) (8.15-27.5) and physical activity were not collected. Results from others studies
z-BMI/A*
-0.06 3.37
<0.01 [36-38] in urban locations of the same region showed that children
(1.81-6.52) (1.73-3.52)
consumed a hypercaloric diet, with adequate quantities of protein and
26.37 44.13
Body fat (%)*
(9.92-41.73) (5.12-9.85)
<0.01 fiber but excessive amounts of simple carbohydrates and saturated fat
Triglycerides (mg/ 85.95 138.88
and a low quantity of polyunsaturated fat. Those studies also showed
<0.01 that most of the children were sedentary [36,38]. The development of
dL)* (41.93-225.54) (65.57-301.42)
169.38 178.31 obesity secondary to genetic or excessive consumption of food has been
TC (mg/dL)* 0.05
(46.26-191.08) (43.30-162.1) proposed as a risk factor for developing metabolic alterations including
49.75 42.35 insulin resistance and diabetes mellitus [39]. Transnational food chains
HDL-C (mg/dL)* <0.01
(11.84-96.68) (10.98-35.57)
have made energy-dense, low-cost food available and accessible to
100.76 ± 30.49 117.88 ± 38.30
LDL-C (mg/dL) †
(30.2-200.1) (47.9-224.2)
0.07 Mexican children in a community environment where food regulation
17.19 27.78 is still scarce [40].
VLDL (mg/dL)* <0.01
(8.39-45.11) (13.11-60.28)
The analysis of the metabolic profile showed that children from
90 115
SBP (mmHg)*
(20-70) (20-40)
<0.01 the rural area had more alterations in their lipid profile, with higher
60 80 triglyceride and VLDL-C values than children from the urban area. In
DBP (mmHg)* <0.01
(15-52.5) (11.25-55) contrast, children from the urban area had more alterations in glucose
Glucose (mg/dL)*
92.98 100.78
0.27
metabolism, with higher concentrations of glucose and insulin and
(19.51-85.39) (14.2-55.9) higher HOMA than children from the rural area. These results suggest
5.7 13.74 that children from the urban area at greater risk for developing heart
Insulin (mU/L)* <0.01
(5.72-33.79) (10.89-57.09)
disease or diabetes, possibly due to risk factors related to lifestyle.
1.34 3.21
HOMA* <0.01 Studies on the migration of people from rural to urban areas have
(1.38-7.18) (2.27-14.31)
AN, n (%)** 7(2.8) 8(47.1) <0.01 reported similar changes in body composition and clinical markers

Mean ± standard deviation (minimum - maximum). *Median (interquartile range associated with their new lifestyle, which involve higher consumption
[p25-p75]). of energy-dense foods and less physical activity [41,42].
1
Difference between groups by two sample Student’s t-test and Mann Whitney U
Test for non-normal data (p<0.05). **Chi-squared test. A simple analysis of fasting blood glucose does not determine the
Abbreviations: z-BMI/A z: score of body mass index for age, z-H/A z: score height diagnosis of diabetes, but it may be the first step in its detection. In this
for age, z-W/A z: score weight for age, SBP: systolic blood pressure, DBP: diastolic
blood pressure, AN: acanthosis nigricans, WC: waist circumference, HDL-C: high
study, we classified fasting blood glucose concentrations according to
density lipoprotein cholesterol, SBP: systolic blood pressure, DBP: diastolic blood the American Diabetes Association [31]. Of the total population of the
pressure, TC: total cholesterol, LDL-C: low density lipoprotein, VLDL: very low study, 31.3% (21% rural, 38.3% urban) of children had impaired fasting
density lipoprotein, HOMA: Homeostasis Model Assessment.
blood glucose. These children are probably producing more insulin to
Table 5: Anthropometric characteristics and metabolic profile according to the compensate for the elevated glucose, but the two are not balancing each
presences of metabolic syndrome (MS) with abdominal obesity as an obligatory
factor (second criteria used in this study).
other out [43]. We could assume that this situation has progressed for
some time and could turn into T2DM in the future.
population, overweight and obesity represented one of the risk factors
T2DM begins with reduced insulin action due to an impairment in
for MetS. In both the rural and urban areas, the prevalence of obesity
the ability of the target cells to respond to this hormone, which leads
was elevated (31.1% and 37%, respectively). The percentage of urban
children with obesity was higher than that reported by the Nutrition to insulin resistance. During this process, there is a decrease in the
and Health National Survey 2012 [32]. peripheral consumption of glucose and also in hepatic glycogenesis,
and an increase in glyconeogenesis with results in hyperglycemia.
Towards the end of the first year of life, a physiological loss of fat Also, β cells from the pancreatic islet cells hypersecrete insulin to
mass takes place, so that in normal conditions a child between 5 and 6 compensate for the excess glucose, producing hyperinsulinemia
years should be physiologically thinner. When a 6-year old is an obese and normoglycemia. When the cycle is exhausted, it leads to glucose
child, the probability of persistent obesity increases by 50% [33]. Obesity intolerance and, in later stages to T2DM [43,44].
in parents influenced the development of obesity in their children and
this influence seemed higher when the child was aged less than 10 years We found children with insulin resistance in both areas (7.5%
[33,34]. In this study, the results from the family history questionnaire rural, 14.8% urban, p=0.06). Even when we did not detect significant
on chronic diseases showed that children from the rural area with a differences between groups, the proportion of children with insulin
family history of cardiovascular diseases and obesity had higher waist resistance was higher in the urban area. Secondary to obesity,
circumference. In contrast, children from the urban area with the same insulin resistance may be a common etiopathogenic mechanism for
family history had higher systolic and diastolic blood pressure (data hypertension and dyslipidemia. Generally, children with obesity have
not shown). We do not have a clear idea of the differences between a higher prevalence of hypertriglyceridemia and low levels of HDL-C
urban and rural children, as they have similar family history. A possible [45]. In adipose tissue, hyperinsulinemia increases lipolysis, leading to

J Metabolic Synd Volume 4 • Issue 3 • 1000181


ISSN: 2167-0943 JMS, an open access journal
Citation: Ramírez-Murillo C, Guillot-Sánchez E, Elizabeth Artalejo-Ochoa QB, Robles-Sardin AE, Ponce-Martínez JA, et al. (2015) Prevalence of
Metabolic Syndrome Diagnosed by Three Different Criteria in School-Aged Children from Rural and Urban Areas of Northwest Mexico. J
Metabolic Synd 4: 181. doi:10.4172/2167-0943.1000181

Page 7 of 9

more availability of free fatty acids, an increase in the hepatic synthesis The third way to diagnose MetS did not take into account the
of VLDL, and a decrease in HDL-C [46]. presence of a waist circumference ≥90th percentile as a condition for
evaluating MetS and used lipid profile metabolic indicator cutoffs for
AN was found only in children with high body fat mass, and this
children aged 6 to 9 years from the NCEP and blood pressure criteria
coincided with insulin resistance being present only in children with
from the NHBPEP. Thus, the prevalence of MetS using these criteria
high fat mass. The prevalence of high SBP and/or DBP was 16% rural
was 10.4% (10.1% rural vs. 10.7% urban), and 32.1% of the children
vs 11.4% urban, the presence of hypertension at an early age is might be
presented with AN. When we diagnosed MetS this way, children with a
an early sign of glucose intolerance [47] and a risk factor for coronary
normal body composition met this criterion because other risk factors
disease [48].
like impaired fasting glucose, hypertension, hypertriglyceridemia,
Another risk factor for coronary disease is dyslipidemia. In this or low HDL-C were present. Even without considering obesity,
study, 32.1% of children had hypertriglyceridemia and 19% had some children may have altered metabolic factors, possibly due to
low HDL-C. Other studies in Sonoran children reported low levels genetic factors that put children at risk. High levels of TC, LDL-C,
of HDL-C and the predominant subfraction was HDL3, which is plasma glucose, and high blood pressure are risk factors that could be
associated with higher cardiovascular risk [38]. Obesity, hypertension, influenced by family history due to shared genetic and environmental
hypertriglyceridemia, low HDL-C, and impaired glucose are factors [5].
components of MetS.
Considering central obesity as the major factor for the diagnosis of
One of the most important goals of this study was to evaluate MetS may underestimate the risk of developing cardiovascular diseases
the prevalence of MetS in children using three different diagnostic and T2DM because it excludes children without obesity who have
criteria and determine which of them might be more appropriate other metabolic alterations.
for the diagnosis of MetS in a pediatric population. The first criteria
used for the diagnosis of MetS in this study were the one according The proportions of MetS identified in this population of children
to the IDF [4] for 10-year-old children. These criteria use cutoffs for varied depending on the criteria used. We hypothesize that the IDF
adults for the biochemical indicators and account for the presence [4] criteria could underestimate the prevalence of MetS in children
of waist circumference ≥ 90th percentile for the diagnosis of MetS. aged less than 10 years because the cutoffs for the lipid profile and
The general prevalence of MetS using these criteria was 4.1% (2.5% blood pressure are not adequate for this age group. Instead, the second
rural; 5.4% urban). The IDF does not consider the presence of MetS criteria included cutoffs suggested for this age from the NCEP [30]
in children aged < 10 years and does not recommend its diagnosis and the NHBPEP [20], which may detect more accurately children
unless the children have a family history of risk factors [4]. This with MetS. The third criteria for evaluation of MetS included children
study demonstrates that even when criteria for adults is used, there with a normal waist circumference but who presented with three
are children with MetS in the region of Sonora. A study by Elizondo- other risk factors. This third way of diagnosing MetS could be useful
Montemayor et al. [49] using the IDF criteria [4] in overweight children for identifying children at risk for cardiovascular and T2DM due to
age 6 to 12 years from Mexico City reported a prevalence of MetS of heredity factors.
6.7%. When they observed age groups of 6-9 years and 10-12 years, the We recognize that one of the limitations of this study was that we
prevalence of MetS was 7.3% and 5.9% (p=0.91), respectively. These did not collect data on dietary habits and physical activity as factors
authors mentioned that there were more children with MetS in the related to obesity; however, data from recent studies were available for
younger age group, and this may be due to the fact that the percentage a proper discussion. The main strength of this study is that we measured
of children with waist circumference above the 90th percentile [4] was MetS in children aged less than 10 years from rural and urban areas.
significantly higher (p<0.001) in the group of children aged 6-9 years We established three different criteria for evaluating MetS in children,
compared with the older age group . and all the techniques used were applied by trained personnel.
Another study done in Campeche, México, used the same IDF
criteria [4] and reported a prevalence of 20% MetS in adolescents
Conclusions
aged 11 to 13 years. Nevertheless, only obese participants (BMI ≥ 95th This study demonstrates that MetS is present in children aged
percentile) were included [3]. 6 to 9 years living in a community with serious problems of obesity
and cardiovascular diseases. We also demonstrate that MetS is more
The second way in which we determined the prevalence of MetS
prevalent in overweight and obese children. The second criteria used
also considered the IDF criteria [4] using a waist circumference ≥ 90th
in this study could be most suitable for diagnosis of MetS in a pediatric
percentile as a condition for the diagnosis, but also employed adequate
population because it takes into account the appropriate cutoffs
cutoffs for metabolic measurements in children aged 6 to 9 years
suggested for this age. Considering abdominal obesity as an obligatory
provided by the NCEP [30] for the lipid profile, and by the NHBPEP
factor for the diagnosis of MetS could underestimate the number of
[20] for blood pressure. Thus, the observed prevalence of MetS in the
children at risk for cardiovascular diseases and T2DM because the
total study population was 6.3% (5.0% rural vs. 7.4% urban, p=0.43).
criteria exclude children without abdominal obesity but who do have
Thus, the ratio obtained was similar to that reported by Elizondo-
metabolic alterations. Therefore, MetS should be diagnosed using an
Montemayor et al. (7.3%) in obese children aged 6-9 years [49].
age-appropriate definition. Our information suggests that metabolic
However, they used the IDF definition [4] without adjusting the cutoffs
problems in children from an urban area are at increased risk for heart
for children. Differences in physical and metabolic characteristics
disease and diabetes compared to the rural area.
between children with and without the presence of MetS were evident
(Table 5). Children with MetS had higher values in all the body Because obesity is associated risk factors for cardiovascular
composition variables and metabolic risk factors, and approximately diseases and T2DM, health promotion programs should consider the
50% of children diagnosed with MetS presented AN. The consideration combination of genetic and environmental factors. If these factors are
of central obesity plus the appropriate clinical cutoffs for children, detected and controlled in time, the development of non-communicable
could be a better criterion for evaluating MetS in a pediatric population diseases related to MetS could be prevented.

J Metabolic Synd Volume 4 • Issue 3 • 1000181


ISSN: 2167-0943 JMS, an open access journal
Citation: Ramírez-Murillo C, Guillot-Sánchez E, Elizabeth Artalejo-Ochoa QB, Robles-Sardin AE, Ponce-Martínez JA, et al. (2015) Prevalence of
Metabolic Syndrome Diagnosed by Three Different Criteria in School-Aged Children from Rural and Urban Areas of Northwest Mexico. J
Metabolic Synd 4: 181. doi:10.4172/2167-0943.1000181

Page 8 of 9

Implications for School Health Committee (Council on Nutrition, Physical Activity, and Metabolism). Circulation
107:1448-1453.
The development of metabolic syndrome or related-conditions 15. Barlow SE, Dietz WH (1998) Obesity evaluation and treatment: Expert
including obesity, hypertension, cardiovascular diseases, and type 2 Committee Recommendations. Pediatrics 102: E29.
diabetes mellitus in school-aged children could interfere with their 16. Villalvazo P, Corona JP, García S (2002) Urbano-rural, constante búsqueda
adequate physical and mental development. The diagnostic criteria de fronteras conceptuales. Notas, revista de información y análisis 20: 17-24.
evaluated in this study may be useful to develop a useful definition for
17. WHO (2010) Anthro for personal computers version 3.2.2, 2011: Software
clinical and epidemiological practices of pediatric population in risk of for assessing growth and development of the world’s children Geneva, World
chronic diseases. Health Organization.

Human Subjects Approval Statement 18. Ramírez-Lopez E, Grijalva-Haro MI, Valencia ME, Ponce JA, Artalejo E
(2005) Impacto de un programa de desayunos escolares en la prevalencia
de obesidad y factores de riesgo cardiovascular en niños sonorenses. Salud
This research was approved by the Ethics Committee of the
Publica Mex 47: 126-133.
Food and Development Research Center (CIAD) (Document code
CE/018/2009). 19. Freedman D, Wang J, Thornton J, Mei Z, Sopher A, et al. (2009) Classification
of body fatness by body mass index-for-age categories among children. Arch
Acknowledgments Pediatr Adolesc Med 163: 805-811.

We thank the children and their parents for their participation. We also thank 20. NHBPEP (2005) National High Blood Pressure Education Program Working
the School Breakfast Program of Sonora (DIF, Sonora) for supporting this study. Group on High Blood Pressure in Children and Adolescents. The fourth report
on the diagnosis, evaluation, and treatment of high blood pressure in children
References and adolescents. Bethesda, MD, National Insitutes of Health.
1. Alberti G, Zimmet P, Shaw J (2006) Metabolic syndrome- a new world-wide 21. Higgins SP, Freemark M, Prose NS (2008) Acanthosis nigricans: a practical
definition. A Consensus Statement from the International Diabetes Federation. approach to evaluation and management. Dermatol Online J 14 :2.
Diabet Med 23: 469-480.
22. Allain CC, Poon LS, Chan CSG, Richmond W, Fu PC (1974) Enzymatic
2. Gami A, Witt BJ, Howard D, Erwin P, Gami L, et al. (2007) Metabolic syndrome determination of total serum cholesterol. Clin Chem 20: 470-475.
and risk of incident cardiovascular events and death: a systematic review and
meta-analysis of longitudinal studies. J Am Coll Cardiol 49: 403-414. 23. Warnick GR, Benderson J, Albers JJ (1982) Dextran sulfate-Mg2+ precipitation
procedure for quantitation of high-density-lipoprotein cholesterol. Clin Chem
3. Juárez-López C, Klunder-Klunder M, Medina-Bravo P, Madrigal-Azcarate 28(6): 1379-1388.
A, Mass-Diaz E, et al. (2010) Insulin resistance and its association with the
components of the metabolic syndrome among obese children and adolescents. 24. Friedewald WT, Levy RI, Fredrickson DS (1972) Estimation of the concentration
BMC Public Health 10: 318. of low-density lipoprotein cholesterol in plasma, without use of the preparative
ultracentrifuge. Clin Chem 18: 499-502.
4. Zimmet P, Alberti G, Kaufman F, Tajima N, Silink M, et al. (2007) The metabolic
syndrome in children and adolescents: the IDF consensus. Diabetes Voice 52: 25. Siedel J, Schmuck R, Staepels J (1993) Long-term stable liquid ready-to-use
29-32. monoreagent for the enzimatic assay of serum or plasma triglicerides (GPO
PAP method), AACC Meeting (Abstract 34). Clin Chem 39: 1127.
5. Steinberger J, Daniels SR, Eckel RH, Hayman L, Lustig RH, et al. (2009)
Progress and challenges in metabolic syndrome in children and adolescents: 26. Trinder P (1969) Determination of blood glucose using an oxidase-peroxidase
A scientific statement from the American Heart Association Atherosclerosis, system with a non-carcinogenic chromogen. J Clin Pathol 22 :158-161.
Hypertension, and Obesity in the Young Committee of the Council on 27. Matthews DR, Hosker JP, Rudenski AS, Naylor BA, Treacher DF, et al. (1985)
Cardiovascular Disease in the Young; Council on Cardiovascular Nursing; and Homeostasis model assessment: insulin resistance and beta-cell function from
Council on Nutrition, Physical Activity, and Metabolism Circulation 119: 628- fasting plasma glucose and insulin concentrations in man. Diabetologia 28:
647. 412-419.
6. Nguyen QM, Srinivasan SR, Xu JH, Chen W, Berenson GS (2008) Changes in 28. Garcia-Cuartero B, Garcia-Lacalle C, Jimenez-Lobo C, Gonzalez-Vergaz A,
risk variables of metabolic syndrome since childhood in pre-diabetic and type 2 Calvo-Rey C, et al. (2007) Indice HOMA y QUICKI, insulina y péptido C en
diabetic subjects. Diabetes Care 31: 2044-2049. niños sanos. Puntos de corte de riesgo cardiovascular. An Pediatr (Barc.) 66:
481-490.
7. Daniels SR, Greer F (2008) Committee on Nutrition Lipid screening and
cardiovascular health in childhood. Pediatrics 122: 198-208. 29. Williams CL, Hayman LL, Daniels SR, Robinson TN, Steinberger J, et al. (2002)
Cardiovascular health in childhood: A statement for health professionals from
8. Ayaz T, Baydur Azahin S, Sahin OZ (2014) Relation of acanthosis nigricans
the Committee on Atherosclerosis, Hypertension, and Obesity in the Young
to metabolic syndrome in overweight and obese women. Metab Syndr Relat
(AHOY) of the Council on Cardiovascular Disease in the Young. American
Disord 12: 320-323.
Heart Association. Circulation 106: 143-160.
9. Garg MK, Dutta MK, Brar KS (2012) Inflammatory markers in metabolic
30. NCEP (1991) National Cholesterol Education Panel. The Expert Panel On
syndrome. Int J Diabetes Dev Ctries 32: 131-137.
Blood Cholesterol Levels In Children and Adolescents. Nutrition Today 26: 36-
10. Secretaría de Salud (2007) Programa Nacional de Salud 2007-2012 Por un 41.
México sano: construyendo alianzas para una mejor salud. Pp. 28-29.
31. ADA (2012) American Diabetes Association Standards of medical care in
11. Morrison J, Glueck C, Horn P, Wang P (2010) Childhood predictors of adult diabetes-2012. Diabetes Care 35: S11-S63.
type 2 diabetes at 9- and 26-year follow-ups. Arch Pediatr Adolesc Med 164: 32. INSP (2007) Encuesta Nacional de Salud y Nutrición 2006. Resultados por
53-60. entidad federativa, Sonora. Cuernavaca, México, Instituto Nacional de Salud
12. Morrison JA, Friedman LA, Gray-McGuire C (2007) Metabolic syndrome in Pública-Secretaria de Salud.
childhood predicts adult cardiovascular disease 25 years later: The Princeton 33. Moran R (1999) Evaluation and treatment of childhood obesity. Am Fam
lipid research clinics follow-up study. Pediatrics 120: 340-345. Physician 59(4):861-868.
13. INSP (2013) Encuesta Nacional de Salud y Nutrición 2012. Resultados por 34. Whitaker R, Wright J, Pepe M, Seidel K, Dietz W (1997) Predicting obesity
entidad federativa, Sonora. Cuernavaca, México, Instituto Nacional de Salud in young adulthood from childhood and parental obesity. N Engl J Med 337:
Pública. 869-873.
14. Steinberger J, Daniels SR (2003) Obesity, Insulin Resistance, Diabetes, and 35. Kuschnir MC, Mendoça GA (2007) Risk factors associated with arterial
Cardiovascular Risk in Children: An American Heart Association Scientific hypertension in adolescents. J Pediatr 83: 335-342.
Statement From the Atherosclerosis, Hypertension, and Obesity in the Young
Committee (Council on Cardiovascular Disease in the Young) and the Diabetes 36. Ballesteros MN, Cabrera RM, del Socorro Saucedo M, Fernandez ML (2004)

J Metabolic Synd Volume 4 • Issue 3 • 1000181


ISSN: 2167-0943 JMS, an open access journal
Citation: Ramírez-Murillo C, Guillot-Sánchez E, Elizabeth Artalejo-Ochoa QB, Robles-Sardin AE, Ponce-Martínez JA, et al. (2015) Prevalence of
Metabolic Syndrome Diagnosed by Three Different Criteria in School-Aged Children from Rural and Urban Areas of Northwest Mexico. J
Metabolic Synd 4: 181. doi:10.4172/2167-0943.1000181

Page 9 of 9

Dietary cholesterol does not increase biomarkers for chronic disease in a and Mexican immigrant children and adolescents than among peers in Mexico.
pediatric population from northern Mexico. Am J Clin Nutr 80: 855-861. J Immigr Minor Health 14: 517-522.

37. Enríquez-Leal MC, Montano-Figueroa CA, Saucedo-Tamayo MS, Vidal Ochoa 43. Wilcox G (2005) Insulin and Insulin Resistance. Clinical Biochemist Reviews
M, Rivera-Icedo BM, et al. (2010) Incidencia, características clínicas y estado 26: 19-39.
nutricional en niños y adolescentes mexicanos con diabetes. Interciencia 35:
455-460. 44. Barja S, Arteaga A, Acosta A (2003) Resistencia insulínica y otras expresiones
del síndrome metabólico en niños obesos chilenos. Rev Med Chil 131: 259-
38. Ballesteros-Vásquez MN, Amaya M, Guerrero EV, García Vedugo K, Grijalva- 268.
Haro MI, et al. (2012) Patrón de predominancia de las subfracciones de la
lipoproteína HDL y su asociación con riesgo cardiovascular en niños escolares. 45. Chiarelli F, Marcovecchio ML (2008) Insulin resistance and obesity in childhood.
In Congreso de la Sociedad Latinoamericana de Nutrición SLAN, Ed. Habana, Eur J Endocrinol 159: S67-S74.
Cuba, Sociedad Latinoamericana de Nutrición, pp. 251. 46. Cruz ML, Weigensberg MJ, Huang TTK, Ball G, Shaibi GQ, et al. (2004)
39. van Vliet M, Heymans M, von Rosenstiel I, Brandjes D, Beijnen J, et al. (2011) The metabolic syndrome in overweight hispanic youth and the role of insulin
Cardiometabolic risk variables in overweight and obese children: a worldwide sensitivity J Clin Endocrinol Metab 89: 108-113.
comparison. Cardiovasc Diabetol 10: 106. 47. Yanes-Quesada M, Perich-Amador P, González-Suárez R, Yanes-Quesada
40. Hawkes C (2006) Uneven dietary development: linking the policies and M, Cruz-Hernández J, et al. (2007) Factores clínicos relacionados con
processes of globalization with the nutrition transition, obesity and diet-related la hipertensión arterial en pacientes con trastornos de tolerancia a los
chronic diseases. Global Health 2: 4. carbohidratos. Rev Cubana Med Gen Integ 23.

41. Hujava Z, Lesniakova M (2011) Anthropometric risk factors of aterosclerosis: 48. Luma GB, Spiotta RT (2006) Hypertension in children and adolescents. Am
Differences between urban and rural East-Slovakian children and adolescents. Fam Physician 73: 1558-1568.
Bratisl Lek Listy 112: 491-496. 49. Elizondo-Montemayor L, Serrano-Gonzalez M, Ugalde-Casas PA, Cuello-
42. Hernandez-Valero MA, Bustamante-Montes LP, Hernández M, Halley-Castillo Garcia C, Borbolla-Escoboza JR (2010) Metabolic syndrome risk factors
E, Wilkinson AV, et al. (2012) Higher risk for obesity among Mexican-American among a sample of overweight and obese Mexican children. J Clin Hypertens
12: 380-387.

Submit your next manuscript and get advantages of OMICS


Group submissions
Unique features:
• Increased global visibility of articles through worldwide distribution and indexing
• Showcasing recent research output in a timely and updated manner
• Special issues on the current trends of scientific research
Special features:
• 700 Open Access Journals
• 50,000 Editorial team
• Rapid review process
• Quality and quick editorial, review and publication processing
• Indexing at PubMed (partial), Scopus, EBSCO, Index Copernicus, Google Scholar etc.
Citation: Ramírez-Murillo C, Guillot-Sánchez E, Elizabeth Artalejo-Ochoa QB, • Sharing Option: Social Networking Enabled
Robles-Sardin AE, Ponce-Martínez JA, et al. (2015) Prevalence of Metabolic • Authors, Reviewers and Editors rewarded with online Scientific Credits
Syndrome Diagnosed by Three Different Criteria in School-Aged Children • Better discount for your subsequent articles
from Rural and Urban Areas of Northwest Mexico. J Metabolic Synd 4: 181. Submit your manuscript at: http://www.omicsonline.org/submission/
doi:10.4172/2167-0943.1000181

J Metabolic Synd Volume 4 • Issue 3 • 1000181


ISSN: 2167-0943 JMS, an open access journal

View publication stats


KAJIAN ISU KESEHATAN MASYARAKAT
STUNTING: PERMASALAHAN SERIUS BAGI GENERASI
PENERUS

PROMOTOR
NI KADEK DWI CAHYANI OKTARINA 1802561002

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
1

STUNTING: PERMASALAHAN SERIUS BAGI GENERASI PENERUS


Permasalahan gizi adalah sebuah masalah kesehatan global. Tiga beban
malnutrisi masih membayang-bayangi kelangsungan hidup anak di suatu negara.
Tiga beban ini terdiri dari gizi lebih, gizi kurang, dan kelaparan yang terselubung
(Unicef, 2019a). Sekitar sepertiga balita mengalami stunting, berat badan berlebih,
dan wasting. Sementara itu, dua pertiganya berisiko mengalami kelaparan
terselubung dan malnutrisi (gizi kurang dan gizi lebih) (Unicef, 2019a).
Beban ganda malnutrisi merupakan suatu kondisi yang dialami Indonesia
saat ini (Agustina et al., 2018). Beban ganda ini terdiri dari gizi lebih dan gizi
kurang. Bentuk permasalahan gizi kurang adalah Kurang Energi Protein (KEP).
Salah satu manifestasi KEP yaitu stunting. Stunting merupakan salah satu masalah
kesehatan yang semakin banyak ditemukan di negara berkembang, termasuk
Indonesia (Choliq dkk., 2020: 32). Stunting adalah suatu masalah gizi kronis yang
terjadi akibat rendahnya asupan gizi dan berpengaruh pada pertumbuhan tinggi
badan anak (P2PTM Kemkes, 2018a). Sebelumnya, kondisi stunting pada anak
cenderung belum mendapatkan perhatian (De Onis, Blössner and Borghi, 2012).
Namun, saat ini permasalahan gizi ini telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat dan mulai mendapatkan perhatian dari berbagai pihak (De Onis,
Blössner and Borghi, 2012; Prendergast and Humphrey, 2014).
Menurut WHO (2018) menyatakan bahwa prevalensi stunting pada balita di
dunia sebesar 22% sedangkan di Indonesia, menurut Riskesdas (2018) prevalensi
stunting pada balita sebesar 30,8%. Dengan demikian dapat dikatakan prevalensi
stunting di Indonesia lebih tinggi dibanding prevalensi stunting di dunia. Dalam
kesehatan masyarakat jika prevalansi stunting sebesar 30%-39% dikategorikan
berat dan ≥ 40 dikategorikan serius (WHO, 2010). Provinsi yang memiliki angka
stunting tertinggi yaitu Nusa Tenggara Timur dengan 42,6%, dan terendah yaitu
DKI Jakarta dengan prevalensi 17,7% (Kementerian Kesehatan RI Badan
Penelitian dan Pengembangan, 2018).
Permasalahan gizi berupa stunting adalah permasalahan yang terjadi akibat
berbagai faktor penyebab. Penyebab stunting dapat dikategorikan menjadi
2

karakteristik balita dan sosial ekonomi (Ni’mah, K. and Nadhiroh, S.R., 2016).
Faktor-faktor tersebut terdiri dari:
1. Rendahnya asupan nutrisi
Asupan nutrisi yang tidak memenuhi kecukupan dapat
menyebabkan terjadinya kekurangan gizi dan mengganggu pertumbuhan
anak (Sulastri, D., 2012). Pada 500 hari pertama, kebutuhan gizi seorang
anak bergantung pada asupan nutrisi yang berasal dari sang ibu, baik
melalui plasenta maupun ASI (Aguayo dan Menon, 2016). Apabila pola
pemberian makanan pada bayi dan balita dilakukan dengan kurang baik,
maka dapat menyebabkan terjadinya stunting. Pola pemberian ini meliputi
pemberian Air Susu Ibu (ASI) non eksklusif serta pemberian Makanan
Pendamping ASI (MPASI) yang kurang baik dari segi kualitas, kuantitas,
dan variasinya (WHO, 2014). MPASI berperan dalam membantu
pertumbuhan fisik serta otak pada anak (Aguayo dan Menon, 2016).
2. Penyakit infeksi yang terjadi secara berulang
Terjadinya penyakit infeksi juga dapat menjadi penyebab stunting.
Penyakit infeksi merupakan hal yang terjadi akibat paparan dari
lingkungan yang tercemar dan rendahnya higiene (WHO, 2014). Jenis
penyakit infeksi yang dapat menyebabkan terjadinya stunting yaitu infeksi
yang disebabkan oleh parasit, contohnya malaria dan diare (Millward,
2017). Anak yang mengalami stunting memiliki kemungkinan untuk
mengalami penyakit infeksi dengan durasi waktu yang lebih lama
dibandingkan anak tidak stunting (Kusumawati, E., et al., 2016).
3. Rendahnya kesehatan ibu hamil
Kesehatan ibu pada sebelum, saat, dan setelah kehamilan
berpengaruh pada kesehatan anak (WHO, 2014). Stunting dapat bermula
dari masa konsepsi. Hal yang dapat memengaruhi terjadinya stunting pada
masa kehamilan yaitu malnutrisi yang terjadi pada ibu hamil, polusi udara
indoor maupun akibat paparan asap rokok, dan anemia (Dewey, 2011).
4. Status sosial ekonomi keluarga
Status sosial ekonomi berupa pendapatan, pendidikan orang tua,
dan jumlah anggota keluarga dapat memengaruhi kejadian stunting pada
3

balita (Ni’mah, K. and Nadhiroh, S.R., 2016). Kejadian malnutrisi kerap


terjadi pada keluarga dengan pendapatan rendah dan kelompok marginal
(Unicef, 2019b). Selain itu, kejadian stunting lebih sering terjadi pada anak
dengan ibu yang memiliki tingkat pendidikan rendah (Sulastri, D., 2012).
Menurut Choliq et al (2020) dampak yang dapat ditimbulkan stunting secara
umum dapat dibedakan menjadi dua yaitu dampak jangka pendek dan jangka
panjang. Dampak jangka pendek antara lain: Meningkatnya angka morbiditas dan
mortalitas. Kematian anak akibat stunting diperkirakan mencapai rata-rata 1 juta
kematian (Aguayo dan Menon, 2016). Stunting juga dapat meningkatkan risiko
anak mengalami penyakit metabolik saat dewasa (Prendergast and Humphrey,
2014). Selain itu, stunting juga berpengaruh pada perkembangan kognitif,
motorik, dan verbal pada anak yang tidak optimal serta meningkatnya biaya
kesehatan. Di samping dampak jangka pendek, stunting juga memiliki dampak
jangka panjang bagi perkembangan anak. Dampak ini antara lain: Postur tubuh
yang tidak optimal saat dewasa; Meningkatnya risiko obesitas dan penyakit
lainnya; Kapasitas belajar yang kurang optimal saat masa sekolah; Produktivitas
serta kapasitas kerja yang tidak optimal.
Dalam mengatasi permasalahan stunting ini, pemerintah Indonesia telah
melaksanakan beberapa hal, yakni bergabung dengan gerakan Global Scaling Up
Nutrition (SUN) Movement pada tahun 2011, membuat Peraturan Presiden No. 42
Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi (Gernas PPG),
serta menambahkan pencegahan stunting dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) tahun 2015-2019 (Satriawan, E., 2018).
Pemerintah juga telah melaksanakan upaya penanggulangan yang disebut
sebagai Strategi Nasional Pencegahan Percepatan Stunting (Stranas Stunting)
2018-2024. Hal ini merupakan bentuk strategi jangka panjang yang memadukan
antara intervensi gizi spesifik dan sensitif. Stranas Stunting mendukung dan
membiayai kegiatan-kegiatan yang dianggap sebagai prioritas dalam upaya
penanggulangan stunting. Kegiatan ini terutama menyasar pada cakupan dan
kualitas pelayanan gizi rumah tangga dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan
(HPK). Upaya pemerintah ini bekerja sama dengan 23 kementerian/lembaga
(Satriawan, E., 2018).
4

Meskipun telah ada program dalam menangani stunting, prevalensi


stunting di Indonesia masih tergolong tinggi dan belum terjadi penurunan yang
signifikan. Penanggulangan stunting yang efektif sangat diperlukan dalam
mengatasi permasalahan gizi ini. Hal tersebut karena stunting dapat berpengaruh
bagi masa depan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, adapun langkah yang dapat
diambil oleh pemerintah selaku stakeholder di Indonesia yaitu:
1. Optimalisasi keterlibatan peran anggota keluarga lain
Permasalahan terkait gizi keluarga bukan hanya tugas seorang ibu.
Kesadaran dan keterlibatan anggota keluarga lain perlu ditingkatkan melalui
pendidikan serta pelatihan gizi. Hal tersebut tidak hanya menyasar kaum ibu,
melainkan juga menyasar orang-orang yang ada di sekitarnya, seperti suami serta
mertua. Hal ini karena pengambilan berbagai keputusan dalam keluarga
dipengaruhi oleh orang-orang tersebut.
2. Peningkatan kesadaran masyarakat mengenai sanitasi lingkungan
Sanitasi merupakan faktor yang berpengaruh pada kejadian penyakit
infeksi pada anak. Infeksi adalah salah satu penyebab utama terjadinya stunting.
Salah satu intervensi gizi sensitif dalam Stranas Stunting yaitu peningkatan
penyediaan air minum dan sanitasi melalui program peningkatan akses air minum
dan sanitasi. Dalam stranas stunting telah dibahas tentang peningkatan akses,
tetapi belum membahas tentang peningkatan kesadaran masyarakat. Padahal,
tanpa adanya kesadaran dari dalam diri sendiri, sulit untuk menerapkan sanitasi
dalam kehidupan sehari-hari. Peningkatan kesadaran dapat dilaksanakan melalui
upaya-upaya promosi kesehatan serta edukasi mengenai sanitasi.
3. Optimalisasi keterlibatan tokoh masyarakat maupun tokoh agama
Tokoh masyarakat maupun tokoh agama merupakan orang-orang yang
berpengaruh bagi lingkungan sekitarnya. Dalam upaya pendidikan maupun
pelatihan untuk menanggulangi stunting perlu melibatkan tokoh-tokoh tersebut.
Hal ini dapat mempermudah pemberian pengaruh bagi masyarakat untuk
mengikuti arahan terkait dengan penanggulangan stunting. Tokoh masyarakat atau
tokoh agama dianggap sebagai role model masyarakat sehingga masyarakat
cenderung mudah menerima dan melaksanakan hal yang disampaikan oleh tokoh
masyarakat maupun tokoh agama.
5

DAFTAR PUSTAKA
Agustina, R. et al. 2018. ‘Development of Innovative Picture Storybooks to
Empower Parents and Teachers for Early Childhood Education in
Nutrition and Social-Behavior in Jakarta’, ASEAN Journal of Community
Engagement, 2(2), p. 298. doi: 10.7454/ajce.v2i2.128.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2018. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Choliq, I., D. Nasrullah, dan Mundakir. 2020. Pencegahan Stunting di Medokan
Semampir Surabaya Melalui Modifikasi Makanan Pada Anak. Jurnal
Pengabdian Masyarakat Humanism 1(1): 31–40.
De Onis, M., Blössner, M. and Borghi, E. (2012) ‘Prevalence and trends of
stunting among pre-school children, 1990-2020’, Public Health Nutrition,
15(1), pp. 142–148. doi: 10.1017/S1368980011001315.
Dewey, K.G. and Begum, K., 2011. Long‐term consequences of stunting in early
life. Maternal & child nutrition, 7, pp.5-18.
Kementerian Kesehatan RI Badan Penelitian dan Pengembangan (2018) ‘Hasil
Utama Riset Kesehatan Dasar’, Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, pp. 1–100. doi: 1 Desember 2013.
Kusumawati, E., Rahardjo, S. and Sari, H.P., 2015. Model pengendalian faktor
risiko stunting pada anak bawah tiga tahun. Kesmas: National Public
Health Journal, 9(3), pp.249-256.
Ni’mah, K. and Nadhiroh, S.R., 2016. Faktor yang berhubungan dengan kejadian
stunting pada balita. Media Gizi Indonesia, 10(1), pp.13-19.
P2PTM Kemkes (2018a) 1 dari 3 Balita Indonesia Derita Stunting. Available at:
http://www.p2ptm.kemkes.go.id/artikel-sehat/1-dari-3-balita-indonesia-
derita-stunting (Accessed: 30 May 2020).
Prendergast, A. J. and Humphrey, J. H. (2014) ‘The stunting syndrome in
developing countries’, Paediatrics and International Child Health, 34(4),
pp. 250–265. doi: 10.1179/2046905514Y.0000000158.
Satriawan, E. 2018 ‘Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting 2018-2024
(National Strategy for Accelerating Stunting Prevention 2018-2024)’, Tim
Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Sekretariat
6

Wakil Presiden Republik Indonesia, (November), pp. 1–32. Available at:


http://tnp2k.go.id/filemanager/files/Rakornis 2018/Sesi
1_01_RakorStuntingTNP2K_Stranas_22Nov2018.pdf.
Sulastri, D., 2012. Faktor determinan kejadian stunting pada anak usia sekolah di
Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang. Majalah Kedokteran Andalas,
36(1), pp.39-50.
Unicef. 2019a. Status Anak Dunia 2019: Anak, Pangan, dan Gizi. Available at:
https://www.unicef.org/indonesia/id/status-anak-dunia-2019 (Accessed: 1
June 2020)
Unicef. 2019b. Poor diets damaging children’s health worldwide, warns UNICEF:
Poverty, urbanization, climate change and poor eating choices driving
unhealthy diets. Available at: https://www.unicef.org/press-releases/poor-
diets-damaging-childrens-health-worldwide-warns-unicef (Accessed: 1
June 2020)
World Health Organization. 2018. Child Stunting. Available at:
https://www.who.int/gho/child-malnutrition/stunting/en/ (Accessed: 30
May 2020).
World Health Organization. 2010. Interpretation Guide. Nutrition Landscape
Information System (NLIS) Country Profile Indicators. 1–51.
World Health Organization. 2014. Global nutrition targets 2025: Stunting policy
brief (No. WHO/NMH/NHD/14.3). World Health Organization.
TUGAS RESUME JURNAL ILMIAH
ANALISIS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KEJADIAN STROKE DI RSUD INDRAMAYU

PROMOTOR
NI KADEK DWI CAHYANI OKTARINA 1802561002

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
Judul : Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Stroke di RSUD Indramayu

Sumber : Jurnal Pendidikan Keperawatan Indonesia

Latar belakang : Stroke merupakan penyakit neurologik yang terjadi


karena gangguan suplai darah menuju otak. Semakin
bertambahnya usia seseorang, maka risiko terkena stroke
semakin tinggi. Menurut WHO, kematian akibat stroke
akan meningkat seiring dengan kematian akibat penyakit
jantung dan kanker, dari 6 juta pada tahun 2010 menjadi
8 juta di tahun 2030. Prevalensi stroke di Indonesia
meningkat sebesar 8,3%, menjadi sebesar 12,1 per 1.000
penduduk pada tahun 2013. Adapun faktor yang dapat
menyebabkan stroke meliputi faktor risiko yang tidak
dapat diubah dan faktor risiko yang dapat diubah.
Salah satu rumah sakit rujukan terbesar di Kabupaten
Indramayu yaitu RSUD Indramayu, memiliki pasien
stroke dengan rata-rata 54 pasien per bulannya. Namun,
belum diketahui faktor risiko utama yang menyebabkan
stroke pada pasien di RSUD Indramayu. Berdasarkan hal
tersebut, peneliti ingin meneliti faktor risiko yang
berkontribusi terhadap terjadinya stroke CVD-SH dan
stroke CVD-SNH.

Tujuan : Untuk menentukan faktor risiko utama terjadinya stroke


CVD-SH maupun stroke CVD-SNH.

Metodologi : Penelitian ini dilakukan dengan desain penelitian Cross


Sectional. Jumlah sampel yang diteliti yaitu sebanyak
103 responden dengan diagnosa medis stroke yang
dirawat di ruang ICU dan ruang penyakit dalam RSUD
Indramayu. Penelitian ini menggunakan data primer
yang diperoleh langsung dari subjek penelitian, dengan
cara memberikan kuesioner dan melakukan wawancara.

Hasil : Hasil analisis menunjukan bahwa terdapat faktor yang


tidak berhubungan secara bermakna dan berhubungan
secara bermakna terhadap kejadian stroke. Faktor yang
tidak berhubungan secara bermakna yaitu umur ((p =
0,059, dan OR = 2,563, CI 95 % =1,054 – 6,233), jenis
kelamin (p = 0,631, dan OR= 0,738, CI 95 % = 0,315-
1,732), riwayat diabetes (p = 0,512, dan OR = 1,528, CI
95 % = 0,605-3,861), riwayat jantung (p = 0,627, dan
OR = 1,667 CI 95 % = 0,264-10,516), kadar kolesterol
darah (p = 0,051, dan OR = 2,724 CI 95 % = 1,096-
6,771), perilaku tidak merokok (p = 1,000, dan OR =
1,053 CI 95 % = 0,449-2,467), dan riwayat obesitas (p =
0,307, dan OR = 0,566 CI 95 % = 0,232-1,383).
Sedangkan faktor yang berhubungan secara bermakna
yaitu hipertensi (p = 0,035, dan OR = 7,500, CI 95 % =
0,944-59,599) dan aktivitas fisik (p = 0,011, dan OR =
0,146, CI 95 % = 0,032-0,664). Namun dari seluruh
faktor, aktivitas fisik merupakan faktor risiko dominan
yang berpengaruh terhadap kejadian stroke dengan
OR=5,8.

Kesimpulan : Riwayat hipertensi dan aktivitas fisik merupakan faktor


risiko independen yang berhubungan dengan kejadian
stroke.

Kata Kunci : Aktivitas fisik, faktor risiko, hipertensi & stroke


Kelebihan : Dalam jurnal ini telah dijelaskan secara rinci mengenai
hasil dan hubungan antara satu faktor risiko dengan
faktor risiko lainnya, sehingga pembaca mudah
memahami isi artikel penelitian. Selain itu sudah
terdapat rekomendasi yang bisa menjadi masukan
terhadap rumah sakit terkait.

Kekurangan : Belum terdapat saran dalam penelitian ini, sehingga


tidak dapat mengetahui kekurangan yang terdapat dalam
penelitian untuk menjadi acuan penelitian berikutnya.

Saran : Peneliti harus jeli dalam memilih penggunaan bahasa


dan perlu memperhatikan kesalahan pengetikan kata,
agar pembaca jurnal tersebut tidak kesulitan dalam
mengartikan yang telah ditulis oleh peneliti. Selain itu,
diperlukan penelitian lanjutan untuk mengkaji lebih
dalam permasalahan yang diangkat oleh peneliti.
Contoh Poster Publik
Contoh Video Promosi Kesehatan :

Contoh video promosi kesehatan dapat diakses pada link berikut :


https://drive.google.com/drive/folders/1mrCEcSnd_xYnibZI8cvmA_Ry03AJxj_X
?usp=sharing
REVIEW JURNAL ILMIAH

SCHIZOTYPAL PERSONALITY DISORDER_WILHELM


WUNDT

PROGRAM STUDI SARJANA PSIKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2020

2
Penulis Pande Wayan Mustika dan I Made Sutajaya
Tahun 2016
Judul Ergonomi dalam Pembelajaran Menunjang Profesionalisme
Guru di Era Global
Nama Jurnal Jurnal Pendidikan Indonesia
Volume & Vol 5 - No. 1
Nomor
Halaman 82-96
DOI http://dx.doi.org/10.23887/jpi-undiksha.v5i1.8933
Diakses tgl 19 Maret 2020
Sitasi Mustika, P. W., & Sutajaya, I. M. (2016). Ergonomi dalam
pembelajaran menunjang profesionalisme guru di era
global. JPI (Jurnal Pendidikan Indonesia), 5(1), 82-96. DOI:
http://dx.doi.org/10.23887/jpi-undiksha.v5i1.8933
Latar Belakang Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat dan
kompleksnya permasalahan di era global, seorang guru harus
berupaya dalam meningkatkan profesionalisme khususnya
yang berkaitan dengan pemahaman terhadap prinsip-prinsip
ergonomi yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran.
Manuaba (2004) mendeskripsikan ergonomi sebagai ilmu,
teknologi, dan seni untuk menserasikan alat, cara kerja dan
lingkungan pada kemampuan, kebolehan dan batasan manusia,
sehingga diperoleh kondisi kerja dan lingkungan yang sehat,
aman, nyaman, efektif, dan efisien demi tercapainya
produktivitas yang setinggi-tingginya. Akan tetapi, saat ini
tampaknya kaidah-kaidah ergonomi belum diterapkan dalam
mendesain ruang belajar dengan perangkat pendukungnya, baik
di sekolah-sekolah maupun di tempat-tempat pendidikan
lainnya yang diduga diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan
guru terhadap prinsip-prinsip ergonomi yang dapat diterapkan
dalam proses pembelajaran. Padahal, menurut beberapa laporan
penelitian, salah satunya adalah penelitian oleh Sutajaya (2001)
yang melaporkan bahwa penerapan ergonomi di ruang belajar
dapat meningkatkan hasil belajar. Untuk mengatasi hal
tersebut, maka perlu dikaji terkait prinsip-prinsip ergonomi
dalam mendesain ruang belajar sebagai upaya untuk
meningkatkan profesionalisme guru dalam proses pengelolaan
kelas.
Metode Penelitian deskriptif ini menggunakan metode kajian pustaka
yang diperoleh melalui berbagai sumber. Argumentasi penulis
mengarah dalam upaya memadukan pengalaman pembelajaran

3
yang ditekuni penulis selama ini dengan menyinkronkannya
pada teori yang ada.
Hasil Gamez & Cybis (1998) menyatakan bahwa sarana
pembelajaran yang tidak memenuhi syarat ergonomi
mengakibatkan atau merusak kualitas pembelajaran yang
berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai. Berdasarkan hasil
kajian peneliti, ditemukan bahwa pengetahuan mengenai
tempat duduk yang nyaman digunakan pada saat belajar
memegang peranan penting di dalam meningkatkan
pemahaman guru tentang kaidah yang harus diikuti terkait
dengan tempat duduk siswa. Kemudian, pengetahuan tentang
ukuran meja belajar yang sesuai untuk dipakai memegang
peranan penting di dalam upaya peningkatakan pemahaman
guru tentang manfaat meja belajar yang ergonomis bagi
kesehatan dan kenyamanan siswa dalam proses pembelajaran.
Selanjutnya, pemahaman guru terhadap kajian ergonomi dalam
penempatan papan tulis dan faktor silau yang dapat
mengganggu proses pembelajaran dapat dimanfaatkan sebagai
upaya peningkatan profesionalisme guru dalam mengelola
sarana pembelajaran. Lalu, pengetahuan mengenai penerangan
yang baik digunakan saat kegiatan belajar dapat diaplikasikan
oleh seorang guru ketika ingin mendapatkan penerangan yang
memadai dalam proses pembelajaran dan ketika mereka
menentukan pilihan terhadap jenis sumber penerangan yang
cocok untuk proses pembelajaran. Kemudian, pengetahuan
guru tentang mikroklimat di ruang belajar dapat dimanfaatkan
sebagai acuan di dalam mendesain ruang belajar yang nyaman
dan tidak menimbulkan respon fisiologis yang tidak diinginkan.
Terakhir, pengetahuan guru mengenai pendekatan SHIP dapat
digunakan sebagai penambah wawasan dalam penerapan
pembelajaran inovatif. Adapun enam kendala yang dihadapi
dalam mensosialisasikan prinsip-prinsip ergonomi dalam
pembelajaran.
Pembahasan Prinsip-prinsip ergonomi yang digunakan dalam mendesain
sebuah produk akan dapat menghasilkan produk yang lebih
sesuai terhadap pemakai, memuaskan, nyaman, dan aman.
Akan tetapi, hal ini terkadang diabaikan, misalnya guru dan
siswa kurang memperhatikan tempat duduk yang mereka pakai
padahal tempat duduk memiliki peranan penting ketika mereka
melakukan aktivitas. Agar tempat duduk nyaman digunakan
dalam belajar, maka perlu diperhatikan ukurannya mulai dari
tinggi, alas duduk, ujung tepi depan, luas alas duduk, hingga
4
sandaran yang digunakan. Oleh karena itu, ergonomi memiliki
peranan penting dalam meningkatkan pemahaman guru tentang
prinsip yang harus diikuti terkait dengan tempat duduk siswa.
Hal lain pun seperti meja belajar, papan tulis, penerangan,
hingga power point maupun suhu ruangan yang digunakan
perlu diperhatikan.
Adapun yang perlu dihindari dalam penggunaan hal yang tidak
ergonomi dan juga dampak yang ditimbukan, antara lain, meja
belajar yang terlalu tinggi maupun rendah, penempatan papan
tulis yang tidak tepat sehingga menyebabkan gangguan
fisiologis ketika tulisan ingin dibaca, penerangan yang terlalu
silau menyebabkan rasa tidak nyaman bahkan dapat
mengurangi kemampuan mata, dan penggunaan ukuran tulisan
maupun warna pada power point misalnya penggunaan warna
merah atau ungu untuk latar belakang atau tulisan yang ingin
ditampilan yang mana warna merah memiliki efek
psikofisiologis yang sifatnya mengganggu dan warna ungu
bersifat agresif. Selain itu, suhu juga perlu diperhatikan, yaitu
suhu yang nyaman untuk daerah tropis adalah 22 s.d. 28o.
Upaya sosialisasi prinsip ergonomi dalam pembelajaran yang
bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme guru sering
menemui kendala diantaranya, prinsip ergonomi yang belum
diketahui, belum dipahami maupun belum dimengerti terkait
prinsip ergonomi yang dapat dimanfaatkan dalam standar
mendesain sarana prasarana maupun proses pembelajaran,
kalaupun prinsip telah diketahui namun lebih mementingkan
metode yang digunakan dan mengabaikan standar ergonomi,
belum diketahui dampak yang terjadi apabila sarana prasarana
maupun metode pembelajaran tidak sesuai standar ergonomi,
terdapat pengajar yang menganggap apa yang diterapkan sudah
yang baik dan benar, standar ergonomis juga sering diabaikan
dikarenakan alokasi waktu, pertimbangan ekonomi, serta biaya
yang diperlukan dalam menerapkan prinsip ergonomi, dan
terbatasnya guru yang inovatif, proaktif, dan produktif
sehingga prinsip ergonomi yang sangat aplikatif tidak dapat
diterapkan.
Simpulan Berdasarkan kajian pustaka yang telah peneliti lakukan, dapat
disimpulkan bahwa prinsip-prinsip ergonomi pada
pembelajaran yang diketahui guru sangat relevan pada upaya
meningkatkan profesionalisme guru, peran prinsip-prinsip
ergonomi dalam pembelajaran dan dampak yang ditimbulkan
oleh sarana prasarana yang tidak ergonomi yang dipahami guru

5
dapat berguna dalam menambah pengetahuan sebagai upaya
pengelolaan kelas, serta rintangan yang dihadapi ketika
mensosialisasikan prinsip-prinsip ergonomi bisa digunakan
sebagai tantangan dan peluang dalam menerapkan prinsip
ergonomi di sekolah.
Komentar Jurnal telah lengkap menggambarkan latar belakang, metode,
hasil, pembahasan, dan kesimpulan secara runut dan jelas
namun penulis membuat beberapa kekeliruan dalam penulisan
seperti kesalahan pengetikan dan juga kesalahan dalam tanda
baca yang cukup mengganggu dalam proses memahami jurnal
ini. Kelebihan yang dimiliki oleh jurnal ini yaitu mampu
menjelaskan secara jelas dan rinci terkait permasalahan melalui
hasil dari kajian pustaka yang peneliti peroleh melalui berbagai
sumber.

6
CONTOH CAPTION MEDIA SOSIAL :

IVAN PAVLOV
Ivan Petrovich Pavlov adalah seorang fisiolog dan dokter yang
berkebangsaan Rusia. Ivan Pavlov sendiri merupakan pengembang teori
Behaviorisme, yang dilakukan dengan objek seekor anjing. Percobaan tersebut
dapat membuktikan adanya intervensi manipulasi lingkungan dapat menghasilkan
suatu perilaku tertentu. Proses pembentukan perilaku semacam itu disebut proses
pensyaratan (Conditioning proses).
Pavlov mendalami fisiologi hewan sebagai kuliah mayor dan kimia
sebagai mata kuliah minor ketika ia berkuliah di Universitas St. Petersburg.
Setelah lulus, ia memasuki Akademi Militer Medis pada tahun 1881 dan bekerja
sebagai asisten laboratorium disana selama dua tahun disana.
Pavlov adalah seseorang yang gemar membuat karya ilmiah. Terhitung
sudah 3 tahap karya ilmiah yang Pavlov lakoni. Tidak hanya dalam karya ilmiah,
Pavlov juga aktif di bidang politik yaitu dengan menentang politik esktrim apapun
itu.
Meskipun kesehatannya menurun pada tahun 1935, tetapi Pavlov tetap ikut
berpartisipasi dalam Kongres Internasional Fisiologis ke lima belas dan Kongres
Neurological di London. Ivan Pavlov meninggal pada 27 Februari 1936 dan tetap
diingat dengan teori Behaviorisme nya serta kontribusinya dalam menemukan
teori Behaviorisme yang bermanfaat bagi dunia Psikologi hingga saat ini.

Nb :Caption Media Sosial ditulis tidak lebih dari 200 kata (caption diatas
adalah 175 kata), isi caption menyesuaikan dengan tokoh yang dibahas
dalam mind map

7
CONTOH NARASI MIND MAP :
IVAN PAVLOV
Ivan Petrovich Pavlov atau yang lebih dikenal dengan Ivan Pavlov merupakan
salah satu tokoh psikologi yang teorinya banyak digunakan dalam penerapan ilmu
psikologi di kehidupan nyata. Ivan Pavlov lahir pada tanggal 14 September 1849
di Rusia. Ia berasal dari keluarga yang taat akan agama dan mengharapkannya
menjadi seorang pendeta. Namun setelah membaca buku dari Charles Darwin,
Pavlov menyadari bahwa keinginannya bukanlah pada bidang Teologi, melainkan
bergerak pada kegiatan pencarian ilmiah. Pada akhirnya ia memutuskan untuk
pindah dari sekolah lamanya di Seminari Teologi menuju Universitas St.
Petersburg dan mempelajari ilmu kimia dan fisiologi. Ia memulai riset ilmiahnya
dengan mencipatkan riset tentang sistem pencernaan dan peredaran darah. Inilah
yang menjadikannya sangat disegani oleh Kekaisaran Rusia dan diangkat sebagai
professor fisiologi di Akademi Kedokteran Kekaisaran Rusia.
Teori Pavlov yang paling terkenal hingga sekarang adalah Teori Behaviorisme
yang melibatkan objek anjing dalam penelitiannya. Percobaan tersebut dapat
membuktikan adanya intervensi manipulasi lingkungan dapat menghasilkan suatu
perilaku tertentu. Pada tahun 1903, Pavlov memutuskan untuk menerbitkan hasil
eksperimenya ini dengan menyebut proses pembelajaran dan pembentukan
perilaku sebagai “pengkondisian” atau proses pensyaratan (Conditioning proses).
Satu tahun kemudian, yaitu di tahun 1904 Pavlov menerima penghargaan Nobel
dalam bidang Fisiologi atau Kedokteran karena riset yang ia lakukan.
Meskipun Pavlov tidak menggeluti bidang ilmu Psikologi, namun temuannya ini
memiliki kontrobusi besar bagi perkembangan ilmi Psikologi. Pengkondisian
yang ia sebut sebagai “Conditional Clasical” ini ia temukan ketika melakukan
risetnya terkait sistem pencernaan dan peredaran darah. Ivan Pavlov
menggunakan anjing sebagai objek penelitiannya dan meneliti hubungan air liur
serta sistem kerja perut anjing ketika diberi makan. Ia menyelipkan tabung reaksi
kecil di masing- masing pipi anjing dan mengukur air liur anjing saat diberi
makan. Pavlov awalnya menduga jika reaksi pengeluaran air liur oleh anjing
terjadi ketika anjing dihadapkan dengan stimulus berupa makanan. Namun
semakin diperhatikan, anjing ternyata mengeluarkan air liur ketika ia mendengar
langkah asistennya membawa makanan. Pavlov mulai berpikir jika ia menemukan
suatu penemuan baru dan memutuskan untuk mempelajari dan mengembangkan
apa yang ia temui lebih lanjut.
Pavlov kemudian mengembangkan beberapa istilah teknis untuk menggambakan
proses yang terjadi. Unconditional Stimulus atau Stimulus tanpa syarat adalah
objek yang dapat menhasilkan respon atau reflek secara alami (dalam hal ini
adalah makanan). Kemudian reflex yang dihasilkan oleh Unconditional Stimulus
disebut sebagai Unconditional Respon (dalam hal ini adalah produksi air liur
secara otomatis ketika makanan dihidangkan). Pavlov kemudian menyebut
stimulus baru yang tidak menghasilkan respon sebagai Netral Stimulus (dalam
8
penelitian Palov, lonceng sebelum pengkondisian adalah stimulus netral). Pavlov
kemudian mulai mengkaitkan stimulus netral dengan Unconditional Stimulus ,
yaitu menghadirkan lonceng dan makanan secara bersama- sama kepada anjing.
Ini dilakukan secara terus menerus hingga pada akhirnya reaksi anjing terhadap
makanan saja bisa sama saat anjing dihadapkan dengan bunyi lonceng saja.
Lonceng tersebut setelah pengkondisian berubah menjadi Conditional Stimulus
dan respon terkait disebut oleh Pavlov sebagai Conditional Respon
Selain aktif dalam kegiatan riset didalam laboratorium, Pavlov juga gemar
menulis dan membuat karya ilmiah. Ia juga seseorang yang aktif dalam kegiatan
politik dan berpartisipasi dalam beberapa Kongres. Bahkan saat kondisi kesehatan
Pavlov meulai menurun, Pavlov tetap memutuskan untuk hadir pada Kongres
Internasional Fisiologis ke lima belas dan Kongres Neurological di London pada
tahun 1935. Satu tahun tepatnya pada tahun 1936, Ivan Pavlov wafat dan tetap
dikenang sebagai seorang yang aktif, gigih dan gemar melakukan penelitian
bahkan menghasilkan banyak teori yang bermanfaat baik dibidang Kedokteran
maupun Psikologi hingga kini.
Salah satu contoh penggunaan Teori Behaviorisme Pavlov atau yang dikenal
sebagai “Clasical Conditioning” pada penelitian terkini adalah tentang penerapan
teori Behaviorisme, termasuk teori pengkondisian Pavlov kedalam teknik
konseling agar konseling yang diterapkan dapat menciptakan tingkah laku yang
terbentuk melalui proses conditioning, menghilangkan gejala- gejala yang dialami
oleh konseli, serta meningkatkan kemampuan konseli dalam menghadapi berbagai
stimulus tanpa menghasilkan masalah baru (Jurnal : Sanyata, S. 2012. Teori dan
Aplikasi Pendekatan Behavioristik Dalam Konseling. Jurnal Paradigma. Vol 7
(14): 1- 11. ISSN: 1907- 297x)

NB :Narasi ditulis dengan minimal kata adalah 500 kata (narasi diatas
terdiri dari 609 kata) dan berisi tentang biografi singkat tokoh, teori,
penemuan, kontribusi dari tokoh dan penelitian terbaru terkait dengan
tokoh dengan jurnal minimal 10 tahun terakhir)

9
“KAJIAN ISU PSIKOLOGI”

DELIRIUM (1802531033)

WILHELM WUNDT

PROGRAM STUDI SARJANA PSIKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

2020

10
Ketahuan Merokok, Siswa Aniaya Gurunya : Apa Yang Salah?

“Viral : Siswa Smp Pukul Gurunya Karena Ditegur Merokok”

Demikianlah sepenggal judul berita yang belum lama ini dilansir oleh Tribun
Timur. Generasi muda yang kini aktif di media sosial pasti tahu bahwa belakangan ini ada
sebuah video viral yang dilansir oleh media pemberitaan pada Februari 2019 tentang
seorang siswa SMP yang memukul dan menendang gurunya lantaran dipergoki tengah
merokok di dalam kelas. Sayangnya, siswa-siswi lain yang melihat kejadian tersebut
hanya terdiam dan tertawa. Tidak hanya kasus tersebut, tahun-tahun sebelumnya juga
terjadi kasus serupa dilansir dari CNN Indonesia Maret 2018 yang disebabkan oleh siswa
yang tidak terima ketika HPnya disita, sehingga adu mulut sampai memukul guru
menggunakan kursi plastik tidak dapat dihindari. Kasus tersebut berujung pada rumah
sakit.

Kasus-kasus mengenai siswa yang berani melawan gurunya, bahkan melakukan


kekerasan fisik menjadi masalah pelik yang akhir-akhir ini makin marak terjadi. Dalam
menyikapi fenomena ini, perspektif psikologi menemukan bahwa terdapat dua faktor
yang dapat memengaruhi hal tersebut yaitu faktor eksternal dan faktor internal . Faktor
eksternal yaitu pola asuh orang tua. Sebab, keluarga adalah orang yang paling berperan
dalam perkembangan kepribadian anak.

Menurut Baumrid (1971) terdapat empat jenis gaya pengasuhan :

1. Pengasuhan Otoritarian Pengasuhan ini membatasi dan menghukum, dimana orang


tua mendesak anak untuk mengikuti arahan mereka dan menghormati pekerjaan dan
upaya mereka. Orang tua yang otoriter menerapkan batas dan kendali yang tegas pada
anak dan meminimalisir perdebatan verbal. Gaya ini biasanya mengakibatkan
perilaku anak yang tidak kompeten secara sosial. Anak dari orang tua yang otoriter
sering kali tidak bahagia, ketakutan, minder ketika membandingkan diri dengan orang
lain, tidak mampu memulai aktivitas, dan memiliki kemampuan komunikasi yang
lemah. Putra dari orang tua yang otoriter mengkin berperilaku agresif. (Hart dkk.,
2003).
2. Pengasuhan Otoritatif Pengasuhan gaya ini mendorong anak untuk mandiri namun
masih menerapkan batas dan kendali pada tindakan mereka. Tindakan verbal
memberi dan menerima dimungkinkan, dan orang tua bersikap dan penyayang

11
terhadap anak. Orang tua yang otoritatif menunjukkan kesenangan dan dukungan
sebagai respon terhadap perilaku konstruktif anak. Mereka mengharapkan perilaku
anak yang dewasa, mandiri dan berorientasi pada prestasi, mereka cenderung untuk
mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerja sama dengan
orang dewasa, dan bisa mengatasi stress dengan baik.
3. Pengasuhan yang mengabaikan Pengasuhan gaya ini dimana orang tua sangat tidak
terlibat dalam kehidupan anak. Anak yang memiliki orang tua mengabaikan merasa
bahwa aspek lain kehidupan orang tua lebih penting daripada diri mereka. Anak-anak
ini cenderung tidak memiliki kemampuan sosial. Banyak diantaranya memiliki
pengendalian diri yang buruk dan tidak mandiri. Mereka sering kali memiliki harga
diri yang rendah, tidak dewasa dan mungkin menunjukkan sikap suka membolos dan
nakal.
4. Pengasuhan yang menuruti Pengasuhan dengan gaya ini dimana orang tua sangat
terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka. Orang
tua membiarkan anak melakukan apa yang ia ingin lakukan. Hasilnya, anak tidak
pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap mendapat
keinginanya. Beberapa orang tua sengaja membesarkan anak mereka dengan cara ini
karena mereka percaya bahwa kombinasi anatara keterlibatan yang hangat dan sedikit
batasan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri. Namun, anak yang
memiliki orang tua yang selalu menurutinya jarang belajar menghormati orang lain
dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya. Gaya pengasuhan ini
biasanya mengakibatkan inkompetensi sosial anak, terutama kurangya pengendalian
diri. Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan dan kesulitan
dalam hubungan dengan teman sebaya (peer).
Faktor eksternal lainnya yang memengaruhi hal tersebut ialah lingkungan
pergaulan remaja dan perkembangan teknologi. Faktor pergaulan yang memengaruhi
adalah peer group(grup sebaya). Sebaya adalah orang dengan tingkat umur dan
kedewasaan yang sama. Salah satu fungsi terpenting sebaya adalah memberikan sumber
informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga. Anak-anak menerima umpan
balik tentang kemampuan mereka dari grup sebaya mereka. Melampaui informasi yang
diberikannya, interaksi sebaya memebuhi kebutuhan sosioemosional. Sebaya dan grup
sebaya adalah konsep global. Sebuah grup sebaya remaja acap kali merujuk kepada
orang-orang lingkungan tetangga, orang-orang rujukan, tim olahraga, kelompok sahabat
dan teman (Brown, 1999). Remaja cenderung mengikuti atau melakukan perilaku sesuai

12
dengan anggota grup sebaya mereka agar mendapat pengakuan dari teman-teman
sebayanya yang dinamakan konformitas.

Konformitas terhadap tekanan sebaya pada masa remaja bisa bersifat positif atau
negatif. Remaja yang terlibat dalam segala jenis perilaku konformitas negatif, sebagai
contoh, mereka dapat mencuri,merusak, dan mempermainkan orang tua serta guru.
Namun, sejumlah besar konformitas sebaya antara lain berpakaian seperti teman dan
ingin menghabiskan waktu bersama anggota grup sebaya, tidak negative dan
mencerminkan keinginan untuk terlibat dalam dunia sebaya.

Selain itu remaja masih berada pada tahap observational learning, yaitu
mempelajari sikap dan perilaku sosial dengan mengamati orang lain yang mereka jadikan
model. Bukan hanya mengamati, namun dapat meniru perilaku dan tindakan dari model
tersebut yang kemudian disebut sebagai modeling. Idola dari remaja juga berbeda-beda,
demi memikat minat para remaja sekarang banyak tontonan televisi yang tidak sesuai
seperti sinetron yang berisi adegan percintaan, bullying, dan kekerasan. Tokoh-tokoh
dalam film atau drama televisi bisa saja memengaruhi perilaku mereka baik perilaku
pergaulan maupun kesehariannya karena mereka mengidolakannya, mereka cenderung
menganggap apa yang dilakukan idolanya baik dalam hal peran di sebuah sinetron adalah
hal yang keren dan patut ditiru. Bukan hanya artis, orang sekitar dan orang terdekat bisa
menjadi model bagi remaja.

Selain faktor eksternal juga terdapat faktor internal yang memengaruhi remaja
yaitu kecerdasan emosional. Masa remaja adalah dimana dianggap sebagai masa yang
sulit secara emosional. Dalam beberapa kejadian, intensitas dari emosi yang mereka alami
memiliki proporsi yang terlalu berlebihan dibandingkan kejadian yang menyebabkannya
(Roseblum&Lewis, 2003). Kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan dan
mengekspresikan emosi dengan tepat, sesuai situasi seperti menerima perspektif orang
lain, kemampuan memahami emosi dan pengetahuan emosional seperti memahami peran
emosi dalam hubungan pertemanan, kemampuan menggunakan perasaan guna
melancarkan pemikiran serta kemampuan mengatur emosi diri sendiri dan orang lain
seperti kemampuan mengendalikan amarah ( Mayer, Salovey, dan Caruso, 2004 ).

Maka dari itu remaja sangat perlu dapat mengendalikan emosi mereka sendiri.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku remaja sangat dipengaruhi oleh pola asuh
dari orang tuanya, lingkungan tempat tinggal dan kecerdasan emosi danak. Faktor
eksternal dan internal harus berperan secara seimbang . Orang tua harus selalu
memberikan pengawasan terhadap setiap hal yang dilakukan anak-anak mereka, namun
13
bukan berarti orang tua tidak memberikan kebebasan bagi sang anak untuk berpendapat.
Orang tua selain memberi kasih sayang kepada anak mereka juga memberikan sikap
disiplin kepada anak jangan sungkan untuk menegur mereka bila mereka berbuat salah
agar mereka mengetahui atau memiliki pondasi untuk mengetahui baik dan buruk. Selain
itu, orang tua juga harus peduli dan tahu seperti apa lingkungan tempat anak-anak mereka
tumbuh serta bagaimana grup peer dari sang anak. Selain faktor eksternal, faktor internal
pun berperan yaitu adalah kecerdasan emosi sang anak, bagaimana mereka dapat
mengatur emosi mereka dalam situasi tertentu.

14
Daftar Pustaka

Ainun Ningrun, Nila. 2012. Hubungan antara coping strategy dengan kenakalan pada
remaja awal [The relationship between coping strategy with delinquency in early
teens]. Jurnal Psikologi Volume 7, NO.1, April 2012: 481 – 489.
http://jurnal.unmer.ac.id/index.php/jpt/article/view/201/72.

Faisal, Nasrun. 2016. Pola asuh orang tua dalam mendidik anak di era digital [Parenting
parents in educating children in the digital age] . IX (2.).
http://repository.stkipsantupaulus.ac.id/122/1/Artikel_Jurnal_Missio_Pola_Asuh_y
ang_Efektif.pdf

Santoso, Teguh. 2017. Pengaruh intensitas menontontayangan sinetron anak jalanan pada
perilakuimitasi siswa SMP [Effect of intensity watching street children soap operas
on the behavior of junior high school students] . Vol 1, No 2 (2017). DOI :
http://dx.doi.org/10.25139/jkm.v1i2.460

Sonita, Sera. 2013. Hubungan antara pola asuh orangtua dengan disiplin siswa di sekolah
[The relationship between parenting parents with the level of student discipline at
school]. 2 (1). DOI : https://doi.org/10.24036/0201321886-0-00

Surya Putra, Yanuar. 2016. Teori perbedaan generasi. Jurnal Ilmiah Among Makarti 9
(18). https://jurnal.stieama.ac.id/index.php/ama/article/viewFile/%20142/133

15
M. Supraspinarus_Frozen Shoulder_1802541087

THERAPEUTIC EFFICACY OF DEXAMETHASONE


PHONOPHORESIS ON SYMPTOMATIC KNEE
OSTEOARTHRITIS IN ELDERLY WOMEN
Vahideh Toopchizadeh, Roja Javadi, Bina Eftekhar Sadat, 2014

I. Latar Belakang
Osteoatrithis (OA) merupakan salah satu penyakit yang umum terjadi
dikalangan lanjut usia, yang menyerang sendi terutama sendi lutut. Banyak
faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit degeneratif ini. Namun yang
paling rentan terkena OA ini adalah wanita yang sudah menopause, karena saat
wanita mengalami menopause maka akan terjadi ketidakseimbangan hormon
esterogen. OA lebih banyak ditemukan pada perempuan jika dibandingkan
dengan laki-laki yaitu 68,67%. OA mengenai 2/3 orang yang berumur lebih dari
65 tahun, dengan prevalensi 60,5% pada pria dan 70,5% pada wanita. Pada
usia 55-54 tahun, 28% laki-laki dan perempuan terkena osteoarthritis lutut
(Pratiwi, Diagnosis And Treatment Osteoarthiris 2015).
Salah satu modalitas fisioterapi untuk pasien yang menderita OA
adalah menggunakan Ultrasaound (US). US bekerja dengan cara mengubah
energi listrik menjadi gelombang suara, maka energi suara dikonversikan
menjadi panas. US ini sering digunakan karena memiliki peranan untuk
menurunkan rasa sakit pada pasien yang mengalami OA pada lutut. Respon
biologis terapi US ini dapat berupa efek termal dan non-termal selain itu juga
dapat meningkatkan ambang nyeri, regenerasi jaringan, relaksasi otot dan
penurunan inflamasi.
Metode yang biasa digunakan untuk mentrasportasikan obat melalui
kulit yaitu dengan cara suntikan dan melalui oral, namun hal tersebut dapat
menurunkan kualitas permeabilitas kulit untuk obat topikal. Jadi untuk
meningkatkan permeabilitas kulit dengan penggunaan obat topikal, sebaiknya
dilakukan dengan teknik phonophoresis. Dimana phonophoresisis adalah
teknik memasukkan obat topikal dengan menggunakan gelombang US.
Menurut Beberapa studi telah melihat efektivitas teknik ini,
menggunakan phonophoresis dengan hidrokortison telah terbukti lebih unggul
untuk US sendiri dalam mengurangi rasa sakit dan mengurangi peradangan
pada pasien dengan gangguan rematik. Telah digunakan dalam mengobati
pasien dengan berbagai gangguan inflamasi termasuk bursitis, tendinitis, dan
neuritis (Prentice 2002)
II. Tujuan
Penilitian ini dilakukan untuk membandingkan dan menilai keefektifan
dari phonophoresis dexamethasone dan ultrasound.

1
III. Hasil
Kelompok pertama dengan rata-rata usia 56.95±7.33 tahun diberikan
intervensi ultrasound dengan pengurangan nilai VAS 2.45±1.95, penurunan nilai
WOMAC 16.30±2.8 dan penurunan rata-rata pada TUG Test sebesar 1.40±1.1
detik. Kelompok kedua dengan rata-rata usia 56.55±2.28 tahun diberikan
intervensi phonophoresis ampul dexamethasone dengan pengurangan nilai VAS
4.35±2.25, penurunan nilai WOMAC 24.05±15.31 dan penurunan rata-rata pada
TUG Test sebesar 7.45±2.98 detik. Sedangkan kelompok ketiga dengan rata-
rata usia 54.60±6.23 tahun diberikan intervensi phonophoresis gel
dexamethasone dengan pengurangan nilai VAS 2.88±2.07, penurunan nilai
WOMAC 22.8±9.08 dan penurunan rata-rata pada TUG Test sebesar 1.7±1.2
detik. diantara ketiga kelompok tersebut, partisipan yang diberi intervensi
phonophoresis ampul dexamethasone mengalami penurunan VAS, WOMAC
dan TUG Test yang paling signifikan.
IV. Pembahasan
Dalam studi ini, phonophoresis ampul dexamethasone yang lebih
sederhana dan lebih praktis memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan
kedua metode intervensi lainnya untuk terapi penyembuhan osteoarthritis lutut.
Menurut studi yang dilakukan oleh Hsieh dkk phonophoresis terbukti efektif
untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi gerak tubuh pasien. Selain itu,
dalam studi yang dilakukan oleh Boyaci dkk membuktikan bahwa
phonophoresis ketoprofen secara signifikan dapat mengurangi nyeri dan
meningkatkan fungsi gerak tubuh pada pasien osteoarthritis lutut. Hasil tersebut
sesuai dengan studi yang dilakukan oleh jurnal ini.
V. Kesimpulan
Dari hasil penelitian, phonophoresis ampul dexamethasone terbukti
lebih efektif untuk mengurangi nyeri dan performa pasien dibandingkan
dengan dua metode lainnya.
VI. Kelebihan Penelitian
Penelitian ini sudah mampu membuktikan bahwa penggunaan
phonophoresis memang lebih efektif daripada US dalam menangani kasus
Osteoarthritis.
VII. Kekurangan Penelitian
Kekurangan dari penelitian ini adalah tidak ada follow up pasien
setalah terapi, sehingga tidak dapat mengetahui perkembangan selanjutnya
dari kondisi pasien dan tidak ada membandingkan phonophoresis ampul
dexamethasone, phonophoresis diclofenac, dan injeksi piroxicam, untuk
menilai efek terapeutik setelah pertemuan terakhir treatment, dan untuk
menilai kemungkinan penyebab mengapa lebih banyak efek pada ampul
dexamethasone dengan gel dexamethasone.

2
STUDENT PROJECT
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN FISIOTERAPI DI NEGARA MALAYSIA

NI MADE RIKA PURIYANTI (1802541002)


NI KOMANG ARTINI YANTI (1802541001)
KOMANG AYU WIDIANTARI (1802541014)

PROGRAM STUDI SARJANA FISIOTERAPI DAN PROFESI


FISIOTERAPI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
KATA PENGANTAR

Kata pengantar berisikan ucapan terimakasih kepada seluruh pihak yang


terlibat dalam pembuatan student project ini. Silakan anda nyatakan dengan
sejumlah kalimat-kalimat sederhana. Contoh kata pengantar dapat anda lihat pada
jurnal, buku, maupun karya literatur lainnya. Kata pengantar berisikan ucapan
terimakasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam pembuatan student project
ini. Silakan anda nyatakan dengan sejumlah kalimat-kalimat sederhana. Contoh
kata pengantar dapat anda lihat pada jurnal, buku, maupun karya literatur lainnya.
Kata pengantar berisikan ucapan terimakasih kepada seluruh pihak yang
terlibat dalam pembuatan student project ini. Silakan anda nyatakan dengan
sejumlah kalimat-kalimat sederhana. Contoh kata pengantar dapat anda lihat pada
jurnal, buku, maupun karya literatur lainnya. Kata pengantar berisikan ucapan
terimakasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam pembuatan student project
ini. Silakan anda nyatakan dengan sejumlah kalimat-kalimat sederhana. Contoh
kata pengantar dapat anda lihat pada jurnal, buku, maupun karya literatur lainnya.

Denpasar, 28 Mei 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ................................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................................. 1
1.3 Tujuan.......................................................................................................................................... 2
1.4 Manfaat ...................................................................................................................................... 2
BAB II ISI......................................................................................................................................... 3
BAB III PENUTUP ...................................................................................................................... 6
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................................ 6
3.2 Saran............................................................................................................................................ 6
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 7

iii
1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada tahun 1951, lahir sebuah organisasi yang menghimpun para fisioterapis
di seluruh dunia yaitu World Confederetion for Physical Therapy, dimana pada
awalnya organisasi ini beranggotakan 11 negara antara lain Amerika Serikat,
Swedia, Jerman Barat, Afrika, Finlandia, Denmark, Kanada, dan Australia. Tujuan
dibentuknya organisasi ini adalah untuk menaungi seluruh fisioterapis yang ada di
dunia dan mengembangkan fisioterapi pada bidang penelitian, pendidikan, serta
praktek, dan menjadi sarana untuk bertukar ide dan pikiran antar sesama
fisioterapis.
Fisioterapi mulai berkembang di Benua Asia, ditandai dengan masuknya
beberapa negara kedalam WCPT seperti Israel (1956), Chile (1967), Jepang dan
Philipina (1970) kemudian Indonesia pada tahun 1991, dengan tujuan untuk
memperkuat dan mempromosikan fisioterapi negaranya di dunia. Selain itu, untuk
mempromosikan dan mengembangkan fisioterapi di benua Asia sendiri, beberapa
negara seperti Indonesia, Korea, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Taiwan
membentuk organisasi fisioterapi Asia yang bernama Asian Confederation for
Physical Therapy atau ACPT yang didirikan pada tanggal 27 April tahun 1980 di
Taipei. Dalam perkembangannya, ACPT melakukan 14 kongres dalam kurun waktu
1981-2018 yang diadakan di negara anggota yang berbeda setiap 3 tahun sekali.
Salah satu negara yang pernah menjadi tuan rumah adalah Malaysia. Malaysia
menjadi tuan rumah dalam kongres ACPT yang ke-6 pada tahun 1996 dan yang ke-
13 pada tahun 2016.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana perkembangan pendidikan fisioterapi di Negara Malaysia?
1.2.2 Bagaimana hasil publikasi jurnal fisioterapi pada Negara Malaysia?
1.2.3 Bagaimana perkembangan teknologi fisioterapi di Negara Malaysia?
2

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui perkembangan pendidikan fisioterapi di negara
Malaysia.

1.3.2 Untuk mengetahui hasil publikasi jurnal fisioterapi pada negara


Malaysia.

1.3.3 Untuk mengetahui perkembangan teknologi fisioterapi di negara


Malaysia.

1.4 Manfaat
1.4.1 Untuk menambah wawasan penulis dan pembaca.
1.4.2 Sebagai tolok ukur perkembangan pendidikan fisioterapi di Indonesia.
3

BAB II
PEMBAHASAN

Malaysia telah memiliki organisasi yang menaungi fisioterapis-fisioterapis di


negara tersebut yaitu Malaysian Physiotherapy Association (MPA) atau Persatuan
Fisioterapi Malaysia. Asosiasi ini merupakan asosiasi professional dalam menjaga
kualitas pendidikan para fisioterapis, serta untuk mendapatkan standar yang baik
maupun standar yang lebih tinggi dalam penanganan pasien. Fisioterapi di Malaysia
dikenal sebagai Juru Pulih Perbuatan atau Pegawai Pemulihan Perbuatan.4 Malaysia
jauh berbeda dengan Indonesia dimana pendidikan fisioterapinya sudah mencapai
Pascasarjana, dan jumlah universitas yang membuka program studi fisioterapi lebih
banyak dimana itu menandakan bahwa perkembangan fisioterapi di negara tetangga
sudah lebih maju dibandingkan negara Indonesia.
Fisioterapi di Malaysia, pertama kali muncul dari seorang ekspatriat Malaysia
atau bisa juga disebut dengan orang asing yang tinggal di Malaysia. Sesudah
munculnya golongan ekspatriat tersebut, rakyat-rakyat dari Negara Malaysia,
langsung diajarkan mengenai fisioterapi oleh golongan ekspatriat ini, melalui
Beasiswa Kolombo, yang berasal dari Sri Lanka. Setelah beberapa tahun, munculah
beberapa fisioterapis di Malaysia, dan para ahli fisioterapi di Malaysia ini merasa
membutuhkan suatu perkumpulan atau asosiasi untuk para fisioterapi di Malaysia,
agar tetap melindungi dan menjaga status dan standar dari para fisioterapis
Malaysia.
Malaysia membentuk organisasi yang bernama Malaysian Physiotherapy
Association (MPA) atau bisa juga disebut dengan Persatuan Fisioterapi Malaysia.
Malaysian Physiotherapy Association ini dibentuk pada tanggal 19 Januari 1963 di
Departemen Fisioterapi Rumah Sakit Umum Kuala Lumpur, Malaysia. Pada hari
pembentukan tersebut, hadir empat fisioterapis dan satu Dokter Orthopedi saat itu
yaitu, Dr. M.K. Rajkumar dan saat itu, anggota dari MPA tersebut, hanya 12 orang,
namun di setiap tahunnya anggota dari MPA tersebut bertambah dan sekarang
anggota dari MPA ini sudah bertambah menjadi 131 orang. Selanjutnya,
4

Malaysian Physiotherapy Association ini, didaftarkan secara resmi pada tanggal 6


Agustus 1963.
Banyak kegiatan yang sudah dilakukan oleh Malaysian Physiotherapy
Association ini yang salah satunya bertujuan sebagai badan penasehat dalam
pelayanan fisioterapi di berbagai pusat kesehatan masyarakat yang berada di
Malaysia. Dalam memajukan fisioterapi di Malaysia, MPA ini juga mengadakan
beberapa konferensi internasional pada tahun 1970 dan 1978, yang diselenggarakan
di Kuala Lumpur, Malaysia. Asosiasi MPA ini memiliki konsolidasi posisi di
internasional dengan menjadi anggota konfederasi dunia mengenai terapi fisik pada
tahun 1974. MPA ini juga merupakan pendiri dari Konfederasi Terapi Fisik Asia
pertama pada tahun 1980. Sejak dahulu, anggota MPA ini sudah bekerja keras
dalam membangun asosiasi MPA, agar bisa menampakkan diri dalam ruang
lingkup Asia maupun dunia.
Malaysian Physiotherapy Association ini, didalamnya memiliki Komite
Eksekutif yang terdiri dari 8 pengurus yang terdiri dari : Presiden, Wakil Presiden,
Sekretaris, Bendahara, dan terdapat 4 anggota komite inti. Dalam menjalankan
organisasi ini, tentunya membutuhkan dana-dana yang terbilang cukup banyak.
Dana untuk menjalankan asosiasi ini didapatkan dari hasil konferensi, seminar,
kursus dan pelatihan maupun yang lainnya. Dengan dana yang cukup, hal ini bisa
menyempurnakan kinerja dari MPA ini agar bisa tetap untuk menjaga kualitas dan
standar dari kinerja fisioterapis di Malaysia.
Fisioterapis di Malaysia terbilang masih cukup sedikit jumlahnya. Statistik
yang memproyeksikan stok dan kebutuhan tenaga kerja, personil energi paramedis
terampil dan berpengetahuan setidaknya - setidaknya sebanyak 87.442 orang. Rasio
fisioterapi dan penduduk malaysia Malaysia adalah 1: 200.3,4 Sehingga, bisa dilihat
dari rasio tersebut, Malaysia masih kekurangan tenaga medis. Dahulu banyak dari
mereka yang dilatih di luar negeri seperti Inggris, Australia, India dan Selandia
Baru. Tetapi sekarang mereka dilatih di perguruan tinggi Sain Colleges Allied
Health. Pada bulan Desember 2005 dianggap ada 607 fisioterapis terlatih terdaftar
dengan persatuan fisioterapi Malaysia. Di Malaysia masih dipertimbangkan sebagai
bidang baru di setiap kekurangan ahli fisioterapi masih signifikan. Diperkirakan
kebutuhan negara Malaysia memerlukan 19.000
5

fisioterapis di 2020. Sehingga pembelajaran fisioterapi di Malaysia dimasukkan ke


dalam kurikulum sekolah menengah. Pendidikan fisioterapi di Malaysia tidak jauh
beda dengan Indonesia karena jenjang pendidikannya yaitu D3, D4, S1, dan Profesi
tetapi bedanya pendidikan fisioterapi di Malaysia sudah mencapai S2.
Universitas yang menawarkan program pascasarjana yaitu University of
Malaya, Universiti Teknologi Malaysia (UTM), Universiti Teknologi Mara
(UiTM), Universiti Malaysia Sarawak (UNIMAS), KPJ Healthcare University
College. Beberapa universitas di Malaysia yang memiliki program studi Fisioterapi
yaitu Universiti Tunku Abdul Rahman (UTAR), Universiti Kuala Lumpur
(UniKL), International Islamic University Malaysia (IIUM), INTI International
University and Colleges, Cyberjaya University College of Medical Science.
Publikasi jurnal tentang fisioterapi dapat diakses pada Malaysian Journal of
Medical Research (MJMR) yang meliputi anatomi, fisiologi, pediatri, dan
orthopedi. Jurnal yang terpublikasi berupa penelitian original, review artikel, dan
case report dengan kualitas tinggi. Selain itu, fisioterapis negara Malaysia berperan
aktif dalam menerbitkan jurnal pada International Journal of Physiotherapy
(IJPHY). IJPHY terdapat seluruh aspek fisioterapi diantaranya kardiovaskular,
muskuloskeletal, neurological, olahraga, dan geriatri.
6

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pendidikan fisioterapi di Malaysia sudah mencapai Pascasarjana, dan jumlah
universitas yang membuka program studi fisioterapi lebih banyak dimana itu
menandakan bahwa perkembangan fisioterapi di negara tetangga sudah lebih maju
dibandingkan negara Indonesia. Publikasi jurnal tentang fisioterapi dapat diakses
pada Malaysian Journal of Medical Research (MJMR) yang meliputi anatomi,
fisiologi, pediatri, dan orthopedi. Fisioterapis negara Malaysia berperan aktif dalam
menerbitkan jurnal pada International Journal of Physiotherapy (IJPHY).

3.2 Saran
Disarankan lebih banyak artikel agar bisa dibandingkan dengan fisioterapi
yang ada di Indonesia, sehingga dapat mengikuti perkembangan teknologi di
Negara Malaysia.
7

DAFTAR PUSTAKA

1. WCPT. 2018. What is WCPT?. Cited 2020 mei 28. Available from :
https://www.wcpt.org/what-is
2. ACPT. 2017. The Asian Confederation for Physical Therapy. Cited 2020 mei
20. Available from : https://www.acpt-physicaltherapy.org/
3. Malaysian Physiotherapy Association. Cited 2020 mei 28. Available from:
http://www.mpa.net.my/MPAHistory.php
4. Mohamad, Mohd Suhaimi. "Tahap Pengetahuan Dan Pola Penggunaan
Perkhidmatan Kerja Sosial Di Kalangan Pesakit: Kajian Kes Di Hospital Ukm
(Knowledge Awareness and Utilisation Pattern on Social Work Services among
Patient: Case Study in UKM Hospital)." e-Bangi4.1 (2017).
5. Physiopedia. Cited 2020 mei 28. Available from: https://www.physio-
pedia.com/Malaysia
6. ACPT. 2018. Congress Report. Cited 2020 mei 28. Available from:
https://www.acpt-physicaltherapy.org/report/congress/
7. Universiti Teknologi Malaysia. Cited 2020 mei 28. Available From:
https://www.easyuni.co.id/malaysia/universiti-teknologi-malaysia-11693/
8. Malaysian Journal of Medical Research. Cited 2020 mei 28. Available From:
http://ejournal.lucp.net/index.php/mjmr/index
9. International Journal of Physiotherapy. Cited 2020 mei 28. Available From:
https://issuu.com/internationaljournalofphysiotherapy
ANALISIS JURNAL KEPERAWATAN

02
MATERNITY NURSING
XXXX (NAMA LENGKAP) (00000000 NIM)
XXXX (0000000000000)
XXXX (0000000000000)
DST.

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipertensi merupakan salah satu penyakit degeneratif yang ditandai dengan
peningkatan tekanan darah pada tubuh. Hipertensi didiagnosis jika tekanan
sistolik darah >140 mmHg serta tekanan diastolic >90 mmHg. Penderita
hipertensi di Indonesia menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018
menunjukkan terjadi peningkatan dari tahun 2013 (31,7 %) ke 2018 (34,1% dari
total penduduk dewasa). Selain itu, penyakit ini juga terjadi pada lansia.
Kebanyakan hipertensi terjadi karena perubahan pola dan gaya hidup masyarakat.
Pola hidup yang tidak baik ini menjadi faktor risiko utama penyebab terjadinya
hipertensi disamping faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi terjadinya
hipertensi (Kemenkes Republik Indonesia, 2018; Mayasari, Waluyo, Jumaiyah, &
Azzam, 2019; WHO, 2019).
Gaya hidup masyarakat yang tidak sehat menjadi faktor utama timbulnya
hipertensi. Pola hidup sedentary life yang tidak banyak bergerak ditambah dengan
kebiasaan tidak sehat lainnya seperti merokok, minum beralkohol, konsumsi
garam yang tinggi, serta kecemasan dapat menjadi pemicu penyakit ini. Selain itu,
hipertensi juga dipengaruhi oleh faktor seperti keturunan, umur, jenis kelamin,
dan ras (Elvira & Anggraini, 2019; Mayasari et al., 2019).
Hipertensi dapat dikontrol dengan melakukan pola hidup yang sehat,
misalnya dengan melakukan diet hipertensi seperti mengurangi konsumsi garam
(natrium) dan modifikasi gaya hidup. Modifikasi gaya hidup yang dimaksud
adalah meningkatkan aktifitas tubuh, manajemen stress yang baik, serta
pengobatan dan kontrol tekanan darah. Peningkatan angka penderita hipertensi
menunjukkan bahwa kontrol penderita ataupun pola hidup masyarakat yang
kurang sehat (Setyowati & Wahyuni, 2019).
Selain itu, banyak terapi yang bisa dilakukan untuk membantu mengontrol
dan mempertahankan tekanan darah penderita hipertensi. Maka dari itu, penulis
ingin membahas mengenai terapi atau intervensi yang bisa dilakukan untuk
menurunkan tekanan darah atau mengontrol tekanan darah penderita hipertensi.
1.2 Tujuan
Berdasarkan latar belakang di atas, tujuan dari penulisan analisis jurnal
keperawatan ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui dasar informasi yang memuat mengenai intervensi
untuk penderita hipertensi.
2. Untuk mengetahui implikasi dari jurnal yang digunakan dalam tatanan
klinis keperawatan di Indonesia.
1.3 Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan analisis jurnal ini adalah sebagai berikut.
1. Bagi Penulis
Penulis mendapatkan lebih banyak wawasan dan pengetahuan mengenai
cara mencari dasar sumber atau evidence base yang baik dan benar.
2. Bagi Pembaca
Pembaca mendapatkan informasi mengenai intervensi atau tindakan
keperawatan yang membantu penderita hipertensi dalam mengontrol
atau menurunkan tekanan darah.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Ringkasan Jurnal


Judul Jurnal : Swedish Massage Sebagai Intervensi
Keperawatan Inovasi Dalam Menurunkan Tekanan
Darah Pada Lansia Hipertensi
Nama Penulis : Ritanti, Darnis Arneta Sari
Tahun Terbit : 2020
Jurnal : Jurnal ‘Aisyiyah Medika
Volume :5
DOI : 10.36729/jam.v5i1.320
Penurunan fungsi tubuh pada lansia merupakan hal yang normal dan alami.
Pada kondisi ini akan muncul berbagai penyakit degeneratif seperti salah satunya
adalah hipertensi. Hipertensi pada lansia dapat terjadi akibat obesitas ataupun pola
serta gaya hidup yang tidak sehat. Swedish massage merupakan salah satu jenis
terapi yang dapat menurunkan tekanan darah dan merupakan jenis terapi non
farmakologi yang dinilai efektif digunakan.
Metode penelitian ini yakni quasi experimental dengan one group pretest-
posttest. Sampel penelitian ini yakni 8 lansia penderita hipertensi yang diambil
dengan menggunakan randomized control trial. Peneliti melakukan pengukuran
tekanan darah sebagai pretest sebelum dilakukan intervensi. Kemudian, peneliti
melakukan Swedish massage yang terdiri dari effleurage, petrissage, fiction, dan
tapotement dengan durasi 20-30 menit untuk satu kali pertemuan. Frekuensi
pertemuan untuk melakukan intervensi adalah 3 kali seminggu.
Hasil penelitian ini adalah, terjadi penurunan tekanan darah sistolik rata-rata
sebanyak 9 mmHg dan penurunan tekanan darah diastolik pada kelompok sampel
dengan rata-rata penurunan sebesar 7-12 mmHg. Terapi ini termasuk terapi
komplementer yang mudah diaplikasikan, aman, serta efektif dilakukan pada
lansia. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa Swedish massage efektif
menurunkan tekanan darah pada lansia penderita hipertensi.
2.2 Implikasi Jurnal
Implikasi jurnal ini dalam tatanan klinis keperawatan di Indonesia sangat
bagus dan sangat bisa dilakukan pada seluruh pelayanan kesehatan. Intervensi
yang diberikan yakni berupa Swedish massage cukup mudah untuk dilakukan oleh
perawat sehingga dapat diterapkan di berbagai pelayanan kesehatan. Selain itu,
teknik atau terapi ini dapat diberikan kepada penderita hipertensi karena aman.
Jurnal ini dapat menjadi dasar dalam melakukan intervensi pada penderita
hipertensi khususnya untuk terapi Swedish massage karena sudah dibuktikan
dengan penelitian. Terapi ini cukup mudah dilakukan, efektif, serta aman. Perawat
juga bisa mengedukasi atau mengajarkan keluarga pasien atau penderita untuk
melakukan terapi ini di rumah sehingga keluarga dapat membantu mengontrol
tekanan darah pasien.
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Hipertensi merupakan salah satu penyakit degeneratif yang ditandai dengan
adanya peningkatan tekanan darah. Hipertensi di Indonesia biasanya lebih banyak
diderita lansia akibat terjadi penurunan pola dan gaya hidup masyarakat, seperti
pola hidup sedentary life yang didukung dengan kebiasaan yang tidak sehat
sebagai contoh merokok, minum beralkohol, konsumsi garam berlebih. Dalam
mengontrol hipertensi, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan seperti
melakukan pola hidup yang sehat dan mampu memodifikasi gaya hidup. Selain itu,
terdapat beberapa terapi yang dapat dilakukan untuk membantu mengontrol dan
mempertahankan tekanan darah pada penderita hipertensi, salah satunya dengan
melakukan Swedish massage. Swedish massage adalah salah satu jenis terapi non
farmakologi yang bersifat komplementer dan mudah diaplikasikan yang dapat
menurunkan tekanan darah. Hal tersebut dapat dibuktikan berdasarkan hasil
penelitian yang menyatakan bahwa dengan melakukan Swedish massage terjadi
penurunan tekanan darah sistolik rata-rata sebesar 9 mmHg dan tekanan darah
diastolik rata-rata sebesar 7-12 mmHg. Selain itu, terapi ini juga mudah, efektif,
dan aman untuk diaplikasi kepada pasien, sehingga mampu untuk diterapkan
dalam tatanan klinis keperawatan di Indonesia.
3.2 Saran
Diharapkan terapi ini dapat diterapkan oleh seluruh perawat pada tatanan
klinis keperawatan di Indonesia agar dapat mengontrol hipertensi pada lansia di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Elvira, M., & Anggraini, N. (2019). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan


Hipertensi. Jurnal Akademika Baiturahman Jambi, 8(1), 78–89.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.36565/jab.v8i1.105
Kemenkes Republik Indonesia. (2018). Hasil utama riskesdas 2018. Jakarta.
Mayasari, Waluyo, A., Jumaiyah, W., & Azzam, R. (2019). Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian Hipertensi. Journal of Telenursing, 1(2),
344–353. https://doi.org/10.31539/joting.v1i2.849
Ritanti., & Sari, Darnis, A. (2020). Sweedish Massage sebagai Intervensi
Keperawatan Inovasi dalam Menurunkan Tekanan Darah pada Lansia
Hipertensi. Jurnal 'Aisyiyah Medika, 5(1), 142-150.
https://doi.org/10.36729/jam.v5i1.320
Setyowati, R., & Wahyuni, S. (2019). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang
Manajemen Hipertensi Terhadap Kejadian Berulang Peningkatan Tekanan
Darah Pada Penderita Hipertensi Di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan
Kabupaten Majalengka Tahun 2019. Jurnal Kampus STIKES YPIB
Majalengka, 8(16), 1–10.
WHO. (2019). Hypertension. Diambil 29 Mei 2020, dari
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/hypertension
ANALISIS ETIK LEGAL KEPERAWATAN

01
ELIMINATION AND EXCHANGE
NAMA ANGGOTA KELOMPOK :
xxxxxxxxxxx 2002521001
xxxxxxxxxxx 2002521002
xxxxxxxxxxx 2002521003
xxxxxxxxxxx 2002521004
xxxxxxxxxxx 2002521005
xxxxxxxxxxx 2002521006
xxxxxxxxxxx 2002521007
xxxxxxxxxxx 2002521008

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
1) Konsep Etik Legal Keperawatan
Perawat merupakan orang yang paling sering berinteraksi dengan pasien.
Perawat memiliki peran penting dalam mendukung kesembuhan pasien.
Berdasarkan hal tersebut, penting bagi perawat untuk menjunjung tinggi kode
etik dan prinsip etik dalam setiap proses keperawatan yang diberikan kepada
pasien (Nasir & Purnomo, 2019). Menurut Undang-Undang RI No 38 Tahun
2014 mengenai Keperawatan, praktik keperawatan di Indonesia harus berasaskan
7 asas yaitu perikemanusiaan, nilai ilmiah, etika dan profesionalisme, manfaat,
keadilan, perlindungan, dan kesehatan dan keselamatan klien.
Etika keperawatan muncul sebagai bentuk dari moralitas, pengakuan
kewenangan, ketaatan terhadap peraturan yang ada, etika dalam sosial, loyal,
tanggung jawab, dan sifat kemanusiaan. Etika keperawatan memiliki implikasi
pada pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh perawat (Utami et al, 2016). Kode
etik keperawatan dapat menjadi pegangan perawat dalam memberikan tindakan
keperawatan sehingga mencegah dan menghindari adanya konflik dan
kesalahpahaman yang mungkin terjadi (Setiani, 2018).
Aspek legal keperawatan adalah aturan dalam memberikan asuhan yakni
asuhan keperawatan yang diatur dalam undang-undang keperawatan sesuai
dengan lingkup wewenang dan tanggung jawabnya pada tatanan pelayanan
termasuk hak dan kewajibannya (Hariyati, 2016). Aspek Legal dalam Praktik
Keperawatan tercantum dalam:
1. UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
2. PP No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
3. Kepmenkes No. 1239 tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat
Terdapat 8 prinsip etika keperawatan yang wajib diketahui oleh perawat
dalam memberikan layanan keperawatan kepada individu, kelompok atau
keluarga, dan masyarakat. Prinsip-prinsip legal etik keperawatan tersebut yaitu
antara lain sebagai berikut
1. Autonomy (Otonomi)
Merupakan prinsip otonomi yang didasarkan pada keyakinan bahwa
individu mampu berpikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri.
Otonomi merupakan hak dan kebebasan pasien atau individu dalam
memutuskan atau menuntut pembedaan diri. Salah satu contoh
penyimpangan prinsip ini adalah memberitahukan pasien bahwa
keadaannya baik padahal terdapat gangguan.
2. Beneficence (Berbuat Baik)
Merupakan prinsip yang menuntut perawat untuk melakukan hal-hal baik
demi mencegah kejahatan atau kesalahan. Sebagai contoh, perawat
menasehati pasien tentang program kesehatan.
3. Justice (Keadilan)
Merupakan prinsip refleksi yang mengutamakan pemberian asuhan atau
terapi yang benar dan sesuai dengan hukum, standar praktik, dan
keyakinan yang benar dalam memperoleh kualitas pelayanan kesehatan
dalam praktik professional keperawatam. Contohnya mendahulukan pasien
yang datang terlebih dahulu atau memiliki tingkat gawat darurat.
4. Non-maleficence (Tidak Merugikan)
Merupakan prinsip yang berarti tidak menimbulkan bahaya atau cedera
fisik dan psikologis pada pasien.
5. Veracity (Kejujuran)
Merupakan prinsip yang harus dimiliki oleh seluruh pemberi layanan
kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada pasien agar pasien
mengerti. Informasi yang di berikan harus akurat, komprehensif, dan
objektif.
6. Fidelity (Menepati Janji)
Merupakan prinsip yang memberikan tanggung jawab besar bagi seorang
perawat untuk meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan
kesehatan, dan meminimalkan penderitaan. Untuk mencapai itu, perawat
harus berkomitmen menepati janji.
7. Confidentiality (Kerahasiaan)
Merupakan prinsip kerahasiaan dimana informasi tentang pasien harus
dijaga. Dokumentasi tentang keadaan kesehatan pasien hanya bisa dibaca
guna keperluan pengobatan. Diskusi tentang pasien diluar area pelayanan
menjadi hal yang wajib dihindari.
8. Accountability (Akuntabilitas)
Merupakan prinsip standar bahwa tindakan seseorang dapat dinilai dalam
situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali. Tindakan tersebut harus
dapat dipertanggung jawabkan dan dapat menerima konsekuensi dari
tindakan tersebut.

2) Ilustrasi Kasus
Dilansir dari laman web CNN Indonesia (2018) yang berjudul
“Lakukan Pelecehan Seksual, Perawat Terancam Sanksi Etika”, disebutkan
bahwa ada kasus seorang perawat yang melakukan pelecehan seksual kepada
salah seorang pasien yang saat itu masih dalam pengaruh obat bius. Saat itu
pasien dikabarkan akan melakukan operasi dan dalam pengaruh obat bius,
namun pasien masih sadar akan tindakan perawat pada dirinya. Perawat
kemudian mengaku salah dan meminta maaf namun pasien dan keluarga tetap
membawa masalah ini ke jalur hukum.

3) Analisis Etik Legal Keperawatan dari kasus tersebut :


1. Autonomy (Otonomi)
Perawat melanggar etik legal autonomy. Hal ini dapat dilihat dari
tindakan perawat yang menyentuh bagian tubuh pasien tanpa
sepengetahuan dan seizin pasien, serta tujuan yang jelas disaat pasien
masih dalam pengaruh obat bius.
2. Beneficence (Berbuat Baik)
Perawat melanggar etik legal beneficence. Dengan tindakan perawat
yang menyentuh bagian tubuh pasien tanpa sepengetahuan dan izin dari
pasien, menyebabkan pasien merasa terancam dan merasa dilecehkan.
3. Non-maleficence (Tidak Merugikan)
Perawat melanggar etik legal non-maleficence dikarenakan tindakan
perawat tersebut dianggap pasien telah melecehkan dirinya. Pasien merasa
malu, marah, dan tidak terima atas tindakan tersebut.
4. Veracity (Kejujuran)
Setelah pasien mengungkapkan tindakan perawat tersebut, perawat
mengaku salah dan meminta maaf. Hal ini menunjukkan perawat
berperilaku jujur dengan kesalahan yang telah dilakukannya.
5. Confidentiality (Kerahasiaan)
Perawat tidak menjaga kerahasiaan atau privasi pasien. Hal ini
terlihat dari tindakan perawat yang menyentuh bagian tubuh pasien tanpa
izin dari pasien sehingga pasien merasa privasinya dilanggar dan
terlecehkan.
6. Accountability (Akuntabilitas)
Perawat menerima konsekuensi atas tindakan yang telah dilakukannya
dengan menerima tuntutan yang dilayangkan oleh pasiendan keluarga dan
sanksi dari yang berwenang.
DAFTAR PUSTAKA

CNN Indonesia. (2018, Januari 25). Lakukan Pelecehan Seksual, Perawat


Terancam Sanksi Etika. CNN Indonesia Online. Diakses dari
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180125135954-12-
271509/polisi-selidiki-pelecehan-seksual-pada-pasien-di-surabaya?
Hariyati, T. (2016). Aspek Legal Keperawatan sebagai salah satu Menyiasati Era
Globalisasi dalam Jurnal Keperawatan Indonesia. Jakarta: FIK UI
Nasir, A. dan Purnomo, E. (2019). Pengaruh penerapan kode etik keperawatan
terhadap pelayanan keperawatan. Jurnal Ilmiah Permas: Jurnal Ilmiah
STIkes Kendal, 9(4), 335-342
Potter, P. A. & Perry, A. G. (2009). Fundamental of Nursing 7th ed. Singapura :
Elsevier
Setiani, B. (2018). Pertanggungjawaban hukum perawat dalam hal pemenuhan
kewajiban dan kode etik dalam praktik keperawatan. Jurnal Ilmiah
Keperawatan Indonesia, 8(4), 497-507
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014. Keperawatan. 17
Oktober 2014. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 307 Tahun
2014. Jakarta
Utami, N. W., Happy, R. E., & Agustine, U. (2016). Etika Keperawatan dan
Keperawatan Profesional. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia :
Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan.
RESUME PROSES KEPERAWATAN

NAMA
NIM
NAMA KELOMPOK ILMIAH
NO URUT

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
ISI
Proses keperawatan merupakan praktik keperawatan yang dilakukan dengan
cara yang sistematik. Dalam melakukan proses keperawatan, perawat
menggunakan dasar yang komprehensif dalam hal mengkaji status kesehatan,
membuat penilaian dan mendiagnosa secara bijak, mengidentifikasi hasil dan
merencanakan tindakan, menerapkan serta mengevaluasi tindakan keperawaan
untuk mencapai hasil tersebut (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2016). Proses
keperawatan tentunya memiliki tujuan, menurut Berman, Snyder & Frandsen
(2015) dalam Fundamentals of Nursing: Concept, Process and Practice edisi 10
tujuan dari proses keperawatan yaitu:
1. Mempraktikkan metode pemecahan masalah dalam praktik keperawatan.
2. Menggunakan standar untuk praktik keperawatan.
3. Memperoleh metode yang baku dan sesuai, rasional dan sistematis dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien.
4. Memperoleh metode yang dapat digunakan dalam segala situasi.
5. Memperoleh hasil asuhan keperawatan yang akurat
Menurut David (2017) dalam jurnalnya yang berjudul Understanding The
Nursing Process dijelaskan bahwa terdapat 5 komponen dari proses keperawatan
yaitu sebagai berikut:
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan
proses yang sistematis yang dilakukan untuk mengumpulkan data, mengevaluasi,
dan mengidentifikasi status kesehatan pasien. Informasi dapat dikumpulkan dalam
beberapa cara. Komunikasi yang baik, baik verbal maupun non-verbal, bersama
dengan keterampilan mengobservasi, adalah kuncinya. Informasi yang
dikumpulkan dapat berupa subjektif maupun objektif. Subjektif adalah informasi
yang didapatkan dari pasien tentang apa yang mereka rasakan, tingkat dan sensasi
rasa sakit yang mereka rasakan. Sedangkan data objektif merupakan data yang
kita dapatkan dari apa yang perawat lihat dan observasi. Proses pengambilan data
dari pengkajian juga tidak hanya di dapatkan dari pasien tetapi data juga bisa
didapatkan dari keluarga pasien (David, 2017).
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah kesimpulan dari analisa data yang telah
dilakukan atau interpretasi hasil dari pengkajian yang dilakukan. Diagnosa
keperawatan mendasari pemilihan intervensi keperawatan yang akan digunakan
untuk mencapai hasil yang merupakan tanggung jawab perawat. Diagnosa
keperawatan adalah tahap kedua dari proses keperawatan. Diagnosa keperawatan
memberikan gambaran penilaian klinis mengenai respon seseorang atau individu,
keluaga, kelompok, maupun ataupun masyarakat terkait dengan permasalahan
kesehatan baik aktual maupun potensial. Dimana perawat mempunyai lisensi dan
kompetensi untuk mengtasinya (David, 2017).
3. Perencanaan
Perencanaan keperawatan merupakan tahap ketiga dari proses keperawatan
dimana merupakan suatu proses di dalam pemecahan masalah yang merupakan
keputusan awal tentang sesuatu apa yang akan dilakukan, bagaimana dilakukan,
kapan dilakukan, siapa yang melakukan dari semua tindakan keperawatan. Dalam
perencanan hal yang dilakukan yaitu yang pertama menentukan prioritas diagnosa
keperawatan,kedua menetukan tujuan dan kriteria hasil, dan yang terakhir
menentukan perencanaan dan rasional (Americam Nursing Association, 2017).
4. Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan pelaksanaan dari perencanaan yang
telah dibuat (Americam Nursing Association, 2017). Hal-hal yang perlu
diperhatikan perawat dalam melakukan implementasi yaitu, perawat perlu
memvalidasi menentukan apakah rencana masih relevan. Perawat wajib
memastikan implemetasi tindakan yang dilakukan berorientasi pada tujuan dan
hasil. Selain hal itu perawat harus kompeten dan mampu melaksanakan
keterampilan sesuai dengan rencana yang sudah dibuat. Selanjutnya dalam
implementasi perawat perlu melakukan pendokumentasian dari tindakan-tindakan
yang sudah diberikan dengan mencatat. Hal-hal yang dicatat yaitu respon pasien
terhadap tindakan tersebut. Perlu juga mencatat tindakan apa saja yang tidak
diimplementasikan dan tentu mencatat alasan tidak diimplementasikan tindakan
tersebut (Berman, Snyder & Frandsen, 2015).
5. Evaluasi
Bagian terpenting dari proses keperawatan yaitu perawat melakukan
evaluasi apakah tindakan atau perawatan yang diberikan telah mencapai hasil
yang diinginkan.Evaluasipada akhir proses pengobatan melibatkan penilaian
ulang semua rencana perawatan untuk menentukan apakah yang diharapkan hasil
telah tercapai (David, 2017). Proses evaluasi dibagi menjadi beberapa jenis yakni
sebagai berikut (Berman, Snyder & Frandsen, 2015).
a. Evaluasi struktur
Evaluasi struktur berfokus pada kelengkapan cara dan keadaan
sekeliling tempat pelayanan keperawatn diberikan. Aspek lingkungan secara
langsung atau tidak langsung mempengaruhi dalam pemberian pelayanan.
Lingkungan yang tenang akan membantu meningkatkan kualitas pelayanan
dibandingkan dengan lingkungan bising. Contohnya jika pasien dirawat di
ruangan penuh dan sesak, dapat dikatakan bahwa lingkungan perawatan
pasien buruk dan dapat mempengaruhi proses perawatan.
b. Evaluasi proses
Evaluasi proses berfokus pada penampilan kerja perawat. Penampilan
perawat dalam memberikan tindakan penting untuk dievaluasi untuk
mengetahui apakah perawat memberikan pelayanan dengan baik, merasa
cocok, tidak merasa tertekan, dan dilakukan sesuai wewenang. Evaluasi
proses ini memberikan gambaran bagaimana perawat dalam melakukan
tindakan. Tujuannya agar perawat melakukan tindakan sesuai protokol yang
berlaku.
c. Evaluasi hasil
Evaluasi hasil berfokus pada respon dan fungsi pasien. Setelah
dilakukannya intervensi dalam bentuk implementasi, respon yang
ditunjukkan pasien yang berasal dari intervensi tersebut yang disebut
evaluasi hasil. Respon klien setelah diberikannya tindakan dapat menjadi
acuan apakah intervensi yang diberikan berhasil dan sesuai dengan kriteria
hasil yang telah ditetapkan. Hasil dari implementasi tindakan wajib untuk
selalu dipantau untuk melihat perkembangan pasien selama masa
penyembuhan.
DAFTAR PUSTAKA

American Nurses Association. (2017). The Nursing Process.


www.nursingworld.org/EspeciallyForYou/What-is-Nursing/Tools-You-
Need/Thenursingprocess.html (diakses 29 Mei 2020)
Berman, Audrey T., Shirlee Snyder & Geralyn Frandsen. (2015). Kozier & Erb's
Fundamentals of Nursing: Concepts, Process, and Practice (10th) Edition.
Macmillan Heinemann.
Doenges, Marilynn E., Mary Frances Moorhouse & Alice C. Murr. (2016).
Nursing Diagnosis Manual: Planning, Individualizing, and Documenting
Client Care. Philadelphia: F.A. Davis Company
Stonehouse, David. (2017). Understanding The Nursing Process. British Journal
of Healthcare Assistants. 11. 388-391. 10.12968/bjha.2017.11.8.388.
STUDENT PROJECT
KARIES GIGI PADA ANAK-ANAK

ENDODONSIA
KELOMPOK 1

PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTER GIGI


DAN PROFESI DOKTER GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas
karunia-Nya kami dapat menyusun penugasan “PKM-AI” ini tepat pada waktunya.
PKM-AI ini membahas karies gigi pada anak-anak.
Terima kasih kami ucapkan kepada setiap orang yang berkontribusi dalam
pembuatan penugasan “PKM-AI” ini. Penulis menyadari bahwa PKM-AI ini belum
sempurna seperti yang diharapkan dikarenakan keterbatasan kemampuan dan
keilmuan yang kami miliki,
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
yang bersifat membangun, demi kebaikan PKM-AI ini. Semoga PKM-AI ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Denpasar, 17 Juli 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN ......................................................................................1
1.1. Latar Belakang .......................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah..................................................................................1
1.3. Tujuan Penulisan ...................................................................................1
1.4. Manfaat Penulisan .................................................................................1

BAB II : ISI.............................................................................................................. 2
2.1. Definisi ..................................................................................................2
2.2. Epidemiologi .........................................................................................2
2.3. Etiologi dan Faktor Resiko ....................................................................3
2.4. Patogenesis ............................................................................................4
2.5. Diagnosis ...............................................................................................5
2.6. Diagonosis Banding ...............................................................................5
2.7. Penatalaksanaan .....................................................................................6
2.8. Pencegahan ............................................................................................6
2.9. Komplikasi.............................................................................................6
2.10. Prognosis ..............................................................................................6
BAB III : PENUTUP ...............................................................................................7
3.1. Simpulan 7
3.2. Saran 7

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

ii
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Karies gigi merupakan suatu penyakit mulut kronis yang sering terjadi
pada usia anak-anak (Mulu et al., 2014). Karies gigi dapat terjadi akibat
interaksi bakteri umumnya bakteri Streptococcus mutans dan makanan manis
pada email gigi. Ketika makanan memasuki mulut, bakteri memetabolisme
karbohidrat yang terfermentasi menghasilkan asam (Al- Darwish, El Ansari
and Bener, 2014; Mulu et al., 2014).
Asam ini yang kemudian berperan dalam demineralisasi email gigi
yang jika tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan terjadinya karies
gigi (Al-Darwish, El Ansari and Bener, 2014). Oleh karena itu penulis ingin
mengetahui lebih lanjut tentang karies gigi pada anak-anak.

1.2. Rumusan Masalah


1.
2.
dst

1.3. Tujuan Penulisan


1.
2.
dst

1.4. Manfaat Penulisan


1.
2.
dst
2

BAB II
ISI

2.1. Definisi
Karies gigi merupakan penyakit kronik yang dapat dicegah saat anak-
anak. Karies gigi merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Streptoccous mutans yang dapat ada di semua gigi yang telah erupsi dan
dengan cepat menghancurkan jaringan gigi seperti email, dentin, dan pulpa
dimana bakteri ini dapat memfermentasi gula dan karbohidrat lainnya
menjadi asam (Karina, 2014; Watt et al., 2014; Boman and Karlsson, 2015;
Mariati, 2015). The American Academy of Pediatric Dentistry mendefinisikan
karies gigi sebagai adanya satu atau lebih gigi goyang (lesi non-cavitated atau
cavitated), hilang (akibat karies), atau permukaan filled teeth di gigi (Karina,
2014). Timbulnya karies tergantung pada plak dan pola asupan makanan
dimana karies pda umumnya dapat terjadi akibat mengonsumsi makanan
kariogenik yang sering diselingi dengan makanan utamanya (Boman and
Karlsson, 2015; Mariati, 2015).

2.2. Epidemiologi
Salah satu masalah kesehataan gigi yang sering terjadi pada semua
kalangan di seluruh dunia adalah karies. Anak-anak sering rentan terkena
karies gigi sehingga menyebabkan persentase yang tinggi baik di negara maju
dan negara berkembang (Ghazal et al., 2016). Menurut data survei World
Health Organization tercatat bahwa prevelensi tertinggi karies gigi pada anak-
anak terdapat di Amerika dan kawasan Eropa, indeks agak rendah dari
Mediterania Timur dan wilayah barat pasifik, sementara prevalensi terendah
adalah Asia Tenggara dan Afrika (Widayati, 2014). Beberapa penelitian
menunjukkan anak-anak yang terpapar karies gigi berkisar dari umur 6-12
dan sudah memasuki periode gigi bercampur dimana gigi insisivus sudah
mulai erupsi (Ghazal et al., 2016; Heaton et al).
3

2017). Penelitian yang dilakukan di Denmark menunjukkan persentase gigi


desidui yang terpapar karies pada anak berumur 7 tahun sebesar 83,8%
sedangkan di Cina, anak-anak di 5 sekolah diteliti dan menunjukkan
presentase gigi yang terpapar karies sebesar 8,7% pada gigi permanen dan
68,7% pada gigi desidui, penelitian selanjutnya menunjukkan anak yang
berumur 7-8 tahun memiliki persentase yang tinggi terhadap paparan karies
(Runnel et al., 2013).
Berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), prevalensi karies
gigi pada anak-anak di Indonesia mencapai 90,05% dimana di perkotaan
meningkat dari 62%-72% dan di pedesaan meningkat dari 72%-73% (Agustin,
Irdawati and Zulaicha, 2014; Ratnasari, Gultom and Andriyani, 2014; Lubis,
Sulastri and Jadmiko, 2016). Pada tahun 2012 terdapat 22.398 anak yang
membutuhkan perawatan karena terkait masalah karies gigi dan 11.624 anak
telah dilakukan pencabutan gigi dimana anak-anak tersebut bersekolah namun
belum ada data yang terkait masalah karies gigi pada anak yang tidak bersekolah
(Widayati, 2014). Berdasarkan hasil data Riskesdas, prevalensi karies gigi
meningkat sebesar 9,8% dari 43,4% pada tahun 2007 menjadi 53,2% pada tahun
2013, sedangkan penderita pengalaman karies meningkat 5,1% dari 67,2% pada
tahun 2007 naik menjadi 72,3% pada tahun 2013 dan Riskesdas menemukan
prevalensi karies gigi di Provinsi Bali sebesar 22,5% (Pratiwi et al., 2013;
Jannah, 2016).

2.3. Etiologi dan Faktor Resiko


Studi sebelumnya menyebutkan bahwa anak-anak yang ada di keluarga
tidak mampu memiliki prevalensi karies gigi yang lebih tinggi (Al- Darwish,
El Ansari and Bener, 2014). Tingkat pendidikan anak ditemukan secara
signifikan artinya semakin tinggi tingkat pendidikan anak semakin rendah
resiko terpapar karies gigi selain itu makan manis juga berperan dalam
terjadinya karies pada gigi (Al-Darwish, El Ansari and Bener, 2014).
4

Anak-anak yang sering membersihkan giginya menunjukkan resiko


yang lebih rendah untuk terpapar karies gigi. Sakit gigi dan karang gigi (plak)
juga merupakan salah satu faktor resiko terpaparnya karies gigi (Al- Darwish,
El Ansari and Bener, 2014).

2.4. Patologi
Karies gigi bisa terjadi apabila terdapat empat faktor utama yaitu gigi,
substrat, mikroorganisme, dan waktu. Beberapa jenis karbohidrat makanan
misalnya sukrosa dan glukosa yang dapat diragikan oleh bakteri tertentu dan
membentuk asam sehingga pH plak akan menurun sampai dibawah 5 dalam
tempo 3-5 menit. Penurunan pH yang berulang-ulang dalam waktu tertentu
mengakibatkan demineralisasi permukaan gigi (Moye, Zeng and Burne,
2014).
Proses terjadinya karies dimulai dengan adanya plak dipermukaan gigi.
Plak terbentuk dari campuran antara bahan-bahan air ludah seperti musin,
sisa-sisa sel jaringan mulut, leukosit, limposit dan sisa makanan serta bakteri.
Plak ini mula-mula terbentuk, agar cair yang lama kelamaan menjadi kelat,
tempat bertumbuhnya bakteri(Moye, Zeng and Burne, 2014)
Selain karena adanya plak, karies gigi juga disebabkan oleh sukrosa
(gula) dari sisa makanan dan bakteri yang menempel pada waktu tertentu
yang berubah menjadi asam laktat yang akan menurunkan pH mulut menjadi
kritis (5,5) yang akan menyebabkan demineralisasi email yang berlanjut
menjadi karies gigi. Secara perlahan-lahan demineralisasi interna berjalan ke
arah dentin melalui lubang fokus tetapi belum sampai kavitasi (pembentukan
lubang). Kavitasi baru timbul bila dentin terlibat dalam proses tersebut.
Namun kadang-kadang begitu banyak mineral hilang dari inti lesi sehingga
permukaan mudah rusak secara mekanis, yang menghasilkan kavitasi yang
makroskopis dapat dilihat. Pada karies dentin yang baru mulai, yang terlihat
hanya lapisan keempat (lapisan transparan, terdiri atas tulang dentin sklerotik,
kemungkinan membentuk rintangan terhadap mikroorganisme dan enzimnya)
dan lapisan kelima (lapisan opak/
5

tidak tembus penglihatan, di dalam tubuli terdapat lemak yang mungkin


merupakan gejala degenerasi cabang-cabang odontoblas). Baru setelah terjadi
kavitasi, bakteri akan menembus tulang gigi. Pada proses karies yang amat
dalam, tidak terdapat lapisan-lapisan tiga (lapisan demineralisasi, suatu
daerah sempit, dimana dentin partibular diserang), lapisan empat dan lapisan
lima (Moye, Zeng and Burne, 2014).

2.5. Diagnosis
Karies gigi pada tahap awal akan terlihat seperti debris berwarna putih
yang mudah dibersihkan, karies yang telah berhenti pada umumnya nampak
berwana coklat atau bahkan kehitaman. Karies yang telah terhenti ini
memiliki konsistensi yang keras shingga tidak dapat hilang dengan swab
(italic). Pemeriksaan karies dengan menggunakan instrumen diagnosis seperti
ekskavator, kaca mulut, dan sonde dapat membantu menemukan karies gigi.
Instrumen sonde yang tersangkut mengindikasikan adanya kavitas. Sonde
juga dapat digunakan untuk mengetahui kedalaman karies gigi. Metode lain
yang digunakan adalah transluminasi dimana gigi yang diperiksa diberikan
cahaya. Cahaya tidak akan merambat dengan sempurna apa bila terdapat
karies gigi (Rizky, 2018). Radiografi juga dapat digunakan untuk mengetahui
kedalaman karies gigi. Gambaran radiolusen pada jaringan keras gigi
mengindikasikan keberadaan karies gigi (Al-Darwish, El Ansari and Bener,
2014).
Karies gigi dapat diklasifikasikan menurut beberapa ahli seperti
menurut Mont and Hume, G.V Black, dan WHO. Pada dasarnya klasifikasi
karies tersebut membagi karies berdasarkan letak dan/atau kedalamannya
(Moye, Zeng and Burne, 2014).

2.6. Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari karies gigi adalah flourosis. Hal ini disebabkan
karena flourosis memiliki penampakan klinis yang mirip dengan karies gigi
(Moye, Zeng and Burne, 2014).
6

2.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari karies gigi bermacam-macam tergantung dari
kondisi gigi, kondisi pasien, usia pasien, letak karies, waktu terjadinya karies,
dan tingkat sosio ekonomi pasien (Al- Darwish, El Ansari and Bener, 2014).

2.8. Pencegahan
Karies gigi merupakan penyakit multifaktorial sehingga dengan
menghindarkan diri dari faktor-faktor penyebab karies gigi maka penyakit ini
dapat dihindarkan atau setidaknya dapat menurunkan resiko terjadinya karies.
Perawatan pencegahan karies gigi seperti fissure sealent diketahui efektif
menurunkan resiko terjadinya karies gigi baik pada anak-anak amupun orang
dewasa (Al- Darwish, El Ansari and Bener, 2014).

2.9. Komplikasi
Beberapa studi menunjukan adanya hubungan antara karies gigi dengan
penyakit endocarditis dan diabetes mellitus. Kajadian yang umum ditemukan
adalah karies gigi dapat menimbulkan morbditas pada penderitanya seperti
rasa sakit pada gigi yang karies, abses, bahkan kematian akibat plegmon
(ludwig angina) (Al- Darwish, El Ansari and Bener, 2014).

2.10. Prognosis
Prognosis dari perawatan karies bermacam-macam karena dipengaruhi
oleh berbagai hal. Penatalaksanaan yang sesuai dengan indikasi, standar
operasional prosedur, dan dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi dapat memeberikan prognosis yang baik (Al- Darwish, El Ansari
and Bener, 2014).
7

BAB III
SIMPULAN

3.1. Simpulan
Karies merupakan penyakit multifaktorial yang membutuhkan
penanganan yang kompleks dan tepat indikasi sehingga mendapatkan
prognosis yang baik.

3.2. Saran
Diperlukan penelusuran lebih lanjut dalam pembahasan ini.
DAFTAR PUSTAKA

Agustin, M., Irdawati and Zulaicha, E. 2014. Efektifitas Pendidikan Kesehatan


Media Booklet Dibandingkan Audiovisual terhadap Pengetahuan Orang Tua
Tentang Karies Gigi pada Anak Usia 5-9 Tahun di Desa Makamhaji.
Al-Darwish, M., El Ansari, W. and Bener, A. 2014. ‘Prevalence of dental caries
among 12-14 year old children in Qatar.’, The Saudi dental journal, 26(3),
pp. 115–25. doi: 10.1016/j.sdentj.2014.03.006.
Boman, L. and Karlsson, M. 2015. ‘Dental karies, dental fluoros och
munvårdsvanor hos barn i Tanzania’, pp. 1–18.
Ghazal, T. S., Levy, S. M., Childers, N. K., Broffitt, B. A., Caplan, D. J., Warren,
J. J., Cavanaugh, J. E. and Kolker, J. 2016. ‘Dental Caries in High-Risk
School-Aged African-American Children in Alabama: A Six-Year
Prospective Cohort Study HHS Public Access’, Pediatr Dent, 38(3), pp.
224– 230.
Heaton, B., Crawford, A., Garcia, R. I., Henshaw, M., Riedy, C. A., Barker, J. C.,
Wimsatt, M. A., Oral, N. and Project, H. 2017. ‘Oral health beliefs,
knowledge, and behaviors in Northern California American Indian and
Alaska Native mothers regarding early childhood caries’, Journal of Public
Health Dentistry, pp. 1–10. doi: 10.1111/jphd.12217.
Jannah, Z. 2016. Perbedaan Pengaruh Pendidikan Kesehatan tentang Karies Gigi
Melalui Buku Cerita Bergambar dan Leaflet terhadap Pengetahuan, Sikap,
dan Perilaku Anak Sekolah Dasar di Kabupaten Malang. Malang.
Karina, A. 2014. ‘Caries Prevalence, Oral Hygiene, and Oral Health Habits of
Kuwaiti Infants and Toddlers’, pp. 125–128. doi: 10.1159/000356866.
Lubis, F., Sulastri and Jadmiko, A. 2016. Perbedaan Pendidikan Kesehatan
Menggunakan Metode Ceramah dan Audiovisual terhadap Tingkat
Pengetahuan dan Sikap Perawatan Karies Gigi Anak di Wilayah Puskesmas
Wonosegoro II.
Mariati, N. W. 2015. ‘Pencegahan dan perawatan karies rampan’, Jurnal Biomedik,
7(1), pp. 23–28.
Moye, Z. D., Zeng, L. and Burne, R. A. 2014. ‘Fueling the caries process:
Carbohydrate metabolism and gene regulation by Streptococcus mutans’,
Journal of Oral Microbiology. doi: 10.3402/jom.v6.24878.
Mulu, W., Demilie, T., Yimer, M., Meshesha, K. and Abera, B. 2014. ‘Dental caries
and associated factors among primary school children in Bahir Dar city:
A cross-sectional study’, BMC Research Notes, 7(1). doi: 10.1186/1756-
0500-7-949.
Pratiwi, P. E., Agung, A., Sawitri, S., Adiputra, N., Pratiwi, P. E., Agung, A.,
Sawitri, S. and Adiputra, N. 2013. ‘Hubungan persepsi tentang karies gigi
dengan kejadian karies gigi pada calon pegawai kapal pesiar yang datang ke
dental klinik di Denpasar tahun 2012 Correlation between perceptions with
the occurance of dental decay among cruise employee candidates who v’, 1,
pp. 78–83.
Ratnasari, Gultom, E. and Andriyani, D. 2014. ‘Tingkat keparahan karies dan status
gizi pada anak sekolah usia 7 – 8 tahun’, Jurnal Kep, 10(1), pp. 33– 37.
Runnel, R., Honkala, S., Honkala, E., Olak, J., Nõmmela, R., Vahlberg, T.,
Mäkinen, K. K. and Saag, M. 2013. ‘Caries experience in the permanent
dentition among fi rst- and second-grade schoolchildren in southeastern
Estonia’, (August 2011), pp. 410–415. doi:
10.3109/00016357.2012.690529.
Watt, R. G., Pikhart, H., Sheiham, A. and Tsakos, G. 2014. ‘Dental Caries and
Growth in School-Age Children’, 133(3), pp. 616–623. doi:
10.1542/peds.2013-0846.
Widayati, N. 2014. ‘Faktor yang Berhubungan dengan Karies Gigi pada Anak
Usia 4-6 Tahun’, Jurnal Berkala Epidemiologi, 2(2), pp. 196–205.
Contoh Penugasan Poster
Contoh_Tugas Anatomi Gigi_PSPDG (bag. depan)
Contoh_Tugas Anatomi Gigi_PSPDG (bag. belakang)
Contoh Penugasan Resume Karies

Nama Lengkap: Iluh Sari


Nama Ilmiah: Diastema
Nama Kelompok Prodi: Prostodontia
NIM: 2002551000

KLASIFIKASI KARIES G.V BLACK DAN KEDALAMAN KARIES

ISI
ISI
ISI
ISI

DAFTAR PUSTAKA
Anusavice, K.J., Shen, C., dan Rawls, H.R., 2013. Phillips Science of Dental
Materials 12th Ed. Elsevier.
dst…

Anda mungkin juga menyukai