Oleh:
Riska Djitmau
(2019086016346)
Pembimbing:
dr. Rani, Sp.KK., M.Kes., FINDV
DAFTAR ISI
DAFTAR
ISI............................................................................................................................2
LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................6
2.1 Morbus Hansen..............................................................................................6
2.1.1 Definisi....................................................................................................6
2.1.2 Epidemiologi...........................................................................................6
2.1.3 Etiologi....................................................................................................7
2.1.4 Transmisi................................................................................................7
2.1.5 Patogenesis..............................................................................................8
2.1.6 Manifestasi Klinis dan Klasifikasi..........................................................9
2.1.7 Faktor Resiko........................................................................................18
2.1.8 Diagnosis...............................................................................................18
2.1.9 Diagnosis Banding................................................................................22
2.1.10Tatalaksana...........................................................................................24
2.1.11 Prognosis dan Komplikasi..................................................................27
BAB III LAPORAN KASUS................................................................................29
3.1 IDENTITAS PASIEN..................................................................................29
3.2 ANAMNESA...............................................................................................29
3.3 PEMERIKSAAN FISIK..............................................................................30
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG................................................................34
3.5 DIAGNOSIS KERJA...................................................................................35
3.6 DIAGNOSIS BANDING.............................................................................35
3.7 PENATALAKSANAAN.............................................................................35
3.8 PROGNOSIS...............................................................................................35
BAB IV PEMBAHASAN......................................................................................36
BAB V RINGKASAN...........................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................40
LEMBAR PENGESAHAN
Telah disetujui dan diterima oleh Penguji Laporan Kasus dengan judul :
“Pasien 60 Tahun dengan Morbus Hansen Tipe Multibasilar dan Ulkus MH”
Sebagai salah satu syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik Madya pada SMF
Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Dok II Jayapura
yang dilaksanakanpada :
Hari/Tanggal :
Tempat :
Mengesahkan
Hari :
NO NAMA NILAI
1.
Pembimbing
Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300SM, dan telah ikenal oleh
peradaban, Mesir kuno dan India. Pada 1995, Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) memperkirakan terdapat 2 hingga 3 juta jiwa yang cacat permanen karena
kusta. Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat
dirasakan kurang perlu dan tidak etis, beberapa kelompok penderita masih dapat
ditemukan diberbagai belahan dunia seperti India dan Vietnam.
Kusta berasla dari kata kustha di bahasa Sansekerta, yang berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. Penderita Kusta sebenarnya telah ditemukan
sejak tahun 600 SM. Namun, Kuman penyebab penyakit kusta yakni
Mycobacterium leprae di temukan pertama kali oleh sarjana dari Norwegia G
H.Armauer Hansen pada tahun 1873, maka dari itu kusta ini dikenal juga dengan
nama Morbus Hansen, sesuai dengan penemu kuman penyebab kusta tersebut.
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika dan Asia tengah dan kemudian
tersebar melalui perpindahan penduduk dibeberapa belahan dunia, penyebaran
penyakit tersebut umumnya dibawa oleh para pedagang yang melintasi batas
Negara. Sedangkan kusta masuk ke Indonesia ini melalui para pedagang dan
penyebar agama sekitar abad ke IV-V oleh orang India.
Pada tahun 2019 di Provinsi Papua terdapat penemuan kasus baru kusta
sebanyak 1.537 kasus yang terisi dari 373 kasus Kusta tipePausi Basiler dan 1.164
kasus Kusta tipe Multi Basiler. Dalam laporan kasus ini akan dibahas mengenai
pasien Kusta tipe Multi Basiler serta cara mendiagnosis, pilihan terapi, dan
prognosis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Kusta merupakan penyakit kulit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium Leprae. Kusta dikenal dengan “The Great Imitator
Disease” karena penyakit ini seringkali tidak disadari karena memiliki
gejala yang hampir mirip dengan penyakit kulit lainnya.
2.1.2 Epidemiologi
Pada populasi yang diteliti. Penyakit kusta lebih sering terjadi pada
laki-laki dibandingkan perempuan sebesar 2:1. Usia rata-rata dari
dimulainya penyakit lebih muda pada pasien dengan tipe tuberkuloid
dibandingkan tipe lepromatosa, tetapi secara umum dimulai pada usia
<35tahun, bagaimanapun usia tidak menjadi jaminan seseorang tidak
terkena kusta.
Pada tahun 2020 dilaporkan terdapat 11.173 kasus baru kusta yang
86% diantaranya merupakan kusta tipe Multi Basiler (MB). Provinsi yang
dinyatakan telah mencapai eliminasi jika angka prevalensi <1 per 10.000
penduduk. Pada tahun 2020 sebanyak 28 provinsi telah mencapai eliminasi
kusta, bertambah dua provinsi dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu
Sulawesi Selatan dan Gorontalo. Sedangkan provinsi yang belum
mencapai eliminasi pada tahun 2020, yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi
Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua.
Pada tahun 2019 di Provinsi Papua terdapat penemuan kasus baru
kusta sebanyak 1.537 kasus yang terisi dari 373 kasus Kusta tipe Pausi
Basiler dan 1.164 kasus Kusta tipe Multi Basiler.
2.1.3 Etiologi
Kuman penyebab kusta adalah Mycobacterium Leprae. Dimana
mycobacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora,
berbentuk batang, dikelilingi oleh membrane sel lilin yang merupakan ciri
dari spesies mycobacterium, dengan ukuran 3-8µm x 0,5µm. Biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat
tahan asam (BTA) atau gram positif. Bakteri ini tidak mudah diwarnai
namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau
alcohol sehingga oleh karena itu dinamakan bakteri tahan asam.
2.1.4 Transmisi
Cara transmisi dari M. leprae adalah dari kulit dan mukosa nasal.
Studi kasus kusta menggambarkan bahwa banyak organisme berada di
dermis profunda, dan tidak ada BTA yang ditemukan di epidermis, tetapi
dapat ditemukan bersamaan dengan sekresi kelenjar sebasea.
BTA
Berikut ini beberapa gambaran klinis dari Kusta tipe Multibasiler maupun
Kusta tipe Pausibasiler, yaitu :
2.1.8 Diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
Terdapat tiga kelompok besar dalam pemeriksaan penunjang untuk
lepra, yaitu pemeriksaan bakterioskopis, pemeriksaan
histopatologis, dan pemeriksaan serologis.1
Pemeriksaan bakterioskopis
Pemeriksaan bakterioskopis digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan
dibuat dari kerokan kulit atau mukosa hidung yang diwarnai
dengan pewarnaan terhadap bakteri tahan asam, antara lain
dengan Ziehl Neelsen. Pemeriksaan bakteri negatif pada seorang
penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung M.
leprae.
Pertama-tama kita harus memilih tempat-tempat di kulit
yang diharapkan paling padat oleh bakteri, setelah terlebih dahulu
menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Untuk
pemeriksaan rutin biasanya diambil dari minimal 4-6 tempat,
yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 tempat lain
yang paling aktif, berarti yang paling merah di kulit dan infiltratif.
Kepadatan Mycobacterium leprae tanpa membedakan solid
(utuh) atau nonsolid (terfragmentasi atau granuler) pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan Indek Bakteri (IB) dengan nilai dari 0
sampai 6+ menurut Ridley. Seperti tertera di bawah ini:
1. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
2. 1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP
3. 2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP
4. 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 100LP
5. 4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
6. 5+ bila 101-1000 BTA dalam 1 LP
7. 6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Nilai IB dinyatakan sebagai rata-rata dari seluruh tempat yang
dilakukan pemeriksaan, sedangkan indeks morfologi (IM)
adalah persentase bakteri yang hidup (solid) diantara seluruh
bakteri yang ditemukan (solid dan non-solid). 1 Pemeriksaan
bakterioskopik seperti ini memakan banyak tenaga dan waktu,
oleh karena itu terdapat sebuah penelitian yang menilai
penggunaan polymerase chain reaction (PCR) untuk
mengkuantifikasikn DNA dari Mycobacterium leprae dalam
suatu sampel jaringan. Korelasi antara perhitungan dengan PCR
dan metode langsung memberikan nilai keakuratan mencapai
98%.7
Pemeriksaan histopatologis
Gambar 3.
Pemeriksaan
Histopatologis
Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya
antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae.
Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M.
leprae, yaitu antibodi antiphenolic glycoplipid-1 (PGL-1) dan
antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Macam-macam
pemeriksaan serologik kusta yang dapat dilakukan adalah: tes
FLA-ABS, tes ELISA, dan tes MLPA ( Mycobacterium Leprae
Particle Agglutination).1
1. Diagnosis banding dari Kusta Tipe TT, yaitu Psoriasis, Tinea circinata
2.1.10 Tatalaksana
Obat anti kusta yang paling banyakdipakai pada saat ini adalah DDS
(diaminodifenilsulfon) kemudian klofazimin, dan rifampisin. DDS mulai
dipakai sejak1948 dan di Indonesia digunakan pada tahun 1952.
Klofazimin dipakaisejak 1962 oleh Brown dan Hogerzeil, dan rifampisin
sejak tahun 1970. Pada 1988 WHO menambahkan 3 obat alternatif, yaitu
ofloksasin, minosiklin dan klaritrimisin. Pengobatan dengan multi drug
treatment (MDT) untuk MB adalah Rifampisin 600 mg setiap bulan
dalam pengawasan, DDS 100 mg setiap hari, dan Klofazimin 300 mg
setiap bulan dalam pengawasan selama 24-36 bulan dengan syarat
berhenti yaitu bakterioskopis negatif. MDT untuk PB adalah Rifampisin
600 mg setiap bulan dalam pengawasan dan DDS 100 mg setiap hari
selama 6-9 bulan.
1. DDS
1. Rifampisisn
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen
kombinasi DDS dengan dosis 10 mg/kg berat badan; diberikan setiap
hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai
monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan terjadinya
resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak
boleh diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek
sampingnya. Ditemukan dan dipakai sebagai obat anti tuberkulosis
pada tahun 1965 dan sebagai obat kusta pada tahun 1970 oleh REES
dkk., serta Leiker dan Kamp. Resistensi pertama terhadap M. Leprae
dibuktikan pada tahun 1976 oleh Kacobson dan Hastings. Efek
samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik,
gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi kulit.
2. Klofazimin
Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh
Brown dan Hoogerzeil. Dosis sebagai anti kusta ialah 50 mg
setiaphari, atau 100 mg selangsehari, atau 3 anti inflamasi sehingga
dapat dipakai pada penanggulangan ENL dengan dosis lebih yaitu
200-300mg/hari namun awitan kerja baru timbul 2-3 minggu.
Resistensi pertama pada satu kasus dibuktikan pada tahun 1982.
Clofazimine bekerja juga dengan menghambat Adipose
Differentiated-Related Protein (ADRP) pada sel-sel yang terinfeksi
oleh Mycobacterium leprae. Hal ini dimaksudkan untuk
menghambat pertumbuhan dari bakteri yang hanya dapat tumbuh
pada lingkungan tersebut. Karakteristik ini tidak ditemukan pada
DDS (dapsone) ataupun rifampisin. Efek samping ialah warna merah
kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan pada sklera, sehingga
mirip ikterus, apalagi pada dosis tinggi, yang sering merupakan
masalah dalam ketaatan berobat penderita. Hal tersebut disebabkan
karena klofazimin adalah zat warna dan dideposit terutama pada sel
retikuloendotelial, muka dan kulit. Pigmentasi bersifat reversible,
meskipun menghilangnya lambat sejak obat dihentikan. Efek
samping lain yang hanya terja didalam dosis tinggi, yakninyeri
abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itudapat
terjadi penurunan berat badan.
3. Ofloksasin
Ofloksasin merupakan turunan flourokuinolon yang paling aktif
terhadap Mycobacterium leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah
400mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan
membunuh kuman Mycobacterium leprae hidupsebesar 99,99%.
Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna
lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia,
nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi.
4. Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih
tinggi daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin.
Dosis standar harian 100mg. Efek sampingnya adalah pewarnaan
gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan
hiperpigmentasi kulit dan membrane mukosa, berbagai simtom
saluran cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizziness, dan
unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan untuk anak-anak atau
selama kehamilan.
5. Klaritromisin
3.2 ANAMNESA
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesa yang dilakukan pada tanggal 01-
11-2021 pukul 12.30 WIT di Poli Kulit dan Kelamin RSUD Dok II
Jayapura.
1. Keluhan Utama
Luka di paha kiri yang tidak nyeri
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUD DOK II Jayapura
pada tanggal 1 November 2021 dengan keluhan luka pada paha sebelah
kiri yang tidak nyeri sejak 6 bulan yang lalu. Pasien mengaku awalnya
timbul bercak kemudian bercak berubah menjadi bisul kemudian pecah
dan menjadi luka. Keluhan disertai dengan timbulnya bercak kemerahan
di daerah punggung, leher, dahi, dan bengkak kemerahan di cuping
telinga. Pasien juga mengeluh seluruh badan pegal-pegal, gatal dan rasa
lemas. Pasien selalu berobat di dokter praktek dan diberikan obat salep
dan obat anti nyeri, tetapi tidak membaik.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami penyakit ini sebelumnya pada tahun 2018,
Pasien belum pernah minum obat program kusta sebelumnya. Riwayat
alergi disangkal. Riwayat penyakit lain (+) tinea corporis (2010).
Riwayat penyakit jantung (-), Hipertensi (-), DM (+), dan Alergi
disangkal
Palpasi
:
Ekspansi dada (+) Dextra = Sinistra.
Perkusi
:
Tidak dilakukan
Auskultasi
:
Suara napas vesikuler/vesikuler, wheezing (-/-), rhonki (-/-).
2) Jantung
Inspeksi
:
Tidak tampak pulsasi
Palpasi
:
Thrill (-).
Perkusi
:
Tidak dilakukan
Auskultasi
:
BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
d. Abdomen
Inspeksi
:
Cembung, jejas (-).
Auskultasi
:
Bising usus (+) normal 4-5 x/menit
Palpasi
:
Supel, nyeri tekan (-), pemeriksaan hepar/lien tidak dilakukan
Perkusi
:
Tidak dilakukan
e. Ekstremitas
Ekstremitas atas : Simetris. Warna kulit sawo matang, sianosis (-), ikterik
(-),Akral hangat, CRT < 2 detik, Udem (-).
Ekstremitas bawah : Simetris. Warna kulit sawo matang, sianosis (-), ikterik
(-), Akral hangat, CRT < 2 detik, Udem tungkai (-)
2. Status Dermatologis
Status Lokalis :
Lokasi I: Regio chepalic
Efloresensi lokasi I :
- Frontal : terdapat beberapa lesi berbentuk macula Hiperpigmentasi
berbatas tegas berbentuk bulat/lonjong berukuran lentikular-numular.
- Auricula Dextra : terdapat lesi infiltrat eritem dengan skuama halus
Lokasi II: regio cervical
Efloresensi lokasi II : terdapat beberapa makula eritema berbentuk bulat
berukuran lentikular- nummular berbatas tegas
15/10/2021
28/10/2021
Pemeriksaa Satuan
Hasil GDS
n
184 ↑
Hemoglobi g/dL
11,7
n
Hematokrit 33,4 %
3.7 PENATALAKSANAAN
1. Farmakologi
Metformin 3 x 500mg
Clindamicyn 2x300mg
As. Fusidat cr. 2% 2 x 1
MDT MB :
o Rimfampicin 600 mg/bulan dalam pengawasan
o DDS 100 mg/hari
o Clofazamin 300 mg/bulan dalam pengawasan, diteruskan
50 mg/hari atau 3 kali 100 mg setiap minggu
3.8 PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad sanam : ad bonam
Quo ad fuctionam : ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN