Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

DIABETES MELITUS TIPE 2

PEMBIMBING :

dr. Henry Simon Saragih, SpPD

OLEH :
IRVANDI 406138063
BUDI HARTONO 406138071
DINDA VALUPI 406138079
KARTIKA EDA C. 406138096

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Sentra Medika Cisalak - Depok
19 Mei 5 Juli 2014

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Manfaat Penulisan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DIABETES MELITUS TIPE 2

A. Pengertian Diabetes Mellitus Tipe 2


B. Patofisiologi Diabetes Mellitus Tipe 2
C. Etiologi Diabetes Melitus Tipe 2
D. Gambaran Klinis
E. Diagnosa Diabetes Melitus Tipe 2
F. Faktor Resiko Diabetes Mellitus Tipe 2
G. Komplikasi Diabetes Melitus

BAB III PENANGGULANGAN DIABETES MELLITUS TIPE 2

A. Strategi Penggulangan Diabetes Melitus Tipe 2


B. Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2
C. Penanggulangan Diabetes Mellitus Tipe 2

BAB IV PENUTUP

Kesimpulan

2
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan Indonesia diarahkan guna mencapai pemecahan masalah


kesehatan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan
yang optimal. Masalah kesehatan dapat dipengaruhi oleh pola hidup, pola makan,
lingkungan kerja, olahraga dan stres. Perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar,
menyebabkan meningkatnya prevalensi penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung,
hipertensi, hiperlipidemia, diabetes melitus (DM) dan lain-lain (Waspadji, 2009).
Diabetes Melitus merupakan penyakit menahun yang ditandai oleh kadar gula darah
yang tinggi dan gangguan metabolisme pada umumnya, yang pada perjalanannya bila tidak
dikendalikan dengan baik akan menimbulkan berbagai komplikasi baik yang akut maupun
yang menahun. Kelainan dasar dari penyakit ini ialah kekurangan hormon insulin yang
dihasilkan oleh pankreas, yaitu kekurangan jumlah dan atau dalam kerjanya ( Isniati,2003).
Jumlah Penderita diseluruh dunia Jumlah penderita di seluruh dunia tahun 1998 yaitu 150
juta, tahun 2000 yaitu 175,4 juta diperkirakan tahun 2010 yaitu 279 juta (Murwani,
2007).
Berdasarkan Riskesdas 2007 , Prevalensi penyakit DM di Indonesia berdasarkan
diagnosis oleh tenaga kesehatan adalah 0,7% sedangkan prevalensi DM (D/G) sebesar 1,1%.
Data ini menunjukkan cakupan diagnosis DM oleh tenaga kesehatan mencapai 63,6%, lebih
tinggi dibandingkan cakupan penyakit asma maupun penyakit jantung. Prevalensi nasional
Penyakit Diabetes Melitus adalah 1,1% (berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala).
Menurut konsensus Pengelolaan Diabetes melitus di Indonesia penyuluhan dan
perencanaan makan merupakan pilar utama penatalaksanaan DM. Oleh karena itu
perencanaan makan dan penyuluhannya kepada pasien DM haruslah mendapat perhatian
yang besar (Waspadji, 2009).
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Diabetes Mellitus Tipe 2?
2. Bagaimana patofisiologi Diabetes Mellitus Tipe 2
3. Apa saja etiologi Diabetes Mellitus Tipe 2?
4. Bagaimana gambaran klinis Diabetes Mellitus Tipe 2?
5. Bagaimana mendiagnosa Diabetes Mellitus Tipe 2?
6. Apa saja faktor risiko Diabetes Mellitus Tipe 2?

4
7. Apa saja komplikasi Diabetes Melitus?
8. Bagaimanakan strategi penanggulangan Diabetes Mellitus Tipe 2?
9. Bagaimana upaya pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2?
10. Bagaimana upaya penanggulangan Diabetes Mellitus Tipe 2?

C. Manfaat Penulisan

Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa :

1. Menambah pengetahuan tentang konsep terjadinya DM secara multikausal

2. Memberi informasi kepada masyarakat khususnya kaum pembaca terlebih


bagi penulis sendiri dalam upaya penanggulangan DM

5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DIABETES MELITUS TIPE 2

A. Pengertian Diabetes Mellitus Tipe 2

Dalam DM Tipe 2, pankreas dapat menghasilkan cukup jumlah insulin untuk


metabolisme glukosa (gula), tetapi tubuh tidak mampu untuk memanfaatkan secara efisien.
Seiring waktu, penurunan produksi insulin dan kadar glukosa darah meningkat (Adhi, 2011).
Diabetes mellitus sebelumnya dikatakan diabetes tidak tergantung insulin atau diabetes pada
orang dewasa. Ini adalah istilah yang digunakan untuk individu yang relatif terkena
diabetes (bukan yang absoult) defisiensi insulin. Orang dengan jenis diabetes ini biasanya
resisten terhadap insulin. Ini adalah diabetes sering tidak terdiagnosis dalam jangka waktu
yang lama karena hiperglikemia ini sering tidak berat cukup untuk memprovokasi gejala
nyata dari diabetes. Namun demikian, pasien tersebut adalah risiko peningkatan
pengembangan komplikasi macrovaskular dan mikrovaskuler (WHO,1999). Faktor yang
diduga menyebabkan terjadinya resistensi insulin dan hiperinsulinemia ini adalah adanya
kombinasi antara kelainan genetik, obesitas, inaktifitas, faktor lingkungan dan faktor
makanan (Tjekyan, 2007).

B. Patofisiologi Diabetes Mellitus Tipe 2

Pada DM tipe 2, sekresi insulin di fase 1 atau early peak yang terjadi dalam 3-10
menit pertama setelah makan yaitu insulin yang disekresi pada fase ini adalah insulin
yang disimpan dalam sel beta (siap pakai) tidak dapat menurunkan glukosa darah
sehingga merangsang fase 2 adalah sekresi insulin dimulai 20 menit setelah stimulasi
glukosa untuk menghasilkan insulin lebih banyak, tetapi sudah tidak mampu
meningkatkan sekresi insulin sebagaimana pada orang normal. Gangguan sekresi sel beta
menyebabkan sekresi insulin pada fase 1 tertekan, kadar insulin dalam darah turun
menyebabkan produksi glukosa oleh hati meningkat, sehingga kadar glukosa darah puasa
meningkat. Secara berangsur-angsur kemampuan fase 2 untuk menghasilkan insulin akan
menurun. Dengan demikian perjalanan DM tipe 2, dimulai dengan gangguan fase 1 yang
menyebabkan hiperglikemi dan selanjutnya gangguan fase 2 di mana tidak terjadi
hiperinsulinemi akan tetapi gangguan sel beta. Penelitian menunjukkan adanya hubungan

6
antara kadar glukosa darah puasa dengan kadar insulin puasa. Pada kadar glukosa darah
puasa 80-140 mg/dl kadar insulin puasa meningkat tajam, akan tetapi jika kadar glukosa
darah puasa melebihi 140 mg/dl maka kadar insulin tidak mampu meningkat lebih tinggi
lagi; pada tahap ini mulai terjadi kelelahan sel beta menyebabkan fungsinya menurun.
Pada saat kadar insulin puasa dalam darah mulai menurun maka efek penekanan insulin
terhadap produksi glukosa hati khususnya glukoneogenesis mulai berkurang sehingga
produksi glukosa hati makin meningkat dan mengakibatkan hiperglikemi pada puasa.
Faktor-faktor yang dapat menurunkan fungsi sel beta diduga merupakan faktor yang
didapat (acquired) antara lain menurunnya massa sel beta, malnutrisi masa kandungan
dan bayi, adanya deposit amilyn dalam sel beta dan efek toksik glukosa (glucose
toXicity) (Schteingart, 2005 dikutip oleh Indraswari, 2010).
Pada sebagian orang kepekaan jaringan terhadap kerja insulin tetap dapat
dipertahankan sedangkan pada sebagian orang lain sudah terjadi resistensi insulin dalam
beberapa tingkatan. Pada seorang penderita dapat terjadi respons metabolik terhadap
kerja insulin tertentu tetap normal, sementara terhadap satu atau lebih kerja insulin yang
lain sudah terjadi gangguan. Resistensi insulin merupakan sindrom yang heterogen,
dengan faktor genetik dan lingkungan berperan penting pada perkembangannya. Selain
resistensi insulin berkaitan dengan kegemukan, terutama gemuk di perut, sindrom ini
juga ternyata dapat terjadi pada orang yang tidak gemuk. Faktor lain seperti kurangnya
aktifitas fisik, makanan mengandung lemak, juga dinyatakan berkaitan dengan
perkembangan terjadinya kegemukan dan resistensi insulin (Indraswari, 2010).

C. Etiologi Diabetes Mellitus Tipe 2


Yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan sekresi insulin yang progresif
dan adanya resistensi insulin. Pada pasien-pasien dengan Diabetes Mellitus tak tergantung
insulin (NIDDM), penyakitnya mempunyai pola familial yang kuat. NIDDM ditandai
dengan adanya kelainan dalam sekresi insulin maupun dalam kerja insulin. Pada awalnya
kelihatan terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula
mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi
intraselular yang meningkatkan transport glukosa menembus membrane sel. Pada pasien-
pasien dengan NIDDM terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Ini

7
dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsive insulin pada
membrane sel. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin
dengan sistem transport glukosa. Kadar glukosa normal dapat dipertahankan dalam waktu
yang cukup lama dengan meningkatkan sekresi insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin
menurun, dan jumlah insulin yang beredar tidak lagi memadai untuk mempertahankan
euglikemia. Sekitar 80% pasien NIDDM mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan
dengan resistensi insulin, maka kemungkinan besar gangguan toleransi glukosa dan diabetes
mellitus yang pada akhirnya terjadi pada pasien-pasien NIDDM merupakan akibat dari
obesitasnya. Pengurangan berat badan seringkali dikaitkan dengan perbaikan dalam
sensitivitas insulin dan pemilihan toleransi glukosa (Rakhmadany,2010).
D. Gambaran Klinis
Beberapa keluhan dan gejala yang perlu mendapat perhatian ialah (Agustina, 2009):
Keluhan Klasik
a. Penurunan berat badan
Penurunan berat badan yang berlangsung dalam waktu relatif singkat harus
menimbulkan kecurigaan. Hal ini disebabkan glukosa dalam darah tidak dapat masuk
ke dalam sel, sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan tenaga. Untuk
kelangsungan hidup, sumber tenaga terpaksa diambil dari cadangan lain yaitu sel
lemak dan otot. Akibatnya penderita kehilangan jaringan lemak dan otot sehingga
menjadi kurus.
b. Banyak kencing
Karena sifatnya, kadar glukosa darah yang tinggi akan menyebabkan banyak
kencing. Kencing yang sering dan dalam jumlah banyak akan sangat mengganggu
penderita, terutama pada waktu malam hari.
c. Banyak minum
Rasa haus sering dialami oleh penderita karena banyaknya cairan yang keluar
melalui kencing. Keadaan ini justru sering disalah tafsirkan. Dikira sebab rasa haus
ialah udara yang panas atau beban kerja yang berat. Untuk menghilangkan rasa haus
itu penderita minum banyak.
c. Banyak makan
Kalori dari makanan yang dimakan, setelah dimetabolisme menjadi glukosa dalam
darah tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan, penderita selalu merasa lapar.
Keluhan lain:

8
a. Gangguan saraf tepi / Kesemutan
Penderita mengeluh rasa sakit atau kesemutan terutama pada kaki di waktu
malam, sehingga mengganggu tidur. Gangguan penglihatan Pada fase awal penyakit
Diabetes sering dijumpai gangguan penglihatan yang mendorong penderita untuk
mengganti kacamatanya berulang kali agar ia tetap dapat melihat dengan baik.
b. Gatal / Bisul
Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di daerah kemaluan atau daerah
lipatan kulit seperti ketiak dan di bawah payudara. Sering pula dikeluhkan timbulnya
bisul dan luka yang lama sembuhnya. Luka ini dapat timbul akibat hal yang sepele
seperti luka lecet karena sepatu atau tertusuk peniti.
c. Gangguan Ereksi
Gangguan ereksi ini menjadi masalah tersembunyi karena sering tidak secara terus
terang dikemukakan penderitanya. Hal ini terkait dengan budaya masyarakat yang
masih merasa tabu membicarakan masalah seks, apalagi menyangkut kemampuan atau
kejantanan seseorang.
d. Keputihan
Pada wanita, keputihan dan gatal merupakan keluhan yang sering ditemukan dan
kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala yang dirasakan.
E. Diagnosa Diabetes Melitus Tipe 2
Dalam menegakkan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil
dan cara pemeriksaan yang dipakai (Shahab,2006).
a. Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan salah satu faktor
risiko untuk DM, yaitu:
1) Kelompok usia dewasa tua ( > 45 tahun )
2) Kegemukan {BB (kg) > 120% BB idaman atau IMT > 27 (kg/m2)}
3) Tekanan darah tinggi (> 140/90 mmhg)
4) Riwayat keluarga DM
5) Riwayat kehamilan dengan bb lahir bayi > 4000 gram
6) Riwayat dm pada kehamilan
7) Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl
8) Pernah TGT (toleransi glukosa terganggu) atau GDPT (glukosa darah puasa
terganggu)

Tabel 1.

9
Kadar glukosa darah sewaktu* dan puasa* sebagai patokan penyaring dan diagnosis
DM (mg/dl)

Kadar glukosa darah sewaktu

Bukan DM Belum pasti DM DM

Plasma Vena < 100 100 199 200

Darah Kapiler < 90 90 - 199 200

Kadar glukosa darah puasa

Bukan DM Belum pasti DM DM

Plasma Vena < 100 100 125 126

Darah Kapiler
< 90 90 - 99 100

Sumber : Perkeni, 2011


Keterangan:
*metode enzimatik
b. Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia, lemah, dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah
kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensia pada pasien pria, serta pruritus vulvae
pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200
mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk
kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu
kali saja abnormal , belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis klinis DM.

10
Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan menddapatkan sekali lagi angka abnormal,
baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl
pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang abnormal.
Cara pelaksanaan TTGO menurut WHO 1985
1) 3 (tiga) hari sebelumnya makan seperti biasa
2) Kegiatan jasmani secukupnya, seperti yang biasa dilakukan
3) Puasa semalam, selama 10-12 jam
4) Kadar glukosa darah puasa diperiksa
5) Diberikan glukosa 75 gram atau 1,75 gram/kgbb, dilarutkan dalam air 250 ml dan
diminum selama/dalam waktu 5 menit
6) Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa; selama
pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.
Kriteria diagnostik Diabetes Melitus*
1) Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl , atau
2) Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl (Puasa berarti tidak ada
masukan kalori sejak 10 jam terakhir ) atau
3) Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada
TTGO**
* Kriteria diagnostik tsb harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain, kecuali untuk
keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis
atau berat badan yang menurun cepat.
**Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin diklinik
F. Faktor Resiko Diabetes Mellitus Tipe 2
Adapun Faktor resikonya yaitu (Rakhmadany, 2010):
Unchangeable Risk Factor
1. Kelainan Genetik
Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap
diabetes mellitus, karena kelainan gen yang mengakibatkan tubuhnya tak
dapat menghasilkan insulin dengan baik.
2. Usia
Umumnya manusia mengalami perubahan fisiologis yang secara drastis
menurun dengan cepat setelah usia 40 tahun. Diabetes sering muncul setelah
seseorang memasuki usia rawan tersebut, terutama setelah usia 45 tahun pada
mereka yang berat badannya berlebih, sehingga tubuhnya tidak peka lagi
terhadap insulin.
Changeable risk factor
1. Stress

11
Stress kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan yang
manis-manis dan berlemak tinggi untuk meningkatkan kadar serotonin otak.
Serotonin ini memiliki efek penenang sementara untuk meredakan stress,
tetapi gula dan lemak itulah yang berbahaya bagi mereka yang beresiko
terkena diabetes mellitus.
2. Pola Makan yang Salah
Kurang gizi atau kelebihan berat badan keduanya meningkatkan resiko
terkena diabetes mellitus. Kurang gizi (malnutrisi) dapat merusak pankreas,
sedangkan berat badan lebih (obesitas) mengakibatkan gangguan kerja insulin
( resistensi insulin).
3. Minimnya Aktivitas Fisik
Setiap gerakan tubuh dengan tujuan meningkatkan dan mengeluarkan
tenaga dan energi, yang biasa dilakukan atau aktivitas sehari-hari sesuai
profesi atau pekerjaan. Sedangkan faktor resiko penderita DM adalah mereka
yang memiliki aktivitas minim, sehingga pengeluaran tenaga dan energi hanya
sedikit.
4. Obesitas
80% dari penderita NIDDM adalah Obesitas/gemuk.
5. Merokok
Sebuah universitas di Swiss membuat suatu analisis 25 kajian yang
menyelidiki hubungan antara merokok dan diabetes yang disiarkan antara
1992 dan 2006, dengan sebanyak 1,2 juta peserta yang ditelusuri selama 30
tahun. Mereka mendapati resiko bahkan lebih tinggi bagi perokok berat.
Mereka yang menghabiskan sedikitnya 20 batang rokok sehari memiliki
resiko terserang diabetes 62% lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang
tidak merokok. Merokok dapat mengakibatkan kondisi yang tahan terhadap
insulin, kata para peneliti tersebut. Itu berarti merokok dapat mencampuri cara
tubuh memanfaatkan insulin. Kekebalan tubuh terhadap insulin biasanya
mengawali terbentuknya Diabetes tipe 2.
6. Hipertensi
Pada orang dengan diabetes mellitus, hipertensi berhubungan dengan
resistensi insulin dan abnormalitas pada sistem renin-angiotensin dan

12
konsekuensi metabolik yang meningkatkan morbiditas. Abnormalitas
metabolik berhubungan dengan peningkatan diabetes mellitus pada kelainan
fungsi tubuh/ disfungsi endotelial. Sel endotelial mensintesis beberapa
substansi bioaktif kuat yang mengatur struktur fungsi pembuluh darah.
G. Komplikasi Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang akan diderita seumur
hidup, sehingga progesifitas penyakit ini akan terus berjalan dan pada suatu saat akan
menimbulkan komplikasi. Penyakit DM biasanya berjalan lambat dengan gejala-gejala
yang ringan sampai berat, bahkan dapat menyebabkan kematian akibat baik komplikasi
akut maupun kronis.
1. Komplikasi Akut DM
Ada tiga komplikasi akut DM yang penting dan berhubungan dengan gangguan
keseimbangan kadar gula darah jangka pendek.
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi jika kadar gula darah turun hingga 60 mg/dl.
Keluhan dan gejala hipoglikemia dapat bervariasi, tergantung sejauh mana
glukosa darah turun. Keluhan pada hipoglikemia pada dasarnya dapat dibagi
dalam dua kategori, yaitu keluhan akibat otak tidak mendapat kalori yang cukup
sehingga mengganggu fungsi intelektual dan keluhan akibat efek samping hormon
lain yang berusaha meningkatkan kadar glukosa dalam darah (Tandra, 2007).
b. Ketoasidosis Diabetik
Pada DM yang tidak terkendali dengan kadar gula darah yang terlalu
tinggi dan kadar insulin yang rendah, maka tubuh tidak dapat menggunakan
glukosa sebagai sumber energi. Sebagai gantinya tubuh akan memecah lemak
sebagai sumber energi alternatif. Pemecahan lemak tersebut kemudian
menghasilkan badan-badan keton dalam darah atau disebut dengan ketosis.
Ketosis inilah yang menyebakan derajat keasaman darah menurun atau disebut
dengan istilah asidosis. Kedua hal ini lantas disebut dengan istilah ketoasidosis.
Adapun gejala dan tanda-tanda yang dapat ditemukan pada pasien ketoasidosis
diabetes adalah kadar gula darah > 240 mg/dl, terdapat keton pada urin, dehidrasi
karena terlalu sering berkemih, mual, muntah, sakit perut, sesak napas, napas
berbau aseton, dan kesadaran menurun hingga koma (Nabyl, 2009).

13
c. Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Nonketotik (HHNK)
Sindrom HHNK merupakan keadaan yang didominasi oleh
hiperosmolaritas dan hiperglikemia serta diikuti oleh perubahan tingkat
kesadaran. Kelainan dasar biokimia pada sindrom ini berupa kekurangan insulin
efektif. Keadaan hiperglikemia persisten menyebabkan diuresis osmotik sehingga
terjadi kehilangan cairan dan elektrolit. Untuk mempertahankan keseimbangan
osmotik, cairan akan berpindah dari ruang intrasel ke ruang ekstrasel. Dengan
adanya glukosuria dan dehidrasi, akan dijumpai keadaaan hipernatremia dan
peningkatan osmolaritas. Salah satu perbedaan utama antar HHNK dan
ketoasidosis diabetes adalah tidak terdapatnya ketosis dan asidosis pada HHNK.
Perbedaan jumlah insulin yang terdapat pada masing-masing keadaan ini
dianggap penyebab parsial perbedaan di atas.
Gambaran klinis sindrom HHNK terdiri atas gejala hipotensi, dehidrasi
berat, takikardi, dan tanda-tanda neurologis yang bervariasi (Brunner & Suddarth,
2001).
2. Komplikasi Kronis DM
a. Komplikasi Makrovaskular
Tiga jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada pasien
DM adalah penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit
pembuluh darah perifer. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien DM tipe II
yang umumnya menderita hipertensi, dislipidemia, dan atau kegemukan (Nabyl,
2009).
Komplikasi ini timbul akibat aterosklerosis dan tersumbatnya
pembuluhpembuluh darah besar, khususnya arteri akibat timbunan plak ateroma.
Komplikasi makrovaskular atau makroangiopati tidak spesifik pada diabetes,
namun pada DM timbul lebih cepat, lebih sering, dan lebih serius. Berbagai studi
epidemiologi menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit kardiovaskular
dan diabetes meningkat 4 -5 kali dibandingkan pada orang normal. Komplikasi
makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya dengan kontrol kadar gula
darah yang baik. Tetapi telah terbukti secara epidemiologi bahwa angka kematian
akibat hiperinsulinemia merupakan suatu faktor resiko mortalitas kardiovaskular,

14
di mana peninggian kadar insulin menyebabkan resiko kardiovaskular semakin
tinggi pula. Kadar insulin puasa > 15 mU/ml akan meningkatkan resiko mortalitas
kardiovaskular sebanyak 5 kali lipat. Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor
aterogenik dan diduga berperan penting dalam menyebabkan timbulnya
komplikasi makrovaskular.
b. Komplikasi Mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskular merupakan komplikasi unik yang hanya terjadi
pada DM. Penyakit mikrovaskular diabetes atau sering juga disebut dengan istilah
mikroangiopati ditandai oleh penebalan membran basalis pembuluh kapiler. Ada
dua tempat di mana gangguan fungsi kapiler dapat berakibat serius yaitu mata dan
ginjal. Kelainan patologis pada mata, atau dikenal dengan istilah retinopati
diabetes, disebabkan oleh perubahan pada pembuluh-pembuluh darah kecil di
retina. Perubahan yang terjadi pada pembuluh darah kecil di retina ini dapat
menyebabkan menurunnya fungsi penglihatan pasien DM, bahkan dapat menjadi
penyebab utama kebutaan (Brunner & Suddarth, 2001).
c. Komplikasi Neuropati
Kerusakan saraf adalah komplikasi DM yang paling sering terjadi. Dalam
jangka waktu yang cukup lama, kadar glukosa dalam darah akan merusak dinding
pembuluh darah kapiler yang berhubungan langsung ke saraf. Akibatnya, saraf
tidak dapat mengirimkan pesan secara efektif. Keluhan yang timbul bervariasi,
yaitu nyeri pada kaki dan tangan, gangguan pencernaan, gangguan dalam
mengkontrol BAB dan BAK, dan lain-lain (Tandra, 2007). Manifestasi klinisnya
dapat berupa gangguan sensoris, motorik, dan otonom. Proses terjadinya
komplikasi neuropati biasanya progresif, di mana terjadi degenerasi serabut-
serabut saraf dengan gejala nyeri, yang sering terserang adalah saraf tungkai atau
lengan.

15
BAB III
PENANGGULANGAN DIABETES MELLITUS TIPE 2

A. Strategi Penanggulangan Diabetes Mellitus Tipe 2

Adapun stategi penanggulangannnya sebagai berikut (Moh Joeharno,2009):


1. Primordial prevention
Primordial prevention merupakan upaya untuk mencegah terjadinya risiko atau
mempertahankan keadaan risiko rendah dalam masyarakat terhadap penyakit secara

16
umum. Pada upaya penanggulangan DM, upaya pencegahan yang sifatnya primordial
adalah :
a. Intervensi terhadap pola makan dengan tetap mempertahankan pola makan
masyarakat yang masih tradisional dengan tidak membudayakan pola makan cepat
saji yang tinggi lemak,
b. Membudayakan kebiasaan puasa senin dan kamis
c. Intervensi terhadap aktifitas fisik dengan mempertahankan kegiatan-kegiatan
masyarakat sehubungan dengan aktivitas fisik berupa olahraga teratur (lebih
mengarahkan kepada masyarakat kerja) dimana kegiatan-kegiatan masyarakat
yang biasanya aktif secara fisik seperti kebiasaan berkebun sekalipun dalam
lingkup kecil namun dapat bermanfaat sebagai sarana olahraga fisik.
d. Menanamkan kebiasaan berjalan kaki kepada masyarakat
2. Health promotion
Health promotion sehubungan dengan pemberian muatan informasi kepada
masyarakat sehubungan dengan masalah kesehatan. Dan pada upaya pencegahan DM,
tindakan yang dapat dilakukan adalah :
a. Pemberian informasi tentang manfaat pemberian ASI eksklsif kepada masyarakat
khususnya kaum perempuan untuk mencegah terjadinya pemberian susu formula
yang terlalu dini
b. Pemberian informasi akan pentingnya aktivitas olahraga rutin minimal 15 menit
sehari

3. Spesific protection
Spesific protection dilakukan dalam upaya pemberian perlindungan secara dini
kepada masyarakat sehubungan dengan masalah kesehatan. Pada beberapa penyakit
biasanya dilakukan dalam bentuk pemberian imunisasi namun untuk perkembangan
sekarang, diabetes mellitus dapat dilakukan melalui :
a. Pemberian penetral radikal bebas seperti nikotinamid
b. Mengistirahatkan sel-beta melalui pengobatan insulin secara dini
c. Penghentian pemberian susu formula pada masa neonatus dan bayi sejak dini
d. Pemberian imunosupresi atau imunomodulasi
4. Early diagnosis and promp treatment
Early diagnosis and prompt treatmen dilakukan sehubungan dengan upaya
pendeteksian secara dini terhadap individu yang nantinya mengalami DM dimasa
mendatang sehingga dapat dilakukan upaya penanggulangan sedini mungkin untuk

17
mencegah semakin berkembangnya risiko terhadap timbulnya penyakit tersebut. Upaya
sehubungan dengan early diagnosis pada DM adalah dengan melakukan :
a. Melakukan skrining DM di masyarakat
b. Melakukan survei tentang pola konsumsi makanan di tingkat keluarga pada
kelompok masyarakat
5. Disability limitation
Disability limitation adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah dampak
lebih besar yang diakibatkan oleh DM yang ditujukan kepada seorang yang telah
diangap sebagai penderita DM karena risiko keterpaparan sangat tinggi. Upaya yang
dapat dilakukan adalah :
a. Pemberian insulin yang tepat waktu
b. Penanganan secara komprehensif oleh tenaga ahli medis di rumah sakit
c. Perbaikan fasilitas-fasilitas pelayanan yang lebih baik
6. Rehabilitation
Rehabilitation ditujukan untuk mengadakan perbaikan-perbaikan kembali pada
individu yang telah mengalami sakit. Pada penderita DM, upaya rehabilitasi yang dapat
dilakukan adalah :
a. Pengaturan diet makanan sehari-hari yang rendah lemak dan pengkonsumsian
makanan karbohidrat tinggi yang alami
b. Pemeriksaan kadar glukosa darah secara teratur dengan melaksanakan pemeriksaan
laboratorium komplit minimal sekali sebulan
c. Penghindaran atau penggunaan secara bijaksana terhadap obat-obat yang
diabetagonik

B. Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2


Adapun Tahap pencegahannya yaitu (Konsensus,2006):
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang termasuk
kelompok risiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita, tetapi berpotensi untuk
menderita DM. Penyuluhan sangat penting perannya dalam upaya pencegahan primer.
Masyarakat luas melalui lembaga swadaya masyarakat dan lembaga sosial lainnya harus
diikutsertakan. Demikian pula pemerintah melalui semua jajaran terkait seperti
Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan perlu memasukkan upaya
pencegahan primer DM dalam program penyuluhan dan pendidikan kesehatan. Sejak
masa prasekolah hendaknya telah ditanamkan pengertian mengenai pentingnya kegiatan

18
jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat, menjaga badan agar tidak terlalu
gemuk, dan risiko merokok bagi kesehatan.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya
penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian pengobatan
yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM.
Salah satu penyulit DM yang sering terjadi adalah penyakit kardiovaskular yang
merupakan penyebab utama kematian pada penyandang diabetes.
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :
a. Skrinning
Skrinning dilakukan dengan menggunakan tes urin, kadar gula darah puasa,
dan GIT. Skrinning direkomendasikan untuk :

Orang-orang yang mempunyai keluarga diabetes


Orang-orang dengan kadar glukosa abnormal pada saat hamil
Orang-orang yang mempunyai gangguan vaskuler
Orang-orang yang gemuk

b. Pengobatan
Pengobatan diabetes mellitus bergantung kepada pengobatan diet dan
pengobatan bila diperlukan. Kalau masih bisa tanpa obat, cukup dengan
menurunkan berat badan sampai mencapai berat badan ideal. Untuk itu perlu
dibantu dengan diet dan bergerak badan.
Pengobatan dengan perencanaan makanan (diet) atau terapi nutrisi
medik masih merupakan pengobatan utama, tetapi bilamana hal ini bersama
latihan jasmani/kegiatan fisik ternyata gagal maka diperlukan penambahan obat
oral. Obat hipoglikemik oral hanya digunakan untuk mengobati beberapa
individu dengan DM tipe II. Obat ini menstimulasi pelapisan insulin dari sel
beta pancreas atau pengambilan glukosa oleh jaringan perifer.
Tabel 2
Aktivitas Obat Hipoglisemik Oral

Obat Lamanya jam Dosis lazim/hari

Klorpropamid (diabinise) 60 1

19
Glizipid (glucotrol) 12-24 1-2

Gliburid (diabeta, micronase) 16-24 1-2

Tolazamid (tolinase) 14-16 1-2

Tolbutamid (orinase) 6-12 1-3

c. DIET
Diet adalah penatalaksanaan yang penting dari kedua tipe DM. makanan
yang masuk harus dibagi merata sepanjang hari. Ini harus konsisten dari hari kehari.
Adalah sangat penting bagi pasien yang menerima insulin dikordinasikan antara
makanan yang masuk dengan aktivitas insulin lebih jauh orang dengan DM tipe II,
cenderung kegemukan dimana ini berhubungan dengan resistensi insulin dan
hiperglikemia. Toleransi glukosa sering membaik dengan penurunan berat badan.
(Hendrawan,2002).
1) Modifikasi dari faktor-faktor resiko
Menjaga berat badan
Tekanan darah
Kadar kolesterol
Berhenti merokok
Membiasakan diri untuk hidup sehat
Biasakan diri berolahraga secara teratur. Olahraga adalah aktivitas fisik
yang terencana dan terstruktur yang memanfaatkan gerakan tubuh yang
berulang untuk mencapai kebugaran.
Hindari menonton televisi atau menggunakan komputer terlalu lama, karena
hali ini yang menyebabkan aktivitas fisik berkurang atau minim.
Jangan mengonsumsi permen, coklat, atau snack dengan kandungan. garam
yang tinggi. Hindari makanan siap saji dengan kandungan kadar karbohidrat
dan lemak tinggi.
Konsumsi sayuran dan buah-buahan.

20
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah
mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut. Upaya
rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan menetap.
Sebagai contoh aspirin dosis rendah (80-325 mg/hari) dapat diberikan secara rutin bagi
penyandang diabetes yang sudah mempunyai penyulit makroangiopati. Pada upaya
pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga. Materi
penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas
hidup yang optimal . Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan holistik dan
terintegrasi antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kolaborasi
yang baik antar para ahli di berbagai disiplin (jantung dan ginjal, mata, bedah ortopedi,
bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatrist, dll.) sangat diperlukan
dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier (Konsensus,2006).
Gambar 1
Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2

21
C. Penanggulangan Diabetes Mellitus Tipe 2

Program penanggulangan penyakit Diabetes Mellitus di Indonesia


Tujuan program pengendalian DM di Indonesia adalah terselenggaranya pengendalian
faktor risiko untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian yang disebabkan
DM. Pengendalian DM lebih diprioritaskan pada pencegahan dini melalui upaya pencegahan
faktor risiko DM yaitu upaya promotif dan preventif dengan tidak mengabaikan upaya kuratif
dan rehabilitatif (Rachmadany,2010).
Program pencegahan primer di Indonesia telah dilaksanakan oleh PT.Merck Indonesia
Tbk bekerja sama dengan Depkes RI dan organisasi profesi seperti Konferensi Kerja
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) dan organisasi kemasyarakatan seperti
Persatuan Diabetes Indonesia (PERSADI) dan Perhimpunan Edukator Diabetes Indonesia
(PEDI) yaitu program bertajuk Pandu Diabetes dengan simbol Titik Oranye. Melakukan
kegiatan-kegiatan antara lain memberikan informasi dan edukasi mengenai Diabetes Mellitus
dan pemeriksaan kadar gula darah secara gratis bagi sejuta orang yang telah diluncurkan oleh
Menkes pada 15 Maret 2003. Mengingat penderita Diabetes sangat rentan untuk terkena
infeksi, hal ini juga merupakan salah satu cara untuk mengurangi amputasi kaki akibat pekait
Diabetes Mellitus(Rachmadany,2010).

22
Federasi Diabetes Internasional (IDF) mengeluarkan pernyataan konsensus baru
mengenai pencegahan Diabetes Mellitus, menjelang resolusi Majelis Umum PBB pada bulan
Desember 2006 yang menghimbau aksi internasional bersama. Konsensus IDF baru ini
merekomendasikan bahwa semua individu yang berisiko tinggi terjangkiti diabetes tipe-2
dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan oportunistik oleh dokter, perawat, apoteker dan
dengan pemeriksaan sendiri. Profesor George Alberti, mantan presiden IDF sekaligus penulis
bersama konsensus baru IDF mengatakan: Terdapat banyak bukti dari sejumlah kajian di
Amerika Serikat, Finlandia, Cina, India dan Jepang bahwa perubahan gaya hidup (mencapai
berat badan yang sehat dan kegiatan olahraga yang moderat) dapat ikut mencegah
berkembangnya diabetes tipe-2 pada mereka yang beresiko tinggi. Konsensus baru IDF ini
menganjurkan bahwa hal ini haruslah merupakan intervensi awal bagi semua orang yang
beresiko terjangkiti diabetes tipe-2, dan juga fokus dari pendekatan kesehatan penduduk.
(Rachmadany,2010).

Pilar Pengelolaan DM yaitu (Perkeni, 2006):


a. Edukasi
Diabetes tipe II umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan kokoh. Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri membutuhkan
partisipasi aktif pasien, keluarga, dan masyarakat. Tim kesehatan harus mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan
perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif, pengembangan keterampilan dan
motivasi.
Edukasi tersebut meliputi pemahaman tentang:
1) Penyakit DM.
2) Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM.
3) Penyulit DM.
4) Intervensi farmakologis dan non farmakologis.
5) Hipoglikemia.
6) Masalah khusus yang dihadapi.
7) Perawatan kaki pada diabetes.
8) Cara pengembangan sistem pendukung dan pengajaran keterampilan.
9) Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.
Edukasi secara individual atau pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah
merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan Perilaku hampir sama
dengan proses edukasi yang memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi,
dokumentasi, dan evaluasi.

23
b. Perencanaan makanan
Biasanya pasien DM yang berusia lanjut terutama yang gemuk dapat
dikendalikan hanya dengan pengaturan diet saja serta gerak badan ringan dan
teratur. Perencanaan makan merupakan salah satu pilar pengelolan diabetes, meski
sampai saat ini tidak ada satu pun perencanaan makan yang sesuai untuk semua
pasien. Perencanaan makan harus disesuaikan menurut kebiasaan masing-masing
individu. Yang dimaksud dengan karbohidrat adalah gula, tepung, serat.
Faktor yang berpengaruh pada respon glikemik makanan adalah cara memasak,
proses penyiapan makanan, dan bentuk makan serta komposisi makanan
(karbohidrat, lemak, dan protein). Jumlah masukan kalori makanan yang berasal
dari karbohidrat lebih penting daripada sumber atau macam karbohidratnya. Gula
pasir sebagai bumbu masakan tetap diijinkan. Pada keadaan glukosa darah
terkendali, masih diperbolehkan untuk mengkonsumsi sukrosa (gula pasir) sampai 5
% kebutuhan kalori.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi:
1) Karbohidrat 45 65%
2) Protein 10 20 %
3) Lemak 20 25 %
Makanan dengan komposisi sampai 70 75% masih memberikan hasil yang
baik. Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300 mg/hari, diusahakan lemak
berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh MUFA (Mono Unsurated Fatty Acid),
dan membatasi PUFA (Poli Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah
kandungan serat 25 g / hari, diutamakan serat larut.
Jumlah kalori disesuaikan dengan status gizi,umur , ada tidaknya stress akut,
kegiatan jasmani. Untuk penentuan status gizi, dapat dipakai Indeks Massa tubuh
(IMT) dan rumus Broca.
Petunjuk Umum untuk Asupan Diet bagi Diabetes:
1) Hindari biskuit, cake, produk lain sebagai cemilan pada waktu makan.
2) Minum air dalam jumlah banyak, susu skim dan minuman berkalori rendah
lainnya pada waktu makan.
3) Makanlah dengan waktu yang teratur.
4) Hindari makan makanan manis dan gorengan.
5) Tingkatkan asupan sayuran dua kali tiap makan.
6) Jadikan nasi, roti, kentang, atau sereal sebagai menu utama setiap makan.
7) Minum air atau minuman bebas gula setiap anda haus.
8) Makanlah daging atau telor dengan porsi lebih kecil.
9) Makan kacang-kacangan dengan porsi lebih kecil

24
Tabel 3.
Klasifikasi IMT (Asia Pasific)

Lingkar Perut
Klasifikasi IMT (Asia Pasific)
<90cm (Pria) >90cm (Pria)
<80cm (Wanita) >80cm (Wanita)
Risk of co-morbidities
BB Kurang <18,5 Rendah Rata-rata
BB Normal 18,5-22,9 Rata-rata Meningkat
BB Lebih >23,0 :
- Dengan risiko : 23,0-24,9 Meningkat Sedang
- Obes I : 25,0-29,9 Sedang Berat
- Obes II : 30 Berat Sangat berat

Sumber :Perkeni, 2006


c. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari hari dan latihan jasmani teratur (3 4 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan
diabetes tipe II. Latihan jasmani dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitifitas terhadap insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah.
Latihan jasmani yang dimaksud ialahjalan, bersepeda santai, jogging, berenang.
Prinsip latihan jasmani yang dilakukan:
1) Continous:
Latihan jasmani harus berkesinambungan dan dilakukan terus menerus tanpa
berhenti. Contoh: Jogging 30 menit , maka pasien harus melakukannya selama
30 menit tanpa henti.
2) Rhytmical:
Latihan olah raga dipilih yang berirama yaitu otot-otot berkontraksi dan
relaksasi secara teratur, contoh berlari, berenang, jalan kaki.
3) Interval:
Latihan dilakukan selang-seling antar gerak cepat dan lambat. Contoh: jalan
cepat diselingi jalan lambat, jogging diselangi jalan.
4) Progresive:
a) Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan, dari intensitas ringan
sampi sedang selama mencapai 30 60 menit.

25
b) Sasaran HR = 75 85 % dari maksimal HR.
c) Maksimal HR = 220 (umur).
5). Endurance:
Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi, seperti
jalan jogging dan sebagainya. Latihan dengan prinsip seperti di atas minimal
dilakukan 3 hari dalam seminggu, sedang 2 hari yang lain dapat digunakan untuk
melakukan olah raga kesenangannya. Olah raga yang teratur memainkan peran
yang sangat penting dalam menangani diabetes, manfaat manfaat utamanya
sebagai berikut:
a) Olah raga membantu membakar kalori karena dapat mengurangi berat
badan.
b) Olah raga teratur dapat meningkatkan jumlah reseptor pada dinding sel
tempat insulin bisa melekatkan diri.
c) Olah raga memperbaiki sirkulasi darah dan menguatkan otot jantung.
d) Olah raga meningkatkan kadar kolesterol baik dan mengurangi kadar
kolesterol jahat.
e) Olah raga teratur bisa membantu melepaskan kecemasan stress, dan
ketegangan, sehingga memberikan rasa sehat dan bugar.
Petunjuk Berolah Raga Untuk Diabetes Tidak Bergantung Insulin
a) Gula darah rendah jarang terjadi selama berola raga dan karena itu tidak perlu
untuk memakan karbohidrat ekstra
b) Olah raga untuk menurunkan berat badan perlu didukung dengan
pengurangan asupan kalori
c) Olah raga sedang perlu dilakukan setiap hari. Olah raga berat mungkin bisa
dilakukan tiga kali seminggu
d) Sangat penting untuk melakukan latihan ringan guna pemanasan dan
pendinginan sebelum dan sesudah berolah raga
e) Pilihlah olah raga yang paling sesuai dengan kesehatan dan gaya hidup anda
secara umum
f) Manfaat olah raga akan hilang jika tidak berolah raga selama tiga hari
berturut-turut
g) Olah raga bisa meningkatkan nafsu makan dan berarti juga asupan kalori
bertambah. Karena itu sangat penting bagi anda untuk menghindari makan
makanan ekstra setelah berolah raga.
h) Dosis obat telan untuk diabetes mungkin perlu dikurangi selama olah raga
teratur.

26
DASAR-DASAR PENGOBATAN DIABETES TIPE 2

Resistensi insulin merupakan dasar dari diabetes tipe 2, dan kegagalan sel mulai terjadi
sebelum berkembangnya diabetes yaitu dengan terjadinya ketidakseimbangan antara resistensi
insulin dan sekresi insulin. De Fronzo menyatakan bahwa fungsi sel menurun sebesar kira-
kira 20% pada saat terjadi intoleransi glukosa. Dengan demikian jelas bahwa pendekatan
pengobatan diabetes tipe 2 harus memperbaiki resistensi insulin dan memperbaiki fungsi sel .
Hal yang mendasar dalam pengelolaan Diabetes mellitus tipe 2 adalah perubahan pola hidup
yaitu pola makan yang baik dan olah raga teratur. Dengan atau tanpa terapi farmakologik, pola
makan yang seimbang dan olah raga teratur (bila tidak ada kontraindikasi) tetap harus dijalankan.

Target glikemik
Penelitian UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study) dan Studi Kumamoto
pada pasien DM tipe 2 menunjukkan target glikemik terapi DM tipe 2 yang menghasilkan
perbaikan prognosis jangka panjang. Hasil penelitian klinik dan epidemiologik menunjukkan
bahwa dengan menurunkan kadar glukosa maka kejadian komplikasi mikrovaskuler dan
neuropati akan menurun. Target kadar glukosa darah yang terbaik berdasarkan pemeriksaan
harian dan A1C sebagai index glikemia khronik belum diteliti secara sistematik. Tetapi hasil
penelitian DCCT (pada pasien diabetes tipe 1) dan UKPDS (pada pasien diabetes tipe 2)
mengarahkan gol pencapaian kadar glikemik pada rentang nondiabetik. Akan tetapi pada kedua
studi tersebut bahkan pada grup pasien yang mendapat pengobatan intensif ,kadar A1C tidak
dapat dipertahankan pada rentang nondiabetik .
Studi tersebut mencapai kadar rata-rata A1C ~7% yang merupakan 4SD diatas rata-rata
non diabetik. Target glikemik yang paling baru adalah dari ADA (American Diabetes
Association) yang dibuat berdasarkan kepraktisan dan projeksi penurunan kejadian komplikasi ,
yaitu A1C <7%. Konsensus ini menyatakan bahwa kadar A1C >7% harus dianggap sebagai
alarm untuk memulai atau mengubah terapi dengan gol A1C < 7%. Para ahli juga menyadari
bahwa gol ini mungkin tidak tepat atau tidak praktis untuk pasien tertentu, dan penilaian klinik
dengan mempertimbangkan potensi keuntungan dan kerugian dari regimen yang lebih intensif
perlu diaplikasikan pada setiap pasien. Faktor-faktor seperti harapan hidup, risiko hipoglikemia

27
dan adanya CVD perlu menjadi pertimbangan pada setiap pasien sebelum memberikan regimen
terapi yang lebih intensif.

Metformin
Efek utama metformin adalah menurunkan hepatic glucose output dan menurunkan
kadar glukosa puasa. Monoterapi dengan metformin dapat menurunkan A1C sebesar ~ 1,5%.
Pada umumnya metformin dapat ditolerir oleh pasien. Efek yang tidak diinginkan yang paling
sering dikeluhkan adalah keluhan gastrointestinal. Monoterapi metformin jarang disertai dengan
hipoglikemia; dan metformin dapat digunakan secara aman tanpa menyebabkan hipoglikemia
pada prediabetes. Efek nonglikemik yang penting dari metformin adalah tidak menyebabkan
penambahan berat badan atau menyebabkan panurunan berat badan sedikit. Disfungsi ginjal
merupakan kontraindikasi untuk pemakaian metformin karena akan meningkatkan risiko asidosis
laktik ; komplikasi ini jarang terjadi tetapi fatal.

Sulfonilurea
Sulfonilurea menurunkan kadar glukosa darah dengan cara meningkatkan sekresi insulin.
Dari segi efikasinya, sulfonylurea tidak berbeda dengan metformin, yaitu menurunkan A1C ~
1,5%. Efek yang tidak diinginkan adalah hipoglikemia yang bisa berlangsung lama dan
mengancam hidup. Episode hipoglikemia yang berat lebih sering terjadi pada orang tua. Risiko
hipoglikemia lebih besar dengan chlorpropamide dan glibenklamid dibandingkan dengan
sulfonylurea generasi kedua yang lain. Sulfonilurea sering menyebabkan penambahan berat
badan ~ 2 kg. Kelebihan sulfonylurea dalam memperbaiki kadar glukosa darah sudah maksimal
pada setengah dosis maksimal , dan dosis yang lebih tinggi sebaiknya dihindari.
Glinide
Seperti halnya sulfonylurea, glinide menstimulasi sekresi insulin akan tetapi golongan ini
memiliki waktu paruh dalam sirkulasi yang lebih pendek dari pada sulfonylurea dan harus
diminum dalam frekuensi yang lebih sering. Golongan glinide dapat merunkan A1C sebesar ~
1,5 % Risiko peningkatan berat badan pada glinide menyerupai sulfonylurea, akan tetapi risiko
hipoglikemia nya lebih kecil.

Penghambat -glukosidase

28
Penghambat -glukosidase bekerja menghambat pemecahan polisakharida di usus halus
sehingga monosakharida yang dapat diabsorpsi berkurang; dengan demikian peningkatan kadar
glukosa postprandial dihambat. Monoterapi dengan penghambat -glukosidase tidak
mengakibatkan hipoglikemia. Golongan ini tidak seefektif metformin dan sulfonylurea dalam
menurunkan kadar glukosa darah; A1C dapat turun sebesar 0,5 0,8 %. Meningkatnya
karbohidrat di colon mengakibatkan meningkatnya produksi gas dan keluhan gastrointestinal.
Pada penelitian klinik, 25-45% partisipan menghentikan pemakaian obat ini karena efek samping
tersebut.

Thiazolidinedione (TZD)
TZD bekerja meningkatkan sensitivitas otot, lemak dan hepar terhadap insulin baik
endogen maupun exogen. Data mengenai efek TZD dalam menurunkan kadar glukosa darah
pada pemakaian monoterapi adalah penurunan A1C sebesar 0,5-1,4 %. Efek samping yang
paling sering dikeluhkan adalah penambahan berat badan dan retensi cairan sehingga terjadi
edema perifer dan peningkatan kejadian gagal jantung kongestif.

Insulin
Insulin merupakan obat tertua iuntuk diabetes, paling efektif dalam menurunkan kadar
glukosa darah. Bila digunakan dalam dosis adekuat, insulin dapat menurunkan setiap kadar A1C
sampai mendekati target terapeutik. Tidak seperti obat antihiperglikemik lain, insulin tidak
memiliki dosis maximal. Terapi insulin berkaitan dengan peningkatan berat badan dan
hipoglikemia.

Dipeptidyl peptidase four inhibitor (DPP4 Inhibitor)


DPP-4 merupakan protein membran yang diexpresikan pada berbagai jaringan termasuk
sel imun.DPP-4 Inhibitor adalah molekul kecil yang meningkatkan efek GLP-1 dan GIP yaitu
meningkatkan glucose- mediated insulin secretion dan mensupres sekresi glukagon. Penelitian
klinik menunjukkan bahwa DPP-4 Inhibitor menurunkan A1C sebesar 0,6-0,9 %. Golongan obat
ini tidak meninmbulkan hipoglikemia bila dipakai sebagai monoterapi.

Algoritme pengelolaan Diabetes Mellitus tipe 2 menurut ADA/EASD

29
Algoritme dibuat dengan memperhatikan karakteristik intervensi individual, sinergisme
dan biaya. Tujuannya adalah untuk mencapai dan mempertahankan A1C < 7% dan mengubah
intervensi secepat mungkin bila target glikekemik tidak tercapai.

Tier 1 : well validated core therapy


Intervensi ini merupakan cara yang terbaik dan paling efektif, serta merupakan strategi terapi
yang cost-effective untuk mencapai target glikemik. Algoritme tier1 ini merupakan pilihan
utama terapi pasien diabetes tipe 2.

Langkah pertama : Intervensi pola hidup dan metformin.


Berdasarkan bukti-bukti keuntungan jangka pendek dan jangka panjang bila berat badan
turun dan aktivitas fisik yang ditingkatkan dapat tercapai dan dipertahankan serta cost
effectiveness bila berhasil, maka konsensus ini menyatakan bahwa intervensi pola hidup harus
dilaksanakan sebagai langkah pertama pengobatan pasien diabetes tipe 2 yang baru. Intervensi
pola hidup juga untuk memperbaiki tekanan darah, profil lipid, dan menurunkan berat badan atau
setidaknya mencegah peningkatan berat badan, harus selalu mendasari pengelolaan pasien
diabetes tipe 2., bahkan bila telah diberi obat-obatan. Untuk pasien yang tidak obes ataupun berat
badan berlebih, modifikasi komposisi diet dan tingkat aktivitas fisik tetap berperan sebagai
pendukung pengobatan.
Para ahli membuktikan bahwa intervensi pola hidup saja sering gagal mencapai atau
mempertahankan target metabolik karena kegagalan menurunkan berat badan atau berat badan
naik kembali dan sifat penyakit ini yang progresif atau kombinasi faktor- faktor tersebut. Oleh
sebab itu pada konsensus ini ditentukan bahwa terapi metformin harus dimulai bersamaan
dengan intervensi pola hidup pada saat diagnosis. Metformin direkomendasikan sebagai terapi
farmakologik awal , pada keadaan tidak ada kontraindikasi spesifik, karena efek langsungnya
terhadap glikemia, tanpa penambahan berat badan dan hipoglikemia pada umumnya, efek
samping yang sedikit, dapat diterima oleh pasien dan harga yang relatif murah. Penambahan obat
penurun glukosa darah yang lain harus dipertimbangkan bila terdapat hiperglikemia simtomatik
persisten.

Langkah kedua : menambah obat kedua

30
Bila dengan intervensi pola hidup dan metformin dosis maksimal yang dapat ditolerir
target glikemik tidak tercapai atau tidak dapat dipertahankan, sebaiknya ditambah obat lain
setelah 2-3 bulan memulai pengobatan atau setiap saat bila target A1C tidak tercapai. Bila
terdapat kontraindikasi terhadap metformin atau pasien tidak dapat mentolerir metformin maka
perlu diberikan obat lain. Konsensus menganjurkan penambahan insulin atau sulfonilurea. Yang
menentukan obat mana yang dipilih adalah nilai A1C.
Pasien dengan A1C > 8,5% atau dengan gejala klinik hiperglikemia sebaiknya diberi
insulin; dimulai dengan insulin basal (intermediate-acting atau long acting). Tetapi banyak juga
pasien DM tipe 2 yang baru masih memberi respons terhadap obat oral.

Langkah ketiga : penyesuaian lebih lajut


Bila intervensi pola hidup, metformin dan sulfonilurea atau insulin basal tidak
menghasilkan target glikemia, maka langkah selanjutnya adalah mengintesifkan terapi insulin.
Intensifikasi terapi insulin biasanya berupa berupa suntikan short acting atau rapid acting
yang diberikan sebelum makan. Bila suntikan-suntikan insulin dimulai maka sekretagog insulin
harus dihentikan.

Tier 2 : less well-validated therapies


Pada kondisi-kondisi klinik tertentu algoritme tingkatan kedua ini dapat dipertimbangkan. Secara
spesifik bila hipoglikemia sangat ditakuti (misalnya pada mereka yang melakukan pekerjaan
yang berbahaya), maka penambahan exenatide atau pioglitazone dapat dipertimbangkan. Bila
penurunan berat badan merupakan pertimbangan penting dan A1C mendekati target (<8%),
exenatide merupakan pilihan. Bila inervensi ini tidak efektif dalam mencapai target A1C, atau
pengobatan tersebut tidak dapat ditolerir oleh pasien, maka penambahan dengan sulfonilurea
dapat dipertimbangkan. Alternatif lain adalah bahwa tier 2 intervention dihentikan dan dimulai
pemberian insulin basal.

31
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah pankreas dapat menghasilkan cukup jumlah insulin
untuk metabolisme glukosa (gula), tetapi tubuh tidak mampu untuk memanfaatkan secara
efisien. Seiring waktu, penurunan produksi insulin dan kadar glukosa darah meningkat.
Dalam patofisiologi diabetes melitus tipe 2, dimulai dengan gangguan fase earlypeak yang
menyebabkan hiperglikemi dan selanjutnya gangguan fase sekresi insulin dimulai 20 menit
setelah stimulasi glukosa untuk menghasilkan insulin lebih banyak, tetapi sudah tidak mampu
meningkatkan sekresi insulin sebagaimana pada orang normal di mana tidak terjadi
hiperinsulinemi akan tetapi gangguan sel beta. NIDDM ditandai dengan adanya kelainan
dalam sekresi insulin maupun dalam kerja insulin.
Gambaran klinis terjadinya DM tipe 2 ini yaitu melalui keluhan klasik seperti
penurunan berat badan, banyak kencing, banyak minum, banyak makan. adapun keluhan lain
yang terjadi yaitu gangguan saraf tepi / kesemutan, gatal / bisul, gangguan ereksi dan
keputihan. dalam menegakkan diagosis dm dapat dilakukan berdasarkan cara pelaksanaan
TTGO menurut WHO 1985.
Faktor risiko DM tipe 2 seperti genetik, usia, stres, minim gerak, pola makan yang
salah, dan obesitas. Pencegahannya dilakukan pada tiga level, yaitu primer berupa
penyuluhan pada faktor risiko; sekunder berupa diagnosis dini (skirning), pengobatan, dan
diet; tersier berupa tindakan rehabilitatif untuk mencapai kualitas hidup yang optimal.
Adapun strategi penanggulangan DM yaitu primordial prevention, health promotion,
spesific protection, early diagnosis and prompt treatmen, disability limitation dan
rehabilitation. Tindakan penanggulangan iaalah pengendalian DM yang lebih diprioritaskan
pada pencegahan dini melalui upaya pencegahan faktor risiko DM seperti upaya promotif
dan preventif dengan tidak mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif. Dan adapun faktor
penanggulangan Diabetes Melitus Tipe 2 yaitu melalui Edukasi, Perencanaan Makan,
Aktivitas fisik dan Pengobatan.

32
DAFTAR PUSTAKA

Adhi , Bayu.T1, Rodiyatul F. S. dan Hermansyah,2011. An Early Detection Method of Type-2


Diabetes Mellitus in Public Hospital. Telkomnika, Vol.9, No.2, August 2011, pp. 287~294.

Agustina, Tri ,2009.Gambaran Sikap Pasien Diabetes Melitus Di Poli Penyakit Dalam Rsud
Dr.Moewardi Surakarta Terhadap Kunjungan Ulang Konsultasi Gizi. KTI D3. Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.

Indraswari, Wiwi.2010. Hubungan Indeks Glikemik Asupan Makanan Dengan Kadar Glukosa
Darah Pada Pasien Rawat Jalan Diabetes Mellitus Tipe-2 Di Rsup Dr. Wahidin
Sudirohusodo. Skripsi Sarjana. Program Studi Ilmu Gizi , Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Hasanuddin, Makassar.

Isniati, 2003, Hubungan Tingkat Pengetahuan Penderita Diabetes Militus Dengan


Keterkendalian Gula Darah Di Poliklinik Rs Perjan Dr. M. Djamil Padang Tahun. Jurnal
Kesehatan Masyarakat, September 2007, I (2).

Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006 .2006.
http://penyakitdalam.files.wordpress.com/2009/11/konsensus-pengelolaaln-dan-pencegahan-
diabets-melitus-tipe-2-di-indonesia-2006.pdf

Mohjuarno.2009. Makalah Kontenporer Konsentrasi Epidemiologi Pasca Sarjana:


Penanggulangan Diabetes Melitus. Makassar :Universitas Hasanuddin.

Murwani, Arita dan Afifin Sholeha, 2007. Pengaruh Konseling Keluarga Terhadap Perbaikan
Peran Keluarga Dalam Pengelolaan Anggota Keluarga Dengan Dm Di Wilayah Kerja
Puskesmas Kokap I Kulon Progo 2007. Jurnal Kesehatan Surya Medika Yogyakarta. Ilmu
Keperawatan Stikes Surya Global Yogyakarta.

Nadesul, Hendrawan. 2002. 428 Jawaban untuk 25 Penyakit Manajer dan Keluhan-keluhan
Orang Mapan. Kompas.

Perkeni.2011. Empat Pilar Pengelolaan Diabetes.[online]. (diupdate 11 November 2011).


http://www.smallcrab.com/ .[diakses 20 November 2011].

Rakhmadany, dkk. 2010. Makalah Diabetes Melitus. Jakarta : Universitas Islam Negeri

Shahab, Alwi,2006.Diagnosis Dan Penatalaksanaan Diabetes Melitus (Disarikan Dari


Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Di Indonesia : Perkeni 2006).Subbagian
Endokrinologi Metabolik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fk Unsri/ Rsmh Palembang,
Palembang.

Tjeyan, Suryadi R.M, 2007.Risiko Penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Kalangan Peminum
Kopi Di Kotamadya Palembang Tahun 2006-2007. Department Of Public Health And

33
Community Medicine, Medical Faculty, Sriwijaya University, Palembang 30126, Indonesia.
Makara, Kesehatan, Vol. 11, No. 2, Desember 2007: 54-60 Hal 54.

Waspadji, Sarwono dkk., 2009. Pedoman Diet Diabetes Melitus. Jakarta: FKUI.

WHO, 1999. Defenition, Diagnosis and Classification of Diabetes Melitus and Its Complication.

Bloomgarden ZT. Approaches to Treatment of Type 2 Diabetes. Diabetes Care2008; 31


1697-1703

American Diabetes Association: Standards of medical care in diabetes 2008 (Position


statement). Diabetes Care 2008;31 (Suppl.1):S12-54.

34

Anda mungkin juga menyukai