Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat
berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial, sehingga individu
menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara
produktif, serta mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Orang
Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan
dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam sekumpulan
gejala dan atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan
penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi luhur sebagai manusia
dalam keseharian (seperti pekerjaan dan sosial). Gangguan jiwa merupakan
diagnosis, berbeda dengan masalah kesehatan jiwa. Pada masalah kesehatan
jiwa mungkin saja terdapat gejala, tetapi bukan kumpulan gejala lengkap,
tidak berlangsung lama, dan belum menimbulkan gangguan fungsi sehari-
hari. Sehingga, Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) merupakan orang
yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan
perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami
gangguan jiwa (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).
Data World Health Organization (2016) menunjukkan terdapat sekitar
35 juta orang menderita depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena
skizofrenia, serta 47,5 juta mengalami demensia. Selain itu, menurut WHO
(2017) gangguan yang banyak terjadi juga selain depresi adalah gangguan
cemas. Diperkirakan 4,4% dari populasi global menderita gangguan depresi
dan 3,6% dari gangguan kecemasan. Jumlah penderita depresi meningkat
lebih dari 18% antara tahun 2005 hingga 2015. Depresi menjadi penyebab
terbesar kecacatan. Lebih dari 80% penyakit ini dialami orang-orang yang
tinggal di negara berkembang. Indonesia menunjukkan penambahan jumlah
kasus gangguan jiwa yang dipengaruhi oleh faktor biologis, psikologis, dan
sosial dengan keanekaragaman penduduknya. Hal tersebut dapat berdampak
pada penambahan beban negara dan penurunan produktivitas sumber daya
manusia jangka panjang (WHO, 2016; 2017).

1
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yang dilakukan oleh
Kementerian Republik Indonesia menyimpulkan bahwa prevalensi
ganggunan mental emosional seperti depresi dan kecemasan (anxietas) pada
usia ≥ 15 tahun mencapai sekitar 14 juta jiwa atau 6% dari jumlah penduduk
Indonesia. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat (psikosis), seperti
skizofrenia mencapai sekitar 400.000 jiwa atau sebanyak 1,7 per 1.000
penduduk. Jumlah gangguan jiwa berat tahun 2013 tersebar di berbagai
provinsi dengan jumlah terbanyak di Daerah Istimewa Yogyakarta (0,27%)
dan Aceh ( 0,27%), kemudian Sulawesi Selatan (0,26%), disusul oleh Bali
(0,23%) dan Jawa Tengah (0,23%). Masalah kesehatan jiwa tersebut di atas
jika tidak segera ditangani dapat menurunkan status kesehatan fisik dan
menimbulkan dampak psikososial antara lain tindak kekerasan,
penyalahgunaan napza, pemasungan, maupun tindakan percobaan bunuh diri
(Riset Kesehatan Dasar, 2013).
Estimasi WHO tentang ODGJ yang belum mendapatkan layanan
kesehatan jiwa di negara-negara berkembang seperti Indonesia adalah >85%.
Gangguan jiwa yang tidak tertangani dengan baik dan tidak teratur berobat/
minum obat dapat mengakibatkan gejala semakin sulit untuk diatasi,
menahun, dengan penurunan fungsi perawatan diri dan sosial yang semakin
berat. Pemasungan pada ODGJ merupakan dampak ekstrem dan tidak adanya
akses terhadap layanan kesehatan jiwa. Pemasungan adalah bentuk
pengekangan kebebasan yang dilakukan pada ODGJ di komunitas yang
mengakibatkan perampasan kebebasan untuk mengakses layanan yang dapat
membantu pemulihan fungsi ODGJ tersebut. Berdasarkan Riskesdas (2013),
sebanyak 14,3% dari penduduk yang mengalami gangguan jiwa berat tersebut
mengatakan pernah dipasung Pemasungan ODGJ tidak dibenarkan dan
melanggar hak asasi manusia. Tindak pemasungan sebagian besar dilakukan
oleh keluarga inti sebagai upaya perlindungan akibat perilaku kekerasan yang
berpotensi dilakukan ODGJ akibat gejala yang dialami dan tidak dapat diatasi
akibat kurangnya pengetahuan, kesulitan akses dan keterjangkauan ke
layanan kesehatan jiwa (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).
Gangguan jiwa sangat beragam jenisnya, mulai dari yang ringan
hingga berat. Informasi yang akurat dari pihak keluarga akan sangat

2
membantu para tenaga pemberi layanan kesehatan jiwa untuk melakukan
diagnosa dan menentukan perawatan yang tepat bagi ODGJ. Pada akhirnya,
diharapkan ODGJ dapat berangsur-angsur mengembalikan kualitas hidup
mereka dan kembali menjadi manusia yang produktif dan mandiri.
Skizofrenia menjadi gangguan jiwa paling dominan dibanding
gangguan jiwa lainnya dan termasuk dalam gangguan jiwa berat. Penderita
gangguan jiwa sepertiganya tinggal di negara berkembang, dan 8 dari 10
orang yang menderita skizofrenia tidak mendapatkan penanganan medis.
Gejala skizofrenia muncul pada usia 15-25 tahun lebih banyak ditemukan
pada laki-laki dibandingkan pada perempuan (Ashturkar& Dixit, 2013).
Skizofrenia adalah salah satu jenis psikotik yang menunjukan gelaja
orientasi yang buruk, halusinasi, waham, serta kehilangan fungsi luhurnya
sebagai manusia seperti merawat diri. Gejala halusinasi dan waham yang
terjadi pada pasien skizofrenia berupa gangguan alam perasaan yang tidak
menentu, isi kebesaran atau kejaran, sering bertengkar atau berdebat, dan
perilaku cemas yang tidak menentu, bahkan kemarahan/ mengamuk. Hal
tersebut dapat disebabkan kegagalan mekanisme coping stress terhadap beban
yang dialami atau karena cemas yang berkepanjangan (Videback, 2008;
Townsend, 2011; Hawari, 2014).
Pelayanan gangguan jiwa adalah pelayanan pada pasien yang
mengalami gangguan kejiwaan. Data yang masuk untuk pelayanan kesehatan
jiwa di fasilitas kesehatan tingkat pertama berasal dari Rumah Sakit Jiwa dan
Rumah Sakit Umum yang mempunyai klinik jiwa. Permasalahan yang ada
saat ini adalah tidak semua Rumah Sakit Umum mempunyai pelayanan klinik
jiwa karena belum tersedia tenaga medis jiwa dan tidak banyak kasus jiwa di
masyarakat yang berobat di sarana pelayanan kesehatan. Dari permasalahan
tersebut, upaya yang perlu dilakukan adalah peningkatan pembinaan program
kesehatan jiwa di sarana kesehatan pemerintah dan swasta, pelatihan/
refreshing bagi dokter dan paramedis puskesmas terutama upaya promotif dan
preventif, serta meningkatkan pelaksanaan sistem monitoring evaluasi
pencatatan dan pelaporan program kesehatan jiwa (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2017).
. Di Puskesmas Tapen sendiri terdapat sekitar 25 pasien jiwa dari data
tahun 2019 mulai januari sampai april 2019. Hal tersebut menunjukkan

3
perlunya pelayanan kesehatan sampai dengan jiwa yang lebih komprehensif
ke masyarakat di wilayah Puskesmas tapen pada khususnya untuk mendeteksi
pasien dengan gangguan jiwa, memastikan pasien sudah mendapatkan terapi/
pengobatan secara rutin dan juga pemulihan fungsi kehidupan sehari-hari.
Dukungan keluarga sangat penting terhadap pengobatan pasien gangguan
jiwa, karena pada umumnya klien gangguan jiwa belum mampu mengatur
dan mengetahui jadwal dan jenis obat yang akan diminum. Keluarga harus
selalu membimbing dan mengarahkan agar klien gangguan jiwa dapat minum
obat dengan benar dan teratur ( departemen kesehatan 2007)
Dukungan keluarga yang bisa diberikan kepada pasien meliputi dukungan
emosional yaitu dengan memberikan kasih sayang dan sikap menghargai
yang diperlukan klien, dukungan informasional yaitu dengan memberikan
nasihat dan pengarahan kepada klien untuk minum obat, dukungan
instrumental yaitu dengan menyiapkan obat dan pengawasan minum obat,
dan dukungan penilaian memberikan pujian kepada kllien jika minum obat
tepat waktu (Elain 2010).
Kepatuhan berobat adalah perilaku untuk menyelesaikan menelan obat
sesuai dengan jadwal dan dosis obat yang dianjurkan sesuai kategori , tuntas
jika pengobatan tepat waktu, dan tidak tuntas jika tidak tepat waktu.( Julie
2009)
Jumlah petugas kesehatan jiwa yang terbatas dapat dicari solusinya
dengan salah satu program berupa upaya pemberdayaan keluarga sebagai
penyaring awal gangguan jiwa dan mendukung selama terapi, serta
pemulihan pasien. Anggota keluarga dan masyarakat perlu diberi penjelasan
tentang jenis, tanda, dan gejala gangguan jiwa yang sering terjadi dan apa
yang dapat dilakukan oleh keluarga jika hal ini terjadi. Melalui pemahaman
ini, diharapkan masalah kejiwaan dan gangguan jiwa dapat dicegah dan
ditangani secepat dan semestinya. Upaya-upaya kesehatan jiwa tersebut
merupakan amanah dalam Undang-Undang No.18 tahun 2014 tentang
Kesehatan Jiwa (Dinas Kesehatan Kabupaten jombang, 2015; Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2017).

4
Oleh karena itu saya Dokter Internsip Puskesmas tapen periode 1 januari-
juni 2019 tertarik untuk meneliti permasalahan kesehatan jiwa dengan judul
dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pada pasien gangguan jiwa
(skizofrenia) wilayah kerja puskesmas tapen 2019

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana angka dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pada
pasien gangguan jiwa (skizofrenia) di wilayah kerja Puskesmas tapen ?

1.3 Tujuan dan Manfaat


1. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui dukungan keluarga dengan kepatuhan
minum obat penderita gangguan jiwa berat ( Skizofrenia ) wilayah
kerja Puskesmas Tapen.
2. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah:
a. Manfaat bagi penulis
Menambah informasi dan wawasan penulis mengenai dukungan
keluarga dengan kepatuhan minum obat penderita gangguan jiwa
berat (skizofrenia) di wilayah kerja puskemas tapen.
b. Manfaat bagi puskesmas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan informasi
dalam menyusun kebijakan dan strategi program-program kesehatan
terutama yang berhubungan dengan masalah kesehatan jiwa.

c. Manfaat bagi ilmu pengetahuan


Hasil penelitian diharapkan bisa dijadikan data awal untuk penelitian
selanjutnya.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dukungan keluarga


A. Konsep Dukungan Keluarga

6
Menurut Friedman dalam Setiadi (2008) dukungan keluarga merupakan
sikap, tindakan, dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit
anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu
siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Dukungan
keluarga sangatlah berpengaruh pada penerimanya. Dalam hal ini penerima
dukungan keluarga akan tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan
menghargai dan mencintainya.

B. Bentuk Dukungan Keluarga


Menurut Setiadi (2008) bentuk dukungan keluarga terdiri dari empat
macam dukungan yaitu :
1. Dukungan infomasional
Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan disseminator (penyebar)
..informasi dunia.
2. Dukungan penilaian
Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan
menengahi pemecahan masalah. Sebagai sumber dan validator identitas
anggota keluarga diantaranya memberikan penilaian atau penghargaan
berdasarkan kondisi yang sebenarnya dari penderita, memberikan motivasi
dalam mentaati peraturan pengobatan, dan memberikan perhatian dan kasih
sayang.
3..Dukungan instrumental
Dukungan bentuk ini bertujuan untuk menolong secara langsung kesulitan
..yang dihadapi pasien.
4. Dukungan emosional.
Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan
.pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek–aspek dari
dukungan emosional berupa dukungan simpatik, empati, cinta, kepercayaan
dan penghargaan

2.2 Kepatuhan
A. Konsep Kepatuhan
Kepatuhan berasal dari kata dasar patuh, yang berarti disiplin dan taat.
Sacket dalam Niven, (2002), mendefinisikan kepatuhan pasien sebagai sejauh
mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh petugas
kesehatan.
B. Faktor-Faktor yang Mendukung Kepatuhan Pasien

7
Menurut Feuer Stein, et al dalam Niven, (2002), ada beberapa faktor yang
dapat mendukung sikap patuh pasien, diantaranya:
1. Pendidikan
Pendidikan merupakan usaha seseorang untuk meningkatkan kepribadian
dan proses perubahan prilaku. Dengan pendidikan yang tinggi. Diharapkan
pasien mampu menerima informasi-informasi yang diberikan oleh dokter
maupun petugas kesehatan.
2. Akomodasi
Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian
pasienyang dapat mempengaruhi kepatuhan. Pasien yang lebih mandiri,
harus dilibatkan secara aktif dalam program pengobatan sementara pasien
yang tingkat ansietasnya tinggi harus diturunkan terlebih dahulu. Apabila
tingkat ansietas pasien tinggi atau rendah ini akan mempengaruhi tingkat
kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat
3. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial
Dalam meningkatkan kepatuhan pasien minum obat sangat penting
Membangun dukungan, masyarakat dan teman-teman, karena kelompok-
kelompok pendukung dapat membantu memahami kepatuhan terhadap
program pengobatan, seperti mematuhi mengkonsumsi obat.
4. Perubahan Model Terapi
Perubahan model terapi dapat dilakukan untuk mengurangi rasa bosan
pada pasien dan dengan perubahan model terapi diharapkan kepatuhan
pasien semakin meningkat.
5. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan pasien.
Adalah suatu hal yang penting untuk memberikan umpan balik pada
pasien setelah memperoleh informasi sehingga dapat meningkatkan
kepercayaan pasien.

2.3 Gangguan Jiwa


A. Konsep Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa adalah suatu ketidakberesan kesehatan psikologis atau
perilaku terkait dengan penderitaan yang nyata dan kinerja yang buruk, dan
disebabkan oleh gangguan biologis, sosial, psikologis, genetik, fisis, atau
kimiawi (Maramis, 2005).

8
Gangguan jiwa adalah suatu sindroma yang terjadi pada seseorang
dimanam seseorang tidak mampu mengendalikan diri dalam
menghadapi stressor dilingkungan sekitar, dan tidak mampu
mempertahankan kondisi fisik, mental dan intelektual (Sheil, L, 2008).

B. Penyebab Gangguan Jiwa


Menurut Coleman, dan Carson dalam Baihaqi, dkk (2008) ada beberapa
penyebab gangguan jiwa yaitu:
a. Penyebab primer (primary cause)
Kondisi yang secara langsung menyebabkan terjadinya gangguan
jiwa, atau kondisi yang tanpa kehadirannya suatu gangguan jiwa tidak
akan muncul. Misalnya, infeksi sifilis yang menyerang sistem syaraf,
yaitu psikosis yang disertai paralisis atau kelumpuhan yang bersifat
progresif atau berkembang secara bertahap sampai akhirnya penderita
mengalami kelumpuhan total. Tanpa infeksi sifilis, gangguan ini tidak
mungkin terjadi.
b. Penyebab yang menyiapkan (predisposing cause)
Menyebabkan seseorang rentan terhadap salah satu bentuk
gangguan jiwa. Misalnya, anak yang ditolak oleh orang tuanya menjadi
lebih rentan terhadap tekanan hidup sesudah dewasa dibandingkan orang-
orang yang memiliki dasar rasa aman yang lebih baik.
c. Penyebab Pencetus (precipitating cause)
Ketegangan-ketegangan atau kejadian-kejadian traumatik yang
langsung dapat menyebabkan gangguan jiwa tau mencetuskan gejala
gangguan jiwa. Misalnya, kehilangan harta benda yang berharga,
menghadapi kematian anggota keluarga, menghadapi masalah sekolah,
mengalami kecelakaan hingga cacat, kehilangan pekerjaan, perceraian,
atau menderita penyakit berat.
d. Penyebab yang menguatkan (reinforcing cause)
Kondisi yang cenderung mempertahankan atau memperteguh
tingkah laku maladaptif yang sudah terjadi. Misalnya, perhatian yang
berlebihan pada seorang wanita yang sedang dirawat dapat menyebabkan
yang bersangkutan kurang bertanggung jawab atas dirinya dan menunda
kesembuhan.
e. Sirkulasi faktor-faktor penyebab (multiple cause)

9
Serangkaian faktor penyebab yang kompleks serta saling
mempengaruhi. Dalam kenyataannya, suatu gangguan jiwa jarang
disebabkan oleh satu penyebab tunggal, bukan sebagai hubungan sebab
akibat, melainkan saling mempengaruhi antara satu faktor penyebab
dengan faktor penyebab yang lain.
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik khas ditandai dengan
terganggunya kemampuan penilaian realitas dengan pembentukan delusi/
waham, halusinasi, ketidakharmonisan emosional, dan perilaku regresif
(NCBI, 2012; Buckley et al., 2007).

Tabel 1. Diagnosis

Menurut DSM IV : PPDGJ – III / ICD – 10

Terdapat 2 (dua) atau lebih dari gejala Harus ada satu gejala bila jelas, dua
berikut dalam waktu 1 (satu) bulan (< (2) bila gejala kurang jelas :
kurang dari 1 bulan bila diobati) : a. Thought echo :
− Waham
Thought insertion or withdrawal
− Halusinasi
Thought broadcasting
− Bicara terdisorganisasi (kacau)
b. Delusion of control :
− Perilaku yang terdisorganisasi /
Dirinya dikendalikan kekuatan dari
katatonik yang jelas
luar
− Gejala negatif : afek datar,
c...Delusion of influence:
kemauan ↓, minat ↓
Dirinya dipengaruhi kekuatan dari
luar
d. Delusion of passivity:
Dirinya tidak berdaya
e. Delusion of perception:
Pengalaman indrawi yang tidak
wajar, khas, bersifat mistik /

10
mukjizat
f.….Halusinasi auditorik :
Waham-waham lain yang tidak
wajar

Skizofrenia dapat dibedakan menjadi beberapa subtipe yaitu sebagai berikut


(PPDGJ III, 1993).

Tabel 2. Klasifikasi Skizofrenia


Skizofrenia Skizofrenia Hebefrenik Skizofrenia Katatonik
Paranoid
1. Kriteria umum 1. Kriteria umum 1. Kriteria umum
(+) (+) (+)
2. Halusinasi dan 2. Diagnosis 2. Minimal satu
waham (control, pertama ditegakkan dari berikut
influence, pada usia 15-25 tahun mendominasi:
passivity, dikejar) 3. Kepribadian stupor, mutisme,
yang amat premorbid: pemalu, gaduh-gelisah,
menonjol. solitary posturing,
3. Gangguan 4. Selama observasi negativism,
afektif , dorongan 2-3 bulan didapatkan rigiditas,
kehendak, gejala perilaku yang tidak fleksibilitas cerea,
katatonik relatif bertanggungjawab, command
tidak menonjol mannerisme, solitary, automatism
afek dangkal
inappropriate,
inkoherensi.
5. Gangguan afektif,
dorongan kehendak,
dan gangguan proses
pikir menonjol
Skizofrenia Tak Skizofrenia Residual Skizofrenia Simplek

11
Terinci
1. Kriteria umum 1. Gejala negatif 1. Gejala negatif
(+) skizofrenia menonjol yang khas tanpa
2. Tidak 2. Riwayat satu didahului riwayat
memenuhi kriteria episode psikotik yang halusinasi, waham,
skizofrenia jelas di masa lalu maupun manifestasi
paranoid, 3. Melalui 1 tahun lain psikotik.
hebefrenik, atau dimana waham dan 2. Disertai
katatonik halusinasi sangat perubahan perilaku
3. Tidak berkurang, dan telah pribadi yang
memenuhi kriteria timbul sindrom bermakna, apatis
skizofrenia negative atau seolah tidak
residual atau 4. Tidak ada memiliki
depresi post- demensia/gangguan kepentingan untuk
skizofrenia otak organik lain dirinya sendiri.

2.4 Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan


Mengkonsumsi Obat Antipsikotik
Dari teori yang sudah dijabarkan tentunya ada keterkaitan dari
dukungan keluarga dengan kepatuhan minumi obat. Gangguan jiwa adalah
gangguan pada fungsi mental, yang meliputi emosi, pikiran, prilaku, motivasi
daya tilik diri dan persepsi yang menyebabkan penurunan semua fungsi
kejiwaan terutama minat dan motivasi sehingga mengganggu seseorang
dalam proses hidup dimasyarakat. (Nasir dan Muhith 2010).
Hal lain yang bisa memperpanjang proses perawatan gangguan jiwa
yang dialami oleh pasien, antara lain penderita tidak minum obat dan tidak
kontrol ke dokter secara teratur, menghentikan sendiri obat tanpa persetujuan
dari dokter. Selain itu, pasien sering mengatakan sudah minum obat, padahal
obatnya disimpan disaku baju, terkadang dibuang, dan beberapa pasien sering
meletakkan obat dibawah lidahnya.Oleh karena itu dukungan keluarga sangat
diperlukan oleh penderita gangguan jiwa dalam memotivasi mereka selama
perawatan dan pengobatan.
Diharapkan dengan adanya dukungan dari keluarga kepatuhan
mengkonsumsi obat dan respons sosial (emosional) pasien akan lebih baik,

12
dimana respon emosi, kecemasan dan interaksi sosialnya menjadi lebih positif
(Yosep, 2009).

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan
menggunakan pendekatan kuantitatif yaitu suatu metode yang digunakan untuk
meneliti pada populasi atau sampel tertentu. Teknik pengambilan sampel biasanya
dilakukan dengan perhitungan teknik sampel tertentu yang sesuai (Sugiyono,
2011).

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Tempat : Wilayah Kerja Puskesmas Tapen
Waktu : 1 mei 2019-20 mei 2019

3.3 Teknik Pengumpulan Data


a. Instrumen Penelitiana
Penelitian ini mengambil data yang diperoleh dari kuesioner wilayah
kerja Puskesmas Tapen.
b. Populasi
1) Kriteria Inklusi :

13
a) Anggota keluarga yang bertempat tinggal di wilayah
kerja Puskesmas tapen.
b) Anggota keluarga yang baru dan/ atau pernah
didiagnosis gangguan jiwa berat (skizofrenia).
c) Anggota keluarga yang bersedia menjadi sampel
penelitian.

2) Kriteria Eksklusi :
a) Anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa
kategori gangguan mental organik (GMO).
b) Yang tidak bersedia menjadi responden

3.4 Teknik Pengambilan Sampel


Teknik sampling yang digunakan adalah consecutive sampling yaitu teknik
pengambilan sampel dimana setiap subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi dipilih sampai ukuran sampel yang dibutuhkan tercapai.
Sampel pada penelitian ini adalah anggota keluarga yang bertempat tinggal
wilayah kerja Puskesmas tapen yang menderita gangguan jiwa berat
(skizofrenia).

3.5 Variabel Penelitian


a. Variabel bebas : Angka dukungan keluarga
b. Variabel terikat : Angka kepatuhan berobat

3.6 Definisi Operasional Variabel


Variabel Definisi Alat ukur dan Hasil Ukur Skala
Operasional Cara ukur

Variabel Independent
Dukungan Meliputi dukungan  Menetapkan Nilai skor dari Interval
Keluarga emosional, bobot untuk pertanyaan : yang
dukungan setiap 32–48: diubah
informasi, pilihan dukungan menjadi
dukungan jawaban. keluarga tinggi kategorial
penghargaan, dan  Membuat 16–31:
dukungan scorring dan dukungan
instrumental yang menghitung keluarga kurang
sudah termuat skor 0–15 : dukungan

14
dalam kuesioner keluarga sangat
dukungan keluarga kurang

Variabel Dependent
Kepatuhan Kondisi dan  Menetapkan Nilai skor dari Interval
berobat perilaku pasien bobot untuk pertanyaan: yang
dalam segala setiap pilihan  >2= diubah
aturan kegiatan jawaban. kepatuha menjadi
minum obat.  Membuat n kategorial
scorring dan rendah(ti
menghitung dak
skor patuh)
 <2=
tinggi
(patuh)
3.7 Pengumpulan Data
a. Jenis Data
Penelitian ini menggunakan kuosioner yang terdiri atas data demografi
responden,kuosioner dukungan keluarga dan kuosiner kepatuhan minum
obat..
b. Alat pengumpulan data
Alat yang digunakan adalah kuesioner, alat tulis untuk mencatat data, dan
komputer untuk mengolah dan memproses data.
c. Cara pengumpulan data
Peneliti mengumpulkan data primer dan sekunder yang didapat dari
pukesmas tapen.

3.8 Tata Urutan Kerja

Pendekatan pada instansi yang berwenang


Persiapan

Peninjauan lokasi penelitian

Tahap Pelaksanaan Pengambilan data sekunder di Puskesmas Tapen

Pendataan ke rumah pasien (kuesioner)

Analisis data
15
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

4.1 PROFIL PUSKESMAS


4.1.1 Sosial Ekonomi dan Budaya
Dengan adanya keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat
khususnya keluarga miskin maka masyarakat dapat menggunakan
fasilitas kesehatan di tingkat puskesmas tanpa dipungut bayaran melalui
KIS dan KJS
 Perekonomian
Kecamatan Kudu sendiri mempunyai beberapa sektor potensi unggulan
di bidang perekonomian, antara lain:
1. Pertanian
2. Perkebunan
3. Peternakan
4. Kehutanan
5. Perindustrian
6. Perdagangan
 Sosial Budaya
Budaya dan kebiasaan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Tapen
tidak jauh dengan budaya dan kebiasaan masyarakat Indonesia pada
umumnya, yakni ramah, santun dan perilaku kekeluargaan masih sangat
menonjol dalam kehidupan masyarakatnya.
4.1.2 Data Geografis
Secara geografis, posisi Puskesmas Tapen terletak pada
7o27’10.84” Lintang Selatan dan 112o14’20.52” Bujur Timur. Puskesmas
Tapen termasuk dalam kecamatan Kudu dengan luas wilayah kerja

16
27,14Km2yang meliputi 11 desa, 45 dusun.Adapun batas-batas wilayah
kerja Puskesmas Tapen adalah :
- Sebelah Utara : berbatasan dengan Kec. Ngusikan
- Sebelah Selatan : berbetasan dengan Kec. Kesamben
- Sebelah Timur : berbatasan dengan Kec. Ngusikan
- Sebelah Barat : berbatasan dengan Kec. Ploso,kec.
Kabuh
Secara Administratif Kecamatan Kudu terbagi menjadi 11 Desa.
Keterjangkauan pelayanan kesehatan salah satunya dapat dilihat dari
keadaan dan kondisi geografis wilayah tersebut, dimana Puskesmas Tapen
secara geografis terletak di dekat jalan raya dan mudah dijangkau oleh
seluruh masyarakat di wilayah kerjanya.
Adapun situasi geografis di wilayah kerja Puskesmas Tapen dapat dilihat
pada gambar dibawah ini.

Gambar 1. Peta wilayah

4.1.3 Data demografi


Wilayah kerja Puskesmas Tapen meliputi Kecamatan Kudu yang
terdiri dari 11 Desa. Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Tapen

pada tahun 2015 adalah 30.714 jiwa terdiri dari penduduk laki-laki
14.275 jiwa dan perempuan 14.469 jiwa. Tingkat kepadatan penduduk
mencapai 1.059,1/km2.
Secara rinci jumlah kepala keluarga, rumah dan penyebaran
penduduk di wilayah kerja Puskesmas Tapen ditampilkan di bawah ini.

4.1.4 Data Gemografis


Tabel 3. Penduduk di Wilayah kerja UPTD Puskesmas Tapen Tahun 2015

17
LUAS JUMLAH RATA-RATA KEPADATAN
JUMLAH
NO DESA WILAYAH RUMAH JIWA/RUMAH PENDUDUK
PENDUDUK
(km2) TANGGA TANGGA per km2

1 Sidokaton 1,7 3037,8 1001 3,03 1776,5

2 Tapen 1,2 2292,0 771 2,97 1942,4

3 Bakalanrayung 1,1 3080,6 1120 2,75 2750,5

4 Randuwatang 1,4 1796,2 627 2,86 1330,5

5 Sumberteguh 2,5 2969,5 1107 2,68 1173,7

6 Menturus 2,3 2265,3 762 2,97 968,1

7 Kudubanjar 2,3 3020,8 1020 2,96 1324,9

8 Made 1,8 2096,5 714 2,94 1151,9

9 Kepuhrejo 5,3 3149,0 1142 2,76 596,4

10 Katemas 3,9 4429,1 1648 2,69 1135,7

11 Bendungan 3,6 2577,3 842 3,06 710,0

JUMLAH
2,71
(KAB/KOTA) 30714 10754 2,86 1131,7

Sumber : BPS 2015 Data Kecamatan Kudu Kabupaten Jombang

Dari tabel diatas luas wilayah Tapen adalah 27.1 km2 desa kepuhrejo
merupakan desa yang paling luas yaitu 5.3 km2 dan desa bakalanrayung
merupakan desa yang kurang luas. Dengan semakin luasnya wilayah secara
ekonomi lebih menguntungkan karena mempunyai potensi ekonomi untuk
dikembangkan, dari segi kesehatan semakin luas wilayah maka pengawasan
terhadap kesehatan juga semakin lebih besar sehingga diperlukan pantauan
kesehatan yang lebih besar pula.
Jumlah rumah tangga di wilayah Tapen adalah 10.133 KK sedangkan desa
Katemas jumlah rumah tangganya paling besar yaitu 1.648 KK, sedangkan desa
Randuwatang merupakan desa yang rumah tangganya palin kecil yaitu 627 KK.
Jumlah penduduk wilayah Tapen ada 30.714 jiwa, jumlah desa dengan
penduduk yang banyak adalah desa katemas yaitu 4.429 jiwa jumlah desa dengan

18
penduduk sedikit adalah desa randuwatang yaitu 1.796 jiwa. Penduduk yang
banyak akan memudahkan untuk mencari sumberdaya manusia.

4.1.4 Tingkat pendidikan.

Gambar 2. Grafik Pendidikan

Untuk tingkat pendidikan paling banyak adalah ijazah SLTP sedangkan


yang paling sedikit adalah lulusnagaan atau ijasah sarjana S2/3. Hal ini
memberika gambaran bahwa penduduk Tapen mempunyai tenaga kurang trampil
cukup banyak karena untuk tenaga trampil minimal ijasah SMA atau yang
sederajat.
Jumlah pustu : 2 buah
Jumlah ponkedes : 2 buah
Jumlah poskesdes : 9 poskesdes

4.1.5 Sumber Daya Kesehatan


Sumber daya kesehatan merupakan unsur terpenting dalam
meningkatkan pembangunan kesehatan secara menyeluruh.Sumber daya
kesehatan terdiri dari tenaga, sarana dan dana yang tersedia untuk
pembangunan kesehatan.
a. Sarana Kesehatan
Ketersediaan sarana kesehatan yang cukup secara
jumlah/kuantitas dan kualitasbangunan merupakan salah satu
komponen lain di dalam sumber daya kesehatan.Pembangunan sarana
kesehatan harus dilengkapi dengan peralatan medis, peralatannon
medis, peralatan laboratorium beserta reagensia, alat pengolah data

19
kesehatan,peralatan komunikasi, kendaraan roda empat dan kendaraan
roda dua.
Di dalam kesehatan unit pelayanan kesehatan di bagi atas
beberapa kategori yaituPondok Bersalin Desa (Polindes), Poskesdes,
Puskesmas Pembantu (Pustu), Pusat KesehatanMasyarakat
(Puskesmas), Rumah Sakit Umum dan unit pelayanan tehnis lainnya.
Setiap unit-unit pelayanan yang ada harus dapat memenuhi
keterjangkauanmasyarakat terhadap pelayanan kesehatan.
Pembangunan unit tersebut harus berpedoman terhadap populasi
penduduk yang akan dilayani sehingga fungsi unit pelayanan
kesehatan dapat berjalan sesuai target yang diharapkan.
Berikut gambaran situasi sarana kesehatan dasar Puskesmas Tapen:
1. Puskesmas Pembantu
Jumlah Puskesmas Pembantu dalam wilayah kerja Puskesmas
Tapen adalah 2 unit
2. Sarana Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat
Dalam rangka meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan
kepadamasyarakat berbagai upaya dilakukan dengan memanfaatkan
potensi dansumber daya yang ada di masyarakat.Upaya kesehatan
bersumber daya masyarakat (UKBM) diantaranya adalah posyandu,
ponkesdes dan poskesdes.
a. Polindes/Poskesdes
Poskesdes merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat
dalam rangka mendekatkan pelayanan kebidanan melalui penyediaan
tempat pertolongan persalinan dan pelayanan kesehatan ibu dan anak
termasuk keluarga berencana. Jumlah polindes/Poskesdes yang ada
diwilayah kerja Puskesmas Tapen adalah 9 buah.

b. Tenaga Kesehatan
Penyelenggaraan pembangunan nasional yang berwawasan
kesehatan serta pembangunan kesehatan memerlukan berbagai jenis
tenaga kesehatan yang memiliki kemampuan melaksanakan upaya
kesehatan dengan paradigma sehat, yakni yang lebih mengutamakan

20
upaya peningkatan dan pemeliharaan kesehatan serta pencegahan
penyakit.Peningkatan kualitas harus menjadi prioritas utama.
Dalam pembangunan kesehatan diperlukan berbagai jenis tenaga
kesehatan yang memiliki kemampuan melaksanakan upaya kesehatan
dengan paradigma sehat, yang mengutamakan upaya peningkatan,
pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit.
Secara rasio tenaga kesehatan dinilai atas kecukupan tenaga
kesehatan terhadap jumlah penduduk yang dilayani. Jumlah tenaga
kesehatan saat ini terdiri dari tenaga kesehatan yang langsung
melayani masyarakat dan tenaga kesehatan yang berada pada
pelayanan administrasi.
Jumlah dan jenis sumberdaya kesehatan di Puskesmas Tapen
adalah sebesar 32 orang. Adapun jumlah SDM kesehatan dibedakan
menurut 7 kelompok, yaitu medis ,perawat-bidan, farmasi, gizi, teknis
medis, sanitasi, dan kesehatan masyarakat.

4.2 Hasil
4.2.1 Deskripsi Dukungan Keluarga
Tabel 4. Deksripsi dukungan keluarga
No Dukungan Jumlah Persentase

1 Baik 6 54%

2 Cukup 3 28%

3 Kurang 2 18%

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden


memiliki dukungan keluarga dalam kategori baik yaitu sebanyak 6 responden
(54%) sedangkan kategori cukup sebanyak 3 responden ( 28%) dan kategori
kurang sebanyak 2 responden (18%). Responden yang memberikan dukungan
keluarga baik sebesar (54%).

21
4.2.2 Deskripsi Kepatuhan Minum Obat
Tabel 6. Distribusi kepatuhan
No Kepatuhan Jumlah Persentase

1 Patuh 8 72%

2 Tidak patuh 3 28%

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar


responden memiliki kepatuhan mengkonsumsi obat dalam kategori patuh yaitu
sebanyak 8 responden (72%) dan kategori tidak patuh sebanyak 3 koresponden
( 28%)

4.2.3 Deksripsi Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Minum


Tabel 7. Dukungan keluarga dengan kepatuhan minum
Dukungan keluarga Kepatuhan minum obat Total
Patuh Tidak patuh
N% N%
Baik 6 0 6
Cukup 2 1 3
Kurang 0 2 2
Total 8 3 11

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dukungan keluarga yang


baik dan patuh 6 responden (54%), dukungan keluarga yang cukup dan patuh 2
responden (18%), dukungan keluarga yang kurang dan patuh 0 responden,
dukungan keluarga yang baik dan tidak patuh 0 responden, dukungan keluarga
yang cukup dan tidak patuh 1 responden (10%), dan dukungan keluarga yang
kurang dan tidak patuh 2 responden (18%).

22
23
BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Dukungan Keluarga

Hasil penelitian ini menunjukkan keluarga selalu memberikan dukungan


secara terus-menerus pada pasien gangguan jiwa. Hasil ini diperkuat oleh teori
yang yang dikemukakan oleh Rock & Dooley dalam Kuncoro (2002), bahwa
keluarga memainkan suatu peranan bersifat mendukung selama penyembuhan
dan pemulihan anggota keluarga sehingga mereka dapat mencapai tingkat
kesejahteraan optimal.
Dukungan keluarga sangat penting karena dengan kasih sayang, empati,
dan perhatian yang diberikan keluarga, pasien akan merasa dihargai dan dicintai.
Kondisi ini memungkinkan klien kooperatif dan mau minum obat (nasir 2011).
Dukungan yang dimiliki oleh seseorang dapat mencegah berkembangnya
masalah akibat tekanan yang dihadapi. Seseorang dengan dukungan yang tinggi
akan lebih berhasil menghadapi dan mengatasi masalahnya dibanding dengan
yang tidak memiliki dukungan (wardani 2012).
Sebagian besar hubungan responden dengan pasien adalah keluarga inti.
Friedman (1998) mengemukakan bahwa salah satu dukungan keluarga yaitu
dukungan penilaian, Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik
,membimbing dan menengahi pemecahan masalah. Kemampuan keluarga dalam
memberikan bimbingan mempengaruhi status kesehatan keluarga. Kesanggupan
keluarga melaksanakan pemeliharaan kesehatan dapat dilihat dari tugas kesehatan

24
keluarga yang dilaksanakan. Keluarga yang dapat melaksanakan tugas kesehatan
berarti sanggup menyelesaikan masalah kesehatan.

5.2 Kepatuhan Minum Obat

Hasil kepatuhan minum obat memiliki skor tertinggi sebesar 72% yaitu
pasien selalu minum obat sesuai dengan dosis yang diberikan puskesmas.
Kepatuhan minum obat sangat penting untuk pasien gangguan jiwa agar sembuh
dan mencegah kekambuhan. kepatuhan minum obat meliputi tingkat ketepatan
perilaku seorang individu dengan nasihat medis, penggunaan obat sesuai dengan
petunjuk serta mencakup penggunaan pada waktu yang benar (Arisandy 2011).

5.3 Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat

Hasil penenelitian menunjukkan dukungan keluarga dengan kepatuhan


minum obat adalah cukup 72% Bentuk dukungan keluarga terhadap pasien
gangguan jiwa puskesmas antara lain menyiapkan obat, mengawasi pasien ketika
minum obat, mengingatkan pasien ketika tiba waktu untuk minum obat,
mengantarkan pasien untuk kontrol, dan membeli obat ketika obat habis.
Hasil penelitian dukungan keluarga yang tidak patuh 28%. Hal ini
disebabkan keluarga tidak mengingatkan pasien dalam minum obat atau
memotivasi pasien gangguan jiwa, kurangnya pengawasan minum obat dan pasien
kurang mengerti dengan instruksi penggunaan obat. keluarga ketika mengantarkan
pasien hanya sekedar mengantarkan pasien untuk kontrol dan mengambil obat,
keluarga tidak memiliki inisiatif untuk menanyakan keadaan perkembangan
pasien Oleh karena itu Berdasarkan hasil penelitian di atas, peneliti berpendapat
bahwa dukungan keluarga berperan penting dengan kepatuhan minum obat pada
pasien gangguan jiwa.
Dukungan keluarga sangat diperlukan oleh pasien gangguan jiwa dalam
memberikan semangat dan motivasi kepada pasien gangguan jiwa selama
perawatan dan pengobatan. Hasil penelitian ini diperkuat oleh Niven (2002),
penderita akan merasa senang dan tentram apabila mendapat perhatian dan
dukungan dari keluarganya karena dukungan akan menimbulkan kepercayaan diri

25
untuk menghadapi atau mengelola penyakitnya dengan baik serta penderita mau
menuruti saran-saran yang diberikan oleh keluarga untuk menunjang pengelolaan
penyakitnya. Dukungan keluarga sangat penting untuk membantu pasien
bersosialisasi kembali, menciptakan kondisi lingkungan suportif, menghargai
pasien secara pribadi, dan membantu pemecahan masalah pasien.
Hasil penelitian ini ternyata tidak sejalan dengan hasil penelitian Elain
(2010), dimana penelitian Elain menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
persepsi keterlibatan keluarga dengan kepatuhan pengobatan pasien. Tidak adanya
hubungan tersebut disebabkan adanya kecenderungan penurunan hubungan
dukungan keluarga terhadap kepatuhan mengkonsumsi obat ditinjau dari sudut
pandang waktu. Keterlibatan keluarga dapat berdampak secara signifikan ketika
berlangsung pada waktu singkat, namun ketika dukungan keluarga dengan pasien
berlangsung lama, maka dampak keterlibatan keluarga terhadap kepatuhan pasien
cenderung menurun.
Hasil wawancara peneliti terhadap responden diketahui bahwa bentuk-
bentuk dukungan keluarga antara lain mereka senantiasa mengawasi ketika pasien
mengkonsumsi obat, dimana keluarga selalu meminta pasien untuk menghabiskan
obat. Keluarga juga berupaya untuk mampu memenuhi kebutuhan obat-obatan
yang dibutuhkan oleh pasien sesuai dengan dosis dan waktu. Keluarga juga
berupaya untuk senantiasa memantau perkembangan kesehatan pasien, sehingga
jika terjadi perubahan kesehatan, maka keluarga dapat segera melakukan
tindakan-tindakan yang terbaik.
Keterbatasan dari penelitian ini adalah pada penelitian ini jumlah
responden tidak sesuai karena kecilnya jumlah angka pasien gangguan jiwa di
wilayah kerja Puskesmas Tapen, usia responden di atas 40 tahun mengalami
kesulitan dalam mengisi kuesioner sehingga peneliti harus menjelaskan
keseluruhan isi kuesioner, dan pada saat menjawab responden kurang terbuka
tentang kondisi yang sebenarnya.

26
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Penelitian ini adalah sebesar 54% memberikan dukungan keluarga baik.
Untuk kepatuhan minum obat pada pasien gangguan jiwa didapatkan hasil
72% patuh dimana pasien gangguan jiwa minum obat sesuai dengan dosis
yang diberikan dari puskesmas. dukungan keluarga berperan penting
dengan kepatuhan minum obat pada pasien gangguan jiwa.

6.2 Saran
A. Bagi Keluarga
Bagi keluarga diharapkan meningkatkan dukungan penilaian seperti
memberikan pujian kepada pasien gangguan jiwa dan juga keluarga
harus melakukan pengawasan minum obat.
B. Bagi Petugas Kesehatan
Bagi petugas kesehatan hendaknya senantiasa memotivasi keluarga
untuk terus memberikan dukungan selama proses perawatan dirumah.
C. Bagi Masyarakat
Bagi Masyarakat hendaknya menghilangkan asumsi bahwa orang yang
mengalami gangguan jiwa tidak dapat sembuh, sehingga masyarat
diharapkan ikut berperan serta dalam proses penyembuhan pasien.
Masyarakat dapat membantu keluarga memberikan bantuan baik
motivasi maupun finansial sehingga proses pengobatan pasien dapat
dilakukan keluarga pasien dengan secara maksimal
D. Untuk Peneliti Selanjutnya.
Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai landasan dalam upaya
menindaklanjuti hasil penelitian yang ada kearah penelitian yang lebih
luas.
.

27
DAFTAR PUSTAKA

Arisandy W dan Ismalinda M, 2014. ‘Hubungan Dukungan Keluarga dengan


Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Skizofrenia di Poliklinik Rumah
Sakit dr.Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan”. Akademik
Keperawatan Aisyiyah.
Ashturkar, M.D., and Dixit, J.V. 2013. :Selected Epidemiological Aspect of
Schizophrenia: A Cross Section Study at Terytyari Care Hospital in
Maharashtra”. National Journal of Community Medicine. 4 (1): 65-69.
Depkes. 2007. “Kesehatan Jiwa Sebagai Prioritas Global”
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/394-kesehatan-
jiwa-sebagai-prioritas-global.html.
Elain, M. Edelman. 2010. “Patients Perception of Family Involvement and
Its Relationship to Medication Adherence for Persons with Schizophrenia
and Schizoaffective Disorders”. Journal. New Jersey: The State University
of New Jersey.
Julie Robinson, Richard Fortinsky, Alison Kleppinger,Noreen Shugrue, and
Martha Porter. 2009. “A Broader View of FamilyCaregiving: Effects of
Caregiving and Caregiver Conditions on Depressive Symptons, Health,
Work, and Social Isolation”. Oxford Journal. Oxford University Press on
behalf of The Gerontological Society of America.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Modul Pelatihan
Keluarga Sehat: Pokok Bahasan 2 Kesehatan Jiwa. Jakarta: Badan Pusat
Pelatihan SDM Kesehatan Kementerin Kesehatan Republik Indonesia.
Nasir A., Muhith A. 2011. Dasar-dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
Niven Nich Julie. 2002. Psikologi kesehatan universitas indonesia:
pengantar untuk perawat & professional kesehatan lain. Jakarta: EGC.
Towsend, M.C. 2011. Psychiatric Mental Health Nursing: Concepts of Care
In Evidence-Based Practice. Philadelphia: F.A. Davis Company.

28
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar
2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Sheila,L,2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Wardani I Y, Achir Y S H, Wiwin W dkk, 2012, Dukungan Keluarga: Faktor
Penyebab Ketidakatuhan Klien Skizofrenia Menjalani Pengobatan.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Univeritas Indonesia.
Yosep, I. 2009. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama.
World Health Organization. 2016. Mental Health. Geneva: World Health
Organization.
World Health Organization. 2017. Mental Health Atlas. Geneva: World
Health Organization.

29

Anda mungkin juga menyukai