Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS

“Pasien Perempuan 60 Tahun dengan Morbus Hansen tipe Multibasiler dan


Ulkus MH”
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna mengikuti ujian di SMF KULIT
dan KELAMIN Rumah Sakit Umum Jayapura

Oleh:
Riska Djitmau
(2019086016346)

Pembimbing:
dr. Rani, Sp.KK., M.Kes., FINDV

SMF KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM JAYAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
PAPUA
2021
I

DAFTAR ISI
DAFTAR

ISI............................................................................................................................2
LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................6
2.1 Morbus Hansen..............................................................................................6
2.1.1 Definisi....................................................................................................6
2.1.2 Epidemiologi...........................................................................................6
2.1.3 Etiologi....................................................................................................7
2.1.4 Transmisi................................................................................................7
2.1.5 Patogenesis..............................................................................................8
2.1.6 Manifestasi Klinis dan Klasifikasi..........................................................9
2.1.7 Faktor Resiko........................................................................................18
2.1.8 Diagnosis...............................................................................................18
2.1.9 Diagnosis Banding................................................................................22
2.1.10Tatalaksana...........................................................................................24
2.1.11 Prognosis dan Komplikasi..................................................................27
BAB III LAPORAN KASUS................................................................................29
3.1 IDENTITAS PASIEN..................................................................................29
3.2 ANAMNESA...............................................................................................29
3.3 PEMERIKSAAN FISIK..............................................................................30
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG................................................................34
3.5 DIAGNOSIS KERJA...................................................................................35
3.6 DIAGNOSIS BANDING.............................................................................35
3.7 PENATALAKSANAAN.............................................................................35
3.8 PROGNOSIS...............................................................................................35
BAB IV PEMBAHASAN......................................................................................36
BAB V RINGKASAN...........................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................40

LEMBAR PENGESAHAN
Telah disetujui dan diterima oleh Penguji Laporan Kasus dengan judul :

“Pasien 60 Tahun dengan Morbus Hansen Tipe Multibasilar dan Ulkus MH”

Sebagai salah satu syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik Madya pada SMF
Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Dok II Jayapura

Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih Jayapura

yang dilaksanakanpada :

Hari/Tanggal :

Tempat :

Mengesahkan

Penguji Laporan Kasus Bagian SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih

dr. Rani, Sp.KK., M.Kes., FINDV


LEMBAR PENILAIAN LAPORAN KASUS

Hari :

Pembimbing : dr. Rani, Sp.KK., M.Kes., FINDV

Judul : “Pasien 60 Tahun dengan Morbus Hansen


Tipe Multibasilar dan Ulkus MH”

NO NAMA NILAI
1.

Pembimbing

dr. Rani, Sp.KK., M.Kes., FINDV


BAB I
PENDAHULUAN
Kulit adalah organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin
kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks dan sensitif, bervariasi pada
keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras dan juga sangat bergantung pada lokasi
tubuh. Kulit merupakan pembungkus yang elastik yang melindungi tubuh dari
pengaruh lingkungan. Salah satu bagian tubuh manusia yang sangat cukup sensitif
terhadap berbagai macam penyakit adalah kulit.

Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300SM, dan telah ikenal oleh
peradaban, Mesir kuno dan India. Pada 1995, Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) memperkirakan terdapat 2 hingga 3 juta jiwa yang cacat permanen karena
kusta. Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat
dirasakan kurang perlu dan tidak etis, beberapa kelompok penderita masih dapat
ditemukan diberbagai belahan dunia seperti India dan Vietnam.

Kusta berasla dari kata kustha di bahasa Sansekerta, yang berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. Penderita Kusta sebenarnya telah ditemukan
sejak tahun 600 SM. Namun, Kuman penyebab penyakit kusta yakni
Mycobacterium leprae di temukan pertama kali oleh sarjana dari Norwegia G
H.Armauer Hansen pada tahun 1873, maka dari itu kusta ini dikenal juga dengan
nama Morbus Hansen, sesuai dengan penemu kuman penyebab kusta tersebut.

Penyakit ini diduga berasal dari Afrika dan Asia tengah dan kemudian
tersebar melalui perpindahan penduduk dibeberapa belahan dunia, penyebaran
penyakit tersebut umumnya dibawa oleh para pedagang yang melintasi batas
Negara. Sedangkan kusta masuk ke Indonesia ini melalui para pedagang dan
penyebar agama sekitar abad ke IV-V oleh orang India.

Pada tahun 2019 di Provinsi Papua terdapat penemuan kasus baru kusta
sebanyak 1.537 kasus yang terisi dari 373 kasus Kusta tipePausi Basiler dan 1.164
kasus Kusta tipe Multi Basiler. Dalam laporan kasus ini akan dibahas mengenai
pasien Kusta tipe Multi Basiler serta cara mendiagnosis, pilihan terapi, dan
prognosis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morbus Hansen

2.1.1 Definisi
Kusta merupakan penyakit kulit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium Leprae. Kusta dikenal dengan “The Great Imitator
Disease” karena penyakit ini seringkali tidak disadari karena memiliki
gejala yang hampir mirip dengan penyakit kulit lainnya.

Kusta, dikenal dengan nama lepra atau penyakit morbus


Hansen,adalah penyakit yang menyerang kulit menyebabkan luka pada
kulit;sistem saraf perifer yang menyebabkan kerusakan saraf, melemahnya
otot dan mati rasa; selaput lendir pada saluran pernapasan atas serta mata.

Penyakit ini juga disebut penyakit granulomatosa kronis karena mirip


dengan penyakit Tuberkulosis, ada nodul inflamasi (granuloma) di kulit
dan saraf tepi seiring waktu.

2.1.2 Epidemiologi
Pada populasi yang diteliti. Penyakit kusta lebih sering terjadi pada
laki-laki dibandingkan perempuan sebesar 2:1. Usia rata-rata dari
dimulainya penyakit lebih muda pada pasien dengan tipe tuberkuloid
dibandingkan tipe lepromatosa, tetapi secara umum dimulai pada usia
<35tahun, bagaimanapun usia tidak menjadi jaminan seseorang tidak
terkena kusta.
Pada tahun 2020 dilaporkan terdapat 11.173 kasus baru kusta yang
86% diantaranya merupakan kusta tipe Multi Basiler (MB). Provinsi yang
dinyatakan telah mencapai eliminasi jika angka prevalensi <1 per 10.000
penduduk. Pada tahun 2020 sebanyak 28 provinsi telah mencapai eliminasi
kusta, bertambah dua provinsi dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu
Sulawesi Selatan dan Gorontalo. Sedangkan provinsi yang belum
mencapai eliminasi pada tahun 2020, yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi
Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua.
Pada tahun 2019 di Provinsi Papua terdapat penemuan kasus baru
kusta sebanyak 1.537 kasus yang terisi dari 373 kasus Kusta tipe Pausi
Basiler dan 1.164 kasus Kusta tipe Multi Basiler.

2.1.3 Etiologi
Kuman penyebab kusta adalah Mycobacterium Leprae. Dimana
mycobacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora,
berbentuk batang, dikelilingi oleh membrane sel lilin yang merupakan ciri
dari spesies mycobacterium, dengan ukuran 3-8µm x 0,5µm. Biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat
tahan asam (BTA) atau gram positif. Bakteri ini tidak mudah diwarnai
namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau
alcohol sehingga oleh karena itu dinamakan bakteri tahan asam.

2.1.4 Transmisi
Cara transmisi dari M. leprae adalah dari kulit dan mukosa nasal.
Studi kasus kusta menggambarkan bahwa banyak organisme berada di
dermis profunda, dan tidak ada BTA yang ditemukan di epidermis, tetapi
dapat ditemukan bersamaan dengan sekresi kelenjar sebasea.

Kuman ini menular kepada manusia melalui kontak lansung dengan


penderita dan melalui saluran penrapasan, bakteri ini berkembang
biak dalam waktu 2-3 minggu pertahanan bakteri ini dalam tubuh
manusia mampu bertahan 9 hari diluar tubuh manusia kemudian
kuman membelah dalam 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-rata
2-5tahun bahkan juga dapat memakan waktu lebih dari 5 tahun.
Tanda mulai muncul, antara lain, kulit mengalami bercak  putih,
merah, rasa, kesemutan bagian anggota tubuh hingga tak berfungsi
sebagaimana mestinya. Penatalaksanaan kasus yang buruk dapat
menyebabkan kusta menjadi progresif, menyebabkan kerusakan
permanen pada kulit, saraf, anggota gerak, dan mata. 
2.1.5 Patogenesis
Tampak M. leprae memiliki patogenitas dan daya invasi yang
rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak
belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan
sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan
derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang
berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat
atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh
karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit
imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi
selularnya daripada intensitas infeksinya. 

Basil dari M. Leprae yang masuk kedalam tubuh melalui


traktus respiratorius dan menembus system retikuloendotelial, lalu
kuman akan bermigrasi ke jaringan saraf dan masuk ke dalam
sel schwann yang merupakan target utamanya, dan dapat pula
ditemukan pada sel otot, endotel dan pembuluh darah. Setelah
masuk kedalam sel sel targetnya, kuman lepra akan mulau
berkembang biak secara perlahan (12-14 hari untuk satu kuman
berubah menjadi dua) di dalam sel yang dihancurkannya, lalu
kuman ini akan mencari sel yang belum di infeksi, sampai fase
ini seseorang yang terinfeksi masih belum merasakan gejala
yang jelas. 

Bersamaan dengan multifikasi bakteri, imunitas tubuh akan


berespon, seperti limfosit dan histiosit akan menyerang kuman
pada jaringan yang terinfeksi dimana akan terbentuk sel granul
akubat proses imunitas tubuh sehingga saraf tertekan dan
menyebabkan pembesaran pada saraf (edema) lalu pada fase ini
seseorang yang terinfeksi akan merasakan adanya gejala klinis yang
jelas berupa anastesi, alopesia, anhidrosis, atrofia, akromia.
2.1.6 Manifestasi Klinis dan Klasifikasi
Klasifikasi penyakit kusta dilakukan berdasarkan banyak jenis
klasifikasi, diantaranya adalah system klasifikasi Ridley dan Jopling,
Madrid, dan WHO (table 1). Puskesmas di Indonesia menggunakan
klasifikasi oleh WHO. Manifestasi klinis dari penyakit ini sangat
bergantung  pada daya tahan dan respon imunologis dari penderitanya.
Saat kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh penderita, akan terjadi
respon dan keadaan klinis yang bergantung  pada respon dari system
imunitas seluler (SIS) orang tersebut. Apabila SIS dalam keadaan  baik
maka akan terbentuk gambaran klinis kearah tuberkuloid, sedangkan
sebaliknya bila SIS dalam keadaan tidak baik maka akan terbentuk
gambaran klinis kearah lepromatosa

Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate


pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe dan bentuk, yaitu : TT
(Tuberkuloid polar, yang bentuk stabil), Ti (Tuberkuloid indenfinite), BT
(Borderline tuberculoid), BB (Mid borderline), BL (Borderline
lepromatous), Li (Lepromatosa indenfinite), dan LL (Lepromatosa polar,
bentuk yang stabil).

Tabel 1. Zona Spektrum Kusta Menurut Macam Klasifikasi 1

KLASIFIKAS ZONA SPEKTRUM KUSTA


I
Ridley & TT BT BB BL LL
Jopling
Madrid Tuberkuloid Border Line Lepromatosa
WHO Pausibasilar Multibasilar
PUSKESMAS PB MB
Manifestasi klinis penyakit kusta dilakukan berdasarkan banyak jenis
klasifikasi, diantaranya :

1. BerdasarkanWHO pada table 2, yaitu :


Tabel 2. Diagnosis Klinis Kusta Menurut WHO (1995)

2. Manfestasi klinis kusta tipe Multibasiler pada table 3, yaitu :


Tabel 3.Manifestasi Klinis Kusta Tipe Multibasiler
3. Manifestasi klinis kusta tipe Pausibasiler pada table 4, yaitu :
Tabel 4. Manifestasi Klinis Kusta Tipe Pausibasiler1

Sifat Tuberkuloid (TT) Borderline Interminate(I)


Tuberculoid (BT)
Lesi

 Bentuk Makula saja; Makula dibatasi Hanya macula


macula dibatasi infiltrate; infiltrate
infiltrate saja

 Jumlah Satu, Beberapa Satu


Dapat beberapa Atau satu dengan Atau beberapa
satelit

 Distribusi Asimetris Masih asimetris Variasi

 Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Variasi

 Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau


dapat tidak jelas

 Anestesia Jelas Jelas Tidak ada sampai


tidak jelas

BTA

 Lesi Kulit Hampri Negatif atau hanya Biasanya Negatif


Selalu negatif +1

Tes Lepromin Positif kuat (3+) Positif Lemah Dapat positif


lemah atau
negative

Berikut ini beberapa gambaran klinis dari Kusta tipe Multibasiler maupun
Kusta tipe Pausibasiler, yaitu :

1. Kusta tipe TT (Tuberkuloid)


Jenis lesi ini pada umumnya bersifat stabil. Lesi pada umumnya
solitair (tunggal) ataupun hanya beberapa; berwarna kemerah-merahan
atau kecoklat-coklatan atau hipopogmentasi; berbentuk oval ataubulat,
berbatas tegas dari kulit yang normal disekitarnya. Batas tepinya dapat
mengalami sedikit peninggian diseluruh atau beberapa bagian.
Permukaannya kering dan dapat memperlihatkan penyembuhan sentral
atau suatu atrofi yang ringan. Kehilangan rambut, keringat, dan mati
rasa dapat ditemukan. Hasil pemeriksaan BTA negatif, sedangkan
reaksi Mitsuda positif

Gambar 5. Kusta TipeTuberkuloid


(DikutipdariPustaka :Kemenkes RI,2013)

2. Kusta tipe BT (Borderline Tuberculoid)


Lesi kulit ini dapat ditemukan dari beberapa sampai banyak, berwarna,
kemerah-merahan sampai kecoklatan atau hypochromik; dan adalesi-
lesi yang tersendiri yang dapat meninggi keseluruhan atau dapat
memiliki suatu penyembuhan (“clearing”) sentral; batas-batasnya
tampak dengan nyata apabila dibandingkan dengan kulit yang sehat di
sekelilingnya. Permukaan dapat bersifat licin tetapi pada umumnya
kasar dan bersisik. Saraf-saraf tepi kadangkala dapat teraba menebal.
Hasil pemeriksaan BTA positif ringan; sedangkan reaksi Mitsuda
adalah positif lemah sampai positif kuat

Gambar 6. Kusta TipeBorderline Tuberculoid


(DikutipdariPustaka : Kemenkes,2013)
3. Kusta tipe I (Interminate)
Lesi kulit kebanyakan terdiri dari suatu macula tunggal datar, biasanya
sedikit hipopigmentasi ataupun sedikit erythematosa; sedikit oval
ataupun bulat. Permukaannya rata dan licin, tidak ditemui tanda-tanda
ataupun perubahan tekstur kulit. Batas batas yang terlihat kadangkala
tegas tetapi pada umumnya agak semu. Lesi biasanya terdapat pada
bagian kulit yang terbuka. Pada umumnya mati rasa pada makula-
makula sangat seditkit. Pemeriksaan BTA (Basil Tahan Asam) pada
umumnya negatif atau kadang kala positif. Reaksi Mitsuda pada
umumnya positif tetapi dapat pula negatif pada beberapa kasus yang
jarang

Gambar 7. Kusta TipeInterminate (DikutipdariPustaka :Kemenkes RI, 2013)


4. Kusta tipe BB (Mid Borderline)
Lesi-lesi kulit bias beberapa sampai banyak, dengan warna kemerahan
atau kecoklatan, berbentuk oval atau bulat. Lesi-lesi ini mengalami
infiltrasi pada seluruh lesi atau kadang kala dengan suatu
penyembuhan sentral (clearing central area) yang menghasilkan suatu
penampilan “punched out” atau dapat pula berupa plakat-plakat
(plaques) yang Sukkulent dan menebal ataupun berupa pita-pita yang
tebal. Mati rasa pada macula sedikit sekali, hanya didapati ditengah
daerah imun atau beberapa tempat yang tertentu. Hasil pemeriksaan
BTA pada umumnya positif; sedangkan reaksi Mitsuda pada umumnya
negative, tetapi bisa positif lemah.

Gambar 8. Kusta TipeMid Borderline (Dikutipdari Pustaka :Kemenkes RI, 2013)


5. Kusta tipe BL (Borderline Lepromatosa)

Gambar 9. Kusta Tipe Borderline Lepromatosa


(DikutipdariPustaka :Kemenkes RI,2013)

Lesi-lesi kuli bentuknya berbagai ragam (multiform) bervariasi dalam


hal ukuran, menebal atau mengalami infiltrasi, berwarna kemerah-
merahan ataupun kecoklatan, sering banyak dan meluas. Mereka dapat
ditemukan secara bilateral dalam hal distribusi tetapi tidak simetris.
Permukaan dari lesi pada umumnya licin dan mengkilap dengan batas-
batas lesi tidak nyata. Bercak kulit berupa infiltrat yang diffuse dapat
pula dilihat disini. Gangguan sensorik yang bervariasi dari kurang rasa
sampai anesthesia total, anesthesia pada tangan dan kaki biasanya
asimetris. Hasil pemerksaan BTA adalah positif dan reaksi Mitsuda
adalah negatif
6. Kusta tipe LL (Lepromatosa)
LLS (Penyakit Kusta Lepromatosa Sub Polar) pada tipe penyakit kusta
Lepromatosa yang Sub Polar (LI pada terminologi yang lama), lesi-
lesikulit sangat menyerupai lesi-lesi penyakit kusta lepro-lepromatousa
yang polar; namun demikian masih dapat ditemui sejumlah kecil sisa
lesi-lesi dari kusta borderline yang asimetris. Disamping itu juga
terdapat kerusakan saraf (tepi) yang asimetris dengan pembesaran
saraf. Pada tipe penyakit kusta ini alis mata bisa kita temui masih baik.
Hasil pemeriksaan BTA adalah positif sedangkan reaksi Mitsuda
adalah negatif10.

Gambar 10 . Kusta TipeLepromatosa


(DikutipdariPustaka : Kemenkes,2013)
7. Kusta tipe Histoid
Tipe penyakit ini merupakan suatu manifestasi khusus dari penyakit
kusta Lepro-lepromatousa yang ditandai dengan terbentuknya papula
ataupun nodula didalam kulit atau jaringan subkutan. Sebagian
besarakan berkembang sebagai suatu manifestasi dari kekambuhan
(relaps) dengan suatu persentasi yang tinggi yang dihubungkan dengan
resistensi terhadap DDS, tetapi kadangkala dapat timbul tanda si
penderita pernah atau telah memperoleh chemotherapi. Lesi-lesinya
pada umumnya berkilap, berwarna kemerah-merahan, atau kecoklat-
coklatan, berkembang pada daerah-daerah infiltrasi yang telah sembuh
atau pada daerah-daerah yang lain yang belum pernah terkena lesi
disamping itu dapat terjadi pada tempat-tempat yang lain yang jarang
terserang lesi kusta. Hasil-hasil pemeriksaan BTA positif kuat dan
reaksi Mitsuda negatif10.

Gambar 11 . Kusta Tipe Histoid


(DikutipdariPustaka :Kemenkes RI,2013)
2.1.7 Faktor Resiko
Berbagai faktor yang berhubungan dengan timbulnya kejadian kusta,
di antaranya adalah status vaksinasi BCG (Bacillus Calmette Guerin),
riwayat kontak, lama kontak, personal hygiene, umur, pendidikan, status
social-ekonomi, kepadatan hunian, dan jenis kelamin. Faktor risiko yang
mempengaruhi kejadian kusta seperti kepadatan hunian yang tinggi
memperbesar kemungkinan kontak semakin sering, ditambah memiliki
riwayat kontak dengan penderita dapat penularan penyakit kusta dan
dengan kontak yang lama secara erat dan terus menerus dapat
memperbesar risiko penularan. Lingkungan yang padat penghuni, tentunya
kondisi ini akan mempermudah penularan penyakit kusta pada orang lain
karena lingkungan yang padat penghuni dapat terjadi interaksi langsung
maupun tidak langsung pada penderita kusta dengan bukan penderita.
Rumah yang dihuni oleh banyak orang dan ukuran rumah tidak sebanding
dengan jumlah orang maka akan mengakibatkan dampak buruk bagi
kesehatan dan berpotensi terhadap penularan dan infeksi7.

2.1.8 Diagnosis

Anamnesis

Pada anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien yang


mendasari datangnya pasien mencari pertolongan. Perlu ditanyakan
kapan waktu timbulnya bercak atau kelainan yang dirasakan oleh
pasien. Perlu juga diitanyakan apakah ada anggota keluarga atau
orang serumah yang menderita keluhan yang sama, dan adanya
riwayat kontak dengan penderita kusta. Adanya riwayat pengobatan
sebelumnya juga perlu ditanyakan untuk menilai kepatuhan berobat
dan kemungkinan resistensi pengobatan. 

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan dengan pemeriksaan dermatologis dan


pemeriksaan neurologis perifer. Pemeriksaan dermatologis
dilakukan pada ruang dengan penerangan yang cukup dan sumber
cahaya terletak oblik. Pemeriksaan dermatologis dilakukan secara
sistematis mulai dari kepala hingga ke ujung kaki dan
memperhatikan setiap kelainan kulit yang ditemukan, serta
kelainan struktural dan anatomis yang didapatkan. Pemeriksaan
dermatologis juga mencakup pemeriksaan raba pada kulit yang
dicurigai dengan menggunakan kapas yang ujungnya dilancipkan,
dan dibandingkan dengan kulit yang sehat.

Pemeriksaan neurologis untuk kusta dilakukan untuk mencari


tahu adanya kerusakan saraf perifer akibat infeksi dari
Mycobacterium leprae  yang biasanya terjadi pada N. auricularis
magnus, N. facialis, N. radialis, N. medianus, N. peroneus
communis, dan N. tibialis posterior. Adapun fungsi dari masing-
masing saraf tersebut dapat dilihat pada tabel 5. 

Tabel 5. Fungsi Normal Beberapa Saraf Tepi 6 


Pemeriksaan pada saraf tepi dilakukan dengan palpasi tekanan
ringan sehingga tidak menyakitkan pasien, dan bertujuan untuk
mengetahui adanya penebalan saraf, simetrisitas ukuran dan
perabaan saraf, serta adanya nyeri pada saraf. Pemeriksaan yang
wajib dilakukan adalah pada N. ulnaris, N. peroneus communis,
dan N. tibialis posterior.  

Pemeriksaan Penunjang
Terdapat tiga kelompok besar dalam pemeriksaan penunjang untuk
lepra, yaitu pemeriksaan bakterioskopis, pemeriksaan
histopatologis, dan pemeriksaan serologis.1

 Pemeriksaan bakterioskopis 
Pemeriksaan bakterioskopis digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan
dibuat dari kerokan kulit atau mukosa hidung yang diwarnai
dengan pewarnaan terhadap bakteri tahan asam, antara lain
dengan Ziehl Neelsen. Pemeriksaan bakteri negatif pada seorang
penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung M.
leprae.
Pertama-tama kita harus memilih tempat-tempat di kulit
yang diharapkan paling padat oleh bakteri, setelah terlebih dahulu
menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Untuk
pemeriksaan rutin biasanya diambil dari minimal 4-6 tempat,
yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 tempat lain
yang paling aktif, berarti yang paling merah di kulit dan infiltratif.
Kepadatan  Mycobacterium leprae  tanpa membedakan solid
(utuh) atau nonsolid (terfragmentasi atau granuler) pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan Indek Bakteri (IB) dengan nilai dari 0
sampai 6+ menurut Ridley. Seperti tertera di bawah ini:
1. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
2. 1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP
3. 2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP
4. 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 100LP
5. 4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
6. 5+ bila 101-1000 BTA dalam 1 LP
7. 6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
 Nilai IB dinyatakan sebagai rata-rata dari seluruh tempat yang
dilakukan  pemeriksaan, sedangkan indeks morfologi (IM)
adalah persentase bakteri yang hidup (solid) diantara seluruh
bakteri yang ditemukan (solid dan non-solid). 1 Pemeriksaan
bakterioskopik seperti ini memakan banyak tenaga dan waktu,
oleh karena itu terdapat sebuah penelitian yang menilai
penggunaan polymerase chain reaction (PCR) untuk
mengkuantifikasikn DNA dari Mycobacterium leprae dalam
suatu sampel jaringan. Korelasi antara perhitungan dengan PCR
dan metode langsung memberikan nilai keakuratan mencapai
98%.7 

 Pemeriksaan histopatologis 

Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan


kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya
sedikit dan non-solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi
subepidermal ( subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah
langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik
(lihat gambar no. 3). Didapati pula adanya sel Virchow
dengan banyak kuman. Pada tipe borderline, terdapat campuran
unsur-unsur tersebut. 

Gambar 3.
Pemeriksaan
Histopatologis
 Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya
antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae.
Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M.
leprae, yaitu antibodi antiphenolic glycoplipid-1 (PGL-1) dan
antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Macam-macam
pemeriksaan serologik kusta yang dapat dilakukan adalah: tes
FLA-ABS, tes ELISA, dan tes MLPA ( Mycobacterium Leprae
Particle Agglutination).1 

2.1.9 Diagnosis Banding


Kusta dikenal sebagai the greatest imitator, maka secara klinis
menyerupai berbagai penyakit kulit lainnya. Beberapa kelainan kulit yang
mirip dengan penyakit kusta, antara lain: Lesi eritem bersisik: psoriasis,
pitiriasis rosea, dermatitis seboroik, dermatofitosis. Lesi hipopigmentasi
atau hiperpigmentasi tanpa skuama: vitiligo. Lesi hipopigmentasi dengan
skuama halus: pitirasis versikolor, pitiriasis alba. Papul, plakat atau nodul:
neurofibromatosis, sarcoma kaposi, veruka vulgaris, leukemia kutis,
granuloma anulare, tuberculosis kutis verukosus, xanthomatosis.
Yang termasuk Kusta Tipe Pausibasiler, yaitu Kusta tipe TT
(Tuberkuloid), Kusta tipe BT (Borderline Tuberculoid), kustatipe I
(Interminate). Sedangkan yang termasuk Kusta Tipe Multibasiler, yaitu
Kusta tipe BB (Mid Borderline), Kusta tipeBL(Borderline Lepromatosa),
dan Kusta tipe LL(Lepromatosa).

1. Diagnosis banding dari Kusta Tipe TT, yaitu Psoriasis, Tinea circinata

Gambar klinis Psoriasis


2. Diagnosis banding dari Kusta Tipe BT, yaitu Tinea Korporis

Gambar klinis tinea korporis


3. Diagnosis banding dari Kusta Tipe I, yaitu Vitiligo, Ptriasis versicolor,
Ptriasis Alba

Gambaran klinis ptriasis versikolor

4. Diagnosis banding dari Kusta Tipe BB, yaitu Psoriasis


5. Diagnosis banding dari Kusta Tipe BL, yaituPtriasis Rosea

Gambaran klinis Ptriasis rosea

2.1.10 Tatalaksana
Obat anti kusta yang paling banyakdipakai pada saat ini adalah DDS
(diaminodifenilsulfon) kemudian klofazimin, dan rifampisin. DDS mulai
dipakai sejak1948 dan di Indonesia digunakan pada tahun 1952.
Klofazimin dipakaisejak 1962 oleh Brown dan Hogerzeil, dan rifampisin
sejak tahun 1970. Pada 1988 WHO menambahkan 3 obat alternatif, yaitu
ofloksasin, minosiklin dan klaritrimisin. Pengobatan dengan multi drug
treatment   (MDT) untuk MB adalah Rifampisin 600 mg setiap bulan
dalam pengawasan, DDS 100 mg setiap hari, dan Klofazimin 300 mg
setiap bulan dalam pengawasan selama 24-36 bulan dengan syarat
berhenti yaitu bakterioskopis negatif. MDT untuk PB adalah Rifampisin
600 mg setiap bulan dalam pengawasan dan DDS 100 mg setiap hari
selama 6-9 bulan.
1. DDS

DDS merupakan singkatan dari Diamino Diphenyl Sulfone. Bentuk


obat berupa tablet warna putih dengan takaran 50 mg/tab dan 100
mg/tablet. Sifat bakteriostatik yaitu menghalang / menghambat
pertumbuhan kuman kusta. Dosis: dewasa 100 mg/hari, anak-anak 1-
2 mg/kg berat badan/hari. Efek samping jarang terjadi, berupa
anemia hemolitik. Manifestasi kulit (alergi) seperti halnya obat lain,
seseorang dapat alergi terhadap obat ini. Bila hal ini terjadi harus
diperiksa dokter untuk dipertimbangkan apakah obat harus distop.
Manifestasi saluran pencernaan makanan :tidak mau makan, mual,
muntah. Manifestasi Saraf; gangguan saraf tepi, sakit kepala vertigo,
penglihatan kabur, sulit tidur, gangguan kejiwaan.

1. Rifampisisn
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen
kombinasi DDS dengan dosis 10 mg/kg berat badan; diberikan setiap
hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai
monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan terjadinya
resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak
boleh diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek
sampingnya. Ditemukan dan dipakai sebagai obat anti tuberkulosis
pada tahun 1965 dan sebagai obat kusta pada tahun 1970 oleh REES
dkk., serta Leiker dan Kamp. Resistensi pertama terhadap M. Leprae
dibuktikan pada tahun 1976 oleh Kacobson dan Hastings. Efek
samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik,
gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi kulit.
2. Klofazimin
Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh
Brown dan Hoogerzeil. Dosis sebagai anti kusta ialah 50 mg
setiaphari, atau 100 mg selangsehari, atau 3 anti inflamasi sehingga
dapat dipakai pada penanggulangan ENL dengan dosis lebih yaitu
200-300mg/hari namun awitan kerja baru timbul 2-3 minggu.
Resistensi pertama pada satu kasus dibuktikan pada tahun 1982.
Clofazimine bekerja juga dengan menghambat  Adipose
Differentiated-Related  Protein (ADRP) pada sel-sel yang terinfeksi
oleh  Mycobacterium leprae. Hal ini dimaksudkan untuk
menghambat pertumbuhan dari bakteri yang hanya dapat tumbuh
pada lingkungan tersebut. Karakteristik ini tidak ditemukan pada
DDS (dapsone) ataupun rifampisin. Efek samping ialah warna merah
kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan pada sklera, sehingga
mirip ikterus, apalagi pada dosis tinggi, yang sering merupakan
masalah dalam ketaatan berobat penderita. Hal tersebut disebabkan
karena klofazimin adalah zat warna dan dideposit terutama pada sel
retikuloendotelial, muka dan kulit. Pigmentasi bersifat reversible,
meskipun menghilangnya lambat sejak obat dihentikan. Efek
samping lain yang hanya terja didalam dosis tinggi, yakninyeri
abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itudapat
terjadi penurunan berat badan.
3. Ofloksasin
Ofloksasin merupakan turunan flourokuinolon yang paling aktif
terhadap Mycobacterium leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah
400mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan
membunuh kuman Mycobacterium leprae hidupsebesar 99,99%.
Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna
lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia,
nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi.
4. Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih
tinggi daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin.
Dosis standar harian 100mg. Efek sampingnya adalah pewarnaan
gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan
hiperpigmentasi kulit dan membrane mukosa, berbagai simtom
saluran cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizziness, dan
unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan untuk anak-anak atau
selama kehamilan.
5. Klaritromisin

Merupakan kelompok antibiotik mikrolid dan mempunyai aktivitas


bakterisidal terhadap Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia.
Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat
membunuh 99,9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea,
vomitus, dan diare yang terbukti sering ditemukan bila obat ini
diberikan dengan dosis 2000 mg.

2.1.11 Prognosis dan Komplikasi


Komplikasi
Mycobacterium leprae menyerang saraf tepi tubuh manusia. Tergantung
dari kerusakan saraf tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi saraf tepi
:sensorik, motorik dan otonom. Terjadinya cacat pada kusta disebabkan
oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman kusta maupun karena
terjadinya peradangan (neuritis) sewaktu keadaan reaksi lepra. Kerusakan
saraf pada penderita kusta meliputi:
1.Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/mati rasa
(anestesi). Akibat kurang/mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat
terjadi luka. Sedangkan pada kornea mata akan mengakibatkan
kurang/hilangnya reflek kedip sehingga mata mudah kemasukan
kotoran, benda-benda asing yang dapat menyebabkan infeksi mata dan
berakibat  buta.
1. Kerusakan fungsi motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/lumpuh dan lama-
lama otot mengecil (atrofi) oleh karena tidak dipergunakan. Jari-jari
tangan dan kaki menjadi bengkok (claw hand/claw toes) dan akhirnya
dapat terjadi kekakuan pada sendi, bila terjadi kelemahan/ kekakuan
pada mata, kelopak mata tidak dapat dirapatkan (lagopthalmus).
2. Kerusakan fungsi otonom
Terjadinya gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan
gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal,
mengeras, dan akhirnya dapat pecah-pecah. Pada umumnya apabila
terdapat kerusakan fungsi saraf tidak ditangani secara tepat dan tepat
maka akan terjadi cacat ketingkat yang lebih berat. Tujuan pencegahan
cacat adalah jangan sampai ada cacat yang timbul atau bertambah berat.
Prognosis
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis tidak mendapat pengobatan
mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu,
penderita dengan reaksi kusta, terutama reaksi reversal, lesi kulit multiple
dan dengan saraf yang membesar atau nyeri juga memiliki resiko tersebut.
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan adalah dengan mendiagnosis
kusta secara dini dan dengan pemberian pengobatan secara cepat dan tepat.
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. L M
Umur : 60 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Status maritas : Sudah menikah
Alamat : Bayangkara II
No RM : 15 36 70
Tanggal Pemeriksaan : 01-11-2021

3.2 ANAMNESA
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesa yang dilakukan pada tanggal 01-
11-2021 pukul 12.30 WIT di Poli Kulit dan Kelamin RSUD Dok II
Jayapura.
1. Keluhan Utama
Luka di paha kiri yang tidak nyeri
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUD DOK II Jayapura
pada tanggal 1 November 2021 dengan keluhan luka pada paha sebelah
kiri yang tidak nyeri sejak 6 bulan yang lalu. Pasien mengaku awalnya
timbul bercak kemudian bercak berubah menjadi bisul kemudian pecah
dan menjadi luka. Keluhan disertai dengan timbulnya bercak kemerahan
di daerah punggung, leher, dahi, dan bengkak kemerahan di cuping
telinga. Pasien juga mengeluh seluruh badan pegal-pegal, gatal dan rasa
lemas. Pasien selalu berobat di dokter praktek dan diberikan obat salep
dan obat anti nyeri, tetapi tidak membaik.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami penyakit ini sebelumnya pada tahun 2018,
Pasien belum pernah minum obat program kusta sebelumnya. Riwayat
alergi disangkal. Riwayat penyakit lain (+) tinea corporis (2010).
Riwayat penyakit jantung (-), Hipertensi (-), DM (+), dan Alergi
disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Didalam keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa..
Riwayat penyakit jantung, Hipertensi (-), DM, dan Alergi disangkal

5. Riwayat Sosial dan Kebiasaan


Pasien sering kontak dengan salah satu tetangga yang mengalami sakit
kulit yang sama dan tetangga tersebut tidak pernah berobat.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


1. Status Generalis
 Keadaan umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 Tanda-tanda vital
 Tekanan darah : 120/70mmHg
 Nadi : 80 x/m
 Respirasi : 21 x/m
 SpO2 : 98%
 Suhu : 36,60C
a. Kepala dan leher
 Kepala
:
Normocephal, simetris, tidak ada kelainan, warna rambut putih & hitam
 Muka
:
Simetris, edema (-)
 Mata
:
Exoftalmus (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema palpebra
(-/-), pupil bulat isokor, reflex cahaya (+/+).
 Hidung
:
Simetris, deviasi deptum (-), deformitas (-)
 Telinga
:
Deformitas (-/-), nyeri tekan tragus (-/-), pembesaran KGB local (-),
pembesaran N. Aurical magnus (-).
 Mulut
:
Mukosa bibir lembab, sianosis (-), oral candidiasis (-), stomatitis (-), caries (-).
 Leher
:
Perubahan warna kulit (-), pembesaran KGB (-)
b. Thorax
c.
1) Paru
 Inspeksi
:
Pergerakan dada simetris,retraksi (-/-).

 Palpasi
:
Ekspansi dada (+) Dextra = Sinistra.

 Perkusi
:
Tidak dilakukan

 Auskultasi
:
Suara napas vesikuler/vesikuler, wheezing (-/-), rhonki (-/-).

2) Jantung
 Inspeksi
:
Tidak tampak pulsasi

 Palpasi
:
Thrill (-).

 Perkusi
:
Tidak dilakukan

 Auskultasi
:
BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
d. Abdomen
 Inspeksi
:
Cembung, jejas (-).

 Auskultasi
:
Bising usus (+) normal 4-5 x/menit

 Palpasi
:
Supel, nyeri tekan (-), pemeriksaan hepar/lien tidak dilakukan

 Perkusi
:
Tidak dilakukan
e. Ekstremitas
Ekstremitas atas : Simetris. Warna kulit sawo matang, sianosis (-), ikterik
(-),Akral hangat, CRT < 2 detik, Udem (-).
Ekstremitas bawah : Simetris. Warna kulit sawo matang, sianosis (-), ikterik
(-), Akral hangat, CRT < 2 detik, Udem tungkai (-)

f. Genitalia  Sex : Perempuan , tidak dilakukan evaluasi.


g. Vegetative  Makan : Normal, makan baik, nafsu makan baik
 Minum : Normal, dalam jumlah yang cukup
 BAK : Frekuensi normal dan warna urin kuning-bening
 BAB : Normal, mencret (-)

2. Status Dermatologis
Status Lokalis :
Lokasi I: Regio chepalic
Efloresensi lokasi I :
- Frontal : terdapat beberapa lesi berbentuk macula Hiperpigmentasi
berbatas tegas berbentuk bulat/lonjong berukuran lentikular-numular.
- Auricula Dextra : terdapat lesi infiltrat eritem dengan skuama halus
Lokasi II: regio cervical
Efloresensi lokasi II : terdapat beberapa makula eritema berbentuk bulat
berukuran lentikular- nummular berbatas tegas

Lokasi III : regio genu sinistra


Efloresensi lokasi III : terdapat makula Hiperpigmentasi, ulkus
berbentuk bulat berbatas tegas berukuran plakat ,tampak ekskoriasi
dengan skuama
Pemeriksaan fisik pada Morbus Hansen
1. Sensibilitas :
Rasa Raba : Hipoestesi (+)
Rasa nyeri : Hipoalgesia (+)
Perbedaan suhu : Tidak Dilakukan
2. Alopesia : (-)
3. Anhidrosis : tidak dilakukan
4. N. Arikularis Magnus : Pembesaran (-/-), Nyeri (-/-)
5. N. Poplitea Lateralis : Pembesaran (-/-), Nyeri ( -/+)
6. N. Tibialis Posterior : Pembesaran (-/-), Nyeri (-/-)

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Laboratorium

15/10/2021
28/10/2021
Pemeriksaa Satuan
Hasil GDS
n
184 ↑
Hemoglobi g/dL
11,7
n
Hematokrit 33,4 %

Leukosit 11,18 ↑ 10^3/uL 2. Pemeriksaan Bakterioskopik


Trombosit 249 10^3/uL
Pemeriksaan bakterioskopik
GDP 207 ↑ mg/dL dengan pewarnaan Ziehl
GDPP 408 ↑ mg/dL Neelsen pada tanggal 15
HbA1c 9,8 ↑ % November 2021. Berikut ini
hasil pemeriksaan
bakteriskopik dengan pewarnaan ZN pada table 5 :
Tabel. 5 Hasil Pemeriksaan Bakterioskopik dengan Pewarnaan Zielh Neelsen

Bagian Tubuh Yang Diambil Hasil


Cuping telinga kanan +2 clumps (+)
Cuping telinga kiri +1
Punggung +1
Kaki +1
Pada table 5 menunjukan bahwa bagian sampel tubuh yang diambil untuk di
jadikan sampel pemeriksaan bakteriskopik dengan pewarnaan ZielhNelseen,
yaitu cuping telinga kanan (+2) clumps (+), cuping telinga kiri (+1),
Punggung (+1), dan Kaki (+1). Berdasarkan Indeks Bakteri menurut Ridley,
(+1) bila ditemukan 1 sampai1 10 BTA dalam 100 lapang pandang, dan (+2)
bila ditemukan 1 sampai1 10 BTA dalam 10 lapang pandang.

3.5 DIAGNOSIS KERJA


Morbus Hansen tipe Multibasilar + ulkus MH + DM tipe 2

3.6 DIAGNOSIS BANDING


Pitriasis Vesikolor
Psoriasis

3.7 PENATALAKSANAAN
1. Farmakologi
 Metformin 3 x 500mg
 Clindamicyn 2x300mg
 As. Fusidat cr. 2% 2 x 1
 MDT MB :
o Rimfampicin 600 mg/bulan dalam pengawasan
o DDS 100 mg/hari
o Clofazamin 300 mg/bulan dalam pengawasan, diteruskan
50 mg/hari atau 3 kali 100 mg setiap minggu

3.8 PROGNOSIS
 Quo ad vitam : ad bonam
 Quo ad sanam : ad bonam
 Quo ad fuctionam : ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dengan


menanyakan gejala-gejala yang dirasakan oleh pasien dan melalui pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien Ny.
L M usia 60 tahun datang k dengan keluhan luka pada paha sebelah kiri yang
tidak nyeri sejak 6 bulan yang lalu. Pasien mengaku awalnya timbul bercak
kemudian bercak berubah menjadi bisul kemudian pecah dan menjadi luka.
Keluhan disertai dengan timbulnya bercak kemerahan di daerah punggung, leher,
dahi, dan bengkak kemerahan di cuping telinga. Pasien juga mengeluh seluruh
badan pegal-pegal, gatal dan rasa lemas. Pasien selalu berobat di dokter praktek
dan diberikan obat salep dan obat anti nyeri, tetapi tidak membaik. Pasien
mengaku pernah memiliki riwayat penyakit ini sebelumnya pada tahun 2018. Dari
keterangan pasien, dilingkungan tempat tinggal pasien terdapat tetangga yang
memiliki masalah kulit yang sama dan tetangga tersebut tidak pernah berobat.
Berdasarkan WHO didalam PERDOSKI 2017, menyatakan bahwa diagnosis
kusta didasarkan pada temuan kardinal (tanda utama) yaitu bercak kulit yang mati
rasa, penebalan saraf tepi, dan ditemukan kuman tahan asam. Diagnosis kusta
ditegakkan bila ditemukan paling sedikit satu tanda kardinal. Selain tanda
kardinal, dari anamnesa didapatkan riwayat berikut, yaitu riwayat kontak dengan
pasien, latar belakang keluarga dengan riwayat tinggal didaerah endemis dan
keadaan sosial ekonomi, serta riwayat penyakit kusta.
Berdasarkan pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan nyeri pada betis
status dermatologis berupa makula hiperpigmentasi dan eritema pada dahi,
punggung, tampak infiltrate pada cuping telinga, dan juga tampak ulkus yang
tidak nyeri berbentuk bulat berbatas tegas berukuran plakat ,tampak ekskoriasi
dengan skuama. Hal ini sesuai dengan teori, bahwa pada pemeriksaan fisik kusta
ditemukan macula hiperpigmentasi, plak eritem, infiltrate difus, dan juga kadang
terasa nyeri dibagian daerah lesi.
Berdasarkan pemeriksaan penunjang pada pasien,dilakukan pemeriksaan
bakteriskopik yaitu dengan pengambilan Reitz serum yang kemudian dilakukan
pewarnaan BTA ZN. Pemeriksaan pada pasien dilakukan di 4 tempat yaitu
cuping telinga kanan, cuping telinga kiri, punggung, dan kaki. Dari pemeriksaan
tersebut didapatkan BTA (+2) +clumps pada lesi di cuping telinga kanan, (+1) di
cuping telinga kiri, (+1) di punggung, dan (+1) di kaki. Berdasarkan Indeks
Bakteri menurut Ridley, (+1) bila ditemukan 1 sampai1 10 BTA dalam 100
lapang pandang, dan (+2) bila ditemukan 1 sampai1 10 BTA dalam 10 lapang
pandang. Menurut buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UI (2010),
pemeriksaan penunjang pada morbus hansen, dapat berupa : bakterioskopik,
histopatologik, dan serologik. Pada pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari
jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA
ZIEHL NEELSEN. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin
sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4
lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif.
Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat
tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang maka
diagnosis pada pasien ini mengarah kepada Kusta tipe Multibasilaris.
Diagnosis banding pada kasus ini Tinea versicolor disingkirkan karena
memiliki gejala khas berupa bercak pigmentasi bersisik, superficial bentuk
ireguler dan sering berlokasi dileher dan badan yang mirip dengan bercak kusta
tetapi pada tinea versicolor memiliki fungsi sensasi yang normal pada lesi yang
terkena.
Dignosis banding pada kasus ini Psoriasis disingkirkan karena memiliki
gejala klinis infiltrate plak eritemberbatas tegas, tetapi pada psoriasis tidak
ditemukan cardinal sign pada kusta dan jika sisik psoriasis diangkat akan timbul
titik-titik perdarahan, lesi psoriasis juga umumnya gatal, banyak dan simetris.
Pada kasus ini pasien diberikan pengobatan MDT (Multy Drugs Therapy),
yaitu dengan menggunakan Rimfampicin 600 mg/bulan; DDS 100 mg/hari; dan
Clofazamin 300 mg/bulan dalam pengawasan, diteruskan 50 mg/hariatau 3 kali
100 mg setiap minggu. Mula-mula diberikan 24 dosis dalam 24 sampai 36 bulan
dengan syarat bakteriskopis harus negative. Apabila masih positif harus
dilanjutkan sampai bakterioskopis negative. Selama pengobatan dilakukan
pemeriksaan klinis setiap bulan dan secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan
sekali. Jadi kemungkinan pengobatan Kusta Multibasiler ini selama 2 sampai 3
tahun. Pasien diberikan obat Clindamycin 2x300mg dan asam fusidat cream
sebagai antibakteri topical yang memiliki efek bakteriostatik/bakterisidal terutama
terhadap bakteri gram positif yang diindikasikan untuk lesi kulit primer atau
sekunder dalam kasus yaitu ulkus pada kaki
Prognosis untuk pasien adalah quo ad vitam ad bonam, quo ad
sanationam dubia ad bonam, dan quo ad fuctionam dubia ad bonam. Prognosis
dapat baik apabila pengobatan dilakukan dengan cepat, tepat, dan teratur.
.
BAB V
RINGKASAN

Telah dilaporkan sebuah kasus dengan diagnosis Morbus Hansen + Ulkus


MH pada seorang Perempuan usia 60 tahun. Dari anamnesis ditemukan
adanya luka pada paha sebelah kiri yang tidak nyeri sejak 6 bulan yang lalu.
Pasien mengaku awalnya timbul bercak kemudian bercak berubah menjadi
bisul kemudian pecah dan menjadi luka. Keluhan disertai dengan timbulnya
bercak kemerahan di daerah punggung, leher, dahi, dan bengkak kemerahan
di cuping telinga. Pasien juga mengeluh seluruh badan pegal-pegal, gatal
dan rasa lemas. Pasien selalu berobat di dokter praktek dan diberikan obat
salep dan obat anti nyeri, tetapi tidak membaik. Pasien mengaku pernah
memiliki riwayat penyakit ini sebelumnya pada tahun 2018. Dari keterangan
pasien, dilingkungan tempat tinggal pasien terdapat tetangga yang memiliki
masalah kulit yang sama dan tetangga tersebut tidak pernah berobat. Dari
pemeriksaan fisik pasien ditemukan status dermatologis berupa makula
hiperpigmentasi dan eritema pada region frontal , cervikal, tampak infiltrate
pada cuping telinga, dan juga tampak ulkus yang tidak nyeri berbentuk bulat
berbatas tegas berukuran plakat ,tampak ekskoriasi dengan skuama pada
regio cruris. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan BTA (+2) +clumps
pada lesi di cuping telinga kanan, (+1) di cuping telinga kiri, (+1) di
punggung, dan (+1) di kaki. Pasien di terapi dengan menggunakan MDT
MB : Rimfampicin 600 mg/bulan ; DDS 100 mg/hari ; dan Clofazamin 300
mg/bulan dalam pengawasan, diteruskan 50 mg/hari atau 3 kali 100 mg
setiap minggu, kemudian diberikan antibiotic topical dan oral yaitu
clindamycin 2x300mg dan asam fusidat cream 2x1. Prognosis dapat baik
apabila pengobatan dilakukan dengan teratur.
DAFTAR PUSTAKA

1. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe – Dili, Sri LinuwihMenaldi.


Kusta. Dalam :Djuanda,Adhidkk.(ed). IlmuPenyakitKulit dan Kelamin Edisi
KelimaCetakanKelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2010;hal73-88
2. Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta : Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia 2021 ; hal163-167.
3. Dinkes Papua. Profil Kesehatan Provinsi Papua Tahun2019 .Jayapura : Dinas
Kesehatan Provinsi Papua 2020 ; hal 68-71
4. Tami M. The Relationship Between Paucibacillary Type Leprosy and The
Success of Leprosy Treatment in East Java. JurnalBerkalaEpidemologi. Vol 7
No 1 (2019) 17 – 24.
5. Srivastava RK. Training manual for medical officer . New Delhi: Ministry of
Health and Family Welfare; 2019.
6. Kemenkes RI. Penanggulangan Kusta. Jakarta : Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia 2019.
7. Akbar H. The Risk Factors In The Occurence Of Leprosy In The Working
Area Of Juntinyuat Health Center. JurnalWiyata 2020.
8. Amelia P.PresentasiKasus Morbus Hansen. Jakarta : FK UKRIDA 2019.
9. Siskawati Y, dkk. Kusta Subklinis :BeberapaPemeriksaan dan
Kemoprofilaksis. Jakarta : FK UI/RS CiptoMangunkusumo Vol. 41 No. 2
Tahun 2014 ;79-84
10. Kemenkes RI. Atlas Kusta. Jakarta :DirektoratJendralPengendalianPenyakit
dan PenyehatanLingkunganKementerian Kesehatan Republik Indonesia 2013.
11. Novita A. Buku Saku PenanganPasien Kusta. Jepara : Unit Rehabilitas Kusta
RSUD Kelet 2014.
12. Juliawadani,L.IndeksKompositInfeksiBakteri Pada Penderita Kusta
TipePaucibasiler dan Multibasiler Di Kota Makassar. Makassar : Universitas
Hasanuddin 2019.
13. PERDOSKI. Panduan PraktikKlinis Bagi Dokter SpeliasiKulit dan Kelamin
di Indonesia. Jakarta :Perhimpunan Dokter SpesialisKulit dan Kelamin
Indonesia 2017.

Anda mungkin juga menyukai