PENDAHULUAN
kalangan pejabat dan masyarakat lapisan menengah ke atas juga terkena gangguan jiwa
(Sutatminingsih, Raras. 2002). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RisKesDa) 2007 disebutkan,
rata-rata nasional gangguan mental emosional ringan, seperti cemas dan depresi pada penduduk
berusia 15 tahun ke atas mencapai 11,6%, dengan angka tertinggi terjadi di Jawa Barat, sebesar
20%. Sedangkan yang mengalami gangguan mental berat, seperti psikotis, skizofrenia, dan
gangguan depresi berat, sebesar 0,46%. (Anonim, Depkes RI).
Klien skizofrenia tidak lagi dihospitalisasi untuk periode waku yang lama, tetapi kembali
hidup dimasyarakat dengan dukungan yang diberikan oleh keluarga dan layanan pendukung.
Klien dapat hidup bersama anggota keluarga, secara mandiri, atau dengan program residential
seperti group home tempat mereka menerima layanan yang dibutuhkan tanpa perlu dimasukan ke
rumah sakit. Program Assertive Community Treatment (ACT), terbukti berhasil dalam
mengurangi angka klien masuk rumah sakit melalui penatalaksanaan gejala dan pengobatan,
membantu klien memenuhi kebutuhan sosial, rekreasional, dan vokasional, serta memberi
dukungan kepada klien dan keluarga mereka (McGrew, Wilson & Bond,1996 dalam
Videbeck,2008).
Keluarga merupakan faktor yang sangat penting dalam proses kesembuhan pasien
skizofrenia. Keluarga merupakan lingkungan terdekat pasien, dengan keluarga yang bersikap
teurapeutik dan mendukung pasien, masa kesembuhan pasien dapat dipertahankan selama
mungkin. Sebaliknya, jika keluarga kurang mendukung, angka kekambuhan akan lebih cepat.
Berdasarkan penelitian bahwa angka kekambuhan pada pasien gangguan jiwa tanpa terapi
keluarga sebesar 25-50%, sedangkan angka kambuh pada pasien yang mendapatkan terapi
keluarga adalah sebesar 5-10% (Keliat,2009).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan di Kelurahan Kanigaran pada tahun 2015, terdapat
peningkatan angka rujukan ke Dokter Spesialis Jiwa dan Rumah Sakit Jiwa, sejak bulan Januari
hingga Juli 2015 meningkat di setiap bulannya. Umumnya pasien dirujuk karena mengalami
kekambuhan. Kekambuhan yang terjadi dari beberapa pemicu salah satunya oleh karena
ketidakpatuhan pasien minum obat atau karena dukungan keluarga terhadap anggota keluarga
yang sakit, dan mengalami putus obat .
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Minum Obat Pada Pasien
Skizofrenia di Puskesmas Kanigaran Kelurahan Kanigaran Kota Probolinggo
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu:
a. Berapa banyak penderita Skizofrenia yang teridentifikasi di wilayah kerja Puskesmas
Kanigaran?
b. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terhadap ketidakpatuhan minum obat pada
pasien Skizofrenia di wilayah kerja Puskesmas Kanigaran?
c. Apakah upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan minum obat pada
pasien Skizofrenia di Kelurahan Kanigaran?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat pada pasien
Skizofrenia di wilayah kerja Puskesmas Kanigaran.
1.3.2
Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan tentang pengertian, epidemiologi, etiologic, manifestasi klinis serta
terapi dari Skizofrenia
c. Mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk mendukung proses penyembuhan serta
mencegah terjadinya kekambuhan pada pasien Skizofrenia