Anda di halaman 1dari 49

Laporan Kasus

RHINOSINUSITIS KRONIS
+ DEVIASI SEPTUM

Oleh:
Loresa Citrahafisari Bassar, S.Ked 04084822124172
Kashaya Ayudina Nurrohma, S.Ked 04084822124198
Anggun Pratiwi Rahmania, S.Ked 04084822124186

Pembimbing:
dr. Puspa Zuleika, Sp.T.H.T.K L(K)., M.Kes., FICS.

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL RSMH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2022
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
Rhinosinusitis Kronis + Deviasi Septum

Oleh:

Loresa Citrahafisari Bassar, S.Ked 04084822124172


Kashaya Ayudina Nurrohma, S.Ked 04084822124198
Anggun Pratiwi Rahmania, S.Ked 04084822124186

Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP
Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 28 Maret - 23 April 2022.

Palembang, 10 April 2022


Pembimbing,

dr. Puspa Zuleika, Sp.THT-KL(K), M.Kes., FICS

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan YME atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Rhinosinusitis Kronis + Deviasi Septum” untuk memenuhi tugas sebagai bagian
dari sistem pembelajaran dan penilaian kepaniteraan klinik, khususnya Bagian Ilmu
Kesehatan THT-KL Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada dr. Puspa Zuleika, Sp.THT-KL(K), M.Kes., FICS. selaku pembimbing yang
telah membantu memberikan ajaran dan masukan sehingga laporan kasus ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini yang disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi
perbaikan di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat memberi
manfaat dan pelajaran bagi kita semua.

Palembang, 10 April 2022

Penulis

ii
i
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................................ii
KATA PENGANTAR..............................................................................................iii
DAFTAR ISI............................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II. STATUS PASIEN.......................................................................................2
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………….18
BAB IV. ANALISIS KASUS..................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................44

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Rhinosinusitis kronis adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal


yang berlangsung >12 minggu.2 Istilah sinusitis merujuk pada keadaan inflamasi
pada sinus, sedangkan rhinitis merupakan inflamasi pada membrane mukosa
hidung. Letak sinus yang berdekatan dengan membran mukosa hidung dan
struktur epitel yang sama antara keduanya menyebabkan hampir setiap keadaan
sinusitis bersamaan dengan rhinitis, sehingga penyebutan rhinosinusitis lebih
sering digunakan untuk mendeskripsikan kondisi ini. Rhinosinusitis didefinisikan
sebagai inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan dua gejala
atau lebih, salah satunya termasuk hidung tersumbat atau kongesti disertai
dengan nyeri pada wajah dan atau penurunan sensitivitas pembau.1
Dalam penegakan diagnosis rinosinusitis, anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang baik dan benar sangat dibutuhkan ditambah dengan pemeriksaan
penunjang.11
Rhinosinusitis sering bermula dari infeksi virus yang dapat pula berkembang
menjadi infeksi bakterial. Etiologi rinosinusitis kronis antara lain adalah ISPA
akibat virus, bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita
hamil, polip hidung, variasi anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka,
sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan
imunologik, diskinesia silia seperti pada sindroma Kartagener, dan di luar negeri
adalah penyakit fibrosis kistik.4
Tujuan penatalaksanaan pada rinosinusitis adalah mempercepat
penyembuhan, mencegah komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi kronis.
Pada dasarnya yang ingin dicapai melalui terapi medikamentosa adalah
kembalinya fungsi drainase ostium sinus dengan mengembalikan kondisi normal
rongga hidung.
Adapun tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk mempermudah
menegakkan diagnosis rhinosinusitis kronik, serta dapat memahami apa saja
penatalaksanaan, patogenesis serta pencegahan juga prognosis dari penyakit ini.

1
BAB II

STATUS PASIEN

2 .1. Identitas Pasien


Nama : Tn. YT
Umur / Tanggal Lahir : 16 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Sako Kenten
Suku Bangsa : Sumatera
Nomor Rekam Medis : 0000586322
Kunjungan : Rabu 02 Maret 2022, pukul 09.30 WIB

Poliklinik : THT-KL

2.2. Anamnesis
Autoanamnesis dengan pasien pada hari Rabu, 02 Maret 2022, pukul 09.30
WIB.
Keluhan Utama : Hidung tersumbat sejak 1 tahun yang lalu
Keluhan Tambahan : Sakit kepala dan dahi
Riwayat Perjalanan Penyakit :
Keluhan hidung tersumbat sejak sekitar 1 tahun lalu yang memberat sejak
5 bulan yang lalu pada kedua hidung. Hidung tersumbat muncul ketika kena
dingin, panas, debu. Tidak ada riwayat trauma. Tidak pernah minum obat
sebelumnya. Terdapat riwayat penggunaan obat semprot hidung sejak satu tahun
yang lalu namun pasien lupa nama obat.
Hidung tersumbat juga disertai pilek dan sakit kepala. Dengan
sekret berwarna bening. Pilek hilang timbul, di kedua hidung/kadang sebelah saja.
2
Sakit kepala terasa seperti berat di kepala dan dahi. Keluhan juga disertai mata
berair dan gatal saat hidung tersumbat. Hilang penciuman ada. Hidung berbau
tidak ada. Keluhan bersin-bersin tidak ada. Nyeri tenggorokan tidak ada, sulit
menelan tidak ada, rasa mengganjal di tenggorokan tidak ada, lender mengalir ke
tenggorokan tidak ada, riwayat demam tidak ada. Keluhan pendengaran berkurang
tidak ada, keluar cairan dari telinga tidak ada, nyeri pada telinga tidak ada, telinga
terasa penuh tidak ada, gangguan keseimbangan tidak ada. Pasien kemudian
datang berobat ke Poli THT-KL RSMH.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat ISPA : disangkal
- Riwayat alergi : disangkal
- Riwayat penyakit serupa : disangkal
- Riwayat sakit gigi : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat alergi : disangkal
- Riwayat penyakit serupa : disangkal

Riwayat Kebiasaan
- Kebiasaan Merokok : disangkal
- Konsumsi alkohol : disangkal

Riwayat Pengobatan
- Obat semprot hidung sejak 1 tahun yang lalu

2.3. Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Gizi : Baik
Tekanan Darah : 110/70 mmHg

3
Nadi : 90 kali/menit
Pernafasan : 22 kali/menit
Suhu : 36,7 º C
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklre ikterik (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Jantung : Bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Paru-paru : Vesikuler (+) normal, wheezing (-), rhonki (-)
Abdomen : Datar, Lemas, Hepar dan Lien tidak teraba, nyeri
tekan (-)
Ekstremitas : Akral pucat (-), edem pretibial (-)

Status Lokalis
Telinga

I. Telinga Luar Kanan Kiri


Regio Retroaurikula
-Abses - -
-Sikatrik - -
-Pembengkakan - -
-Fistula - -
-Jaringan granulasi - -

Regio Zigomatikus - -
-Kista Brankial Klep - -
-Fistula - -
-Lobulus Aksesorius

Aurikula - -
-Mikrotia - -
-Efusi perikondrium - -
-Keloid - -
-Nyeri tarik aurikula - -
-Nyeri tekan tragus - -

Meatus Akustikus Eksternus


-Lapang/sempit Lapang Lapang
-Oedema - -
-Hiperemis - -
-Pembengkakan - -
-Erosi - -

4
-Krusta - -
-Sekret (serous/seromukus/mukopus/pus) - -
-Perdarahan - -
-Bekuan darah - -
-Cerumen plug - -
-Epithelial plug - -
-Jaringan granulasi - -
-Debris - -
-Benda asing - -
-Sagging - -
-Exostosis - -
-Hifa - -
II.Membran Timpani
-Warna (putih/suram/hiperemis/hematoma) Putih Putih
-Bentuk (oval/bulat) Oval Oval
-Pembuluh darah Normal Normal
-Refleks cahaya + (5) + (7)
-Retraksi - -
-Bulging - -
-Bulla - -
-Ruptur - -
-Perforasi (sentral/perifer/marginal/attic) - -
(kecil/besar/ subtotal/ total)
-Pulsasi - -
-Sekret (serous/ seromukus/ mukopus/ pus) - -
-Tulang pendengaran Normal Normal
-Kolesteatoma - -
-Polip - -
-Jaringan granulasi - -

Gambar Membran Timpani

5
6
III. Tes Khusus Kanan Kiri
1. Tes Garpu Tala
Tes Rinee + +
Tes Weber Lateralisasi (-) Lateralisasi (-)
Tes Scwabach Sama dengan Sama dengan
pemeriksa pemeriksa
2. Tes Audiometri Tidak Tidak
dilakukan dilakukan

3. Tes Fungsi Tuba


Tes Valsava Tidak Tidak
Tes Toynbee dilakukan dilakukan

4. Tes Kalori
Tes Kobrak Tidak Tidak
dilakukan dilakukan

Hidung
I. Tes Fungsi Hidung Kanan Kiri
- Tes Aliran Udara Cukup Cukup
- Tes Penciuman Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Teh Kopi
Tembakau

II. Hidung Luar Kanan Kiri

7
- Dorsum nasi Normal Normal
- Akar hidung Normal Normal
- Puncak hidung Normal Normal
- Sisi hidung Normal Normal
- Ala nasi Normal Normal
- Deformitas - -
- Hematoma - -
- Pembengkakan - -
- Krepitasi - -
- Hiperemis - -
- Erosi kulit - -
- Vulnus - -
- Ulkus - -
- Tumor - -
- Duktus nasolakrimalis Tidak Tidak
tersumbat tersumbat

III. Hidung Dalam Kanan Kiri


1. Rinoskopi Anterior
a. Vestibulum nasi
- Sikatrik - -

- Stenosis - -
- Atresia - -
- Furunkel - -
- Krusta - -
- Sekret Ada (+) Ada (+)

8
b. Kolumela
- Utuk/tidak utuh Utuh Utuh
- Sikatrik - -
- Ulkus - -

c. Kavum nasi
- Luasnya Sempit Sempit
- Sekret Ada (+) Ada (+)
- Krusta - -
- Bekuan darah - -
- Perdarahan - -
- Benda asing - -
- Rinolit - -
- Polip - -
- Tumor - -

d. Konka inferior
- Mukosa Hipertrofi Hipertrofi
Basah Basah
Licin Licin
- Warna Hiperemis Hiperemis
- Tumor - -

9
e. Konka media
- Mukosa Hipertrofi Hipertrofi
- Warna Hiperemis (-) Hiperemis (-)
- Tumor - -

f. Konka
superior
Sulit dinilai Sulit dinilai
- Mukosa
Sulit dinilai Sulit dinilai
- Warna
Sulit dinilai Sulit dinilai
- Tumor

g. Meatus Medius
- Lapang/sempit Sempit Ada Sempit Ada
- Sekret (-) (-)
- Polip (-) (-)
- Tumor (-) (-)

h. Meatus Inferior
- Lapang/sempit Sempit Sempit
- Sekret Ada (+) Ada (+)
- Polip - -
- Tumor - -

i. Septum
Nasi
Eutrofi Basah Eutrofi Basah
- Mukosa
Licin Licin
Merah muda Merah muda
- -
- Warna
- -
- Tumor
(+) S-Shaped (+) S-Shaped
- Deviasi
- -
- Krista

10
- Spina - -
- Abses - -
- Hematoma - -
- Perforasi - -
- Erosi septum anterior - -

Gambar Dinding Lateral Hidung Dalam

Gambar Hidung Dalam Potongan Frontal

2. Rinoskopi Posterior Kanan Kiri


- Postnasal drip Ada Ada
- Mukosa Licin Licin
Merah muda Merah muda
- Adenoid Sulit dinilai Sulit dinilai

11
- Tumor Sulit dinilai Sulit dinilai
- Koana Sulit dinilai Sulit dinilai
- Fossa Russenmullery Sulit dinilai Sulit dinilai
- Torus tobarius Sulit dinilai Sulit dinilai
- Muara tuba Sulit dinilai Sulit dinilai

Gambar Hidung Bagian Posterior

IV. Pemeriksaan Sinus Paranasal Kanan Kiri


- Nyeri tekan/ketok
Infraorbita
Frontalis (+) (+)
Kantus medialias
- Pembengkakan Tidak Tidak
- Transluminasi Regio dilakukan dilakukan
infraorbita Regio
palatum durum

12
Tenggorok
I. Rongga Mulut
- Lidah (hiperemis/odem/ulkus) Normal
(mikroglosia/makroglosi) -
(leukoplakia/gumma) -
(papilloma/kista/ulkus) -
- Gusi (hiperemis/odem/ulkus) Normal
- Bukal (hiperemis/odem) Normal
(vesikel/ulkus/mukokel) -
- Palatum durum (utuh/terbelah) Utuh
(hiperemis/ulkus) Normal
(pembengkakan/abses/tumor) -
(rata/tonus palatinus) Rata
- Kelenjar ludah -
(pembengkakan) -
(striktur/ranula) Normal
- Gigi geligi -
(mikro/makrodontia) -
(anodontia/supernumeri)
II.(kalkulus/karies)
Faring Kanan Kiri
- Palatum molle (hiperemis/odem) Normal Normal
- Uvula (odem/asimetris/bifida) Ditengah Ditengah
- Pilar anterior Normal Normal
(hiperemis/odem) - -
(pembengkakan/ulkus) Normal Normal
- Pilar posterior (hiperemis/odem) - -
(pembengkakan/ulkus) Normal Normal
- Pilar anterior (hiperemis/odem) - -
(pembengkakan/ulkus) Normal Normal
- Dinding belakang faring (odem) - -
(granuler/ulkus)
13
(sekret/membran) - -
- Lateral band (menebal/tidak) Tidak Tidak
- Tonsil palatina(pembesaran) menebal T1 menebal T1
(permukaan rata/tidak) Rata Rata
(konsistensi kenyal/tidak) Kenyal Kenyal
(lekat/tidak) Lekat Lekat
(kripta lebar/tidak) Tidak Tidak
(detritus/membran) - -
(hiperemis/odem) - -

(ulkus/tumor) - -

Gambar Rongga Mulut dan Faring

14
Rumus gigi-geligi

III. Laring Kanan Kiri

1. Laringoskopi tidak langsung


- Dasar lidah (tumor/kista) Normal Normal
- Tonsil lingualis (eutrofi/hipertrofi) Eutrofi Eutrofi
- Valekula (benda asing/tumor) Normal Normal

- Fosa piriforormis (benda asing) Normal Normal

- Epiglotis (hiperemis/odem/ulkus) Normal Normal

- Aritenoid (hiperemis/odem/ulkus) Normal Normal


Pita suara (hiperemis/odem/tebal) Normal Normal

(nodus/polip/tumor) - -

(gerak simetris/asimetris) Simetris Simetris

- Pita suara palsu (hiperemis/odem) Normal Normal

- Rima glottis (lapang/sempit) Lapang Lapang

- Trakea Normal Normal

2. Laringoskopi langsung (direct) Tidak dilakukan

Gambar Laring (Laringoskopi Tidak Langsung)

15
2.4. Pemeriksaan Penunjang

Darah : tidak dilakukan


Pemeriksaan Radiologik : tidak dilakukan
Mikrobiologi : tidak dilakukan

2.5. Diagnosis Banding


 Rhinosinusitis Kronis + Deviasi Septum
 Rhinosinusitis Kronis + Polip
 Rhinitis Alergi + Deviasi Septum

2.6. Diagnosis Kerja


Rhinosinusitis Kronis + Deviasi Septum

2.7. Tatalaksana
Non-Medikamentosa
 Hindari alergen
 Edukasi pasien cara dan manfaat cuci hidung dengan larutan saline
Medikamentosa
 Rhinos SR
 Avamys Nasal Spray
 Cetirizine

16
2.8. Anjuran Pemeriksaan

Usulan Pemeriksaan Penunjang


 Pewarnaan gram
 Kultur sekret telinga serta uji sensitivitas dari hasil biakan

2.9. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad funtionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi Hidung


Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian
dalam dibagi menjadi bagian kanan dan kiri yang terpisahkan oleh septum nasi.
Hidung bagian dalam dibagi menjadi dua kompartemen yakni vestibulum nasi dan
kavum nasi. Vestibulum nasi dilapisi oleh kulit sedangkan kavum nasi dilapisi
oleh mukosa. Nares anterior menghubungkan bagian dalam hidung ke dunia luar.
Nares posterior atau koana menghubungkan hidung bagian dalam dengan
nasofaring.13
Kavum nasi dekstra dan sinistra masing-masing memiliki atap, dasar,
dinding lateral dan dinding medial. Atap kavum nasi terdiri atas beberapa tulang.
Bagian anterior terdiri atas os nasal dan os frontal, posterior terdiri atas korpus os
sfenoid dan bagian tengah terdiri atas lamina kribrosa os etmoid. Lamina kribrosa
berlubang-lubang dan tempat letaknya CN I (Olfaktorius). Dasar kavum nasi
terdiri atas prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatina.13
Septum nasi merupakan dinding medial dari kavum nasi dekstra dan
sinistra. Septum nasi terbagi menjadi (Gambar 1):13
- Kolumela septum: Septum di bagian anterior hidung. Kolumela septum
terdiri atas krus media kartilago alar kanan dan kiri. Jaringan ikat
menempelkan kedua bidang ini. Kolumela septum dilapisi oleh kulit.
- Septum membranosa: Septum membranosa tidak terdiri atas tulang
ataupun kartilago. Septum membranosa hanya terdiri atas 2 lapis kulit.
- Septum nasi sebenarnya: Struktur ini terdiri atas kartilago dan tulang.
Struktur ini dilapisi oleh mukosa. Septum nasi terdiri atas kartilago
kuadrangularis pada bagian anteroinferior, lamina perpendikularis os
etmoid pada bagian posterosuperior, os vomer pada posteroinferior dan
krista nasalis os palatina, spina nasalis maksila dan krista nasalis maksila
yang terletak inferior terhadap os vomer.
Kartilago septum berlokasi di anterior terhadap os vomer, dan dibatasi
oleh spina nasalis os frontalis pada bagian anterior.

Gambar 1. Septum Nasi

Dinding lateral kavum nasi terdiri atas konka. Terdapat 3 konka yakni
konka inferior, media dan superior. Inferior terhadap masing-masing konka,
terdapat celah yang disebut sebagai meatus (meatus inferior, meatus media dan
meatus superior). Masing-masing meatus merupakan muara dari struktur tertentu.
Meatus inferior merupakan muara dari duktus nasolakrimalis. Meatus medius
19
merupakan muara dari sinus maksilaris, sinus frontalis dan etmoidalis anterior.
Meatus superior merupakan muara dari sel-sel etmoidalis posterior.13
Vaskularisasi Septum
Plexus Kiesselbach berlokasi pada septum nasalis bagian anterior inferior.
Plexus kiesselbach merupakan anastomosis dari beberapa arteri yakni arteri
etmoidalis anterior, arteri sfenopalatina, arteri palatina mayor dan cabang septal
dari arteri labialis superior.13
Persarafan Septum
⅔ Posterior Septum nasi dipersarafi oleh cabang ganglion nervus
sfenopalatina. Sedangkan, ⅓ anterosuperior septum nasi dipersarafi oleh cabang
dari nervus etmoidalis anterior.13
3.1 Rhinosinusitis Kronis

3.2.1 Definisi
Istilah sinusitis merujuk pada keadaan inflamasi pada sinus, sedangkan
rhinitis merupakan inflamasi pada membrane mukosa hidung. Letak sinus yang
berdekatan dengan membran mukosa hidung dan struktur epitel yang sama antara
keduanya menyebabkan hampir setiap keadaan sinusitis bersamaan dengan
rhinitis, sehingga penyebutan rhinosinusitis lebih sering digunakan untuk
mendeskripsikan kondisi ini. Rhinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi
hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah
satunya termasuk hidung tersumbat atau kongesti disertai dengan nyeri pada
wajah dan atau penurunan sensitivitas pembau.1 Rhinosinusitis kronis adalah
inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung >12 minggu.2

3.2.2 Etiologi
Rhinosinusitis sering bermula dari infeksi virus yang dapat pula
berkembang menjadi infeksi bakterial. Penyebab lainnya adalah infeksi jamur,
infeksi gigi, alergi, reflusk laringofaring, fraktur, dan tumor1. Penyebab
rhinosinusitis juga dibedakan berdasarkan jenisnya, rhinosinusitis akut dan kronis.
Rhinosinusitis akut dikaitkan dengan infeksi virus dan dan bakteri patogen.
20
Biasanya diawali dengan infeksi virus dan diikuti oleh infeksi bakteri. 2
Rhinosinusitis kronik dikaitkan dengan adanya faktor ciliary impairment, alergi,
asma, immunocompromised, faktor genetik, kehamilan dan endokrin, faktor lokal,
mikroorganisme, jamur, osteitis, faktor lingkungan, faktor iatrogenik, H. pylori,
dan refluks laringofaringeal.1 Singkatnya, rhinosinusitis kronis merupakan hasil
akhir dari proses inflamasi akibat faktor sistemik, faktor lokal, dan faktor
lingkungan.3
Etiologi rinosinusitis kronis antara lain adalah ISPA akibat virus, bermacam
rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung,
variasi anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks
ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia
silia seperti pada sindroma Kartagener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis
kistik.4
Rinosinusitis biasanya didahului oleh adanya infeksi saluran pernafasan atas
seperti batuk dan influenza. Infeksi saluran pernafasan atas dapat menyebabkan
edema pada mukosa hidung, hipersekresi dan penurunan aktivitas mukosiliar.
Rinosinusitis kronis yang tidak diobati secara adekuat akan menyebabkan
regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap, akibatnya terjadi
kegagalan mengeluarkan sekret sinus dan menciptakan predisposisi infeksi.
Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya obstruksi mekanik
seperti septum deviasi, hipertrofi konka media, benda asing di hidung, polip serta
tumor di dalam rongga hidung. Faktor sistemik yang mempengaruhi seperti
malnutrisi, terapi steroid jangka panjang, diabetes, kemoterapi dan defisiensi
imun. Faktor lingkungan yang terjadi pada rinosinusitis kronis seperti polusi
udara, debu, udara dingin dan kering dapat mengakibatkan perubahan pada
mukosa dan kerusakan silia.4

3.2.3 Epidemiologi
Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktik
doktersehari-hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan

21
tersering di dunia.Berdasarkan data National Health Interview Survey (2007),
rinosinusitis menjadi salah satu dari sepuluh diagnosis penyakit terbanyak di
Ameriksa Serikat. Dan untuk pertama kalinya diadakan studi epidemiologi
populasi di Eropa (2011) menggunakan kuisioner, sekitar 10.9% orang memiliki
gejala rinosinusitis kronik. Survei dari beberapa daerah di Kanada melaporkan
prevalensi rinosinusitis kronik mengenai rata-rata 5% dari populasi umum.
Depkes RI (2003) menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada
urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita
rawatjalan dirumah sakit.
Di Indonesia, pada bulan Januari hingga Agustus 2005 tercatat data dari
Divisi Rinologi Departemen THT RSCM menyebutkan jumlah pasien rinologi
pada kurun waktu tersebut sebanyak 435 pasien dan 69% (300 pasien) menderita
rinosinusitis. Pada penelitian di poliklinik THTKL RS. Hasan Sadikin Bandung
periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 didapatkan 168 pasien
(64,29%) dari seluruh pasien rinologi. Dari data survei pendahuluan didapati
penderita rhinosinusitis kronik yang datang ke RSUP H. Adam Malik tahun 2008
sebesar 296 penerita dari783 pasien yang datang ke Devisi Rinologi Departemen
THTKL RSUP H. Adam MalikMedan.

3.2.4 Patofisiologi
Faktor yang berperan dalam pemeliharaan fungsi sinus paranasal adalah
kompleks ostiomeatal (KOM), fungsi transport mukosilia, dan komposisi lapisan
gel dan lapisan sol pada palut lendir. Adanya gangguan dari salah satu ketiga
faktor tersebut dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan atau homeostasis
sinonasal.2
Rinosinusitisdimulai dengan inflamasi pada mukosa hidungterutama pada
bagian kompleks osteomeatal (KOM). Letak dari organ-organ pembentuk KOM
yang berdekatan menyebabkan mukosa yangberhadapan akan saling bertemu
apabila mengalami edema sehinggaterjadi obstruksi KOM4. Inflamasi pada
mukosasinus berupa hipersekresi mukosa dan edema juga dapat
menyebabkanobstruksi aliran mukus ke luar sinus.Keadaan ini menyebabkan silia
22
tidak dapat bergerak secara efektif danostium sinus tersumbat sehingga terjadi
retensi sekret di sinus.3

3.2.5 Klasifikasi Rinosinusitis


a. Berdasarkan waktu
1. Rinosinusitis akut
Suatu peradangan pada sinus paranasal yang berlangsung hingga 4
minggu. Rinosinusitis akut bisa disebabkan oleh virus maupun bakteri. Gejala dan
tanda dari rinosinusitis virus akut biasanya tidak lebih dari 10 hari dan tidak ada
perburukan gejala sedangkan pada rinosinusitis bakteri akut gejala tidak membaik
dalam 10 hari dan semakin memburuk.8,9
2. Rinosinusitis kronis
Suatu peradangan pada sinus paranasal yang menetap selama 12 minggu
atau lebih. Pasien rinosinusitis kronis sering mengeluhkan sensasi rasa penuh atau
berat di kepala daripada sakit kepala klasik.9
3. Rinosinusitis rekuren
Rinosinusitis rekuren atau berulang merupakan infeksi sinus akutyang
terjadi empat kali atau lebih dalam periode satu tahun.8
b. Berdasarkan lokasi5
Berdasarkan lokasi rinosinusitis dibagi menjadi empat bagian dengan
gejala yang berbeda, yaitu:
 Sinusitis maksilaris
 Sinusitis etmoidalis
 Sinusitis frontalis
 Sinusitis sfenoidalis
c. Berdasarkan penyebab
Berdasarkan penyebabnya rinosinusitis dibagi menjadi rinosinusitis viral,
rinosinusitis bakteri, rinosinusitis jamur, dan rinosinusitis dentogen.8,9

3.2.6 Gejala Klinis


a. Gejala rinosinusitis6,9
23
1. Gejala utama
 Ingus mukopurulen
 Ingus belakang hidung (post nasal drip)
 Hidung tersumbat
 Nyeri wajah
 Hiposmia dan anosmia
2. Gejala tambahan
 Nyeri kepala
 Halitosis/bau mulut
 Nyeri daerah gusi atau gigi rahang atas
 Batuk
 Nyeri telinga
 Kelelahan fatique

3.2.7 Diagnosis
Dalam penegakan diagnosis rinosinusitis, anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang baik dan benar sangat dibutuhkan ditambah dengan pemeriksaan penunjang
seperti endoskopi, foto polos, dan computed tomography scan (CT Scan).11
a. Anamnesis
Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam
menilai gejala-gejala yang ada pada kriteria diatas, mengingat patofisiologi
rinosinusitis kronik yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri
maupun virus, adanya latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomis
rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap.
Informasi lain yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita
mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat
serta riwayat pengobatan yang sudah dilakukan. Menurut EP3OS 2007, keluhan
subyektif yang dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah:12
- Obstruksi nasal

24
Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran
udara mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan
sekitarnya
- Sekret/discharge nasal
Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip
- Abnormalitas penciuman
Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang
mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius
dengan/tanpa alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius
- Nyeri/tekanan fasial
Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada
rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif.

Diagnosis rinosinusitis kronik tanpa polip nasi (pada dewasa) berdasarkan


EP3OS 2007 ditegakkan berdasarkan penilaian subyektif, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang lainnya. Penilaian subyektif berdasarkan pada keluhan,
berlangsung lebih dari 12 minggu:12
1) Buntu hidung, kongesti atau sesak
2) Sekret hidung/post nasal drip, umumnya mukopurulen
3) Nyeri wajah/tekanan, nyeri kepala dan
4) Penurunan/hilangnya penciuman

b. Pemeriksaan fisik6,11
Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan
posterior. Yang menjadi pembeda antara kelompok rinosinusitis kronik
tanpa dan dengan nasal polip adalah ditemukannya jaringan polip/jaringan
polipoid pada pemeriksaan rinoskopi anterior.
1. Pemeriksaan rinoskopi anterior dan/atau nasoendoskopi dapat
ditemukan:
 Sekret mukopurulen dari meatus medius
 Edema dan/atau hiperemis dan/atau polip di meatus medius
25
 Ingus dibelakang hidung
 Septum deviasi/konka paradox/defleksi prosesus unsinatus ke
lateral
2. Pemeriksaan rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi
di belakang rongga hidung.
3. Dapat ditemukan bengkak dan nyeri tekan di pipi dan kelopak mata
bawah (pada sinus maksila)
4. Dapat dijumpai bengkak dan nyeri di dahi dan kelopak mata atas pada
sinusitis frontal

c. Pemeriksaan penunjang11
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain endoskopi
nasal, sitologi dan bakteriologi nasal, pencitraan (foto polos sinus,
transiluminasi, CT-scan dan MRI), pemeriksaan fungsi mukosiliar,
penilaian nasal airway, fungsi penciuman dan pemeriksaan laboratorium.
1. CT scan sinus paranasal potongan koronal aksial soft tissue setting
ketebalan 3 mm tanpa kontras dilakukan jika:
 Setelah pemberian antibiotika selama 2 minggu tidak ada
perbaikan terhadap infeksi bakteri, dan atau
 Setelah pengobatan medikamentosa maksimal selama 6-8 minggu
jika terdapat faktor risiko rinitis alergi
2. Jika diperlukan pemeriksaan alergi dapat dilakukan tes cukit kulit dan
pemeriksaan eosinofil darah tepi untuk diagnosis faktor resiko rinitis
alergi
3. Pemeriksaan kultur bakteri dan tes resistensi dari sekret hidung
4. Jika terdapat tanda infeksi bakteri, dilakukan pemeriksaan laju endap
darah dan c-reactive protein

3.2.8 Penatalaksanaan Rinosinusitis


Tujuan terapi rinosinusitis adalah mempercepat penyembuhan, mencegah
komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi kronis. Pada dasarnya yang ingin
26
dicapai melalui terapi medikamentosa adalah kembalinya fungsi drainase ostium
sinus dengan mengembalikan kondisi normal rongga hidung.
Antibiotik dan dekongestan adalah terapi pilihan pada rinosinusitis akut
bakterial. Tujuan dari pemberian antibiotik adalah untuk mengurangi bakteri dan
mengobati eksaserbasi akut dari rinosinusitis kronis yang biasanya diresepkan
selama 2-4 minggu meskipun gejala klinik sudah hilang.10 Antibiotik yang
menjadi pilihan adalah golongan penisilin seperti amoksisilin, tetapi dikarenakan
meningkatnya resistensi terhadap golongan ini maka antibiotik yang dipilih adalah
amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada rinosinusitis
kronis diberikan terapi antibiotik yang sesuai untuk kuman gram negatif dan
anaerob.7
Antibiotik topikal merupakan terapi yang inovatif untuk pasien
rinosinusitis kronis, karena memberikan konsentrasi obat yang lebih besar ke
rongga hidungdan mengurangi efek samping dibandingkan dengan pemberian
antibiotik sistemik. Vaughn dan Carvalho melakukan penelitian dengan
pemberian nebulizer pada 42 pasien eksaserbasi akut pada rinosinusitis kronis
secara signifikan memberi perbaikan untuk gejala drainase hidung dan nyeri pada
wajah.10
Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain juga dapat diberikan jika
dibutuhkan seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga
hidung dengan Nacl atau pemanasan(diatermi). Pencucian rongga hidung dengan
Nacl dapat diberi melalui botol, semprot, atau nebulizer. Dari berbagai penelitian
menunjukkan bahwa cuci hidung memberi perbaikan pada gejala dan endoskopi
pada pasien, tetapi ada kekurangan seperti iritasi hidung, sakit kepala, dan rasa
penuh pada telinga.7,10
Pilihan terapi pembedahan yang sering digunakan sekarang adalah Bedah
Sinus Endoskopi Fungsional, tindakan ini merupakan indikasi untuk sinusitis
kronis yang tidak membaik setelah terapi adekuat. Adapun terapi bedah lainnya
adalah Baloon Dilatation.11

3.2 Deviasi Septum


3.3.1 Definisi
27
Deviasi septum merupakan kondisi di mana bentuk septum nasi tidak
lurus. Deviasi septum nasi dapat terjadi pada semua usia dan memiliki etiologi
yang beragam.13
Bentuk septum normal ialah lurus di tengah rongga hidung, tetapi pada
orang dewasa biasanya tidak lurus sempurna di garis tengah. Deviasi septum yang
ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat akan
menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian dapat terjadi
gangguan fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi.6

3.3.2 Etiologi
1. Etiologi
a. Trauma
Septum nasi merupakan struktur yang keras namun fleksibel
karena terdiri atas kartilago dan mukosa. Hal ini yang menyebabkan
mengana septum nasi sangat rentan untuk mengalami deviasi pasca
trauma. Trauma yang berasal dari arah lateral akan menyebabkan
dislokasi kartilago septum dari os vomer dan krista maksilaris.
Sedangkan trauma yang berasal dari anterior akan menyebabkan
kartilago untuk mengalami fraktur, melintir atau menekuk.
Setelah trauma terjadi, patahan kartilago dapat tumbuh kembali.
Namun dapat terjadi pertumbuhan kondrosit yang eksesif dan
pembentukan jaringan parut pada proses ini. Hal tersebut
menyebabkan hasil akhir dimana permukaan septum nasi tidak halus
seperti seharusnya.16
b. Gangguan Pertumbuhan
Pertumbuhan septum nasi berawal sejak masa kanak-kanakhingga
dewasa. Kondisi dimana batas superior dan inferior septum nasi sudah
menetap namun septum nasi masih bertumbuh juga dapat
menyebabkan deviasi septum nasi.13

3.3.3 Epidemiologi

28
Berdasarkan artikel oleh Reitzen, et al. prevalensi deviasi septum pada
kelompok dewasa mencapai 90%. Pada kelompok neonatus prevalensi mencapai 0,93%–
22% dan pada kelompok anak prevalensi mencapai 26%. Penelitian oleh Taghiloo et al
pada tahun 2019 menemukan bahwa deviasi septum ditemukan pada 75% populasi.
Pada populasi dewasa, 74,5% laki-laki yang diteliti mengalami deviasi septum sedangkan
75,51% wanita yang diteliti mengalami deviasi septum. Secara statistik, tidak ada
perbedaan yang bermakna antara jenis kelamin terkait prevalensi deviasi septum.
Berdasarkan klasifikasi Tipe I-VII, Tipe I dan VII lebih sering terjadi pada pria, sedangkan
Tipe II, III, IV, V dan VI lebih sering terjadi pada wanita.

Wanita Pria
Jenis Septum
Persentase (%) Persentase (%)
I 26,53 33,33
II 14,29 13,73
III 2,04
IV 8,16 1,96
V 18,37 17,65
VI 4,08 1,96
VII 2,04 5,88
Tabel 1. Prevalensi Jenis Deviasi Septum berdasarkan Jenis Kelamin

Penelitian oleh Al-Qahtani et. al, menemukan bahwa di Saudi Arabia


septum deviasi yang disebabkan oleh etiologi non traumatik lebih sering
ditemukan dibandingkan etiologi traumatik, namun perbedaannya tidak jauh. Dari
93 pasien yang terlibat, 45 pasien mengalami trauma (48.4%) sedangkan 48
pasien tidak mengalami trauma sebelumnya (51,6%).17

3.3.4 Patofisiologi
Septum nasi, dengan komponen tulang rawan kartilagonya, adalah struktur
yang kokoh namun memiliki fleksibilitas. Kapasitas tensil yang dimiliki septum
nasi memberikan struktur tersebut kekuatan terhadap gaya eksternal hingga
29
tingkat tertentu. Walaupun demikian, adanya fleksibilitas tersebut mengakibatkan
septum nasi rentan terhadap deformitas atau deviasi. Stimulus mekanis terhadap
septum nasi tersebut, khususnya pada masa pertumbuhan (anak-anak hingga
remaja), dapat mengakibatkan pertumbuhan abnormal yang kemudian diimbangi
dengan pembentukan jaringan parut, mengakibatkan gangguan terhadap ukuran,
bentuk, dan arah pertumbuhan kartilago septum.
Kartilago memiliki komponen struktural yang terdiri atas kondrosit dan
matriks ekstraseluler, tanpa struktur vaskular intrinsik. Dengan demikian,
viabilitas jaringan tersebut bergantung kepada difusi oksigen dan nutrisi melalui
matriks ekstraseluler yang diregulasi oleh para kondrosit. Selain itu, kartilago
tidak memiliki kapasitas reparatif karena tidak memiliki sel punca mesenkimal.
Dengan demikian, paparan trauma terhadap jaringan tersebut akan mengakibatkan
cedera kartilago, mengganggu fungsi kondrosit dalam meregulasi matriks,
mengganggu difusi nutrisi dan oksigen sehingga mengganggu viabilitas jaringan,
dan meningkatkan degradasi dari jaringan.
Selain gangguan pada kartilago yang menjadi rangka septum, patofisiologi
yang terjadi melibatkan pula mukosa septum. Mukosa septum diketahui terbentuk
atas epitel respirasi, yang tersusun atas sel epitel kolumnar pseudostratifikasi.
Perubahan histopatologis seperti infiltrasi limfosit dan metaplasia skuamosa,
menyerupai gambaran inflamasi dan atrofi, dapat teramati pada kasus deviasi
septum dengan gangguan dinamika aliran udara nasal. Derajat keparahan dari
perubahan tersebut lebih parah pada sisi cekung septum, dengan waktu clearance
mukosiliar yang lebih lambat dan destruksi silia yang lebih banyak pada sisi
tersebut dibandingkan sisi cembung. Secara histologis, teramati infiltrasi sel
inflamasi yang lebih intens serta penurunan jumlah kelenjar serosa dan mukosa di
sisi cekung. Sisi cekung dari septum yang berdeviasi menunjukkan penipisan
mukosa akibat adanya gaya mekanik terus-menerus akibat tulang atau kartilago
yang melengkung. Secara klinis, perubahan pada lapisan mukosa ini
mengakibatkan signifikansi klinis munculnya gejala rhinitis, sinusitis, dan
peningkatan kerentanan infeksi.

30
3.3.5 Klasifikasi
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi septum
nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh.
Deviasi septum dibagi atas beberapa klasifikasi berdasarkan letak deviasi,
yaitu:
a. Tipe I : benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.
b. Tipe II : benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara,
namun masih belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.
c. Tipe III : deviasi pada konka media (area osteomeatal dan meatus
media).
d. Tipe IV : “S” septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi
lainnya).
e. Tipe V : tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi
lain masih normal.
f. Tipe VI : tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral,
sehingga menunjukkan rongga yang asimetri.
g. Tipe VII : kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.19,20

31
Bentuk-bentuk dari deformitas septum nasi berdasarkan lokasinya,
yaitu :
1) Spina dan Krista
Merupakan penonjolan tajam tulang atau tulang rawan septum
yang dapat terjadi pada pertemuan vomer di bawah dengan
kartilago septum dan atau os ethmoid di atasnya. Bila memanjang
dari depan ke belakang disebut krista, dan bila sangat runcing dan
pipih disebut spina. Tipe deformitas ini biasanya merupakan hasil
dari kekuatan kompresi vertikal.
2) Deviasi

32
Lesi ini lebih karakteristik dengan penonjolan berbentuk „C‟ atau
„S‟ yang dapat terjadi pada bidang horisontal atau vertikal dan
biasanya mengenai kartilago maupun tulang.
3) Dislokasi
Batas bawah kartilago septum bergeser dari posisi medialnya dan
menonjol ke salah satu lubang hidung. Septum deviasi sering
disertai dengan kelainan pada struktur sekitarnya
4) Sinekia
Bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka
di hadapannya. Bentuk ini akan menambah beratnya obstruksi.19,21

Kelainan struktur akibat deviasi septum nasi dapat berupa:


1) Dinding Lateral Hidung
Terdapat hipertrofi konka dan bula ethmoidalis. Ini merupakan
kompensasi yang terjadi pada sisi konkaf septum.
2) Maksila
Daya kompresi yang menyebabkan deviasi septum biasanya asimetri
dan juga dapat mempengaruhi maksila sehingga pipi menjadi datar,
pengangkatan lantai kavum nasi, distorsi palatum dan abnormalitas
ortodonti. Sinus maksilaris sedikit lebih kecil pada sisi yang sakit.
3) Piramid Hidung
Deviasi septum nasi bagian anterior sering berhubungan dengan
deviasi pada piramid hidung.
4) Perubahan Mukosa
Udara inspirasi menjadi terkonsentrasi pada daerah yang sempit
menyebabkan efek kering sehingga terjadi pembentukan krusta.
Pengangkatan krusta dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan.
Lapisan proteksi mukosa akan hilang dan berkurangnya resistensi
terhadap infeksi. Mukosa sekitar deviasi akan menjadi edema sebagai
akibat fenomena Bernouili yang kemudian menambah derajat
obstruksi.19

33
Jin RH dkk membagi deviasi septum berdasarkan berat atau ringannya
keluhan:
1) Ringan Deviasi kurang dari setengah rongga hidung dan belum ada
bagian septum yang menyentuh dinding lateral hidung.
2) Sedang Deviasi kurang dari setangah rongga hidung tetapi ada
sedikit bagian septum yang menyentuh dinding lateral hidung.
3) Berat Deviasi septum sebagian besar sudah menyentuh dinding
lateral hidung.22

Jin RH dkk juga mengklasifikasikan deviasi septum menjadi 4, yaitu:


1) Deviasi lokal termasuk spina, krista dan dislokasi bagian kaudal
2) Lengkungan deviasi tanpa deviasi yang terlokalisir
3) Lengkungan deviasi dengan deviasi lokal
4) Lengkungan deviasi yang berhubungan dengan deviasi hidung
luar.22

2. Gejala
3.3.6 Klinis
Gejala yang sering timbul biasanya adalah sumbatan hidung yang
unilateral atau juga bilateral. Hal ini terjadi karena pada sisi hidung yang
mengalami deviasi terdapat konka yang hipotrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya
terjadi konka yang hipertrofi sebagai akibat 16 mekanisme kompensasi. Keluhan
lainnya ialah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Selain itu, penciuman juga
bisa terganggu apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum. Deviasi septum

34
juga dapat menyumbat ostium sinus sehingga merupakan faktor predisposisi
terjadinya sinusitis.9Jadi deviasi septum dapat menyebabkan satu atau lebih dari
gejala berikut ini:
a. Sumbatan pada salah satu atau kedua nostril
b. Kongesti nasalis biasanya pada salah satu sisi
c. Perdarahan hidung (epistaksis)
d. Infeksi sinus (sinusitis)
e. Kadang-kadang juga nyeri pada wajah, sakit kepala, dan postnasal
drip.
f. Mengorok saat tidur (noisy breathing during sleep), terutama pada bayi
dan anak.20,23

Pada beberapa kasus, seseorang dengan deviasi septum yang ringan hanya
menunjukkan gejala ketika mengalami infeksi saluran pernapasan atas, seperti
common cold. Dalam hal ini, adanya infeksi respiratori akan mencetuskan
terjadinya inflamasi pada hidung dan secara perlahan-lahan menyebabkan
gangguan aliran udara di dalam hidung. Kemudian terjadilah sumbatan/obstruksi
yang juga terkait dengan deviasi septum nasi. Namun, apabila common cold telah
sembuh dan proses inflamasi mereda, maka gejala obstruksi dari deviasi septum
nasi juga akan menghilang.23

3.3.7 Diagnosis
Deviasi septum biasanya sudah dapat dilihat melalui inspeksi langsung
pada batang hidungnya. Dari pemeriksaan rinoskopi anterior, dapat dilihat
penonjolan septum ke arah deviasi jika terdapat deviasi berat, tapi pada deviasi
ringan, hasil pemeriksaan bisa normal.19
Penting untuk pertama-tama melihat vestibulum nasi tanpa spekulum,
karena ujung spekulum dapat menutupi deviasi bagian kaudal. Pemeriksaan
seksama juga dilakukan terhadap dinding lateral hidung untuk menentukan
besarnya konka. Piramid hidung, palatum, dan gigi juga diperiksa karena struktur-

35
struktur ini sering terjadi gangguan yang berhubungan dengan deformitas
septum.19,21
Namun, diperlukan juga pemeriksaan radiologi untuk memastikan
diagnosisnya. Pada pemeriksaan Rontgen kepala posisi antero-posterior tampak
septum nasi yang bengkok. Pemeriksaan nasoendoskopi dilakukan bila
memungkinkan untuk menilai deviasi septum bagian posterior atau untuk melihat
robekan mukosa. Bila dicurigai terdapat komplikasi sinus paranasal, dilakukan
pemeriksaan X-ray sinus paranasal.19

3.3.8 Tatalaksana
Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu dilakukan
tindakan koreksi septum.
a. Analgesik, digunakan untuk mengurangi rasa sakit.
b. Dekongestan, digunakan untuk mengurangi sekresi cairan hidung.
c. Pembedahan :
1) Septoplasty (Reposisi Septum)
Septoplasty merupakan operasi pilihan (i) pada anak-anak, (ii)
dapat dikombinasi dengan rhinoplasty, dan (iii) dilakukan bila
terjadi dislokasi pada bagian caudal dari kartilago septum. Operasi
ini juga dapat dikerjakan bersama dengan reseksi septum bagian
tengah atau posterior. Pada operasi ini, tulang rawan yang bengkok
direposisi. Hanya bagian yang berlebihan saja yang dikeluarkan.
Dengan cara operasi ini dapat dicegah komplikasi yang mungkin
timbul pada operasi reseksi submukosa, seperti terjadinya perforasi
septum dan saddle nose. Operasi ini juga tidak berpengaruh banyak
terhadap pertumbuhan wajah pada anak-anak.

2) SMR (Sub-Mucous Resection)


Pada operasi ini, muko-perikondrium dan muko-periosteum kedua
sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang
atau tulang rawan dari septum kemudian diangkat, sehingga muko-
perikondrium dan muko-periosteum sisi kiri dan kanan akan
36
langsung bertemu di garis tengah. Reseksi submukosa dapat
menyebabkan komplikasi, seperti terjadinya hidung pelana (saddle
nose) akibat turunnya puncak hidung, oleh karena bagian atas
tulang rawan septum terlalu banyak diangkat. Tindakan operasi ini
sebaiknya tidak dilakukan pada anak-anak karena dapat
mempengaruhi pertumbuhan wajah dan menyebabkan runtuhnya
dorsum nasi.21,24,25

3.3.9 Komplikasi
Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan
faktor predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi septum juga
menyebabkan ruang hidung sempit, yang dapat membentuk polip. Sedangkan
komplikasi post-operasi, diantaranya :
a. Uncontrolled Bleeding.
Hal ini biasanya terjadi akibat insisi pada hidung atau berasal dari
perdarahan pada membran mukosa.
b. Septal Hematoma.
Terjadi sebagai akibat trauma saat operasi sehingga menyebabkan
pembuluh darah submukosa pecah dan terjadilah pengumpulan darah.
Hal ini umumnya terjadi segera setelah operasi dilakukan.
c. Nasal Septal Perforation.
Terjadi apabila terbentuk rongga yang menghubungkan antara kedua
sisi hidung. Hal ini terjadi karena trauma dan perdarahan pada kedua
sisi membran di hidung selama operasi.
d. Saddle Deformity.
Terjadi apabila kartilago septum terlalu banyak diangkat dari dalam
hidung.
e. Recurrence of The Deviation.
Biasanya terjadi pada pasien yang memiliki deviasi septum yang berat
yang sulit untuk dilakukan perbaikan.23,24

3.3.10 Prognosis

37
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari
septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Prognosis pada
pasien deviasi septum setelah menjalani operasi cukup baik dan pasien dalam 10-
20 hari dapat melakukan aktivitas sebagaimana biasanya. Hanya saja pasien harus
memperhatikan perawatan setelah operasi dilakukan. Termasuk juga pasien harus
juga menghindari trauma pada daerah hidung.19

38
BAB IV
ANALISIS KASUS

Dari anamnesis didapatkan Tn. YT, 16 tahun datang dengan keluhan


hidung tersumbat sejak 1 tahun yang lalu pada kedua hidung yang disertai pilek
dan sakit kepala bagian dahi yang terasa berat. Sekret berwarna bening. Terdapat
riwayat menggunakan obat semprot hidung sejak 1 tahun yang lalu, namun tidak
ada perbaikan. Keluhan hilang penciuman ada, hidung gatal tidak ada, riwayat
infeksi telinga tidak ada. Didapatkan bahwa keluhan utama pasien adalah hidung
yang tesumbat, dimana dua kondisi yang paling sering menyebabkan keluhan
tersebut adalah rhinitis/rhinosinusitis dan penyebab mekanik/structural. Rhinitis
atau rhinositis dibagi lagi menjadi rhinitis alergik, rhinitis non-alergik, dan
rhinosinusitis kronis. Sedangkan penyebab mekanik dapat berupa polip nasal,
deviasi septum, hipertrofi adenoid, benda asing, atau tumor. Perbedaan gejala
antara kondisi tersebut adalah:

Gambar 1. Diagnosis Banding Obstruksi Nasal1


Pada pasien ini dari anamnesis tidak didapatkan keluhan bersin, hidung
gatal, dan riwayat alergi sehingga diagnosis rhinitis alergi dapat disingkirkan.
Riwayat menggunakan obat semprot hidung sebelum keluhan muncul juga tidak
ada, sehingga diagnosis drug induced rhinitis juga dapat disingkirkan.
Berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa pasien memiliki gejala hidung
tersumbat dan pilek yang sudah berlangsung sejak 1 tahun yang lalu yang disertai
dengan nyeri di bagian dahi dan gangguan penghidu. Keluhan ini sesuai dengan
kriteria diagnosis Rhinosinusitis kronis berdasarkan EPOS tahun 2012, yaitu:
1. Inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung > 12
minggu.
2. Harus bergejala 1 dari 2:
a) Hidung tersumbat dan/atau
b) Sekret dari hidung bagian anterior/posterior
c) Disertai gejala lain yang berlangsung> 12 minggu:
• Nyeri pada wajah
• Dewasa: gangguan penghidu
• Anak: batuk
Sehingga dapat disimpulkan kemungkinan diagnosis yang dapat ditarik
dari anamnesis pasien adalah rhinosinusitis kronis. Namun perlu dilakukan
pemeriksaan fisik untuk memastikan diagnosis.
Pada kasus ini, pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan kavum nasi
sempit dan secret (+). Konka inferior dan konka media hipertropi dan hiperemis.
Meatus inferior dan meatus media sempit yang menandakan terjadi edema
mukosa atau obstruksi pada daerah tersebut. Tidak ditemukan polip. Nyeri tekan
(+) pada daerah frontalis. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior atau
nasoendoskopi pada RSK ditemukan:
1. Secret mukopurulen dari meatus medius, dan/ atau
2. Edema mukosa atau obstruksi di meatus media, dan/ atau
3. Adanya polip nasi, dan/ atau
Pemeriksaan CT-scan:
Terdapat perubahan mukosa di kompleks ostiomeatal, atau kelainan pada sinus
paranasal.

40
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior juga didapatkan deviasi septum tipe
S-shaped. Deviasi septum adalah bentuk septum nasi yang tidak lurus. Sering
menyebabkan keluhan obstruksi hidung dan dapat terjadi pada semua usia.
Deviasi septum tipe S-shaped terjadi deviasi kedua sisi, bisa di bidang vertical
maupun bidang horizontal. Selain itu, ditemukan hipertrofi konka inferior dan
konka media, tanda-tanda rinosinusitis berupa meatus inferior dan meatus media
sempit yang menunjukkan adanya edema mukosa atau obstruksi daerah tersebut,
serta dari inspeksi hidung didapatkan deviasi tulang dan/ atau kartilago dorsum
nasi. Penegakan diagnosis melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Hasil
anamnesis pada pasien ini didapatkan keluhan hidung tersumbat bilateral, sakit
kepala, dan hilang penciuman. Pada anamnesis pasien dengan deviasi septum
ditemukan gejala klinis yaitu:
1. Hidung tersumbatdapat unilateral atau bilateral (Deviasi septum tipe S-
shaped).
2. Sakit kepalaterjadi jika deviasi septum terutama spina menekan dinding
lateral.
3. Gejala sinusitisdeviasi septum menyebabkan obstruksi kompleks
ostiomeatal sehingga mengganggu aliran udara dan drainase secret dari
sinus. Hal ini menyebabkan sinusitis kronis berulang.
4. Epistaksismukosa pada permukaan tonjolan septum lebih terkena efek
aliran udara yang dapat menyebabkan mukosa kering dan timbulnya krusta
yang jika diangkat mudah berdarah. Perdarahan juga dapat terjadi akibat
spina yang menusuk mukosa dihadapannya saat membengkak.
5. Gangguan penghidudeviasi septum dapat menghalangi udara pernapasan
mencapai daerah olfaktorius di regio superior kavum nasi, sehingga
menyebabkan hiposmia dan anosmia.
6. Deformitas bentuk hidung luardeviasi septum sering disertai deviasi
tulang dan/ atau kartilago dorsum nasi, deformitas puncak hidung (nasal
tip), atau kolumela.
7. Infeksi telinga tengahdeviasi septum sering merupakan factor
predisposisi gangguan tuba eustachius, atau otitis media.
41
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan:
1. Tampak deviasi, spina atau krista septum
2. Hipertrofi konka.
3. Tanda-tanda rhinitis alergi atau rinosinusitis.
Tatalaksana yang diberikan berupa tatalaksana non-farmakologis dan
farmakologis. Tatalaksana non-farmakologis berupa edukasi pasien untuk cuci
hidung dengan larutan garam (salin). Cuci hidung membantu membersihkan silia,
mengurangi koloni bakteri dalam rongga hidung, dan membuang sitokin-sitokin
produk inflamasi. Sedangkan tatalaksana farmakologis berupa:
1. Rhinos SR mengandung loratadine dan pseudoephedrine. Loratadine
merupakan antihistamin yang bekerja dengan cara menghambat efek
histamine yang memicu munculnya reaksi alergi saat tubuh terpapar
allergen. Sedangkan pseudoephedrine merupakan dekongestan oral.
Dekongestan dapat diberikan sebagai terapi simtomatik, terutama
untuk mengatasi keluhan hidung tersumbat. Obat ini memiliki efek
vasokontriksi, bekerja mengatasi reaksi vasodilatasi sinusoid mukosa
hidung yang terjadi akibat kerja histamine. Pemberian dekongestan
sediaan oral harus mempertimbangkan kondisi penyakit hipertensi,
infark miokard, glaucoma, hyperplasia prostat, dan ibu hamil. Dosis
untuk dewasa dan anak di atas 12 tahun 1 kapsul, 2 kali sehari atau
setiap 12 jam. Tiap kapsul mengandung loratadine 5 mg dan
pseudoephedrine HCl 60 mg. Obat ini diminum sebelum atau sesudah
makan
2. Avamys nasal spray yang merupakan golongan obat steroid intranasal.
Steroid intranasal dapat menekan jumlah sel-sel radang seperti sel
Langerhans, sel mast, makrofag, influx eosinophil dan basophil, serta
dapat menekan produksi histamine, prostaglandin, dan leukotriene
pada mukosa hidung. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah
rasa kering, terbentuk krusta, dan epistaksis ringan. Dosis untuk
dewasa dan remajadosis awal 2 sprays sekali sehari. Dosis
pemeliharaan 1 spray sekali sehari. Tiap spray/semprot mengandung
42
fluticasone furoate 27,5 mcg. Aturan pakai yaitu kocok perlahan
terlebih dahulu lalu semprotkan pada lubang hidung. Tutup lubang
hidung yang sebelah kiri jika lubang hidung sebelah kanan akan
disemprot, begitu juga sebaliknya. Setelah disemprot hirup dalam-
dalam.
3. Cetirizine merupakan golongan obat antihistamin generasi 2 yang
bersifat non-sedatif dan selektif terhadap reseptor H1, tidak memiliki
efek antikolinergik dan relative aman diberikan pada penderita
penyakit hati, ginjal, dan usia lanjut.

Pada RSK terjadi disfungsi epitel sinonasal, ditandai dengan


ketidakmampuan system transport mukosilier untuk melakukan pembersihan
terhadap partikel yang terdeposit pada mukosa sinonasal dan nasofaring.
1. Terapi lini pertama (first line)cuci hidung dengan larutan garam (salin).
2. Steroid intranasalObat ini mempunyai daya menekan inflamasi, tetapi
tetap mempertahankan kemampuan system imun alamiah.
Antibiotikobat ini diberikan pada RSK untuk mengeradikasi pada
episode eksaserbasi akut. Antibiotik hanya diberikan jika ada tanda-tanda
infeksi bakteri, yaitu: 1) ingus berubah warna pada satu sisi; 2) nyeri
wajah unilateral; 3) demam >38oc; 4) terdapat double sickening (timbul
gejala memburuk: demam, sakit kepala, ingus banyak, setelah gejala awal
mereda); 5) terdapat peningkatan LED dan hitung leukosit. Pada pasien ini
tidak ditemukan tanda-tanda infeksi bakteri sehingga, tidak perlu diberikan
antibiotik.
3. Hilangkan factor predisposisi. Jika ada factor predisposisi rhinitis alergi
atau reflux laringofaring. Maka, harus dilakukan penatalaksanaan yang
sesuai juga. Pada pasien ini memiliki factor predisposisi rhinitis alergi
yaitu keluhan hidung tersumbat muncul ketika terkena dingin, panas, dan
debu. Pasien diberi edukasi untuk menghindari allergen dan juga diberikan
terapi berupa antihistamin dan dekongestan.

43
4. Tindakan bedah. Operasi dipertimbangkan untuk: 1) kasus yang gejalanya
tidak dapat dikontrol dengan terapi medikamentosa (maksimal selama 8-
12 minggu); atau 2) ada kelainan anatomi yang mengganggu drainase; atau
3) jika ada komplikasi.

Prognosis pada pasien ini adalah bonam untuk quo ad vitam, karena pada
pasien rhinosinusitis tidak disertai dengan polip. Disebutkan pada referensi
bahwa risiko mortalitas lebih tinggi pada rhinosinusitis kronis dengan polip
dibandingkan dengan tanpa polip.2 Sedangkan untuk prognosis quo ad
functionam adalah dubia ad bonam karena Jika tidak diobati, dapat
mengurangi kualitas hidup dan produktivitas pasien. Dan dapat menyebabkan
komplikasi orbital dan intrakranial yang merupakan gejala sisa yang paling
serius dari rinosinusitis kronis tetapi sangat jarang, biasanya timbul pada
pasien dengan superimposed acute sinusitis. Komplikasi orbital termasuk
selulitis periorbital, selulitis orbital, dan abses orbital. Komplikasi intrakranial
termasuk trombosis sinus kavernosa, meningitis, dan abses epidural. 3 Dan
untuk prognosis quo ad sanationam adalah dubia ad bonam karena pasien
dengan sinusitis kronis yang dirawat biasanya memiliki hasil yang
memuaskan. Gejala mereda dapat diperoleh setelah operasi sinus endoskopi
fungsional pada sekitar 75% pasien yang gagal merespons manajemen medis.4

44
DAFTAR PUSTAKA

45

Anda mungkin juga menyukai