Disusun Oleh :
Pendamping :
dr. Sukadi
NIP. 197202082008011008
KABUPATEN GRESIK
2020
Daftar Isi
BAB 1
PENDAHULUAN
Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara
fisik, mental, spiritual, dan sosial, sehingga individu menyadari kemampuan sendiri,
dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, serta mampu memberikan
kontribusi untuk komunitasnya. Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah orang
yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi
dalam sekumpulan gejala dan atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat
menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi luhur sebagai
manusia dalam keseharian (seperti pekerjaan dan sosial). Gangguan jiwa merupakan
diagnosis, berbeda dengan masalah kesehatan jiwa. Pada masalah kesehatan jiwa
mungkin saja terdapat gejala, tetapi bukan kumpulan gejala lengkap, tidak berlangsung
lama, dan belum menimbulkan gangguan fungsi sehari-hari. Sehingga, Orang Dengan
Masalah Kejiwaan (ODMK) merupakan orang yang mempunyai masalah fisik, mental,
sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko
mengalami gangguan jiwa (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yang dilakukan oleh Kementerian
Republik Indonesia menyimpulkan bahwa prevalensi ganggunan mental emosional
seperti depresi dan kecemasan (anxietas) pada usia ≥ 15 tahun mencapai sekitar 14 juta
jiwa atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat
(psikosis), seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 jiwa atau sebanyak 1,7 per 1.000
penduduk. Jumlah gangguan jiwa berat tahun 2013 tersebar di berbagai provinsi dengan
jumlah terbanyak di Daerah Istimewa Yogyakarta (0,27%) dan Aceh ( 0,27%), kemudian
Sulawesi Selatan (0,26%), disusul oleh Bali (0,23%) dan Jawa Tengah (0,23%). Masalah
kesehatan jiwa tersebut di atas jika tidak segera ditangani dapat menurunkan status
kesehatan fisik dan menimbulkan dampak psikososial antara lain tindak kekerasan,
penyalahgunaan napza, pemasungan, maupun tindakan percobaan bunuh diri (Riset
Kesehatan Dasar, 2013).
Estimasi WHO tentang ODGJ yang belum mendapatkan layanan kesehatan jiwa
di negara-negara berkembang seperti Indonesia adalah >85%. Gangguan jiwa yang tidak
tertangani dengan baik dan tidak teratur berobat/ minum obat dapat mengakibatkan gejala
semakin sulit untuk diatasi, menahun, dengan penurunan fungsi perawatan diri dan sosial
yang semakin berat. Pemasungan pada ODGJ merupakan dampak ekstrem dan tidak
adanya akses terhadap layanan kesehatan jiwa. Pemasungan adalah bentuk pengekangan
kebebasan yang dilakukan pada ODGJ di komunitas yang mengakibatkan perampasan
kebebasan untuk mengakses layanan yang dapat membantu pemulihan fungsi ODGJ
tersebut. Berdasarkan Riskesdas (2013), sebanyak 14,3% dari penduduk yang mengalami
gangguan jiwa berat tersebut mengatakan pernah dipasung Pemasungan ODGJ tidak
dibenarkan dan melanggar hak asasi manusia. Tindak pemasungan sebagian besar
dilakukan oleh keluarga inti sebagai upaya perlindungan akibat perilaku kekerasan yang
berpotensi dilakukan ODGJ akibat gejala yang dialami dan tidak dapat diatasi akibat
kurangnya pengetahuan, kesulitan akses dan keterjangkauan ke layanan kesehatan jiwa
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).
Gangguan jiwa sangat beragam jenisnya, mulai dari yang ringan hingga berat.
Informasi yang akurat dari pihak keluarga akan sangat membantu para tenaga pemberi
layanan kesehatan jiwa untuk melakukan diagnosa dan menentukan perawatan yang tepat
bagi ODGJ. Pada akhirnya, diharapkan ODGJ dapat berangsur-angsur mengembalikan
kualitas hidup mereka dan kembali menjadi manusia yang produktif dan mandiri.
Skizofrenia adalah gangguan mental yang sangat berat. Gangguan ini ditandai dengan
gejala-gejala positif seperti pembicaraan kacau, delusi, halusinasi, gangguan kognitif dan
berkurangnya keinginan bicara dan miskinnya isi pembicaraan, afek yang datar; serta
masalah,, kehidupan afek dan mengganggu relasi sosial. Kesemuanya itu mengakibatkan
mereka dianggap sebagai orang yang aneh dan dipandang lebih negatif dibandingkan
dengan gangguan mental lainnya. Stigma “orang gila, orang yang berbahaya”
menyebabkan penderita sulit diterima dan berinteraksi dengan orang normal, akibatnya
dan memiliki efek mendalam pada kehidupan pasien, keluarga dan masyakat. (D.
Christenson, Jacob; D. Russell Crane; Katherine M. Bell; Andrew R. Beer & Harvey H.
Hillin, 2014).
Skizofrenia juga merupakan gangguan jiwa yang lebih banyak dialami oleh
beberapa orang dibandingkan penderita gangguan jiwa lainnya yang umumnya menyerang
pada usia produktif dan merupakan penyebab utama disabilitas kelompok usia 15-44
tahun (Davison, 2010). Skizofrenia tidak hanya menjadi gangguan yang banyak dialami,
gangguan ini adalah salah satu gangguan jiwa dengan output kesembuhan yang kurang
begitu baik . Sampai saat ini para ahli belum mendapatkan kesepakatan tentang definisi
baku dari kekambuhan skizofrenia. Insiden kambuh pasien skizofrenia adalah tinggi, yaitu
berkisar 60%-75% setelah suatu episode psikotik jika tidak diterapi. Robinson juga
melaporkan angka yang sama (74%) pada pasien yang tidak teratur minum obat. Dari 74
2009).
terdapat satu juta orang di Indonesia mengalami gangguan skizofrenia (Viora, dalam
Nainggolan 2013). Sementara menurut data WHO, diperkirakan pada tahun 2013 jumlah
penderita skizofrenia meningkat hingga mencapai 450 juta jiwa di seluruh dunia
(Nainggolan, 2013). Laporan WHO menyebutkan satu dari empat orang bakal menderita
gangguan mental atau neurologis pada satu saat dalam kehidupannya. Artinya, hampir
setiap orang berisiko menderita gangguan jiwa. Saat ini diperkirakan 450 juta orang
alkohol dan penyalahgunaan obat. Tak kurang dari 121 juta orang mengalami depresi, 50
juta orang menderita epilepsi, dan 24 juta orang mengidap skizofrenia. Berdasarkan survei
tentang gangguan jiwa di Indonesia tahun 1995 tercatat sebanyak 44,6 per 1000 penduduk
Indonesia menderita gangguan jiwa berat seperti skizofrenia. Data ini memperlihatkan
peningkatan yang cukup bermakna jika dibandingkan data tahun 1980-an dimana
penderita skizofrenia di Indonesia hanya 1-2 tiap 1000 penduduk (Elina, Soewadi, &
Dibyo, 2010).
Keluarga merupakan faktor yang sangat penting dalam proses kesembuhan pasien
Skizofrenia. Keluarga yang bersikap terapeutik dan mendukung pasien, masa kesembuhan
pasien dapat dipertahankan selama mungkin. Sebaliknya, jika keluarga kurang mendukung,
angka kekambuhan akan lebih cepat. Berdasarkan penelitian bahwa angka kekambuhan
pada pasien gangguan jiwa tanpa terapi keluarga sebesar 25-50%, sedangkan angka kambuh
pada pasien yang mendapatkan terapi keluarga adalah sebesar 5-10% (Keliat, 2011).
Keluarga merupakan suatu ikatan atau persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara
orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki atau seorang
perempuan yang sudah sendiri dengan atau tanpa anak, baik anaknya sendiri atau adopsi, dan
tinggal dalam sebuah rumah tangga (Sayekti, 1944 dalam Setiadi, 2008).
Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan, dan penerimaan terhadap penderita yang
sakit. Keluarga juga befungsi sebagai sistem pendukung bagi anggotanya dan anggota keluarga
memandang bahwa orang yang bersifat mendukung, selalu siap memberikan pertolongan
dengan bantuan jika diperlukan. Dukungan keluarga dapat berupa dukungan informasi,
dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan emosional (Friedman, 2010).
Pasien gangguan jiwa dalam masa rehabilitasi yang dirawat oleh keluarga sendiri di
rumah atau rawat jalan memerlukan dukungan untuk mematuhi program pengobatan. Jadi,
keluarga merupakan peranan penting yang bersifat mendukung selama masa penyembuhan dan
pemulihan pasien. Apabila dukungan semacam ini tidak ada, maka keberhasilan
penyembuhan/pemulihan (rehabilitasi) sangat berkurang (Friedman, 1998).
Faktor-faktor yang penting dalam kepatuhan terhadap program-program medis salah
satunya adalah dukungan dari anggota keluarga. Keluarga dapat mengurangi ansietas yang
disebabkan oleh penyakit tertentu dan dapat mengurangi godaan terhadap ketidakpatuhan
(Niven, 2004). Pasien akan tetap sembuh, tetap sakit
Dengan melihat masalah-masalah yang ada pada Skizofrenia dan kurangnya
penanganan Skizofrenia yang holistik dan terintegrasi. Kami membuat program mini
project yaitu Program Penanganan Skizofrenia yang holistik dan terintegrasi dengan
membuat kader skizofrenia; melakukan penyuluhan, diskusi dan tanda tangan komitmen
kerjasama antara keluarga dan kader; serta pembuatan buku kontrol untuk pasien
skizofrenia.
1. Kasus Skizofrenia merupakan kasus gangguan jiwa berat yang memiliki prevalensi
cukup tinggi dan memerlukan penanganan yang holistik dan terintegrasi karena
pemberdayaan masyrakat.
3. Puskesmas Cerme belum memiliki program yang holistik dan terintegrasi untuk
penanganan Skizofrenia
1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang ingin penulis capai dalam mini project ini adalah sebagai berikut :
Skizofrenia
1.4 Manfaat
Sebagai sarana bagi Dokter untuk belajar melakukan pembinaan terhadap masyarakat
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
KERANGKA KONSEP
Hasil dari proses identifikasi, dipilih empat masalah. Permasalahan ini tidak
hanya dilihat dari kesenjangan antara target dan pencapaian, tetapi juga dilihat dari
urgensi, intervensi, ketersediaan biaya yang dapat diupayakan, dan dampak yang
dihasilkan terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
1. Penyakit Tuberkulosis
2. Penyakit Jiwa
3. Penyakit Hipertensi
4. Rokok
1. Penyakit Tuberkulosis 3 4 4 11 II
2. Penyakit Jiwa 4 4 4 12 I
4. Rokok 2 4 3 9 IV
Pemberian Skor dalam metode USG ini dilakukan diskusi dengan pemegang
program, dokter pembimbing di Puskesmas dan dokter Kepala Puskesmas sehingga
dipilih masalah penyakit Jiwa yang menjadi prioritas masalah
Dari hasil analisis sebab akibat masalah tersebut, maka dapat disimpulkan
dalam diagram Ischikawa (diagram tulang ikan/fishbone) sebagai berikut :
BAB 4
PEMECAHAN MASALAH
1. 1. Man: 1. Man:
Melakukan kunjungan
Penderita skizofrenia tidak berobat rumah, yang bekerja sama
karena tidak ada yang merawat. dengan perawat dan
Belum ada kader khusus perangkat desa.
skizofrenia di wilayah kerja Pembentukan kader
Skizofrenia serta melakukan
Puskesmas Cerme.
pelatihan pada kader yang
dibentuk.
2. Method:
2. Method:
Keluarga dan masyarakat tidak
Sosialisasi sistem rujukan
mengetahui cara merujuk penderita
bagi penderita skizofrenia
skizofrenia.
yang terlantar atau tidak
Penderita skizofrenia tidak
berobat.
mendapat obat dan terlantar.
Pembentukan program kader
Belum ada program untuk
jiwa.
menangani skizofrenia secara
holistik dan terintegrasi antara
kader dan keluarga. 3. Material:
Pemberian leaflet.
3. Material: Pembuatan buku kontrol
skizofrenia untuk masing-
masing pasien.
Media promosi tidak ada.
Belum ada sarana untuk pencatatan 4. Environment :
dan pengontrolan kondisi medis
dan pengobatan pasien Skizofrenia Melaksanakan penyuluhan
secara khusus. dan diskusi Skizofrenia pada
kader dan keluarga.
Melakukan penandatangan
komitmen kerjasama
4. Environment : penanganan Skizofrenia
antara kader dan keluarga
Kurangnya pengetahuan pasien.
masyarakat tentang penyakit jiwa
dan cara pengobatannya.
Masyarakat tidak mengerti kalau
penderita skizofrenia bisa dirawat
dan di bawa ke dinas social bila
tidak ada yang mengurus.
Uraian Kegiatan :
Total = 98.400.000
Total = 23.370.000
4.3 JJ
4.4 HH
BAB 5
PEMBAHASAN
5.1 HUSDFGHS
5.2 KJSGYS
BAB 6
BAB 7
DAFTAR PUSTAKA