Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

ILMU PENYAKIT THT

Sinusitis Maksilaris Kronis Dextra et causa Infeksi Gigi


(Sinusitis Dentogen)

Oleh:

Muhamad Tariq Akbar 19710101

Pembimbing :

dr. Tutut Sriwiludjeng T, Sp.THT-KL

RUMAH SAKIT UMUM DR.WAHIDIN SUDIROHUSODO MOJOKERTO


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA
SURABAYA

2021
LAPSUS
ILMU PENYAKIT THT

Sinusitis Maksilaris Kronis Dextra et causa Infeksi Gigi (Sinusitis Dentogen)

Diajukan Untuk Salah Satu Syarat Guna


Mengikuti Ujian Dokter Muda

Oleh :

Muhamad Tariq Akbar 19710101

Telah disetujui dan disahkan pada:

Hari :

Tanggal :

Pembimbing,

dr. Tutut Sriwiludjeng T, Sp. THT-KL

ii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME karena atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya, penulis mampu menyelesaikan Lapsus ini dengan judul “Sinusitis Maksilaris Kronis
Dextra et causa Infeksi Gigi (Sinusitis Dentogen)”.

Lapsus ini dikerjakan demi memenuhi salah satu syarat guna mengikuti ujian utama SMF Ilmu
Penyakit THT sebagai dokter muda di RSU dr.Wahidin Sudirohusodo. Penulis menyadari bahwa Lapsus
ini bukanlah tujuan akhir dari belajar karena belajar adalah sesuatu yang tidak terbatas.

Terselesaikannya Lapsus ini tentunya tak lepas dari dorongan dan uluran tangan berbagai pihak.
Oleh karena itu, tak salah kiranya bila penulis mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan
kepada:

1. Prof. Dr. Suhartati, dr., MS, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya yang
telah memberi kesempatan kepada penulis menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya
Kusuma Surabaya
2. dr. Tutut Sriwiludjeng T, Sp. THT-KL selaku kepala bagian Ilmu Penyakit THT serta sebagai
pembimbing Lapsus di RSU dr.Wahidin Sudirohusodo yang telah memberikan banyak ilmunya
kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas ini dengan maksimal.
3. Orang tua penulis serta semua keluarga yang selalu mendukung dan memberikan semangat kepada
penulis dalam menyelesaikan Lapsus ini.
4. Teman-teman pendidikan dokter umum yang telah banyak membantu menyelesaikan Lapsus ini.
5. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan Lapsus ini.
Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan ketulusan semua pihak yang telah membantu
penulis guna menyelesaikan Lapsus ini dengan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya.

Mojokerto, 13 Oktober 2021

Penulis

iii
Daftar Isi

Halaman
Judul …...…………………………………………………………........ i
Halaman Persetujuan...............................................................................ii
Kata Pengantar........................................................................................iii
Daftar Isi..................................................................................................iv
Laporan Kasus.........................................................................................1
BAB I
Pendahuluan............................................................................................5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi..................................................................................6
2.2 Anatomi................................................................................6
2.3 Etiologi..................................................................................10
2.4 Klasifikasi..............................................................................11
2.5 Patofisiologi..........................................................................13
2.6 Diagnosis...............................................................................14
2.7 Diagnosa Banding.................................................................22
2.8 Penatalaksanaan...................................................................22
2.9 Komplikasi............................................................................24
BAB III
Kesimpulan..............................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................28

iv
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. Muhamad Ichsan
Umur : 62 tahun
Jenis kelamin : Laki - laki
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Mojokerto
Tanggal Pemeriksaan : Kamis, 23 Februari 2022
1.2 Anamnesa Pasien
1. Keluhan Utama : Keluar lendir dari hidung ke tenggorokan
2. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke Poli THT dr. Wahidin Sudiro Husodo
dengan keluhan keluar lendir dari hidung yang dirasakan mengalir ke tenggorokan sudah
sejak 3 bulan yang lalu, pasien juga mengeluhkan adanya keluar lendir kental dari hidung
kanan yang berwarna kuning, berbau dan tidak ada darah, hidung kanan juga dirasakan
buntu, pasien mengatakan awalnya adanya pilek terus menerus tetapi sekarang sudah
tidak ada, pasien mengatakan tidak ada nyeri dan nyeri tekan pada hidung, pipi dan dahi,
panas (-), pusing (-), mual dan muntah (-), batuk (-), makan dan minum baik, telinga dan
tenggorokan tidak ada keluhan. pasien juga memiliki riwayat sakit gigi bagian kanan atas
sudah lama sekitar 6 bulanan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
 Pasien tidak memiliki riwayat penyakit Diabetes militus
 Pasien tidak memiliki riwayat Hipertensi
 Pasien tidak ada riwayat penyakit alergi makanan dan obat-obatan.
4. Riwayat Keluarga
Tidak ada keluarga yang sakit seperti ini
Ayah pasien ada riwayat Diabetes militus
5. Riwayat Pengobatan
Belum Diobati

1
6. Riwayat Sosial
Pasien seorang wiraswasta
1.3 Pemeriksaan Fisik
 Kesadaran : Compos Mentis, 456
 Vital Sign : Tekanan Darah : 120/90 mmHg
Nadi : 90 x/menit
Suhu : 36,5 °C
RR : 20 x/menit
 Kepala Leher : a/i/c/d : -/-/-/-
 Gigi geligi : karies di molar 2 dan 3 dextra
1.4 STATUS LOKALIS THT

1. Telinga
Telinga kanan Telinga kiri
Dalam batas normal Aurikula Dalam batas normal
Tenang, hiperemis (-) Canalis Acusticus Ekternus Tenang, hiperemis (-)
Intak, reflex cahaya Intak, reflex cahaya
Membrana Tympani
(+) (+)

2. Hidung :
Sinus paranasal :
Inspeksi : Tidak terlihat pembengkakan pada muka
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan pada kedua pipi
Cavum nasi : D/S
Sekret mukopurulen +/- kental
Mukosa : hiperemis +/-
Konkha : hipertrofi +/-
Septum : tidak ada deviasi septum

3. Leher :
Trakea : normal, tidak ada deviasi

2
Tiroid : normal, tidak ada pembesaran tiroid
KGB : normal, tidak ada pembesaran KGB.

1.5 DIAGNOSIS KERJA


 Susp. Sinusitis dentogen
1.6 DIAGNOSIS BANDING
 Rhinosinusitis
 Polip Hidung
 Rhinitis Alergi
1.7 RENCANA PEMERIKSAAN
 Foto radiologi posisi waters, AP dan lateral
 Transiluminasi
1.8 HASIL PEMERIKSAAN
 Foto radiologi posisi waters, AP dan lateral

- Tampak adanya gambaran air fluid level pada sinus maksilaris dextra
- Kesan: Sinusitis maxilaris dextra
1.9 ASSESSMENT
 Sinusitis Maksilaris Kronik Dextra et causa Infeksi Gigi (Sinusitis Dentogen)
1.10 PLANING
 Terapeutik
o Antibiotik : Klindamisin 2 x 300 mg, selama 14 hari

3
o Nasal dekongestan: Efedrin 0,5%
o Analgetik : Paracetamol 3 x 500 mg (bila ada nyeri)

o Konsultasi ke bagian Gigi untuk penanganan gigi berlubang sebagai causa


primer sinusitis.
1.11 EDUKASI
o Edukasi bahwa penyakit yang diderita pasien disebabkan infeksi kuman
pada suatu ruangan di bagian wajah. Penyakit ini bisa di sembuhkan.
o Terapi yang diberikan bertujuan untuk mengurangi keluhan, membunuh
kuman, dan membersihkan daerah yang terinfeksi.
o Menjelaskan prosedur dan manfaat dari irigasi sinus.
o Pasien dianjurkan untuk istirahat yang cukup agar kondisi tubuh dapat
prima sehingga proses penyembuhan penyakit dapat cepat berjalan.
o Kompres air hangat pada wajah untuk meringankan gejala.
o Antibiotik harus diminum sampai habis walaupun gejala sudah hilang agar
penyembuhan berlangsung baik dan tidak terjadi komplikasi.
o Menghindari hal-hal yang dapat mencetuskan pilek dan batuk dengan cara
menjaga kebersihan diri serta segera berobat jika mengalami batuk dan
pilek.
o Melakukan pemeriksaan gigi secara berkala dan mengedukasi pasien
untuk menjaga kebersihan gigi dan mulut.

PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Functionam : Bonam
Quo ad Sanactionam : Bonam

4
BAB I

PENDAHULUAN

Manusia memiliki sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral kavum nasi.
Sinus-sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah, dan diberi nama sesuai
dengan tulang tersebut, yaitu sinus maksilaris, sinus sfenoidalis, sinus frontalis, dan sinus
etmoidalis. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung (Moore,2006).

Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-hari,
bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia.
Sinusitis didefiniskan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau dipicu
oleh rinitis sehingga sering disebut (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang
selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri (Mangunkusumo,2007&Moore,2006).

Sinusitis adalah penyakit yang banyak ditemukan di seluruh dunia. Sinusitis bakterial
adalah diagnosis terbanyak kelima pada pasien dengan pemberian antibiotik dan jenis sinusitis
yang paling banyak ditemukan adalah sinusitis maksilaris (Mangunkusumo E,2007).

Kasus sinusitis dengan sumber dentogen terhitung 10% dari semua kasus sinus
maksilaris. Pada beberapa penelitian, insidensi sinusitis dentogen lebih tinggi terjadi pada wanita
dan individu dengan usia yang lebih muda (dekade ketiga dan keempat) tampak menjadi lebih
rentan terkena. Sinusitis dentogen terjadi ketika membran Schneidarian mengalami perforasi. Hal
ini dapat terjadi pada pasien dengan karies gigi maksilaris dan trauma gigi maksilaris. Terdapat
juga penyebab-penyebab iatrogenik, seperti perpindahan implan gigi dan ekstraksi gigi.
Sehingga, diperlukan suatu penatalaksanaan yang tepat dari berbagai bagian untuk dapat
mengatasi penyakit ini dengan tuntas (Moore,2006).

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

Sinusitis berasal dari akar bahasa Latinnya sinus, akhiran umum dalam kedokteran -itis
berarti peradangan karena itu sinusitis adalah suatu peradangan sinus paranasal. Sinusitis adalah
suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur
(Mangunkusumo E,2007).

Terdapat empat sinus disekitar hidung yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi), sinus
ethmoidalis (di antara kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi) dan sinus sphenoidalis
(terletak di belakang dahi). Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus paranasal yang dapat
berupa sinusitis maksilaris, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sphenoid. Bila yang
terkena lebih dari satu sinus disebut multisinusitis, dan bila semua sinus terkena disebut
pansinusitis (Mangunkusumo E,2007).

2.2 Anatomi

Sinus paranasal merupakan ruang udara yang berada di tengkorak. Bentuk sinus
paranasal sangat bervariasi pada tiap individu dan semua sinus memiliki muara (ostium) ke
dalam rongga hidung. Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung.
Anatominya dapat dijelaskan sebagai berikut: sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan
dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrium highmore) dan sinus
sphenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa
hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing
(Pletcher SD,2003).
Secara embriologis, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya pada fetus saat usia 3-4 bulan, kecuali sinus frontalis dan sphenoidalis. Sinus
maksilaris dan ethmoid sudah ada saat anak lahir sedangkan sinus frontalis mulai berkembang
pada anak lebih kurang berumur 8 tahun sebagai perluasan dari sinus etmoidalis anterior
sedangkan sinus sphenoidalis berkembang mulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari postero-
superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimum pada usia 15-18

6
tahun. Sinus frontalis kanan dan kiri biasanya tidak simetris dan dipisahkan oleh sekat di garis
tengah (Damayanti,2002).
Sinus paranasal divaskularisasi oleh arteri carotis interna dan eksterna serta vena yang
menyertainya seperti a. ethmoidalis anterior, a. ethmoidalis posterior dan a. sfenopalatina. Pada
meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara
sinus ethmoid posterior dan sinus sphenoid. Fungsi sinus paranasal adalah (Pletcher SD,2003) :
a. Membentuk pertumbuhan wajah karena di dalam sinus terdapat rongga udara sehingga bisa
untuk perluasan. Jika tidak terdapat sinus maka pertumbuhan tulang akan terdesak.
b. Sebagai pengatur udara (air conditioning).
c. Peringan cranium.
d. Resonansi suara.
e. Membantu produksi mukus.

Gambar 2.1 Sinus Paranasal. A. Tampak anterior. B. Tampak lateral

Gambar 2.2 Meatus tempat muara sinus paranasalis.

7
Berdasarkan ukuran sinus paranasal dari yang terbesar yaitu sinus maksilaris, sinus frontalis,
sinus ethmoidalis dan sphenoidalis:

a. Sinus Maksilaris

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila
berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang
disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal
maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding
superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris
dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial
sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum edmoid
(Mangunkusumo E,2007).

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah.

1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu (P1
dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi
molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus,
sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas dan menyebabkan sinusitis
2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus sehingga drainase
hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid
anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.
b. Sinus Frontalis
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.
Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 6-10 tahun dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri

8
biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainnya dan dipisahkan oleh
sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya
mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalisnya tidak
berkembang (Mangunkusumo E,2007).

Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya
2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak
adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto
Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang
yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus
frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui
ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan
infundibulum etmoid (Mangunkusumo E,2007).

c. Sinus Etmoidalis

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan dianggap
paling penting karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya.
Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di
bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tingginya 2,4 cm
dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior
(Mangunkusumo E,2007).

Sinus etmoid berongga-rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang


tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di
antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus
etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan
sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan
sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit disebut resesus frontal, yang
berhubungan dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu
penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus
maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan

9
sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis
maksila (Mangunkusumo E,2007).

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid dari
rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus
sfenoid (Mangunkusumo E,2007).

d. Sinus Sfenoidalis

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.


Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya
adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya
bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat
fosa serebri media dan kelenjar hipofisis, sebelah inferiornya atap nasofaring,
sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering
tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa
serebri posterior di daerah pons (Mangunkusumo E,2007).

2.3 Etiologi
Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun kronis
(berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-
tahun) (Mangunkusumo E,2007).
Penyebab sinusitis akut:
a. Virus
Sinusitis akut bisa terjadi setelah suatu infeksi virus pada saluran pernafasan bagian atas
(misalnya pilek).
b. Bakteri
Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam keadaan normal tidak
menimbulkan penyakit (misalnya Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae).
Jika sistem pertahanan tubuh menurun atau drainase dari sinus tersumbat akibat pilek atau

10
infeksi virus lainnya, maka bakteri yang sebelumnya tidak berbahaya akan berkembang
biak dan menyusup ke dalam sinus, sehingga terjadi infeksi sinus akut.
c. Jamur
Kadang infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut. Aspergillus merupakan jamur
yang bisa menyebabkan sinusitis pada penderita gangguan system kekebalan. Pada
orang-orang tertentu, sinusitis jamur merupakan sejenis reaksi alergi terhadap jamur.
d. Peradangan menahun pada saluran hidung.
Pada penderita rinitis alergika bisa terjadi sinusitis akut. Demikian pula halnya pada
penderita rinitis vasomotor.
e. Penyakit tertentu.
Sinusitis akut lebih sering terjadi pada penderita gangguan sistem kekebalan dan
penderita kelainan sekresi lendir (misalnya fibrosis kistik).
Penyebab sinusitis kronis:
a. Asma
b. Penyakit alergi (misalnya rinitis alergika)
c. Gangguan sistem kekebalan atau kelainan sekresi maupun pembuangan lendir.
Sinusitis lebih sering disebabkan adanya faktor predisposisi seperti (Tadjudin OA,1992) :
a. Gangguan fisik akibat kekurangan gizi, kelelahan, atau penyakit sistemik.
b. Gangguan faal hidung oleh karena rusaknya aktivitas silia oleh asap rokok, polusi udara,
atau karena panas dan kering.
c. Kelainan anatomi yang menyebabkan gangguan saluran seperti :
a) Atresia atau stenosis koana
b) Deviasi septum
c) Hipertroti konka media
d) Polip yang dapat terjadi pada 30% anak yang menderita fibrosis kistik
e) Tumor atau neoplasma
f) Hipertroti adenoid
g) Udem mukosa karena infeksi atau alergi
h) Benda asing
d. Berenang dan menyelam pada waktu sedang pilek
e. Trauma yang menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal

11
f. Kelainan imunologi didapat seperti imunodefisiensi karena leukemia dan
imunosupresi oleh obat.

2.4 Klasifikasi
Secara klinis sinusitis dibagi atas (Mangunkusumo E,2007) :
a. Sinusitis akut
b. Sinusitis subakut
c. Sinusitis Kronis
Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi menjadi (Mangunkusumo E,2007) :
a. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu yang
menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis
b. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering menyebabkan
sinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar).
c. Sinusitis Dentogen
Sinus maksila disebut juga antrum Highmore, letaknya dekat akar gigi rahang atas,
maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus. Sehingga, disebut sinusitis dentogen
(Mangunkusumo,2007). Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting
sinusitis kronik. Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi
rahang atas, sehingga rongga sinus maksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan
akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas
seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar
secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe (Mangunkusumo
E,2007). Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksilaris kronik yang
mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobati
sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan pemberian antibiotik
yang mencakup bakteri anaerob. Seringkali juga perlu dilakukan irigasi sinus maksila
(Mangunkusumo E,2007).
Etiologi sinusitis tipe dentogen ini adalah (Mangunkusumo E,2007) :

1. Perjalanan infeksi gigi seperti infeksi periapikal atau abses apikal gigi dari gigi
kaninus sampai gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering terjadi pada
kasus-kasus akar gigi yang hanya terpisah dari sinus oleh tulang yang tipis,

12
walaupun kadang-kadang ada juga infeksi mengenai sinus yang dipisahkan oleh
tulang yang tebal.
2. Prosedur ekstraksi gigi. Pencabutan gigi ini dapat menyebabkan terbukanya dasar
sinus sehingga lebih mudah bagi penjalanan infeksi
3. Penjalaran penyakit periodontal yaitu dijumpai adanya penjalaran infeksi dari
membran periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus
4. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan sinus
maksila
5. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan tambahan
akibat pengisian saluran akar yang berlebihan
6. Osteomielitis pada maksila yang akut dan kronis
7. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista radikuler
dan folikuler
8. Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat
menyebabkan obstruksi ostium yang memicu sinusitis.

2.5 Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran
klirens dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus juga
mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan
terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan (Mangunkusumo,2007).
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM tekanan negatif didalam rongga
sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi atau penghambatan mengalami oedem,
sehingga mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak
dapat bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan
drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous yang
dianggap sebagai sinusitis non bakterial yang dapat sembuh tanpa pengobatan. Bila tidak
sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini akan menjadi media yang poten
untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret akan berubah menjadi purulen yang
disebut sinusitis akut bakterialis yang membutuhkan terapi antibiotik. Jika terapi
inadekuat maka keadaan ini bisa berlanjut, akan terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan

13
semakin berkembang. Keadaan ini menyebabkan perubahan kronik dari mukosa yaitu
hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista (Mangunkusumo,2007).

2.6 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.


Sinusitis juga dapat ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. (Mangunkusumo,2007).

Penegakan diagnosis sinusitis secara umum:


Kriteria Mayor Kriteria Minor
a. Sekret nasal yang purulen a. Edem periorbital
b. Drainase faring yang purulen b. Sakit kepala
c. Purulent Post Nasaldrip c. Nyeri di wajah
d. Batuk d. Sakit gigi
e. Foto rontgen (Water’sradiograph atau e. Nyeri telinga
air fluid level) : Penebalan lebih 50% f. Sakit tenggorok
dari antrum g. Nafas berbau
f. Coronal CT Scan : Penebalan atau h. Bersin-bersin bertambah sering
opaksifikasi dari mukosa sinus i. Demam
j. Tes sitologi nasal (smear) : neutrofil
dan bakteri
k. Ultrasound

14
(Pletcher&Golderg, 2003)
Kemungkinan terjadinya sinusitis jika terdapat gejala dan tanda 2 mayor, 1 minor dan ≥ 2 kriteria
minor.
Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
1. Tes sedimentasi, leukosit, dan C-reaktif protein dapat membantu diagnosis sinusitis akut
2. Kultur merupakan pemeriksaan yang tidak rutin pada sinusitis akut, tapi harus dilakukan
pada pasien immunocompromise dengan perawatan intensif dan pada anak-anak yang
tidak respon dengan pengobatan yang tidak adekuat, dan pasien dengan komplikasi yang
disebabkan sinusitis (Pletcher SD,2003).
b. Imaging
1. Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu menegakkan diagnosa sinusitis dengan
menunjukan suatu penebalan mukosa, air-fluid level, dan perselubungan. Pada sinusitis
maksilaris, dilakukan pemeriksaan rontgen gigi untuk mengetahui adanya abses gigi.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut (Mangunkusumo,2007) :
a) Posisi Caldwell
Posisi ini didapat dengan meletakkan hidung dan dahi diatas meja sedemikian rupa
sehingga garis orbito-meatal (yang menghubungkan kantus lateralis mata dengan batas
superior kanalis auditorius eksterna) tegak lurus terhadap film. Sudut sinar rontgen adalah
15° kraniokaudal dengan titik keluarnya nasion.

b) Posisi Waters
Posisi ini yang paling sering digunakan. Maksud dari posisi ini adalah untuk
memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak dibawah antrum maksila. Hal ini

15
didapatkan dengan menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa sehingga dagu
menyentuh permukaan meja. Bidang yang melalui kantus medial mata dan tragus
membentuk sudut lebih kurang 37° dengan film proyeksi waters dengan mulut terbuka
memberikan pandangan terhadap semua sinus paranasal.

c) Posisi lateral
Kaset dan film diletakkan paralel terhadap bidang sagital utama tengkorak.

16
2. CT-Scan, memiliki spesifisitas yang jelek untuk diagnosis sinusitis akut, menunjukan
suatu air-fluid level pada 87% pasien yang mengalami infeksi pernafasan atas dan 40%
pada pasien yang asimtomatik. Pemeriksaan ini dilakukan untuk luas dan beratnya
sinusitis
3. MRI sangat bagus untuk mengevaluasi kelainan pada jaringan lunak yang menyertai
sinusitis, tapi memiliki nilai yang kecil untuk mendiagnosis sinusitis akut (Pletcher
SD,2003).
Sedangkan untuk menegakkan diagnosis sinusitis menurut klasifikasinya adalah sebagai berikut
(Anonim,2001) :
Sinusitis Akut
1. Gejala Subyektif
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas (terutama pada
anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7 hari.
Gejala subyektif terbagi atas gejala sistemik yaitu demam dan rasa lesu, serta gejala lokal
yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan mengalir ke nasofaring (post
nasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat pada pagi hari, nyeri di daerah sinus yang
terkena, serta kadang nyeri alih ke tempat lain.
a) Sinusitis Maksilaris
Sinus maksilaris disebut juga Antrum Highmore, merupakan sinus yang sering
terinfeksi oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) letak ostiumnya lebih
tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret (drenase) dari sinus maksila hanya tergantung dari
gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga
infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus
medius di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat (Mangunkusumo,
2007).
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan daerah
yang terkena. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak mata dan kadang menyebar
ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan depan telinga (Anonim,2001).
Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya
sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk.

17
Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non
produktif seringkali ada (Mangunkusumo,2007).
b) Sinusitis Ethmoidalis
Sinusitus ethmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali bermanifestasi
sebagai selulitis orbita. Karena dinding leteral labirin ethmoidalis (lamina papirasea) seringkali
merekah dan karena itu cenderung lebih sering menimbulkan selulitis orbita.
Pada dewasa seringkali bersama-sama dengan sinusitis maksilaris serta dianggap sebagai
penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan.
Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-kadang
nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di pelipis ,post
nasal drip dan sumbatan hidung (Mangunkusumo,2007).
c) Sinusitis Frontalis
Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus etmoidalis
anterior.
Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri berlokasi di atas alis mata,
biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda
hingga menjelang malam.
Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan mungkin terdapat
pembengkakan supra orbita.
d) Sinusitis Sphenoidalis
Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital, di belakang bola
mata dan di daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis,
sehingga gejalanya sering menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya
(Mangunkusumo,2007).
2. Gejala Obyektif
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan ethmoid anterior) terkena
secara akut dapat terjadi pembengkakan dan edema kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi
dengan jari mendapati sensasi seperti ada penebalan ringan atau seperti meraba beludru
(Mangunkusumo,2007).

18
Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan kelopak mata bawah, pada sinusitis
frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis ethmoid jarang timbul
pembengkakan, kecuali bila ada komplikasi (Mangunkusumo,2007).
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis
maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus
medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan sinusitis sphenoid nanah tampak keluar
dari meatus superior. Pada sinusitis akut tidak ditemukan polip,tumor maupun komplikasi
sinusitis.Jika ditemukan maka kita harus melakukan penatalaksanaan yang sesuai
(Mangunkusumo,2007). Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal
drip).
Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama kurang lebih 5 menit
dan provokasi test yakni suction dimasukkan pada hidung, pemeriksa memencet hidung pasien
kemudian pasien disuruh menelan ludah dan menutup mulut dengan rapat, jika positif sinusitis
maksilaris maka akan keluar pus dari hidung (Mangunkusumo,2007).
Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.
Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga tampak lebih
suram dibanding sisi yang normal (Mangunkusumo,2007).
Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah posisi waters, PA dan lateral. Akan tampak
perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air fluid level) pada sinus yang
sakit (Mangunkusumo,2007).
Pemeriksaan mikrobiologik sebaiknya diambil sekret dari meatus medius atau meatus
superior. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri yang merupakan flora normal di hidung
atau kuman patogen, seperti pneumococcus, streptococcus, staphylococcus dan haemophylus
influensa. Selain itu mungkin juga ditemukan virus atau jamur (Mangunkusumo,2007).
b. Sinusitis Subakut
Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda radang akutnya (demam,
sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda (Mangunkusumo,2007).
Pada rinoskopi anterior tampak sekret di meatus medius atau superior. Pada rinoskopi
posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pada pemeriksaan transiluminasi tampak sinus
yang sakit, suram atau gelap (Mangunkusumo,2007).
c. Sinusitis Kronis

19
Sinusitis kronis berbeda dengan sinusitis akut dalam berbagai aspek, umumnya sukar
disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan faktor
predisposisinya.
Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa hidung.
Perubahan tersebut juga dapat disebabkan oleh alergi dan defisiensi imunologik, sehingga
mempermudah terjadinya infeksi, dan infeksi menjadi kronis apabila pengobatan sinusitis akut
tidak sempurna.
1. Gejala Subjektif
Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :
a) Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret pasca nasal (post
nasal drip) yang sering kali mukopurulen dan hidung biasanya sedikit tersumbat.
b) Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan.
c) Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi sumbatan tuba
eustachius.
d) Ada nyeri atau sakit kepala.
e) Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
f) Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa bronkhitis atau
bronkhiektasis atau asma bronkhial.
g) Gejala di saluran cerna mukopus tertelan sehingga terjadi gastroenteritis.
2. Gejala Objektif
Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat pembengkakan
pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental, purulen dari meatus medius
atau meatus superior, dapat juga ditemukan polip, tumor atau komplikasi sinusitis. Pada
rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.
Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat ditemukan etmoiditis kronis
yang hampir selalu menyertai sinusitis frontalis atau maksilaris. Etmoiditis kronis ini dapat
menyertai poliposis hidung kronis.
3. Pemeriksaan Mikrobiologi
Merupakan infeksi campuran oleh bermacam-macam mikroba, seperti kuman aerob S.
aureus, S. viridans, H. influenzae dan kuman anaerob Pepto streptococcus dan fuso bakterium.
4. Diagnosis Sinusitis Kronis

20
Diagnosis sinusitis kronis dapat ditegakkan dengan :
a) Anamnesis yang cermat
b) Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior
c) Pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni pada daerah
sinus yang terinfeksi terlihat suram atau gelap.
Transiluminasi menggunakan angka sebagai parameternya
Transiluminasi akan menunjukkan angka 0 atau 1 apabila terjadi sinusitis (sinus penuh
dengan cairan)
d) Pemeriksaan radiologik, posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters, PA dan Lateral.
Posisi Waters, maksud posisi Waters adalah untuk memproyeksikan tulang petrosus
supaya terletak di bawah antrum maksila, yakni dengan cara menengadahkan kepala
pasien sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Posisi ini terutama
untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi
Posteroanterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus frontal,
sphenoid dan ethmoid.
Sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa:
1) Penebalan mukosa,
2) Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)
3) Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat dilihat pada
foto waters.
e) Pungsi sinus maksilaris
f) Sinoskopi sinus maksilaris, dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan dalam sinus, apakah
ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista dan bagaimana keadaan
mukosa dan apakah osteumnya terbuka. Pada sinusitis kronis akibat perlengketan akan
menyebabkan osteum tertutup sehingga drenase menjadi terganggu.
g) Pemeriksaan histopatologi dari jaringan yang diambil pada waktu dilakukan sinoskopi.
h) Pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan menggunakan naso- endoskopi.
i) Pemeriksaan CT –Scan, merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber
masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan tampak :
penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu

21
atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus
kronik).
Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CT-Scan :
a) Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin, homogen, pada pemeriksaan
CT-Scan tidak mengalami ehans. Kadang sukar membedakannya dengan polip yang
terinfeksi, bila kista ini makin lama makin besar dapat menyebabkan gambaran air-fluid
level.
b) Polip yang mengisi ruang sinus
c) Polip antrokoanal
d) Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus
e) Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-angsur oleh massa jaringan
lunak mukokel yang membesar dan gambaran pada CT Scan sebagai perluasan yang
berdensitas rendah dan kadang-kadang pengapuran perifer.
f) Tumor

2.7 Diagnosis Banding


Diagnosos banding sinusitis adalah luas, karena tanda dan gejala sinusitis tidak sensitif
dan spesifik. Infeksi saluran nafas atas, polip nasal, penyalahgunaan kokain, rinitis alergika,
rinitis vasomotor, dan rinitis medikamentosa dapat datang dengan gejala pilek dan kongesti
nasal. Rhinorrhea cairan serebrospinal harus dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat
cedera kepala. Pilek persisten unilateral dengan epistaksis dapat mengarah kepada neoplasma
atau benda asing nasal. Tension headache, cluster headache, migren, dan sakit gigi adalah
diagnosis alternatif pada pasien dengan sefalgia atau nyeri wajah. Pasien dengan demam
memerlukan perhatian khusus, karena demam dapat merupakan manifestasi sinusitis saja
atau infeksi sistem saraf pusat yang berat, seperti meningitis atau abses intrakranial.

2.8 Penatalaksanaan

1 Sinusitis Akut
a. Kuman penyebab sinusitis akut yang tersering adalah Streptococcus pneumoniae dan
Haemophilus influenzae (Alford BR, 2021). Diberikan terapi medikamentosa berupa
antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin

22
atau cotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik
untuk memperlancar drenase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien
atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka
pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan
maka diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni amoksisilin
klavulanat/ampisilin sulbaktam, cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi tambahan.
Jika ada perbaikan antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.
b. Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan atau naso-
endoskopi.Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan terapi
sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi
komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.
c. Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi
komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret
tertahan oleh sumbatan.
2 Sinusitis Subakut
a. Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan tindakan,
yaitu diatermi atau pencucian sinus.
b. Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang sesuai dengan
resistensi kuman selama 10 – 14 hari. Juga diberikan obat-obat simptomatis berupa
dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan analgetika, anti histamin dan mukolitik.
c. Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Wave
Diathermy) sebanyak 5 – 6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi
sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan pencucian sinus.
d. Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis ethmoid, frontal
atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan tindakan pencucian sinus
cara Proetz.
3 Sinusitis Kronis
a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang sesuai dan
diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-14
hari.

23
b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini II +
terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik
alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik mencukupi 10-
14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi,
sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal
maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada
obstruksi maka evaluasi diagnosis.
c. Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.
d. Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid,
frontal atau sphenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.
e. Pembedahan
Radikal
− Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.
− Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.
− Sinus frontal dan sphenoid dengan operasi Killian.
Non Radikal
− Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan membuka dan
membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.

2.9 Komplikasi
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat infeksi
di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan
pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi (Mangunkusumo,2007).
a. Komplikasi orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering.
Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus frontalis dan
sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita.
Terdapat lima tahapan :
1. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus
ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina

24
papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada
kelompok umur ini.
2. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita
namun pus belum terbentuk.
3. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita
menyebabkan proptosis dan kemosis.
4. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap ini
disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius.
Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva
merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
5. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena
kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.
Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
a) Oftalmoplegia.
b) Kemosis konjungtiva.
c) Gangguan penglihatan yang berat.
d) Kelemahan pasien.
e) Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan dengan saraf
kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.
b. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus, kista ini
paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan
biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sphenoidalis, kista ini dapat membesar dan
melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai
pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus
sphenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan
saraf didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel meskipun
lebih akut dan lebih berat.

25
Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa
yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.
c. Komplikasi Intra Kranial
1) Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis akut, infeksi
dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang
berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di
dekat sistem sel udara ethmoidalis.
2) Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium, sering kali
mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya mengeluh nyeri
kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intra kranial.
3) Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau permukaan otak.
Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
4) Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat terjadi
perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Terapi komplikasi intra kranial ini
adalah antibiotik yang intensif, drainase secara bedah pada ruangan yang mengalami abses
dan pencegahan penyebaran infeksi.
d. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah
infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise,
demam dan menggigil (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).

26
BAB III
KESIMPULAN

Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus paranasal yang dapat berupa sinusitis
maksilaris, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sphenoid. Bila yang terkena lebih dari
satu sinus disebut multisinusitis, dan bila semua sinus terkena disebut pansinusitis. Sinus maksila
disebut juga antrum Highmore, letaknya dekat akar gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah
menyebar ke sinus. Sehingga, disebut sinusitis dentogen. Sinusitis dentogen merupakan salah
satu penyebab penting sinusitis kronik.
terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik yang diberikan
lini I yakni golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat dekongestan
oral + topikal, mukolitik untuk memperlancar drenase dan analgetik untuk menghilangkan rasa
nyeri. Pada pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan
maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan
maka diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni amoksisilin klavulanat/ampisilin
sulbaktam, cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi tambahan. Jika ada perbaikan
antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat infeksi
di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan
pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, Sinusitis, dalam ; Arif et all, editor. Kapita Selekta Kedokteran, Ed. 3,
Penerbit Media Ausculapius FK UI, Jakarta 2001, 102 – 106
2. Alford BR. Core Curriculum Syllabus: Nose and Paranasal Sinuses.
Http://www.Bcm.Edu [diakses tanggal: 10 Oktober 2021]
3. Damayanti dan Endang. Sinus Paranasal. Dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor. Buku
Ajar Ilmu Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 5, Balai Penerbit FK UI,
Jakarta 2002, 115 – 119.
4. Mangunkusumo, Endang. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI; 2007.
5. Mangunkusumo E & Wardani RS. Sumbatan Hidung. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI; 2007.
6. Moore, Keith L. Head. Dalam: Clinically Oriented Anatomy. 5th ed.
Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 2006.
7. Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In
advanced Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505.
8. Tadjudin OA. Batuk Kronik Pada Anak Ditinjau Dari Bidang THT. 1992.

28
29

Anda mungkin juga menyukai