FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
1
WHO mengatakan bahwa kesehatan adalah sebuah kondisi yang baik secara
fisik, mental, dan juga sosial, bukan sekedar ketiadaan sebuah penyakit atau
kelainan.1 Definisi kesehatan ini dituliskan dalam Deklarasi Alma Ata oleh WHO
dan menjadi tonggak dasar pengertian kesehatan saat ini. Namun banyak sekali
permasalahan kesehatan yang belum terpecahkan untuk mewujudkan kesehatan
manusia berdasarkan WHO. Salah satu permasalahan besar dari kesehatan yang
menjadi permasalahan saat ini adalah non-communicable diseases (NCDs), dan
permasalahan kesehatan ini semakin meningkat setiap tahunnya. NCD adalah
sebuah istilah yang diberikan untuk penyakit yang tidak menular, dan terdapat
empat golongan besar NCD yang menjadi permasalahan di dunia saat ini yaitu
penyakit kardiovaskular, diabetes, kanker, dan penyakit kronis pernapasan. NCD
menjadi salah satu penyebab terbesar kematian saat ini. Berdasarkan data WHO,
NCD diperkirakan mengakibatkan 70% dari seluruh kasus kematian global pada
tahun 2015 yang dimana 75% dari kematian NCD terjadi di negara dengan
pendapatan rendah dan menengah dan 48% dari kematian dari NCD terjadi pada
manusia dengan usia dibawah 70 tahun.2 Di Indonesia, dalam rentang tahun 2000-
2015, kasus kematian diakibatkan NCD semakin meningkat, dimana pada tahun
2000 terdapat 975.000 kematian, dan pada tahun 2015 menjadi 1,3 juta kasus
kematian.3 NCD juga mengakibatkan penurunan kualitas hidup manusia, dilihat
melalui Daily Adjusted Life Years (DALYs). Pada tahun 2012, penelitian yang
dilakukan di 21 region menunjukkan bahwa NCD mengakibatkan lebih dari 15
juta DALYs pada tahun 2010, dan menunjukkan bahwa keluarga pasien NCD
memiliki pengeluaran dua sampai tiga kali lipat lebih besar dibanding keluarga
yang tidak memiliki pasien NCD.4-5
Permasalahan yang mungkin seringkali diabaikan oleh tenaga kesehatan
adalah dampak dari NCDs yaitu gangguan mental adalah sesuatu yang bersifat
komorbid.6 Berdasarkan WHO pada tahun 2014, sehat mental didefinisikan
2
sebagai suatu kondisi dimana setiap individu menyadari potensi dirinya, dapat
bertahan dan menghadapi stres dalam hidup, dapat bekerja dengan produktif dan
menghasilkan, dan mampu untuk berkontribusi bagi komunitas lingkungannya.
Dimensi positif ini pun ditekankan oleh WHO yang didasarkan menjadi konstitusi
WHO bahwa sehat adalah sebuah kondisi yang baik secara fisik, mental, dan juga
sosial, bukan sekedar ketiadaan sebuah penyakit atau kelainan.1 Namun
sayangnya seringkali kesehatan mental menjadi suatu hal yang diabaikan,
terutama stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa. Hal yang sering tidak
disadari bahwa gejala gangguan mental dapat muncul bersamaan dengan gejala
NCDs. Studi menunjukkan secara umum, bahwa 30% pasien NCDs yang sudah
kronis mengalami gangguan mental, dan ditemukan lebih tinggi pada pasien
dewasa.7,8 Oleh sebab itu antara NCDs dan kesehatan mental memiliki hubungan
baik sebagai kausal, konsekuensi, ataupun komorbid.
Sayangnya, kondisi pelayanan kesehatan saat ini merupakan tipe pelayanan
yang bersifat independen dan mandiri, terlepas dari satu bagian dengan bagian
yang lain. Seringkali, pelayanan kesehatan tidak bersifat holistik, tidak efisien
biaya (biaya harus semakin meningkat), bahkan mengganggu anggaran belanja
negara pada bidang kesehatan, terutama pada kasus komorbid yang semakin
kompleks, dan mengakibatkan prosedur kesehatan yang harus dilakukan semakin
panjang.9-11
Oleh sebab itu, mahasiswa kedokteran harus mampu belajar untuk menjadi
sumber daya yang berkualitas dan mampu untuk melakukan peningkatan
kesehatan secara holistik. Mahasiswa kedokteran diharapkan dapat melakukan
suatu integrasi pelayanan kesehatan primer, interprofesional, dan pada topik ini
ditekankan mengenai kolaborasi pelayanan kesehatan mental dan fisik. Tanpa
integrasi dari pelayanan kesehatan mental dan fisik pada pasien NCDs, maka
penanganan pasien NCDs akan bersifat inefektif dengan biaya yang lebih tinggi.12
Mahasiswa kedokteran yang kedepannya menjadi seorang tenaga kesehatan
umum harus mampu menjadi garda utama dalam memberikan pelayanan
kesehatan tingkat awal dan melakukan pemeriksaan dan pemberian manajemen
secara holistik baik pengobatan mental dan fisik. Selain dokter umum, perawat
memiliki peran penting dalam pelayanan primer, dalam memberikan manajemen
3
DAFTAR PUSTAKA
11. Unützer J, Schoenbaum M, Katon WJ, Fan MY, Pincus HA, Hogan D, Taylor J.
Healthcare costs associated with depression in medically ill fee‐for‐service
Medicare participants. Journal of the American Geriatrics Society. 2009
Mar;57(3):506-10.
12. Kessler RC, Heeringa S, Lakoma MD, Petukhova M, Rupp AE, Schoenbaum M,
Wang PS, Zaslavsky AM. Individual and societal effects of mental disorders on
earnings in the United States: results from the national comorbidity survey
replication. American Journal of Psychiatry. 2008 Jun;165(6):703-11.
13. Katon WJ, Lin E, Von Korff M, Ciechanowski P, Ludman E, Young B et al.
Collaborative Care for Patients with Depression and Chronic Illnesses. New
England Journal of Medicine. 2010;363(27):2611-2620.
14. Ngo VK, Rubinstein A, Ganju V, Kanellis P, Loza N, Rabadan-Diehl C, Daar
AS. Grand challenges: integrating mental health care into the non-communicable
disease agenda. PLoS medicine. 2013 May 14;10(5):e1001443.
15. Patel V, Belkin GS, Chockalingam A, Cooper J, Saxena S, Unützer J. Grand
challenges: integrating mental health services into priority health care platforms.
PloS medicine. 2013 May 28;10(5):e1001448.
PROPOSAL PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA
BIDANG KEGIATAN:
PKM-GAGASAN TERTULIS
Diusulkan oleh:
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019
i
PENGESAHAN PROPOSAL PKM-GAGASAN TERTULIS
Menyetujui
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Ketua Pelaksana Kegiatan
dan Informasi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana,
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL…………………………………………………….. i
LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………... ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………….. iii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………. iv
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang……………………………………………. 1
1.2 Tujuan…………………………………………………….. 2
1.2.1 Tujuan Umum…………………………................. 2
1.2.2 Tujuan Khusus…………………………………… 2
1.3 Manfaat…………………………………………………… 2
1.3.1 Manfaat Teoritis………………………………….. 2
1.3.2 Manfaat Praktis…………………………………... 2
BAB II GAGASAN……………………………………………………… 3
2.1 Kondisi Terkini Pencetus Gagasan……………………….. 3
2.2 Solusi yang Pernah Diterapkan untuk Memperbaiki 5
Kondisi Pencetus Gagasan………………………………..
2.3 Seberapa Jauh Kondisi Terkini Pencetus Gagasan Dapat 5
Diperbaharui atau Dikembangkan…………………………
2.4 Peran Pihak yang Dipertimbangkan Dapat Membantu 6
Mengimplementasikan Gagasan …………………………
2.5 Langkah-Langkah Strategis………………………………. 7
BAB III KESIMPULAN…………………………………………………. 7
3.1 Gagasan yang Diajukan…………………………………… 7
3.2 Teknik Implementasi……………………………………… 7
3.3 Prediksi Hasil……………………………………………... 8
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 8
Lampiran 1. Biodata Ketua dan Anggota………………………………... 10
Lampiran 2. Biodata Dosen Pendamping………………………………... 13
Lampiran 3. Susunan Organisasi Tim Penyusun dan Pembagian Tugas 15
Lampiran 4. Surat Pernyataan Ketua Tim………………………............. 16
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk memberikan informasi kecukupan gizi yang dikonsumsi masyarakat
dengan menggunakan aplikasi Food Nutrition Scanning.
1.2.2 Tujuan Khusus
Membuat program aplikasi Food Nutrition Scanning yang dapat :
a. Mudah dibaca dan dapat dimengerti oleh pengguna aplikasi Food
Nutrition Scanning.
b. Memberikan edukasi kepada penderita obesitas mengenai kecukupan
gizi yang dikonsumsi dari makanan yang tertera pada aplikasi Food
Nutrition Scanning dalam rangka mengurangi kasus obesitas di
Indonesia.
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
Aplikasi ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi dunia pendidikan
khususnya pada ilmu gizi dan teknologi informasi.
1.3.2 Manfaat Praktis
a. Bagi Mahasiswa
2
3
BAB II
GAGASAN
3
4
4
5
disebabkan oleh adanya obesitas (WHO, 2013). Selain kanker, hipertensi dengan
persentase 34,1% (Riskesdas, 2018) dan kardiovaskular dengan persentase 46,2%
(WHO, 2011).
5
6
akan menampilkan jumlah gizi dari makanan tersebut dan berapa kecukupan
gizi yang harus dikonsumsi oleh pengguna aplikasi. Selain itu Food Nutrition
Scanning juga dilengkapi dengan sistem seperti alarm yang bisa mengingatkan
penggunanya apabila jumlah gizi yang dikonsumsi pada hari itu melebihi batas
normal sehingga pengguna aplikasi dapat mengantisipasi agar berat badannya
tidak meningkat dan tidak menimbulkan dampak buruk seperti penyakit
diabetes melitus, hipertensi, maupun jantung koroner.
6
7
BAB III
KESIMPULAN
7
8
DAFTAR PUSTAKA
Arywibowo, D. M., Prihartanti, N. & N.A, N. R., 2009. Penurunan Berat Badan
Pada Obesitas Melalui Pengaturan Diri.
APJII.2018. Potret Zaman Now Pengguna & Perilaku Internet Indonesia.Edisi
ke-23, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. Jakarta.
Budiyati. 2011. Analisis Faktor Penyebab Obesitas Pada Anak Sekolah di SD
Islam Al-Azhar 14 Kota Semarang.
Cahyaningtyas, M. D.2018. Hubungan Frekuensi Konsumsi Minuman Berkalori
dengan Status Gizi Pada Siswa di SMA Negeri 5 Surakarta.
Cokroadhisuryani, H. 2018. Analisis Pelaksanaan Gerakan Masyarakat Hidup
Sehat (GERMAS) di Wilayah Kerja Puskesmas Ngaglik I.
8
9
Damopolii, W., Mayulu, N. & Masi, G., 2013. Hubungan Konsumsi dengan
Kejadian Obesitas Pada Anak SD di Kota Manado.
Danari, A. L., Mayulu, N. & Onibala, F., 2013. Hubungan Aktivitas Fisik
dengan Kejadian Obesitas Pada Anak SD di Kota Manado.
Depkes RI. 2018. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan : Jakarta.
Diana, R., Yuliana, DI., Yasmin, G& H., 2013. Faktor Resiko Kegemukan
Pada Wanita Dewasa Indonesia.
Djanggan Sargowo dan Sri Andarini. 2011. The Relationship Between Food
Intake and Adolescent Metabolic Syndrome.
Gibney, M.J., Margetts, B.M., Kearney, J.M., dan Arab, L. 2009. Gizi Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Hidayati, D. R., 2017. Hubungan Asupan Lemak Dengan Kadar Trigliserida dan
Indeks Massa Tubuh Sivitas Akademika UNY.
Justitia, N. L., 2012. Hubungan Obesitas dengan Peningkatan Kadar Gula Darah
Pada Guru-Guru SMPN 3 Medan.
Maryam, P. S. E., Mardhiati, R. & Rachmawati, E., 2016. Hubungan Karakteristik
Anak, Karakteristik Orang Tua, Pola Makan, Aktivitas Fisik dan
Konsumsi Makanan Cepat Saji Dengan Kejadian Gizi Lebih.
Adriani, M . & Wirjatmadi, B . 2012. Pengantar Gizi Masyarakat.
Kencana Prenada Media Grup.Jakarta.
Pramono, A. & Sulchan, M. 2014. Kontribusi Makanan Jajan dan Aktivitas
Fisik Terhadap Kejadian Obesitas Pada Remaja di Kota Semarang.
Safitri, A., Jahari, A. B. & Ernawati, F., 2016. Konsumsi Makanan Penduduk
Indonesia Ditinjau dari Norma Gizi Seimbang.
Sirait, A. M. & Sulistiowati, E. 2014. Sindrom Metabolik Pada Orang Dewasa Di
Kota Bogor, 2011-2012, Volume 24.
Suiraoka, I. P. 2015. Pencegahan dan Pengendalian Obesitas Pada Anak Sekolah.
Sundari, E., Masdar, H. & Rosdiana, D. 2015. Angka Kejadian Obesitas
Sentral Pada Masyarakat Kota Pekan Baru. (Poltekes, 2010).
WHO. 2009. Global Health Risks Report 2009. WHO : France.
WHO. 2011. Regional Office for South-East Asia. Department of Sustainable
Development and Healthy Environments. Non Communicable Disease:
Hypertension.
Wijayanti , D. N. 2013. Analisis Faktor Penyebab Obesitas dan Cara Mengatasi
Obesitas Pada Remaja.
World Health Organization. 2010. Obesity: preventing and managing global
epidemic. Report of a WHO Consultation Technical Report .Series 894.
Geneva.Switzerland.
World Health Organization. 2013. Obesity and overweight. WHO technical report
series. Geneva.
9
10
A. Indentitas Diri
1 Nama Lengkap (dengan gelar) Ni Nyoman Putri Wantini
2 Jenis Kelamin Perempuan
3 Program Studi Kesehatan Masyarakat
4 NIM 1902561009
5 Tempat dan Tanggal Lahir Denpasar, 12 Oktober 2000
6 Alamat E-Mail putriwantini31@gmail.com
7 Nomor Telepon/HP 083119326038
B. Kegiatan Kemahasiswaan Yang Sedang/Pernah Diikuti
No Jenis Kegiatan Status dalam Kegiatan Waktu dan Tempat
1
2
3
C. Penghargaan Yang Pernah Diterima
No Jenis Penghargaan Pihak Pemberi Penghargaan Tahun
1.
2.
3.
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata
dijumpai ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi.
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu
persyaratan dalam pengajuan PKM-GT
Denpasar, 1 Desember 2019
Ketua Pengusul
10
11
Biodata Anggota
A. Identitas Diri
1 Nama Lengkap (dengan gelar) I Gusti Ayu Agung Mas Ariantini
2 Jenis Kelamin Perempuan
3 Program Studi Kesehatan Masyarakat
4 NIM 1902561008
5 Tempat dan Tanggal Lahir Dalung, 12 Januari 2001
6 Alamat E-Mail gungmas38@gmail.com
7 Nomor Telepon/HP 081353026547
B. Kegiatan Kemahasiswaan Yang Sedang/Pernah Diikuti
No Jenis Kegiatan Status dalam Kegiatan Waktu dan Tempat
1
2
3
C. Penghargaan Yang Pernah Diterima
No Jenis Penghargaan Pihak Pemberi Penghargaan Tahun
1.
2.
3.
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata
dijumpai ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi.
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu
persyaratan dalam pengajuan PKM-GT.
Denpasar, 1 Desember 2019
Anggota Tim
11
12
Biodata Anggota
A. Identitas Diri
1 Nama Lengkap (dengan gelar) Ida Ayu Made Gia Cahyani
2 Jenis Kelamin Perempuan
3 Program Studi Kesehatan Masyarakat
4 NIM 1902561011
5 Tempat dan Tanggal Lahir Dsn. Geria Batuan, 29 Januari 2001
6 Alamat E-Mail giayani21@gmail.com
7 Nomor Telepon/HP 081239085095
B. Kegiatan Kemahasiswaan Yang Sedang/Pernah Diikuti
No Jenis Kegiatan Status dalam Kegiatan Waktu dan Tempat
1
2
3
C. Penghargaan Yang Pernah Diterima
No Jenis Penghargaan Pihak Pemberi Penghargaan Tahun
1.
2.
3.
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata
dijumpai ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi.
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu
persyaratan dalam pengajuan PKM-GT.
Denpasar, 1 Desember 2019
Anggota Tim
12
13
A. Identitas Diri
1. Nama Lengkap (dengan gelar) Dr.dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih,
M.Sc.,SpGK
2. Jenis Kelamin Laki-Laki
3. Program Studi Pendidikan Dokter
4. NIP/NIDN 0021055807
5. Tempat dan Tanggal Lahir Denpasar, 21 Mei 1958
6. Alamat E-Mail ngurah_indraguna@unud.ac.id
7. Nomor Telepon/HP 08123816424
B. Riwayat Pendidikan
Program S-1 S-2 S-3
Pendidikan Dokter Fakultas - -
Kedokteran
Universitas
Udayana
MSc. Human Nutrition - LSHTM, London -
UK
Dr. Ilmu Kedokteran - - Pascasarjana
Universitas
Udayana
C. Rekam Jejak Tri Dharma PT
Pendidikan/Pengajaran
No Nama Mata Kuliah Wajib/Pilihan SKS
1 Gizi Klinik Wajib 3
2 Nutrisi Dasar Wajib 2
3 Workshop Obesity Wajib 1
Penelitian
No Judul Penelitian Penyandang dana Tahun
1 Analisis Kualitatif Jenis Antioksidan Pribadi 2010
Dalam Bumbu Babi Guling
2 Bumbu Babi Guling Menurunkan Pribadi 2011
Kadar Cholesterol Darah Yang
Diinduksi Oleh Mengkonsumsi
Daging Babi Pada Tikus Wistar
3 Analisa Bahan Aktif Bumbu Babi Universitas Udayana 2014
Guling Yang Dapat Menguap Yang
Bersifat Sebagai Antioksidan
4 Analisa Bahan Aktif Bumbu Babi Universitas Udayana 2016
Guling Yang Tidak Menguap Yang
13
14
14
15
15
16
Dengan ini menyatakan bahwa proposal PKM –GT saya dengan judul Inovasi
Perencanaan Aplikasi Food Nutrition Scanning Untuk Mengontrol Kecukupan
Gizi Penderita Obesitas untuk tahun anggaran 2019 adalah asli karya kami dan
belum pernah dibiayai oleh lembaga atau sumber dana lain.
Mengetahui,
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan
dan Informasi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana
16
1
“KAJIAN ISU”
PENDIDIKAN KEDOKTERAN, KUALITAS ATAU
KUANTITAS?
RIBOFLAVIN
NUTRISI
11
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
1
Latar Belakang
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi kini tengah membuka
fakultas kedokteran baru guna mewujudkan jumlah dokter yang ideal, namun
kurang memperhatikan dari segi kualitas sistem pendidikan kedokteran.
Berdasarkan pada pasal 36 Undang-Undang No. 20 tahun 2013 mengenai
Pendidikan Kedokteran, dimana pada tahun 2014 pertama kalinya diberlakukan
Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter, yang menjadi syarat
mahasiswa kedokteran memperoleh sertifikat profesi dan kompetensi. Kini sekitar
83 fakultas kedokteran telah tersebar di Indonesia dan kemungkinan akan terus
bertambah. Sekilas penambahan jumlah fakultas kedokteran menjadi kabar yang
menggembirakan, namun menimbulkan berbagai kontroversi dimana kualitas
fakultas kedokteran sendiri belum dapat dikatakan baik (Putri, 2018).
Penjabaran Masalah
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, moratorium memiliki arti
penundaan dan penangguhan. Jadi, moratorium Fakultas Kedokteran memiliki arti
penundaan atau penangguhan izin mendirikan Fakultas Kedokteran yang baru.
Sebelumnya moratorium Fakultas Kedokteran dilakukan dengan beberapa alasan,
yaitu (1) Daerah terpencil di Indonesia masih belum terjangkau oleh tenaga
kesehatan; (2) Lulusan dokter umum di Indonesia berlebih, dimana lulusan dokter
spesialis sedikit; dan (3) Fakultas kedokteran dengan akreditasi C masih banyak
dan perlu peningkatan kualitas (Hidayat, 2016).
Pembahasan
Berakhirnya moratorium Fakultas Kedokteran terjadi pada tahun 2017,
dimana Menristekdikti, Mohammad Nasir mencabut moratorium izin mendirikan
Fakultas Kedokteran dengan alasan masih kurangnya jumlah dokter tersebar di
Indonesia guna mencapai SDGs tahun 2030 dimana kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat secara menyeluruh. Disamping itu telah terjadi peningkatan dari
akreditas C menjadi akreditasi B. Persentase akreditasi berubah, dari 83 fakultas
kedokteran, 17 di antaranya terakreditasi A, 34 akreditasi B, 22 akreditasi C, dan
10 lain mengantongi akreditasi minimal. Padahal ketika itu hanya 8 dari 23
1
Fakultas Kedokteran yang terakreditasi C menjadi akreditasi B. Menurut
Bambang, idealnya pencabutan moratorium Fakultas Kedokteran dilakukan ketika
jumlah Fakultas Kedokteran terakreditasi C tersisa hanya 10 persen. Hal ini
membuktikan bahwa, fakultas kedokteran dengan akreditasi C (terendah)
menyumbang persentase yang banyak, yang tentunya menjadi beban bagi
pemerintah (Hidayat, 2016).
Terkait permasalahan kurangnya dokter di Indonesia berdasarkan data
Konsil Kedokteran Indonesia tahun 2016, dokter mencapai 110.720 orang, dimana
seorang dokter dapat melayani 2.270 penduduk. Jika mengacu pada standar World
Health Organization (WHO) dimana perbandingannya adalah 1: 2500, maka
sesungguhnya jumlah dokter di Indonesia sudah memenuhi kebutuhan, bahkan
dapat dikatakan kelebihan jumlah dokter di Indonesia. Namun, kementerian
menargetkan rasio dokter Indonesia 1:2.000 mengingat perkiraan di tahun 2030,
Indonesia diprediksi mengalami kekurangan dokter sebanyak 25.740 tiap
tahunnya (Kemenristekdikti, 2017).
Pendidikan kedokteran merupakan salah satu pendidikan yang krusial
mengingat tanggung jawab nantinya yang diemban untuk keselamatan nyawa
seseorang. Pembina Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
mempertanyakan mengenai pembukaan Fakultas Kedokteran baru, melihat dari
Fakultas Kedokteran yang saat ini berjalan saja masih belum memiliki sumber
daya manusia, sarana dan prasarana, dan akreditasi kelulusan kompetensi yang
terbilang rendah (YLKI, 2018).
Selama ini pemerintah terkesan sangat mudah membuka Fakultas
Kedokteran baru, sedangkan hasil akreditasi dan UKMPPD masih belum sesuai
harapan, karena hal yang ditakutkan adalah dengan pembukaan FK baru kembali
hanya menjadi beban mendatang bagi negara.
Berdasarkan atas analisis PNUKMPPD beserta tim ahli, hasil UKMPPD
berkorelasi positif terhadap status program studi kedokteran. Berdasarkan data
UKMPPD hingga akhir 2017, fakultas kedokteran yang terakreditas A,
mahasiswanya yang mengikuti UKMMPD lulus >80% dengan jumlah
keseluruhan peserta di atas 500 orang, sedangkan fakultas kedokteran
berakreditasi C mahasiswanya lulus dalam UKMPPD <50% dari 200 peserta.
2
Namun juga terdapat fakultas kedokteran berakreditasi A yang meluluskan
mahasiswanya <50%. Hal ini dikarenakan sistem penerimaan mahasiswa yang
kurang baik 10 tahun sebelumnya. Terdapat juga fakultas kedokteran berakreditas
C yang meluluskan mahasiswanya >50% (Kemenristekdikti, 2016a;
Kemenristekdikti 2016b).
Fakultas Kedokteran yang telah terakreditasi belum tentu menjamin kualitas
dari sumber daya manusianya, begitu sebaliknya. Akreditasi FK salah satunya
diambil dari kelulusan mahasiswanya, namun sistem UKMPPD saat ini masih
dianggap kurang diperbaiki, pasalnya penilaian OSCE masih menggunakan
penilaian lokal sehingga masih dapat kemungkinan celah subjektifitas dan
ketidaksetaraan kelulusan tiap daerah, namun diketahui bahwa keterampilan
seorang dokter tidak dapat dinilai hanya dari OSCE.
3
3. Sistem Masuk Fakultas Kedokteran
Akreditasi Fakultas Kedokteran dipengaruhi juga oleh sumber daya
manusianya. Kualitas mahasiswa kedokteran juga tercermin dari bagaimana
seleksi masuk Fakultas Kedokteran. Saat ini penilaian masih sebatas SNMPTN,
SBMPTN, dan mandiri. Baiknya apabila kedepannya dapat dilakukan seleksi
psikotes dan kesehatan. Mengingat menjadi dokter tak hanya sehat akademik,
namun sehat mental dan fisik perlu diperhatikan. Sehingga kedepannya, mental
yang masuk Fakultas Kedokteran memang mental seorang dokter yang baik.
4
DAFTAR PUSTAKA
6
(berpraktik) di kota-kota besar saja. Jadi yang sangat mendesak adalah distribusi
dokter ke seluruh pelosok Indonesia, bukan memproduksi dokter secara ugal-
ugalan, bak sopir angkutan mengejar setoran.
Bagaimana dengan profil pendidikan kedokteran yang ada? Dari 83 fakultas
kedokteran sebarannya adalah sebagai berikut; 22 fakultas (27 persen)
terakreditasi A, 37 fakultas (45 persen) terakreditasi B, dan 24 fakultas (29
persen) terakreditasi C. Dengan kata lain, jika dilihat status akreditasinya,
mayoritas fakultas kedokteran di Indonesia (55 persen) kualitasnya
mengkhawatirkan. Apalagi fakultas kedokteran dengan akreditasi C, yang
jumlahnya cukup signifikan (24 fakultas, 29 persen).
Inilah bukti, bahwa pemerintah–Ditjen Dikti Kemenristek dan Perguruan
Tinggi, di satu sisi “mengobral” izin operasional fakultas kedokteran, tetapi di sisi
lain gagal dalam menstandardisasi kualitas fakultas kedokteran. Padahal
Menristek dan Perguruan Tinggi, Muhammad Nasir, pernah menjanjikan bahwa
jika fakultas kedokteran dengan akreditasi C mengalami kegagalan hingga dua
kali untuk naik tingkat, maka fakultas kedokteran tersebut akan ditutup alias
dicabut izin operasinya. Tetapi hal ini tidak pernah dilakukan, hingga detik ini
belum ada satupun fakultas kedokteran dengan akreditasi C yang ditutup, akibat
tidak mampu meningkatkan statusnya. Ini menunjukkan Menristek inkonsisten
dan tidak peduli dengan kualitas lulusan kedokteran. Menristek tidak peduli
dengan patient safety, sebagai basis profesi kedokteran. Secara empirik
pendidikan kedokteran dengan akreditasi C hanya akan menghasilkan lulusan
“abal-abal”.
Hal ini bisa ditengarai dari 2.700-an alumni kedokteran yang tidak lulus
ujian sertifikat kompetensi, mayoritas adalah lulusan fakultas kedokteran dengan
akreditasi C. Tanpa mengantongi sertifikat kompetensi, seorang dokter tidak akan
bisa membuka izin praktik alias “dokter tanpa stetoskop”. Ibarat seorang hakim
tidak boleh menangani suatu perkara di pengadilan, alias “hakim non palu”. Tentu
hal ini terasa sangat menyakitkan, baik bagi orang tua dan terutama bagi lulusan
kedokteran. Yang sungguh mengerikan, fenomena “dokter tanpa stetoskop” akan
terus bertambah.
7
Mengingat setiap tahun tidak kurang dari 10-12 ribuan alumni kedokteran di
Indonesia. Jika fenomena ini terus dibiarkan, tanpa kontrol dan kendali yang jelas
maka akan menjadi permasalahan sosial yang sangat mengerikan. Akan ada
pengangguran dokter! Sebuah bom waktu yang siap meledak setiap saat! Harus
ada langkah radikal dari sisi hulu, untuk mengatasi hal ini, yakni, pertama, Ditjen
Dikti Kemenristek dan Perguruan Tinggi harus menghentikan aksi “obral izin
operasional” fakultas kedokteran.
Harus ada moratorium mendirikan fakultas kedokteran! Patut diduga, ada
oknum Ditjen Dikti yang bermain mata dengan pihak universitas bahkan
pimpinan daerah, untuk meloloskan izin operasi fakultas kedokteran sekalipun
tanpa rekomendasi dari KKI (Konsil Kedokteran Indonesia), AIPKI (Asosiasi
Ilmu Pendidikan Kedokteran Indonesia), PBIDI (Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia), dan asosiasi profesi lainnya.
Kedua, Ditjen Dikti harus berani menutup izin operasi fakultas kedokteran
yang tidak mampu meningkatkan derajat akreditasinya, khususnya akreditasi C.
Jangan pertaruhkan reputasi profesi kedokteran dan patient safety, hanya karena
mempertahankan fakultas kedokteran tertentu. Lebih baik ditutup daripada
menyisakan bom waktu di kemudian hari.
Ketiga, pimpinan universitas jangan menjadikan fakultas kedokteran sebagai
gengsi , tanpa dibarengi dengan investasi sumber daya manusia dan infrastruktur
memadai. Jangan pula fakultas kedokteran untuk tambang uang.
Orang tua dan calon mahasiswa jangan memaksakan diri masuk ke fakultas
kedokteran jika memang tidak mempunyai kemampuan intelektual yang cukup.
Jangan hanya karena punya uang segunung, memaksakan diri masuk ke fakultas
kedokteran yang mutunya tidak jelas. Praktik komersialisasi ujian kompetensi
juga harus dihentikan. Patut diduga selama ini panitia nasional ujian kompetensi
hanya ingin mendulang uang semata.
Biaya ujian Rp 1.000.000 per orang, adalah kue bisnis yang lumayan
menggiurkan. Dan patut diwaspadai, guna meloloskan alumni kedokteran yang
masih magkrak itu, yang jumlahnya 2.700-an, ada wacana untuk mendegradasi
ujian kompetensi. Misalnya, dengan mempermudah soal ujian atau bahkan
meniadakan ujian kompetensi.
8
Jika upaya tersebut berhasil, maka tamatlah riwayat kualitas dan
profesionalitas dokter di Indonesia. Yang tersisa hanyalah profesi “terkun”, alias
dokter tapi dukun. Mendegradasi ujian kompetensi sama artinya mendorong
terjadinya fenomena malpraktek profesi kedokteran. Dan siapa lagi yang akan
menjadi korban massal, kalau bukan konsumen/pasien sebagai pengguna jasa
profesi kedokteran. Apakah ini yang akan diwariskan oleh rezim sekarang? ***
9
“RESUME JURNAL”
Prevalence of Metabolic Syndrome Diagnosed by Three
Different Criteria in School-Aged Children from Rural and
Urban Areas of Northwest Mexico
RIBOFLAVIN
NUTRISI
11
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
10
Judul Prevalence of Metabolic Syndrome Diagnosed by
Three Different Criteria in School-Aged Children
from Rural and Urban Areas of Northwest Mexico
Nama Jurnal Journal of Metabolic Syndrome
Tahun 2015
Author Cecilia Ramírez-Murillo
NUTRISI
11
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
Student project ini disusun dalam rangka memenuhi penugasan tugas akhir.
Dalam penyusunan student project ini, berbagai bantuan, petunjuk, serta saran dan
masukan penulis dapatkan dari banyak pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan
Penulis sadar bahwa student project ini masih jauh dari sempurna.
Penulis berharap agar mendapatkan kritik dan saran yang membangun demi
penyempurnaan karya tulis ini. Akhir kata semoga student project ini dapat
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL……………………………………………………………ii
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1
BAB II ..................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 2
2.1 Definisi ..................................................................................................... 2
2.2 Epidemiologi ............................................................................................ 2
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko........................................................................ 3
2.4 Patogenesis ............................................................................................... 3
2.5 Diagnosis ................................................. Error! Bookmark not defined.
2.6 Diagnosis Banding.................................................................................... 4
2.7 Penatalaksanaan/Manajemen .................................................................... 6
2.8 Komplikasi ............................................................................................... 7
2.9 Pencegahan ............................................................................................... 7
2.10 Prognosis .................................................................................................. 8
BAB III.................................................................................................................... 9
PENUTUP ............................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Epididimitis merupakan infeksi akibat terjadinya inflamasi pada struktur
tubular yang terletak pada daerah posterior dan superior testis sebagai tempat
pematangan sperma, yaitu epididimis. Epididimitis biasanya diakibatkan oleh
bakteri. Penderita epidididmitis biasanya mengeluh sakit bagian panggul dan
skrotum yang lebih sering merupakan tanda awal dari fase akut. Keluhan lain
yang sering ditemukan pada sistem perkemihan adalah dysuria, frekuensi kencing,
urgensi, keluarnya cairan uretra.1
Epididimis dapat terjadi pada pria segala usia, dengan rentang usia 20
hingga 39 tahun. Sebanyak 50% dari penderita epididimis diakibatkan oleh
Chlamydia trachomatis danNeisseria gonorrhoea pada pria berumur kurang dari
39 tahun. Setelah umur 39 tahun, epididimitis sering diakibatkanoleh Escherichia
coli dan bentuk bakteri coli yang terdapat pada sistem gastrointestinal. Edidimitis
juga dapat diakibatkan oleh gerakan yang repetitif pada skrotum dan konten di
dalamnya yang menimbulkan inflamasi bukan hanya pada testis, tetapi juga pada
epididimis.1
Epididimitis dapat terjadi secara akut dan kronis, bahkan dapat menjadi
salah satu kondisi darurat dengan frekuensi kejadian yang cukup sering.1 Hasil
akhir pada epididimitis yang diobati memiliki prognosis kesembuhan yang baik,
tetapi kekambuhandapat terjadi pada individu yang tidak diobati.2
Statistika mengenai epididimitis masih belum diketahui secara pasti.3 Data
studi terkini di Indonesia mengenai epididimitis masih terbatas. Data terakhir
epididimitis di Indonesia disinggung pada tahun 2003. 4 Berdasarkan latar
belakang di atas, pembahasan secara komprehensif mengenai epididimitis
diperlukan untuk meningkatkan pemahaman penyakit berikut tatalaksananya di
masyarakat.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Epididimisadalah sebuah struktur pada sistem genitourinaria pria yang
berfungsi sebagai tempat dimana terjadi maturasi sperma sebelum dikeluarkan
melalui proses yang disebut ejakulasi. Epididimitis sendiri merupakan sebuah
infeksi yang menyebabkan terjadinya inflamasi pada daerah tuba melingkar dekat
testis, dan menghasilkan rasa sakit di bagian regio scrotal posterior. 5 Terkadang,
infeksi tersebut dapat menyebar ke testis itu sendiri dan menyebabkan
pembengkakan serta rasa gatal, yang disebut dengan kondisi epididymo-
orchitis.6 Gejala yang ditimbulkan oleh pria yang terkena epididimitis adalah
nyeri skrotum unilateral dan pembengkakan epididymis, serta disertai oleh rasa
sakit dan peningkatan sensitivitas dari daerah tersebut.1,7
Apabila dibiarkan, infeksi ini dapat menyebabkan infark dan atrofi testis
sehingga menyebabkan kematian dari organ, yang mengarah kepada infertilitas.
Meskipun sangat jarang, pada kasus ekstrim, infeksi mungkin saja dapat
menyebar secara sistemik, menyebabkan sepsis sehingga terjadi kematian.8
2.2 Epidemiologi
Epididimitis adalah penyebab paling umum untuk nyeri skrotum pada orang
dewasa. Para peneliti menemukan bahwa hampir 80% kunjungan ke ahli urologi
karena nyeri skrotum adalah untuk epididimitis kronis.9Seperti namanya,
epididimitis hanya terjadi pada pria dan dapat terjadi pada pria dari segala usia,
tetapi sebagian besar kasus epididimitis paling sering terjadi pada pria usia 19
hingga 35 tahun.10
Di Amerika Serikat, hampir 600.000 kasus epididimitis terjadi setiap
tahunnya.11Sementara itu, data di Inggris menunjukkan bahwa angka kejadian
epididimitis adalah 25/10000 orang setiap tahunnya. Epididimitis juga lebih
umum pada populasi militer dan pada pria yang memiliki riwayat hubungan
seksual yang tidak sehat.12 Dalam sebuah penelitian tentara tentara Amerika
Serikat, tingkat kejadian epididimitis tertinggi pada pria yang berusia 20 dan 29
tahun.11
2
3
mengevaluasi hapusan uretra. Kedua noda ini akan menentukan jumlah sel darah
putih (White Blood Cell, WBC) per bidang imersi minyak dan keberadaan
diplokokus intraseluler. Secara tradisional, kriteria diagnostik untuk uretritis
adalah ≥ 5 WBCs per bidang minyak, tetapi Rietmeijer dan Mettenbrink baru-baru
ini merekomendasikan penurunan angka ini menjadi ≥2 WBCs per bidang minyak
imersi. Pada kondisi klinis dimana pemeriksaan hapusan uretra tidak bisa
dilakukan, tes esterase leukosit positif pada urin pertama atau pemeriksaan
mikroskopis dari sedimen urin pertama dapat dilakukan. Hasil positif dinyatakan
apabila pemeriksaan menunjukkan adanya ≥10 WBCs per lapang pandang. 5
Setiap pria yang aktif secara seksual harus melakukan pengujian Nucleic
Acid Amplification Test (NAAT) untuk mendeteksi infeksi gonore dan/atau
klamidia. Tes-tes ini sangat sensitif dan dapat dilakukan pada swab uretra dan
spesimen urin dalam evaluasi pria dengan epididimitis. Selain itu, ultrasonografi
Color Doppler juga dapat digunakan dalam diagnosis epididimitis melalui
penilaian anatomi skrotum dan perfusi testis. Peningkatan aliran darah atau
peningkatan pulsasi gelombang Doppler, dengan epididimis yang membesar,
didiagnosis sebagai epididimitis. Sementara itu, testis normal dengan penurunan
aliran darah atau denyut gelombang Doppler yang konsisten didiagnosis sebagai
torsi testis.5
2.6 Diagnosis Banding
Terdapat beberapa kondisi yang perlu dipertimbangkan dalam diagnosis
banding epididimitis. Hal tersebut dikarenakan oleh epididimitis sering di
misdiagnosis sebagai torsio testis. Selain torsio testis, orchitis, torsion of appendix
testis dan kanker testis juga dapat di misdiagnosis sebagai epididimitis.17
Torsio testis adalah terputarnya atau melilitnya korda spermatika, yang
menyebabkan terputusnya aliran darah ke testis dan struktur jaringan di dalam
skrotum.5 Perbedaan antara epididimitis dan torsio testis dapat dilihat pada onset
timbulnya nyeri pada skrotum. Dalam hal ini, nyeri skrotum yang disebabkan oleh
epididimitis terjadi secara bertahap sedangkan nyeri skrotum yang disebabkan
oleh torsio testis terjadi secara tiba-tiba.5 Perbedaan antara epididimitis dan torsio
testis juga dapat diidentifikasi melalui hasil dari temuan ultrasonografi. Hasil
ultrasonografi atau USG pada epididimitis adalah hyperemia serta peningkatan
6
aliran darah pada epididymis yang terdeteksi oleh color doppler. Sedangkan, hasil
USG pada torsio testis menunjukkan penurunan atau tidak adanya aliran darah
yang terdeksi oleh color Doppler.3
Orchitis adalah suatu inflamasi testis (kongesti testikular) yang biasanya
terjadi sebagai reaksi sekunder dari infeksi di bagian tubuh lainnya. Peradangan
ini dapat terjadi pada salah satu atau kedua testis sekaligus. Sama halnya dengan
epididimitis, orchitis juga dapat menyebabkan nyeri pada skrotum serta dapat
timbul secara bersamaan dengan epididimitis. Untuk membedakan, nyeri akibat
pembengkakan yang disebabkan oleh epididimitis umunya terjadi di bagian
belakang testis (epididimis) yang menyimpan serta membawa sperma. Sedangkan,
nyeri akibat pembengkakan yang disebabkan oleh orchitis umumnya terjadi pada
satu atau kedua testis. Orchitis juga dapat teridentifikasi dengan adanya massa
testis (hypoechoic mass) atau pembengkakan testis yang terdeteksi dari USG.11
Epididimitis biasanya berasal dari bakteri seperti Neisseria gonorrhoeae dan
Escherichia coli sedangkan, orchitis umumnya disebabkan oleh infeksi sekunder
seperti infeksi gondong serta dapat disebabkan oleh suatu proses inflamasi di
testis.18
Torsion of appendix testis atau torsio appendiks testis adalah keadaan
dimana appendiks testis terpuntir serta memberikan rasa nyeri pada skrotum dan
testis, umumnya pada testis bagian atas. Torsi appendiks testis dapat dibedakan
melalui pemeriksaan fisik dimana ditandai dengan karakterisasi tanda titik biru
yang merupakan perubahan warna kebiruan di area skrotum. Hal tersebut
menunjukkan infark atau nekrosis.5
Kanker testis adalah kondisi yang terjadi ketika sel-sel pada testis tumbuh
secara tidak terkendali yang ditandakan oleh benjolan atau pembengkakan di salah
satu testis serta asa sakit yang tajam dan rasa pegal pada bagian testis dan
skrotum. Untuk menunjukkan perbedaan antara epididimitis dan kanker testis,
pemeriksaan fisik dan USG perlu dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat
nodul yang timbul dari testis serta mengidentifikasi adanya massa berbeda yang
melibatkan testis. Jika kedua gejala tersebut ditemukan, maka hal tersebut
menandakan gejala kanker testis. Pemeriksaan USG perlu dilakukan untuk
7
memastikan bahwa massa atau nodul yang timbul pada testis disebabkan oleh
kanker testis dan bukan oleh pembengkakan pembuluh darah atau varikoke.5
2.7 Penatalaksanaan/Manajemen
Berdasarkan pedoman dari Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) pada tahun 2015, dijabarkan panduan pengobatan untuk penyakit
epididimitis akut yang biasanya disebabkan oleh penularan secara seksual oleh
patogen gonore dan klamidia. CDC merekomendasikan pengobatan:
1. Untuk pengobatan epididimitis akut dengan kemungkinan patogen klamidia
dan gonore. Rekomendasi CDC adalah sebagai berikut: Ceftriaxone 250 mg
I.M dalam dosis tunggal ditambah Doksisiklin 100 mg per oral dua kali
sehari selama 10 hari
2. Untuk pengobatan epididimitis akut dengan kemungkinan disebabkan oleh
klamidia atau gonore yang ditularkan secara seksual dan organisme enterik
seperti E.Coli. misalnya, pada pria yang melakukan seks anal insertif,
adalah sebagai berikut: Ceftriaxone 250 mg I.M dalam dosis tunggal
ditambah Levofloxacin 500 mg oral sekali sehari selama 10 hari atau
Ofloxacin 300 mg per oral dua kali sehari selama 10 hari
3. Untuk pengobatan epididimitis akut dengan kemungkinan disebabkan oleh
organisme enteric. misalnya, kasus orang yang mengalami Urinary Tract
Surgery. Rekomendasi CDC adalah sebagai berikut: Levofloxacin 500 mg
oral sekali sehari selama 10 hari atau Ofloxacin 300 mg per oral dua kali
sehari selama 10 hari.5,19
Terapi untuk epididimitis digunakan untuk menghilangkan gejala,
penyelesaian faktor-faktor penyebab, dan pencegahan komplikasi. Terapi
antibiotik empiris dipilih bedasarkan pada karakteristik pasien seperti usia dan
riwayat seksual serta patogen yang paling memungkinkan. Sedangkan untuk
chronic Epididimitis, terapi medis yang paling umum adalah antibiotik dan agen
anti-inflamasi. Jika gejala tidak membaik, menambahkan antidepresan trisiklik
atau neuroleptik seperti gabapentin (Neurontin) dapat
membantu.19Epididimektomi adalah pilihan lain untuk pasien dengan epididimitis
yang terapi konservatif dan mediknya gagal.20
8
2.8 Komplikasi
Komplikasi yang berkaitan dengan epididimitis akut meliputi antara lain: 21
1. Abses skrotum dan pyocele
2. Infark testis (pembengkakan spermatic cord dapat membatasi aliran darah
arteri ke testis)
3. Masalah kesuburan
4. Atrofi testis
5. Cutaneous fistulization dari pecahnya abses melalui tunica vaginalis
(biasnya terjadi pada tuberculosis)
6. Kekambuhan, epididimitis kronis, dan orchialgia
2.9 Pencegahan
Berdasarkan etiologi dan pathogenesis dari penyakit infeksi ini, maka ada
beberapa cara pencegahan yang dapat dilakukan. Pertama, ada baiknya untuk
mencari fakta mengenai penyakit ini. Kemudian, lakukan pengontrolan untuk
melindungi diri sendiri ataupun pasangan. Adapun pengontrolan ini dapat berupa
abstinence/ tidak melakukan hubungan seksual, setia pada satu pasangan, serta
menggunakan kondom saat berhubungan seksual. Selain itu, melakukan beberapa
tes untuk mengetahui status kesehatan secara berkala serta menjaga kebersihan
organ reproduksi juga penting dilakukan.22
2.10 Prognosis
Epididimitis kebanyakan dapat disembuhkan dengan obat antibiotik. Dalam
kebanyakan kasus epididimitis tidak menyebabkan masalah pada seksualitas dan
reproduksi jangka panjang, namun kondisi tersebut mungkin saja kembali terjadi.
Rasa sakit akan membaik dalam waktu 1 hingga 3 hari, walaupun prosesnya akan
memakan waktu bebarapa minggu atau bulan. Infeksi epididimis dapat
menyebabkan pembentukan abses epididimis. Di lain sisi, perkembangan infeksi
tersebut dapat berpengaruh terhadap testis, menyebabkan epididymo-orchitis atau
abses testis. Sepsis merupakan konsekuensi yang mungkin terjadi dari beberapa
infeksi.11
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Hongo et al, didapatkan bahwa usia
tua dengan riwayat diabetes melitus demam, dan jumlah sel darah putih yang
lebih tinggi, C-reactive protein, serta tingkat nitrogen urea darah secara
9
10
DAFTAR PUSTAKA
CITATIONS READS
0 111
9 authors, including:
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Comparison of Measurements of Bone Mineral Density in Young and Middle-Aged Adult Women in Relation to Dietary, Anthropometric and Reproductive Variables View
project
Estructura poblacional de las especies dominantes de importancia comercial en la pesca de arrastre en la FAC del camarón, en función de la selectividad de una red
modificada comparada con la tradicional en el Golfo de Tehuantepec, México. View project
All content following this page was uploaded by Martha Nydia Ballesteros on 19 October 2015.
rome
ISSN: 2167-0943
Abstract
The International Diabetes Federation (IDF) does not justify the evaluation of metabolic syndrome (MetS) in
children aged less than 10 years, unless they have a family history of risk factors. The prevalence of overweight
and obesity in the Northwest of Mexico has increased in recent decades, making it possible to consider that MetS is
already present in this group of population.
Objective: The primary objective of this study was to determine the prevalence of metabolic syndrome in
children aged 6 to 9 years living in rural (RA) or urban (UA) areas of Northwest of Mexico. A secondary objective was
to find adequate criteria to diagnose the prevalence of MS in children.
Methods: Participated 268 school-aged children in a random-selected cross sectional study. Anthropometric
and blood pressure measurement were performed, and biochemical indicators were analyzed. MetS was defined
as the presence of three or more risk factors and diagnosed using three different criteria. One of them according to
what was proposed by the International Diabetes Federation (IDF) for children and two additional criteria proposed
by this study considering suitable cutoffs for age for lipids and blood pressure.
Results: The general prevalence of MetS according to the three different criteria used was as follows.1)
IDF criteria, 4.1%; 2) using cutoffs suggested for age for lipids and blood pressure and taking into account waist
circumference as a criterion for MetS, 6.3%; and 3) cutoffs suggested for age, lipids and blood pressure without
considering waist circumference as a criterion for MetS, 10.4%. Children living in the RA with a history of obesity
and cardiovascular disease had higher waist circumference, triglycerides, and very low-density lipoprotein-C, and
children from the UA had higher systolic and diastolic blood pressure, and higher levels of glucose and insulin.
Conclusion: MetS is present in children aged 6 to 9 years in the northwest region of Mexico, with higher
proportions of the syndrome observed in overweight and obese children. The second criteria used in this study could
be the most suitable for diagnosis of MetS, and the third criteria, for children at higher risk for cardiovascular disease
and type 2 diabetes mellitus associated to heredity factors.
Keywords: Metabolic syndrome; Obesity; School-Aged Mexican Currently, research on MetS focuses on identifying its components
children; Cardiovascular disease; Type 2 diabetes mellitus in different populations and at different ages as well as developing a
useful definition for clinical and epidemiological practices. In addition
Introduction to the traditional components of MetS, researchers are considering
Overweight and obesity are highly associated with metabolic other indicators that could be helpful in identifying people at higher
syndrome (MetS). This is defined as a clustering of metabolic risk, such as acanthosis nigricans (AN) and inflammatory markers
abnormalities characterized by risk factors that are associated with [8,9].
cardiovascular disease and type 2 diabetes mellitus (T2DM). These In Mexico, T2DM and cardiovascular diseases are the main causes
factors are abdominal obesity, lipid profile alterations, glucose of mortality in the adult population [10]. Risk factors leading to these
intolerance, and hypertension [1]. The presence of MetS increases pathologies could be present during childhood mainly due to heredity
the risk of developing cardiovascular disease and T2DM [2]. For or life style factors such as inadequate diets higher in carbohydrates or
adolescents, the evaluation criteria are not well defined and there is no
fat, together with low levels of physical activity [11,12].
accepted definition to diagnose MetS [3]. The International Diabetes
Federation (IDF) [4]. does not justify the evaluation of MetS in children In this context and according to data from the National Health and
less than 10 years old, suggesting that the presence of MetS is out that Nutrition Survey in Mexico in 2012, the state of Sonora, located in the
its presence is unlikely in this population. Nevertheless, IDF states that
more studies are needed to corroborate this statement.
*Corresponding author: Martha N. Ballesteros Vásquez, Centro de Investigación
One of the difficulties in evaluating MetS in children is the constant en Alimentación y Desarrollo, A.C. Carretera a la Victoria km 0.6, Hermosillo,
change in the level of insulin during childhood and the presence of Sonora México, Tel: +52 (662) 2892400 (ext. 297); E-mail: nydia@ciad.mx
physiological insulin resistance during puberty [5]. However, evidence Received July 30, 2015; Accepted August 19, 2015; Published August 24, 2015
indicates that people who develop diabetes in adulthood had higher
Citation: Ramírez-Murillo C, Guillot-Sánchez E, Elizabeth Artalejo-Ochoa QB,
body mass index (BMI) and subscapular skin fold as well as higher Robles-Sardin AE, Ponce-Martínez JA, et al. (2015) Prevalence of Metabolic
levels of glucose, triglycerides, and insulin, higher blood pressure, and Syndrome Diagnosed by Three Different Criteria in School-Aged Children
lower levels of HDL-cholesterol (HDL-C) during childhood than those from Rural and Urban Areas of Northwest Mexico. J Metabolic Synd 4: 181.
doi:10.4172/2167-0943.1000181
who do not develop diabetes [6]. Additionally, the American Pediatric
Association suggests that cardiovascular risk factors be evaluated in Copyright: © 2015 Ramírez-Murillo C, et al. This is an open-access article
distributed under the terms of the Creative Commons Attribution License, which
children between 2 and 10 years of age when they have family history permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided
of cardiovascular diseases [7]. the original author and source are credited.
Page 2 of 9
northwest region of Mexico, is one of the states in the country with a standing balanced on both feet. Body composition was measured using
higher prevalence of childhood overweight and obesity (36.9%). Both bioelectrical impedance analysis (Impedimed IMP5TM). Since we could
rural and urban areas are affected, although in different ways; there are not assess a hydration status of the children before measurement, we
more overweight (24.8%) than obese (6.4%) children in rural areas, applied a brief clinical questionnaire to the parents in order to know if
whereas the urban areas have more obese (19.4%) than overweight their children presented illness or diarrhea episodes 5 days before the
(18.3%) children [13]. Among the complications associated with excess evaluation. If the answer was positive, the child was not included in the
body fat are insulin resistance [14], non-alcoholic fatty liver disease, study. Total body fat and lean mass were obtained using the Ramirez-
hypertension, dyslipidemias, sleep disorders, orthopedic problems, López formula developed for the population of school children
and psychological and social issues [15]. living in Sonora [18]. Body fat percentage was classified according to
Freedman´s values for age and gender [19].
The evaluation of MetS in children and adolescents is important
for timely prevention and control of non-communicable disease Blood pressure was measured according to the technique proposed
development such as heart disease and T2DM. Therefore, the primary by the National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP)
objective of this study was to determine the prevalence of metabolic for children and adolescents [20] after 5 minutes of rest in a sitting
syndrome in children aged 6 to 9 years living in rural and urban areas position with the child’s feet on the floor and their arms supported at
of Northwest of Mexico. A secondary objective was to compare MetS heart level. Two measurements were performed at 10-minute intervals
prevalence differences based on three criteria in a sample of children using mercurial sphygmomanometers (Desk Model Mercurial
from Sonora, Mexico and determine the most appropriate criterion to Sphygmomanometer, Model 100, China Meheco Medical instrument,
diagnose it in a pediatric population. RPC) with an appropriate cuff for the arm diameter. Hypertension was
defined as the average systolic (SBP) or diastolic (DBP) blood pressure
Materials and Methods level greater than or equal to the 95th percentile for the child’s sex, age,
Study design and sample selection and height. AN was defined as a skin darkening and thickening at the
neck [21]. The determination of AN child was assessed by a trained
For this study, a cross-sectional sample of school-aged children aged individual.
6 to 9 years was assessed. Eighteen public elementary schools located in
two different areas (rural and urban) in the state of Sonora in northwest Biochemical analyses
Mexico participated in the study. In the rural area, 7 schools from Plasma obtained after overnight fasting was used to determine
different towns were involved. In the urban area, 11 schools located plasma glucose, total cholesterol (TC), HDL-C, triglycerides, and
in the city of Hermosillo (the capital) participated in the study. The insulin. Two fasting (12-h) blood samples were collected from each
rural and urban areas were defined according to the criteria established subject on 2 different days. Blood was collected in tubes containing
by Villalvazo [16], who defined a rural area as having less than 15,000 0.15 g/100 g EDTA to determine plasma lipids. Plasma was separated
inhabitants. A total of 295 children participated in the study. by centrifugation at 1500 g for 20 min at 4°C then placed into vials
Study protocol containing phenyl methyl sulfonyl fluoride (0.015 g/100 g), sodium
azide (0.01 g/100 g), and aprotinin (0.01 g/100 g).
The experimental protocol was approved by the Ethical Review
Board of Centro de Investigación en Alimentación y Desarrollo A.C. TC was determined using an enzymatic method (CHOD-PAO)
We used simple random sampling for the selection of the schools. Forty with Roche-Diagnostic standards and kits [22]. HDL-C was measured
in supernatant after precipitation of apo B-containing lipoproteins
invitations were left in each school, inviting parents who had children
[23], and low density lipoprotein (LDL)-C was determined using
between 6 and 9 years old to participate in the study. Parents and
the Friedwald equation [24]. Triglycerides were measured using an
children who attended the invitation, received a detailed explanation of
enzymatic method (GPO-PAP) with Roche-Diagnostics standards and
the protocol and provided informed consent. The parents answered a
kits [25]. Means of two blood draws were used.
clinical questionnaire about family history of diabetes or cardiovascular
risks, current medical conditions, and medication use. Plasma glucose was determined using an enzymatic method
(GOD-PAO) with Roche Diagnostic kits [26]. Fasting plasma insulin
A standard questionnaire was used to collect information about
concentration was determined by enzyme-linked immunosorbent assay
socio-demographic characteristics, and patient´s medical and family
(ELISA) using a sandwich type immunoassay (ALPCO Diagnostics,
history during face-to-face interviews conducted by trained staff.
NH, USA). The homeostasis model assessment (HOMA) [27] was used
Family history of obesity, diabetes, and cardiovascular disease were
to calculate insulin resistance (IR) according to the following equation:
defined as the existence of these conditions in at least one first-degree
IR (HOMA IR) − fasting insulin (µU/mL) fasting glucose (mmol/L)
relative.
÷22.5. The HOMA model has been shown to be a reliable method for
Anthropometric measurements were performed according to measuring insulin resistance in various populations when other more
standard procedures. Body weight was measured using an electronic invasive methods are not feasible [28]. The HOMA-IR value of 3.4 was
scale with a capacity of 0 to 150 ± 0.05 kg (AND FV-150 KA1; A&D chosen as the reference value to define IR [28] and the insulin blood
Co. Japan), and height was measured using a portable stadiometer concentration was classified as normal, borderline, or high [29].
(Holtain Limited Dyfed, Britain, UK). BMI was calculated using weight
Definition of metabolic syndrome
and height (kg/m2) and BMI for age z score, height for age z score, and
weight for age z score were calculated using the Anthro Plus software Because there is no single accepted criteria for the diagnosis of MetS
[17]. Obesity was defined following World Health Organization in children aged 6 to 9 years, the presence of MetS in this population
(WHO) criteria for children of the same age. Waist circumference was determined using three different criteria as follows: 1) according
(WC), was measured with non-elastic tape (Lafayette Instruments, to the definition proposed by IDF [4] for children aged 10 years,
USA) at the midpoint between the lower rib margin and the iliac considering the presence of central obesity as a mandatory condition
crest, perpendicular to the long axis of the body, with the subject for diagnosis coupled with the presence of two or more additional risk
Page 3 of 9
factors; 2) considering the presence of central obesity according to Total Rural area Urban area
Indicator p1
the provisions of the IDF [4], but using predefined cutoffs for lipids (n=268) (n=119) (n=149)
specific for children [30] and blood pressure [20]; 3) establishing the Age (years)*
7.5 7.6 7.3
0.54
presence of three or more risk factors regardless of central obesity as a (1.4-3.9) (1.3-3.7) (1.45-3.9)
mandatory condition and using predefined cutoffs determined by the 24.59 25.29 24.14
Weight (Kg)* 0.25
(8.86-44.65) (7.8-44.65) (10.17-31.05)
IDF [4] for waist circumference and glucose, the National Cholesterol
124.05 ± 7.30 124.76 ± 7.13 123.48 ± 7.40
Education Program (NCEP) criteria [30] for lipids, and the NHBPEP Height (cm) †
(105.2-144.4) (105.2-144.4) (108.5-140.9)
0.15
criteria [20] for blood pressure (Table 1). 0.015 0.12 -0.06
z-BMI/A* 0.15
(2.07-8.33) (2.02-7.49) (2.27-7.87)
Central obesity was defined as a waist circumference value at
0.006 ± 0.99 0.093 ± 0.99 -0.06 ± 0.99
or above the 90th percentile for sex, age, and ethnicity from the IDF z-H/A†
(-2.54-2.56) (-2.54-2.54) (-2.33-2.56)
0.20
definition [4]. For the lipid profile, we considered the cut off values 0.21 0.28 0.14
z-W/A* 0.38
from the National Cholesterol Education Program [30]. Triglycerides, (2.06-8.11) (1.81-7.72) (2.19-7.04)
LDL-C, and TC were considered elevated when values were at or above 55.4 56.4 55.0
WC (cm) * 0.21
the 95th percentile for age and sex, and HDL-C was considered low (10.57-55.5) (10.1-50.6) (10.5-45.3)
when the values were at or under the 5th percentile [30]. Elevated SBP 28.06 ± 8.93 27.49 ± 8.78 28.52 ± 9.05
% fat mass (BIA) † 0.35
(8.49-50.22) (11.46-49.70) (8.49-50.22)
or DBP were defined as values at or above the 95th percentile for age,
88.29 92.04 84.55
sex, and height [20]. The reference value for impaired fasting glucose Triglycerides (mg/dL) *
(44.38-341.0) (40.75-174.95) (45.67-341.0)
0.01
was taken from the IDF and considered as 100 mg/dL or higher. 170.82 ± 33.40 172.23 ± 33.79 169.69 ± 33.15
TC (mg/dL) † 0.53
(86.07-304.92) (86.78-304.92) (86.07-277.15)
Statistical analysis
48.71 51.27 47.01
HDL-C (mg/dL) * 0.01
Normality of the data was verified and descriptive statistics were (11.89-96.68) (13.07-96.68) (11.59-60.3)
performed to show the study population characteristics by rural/ 101.12 103.06 99.8
LDL-C (mg/dL) * 0.61
(43.54-194.01) (39.32-189.08) (48.40-169.95)
urban area. Data are presented as means ± standard deviations and as
17.66 18.41 16.91
medians and interquartile ranges accordingly. Normality and equality VLDL (mg/dL) *
(8.87-68.2) (8.15-34.99) (9.13-68.2)
0.01
of variances were evaluated and the tests were used accordingly. Two- 90
sample Student´s t-test was used to compare both areas of study. For 90 90
SBP (mmHg) * (20-70) 0.30
(20-70) (15-60)
non-normal variables, we used the Mann Whitney U Test. For non-
equal variances, the Aspin Welch p value was selected. The Chi-squared DBP (mmHg) *
60 60 60
0.60
(17.5-67.5) (17.5-52.5) (18.75-65)
test for Independence was used to compare frequencies. Differences
Fasting glucose (mg/ 93.29 ± 13.99 89.86 ± 14.40 96.04 ± 13.05
with p˂0.05 were considered significant. The kappa coefficient was dL) † (44.82-130.21) (44.82-126.64) (61.65-130.21)
<0.01
used to test the level of agreement for the three definitions. All data 7.27
were analyzed using NCSS 2007 (Number Cruncher Statistical System 6.24 5.32
Insulin (mU/L) * (6.97-62.51) 0.03
(6.21-62.51) (5.41-38.95)
for Windows, Kaysville, Utah, USA) Software.
1.4 1.22 1.70
HOMA* <0.01
Results (1.53-15.02) (1.17-10.21) (1.83-15.02)
AN, n (%)** 15 (5.6) 9 (7.6) 6 (4) 0.21
Children´s anthropometric characteristics by area (rural and urban) †
Mean ± standard deviation (minimum - maximum).
are presented in Table 2. The mean age of the children was 7.4 ± 1.03 *Median (interquartile range [p25-p75]).
1
Difference between groups by two sample Student’s t-test and Mann Whitney U
Three or more Test for non-normal data (p<0.05). **Chi-squared test.
IDF (2007), NCEP risk factors NCEP Abbreviations: z-BMI/A z: score of body mass index for age, z-H/A z: score
(1991), NHBPEP (1991), NHBPEP height for age, z-W/A z: score weight for age, SBP: systolic blood pressure, DBP:
Risk factor IDF, 2007 (2005) (2005) without WC diastolic blood pressure, AN: acanthosis nigricans, WC: waist circumference,
(proposed in this as a condition. HDL-C: high density lipoprotein cholesterol, TC: total cholesterol, LDL-C: low
study) (proposed in this density lipoprotein, VLDL: very low density lipoprotein, HOMA: Homeostasis
study) Model Assessment.
Obligatory Obligatory Table 2: Anthropometric characteristics and metabolic profile of the total population
presence of waist presence of waist and by rural or urban area.
Waist circumference
circumference ≥ 90th circumference
Obesity in ≥90th percentile
percentile for age ≥ 90th percentile for
for age and sex [4] years, ranging from 5 to 10 years. No statistically significant differences
and sex age and sex [4]
were observed between rural and urban areas in the anthropometric
+ 2 risk factors + 2 risk factors
variables, blood pressure and the AN indicator (p˃0.05). According to
Triglycerides ≥ 95th percentile for ≥ 95th percentile for
(mg/dL)
≥150
age and sex [28] age and sex [28] the z BMI/A, the prevalence of overweight and obesity was 31.1% in
Glucose rural areas and 32.9% in urban areas. Waist circumference was at or
≥ 100 ≥ 100 mg/dL [4] ≥ 100 mg/dL [4]
(mg/dL) above the 90th percentile in 10.1% of children in rural areas and 12%
HDL-C
<40
≤ 5 percentile for
th
≤ 5th percentile for in urban areas. Likewise, children with moderate and high body fat
(mg/dL) age and sex [28] age and sex [28] percentage were observed in both study areas: 26% and 33% in rural
SBP and/ ≥ 95th percentile for ≥ 95th percentile for and 27% and 36% in urban areas, respectively.
Systolic ≥130
or DBP (mm age, sex and height age, sex and height
Diastolic ≥ 85
Hg) [18] [18] There were statistically significant differences between the urban
Abbreviations: HDL-C: High Density Lipoprotein Cholesterol, IDF: International and rural areas in some metabolic variables. Fasting blood glucose,
Diabetes Federation, NCEP: National Cholesterol Education Program, NHBPEP:
National High Blood Pressure Education Program, SBP: Systolic Blood Pressure,
insulin, and the HOMA index were higher in the urban area, whereas
DBP: Diastolic Blood Pressure. concentrations of triglycerides, HDL-C, and very low density
Table 1: Criteria used to diagnose metabolic syndrome.
lipoprotein (VLDL)-C were higher in the rural area (Table 2).
Page 4 of 9
According to the American Diabetes Association [31], fasting the population stratified by family history of obesity, diabetes, and
glucose values in children with normal, impaired, and probable cardiovascular disease are shown in Table 3. Children with a history of
diagnosis of diabetes are 86.1 mg/dL, 108.5 mg/dL, and 128.4 mg/dL obesity had a significantly higher weight/age (W/A) and percentage of
(p<0.01), respectively. Figure 1a shows the classification of the study fat mass compared to children with no familiar history of obesity. Those
population according to their blood glucose concentration. with a history of diabetes had higher BMI/A and waist circumference,
and children from families with a history of cardiovascular disease had
Glucose data were divided according to normal, borderline, and
higher systolic blood pressure, DBP, TC, and LDL-C compared with
high insulin blood levels. There were no differences in concentrations
children without a family history of cardiovascular disease. Particularly
of glucose (p=0.99) relative to insulin levels, even when we found
in the rural area, a family history of obesity and cardiovascular diseases
borderline and high values of insulin (Figure 1b).
was present in children with a higher waist circumference (58.5 vs. 53.8
According to the HOMA index, insulin resistance was present in 9 cm, p<0.02; 59 vs. 54.2 cm, p<0.01). In contrast, urban children had
children from the rural area (7.5%) and 22 from the urban area (14.8%). higher SBP (94.46 ± 11.97 vs. 88.17 ± 10.98 mmHg, p<0.001) and DBP
There were no statistically significant differences between study groups (63.36 ± 12.92 vs 57.60 ± 10.08 mmHg; p<0.001) when a family history
(p=0.06). AN, which is associated with high levels of insulin, was found of obesity and cardiovascular diseases was present.
in 15 children including 9 from the rural and 6 from the urban areas
Table 4 shows the proportion of children with MetS according to
(Table 2). This indicator was observed only in children with a high
the different definitions used in the present study. For the first criteria
body fat mass.
suggested by the IDF [4], MetS was present in 11 children (4.1%). In
Results of the anthropometric and metabolic characteristics in the rural and urban areas, 2.5% and 5.4% of the children had MetS,
a)
90
78.2
80
70 61.1
Proportion (%)
60
50
Rural area
38.3
40
Urban area
30
21
20
10
0.8 0.7
0
<100 mg/dL 100-126 mg/dL >126 mg/dL
98
96.4 96.1
95.8
96
92
89.9 89.6
90 Rural area
88.9
Urban area
88
86
84
Normal (<15) Borderline (15-20) High (>20)
Insulin level (mU/L)
Figure 1: a) Classification of the study population according to their blood glucose concentration (p<0.01). b) Relationship between three different levels of insulin and
blood glucose concentration. Abbreviations: PDD Probable diagnosis of diabetes.
Page 5 of 9
and the differences between groups was not significant (p=0.24). The and the same percentage of children with MetS was present in both
second criteria for MetS (Table 5) considered abdominal obesity plus areas of study (rural 10.1% vs. urban 10.7%, p=0.86). The reliability
two other risk factors according to the NCEP [30] and NHBPEP [20] analysis using the kappa coefficient (0.6487, p=0.000) showed that the
percentiles. MetS was found in 17 children (6.3%), 5.0% from the rural agreement was substantial in the total population.
and 7.4% from the urban areas, with no significant differences between
groups. The third criteria for MetS diagnosis considered children with
Discussion
three or more risk factors for MetS and the presence of abdominal This study demonstrates that MetS is present in children aged 6 to 9
obesity was not obligatory. Of the total population, 10.4% had MetS, years living in urban and rural areas of northwest Mexico. In this study
Page 6 of 9
Without MS With MS
explanation is that in the urban areas, there is a greater tendency to
Indicator p1 consume fast foods that typically have a high sodium content, which
(n=251) (n=17)
probably could be affecting the gene expression associated with blood
7.5 7.3
Age (years)* 0.45 pressure. Kuschnir and Mendoça mentioned that the risk of developing
(1.3-3.9) (1.45-2.7)
24.14 42.69 hypertension is higher when both parents have the disease [35].
Weight (Kg)* <0.01
(8.1-31.85) (9.87-28.8)
123.67 ± 7.24 129.58 ± 5.97
Beside heredity, other factors that may contribute to the growing
Height (cm) † <0.01 prevalence of obesity and its complications in this population are low
(123-124.8) (122.7-129.2)
55 78.5 physical activity and an inadequate diet. Although data on dietary habits
WC (cm)* <0.01
(8.8-45.3) (8.15-27.5) and physical activity were not collected. Results from others studies
z-BMI/A*
-0.06 3.37
<0.01 [36-38] in urban locations of the same region showed that children
(1.81-6.52) (1.73-3.52)
consumed a hypercaloric diet, with adequate quantities of protein and
26.37 44.13
Body fat (%)*
(9.92-41.73) (5.12-9.85)
<0.01 fiber but excessive amounts of simple carbohydrates and saturated fat
Triglycerides (mg/ 85.95 138.88
and a low quantity of polyunsaturated fat. Those studies also showed
<0.01 that most of the children were sedentary [36,38]. The development of
dL)* (41.93-225.54) (65.57-301.42)
169.38 178.31 obesity secondary to genetic or excessive consumption of food has been
TC (mg/dL)* 0.05
(46.26-191.08) (43.30-162.1) proposed as a risk factor for developing metabolic alterations including
49.75 42.35 insulin resistance and diabetes mellitus [39]. Transnational food chains
HDL-C (mg/dL)* <0.01
(11.84-96.68) (10.98-35.57)
have made energy-dense, low-cost food available and accessible to
100.76 ± 30.49 117.88 ± 38.30
LDL-C (mg/dL) †
(30.2-200.1) (47.9-224.2)
0.07 Mexican children in a community environment where food regulation
17.19 27.78 is still scarce [40].
VLDL (mg/dL)* <0.01
(8.39-45.11) (13.11-60.28)
The analysis of the metabolic profile showed that children from
90 115
SBP (mmHg)*
(20-70) (20-40)
<0.01 the rural area had more alterations in their lipid profile, with higher
60 80 triglyceride and VLDL-C values than children from the urban area. In
DBP (mmHg)* <0.01
(15-52.5) (11.25-55) contrast, children from the urban area had more alterations in glucose
Glucose (mg/dL)*
92.98 100.78
0.27
metabolism, with higher concentrations of glucose and insulin and
(19.51-85.39) (14.2-55.9) higher HOMA than children from the rural area. These results suggest
5.7 13.74 that children from the urban area at greater risk for developing heart
Insulin (mU/L)* <0.01
(5.72-33.79) (10.89-57.09)
disease or diabetes, possibly due to risk factors related to lifestyle.
1.34 3.21
HOMA* <0.01 Studies on the migration of people from rural to urban areas have
(1.38-7.18) (2.27-14.31)
AN, n (%)** 7(2.8) 8(47.1) <0.01 reported similar changes in body composition and clinical markers
†
Mean ± standard deviation (minimum - maximum). *Median (interquartile range associated with their new lifestyle, which involve higher consumption
[p25-p75]). of energy-dense foods and less physical activity [41,42].
1
Difference between groups by two sample Student’s t-test and Mann Whitney U
Test for non-normal data (p<0.05). **Chi-squared test. A simple analysis of fasting blood glucose does not determine the
Abbreviations: z-BMI/A z: score of body mass index for age, z-H/A z: score height diagnosis of diabetes, but it may be the first step in its detection. In this
for age, z-W/A z: score weight for age, SBP: systolic blood pressure, DBP: diastolic
blood pressure, AN: acanthosis nigricans, WC: waist circumference, HDL-C: high
study, we classified fasting blood glucose concentrations according to
density lipoprotein cholesterol, SBP: systolic blood pressure, DBP: diastolic blood the American Diabetes Association [31]. Of the total population of the
pressure, TC: total cholesterol, LDL-C: low density lipoprotein, VLDL: very low study, 31.3% (21% rural, 38.3% urban) of children had impaired fasting
density lipoprotein, HOMA: Homeostasis Model Assessment.
blood glucose. These children are probably producing more insulin to
Table 5: Anthropometric characteristics and metabolic profile according to the compensate for the elevated glucose, but the two are not balancing each
presences of metabolic syndrome (MS) with abdominal obesity as an obligatory
factor (second criteria used in this study).
other out [43]. We could assume that this situation has progressed for
some time and could turn into T2DM in the future.
population, overweight and obesity represented one of the risk factors
T2DM begins with reduced insulin action due to an impairment in
for MetS. In both the rural and urban areas, the prevalence of obesity
the ability of the target cells to respond to this hormone, which leads
was elevated (31.1% and 37%, respectively). The percentage of urban
children with obesity was higher than that reported by the Nutrition to insulin resistance. During this process, there is a decrease in the
and Health National Survey 2012 [32]. peripheral consumption of glucose and also in hepatic glycogenesis,
and an increase in glyconeogenesis with results in hyperglycemia.
Towards the end of the first year of life, a physiological loss of fat Also, β cells from the pancreatic islet cells hypersecrete insulin to
mass takes place, so that in normal conditions a child between 5 and 6 compensate for the excess glucose, producing hyperinsulinemia
years should be physiologically thinner. When a 6-year old is an obese and normoglycemia. When the cycle is exhausted, it leads to glucose
child, the probability of persistent obesity increases by 50% [33]. Obesity intolerance and, in later stages to T2DM [43,44].
in parents influenced the development of obesity in their children and
this influence seemed higher when the child was aged less than 10 years We found children with insulin resistance in both areas (7.5%
[33,34]. In this study, the results from the family history questionnaire rural, 14.8% urban, p=0.06). Even when we did not detect significant
on chronic diseases showed that children from the rural area with a differences between groups, the proportion of children with insulin
family history of cardiovascular diseases and obesity had higher waist resistance was higher in the urban area. Secondary to obesity,
circumference. In contrast, children from the urban area with the same insulin resistance may be a common etiopathogenic mechanism for
family history had higher systolic and diastolic blood pressure (data hypertension and dyslipidemia. Generally, children with obesity have
not shown). We do not have a clear idea of the differences between a higher prevalence of hypertriglyceridemia and low levels of HDL-C
urban and rural children, as they have similar family history. A possible [45]. In adipose tissue, hyperinsulinemia increases lipolysis, leading to
Page 7 of 9
more availability of free fatty acids, an increase in the hepatic synthesis The third way to diagnose MetS did not take into account the
of VLDL, and a decrease in HDL-C [46]. presence of a waist circumference ≥90th percentile as a condition for
evaluating MetS and used lipid profile metabolic indicator cutoffs for
AN was found only in children with high body fat mass, and this
children aged 6 to 9 years from the NCEP and blood pressure criteria
coincided with insulin resistance being present only in children with
from the NHBPEP. Thus, the prevalence of MetS using these criteria
high fat mass. The prevalence of high SBP and/or DBP was 16% rural
was 10.4% (10.1% rural vs. 10.7% urban), and 32.1% of the children
vs 11.4% urban, the presence of hypertension at an early age is might be
presented with AN. When we diagnosed MetS this way, children with a
an early sign of glucose intolerance [47] and a risk factor for coronary
normal body composition met this criterion because other risk factors
disease [48].
like impaired fasting glucose, hypertension, hypertriglyceridemia,
Another risk factor for coronary disease is dyslipidemia. In this or low HDL-C were present. Even without considering obesity,
study, 32.1% of children had hypertriglyceridemia and 19% had some children may have altered metabolic factors, possibly due to
low HDL-C. Other studies in Sonoran children reported low levels genetic factors that put children at risk. High levels of TC, LDL-C,
of HDL-C and the predominant subfraction was HDL3, which is plasma glucose, and high blood pressure are risk factors that could be
associated with higher cardiovascular risk [38]. Obesity, hypertension, influenced by family history due to shared genetic and environmental
hypertriglyceridemia, low HDL-C, and impaired glucose are factors [5].
components of MetS.
Considering central obesity as the major factor for the diagnosis of
One of the most important goals of this study was to evaluate MetS may underestimate the risk of developing cardiovascular diseases
the prevalence of MetS in children using three different diagnostic and T2DM because it excludes children without obesity who have
criteria and determine which of them might be more appropriate other metabolic alterations.
for the diagnosis of MetS in a pediatric population. The first criteria
used for the diagnosis of MetS in this study were the one according The proportions of MetS identified in this population of children
to the IDF [4] for 10-year-old children. These criteria use cutoffs for varied depending on the criteria used. We hypothesize that the IDF
adults for the biochemical indicators and account for the presence [4] criteria could underestimate the prevalence of MetS in children
of waist circumference ≥ 90th percentile for the diagnosis of MetS. aged less than 10 years because the cutoffs for the lipid profile and
The general prevalence of MetS using these criteria was 4.1% (2.5% blood pressure are not adequate for this age group. Instead, the second
rural; 5.4% urban). The IDF does not consider the presence of MetS criteria included cutoffs suggested for this age from the NCEP [30]
in children aged < 10 years and does not recommend its diagnosis and the NHBPEP [20], which may detect more accurately children
unless the children have a family history of risk factors [4]. This with MetS. The third criteria for evaluation of MetS included children
study demonstrates that even when criteria for adults is used, there with a normal waist circumference but who presented with three
are children with MetS in the region of Sonora. A study by Elizondo- other risk factors. This third way of diagnosing MetS could be useful
Montemayor et al. [49] using the IDF criteria [4] in overweight children for identifying children at risk for cardiovascular and T2DM due to
age 6 to 12 years from Mexico City reported a prevalence of MetS of heredity factors.
6.7%. When they observed age groups of 6-9 years and 10-12 years, the We recognize that one of the limitations of this study was that we
prevalence of MetS was 7.3% and 5.9% (p=0.91), respectively. These did not collect data on dietary habits and physical activity as factors
authors mentioned that there were more children with MetS in the related to obesity; however, data from recent studies were available for
younger age group, and this may be due to the fact that the percentage a proper discussion. The main strength of this study is that we measured
of children with waist circumference above the 90th percentile [4] was MetS in children aged less than 10 years from rural and urban areas.
significantly higher (p<0.001) in the group of children aged 6-9 years We established three different criteria for evaluating MetS in children,
compared with the older age group . and all the techniques used were applied by trained personnel.
Another study done in Campeche, México, used the same IDF
criteria [4] and reported a prevalence of 20% MetS in adolescents
Conclusions
aged 11 to 13 years. Nevertheless, only obese participants (BMI ≥ 95th This study demonstrates that MetS is present in children aged
percentile) were included [3]. 6 to 9 years living in a community with serious problems of obesity
and cardiovascular diseases. We also demonstrate that MetS is more
The second way in which we determined the prevalence of MetS
prevalent in overweight and obese children. The second criteria used
also considered the IDF criteria [4] using a waist circumference ≥ 90th
in this study could be most suitable for diagnosis of MetS in a pediatric
percentile as a condition for the diagnosis, but also employed adequate
population because it takes into account the appropriate cutoffs
cutoffs for metabolic measurements in children aged 6 to 9 years
suggested for this age. Considering abdominal obesity as an obligatory
provided by the NCEP [30] for the lipid profile, and by the NHBPEP
factor for the diagnosis of MetS could underestimate the number of
[20] for blood pressure. Thus, the observed prevalence of MetS in the
children at risk for cardiovascular diseases and T2DM because the
total study population was 6.3% (5.0% rural vs. 7.4% urban, p=0.43).
criteria exclude children without abdominal obesity but who do have
Thus, the ratio obtained was similar to that reported by Elizondo-
metabolic alterations. Therefore, MetS should be diagnosed using an
Montemayor et al. (7.3%) in obese children aged 6-9 years [49].
age-appropriate definition. Our information suggests that metabolic
However, they used the IDF definition [4] without adjusting the cutoffs
problems in children from an urban area are at increased risk for heart
for children. Differences in physical and metabolic characteristics
disease and diabetes compared to the rural area.
between children with and without the presence of MetS were evident
(Table 5). Children with MetS had higher values in all the body Because obesity is associated risk factors for cardiovascular
composition variables and metabolic risk factors, and approximately diseases and T2DM, health promotion programs should consider the
50% of children diagnosed with MetS presented AN. The consideration combination of genetic and environmental factors. If these factors are
of central obesity plus the appropriate clinical cutoffs for children, detected and controlled in time, the development of non-communicable
could be a better criterion for evaluating MetS in a pediatric population diseases related to MetS could be prevented.
Page 8 of 9
Implications for School Health Committee (Council on Nutrition, Physical Activity, and Metabolism). Circulation
107:1448-1453.
The development of metabolic syndrome or related-conditions 15. Barlow SE, Dietz WH (1998) Obesity evaluation and treatment: Expert
including obesity, hypertension, cardiovascular diseases, and type 2 Committee Recommendations. Pediatrics 102: E29.
diabetes mellitus in school-aged children could interfere with their 16. Villalvazo P, Corona JP, García S (2002) Urbano-rural, constante búsqueda
adequate physical and mental development. The diagnostic criteria de fronteras conceptuales. Notas, revista de información y análisis 20: 17-24.
evaluated in this study may be useful to develop a useful definition for
17. WHO (2010) Anthro for personal computers version 3.2.2, 2011: Software
clinical and epidemiological practices of pediatric population in risk of for assessing growth and development of the world’s children Geneva, World
chronic diseases. Health Organization.
Human Subjects Approval Statement 18. Ramírez-Lopez E, Grijalva-Haro MI, Valencia ME, Ponce JA, Artalejo E
(2005) Impacto de un programa de desayunos escolares en la prevalencia
de obesidad y factores de riesgo cardiovascular en niños sonorenses. Salud
This research was approved by the Ethics Committee of the
Publica Mex 47: 126-133.
Food and Development Research Center (CIAD) (Document code
CE/018/2009). 19. Freedman D, Wang J, Thornton J, Mei Z, Sopher A, et al. (2009) Classification
of body fatness by body mass index-for-age categories among children. Arch
Acknowledgments Pediatr Adolesc Med 163: 805-811.
We thank the children and their parents for their participation. We also thank 20. NHBPEP (2005) National High Blood Pressure Education Program Working
the School Breakfast Program of Sonora (DIF, Sonora) for supporting this study. Group on High Blood Pressure in Children and Adolescents. The fourth report
on the diagnosis, evaluation, and treatment of high blood pressure in children
References and adolescents. Bethesda, MD, National Insitutes of Health.
1. Alberti G, Zimmet P, Shaw J (2006) Metabolic syndrome- a new world-wide 21. Higgins SP, Freemark M, Prose NS (2008) Acanthosis nigricans: a practical
definition. A Consensus Statement from the International Diabetes Federation. approach to evaluation and management. Dermatol Online J 14 :2.
Diabet Med 23: 469-480.
22. Allain CC, Poon LS, Chan CSG, Richmond W, Fu PC (1974) Enzymatic
2. Gami A, Witt BJ, Howard D, Erwin P, Gami L, et al. (2007) Metabolic syndrome determination of total serum cholesterol. Clin Chem 20: 470-475.
and risk of incident cardiovascular events and death: a systematic review and
meta-analysis of longitudinal studies. J Am Coll Cardiol 49: 403-414. 23. Warnick GR, Benderson J, Albers JJ (1982) Dextran sulfate-Mg2+ precipitation
procedure for quantitation of high-density-lipoprotein cholesterol. Clin Chem
3. Juárez-López C, Klunder-Klunder M, Medina-Bravo P, Madrigal-Azcarate 28(6): 1379-1388.
A, Mass-Diaz E, et al. (2010) Insulin resistance and its association with the
components of the metabolic syndrome among obese children and adolescents. 24. Friedewald WT, Levy RI, Fredrickson DS (1972) Estimation of the concentration
BMC Public Health 10: 318. of low-density lipoprotein cholesterol in plasma, without use of the preparative
ultracentrifuge. Clin Chem 18: 499-502.
4. Zimmet P, Alberti G, Kaufman F, Tajima N, Silink M, et al. (2007) The metabolic
syndrome in children and adolescents: the IDF consensus. Diabetes Voice 52: 25. Siedel J, Schmuck R, Staepels J (1993) Long-term stable liquid ready-to-use
29-32. monoreagent for the enzimatic assay of serum or plasma triglicerides (GPO
PAP method), AACC Meeting (Abstract 34). Clin Chem 39: 1127.
5. Steinberger J, Daniels SR, Eckel RH, Hayman L, Lustig RH, et al. (2009)
Progress and challenges in metabolic syndrome in children and adolescents: 26. Trinder P (1969) Determination of blood glucose using an oxidase-peroxidase
A scientific statement from the American Heart Association Atherosclerosis, system with a non-carcinogenic chromogen. J Clin Pathol 22 :158-161.
Hypertension, and Obesity in the Young Committee of the Council on 27. Matthews DR, Hosker JP, Rudenski AS, Naylor BA, Treacher DF, et al. (1985)
Cardiovascular Disease in the Young; Council on Cardiovascular Nursing; and Homeostasis model assessment: insulin resistance and beta-cell function from
Council on Nutrition, Physical Activity, and Metabolism Circulation 119: 628- fasting plasma glucose and insulin concentrations in man. Diabetologia 28:
647. 412-419.
6. Nguyen QM, Srinivasan SR, Xu JH, Chen W, Berenson GS (2008) Changes in 28. Garcia-Cuartero B, Garcia-Lacalle C, Jimenez-Lobo C, Gonzalez-Vergaz A,
risk variables of metabolic syndrome since childhood in pre-diabetic and type 2 Calvo-Rey C, et al. (2007) Indice HOMA y QUICKI, insulina y péptido C en
diabetic subjects. Diabetes Care 31: 2044-2049. niños sanos. Puntos de corte de riesgo cardiovascular. An Pediatr (Barc.) 66:
481-490.
7. Daniels SR, Greer F (2008) Committee on Nutrition Lipid screening and
cardiovascular health in childhood. Pediatrics 122: 198-208. 29. Williams CL, Hayman LL, Daniels SR, Robinson TN, Steinberger J, et al. (2002)
Cardiovascular health in childhood: A statement for health professionals from
8. Ayaz T, Baydur Azahin S, Sahin OZ (2014) Relation of acanthosis nigricans
the Committee on Atherosclerosis, Hypertension, and Obesity in the Young
to metabolic syndrome in overweight and obese women. Metab Syndr Relat
(AHOY) of the Council on Cardiovascular Disease in the Young. American
Disord 12: 320-323.
Heart Association. Circulation 106: 143-160.
9. Garg MK, Dutta MK, Brar KS (2012) Inflammatory markers in metabolic
30. NCEP (1991) National Cholesterol Education Panel. The Expert Panel On
syndrome. Int J Diabetes Dev Ctries 32: 131-137.
Blood Cholesterol Levels In Children and Adolescents. Nutrition Today 26: 36-
10. Secretaría de Salud (2007) Programa Nacional de Salud 2007-2012 Por un 41.
México sano: construyendo alianzas para una mejor salud. Pp. 28-29.
31. ADA (2012) American Diabetes Association Standards of medical care in
11. Morrison J, Glueck C, Horn P, Wang P (2010) Childhood predictors of adult diabetes-2012. Diabetes Care 35: S11-S63.
type 2 diabetes at 9- and 26-year follow-ups. Arch Pediatr Adolesc Med 164: 32. INSP (2007) Encuesta Nacional de Salud y Nutrición 2006. Resultados por
53-60. entidad federativa, Sonora. Cuernavaca, México, Instituto Nacional de Salud
12. Morrison JA, Friedman LA, Gray-McGuire C (2007) Metabolic syndrome in Pública-Secretaria de Salud.
childhood predicts adult cardiovascular disease 25 years later: The Princeton 33. Moran R (1999) Evaluation and treatment of childhood obesity. Am Fam
lipid research clinics follow-up study. Pediatrics 120: 340-345. Physician 59(4):861-868.
13. INSP (2013) Encuesta Nacional de Salud y Nutrición 2012. Resultados por 34. Whitaker R, Wright J, Pepe M, Seidel K, Dietz W (1997) Predicting obesity
entidad federativa, Sonora. Cuernavaca, México, Instituto Nacional de Salud in young adulthood from childhood and parental obesity. N Engl J Med 337:
Pública. 869-873.
14. Steinberger J, Daniels SR (2003) Obesity, Insulin Resistance, Diabetes, and 35. Kuschnir MC, Mendoça GA (2007) Risk factors associated with arterial
Cardiovascular Risk in Children: An American Heart Association Scientific hypertension in adolescents. J Pediatr 83: 335-342.
Statement From the Atherosclerosis, Hypertension, and Obesity in the Young
Committee (Council on Cardiovascular Disease in the Young) and the Diabetes 36. Ballesteros MN, Cabrera RM, del Socorro Saucedo M, Fernandez ML (2004)
Page 9 of 9
Dietary cholesterol does not increase biomarkers for chronic disease in a and Mexican immigrant children and adolescents than among peers in Mexico.
pediatric population from northern Mexico. Am J Clin Nutr 80: 855-861. J Immigr Minor Health 14: 517-522.
37. Enríquez-Leal MC, Montano-Figueroa CA, Saucedo-Tamayo MS, Vidal Ochoa 43. Wilcox G (2005) Insulin and Insulin Resistance. Clinical Biochemist Reviews
M, Rivera-Icedo BM, et al. (2010) Incidencia, características clínicas y estado 26: 19-39.
nutricional en niños y adolescentes mexicanos con diabetes. Interciencia 35:
455-460. 44. Barja S, Arteaga A, Acosta A (2003) Resistencia insulínica y otras expresiones
del síndrome metabólico en niños obesos chilenos. Rev Med Chil 131: 259-
38. Ballesteros-Vásquez MN, Amaya M, Guerrero EV, García Vedugo K, Grijalva- 268.
Haro MI, et al. (2012) Patrón de predominancia de las subfracciones de la
lipoproteína HDL y su asociación con riesgo cardiovascular en niños escolares. 45. Chiarelli F, Marcovecchio ML (2008) Insulin resistance and obesity in childhood.
In Congreso de la Sociedad Latinoamericana de Nutrición SLAN, Ed. Habana, Eur J Endocrinol 159: S67-S74.
Cuba, Sociedad Latinoamericana de Nutrición, pp. 251. 46. Cruz ML, Weigensberg MJ, Huang TTK, Ball G, Shaibi GQ, et al. (2004)
39. van Vliet M, Heymans M, von Rosenstiel I, Brandjes D, Beijnen J, et al. (2011) The metabolic syndrome in overweight hispanic youth and the role of insulin
Cardiometabolic risk variables in overweight and obese children: a worldwide sensitivity J Clin Endocrinol Metab 89: 108-113.
comparison. Cardiovasc Diabetol 10: 106. 47. Yanes-Quesada M, Perich-Amador P, González-Suárez R, Yanes-Quesada
40. Hawkes C (2006) Uneven dietary development: linking the policies and M, Cruz-Hernández J, et al. (2007) Factores clínicos relacionados con
processes of globalization with the nutrition transition, obesity and diet-related la hipertensión arterial en pacientes con trastornos de tolerancia a los
chronic diseases. Global Health 2: 4. carbohidratos. Rev Cubana Med Gen Integ 23.
41. Hujava Z, Lesniakova M (2011) Anthropometric risk factors of aterosclerosis: 48. Luma GB, Spiotta RT (2006) Hypertension in children and adolescents. Am
Differences between urban and rural East-Slovakian children and adolescents. Fam Physician 73: 1558-1568.
Bratisl Lek Listy 112: 491-496. 49. Elizondo-Montemayor L, Serrano-Gonzalez M, Ugalde-Casas PA, Cuello-
42. Hernandez-Valero MA, Bustamante-Montes LP, Hernández M, Halley-Castillo Garcia C, Borbolla-Escoboza JR (2010) Metabolic syndrome risk factors
E, Wilkinson AV, et al. (2012) Higher risk for obesity among Mexican-American among a sample of overweight and obese Mexican children. J Clin Hypertens
12: 380-387.
PROMOTOR
NI KADEK DWI CAHYANI OKTARINA 1802561002
karakteristik balita dan sosial ekonomi (Ni’mah, K. and Nadhiroh, S.R., 2016).
Faktor-faktor tersebut terdiri dari:
1. Rendahnya asupan nutrisi
Asupan nutrisi yang tidak memenuhi kecukupan dapat
menyebabkan terjadinya kekurangan gizi dan mengganggu pertumbuhan
anak (Sulastri, D., 2012). Pada 500 hari pertama, kebutuhan gizi seorang
anak bergantung pada asupan nutrisi yang berasal dari sang ibu, baik
melalui plasenta maupun ASI (Aguayo dan Menon, 2016). Apabila pola
pemberian makanan pada bayi dan balita dilakukan dengan kurang baik,
maka dapat menyebabkan terjadinya stunting. Pola pemberian ini meliputi
pemberian Air Susu Ibu (ASI) non eksklusif serta pemberian Makanan
Pendamping ASI (MPASI) yang kurang baik dari segi kualitas, kuantitas,
dan variasinya (WHO, 2014). MPASI berperan dalam membantu
pertumbuhan fisik serta otak pada anak (Aguayo dan Menon, 2016).
2. Penyakit infeksi yang terjadi secara berulang
Terjadinya penyakit infeksi juga dapat menjadi penyebab stunting.
Penyakit infeksi merupakan hal yang terjadi akibat paparan dari
lingkungan yang tercemar dan rendahnya higiene (WHO, 2014). Jenis
penyakit infeksi yang dapat menyebabkan terjadinya stunting yaitu infeksi
yang disebabkan oleh parasit, contohnya malaria dan diare (Millward,
2017). Anak yang mengalami stunting memiliki kemungkinan untuk
mengalami penyakit infeksi dengan durasi waktu yang lebih lama
dibandingkan anak tidak stunting (Kusumawati, E., et al., 2016).
3. Rendahnya kesehatan ibu hamil
Kesehatan ibu pada sebelum, saat, dan setelah kehamilan
berpengaruh pada kesehatan anak (WHO, 2014). Stunting dapat bermula
dari masa konsepsi. Hal yang dapat memengaruhi terjadinya stunting pada
masa kehamilan yaitu malnutrisi yang terjadi pada ibu hamil, polusi udara
indoor maupun akibat paparan asap rokok, dan anemia (Dewey, 2011).
4. Status sosial ekonomi keluarga
Status sosial ekonomi berupa pendapatan, pendidikan orang tua,
dan jumlah anggota keluarga dapat memengaruhi kejadian stunting pada
3
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, R. et al. 2018. ‘Development of Innovative Picture Storybooks to
Empower Parents and Teachers for Early Childhood Education in
Nutrition and Social-Behavior in Jakarta’, ASEAN Journal of Community
Engagement, 2(2), p. 298. doi: 10.7454/ajce.v2i2.128.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2018. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Choliq, I., D. Nasrullah, dan Mundakir. 2020. Pencegahan Stunting di Medokan
Semampir Surabaya Melalui Modifikasi Makanan Pada Anak. Jurnal
Pengabdian Masyarakat Humanism 1(1): 31–40.
De Onis, M., Blössner, M. and Borghi, E. (2012) ‘Prevalence and trends of
stunting among pre-school children, 1990-2020’, Public Health Nutrition,
15(1), pp. 142–148. doi: 10.1017/S1368980011001315.
Dewey, K.G. and Begum, K., 2011. Long‐term consequences of stunting in early
life. Maternal & child nutrition, 7, pp.5-18.
Kementerian Kesehatan RI Badan Penelitian dan Pengembangan (2018) ‘Hasil
Utama Riset Kesehatan Dasar’, Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, pp. 1–100. doi: 1 Desember 2013.
Kusumawati, E., Rahardjo, S. and Sari, H.P., 2015. Model pengendalian faktor
risiko stunting pada anak bawah tiga tahun. Kesmas: National Public
Health Journal, 9(3), pp.249-256.
Ni’mah, K. and Nadhiroh, S.R., 2016. Faktor yang berhubungan dengan kejadian
stunting pada balita. Media Gizi Indonesia, 10(1), pp.13-19.
P2PTM Kemkes (2018a) 1 dari 3 Balita Indonesia Derita Stunting. Available at:
http://www.p2ptm.kemkes.go.id/artikel-sehat/1-dari-3-balita-indonesia-
derita-stunting (Accessed: 30 May 2020).
Prendergast, A. J. and Humphrey, J. H. (2014) ‘The stunting syndrome in
developing countries’, Paediatrics and International Child Health, 34(4),
pp. 250–265. doi: 10.1179/2046905514Y.0000000158.
Satriawan, E. 2018 ‘Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting 2018-2024
(National Strategy for Accelerating Stunting Prevention 2018-2024)’, Tim
Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Sekretariat
6
PROMOTOR
NI KADEK DWI CAHYANI OKTARINA 1802561002
2
Penulis Pande Wayan Mustika dan I Made Sutajaya
Tahun 2016
Judul Ergonomi dalam Pembelajaran Menunjang Profesionalisme
Guru di Era Global
Nama Jurnal Jurnal Pendidikan Indonesia
Volume & Vol 5 - No. 1
Nomor
Halaman 82-96
DOI http://dx.doi.org/10.23887/jpi-undiksha.v5i1.8933
Diakses tgl 19 Maret 2020
Sitasi Mustika, P. W., & Sutajaya, I. M. (2016). Ergonomi dalam
pembelajaran menunjang profesionalisme guru di era
global. JPI (Jurnal Pendidikan Indonesia), 5(1), 82-96. DOI:
http://dx.doi.org/10.23887/jpi-undiksha.v5i1.8933
Latar Belakang Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat dan
kompleksnya permasalahan di era global, seorang guru harus
berupaya dalam meningkatkan profesionalisme khususnya
yang berkaitan dengan pemahaman terhadap prinsip-prinsip
ergonomi yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran.
Manuaba (2004) mendeskripsikan ergonomi sebagai ilmu,
teknologi, dan seni untuk menserasikan alat, cara kerja dan
lingkungan pada kemampuan, kebolehan dan batasan manusia,
sehingga diperoleh kondisi kerja dan lingkungan yang sehat,
aman, nyaman, efektif, dan efisien demi tercapainya
produktivitas yang setinggi-tingginya. Akan tetapi, saat ini
tampaknya kaidah-kaidah ergonomi belum diterapkan dalam
mendesain ruang belajar dengan perangkat pendukungnya, baik
di sekolah-sekolah maupun di tempat-tempat pendidikan
lainnya yang diduga diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan
guru terhadap prinsip-prinsip ergonomi yang dapat diterapkan
dalam proses pembelajaran. Padahal, menurut beberapa laporan
penelitian, salah satunya adalah penelitian oleh Sutajaya (2001)
yang melaporkan bahwa penerapan ergonomi di ruang belajar
dapat meningkatkan hasil belajar. Untuk mengatasi hal
tersebut, maka perlu dikaji terkait prinsip-prinsip ergonomi
dalam mendesain ruang belajar sebagai upaya untuk
meningkatkan profesionalisme guru dalam proses pengelolaan
kelas.
Metode Penelitian deskriptif ini menggunakan metode kajian pustaka
yang diperoleh melalui berbagai sumber. Argumentasi penulis
mengarah dalam upaya memadukan pengalaman pembelajaran
3
yang ditekuni penulis selama ini dengan menyinkronkannya
pada teori yang ada.
Hasil Gamez & Cybis (1998) menyatakan bahwa sarana
pembelajaran yang tidak memenuhi syarat ergonomi
mengakibatkan atau merusak kualitas pembelajaran yang
berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai. Berdasarkan hasil
kajian peneliti, ditemukan bahwa pengetahuan mengenai
tempat duduk yang nyaman digunakan pada saat belajar
memegang peranan penting di dalam meningkatkan
pemahaman guru tentang kaidah yang harus diikuti terkait
dengan tempat duduk siswa. Kemudian, pengetahuan tentang
ukuran meja belajar yang sesuai untuk dipakai memegang
peranan penting di dalam upaya peningkatakan pemahaman
guru tentang manfaat meja belajar yang ergonomis bagi
kesehatan dan kenyamanan siswa dalam proses pembelajaran.
Selanjutnya, pemahaman guru terhadap kajian ergonomi dalam
penempatan papan tulis dan faktor silau yang dapat
mengganggu proses pembelajaran dapat dimanfaatkan sebagai
upaya peningkatan profesionalisme guru dalam mengelola
sarana pembelajaran. Lalu, pengetahuan mengenai penerangan
yang baik digunakan saat kegiatan belajar dapat diaplikasikan
oleh seorang guru ketika ingin mendapatkan penerangan yang
memadai dalam proses pembelajaran dan ketika mereka
menentukan pilihan terhadap jenis sumber penerangan yang
cocok untuk proses pembelajaran. Kemudian, pengetahuan
guru tentang mikroklimat di ruang belajar dapat dimanfaatkan
sebagai acuan di dalam mendesain ruang belajar yang nyaman
dan tidak menimbulkan respon fisiologis yang tidak diinginkan.
Terakhir, pengetahuan guru mengenai pendekatan SHIP dapat
digunakan sebagai penambah wawasan dalam penerapan
pembelajaran inovatif. Adapun enam kendala yang dihadapi
dalam mensosialisasikan prinsip-prinsip ergonomi dalam
pembelajaran.
Pembahasan Prinsip-prinsip ergonomi yang digunakan dalam mendesain
sebuah produk akan dapat menghasilkan produk yang lebih
sesuai terhadap pemakai, memuaskan, nyaman, dan aman.
Akan tetapi, hal ini terkadang diabaikan, misalnya guru dan
siswa kurang memperhatikan tempat duduk yang mereka pakai
padahal tempat duduk memiliki peranan penting ketika mereka
melakukan aktivitas. Agar tempat duduk nyaman digunakan
dalam belajar, maka perlu diperhatikan ukurannya mulai dari
tinggi, alas duduk, ujung tepi depan, luas alas duduk, hingga
4
sandaran yang digunakan. Oleh karena itu, ergonomi memiliki
peranan penting dalam meningkatkan pemahaman guru tentang
prinsip yang harus diikuti terkait dengan tempat duduk siswa.
Hal lain pun seperti meja belajar, papan tulis, penerangan,
hingga power point maupun suhu ruangan yang digunakan
perlu diperhatikan.
Adapun yang perlu dihindari dalam penggunaan hal yang tidak
ergonomi dan juga dampak yang ditimbukan, antara lain, meja
belajar yang terlalu tinggi maupun rendah, penempatan papan
tulis yang tidak tepat sehingga menyebabkan gangguan
fisiologis ketika tulisan ingin dibaca, penerangan yang terlalu
silau menyebabkan rasa tidak nyaman bahkan dapat
mengurangi kemampuan mata, dan penggunaan ukuran tulisan
maupun warna pada power point misalnya penggunaan warna
merah atau ungu untuk latar belakang atau tulisan yang ingin
ditampilan yang mana warna merah memiliki efek
psikofisiologis yang sifatnya mengganggu dan warna ungu
bersifat agresif. Selain itu, suhu juga perlu diperhatikan, yaitu
suhu yang nyaman untuk daerah tropis adalah 22 s.d. 28o.
Upaya sosialisasi prinsip ergonomi dalam pembelajaran yang
bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme guru sering
menemui kendala diantaranya, prinsip ergonomi yang belum
diketahui, belum dipahami maupun belum dimengerti terkait
prinsip ergonomi yang dapat dimanfaatkan dalam standar
mendesain sarana prasarana maupun proses pembelajaran,
kalaupun prinsip telah diketahui namun lebih mementingkan
metode yang digunakan dan mengabaikan standar ergonomi,
belum diketahui dampak yang terjadi apabila sarana prasarana
maupun metode pembelajaran tidak sesuai standar ergonomi,
terdapat pengajar yang menganggap apa yang diterapkan sudah
yang baik dan benar, standar ergonomis juga sering diabaikan
dikarenakan alokasi waktu, pertimbangan ekonomi, serta biaya
yang diperlukan dalam menerapkan prinsip ergonomi, dan
terbatasnya guru yang inovatif, proaktif, dan produktif
sehingga prinsip ergonomi yang sangat aplikatif tidak dapat
diterapkan.
Simpulan Berdasarkan kajian pustaka yang telah peneliti lakukan, dapat
disimpulkan bahwa prinsip-prinsip ergonomi pada
pembelajaran yang diketahui guru sangat relevan pada upaya
meningkatkan profesionalisme guru, peran prinsip-prinsip
ergonomi dalam pembelajaran dan dampak yang ditimbulkan
oleh sarana prasarana yang tidak ergonomi yang dipahami guru
5
dapat berguna dalam menambah pengetahuan sebagai upaya
pengelolaan kelas, serta rintangan yang dihadapi ketika
mensosialisasikan prinsip-prinsip ergonomi bisa digunakan
sebagai tantangan dan peluang dalam menerapkan prinsip
ergonomi di sekolah.
Komentar Jurnal telah lengkap menggambarkan latar belakang, metode,
hasil, pembahasan, dan kesimpulan secara runut dan jelas
namun penulis membuat beberapa kekeliruan dalam penulisan
seperti kesalahan pengetikan dan juga kesalahan dalam tanda
baca yang cukup mengganggu dalam proses memahami jurnal
ini. Kelebihan yang dimiliki oleh jurnal ini yaitu mampu
menjelaskan secara jelas dan rinci terkait permasalahan melalui
hasil dari kajian pustaka yang peneliti peroleh melalui berbagai
sumber.
6
CONTOH CAPTION MEDIA SOSIAL :
IVAN PAVLOV
Ivan Petrovich Pavlov adalah seorang fisiolog dan dokter yang
berkebangsaan Rusia. Ivan Pavlov sendiri merupakan pengembang teori
Behaviorisme, yang dilakukan dengan objek seekor anjing. Percobaan tersebut
dapat membuktikan adanya intervensi manipulasi lingkungan dapat menghasilkan
suatu perilaku tertentu. Proses pembentukan perilaku semacam itu disebut proses
pensyaratan (Conditioning proses).
Pavlov mendalami fisiologi hewan sebagai kuliah mayor dan kimia
sebagai mata kuliah minor ketika ia berkuliah di Universitas St. Petersburg.
Setelah lulus, ia memasuki Akademi Militer Medis pada tahun 1881 dan bekerja
sebagai asisten laboratorium disana selama dua tahun disana.
Pavlov adalah seseorang yang gemar membuat karya ilmiah. Terhitung
sudah 3 tahap karya ilmiah yang Pavlov lakoni. Tidak hanya dalam karya ilmiah,
Pavlov juga aktif di bidang politik yaitu dengan menentang politik esktrim apapun
itu.
Meskipun kesehatannya menurun pada tahun 1935, tetapi Pavlov tetap ikut
berpartisipasi dalam Kongres Internasional Fisiologis ke lima belas dan Kongres
Neurological di London. Ivan Pavlov meninggal pada 27 Februari 1936 dan tetap
diingat dengan teori Behaviorisme nya serta kontribusinya dalam menemukan
teori Behaviorisme yang bermanfaat bagi dunia Psikologi hingga saat ini.
Nb :Caption Media Sosial ditulis tidak lebih dari 200 kata (caption diatas
adalah 175 kata), isi caption menyesuaikan dengan tokoh yang dibahas
dalam mind map
7
CONTOH NARASI MIND MAP :
IVAN PAVLOV
Ivan Petrovich Pavlov atau yang lebih dikenal dengan Ivan Pavlov merupakan
salah satu tokoh psikologi yang teorinya banyak digunakan dalam penerapan ilmu
psikologi di kehidupan nyata. Ivan Pavlov lahir pada tanggal 14 September 1849
di Rusia. Ia berasal dari keluarga yang taat akan agama dan mengharapkannya
menjadi seorang pendeta. Namun setelah membaca buku dari Charles Darwin,
Pavlov menyadari bahwa keinginannya bukanlah pada bidang Teologi, melainkan
bergerak pada kegiatan pencarian ilmiah. Pada akhirnya ia memutuskan untuk
pindah dari sekolah lamanya di Seminari Teologi menuju Universitas St.
Petersburg dan mempelajari ilmu kimia dan fisiologi. Ia memulai riset ilmiahnya
dengan mencipatkan riset tentang sistem pencernaan dan peredaran darah. Inilah
yang menjadikannya sangat disegani oleh Kekaisaran Rusia dan diangkat sebagai
professor fisiologi di Akademi Kedokteran Kekaisaran Rusia.
Teori Pavlov yang paling terkenal hingga sekarang adalah Teori Behaviorisme
yang melibatkan objek anjing dalam penelitiannya. Percobaan tersebut dapat
membuktikan adanya intervensi manipulasi lingkungan dapat menghasilkan suatu
perilaku tertentu. Pada tahun 1903, Pavlov memutuskan untuk menerbitkan hasil
eksperimenya ini dengan menyebut proses pembelajaran dan pembentukan
perilaku sebagai “pengkondisian” atau proses pensyaratan (Conditioning proses).
Satu tahun kemudian, yaitu di tahun 1904 Pavlov menerima penghargaan Nobel
dalam bidang Fisiologi atau Kedokteran karena riset yang ia lakukan.
Meskipun Pavlov tidak menggeluti bidang ilmu Psikologi, namun temuannya ini
memiliki kontrobusi besar bagi perkembangan ilmi Psikologi. Pengkondisian
yang ia sebut sebagai “Conditional Clasical” ini ia temukan ketika melakukan
risetnya terkait sistem pencernaan dan peredaran darah. Ivan Pavlov
menggunakan anjing sebagai objek penelitiannya dan meneliti hubungan air liur
serta sistem kerja perut anjing ketika diberi makan. Ia menyelipkan tabung reaksi
kecil di masing- masing pipi anjing dan mengukur air liur anjing saat diberi
makan. Pavlov awalnya menduga jika reaksi pengeluaran air liur oleh anjing
terjadi ketika anjing dihadapkan dengan stimulus berupa makanan. Namun
semakin diperhatikan, anjing ternyata mengeluarkan air liur ketika ia mendengar
langkah asistennya membawa makanan. Pavlov mulai berpikir jika ia menemukan
suatu penemuan baru dan memutuskan untuk mempelajari dan mengembangkan
apa yang ia temui lebih lanjut.
Pavlov kemudian mengembangkan beberapa istilah teknis untuk menggambakan
proses yang terjadi. Unconditional Stimulus atau Stimulus tanpa syarat adalah
objek yang dapat menhasilkan respon atau reflek secara alami (dalam hal ini
adalah makanan). Kemudian reflex yang dihasilkan oleh Unconditional Stimulus
disebut sebagai Unconditional Respon (dalam hal ini adalah produksi air liur
secara otomatis ketika makanan dihidangkan). Pavlov kemudian menyebut
stimulus baru yang tidak menghasilkan respon sebagai Netral Stimulus (dalam
8
penelitian Palov, lonceng sebelum pengkondisian adalah stimulus netral). Pavlov
kemudian mulai mengkaitkan stimulus netral dengan Unconditional Stimulus ,
yaitu menghadirkan lonceng dan makanan secara bersama- sama kepada anjing.
Ini dilakukan secara terus menerus hingga pada akhirnya reaksi anjing terhadap
makanan saja bisa sama saat anjing dihadapkan dengan bunyi lonceng saja.
Lonceng tersebut setelah pengkondisian berubah menjadi Conditional Stimulus
dan respon terkait disebut oleh Pavlov sebagai Conditional Respon
Selain aktif dalam kegiatan riset didalam laboratorium, Pavlov juga gemar
menulis dan membuat karya ilmiah. Ia juga seseorang yang aktif dalam kegiatan
politik dan berpartisipasi dalam beberapa Kongres. Bahkan saat kondisi kesehatan
Pavlov meulai menurun, Pavlov tetap memutuskan untuk hadir pada Kongres
Internasional Fisiologis ke lima belas dan Kongres Neurological di London pada
tahun 1935. Satu tahun tepatnya pada tahun 1936, Ivan Pavlov wafat dan tetap
dikenang sebagai seorang yang aktif, gigih dan gemar melakukan penelitian
bahkan menghasilkan banyak teori yang bermanfaat baik dibidang Kedokteran
maupun Psikologi hingga kini.
Salah satu contoh penggunaan Teori Behaviorisme Pavlov atau yang dikenal
sebagai “Clasical Conditioning” pada penelitian terkini adalah tentang penerapan
teori Behaviorisme, termasuk teori pengkondisian Pavlov kedalam teknik
konseling agar konseling yang diterapkan dapat menciptakan tingkah laku yang
terbentuk melalui proses conditioning, menghilangkan gejala- gejala yang dialami
oleh konseli, serta meningkatkan kemampuan konseli dalam menghadapi berbagai
stimulus tanpa menghasilkan masalah baru (Jurnal : Sanyata, S. 2012. Teori dan
Aplikasi Pendekatan Behavioristik Dalam Konseling. Jurnal Paradigma. Vol 7
(14): 1- 11. ISSN: 1907- 297x)
NB :Narasi ditulis dengan minimal kata adalah 500 kata (narasi diatas
terdiri dari 609 kata) dan berisi tentang biografi singkat tokoh, teori,
penemuan, kontribusi dari tokoh dan penelitian terbaru terkait dengan
tokoh dengan jurnal minimal 10 tahun terakhir)
9
“KAJIAN ISU PSIKOLOGI”
DELIRIUM (1802531033)
WILHELM WUNDT
2020
10
Ketahuan Merokok, Siswa Aniaya Gurunya : Apa Yang Salah?
Demikianlah sepenggal judul berita yang belum lama ini dilansir oleh Tribun
Timur. Generasi muda yang kini aktif di media sosial pasti tahu bahwa belakangan ini ada
sebuah video viral yang dilansir oleh media pemberitaan pada Februari 2019 tentang
seorang siswa SMP yang memukul dan menendang gurunya lantaran dipergoki tengah
merokok di dalam kelas. Sayangnya, siswa-siswi lain yang melihat kejadian tersebut
hanya terdiam dan tertawa. Tidak hanya kasus tersebut, tahun-tahun sebelumnya juga
terjadi kasus serupa dilansir dari CNN Indonesia Maret 2018 yang disebabkan oleh siswa
yang tidak terima ketika HPnya disita, sehingga adu mulut sampai memukul guru
menggunakan kursi plastik tidak dapat dihindari. Kasus tersebut berujung pada rumah
sakit.
11
terhadap anak. Orang tua yang otoritatif menunjukkan kesenangan dan dukungan
sebagai respon terhadap perilaku konstruktif anak. Mereka mengharapkan perilaku
anak yang dewasa, mandiri dan berorientasi pada prestasi, mereka cenderung untuk
mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerja sama dengan
orang dewasa, dan bisa mengatasi stress dengan baik.
3. Pengasuhan yang mengabaikan Pengasuhan gaya ini dimana orang tua sangat tidak
terlibat dalam kehidupan anak. Anak yang memiliki orang tua mengabaikan merasa
bahwa aspek lain kehidupan orang tua lebih penting daripada diri mereka. Anak-anak
ini cenderung tidak memiliki kemampuan sosial. Banyak diantaranya memiliki
pengendalian diri yang buruk dan tidak mandiri. Mereka sering kali memiliki harga
diri yang rendah, tidak dewasa dan mungkin menunjukkan sikap suka membolos dan
nakal.
4. Pengasuhan yang menuruti Pengasuhan dengan gaya ini dimana orang tua sangat
terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka. Orang
tua membiarkan anak melakukan apa yang ia ingin lakukan. Hasilnya, anak tidak
pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap mendapat
keinginanya. Beberapa orang tua sengaja membesarkan anak mereka dengan cara ini
karena mereka percaya bahwa kombinasi anatara keterlibatan yang hangat dan sedikit
batasan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri. Namun, anak yang
memiliki orang tua yang selalu menurutinya jarang belajar menghormati orang lain
dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya. Gaya pengasuhan ini
biasanya mengakibatkan inkompetensi sosial anak, terutama kurangya pengendalian
diri. Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan dan kesulitan
dalam hubungan dengan teman sebaya (peer).
Faktor eksternal lainnya yang memengaruhi hal tersebut ialah lingkungan
pergaulan remaja dan perkembangan teknologi. Faktor pergaulan yang memengaruhi
adalah peer group(grup sebaya). Sebaya adalah orang dengan tingkat umur dan
kedewasaan yang sama. Salah satu fungsi terpenting sebaya adalah memberikan sumber
informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga. Anak-anak menerima umpan
balik tentang kemampuan mereka dari grup sebaya mereka. Melampaui informasi yang
diberikannya, interaksi sebaya memebuhi kebutuhan sosioemosional. Sebaya dan grup
sebaya adalah konsep global. Sebuah grup sebaya remaja acap kali merujuk kepada
orang-orang lingkungan tetangga, orang-orang rujukan, tim olahraga, kelompok sahabat
dan teman (Brown, 1999). Remaja cenderung mengikuti atau melakukan perilaku sesuai
12
dengan anggota grup sebaya mereka agar mendapat pengakuan dari teman-teman
sebayanya yang dinamakan konformitas.
Konformitas terhadap tekanan sebaya pada masa remaja bisa bersifat positif atau
negatif. Remaja yang terlibat dalam segala jenis perilaku konformitas negatif, sebagai
contoh, mereka dapat mencuri,merusak, dan mempermainkan orang tua serta guru.
Namun, sejumlah besar konformitas sebaya antara lain berpakaian seperti teman dan
ingin menghabiskan waktu bersama anggota grup sebaya, tidak negative dan
mencerminkan keinginan untuk terlibat dalam dunia sebaya.
Selain itu remaja masih berada pada tahap observational learning, yaitu
mempelajari sikap dan perilaku sosial dengan mengamati orang lain yang mereka jadikan
model. Bukan hanya mengamati, namun dapat meniru perilaku dan tindakan dari model
tersebut yang kemudian disebut sebagai modeling. Idola dari remaja juga berbeda-beda,
demi memikat minat para remaja sekarang banyak tontonan televisi yang tidak sesuai
seperti sinetron yang berisi adegan percintaan, bullying, dan kekerasan. Tokoh-tokoh
dalam film atau drama televisi bisa saja memengaruhi perilaku mereka baik perilaku
pergaulan maupun kesehariannya karena mereka mengidolakannya, mereka cenderung
menganggap apa yang dilakukan idolanya baik dalam hal peran di sebuah sinetron adalah
hal yang keren dan patut ditiru. Bukan hanya artis, orang sekitar dan orang terdekat bisa
menjadi model bagi remaja.
Selain faktor eksternal juga terdapat faktor internal yang memengaruhi remaja
yaitu kecerdasan emosional. Masa remaja adalah dimana dianggap sebagai masa yang
sulit secara emosional. Dalam beberapa kejadian, intensitas dari emosi yang mereka alami
memiliki proporsi yang terlalu berlebihan dibandingkan kejadian yang menyebabkannya
(Roseblum&Lewis, 2003). Kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan dan
mengekspresikan emosi dengan tepat, sesuai situasi seperti menerima perspektif orang
lain, kemampuan memahami emosi dan pengetahuan emosional seperti memahami peran
emosi dalam hubungan pertemanan, kemampuan menggunakan perasaan guna
melancarkan pemikiran serta kemampuan mengatur emosi diri sendiri dan orang lain
seperti kemampuan mengendalikan amarah ( Mayer, Salovey, dan Caruso, 2004 ).
Maka dari itu remaja sangat perlu dapat mengendalikan emosi mereka sendiri.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku remaja sangat dipengaruhi oleh pola asuh
dari orang tuanya, lingkungan tempat tinggal dan kecerdasan emosi danak. Faktor
eksternal dan internal harus berperan secara seimbang . Orang tua harus selalu
memberikan pengawasan terhadap setiap hal yang dilakukan anak-anak mereka, namun
13
bukan berarti orang tua tidak memberikan kebebasan bagi sang anak untuk berpendapat.
Orang tua selain memberi kasih sayang kepada anak mereka juga memberikan sikap
disiplin kepada anak jangan sungkan untuk menegur mereka bila mereka berbuat salah
agar mereka mengetahui atau memiliki pondasi untuk mengetahui baik dan buruk. Selain
itu, orang tua juga harus peduli dan tahu seperti apa lingkungan tempat anak-anak mereka
tumbuh serta bagaimana grup peer dari sang anak. Selain faktor eksternal, faktor internal
pun berperan yaitu adalah kecerdasan emosi sang anak, bagaimana mereka dapat
mengatur emosi mereka dalam situasi tertentu.
14
Daftar Pustaka
Ainun Ningrun, Nila. 2012. Hubungan antara coping strategy dengan kenakalan pada
remaja awal [The relationship between coping strategy with delinquency in early
teens]. Jurnal Psikologi Volume 7, NO.1, April 2012: 481 – 489.
http://jurnal.unmer.ac.id/index.php/jpt/article/view/201/72.
Faisal, Nasrun. 2016. Pola asuh orang tua dalam mendidik anak di era digital [Parenting
parents in educating children in the digital age] . IX (2.).
http://repository.stkipsantupaulus.ac.id/122/1/Artikel_Jurnal_Missio_Pola_Asuh_y
ang_Efektif.pdf
Santoso, Teguh. 2017. Pengaruh intensitas menontontayangan sinetron anak jalanan pada
perilakuimitasi siswa SMP [Effect of intensity watching street children soap operas
on the behavior of junior high school students] . Vol 1, No 2 (2017). DOI :
http://dx.doi.org/10.25139/jkm.v1i2.460
Sonita, Sera. 2013. Hubungan antara pola asuh orangtua dengan disiplin siswa di sekolah
[The relationship between parenting parents with the level of student discipline at
school]. 2 (1). DOI : https://doi.org/10.24036/0201321886-0-00
Surya Putra, Yanuar. 2016. Teori perbedaan generasi. Jurnal Ilmiah Among Makarti 9
(18). https://jurnal.stieama.ac.id/index.php/ama/article/viewFile/%20142/133
15
M. Supraspinarus_Frozen Shoulder_1802541087
I. Latar Belakang
Osteoatrithis (OA) merupakan salah satu penyakit yang umum terjadi
dikalangan lanjut usia, yang menyerang sendi terutama sendi lutut. Banyak
faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit degeneratif ini. Namun yang
paling rentan terkena OA ini adalah wanita yang sudah menopause, karena saat
wanita mengalami menopause maka akan terjadi ketidakseimbangan hormon
esterogen. OA lebih banyak ditemukan pada perempuan jika dibandingkan
dengan laki-laki yaitu 68,67%. OA mengenai 2/3 orang yang berumur lebih dari
65 tahun, dengan prevalensi 60,5% pada pria dan 70,5% pada wanita. Pada
usia 55-54 tahun, 28% laki-laki dan perempuan terkena osteoarthritis lutut
(Pratiwi, Diagnosis And Treatment Osteoarthiris 2015).
Salah satu modalitas fisioterapi untuk pasien yang menderita OA
adalah menggunakan Ultrasaound (US). US bekerja dengan cara mengubah
energi listrik menjadi gelombang suara, maka energi suara dikonversikan
menjadi panas. US ini sering digunakan karena memiliki peranan untuk
menurunkan rasa sakit pada pasien yang mengalami OA pada lutut. Respon
biologis terapi US ini dapat berupa efek termal dan non-termal selain itu juga
dapat meningkatkan ambang nyeri, regenerasi jaringan, relaksasi otot dan
penurunan inflamasi.
Metode yang biasa digunakan untuk mentrasportasikan obat melalui
kulit yaitu dengan cara suntikan dan melalui oral, namun hal tersebut dapat
menurunkan kualitas permeabilitas kulit untuk obat topikal. Jadi untuk
meningkatkan permeabilitas kulit dengan penggunaan obat topikal, sebaiknya
dilakukan dengan teknik phonophoresis. Dimana phonophoresisis adalah
teknik memasukkan obat topikal dengan menggunakan gelombang US.
Menurut Beberapa studi telah melihat efektivitas teknik ini,
menggunakan phonophoresis dengan hidrokortison telah terbukti lebih unggul
untuk US sendiri dalam mengurangi rasa sakit dan mengurangi peradangan
pada pasien dengan gangguan rematik. Telah digunakan dalam mengobati
pasien dengan berbagai gangguan inflamasi termasuk bursitis, tendinitis, dan
neuritis (Prentice 2002)
II. Tujuan
Penilitian ini dilakukan untuk membandingkan dan menilai keefektifan
dari phonophoresis dexamethasone dan ultrasound.
1
III. Hasil
Kelompok pertama dengan rata-rata usia 56.95±7.33 tahun diberikan
intervensi ultrasound dengan pengurangan nilai VAS 2.45±1.95, penurunan nilai
WOMAC 16.30±2.8 dan penurunan rata-rata pada TUG Test sebesar 1.40±1.1
detik. Kelompok kedua dengan rata-rata usia 56.55±2.28 tahun diberikan
intervensi phonophoresis ampul dexamethasone dengan pengurangan nilai VAS
4.35±2.25, penurunan nilai WOMAC 24.05±15.31 dan penurunan rata-rata pada
TUG Test sebesar 7.45±2.98 detik. Sedangkan kelompok ketiga dengan rata-
rata usia 54.60±6.23 tahun diberikan intervensi phonophoresis gel
dexamethasone dengan pengurangan nilai VAS 2.88±2.07, penurunan nilai
WOMAC 22.8±9.08 dan penurunan rata-rata pada TUG Test sebesar 1.7±1.2
detik. diantara ketiga kelompok tersebut, partisipan yang diberi intervensi
phonophoresis ampul dexamethasone mengalami penurunan VAS, WOMAC
dan TUG Test yang paling signifikan.
IV. Pembahasan
Dalam studi ini, phonophoresis ampul dexamethasone yang lebih
sederhana dan lebih praktis memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan
kedua metode intervensi lainnya untuk terapi penyembuhan osteoarthritis lutut.
Menurut studi yang dilakukan oleh Hsieh dkk phonophoresis terbukti efektif
untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi gerak tubuh pasien. Selain itu,
dalam studi yang dilakukan oleh Boyaci dkk membuktikan bahwa
phonophoresis ketoprofen secara signifikan dapat mengurangi nyeri dan
meningkatkan fungsi gerak tubuh pada pasien osteoarthritis lutut. Hasil tersebut
sesuai dengan studi yang dilakukan oleh jurnal ini.
V. Kesimpulan
Dari hasil penelitian, phonophoresis ampul dexamethasone terbukti
lebih efektif untuk mengurangi nyeri dan performa pasien dibandingkan
dengan dua metode lainnya.
VI. Kelebihan Penelitian
Penelitian ini sudah mampu membuktikan bahwa penggunaan
phonophoresis memang lebih efektif daripada US dalam menangani kasus
Osteoarthritis.
VII. Kekurangan Penelitian
Kekurangan dari penelitian ini adalah tidak ada follow up pasien
setalah terapi, sehingga tidak dapat mengetahui perkembangan selanjutnya
dari kondisi pasien dan tidak ada membandingkan phonophoresis ampul
dexamethasone, phonophoresis diclofenac, dan injeksi piroxicam, untuk
menilai efek terapeutik setelah pertemuan terakhir treatment, dan untuk
menilai kemungkinan penyebab mengapa lebih banyak efek pada ampul
dexamethasone dengan gel dexamethasone.
2
STUDENT PROJECT
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN FISIOTERAPI DI NEGARA MALAYSIA
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ................................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................................. 1
1.3 Tujuan.......................................................................................................................................... 2
1.4 Manfaat ...................................................................................................................................... 2
BAB II ISI......................................................................................................................................... 3
BAB III PENUTUP ...................................................................................................................... 6
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................................ 6
3.2 Saran............................................................................................................................................ 6
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 7
iii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada tahun 1951, lahir sebuah organisasi yang menghimpun para fisioterapis
di seluruh dunia yaitu World Confederetion for Physical Therapy, dimana pada
awalnya organisasi ini beranggotakan 11 negara antara lain Amerika Serikat,
Swedia, Jerman Barat, Afrika, Finlandia, Denmark, Kanada, dan Australia. Tujuan
dibentuknya organisasi ini adalah untuk menaungi seluruh fisioterapis yang ada di
dunia dan mengembangkan fisioterapi pada bidang penelitian, pendidikan, serta
praktek, dan menjadi sarana untuk bertukar ide dan pikiran antar sesama
fisioterapis.
Fisioterapi mulai berkembang di Benua Asia, ditandai dengan masuknya
beberapa negara kedalam WCPT seperti Israel (1956), Chile (1967), Jepang dan
Philipina (1970) kemudian Indonesia pada tahun 1991, dengan tujuan untuk
memperkuat dan mempromosikan fisioterapi negaranya di dunia. Selain itu, untuk
mempromosikan dan mengembangkan fisioterapi di benua Asia sendiri, beberapa
negara seperti Indonesia, Korea, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Taiwan
membentuk organisasi fisioterapi Asia yang bernama Asian Confederation for
Physical Therapy atau ACPT yang didirikan pada tanggal 27 April tahun 1980 di
Taipei. Dalam perkembangannya, ACPT melakukan 14 kongres dalam kurun waktu
1981-2018 yang diadakan di negara anggota yang berbeda setiap 3 tahun sekali.
Salah satu negara yang pernah menjadi tuan rumah adalah Malaysia. Malaysia
menjadi tuan rumah dalam kongres ACPT yang ke-6 pada tahun 1996 dan yang ke-
13 pada tahun 2016.
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui perkembangan pendidikan fisioterapi di negara
Malaysia.
1.4 Manfaat
1.4.1 Untuk menambah wawasan penulis dan pembaca.
1.4.2 Sebagai tolok ukur perkembangan pendidikan fisioterapi di Indonesia.
3
BAB II
PEMBAHASAN
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pendidikan fisioterapi di Malaysia sudah mencapai Pascasarjana, dan jumlah
universitas yang membuka program studi fisioterapi lebih banyak dimana itu
menandakan bahwa perkembangan fisioterapi di negara tetangga sudah lebih maju
dibandingkan negara Indonesia. Publikasi jurnal tentang fisioterapi dapat diakses
pada Malaysian Journal of Medical Research (MJMR) yang meliputi anatomi,
fisiologi, pediatri, dan orthopedi. Fisioterapis negara Malaysia berperan aktif dalam
menerbitkan jurnal pada International Journal of Physiotherapy (IJPHY).
3.2 Saran
Disarankan lebih banyak artikel agar bisa dibandingkan dengan fisioterapi
yang ada di Indonesia, sehingga dapat mengikuti perkembangan teknologi di
Negara Malaysia.
7
DAFTAR PUSTAKA
1. WCPT. 2018. What is WCPT?. Cited 2020 mei 28. Available from :
https://www.wcpt.org/what-is
2. ACPT. 2017. The Asian Confederation for Physical Therapy. Cited 2020 mei
20. Available from : https://www.acpt-physicaltherapy.org/
3. Malaysian Physiotherapy Association. Cited 2020 mei 28. Available from:
http://www.mpa.net.my/MPAHistory.php
4. Mohamad, Mohd Suhaimi. "Tahap Pengetahuan Dan Pola Penggunaan
Perkhidmatan Kerja Sosial Di Kalangan Pesakit: Kajian Kes Di Hospital Ukm
(Knowledge Awareness and Utilisation Pattern on Social Work Services among
Patient: Case Study in UKM Hospital)." e-Bangi4.1 (2017).
5. Physiopedia. Cited 2020 mei 28. Available from: https://www.physio-
pedia.com/Malaysia
6. ACPT. 2018. Congress Report. Cited 2020 mei 28. Available from:
https://www.acpt-physicaltherapy.org/report/congress/
7. Universiti Teknologi Malaysia. Cited 2020 mei 28. Available From:
https://www.easyuni.co.id/malaysia/universiti-teknologi-malaysia-11693/
8. Malaysian Journal of Medical Research. Cited 2020 mei 28. Available From:
http://ejournal.lucp.net/index.php/mjmr/index
9. International Journal of Physiotherapy. Cited 2020 mei 28. Available From:
https://issuu.com/internationaljournalofphysiotherapy
ANALISIS JURNAL KEPERAWATAN
02
MATERNITY NURSING
XXXX (NAMA LENGKAP) (00000000 NIM)
XXXX (0000000000000)
XXXX (0000000000000)
DST.
3.1 Simpulan
Hipertensi merupakan salah satu penyakit degeneratif yang ditandai dengan
adanya peningkatan tekanan darah. Hipertensi di Indonesia biasanya lebih banyak
diderita lansia akibat terjadi penurunan pola dan gaya hidup masyarakat, seperti
pola hidup sedentary life yang didukung dengan kebiasaan yang tidak sehat
sebagai contoh merokok, minum beralkohol, konsumsi garam berlebih. Dalam
mengontrol hipertensi, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan seperti
melakukan pola hidup yang sehat dan mampu memodifikasi gaya hidup. Selain itu,
terdapat beberapa terapi yang dapat dilakukan untuk membantu mengontrol dan
mempertahankan tekanan darah pada penderita hipertensi, salah satunya dengan
melakukan Swedish massage. Swedish massage adalah salah satu jenis terapi non
farmakologi yang bersifat komplementer dan mudah diaplikasikan yang dapat
menurunkan tekanan darah. Hal tersebut dapat dibuktikan berdasarkan hasil
penelitian yang menyatakan bahwa dengan melakukan Swedish massage terjadi
penurunan tekanan darah sistolik rata-rata sebesar 9 mmHg dan tekanan darah
diastolik rata-rata sebesar 7-12 mmHg. Selain itu, terapi ini juga mudah, efektif,
dan aman untuk diaplikasi kepada pasien, sehingga mampu untuk diterapkan
dalam tatanan klinis keperawatan di Indonesia.
3.2 Saran
Diharapkan terapi ini dapat diterapkan oleh seluruh perawat pada tatanan
klinis keperawatan di Indonesia agar dapat mengontrol hipertensi pada lansia di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
01
ELIMINATION AND EXCHANGE
NAMA ANGGOTA KELOMPOK :
xxxxxxxxxxx 2002521001
xxxxxxxxxxx 2002521002
xxxxxxxxxxx 2002521003
xxxxxxxxxxx 2002521004
xxxxxxxxxxx 2002521005
xxxxxxxxxxx 2002521006
xxxxxxxxxxx 2002521007
xxxxxxxxxxx 2002521008
2) Ilustrasi Kasus
Dilansir dari laman web CNN Indonesia (2018) yang berjudul
“Lakukan Pelecehan Seksual, Perawat Terancam Sanksi Etika”, disebutkan
bahwa ada kasus seorang perawat yang melakukan pelecehan seksual kepada
salah seorang pasien yang saat itu masih dalam pengaruh obat bius. Saat itu
pasien dikabarkan akan melakukan operasi dan dalam pengaruh obat bius,
namun pasien masih sadar akan tindakan perawat pada dirinya. Perawat
kemudian mengaku salah dan meminta maaf namun pasien dan keluarga tetap
membawa masalah ini ke jalur hukum.
NAMA
NIM
NAMA KELOMPOK ILMIAH
NO URUT
ENDODONSIA
KELOMPOK 1
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas
karunia-Nya kami dapat menyusun penugasan “PKM-AI” ini tepat pada waktunya.
PKM-AI ini membahas karies gigi pada anak-anak.
Terima kasih kami ucapkan kepada setiap orang yang berkontribusi dalam
pembuatan penugasan “PKM-AI” ini. Penulis menyadari bahwa PKM-AI ini belum
sempurna seperti yang diharapkan dikarenakan keterbatasan kemampuan dan
keilmuan yang kami miliki,
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
yang bersifat membangun, demi kebaikan PKM-AI ini. Semoga PKM-AI ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB II : ISI.............................................................................................................. 2
2.1. Definisi ..................................................................................................2
2.2. Epidemiologi .........................................................................................2
2.3. Etiologi dan Faktor Resiko ....................................................................3
2.4. Patogenesis ............................................................................................4
2.5. Diagnosis ...............................................................................................5
2.6. Diagonosis Banding ...............................................................................5
2.7. Penatalaksanaan .....................................................................................6
2.8. Pencegahan ............................................................................................6
2.9. Komplikasi.............................................................................................6
2.10. Prognosis ..............................................................................................6
BAB III : PENUTUP ...............................................................................................7
3.1. Simpulan 7
3.2. Saran 7
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ii
1
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
ISI
2.1. Definisi
Karies gigi merupakan penyakit kronik yang dapat dicegah saat anak-
anak. Karies gigi merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Streptoccous mutans yang dapat ada di semua gigi yang telah erupsi dan
dengan cepat menghancurkan jaringan gigi seperti email, dentin, dan pulpa
dimana bakteri ini dapat memfermentasi gula dan karbohidrat lainnya
menjadi asam (Karina, 2014; Watt et al., 2014; Boman and Karlsson, 2015;
Mariati, 2015). The American Academy of Pediatric Dentistry mendefinisikan
karies gigi sebagai adanya satu atau lebih gigi goyang (lesi non-cavitated atau
cavitated), hilang (akibat karies), atau permukaan filled teeth di gigi (Karina,
2014). Timbulnya karies tergantung pada plak dan pola asupan makanan
dimana karies pda umumnya dapat terjadi akibat mengonsumsi makanan
kariogenik yang sering diselingi dengan makanan utamanya (Boman and
Karlsson, 2015; Mariati, 2015).
2.2. Epidemiologi
Salah satu masalah kesehataan gigi yang sering terjadi pada semua
kalangan di seluruh dunia adalah karies. Anak-anak sering rentan terkena
karies gigi sehingga menyebabkan persentase yang tinggi baik di negara maju
dan negara berkembang (Ghazal et al., 2016). Menurut data survei World
Health Organization tercatat bahwa prevelensi tertinggi karies gigi pada anak-
anak terdapat di Amerika dan kawasan Eropa, indeks agak rendah dari
Mediterania Timur dan wilayah barat pasifik, sementara prevalensi terendah
adalah Asia Tenggara dan Afrika (Widayati, 2014). Beberapa penelitian
menunjukkan anak-anak yang terpapar karies gigi berkisar dari umur 6-12
dan sudah memasuki periode gigi bercampur dimana gigi insisivus sudah
mulai erupsi (Ghazal et al., 2016; Heaton et al).
3
2.4. Patologi
Karies gigi bisa terjadi apabila terdapat empat faktor utama yaitu gigi,
substrat, mikroorganisme, dan waktu. Beberapa jenis karbohidrat makanan
misalnya sukrosa dan glukosa yang dapat diragikan oleh bakteri tertentu dan
membentuk asam sehingga pH plak akan menurun sampai dibawah 5 dalam
tempo 3-5 menit. Penurunan pH yang berulang-ulang dalam waktu tertentu
mengakibatkan demineralisasi permukaan gigi (Moye, Zeng and Burne,
2014).
Proses terjadinya karies dimulai dengan adanya plak dipermukaan gigi.
Plak terbentuk dari campuran antara bahan-bahan air ludah seperti musin,
sisa-sisa sel jaringan mulut, leukosit, limposit dan sisa makanan serta bakteri.
Plak ini mula-mula terbentuk, agar cair yang lama kelamaan menjadi kelat,
tempat bertumbuhnya bakteri(Moye, Zeng and Burne, 2014)
Selain karena adanya plak, karies gigi juga disebabkan oleh sukrosa
(gula) dari sisa makanan dan bakteri yang menempel pada waktu tertentu
yang berubah menjadi asam laktat yang akan menurunkan pH mulut menjadi
kritis (5,5) yang akan menyebabkan demineralisasi email yang berlanjut
menjadi karies gigi. Secara perlahan-lahan demineralisasi interna berjalan ke
arah dentin melalui lubang fokus tetapi belum sampai kavitasi (pembentukan
lubang). Kavitasi baru timbul bila dentin terlibat dalam proses tersebut.
Namun kadang-kadang begitu banyak mineral hilang dari inti lesi sehingga
permukaan mudah rusak secara mekanis, yang menghasilkan kavitasi yang
makroskopis dapat dilihat. Pada karies dentin yang baru mulai, yang terlihat
hanya lapisan keempat (lapisan transparan, terdiri atas tulang dentin sklerotik,
kemungkinan membentuk rintangan terhadap mikroorganisme dan enzimnya)
dan lapisan kelima (lapisan opak/
5
2.5. Diagnosis
Karies gigi pada tahap awal akan terlihat seperti debris berwarna putih
yang mudah dibersihkan, karies yang telah berhenti pada umumnya nampak
berwana coklat atau bahkan kehitaman. Karies yang telah terhenti ini
memiliki konsistensi yang keras shingga tidak dapat hilang dengan swab
(italic). Pemeriksaan karies dengan menggunakan instrumen diagnosis seperti
ekskavator, kaca mulut, dan sonde dapat membantu menemukan karies gigi.
Instrumen sonde yang tersangkut mengindikasikan adanya kavitas. Sonde
juga dapat digunakan untuk mengetahui kedalaman karies gigi. Metode lain
yang digunakan adalah transluminasi dimana gigi yang diperiksa diberikan
cahaya. Cahaya tidak akan merambat dengan sempurna apa bila terdapat
karies gigi (Rizky, 2018). Radiografi juga dapat digunakan untuk mengetahui
kedalaman karies gigi. Gambaran radiolusen pada jaringan keras gigi
mengindikasikan keberadaan karies gigi (Al-Darwish, El Ansari and Bener,
2014).
Karies gigi dapat diklasifikasikan menurut beberapa ahli seperti
menurut Mont and Hume, G.V Black, dan WHO. Pada dasarnya klasifikasi
karies tersebut membagi karies berdasarkan letak dan/atau kedalamannya
(Moye, Zeng and Burne, 2014).
2.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari karies gigi bermacam-macam tergantung dari
kondisi gigi, kondisi pasien, usia pasien, letak karies, waktu terjadinya karies,
dan tingkat sosio ekonomi pasien (Al- Darwish, El Ansari and Bener, 2014).
2.8. Pencegahan
Karies gigi merupakan penyakit multifaktorial sehingga dengan
menghindarkan diri dari faktor-faktor penyebab karies gigi maka penyakit ini
dapat dihindarkan atau setidaknya dapat menurunkan resiko terjadinya karies.
Perawatan pencegahan karies gigi seperti fissure sealent diketahui efektif
menurunkan resiko terjadinya karies gigi baik pada anak-anak amupun orang
dewasa (Al- Darwish, El Ansari and Bener, 2014).
2.9. Komplikasi
Beberapa studi menunjukan adanya hubungan antara karies gigi dengan
penyakit endocarditis dan diabetes mellitus. Kajadian yang umum ditemukan
adalah karies gigi dapat menimbulkan morbditas pada penderitanya seperti
rasa sakit pada gigi yang karies, abses, bahkan kematian akibat plegmon
(ludwig angina) (Al- Darwish, El Ansari and Bener, 2014).
2.10. Prognosis
Prognosis dari perawatan karies bermacam-macam karena dipengaruhi
oleh berbagai hal. Penatalaksanaan yang sesuai dengan indikasi, standar
operasional prosedur, dan dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi dapat memeberikan prognosis yang baik (Al- Darwish, El Ansari
and Bener, 2014).
7
BAB III
SIMPULAN
3.1. Simpulan
Karies merupakan penyakit multifaktorial yang membutuhkan
penanganan yang kompleks dan tepat indikasi sehingga mendapatkan
prognosis yang baik.
3.2. Saran
Diperlukan penelusuran lebih lanjut dalam pembahasan ini.
DAFTAR PUSTAKA
ISI
ISI
ISI
ISI
DAFTAR PUSTAKA
Anusavice, K.J., Shen, C., dan Rawls, H.R., 2013. Phillips Science of Dental
Materials 12th Ed. Elsevier.
dst…