Anda di halaman 1dari 5

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

PEMBENTUKAN TIM PELAKSANA

KESEHATAN JIWA MASYARAKAT

UPT PUSKESMAS BATEALIT

TAHUN 2019
KERANGKA ACUAN KEGIATAN
PEMBENTUKAN TIM PELAKSANA KESEHATAN JIWA MASYARAKAT

I. PENDAHULUAN
Definisi sehat menurut kesehatan dunia (WHO) adalah suatu keadaan sejahtera
yang meliputi fisik, mental dan sosial yang tidak hanya bebas dari penyakit atau
kecacatan. Maka secara analogi kesehatan jiwa pun bukan hanya sekedar bebas dari
gangguan tetapi lebih kepada perasan sehat, sejahtera dan bahagia (well being), ada
keserasian antara pikiran, perasaan, perilaku, dapat merasakan kebahagiaan dalam
sebagian besar kehidupannya serta mampu mengatasi tantangan hidup sehari-hari.
Penanganan pada klien dengan masalah kesehatan jiwa merupakan tantangan yang
unik karena masalah kesehatan jiwa mungkin tidak dapat dilihat secara langsung,
seperti pada masalah kesehatan fisik yang memperlihatkan berbagai macam gejala dan
disebabkan berbagai hal kejadian masa lalu yang sama dengan kejadian saat ini, tetapi
mungkin muncul gejala yang berbeda banyak klien dengan masalah kesehatan jiwa
tidak dapat menceritakan masalahnya bahkan mungkin menceritakan hal yang berbeda
dan kontradiksi. Kemampuan mereka untuk berperan dan menyelesaikan masalah juga
bervariasi (Keliat, 2005).
Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat masalah
kesehatan utama di Negara – negara maju, tetapi masih kurang populer di kalangan
masyarakat awam. Dimasa lalu banyak orang menganggap gangguan jiwa merupakan
penyakit yang tidak dapat diobati (Hawari, 2001). Gangguan jiwa adalah gangguan
pada fungsi mental, yang meliputi emosi, pikiran, prilaku, motivasi daya tilik diri dan
persepsi yang menyebabkan penurunan semua fungsi kejiwaan terutama minat dan
motivasi sehingga mengganggu seseorang dalam proses hidup dimasyarakat. (Nasir
dan Muhith 2011).
Jumlah penduduk yang mengalami gangguan jiwa diperkirakan terus
meningkat. Ini disebabkan karena seseorang tidak bisa menyesuaikan diri atau
beradaptasi dengan suatu perubahan atau gejolak hidup. Apalagi di era serba modern
ini, perubahan – perubahan terjadi sedemikian cepat, seperti sosial ekonomi dan sosial
politik yang tidak menentu serta kondisi lingkungan sosial yang semakin keras
sehingga mengganggu dalam proses hidup dimasyarakat. Gangguan jiwa terjadi tidak
hanya pada kalangan menengah kebawah sebagai dampak dari perubahan sosial
ekonomi, tetapi juga kalangan menengah keatas yang disebabkan karena tidak mampu
mengelola stress (Yosep, 2009).
Terapi yang komperehensif dan holistik, dewasa ini sudah mulai
dikembangkan meliputi terapi obat – obatan anti skizofrenia (psikofarmaka),
psikoterapi, terapi psikososial dan terapi psikoreligius. Terapi psikofarmaka harus
diberikan dalam jangka waktu yang lama. Hal ini dimaksudkan untuk menekan sekecil
mungkin kekambuhan (relapse). Keberhasilan terapi gangguan jiwa tidak hanya
terletak pada terapi obat psikofarmaka dan jenis terapi lainnya, tetapi juga peran serta
keluarga dan masyarakat turut menentukan (Hawari, 2001)
Pengobatan yang efektif pada pasien skizofrenia membutuhkan waktu jangka
panjang yang berkesinambungan untuk mengobati gejala di bawah kontrol dan
mencegah kekambuhan sehingga diperlukan kepatuhan dan ketekunan pasien dalam
pengobatan. Ketidakpatuhan dalam mengkonsumsi obat berdampak negatif pada
pengobatan yang mengakibatkan penyakit pasien kambuh, rawat inap kembali,
pengobatan yang lebih lama, dan percobaan bunuh diri, terkait ketidakpatuhan
terhadap pengobatan antipsikotik setelah diberhentikan maka harus dirawat inap
kembali. Banyak faktor yang mempengaruhi kepatuhan salah satunya adalah faktor
penyakit yaitu parahnya gejala dan kurangnya pengetahuan pada penyakit. Dengan
demikian, ketidakpatuhan dapat memiliki dampak negatif besar pada kesehatan pasien
serta dampak keuangan terhadap masyarakat (Higashi, dkk, 2013).
Ada beberapa hal yang bisa memicu kekambuhan skizofrenia, antara lain
penderita tidak minum obat dan tidak kontrol ke dokter secara teratur, menghentikan
sendiri obat tanpa persetujuan dari dokter, kurangnya dukungan dari keluarga dan
masyarakat (Widodo, 2003).
Kepatuhan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku
pasien dalam minum obat secara benar tentang dosis, frekuensi dan waktunya
(Nursalam, 2007). Kepatuhan terhadap minum obat merupakan masalah utama dalam
kekambuhan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dalam minum obat
yaitu kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan, tidak mengertinya tentang
pentingnya mengikuti aturan pengobatan yang di tetapkan sehubungan dengan
prognosisnya, sukarnya memperoleh obat diluar rumah sakit, mahalnya harga obat,
dan kurangnya perhatian dan kepedulian keluarga yang mungkin bertanggung jawab
atas pembelian atau pemberian obat itu kepada pasien (Tambayong, 2002).
Menurut World Health Organization (2017) pada umumnya gangguan mental
yang terjadi adalah gangguan kecemasan dan gangguan depresi. Diperkirakan 4,4%
dari populasi global menderita gangguan depresi, dan 3,6% dari gangguan kecemasan.
Jumlah penderita depresi meningkat lebih dari 18% antara tahun 2005 dan 2015.
Depresi merupakan penyebab terbesar kecacatan di seluruh dunia. Lebih dari 80%
penyakit ini dialami orang-orang yang tinggal di negara yang berpenghasilan rendah
dan menengah (WHO, 2017).
Di Indonesia, berdasarkan Data Riskesdas tahun 2018, menunjukkan
prevalensi depresi pada penduduk umur ≥ 15 tahun adalah 6.1%, sedangkan prevalensi
gangguan mental emosional pada penduduk umur ≥ 15 tahun adalah 9.8%. Untuk
cakupan pengobatan penderita gangguan jiwa skizofrenia / psikosis yang tidak rutin
minum obat adalah 51,1%, sedangkan untuk alasan tidak rutin minum obat 1 bulan
terakhir yaitu, 36,1% merasa sudah sehat, 33,7% tidak rutin berobat, 6,1% sering lupa.

II. LATAR BELAKANG


Puskesmas sebagai penanggung jawab penyelenggara upaya kesehatan
terdepan, kehadirannya di tengah masyarakat tidak hanya berfungsi sebagai pusat
pelayanan kesehatan bagi masyarakat, tetapi juga sebagai pusat komunikasi
masyarakat. Oleh karenanya pelayanan kesehatan di masyarakat perlu terus
ditingkatkan baik yang bersifat promotif, preventif maupun kuratif dan rehabilitatif.
Hal ini sejalan dengan misi Departemen Kesehatan, yaitu membuat rakyat sehat.
Adapun strategi utamanya adalah 1) menggerakkan dan memberdayakan masyarakat
untuk hidup sehat dan 2) meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan yang berkualitas.
Berdasarkan data dari Sistem Informasi Kesehatan (SIK) DKK Jepara s.d
Oktober 2019, jumlah Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah 111 penderita,
mengalami kenaikan 11,7% dari bulan Maret yaitu 95 penderita. Setelah dilakukan
identifikasi, diketahui bahwa banyak ODGJ yang tidak rutin kontrol berobat, tidak
patuh minum obat, dan tidak adanya sarana pemantauan kesehatan jiwa secara
terintegrasi di UPTD Puskesmas Batealit.
Data sistem informasi kesehatan tersebut menjadi tolak ukur petugas
Puskesmas untuk meningkatkan kesehatan jiwa di Kecamatan Batealit, serta
mendukung kecamatan yang sehat. Oleh sebab itu, diperlukan kegiatan yang berisi
kegiatan dari puskesmas maupun pemberdayaan dari masyarakat. Sehingga dapat
saling bersinergis dan tercapai tujuan kesehatan jiwa yang sebenarnya di lingkungan
dan wilayah kerja UPT Puskesmas Batealit.

III. TUJUAN
A. Tujuan Umum
Meningkatkan peran serta masyarakat dalam meningkatkan kesehatan jiwa
B. Tujuan Khusus
1. Terbentuknya tim pelaksana kesehatan jiwa masyarakat (TP-KJM) di
kecamatan Batealit
2. Meningkatkan koordinasi antar instansi di kecamatan Batealit
3. Meningkatkan kepedulian dan dukungan dari TP-KJM

Anda mungkin juga menyukai