RHINOSINUSITIS KRONIS
+ DEVIASI SEPTUM
Oleh:
Loresa Citrahafisari Bassar, S.Ked 04084822124172
Kashaya Ayudina Nurrohma, S.Ked 04084822124198
Anggun Pratiwi Rahmania, S.Ked 04084822124186
Pembimbing:
dr. Puspa Zuleika, Sp.T.H.T.K L(K)., M.Kes., FICS.
LAPORAN KASUS
Rhinosinusitis Kronis + Deviasi Septum
Oleh:
Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP
Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 28 Maret - 23 April 2022.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan YME atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Rhinosinusitis Kronis + Deviasi Septum” untuk memenuhi tugas sebagai bagian
dari sistem pembelajaran dan penilaian kepaniteraan klinik, khususnya Bagian Ilmu
Kesehatan THT-KL Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada dr. Puspa Zuleika, Sp.THT-KL(K), M.Kes., FICS. selaku pembimbing yang
telah membantu memberikan ajaran dan masukan sehingga laporan kasus ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini yang disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi
perbaikan di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat memberi
manfaat dan pelajaran bagi kita semua.
Penulis
ii
i
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................................ii
KATA PENGANTAR..............................................................................................iii
DAFTAR ISI............................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II. STATUS PASIEN.......................................................................................2
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………….18
BAB IV. ANALISIS KASUS..................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................44
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
STATUS PASIEN
Poliklinik : THT-KL
2.2. Anamnesis
Autoanamnesis dengan pasien pada hari Rabu, 02 Maret 2022, pukul 09.30
WIB.
Keluhan Utama : Hidung tersumbat sejak 1 tahun yang lalu
Keluhan Tambahan : Sakit kepala dan dahi
Riwayat Perjalanan Penyakit :
Keluhan hidung tersumbat sejak sekitar 1 tahun lalu yang memberat sejak
5 bulan yang lalu pada kedua hidung. Hidung tersumbat muncul ketika kena
dingin, panas, debu. Tidak ada riwayat trauma. Tidak pernah minum obat
sebelumnya. Terdapat riwayat penggunaan obat semprot hidung sejak satu tahun
yang lalu namun pasien lupa nama obat.
Hidung tersumbat juga disertai pilek dan sakit kepala. Dengan
sekret berwarna bening. Pilek hilang timbul, di kedua hidung/kadang sebelah saja.
2
Sakit kepala terasa seperti berat di kepala dan dahi. Keluhan juga disertai mata
berair dan gatal saat hidung tersumbat. Hilang penciuman ada. Hidung berbau
tidak ada. Keluhan bersin-bersin tidak ada. Nyeri tenggorokan tidak ada, sulit
menelan tidak ada, rasa mengganjal di tenggorokan tidak ada, lender mengalir ke
tenggorokan tidak ada, riwayat demam tidak ada. Keluhan pendengaran berkurang
tidak ada, keluar cairan dari telinga tidak ada, nyeri pada telinga tidak ada, telinga
terasa penuh tidak ada, gangguan keseimbangan tidak ada. Pasien kemudian
datang berobat ke Poli THT-KL RSMH.
Riwayat Kebiasaan
- Kebiasaan Merokok : disangkal
- Konsumsi alkohol : disangkal
Riwayat Pengobatan
- Obat semprot hidung sejak 1 tahun yang lalu
3
Nadi : 90 kali/menit
Pernafasan : 22 kali/menit
Suhu : 36,7 º C
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklre ikterik (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Jantung : Bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Paru-paru : Vesikuler (+) normal, wheezing (-), rhonki (-)
Abdomen : Datar, Lemas, Hepar dan Lien tidak teraba, nyeri
tekan (-)
Ekstremitas : Akral pucat (-), edem pretibial (-)
Status Lokalis
Telinga
Regio Zigomatikus - -
-Kista Brankial Klep - -
-Fistula - -
-Lobulus Aksesorius
Aurikula - -
-Mikrotia - -
-Efusi perikondrium - -
-Keloid - -
-Nyeri tarik aurikula - -
-Nyeri tekan tragus - -
4
-Krusta - -
-Sekret (serous/seromukus/mukopus/pus) - -
-Perdarahan - -
-Bekuan darah - -
-Cerumen plug - -
-Epithelial plug - -
-Jaringan granulasi - -
-Debris - -
-Benda asing - -
-Sagging - -
-Exostosis - -
-Hifa - -
II.Membran Timpani
-Warna (putih/suram/hiperemis/hematoma) Putih Putih
-Bentuk (oval/bulat) Oval Oval
-Pembuluh darah Normal Normal
-Refleks cahaya + (5) + (7)
-Retraksi - -
-Bulging - -
-Bulla - -
-Ruptur - -
-Perforasi (sentral/perifer/marginal/attic) - -
(kecil/besar/ subtotal/ total)
-Pulsasi - -
-Sekret (serous/ seromukus/ mukopus/ pus) - -
-Tulang pendengaran Normal Normal
-Kolesteatoma - -
-Polip - -
-Jaringan granulasi - -
5
6
III. Tes Khusus Kanan Kiri
1. Tes Garpu Tala
Tes Rinee + +
Tes Weber Lateralisasi (-) Lateralisasi (-)
Tes Scwabach Sama dengan Sama dengan
pemeriksa pemeriksa
2. Tes Audiometri Tidak Tidak
dilakukan dilakukan
4. Tes Kalori
Tes Kobrak Tidak Tidak
dilakukan dilakukan
Hidung
I. Tes Fungsi Hidung Kanan Kiri
- Tes Aliran Udara Cukup Cukup
- Tes Penciuman Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Teh Kopi
Tembakau
7
- Dorsum nasi Normal Normal
- Akar hidung Normal Normal
- Puncak hidung Normal Normal
- Sisi hidung Normal Normal
- Ala nasi Normal Normal
- Deformitas - -
- Hematoma - -
- Pembengkakan - -
- Krepitasi - -
- Hiperemis - -
- Erosi kulit - -
- Vulnus - -
- Ulkus - -
- Tumor - -
- Duktus nasolakrimalis Tidak Tidak
tersumbat tersumbat
- Stenosis - -
- Atresia - -
- Furunkel - -
- Krusta - -
- Sekret Ada (+) Ada (+)
8
b. Kolumela
- Utuk/tidak utuh Utuh Utuh
- Sikatrik - -
- Ulkus - -
c. Kavum nasi
- Luasnya Sempit Sempit
- Sekret Ada (+) Ada (+)
- Krusta - -
- Bekuan darah - -
- Perdarahan - -
- Benda asing - -
- Rinolit - -
- Polip - -
- Tumor - -
d. Konka inferior
- Mukosa Hipertrofi Hipertrofi
Basah Basah
Licin Licin
- Warna Hiperemis Hiperemis
- Tumor - -
9
e. Konka media
- Mukosa Hipertrofi Hipertrofi
- Warna Hiperemis (-) Hiperemis (-)
- Tumor - -
f. Konka
superior
Sulit dinilai Sulit dinilai
- Mukosa
Sulit dinilai Sulit dinilai
- Warna
Sulit dinilai Sulit dinilai
- Tumor
g. Meatus Medius
- Lapang/sempit Sempit Ada Sempit Ada
- Sekret (-) (-)
- Polip (-) (-)
- Tumor (-) (-)
h. Meatus Inferior
- Lapang/sempit Sempit Sempit
- Sekret Ada (+) Ada (+)
- Polip - -
- Tumor - -
i. Septum
Nasi
Eutrofi Basah Eutrofi Basah
- Mukosa
Licin Licin
Merah muda Merah muda
- -
- Warna
- -
- Tumor
(+) S-Shaped (+) S-Shaped
- Deviasi
- -
- Krista
10
- Spina - -
- Abses - -
- Hematoma - -
- Perforasi - -
- Erosi septum anterior - -
11
- Tumor Sulit dinilai Sulit dinilai
- Koana Sulit dinilai Sulit dinilai
- Fossa Russenmullery Sulit dinilai Sulit dinilai
- Torus tobarius Sulit dinilai Sulit dinilai
- Muara tuba Sulit dinilai Sulit dinilai
12
Tenggorok
I. Rongga Mulut
- Lidah (hiperemis/odem/ulkus) Normal
(mikroglosia/makroglosi) -
(leukoplakia/gumma) -
(papilloma/kista/ulkus) -
- Gusi (hiperemis/odem/ulkus) Normal
- Bukal (hiperemis/odem) Normal
(vesikel/ulkus/mukokel) -
- Palatum durum (utuh/terbelah) Utuh
(hiperemis/ulkus) Normal
(pembengkakan/abses/tumor) -
(rata/tonus palatinus) Rata
- Kelenjar ludah -
(pembengkakan) -
(striktur/ranula) Normal
- Gigi geligi -
(mikro/makrodontia) -
(anodontia/supernumeri)
II.(kalkulus/karies)
Faring Kanan Kiri
- Palatum molle (hiperemis/odem) Normal Normal
- Uvula (odem/asimetris/bifida) Ditengah Ditengah
- Pilar anterior Normal Normal
(hiperemis/odem) - -
(pembengkakan/ulkus) Normal Normal
- Pilar posterior (hiperemis/odem) - -
(pembengkakan/ulkus) Normal Normal
- Pilar anterior (hiperemis/odem) - -
(pembengkakan/ulkus) Normal Normal
- Dinding belakang faring (odem) - -
(granuler/ulkus)
13
(sekret/membran) - -
- Lateral band (menebal/tidak) Tidak Tidak
- Tonsil palatina(pembesaran) menebal T1 menebal T1
(permukaan rata/tidak) Rata Rata
(konsistensi kenyal/tidak) Kenyal Kenyal
(lekat/tidak) Lekat Lekat
(kripta lebar/tidak) Tidak Tidak
(detritus/membran) - -
(hiperemis/odem) - -
(ulkus/tumor) - -
14
Rumus gigi-geligi
(nodus/polip/tumor) - -
15
2.4. Pemeriksaan Penunjang
2.7. Tatalaksana
Non-Medikamentosa
Hindari alergen
Edukasi pasien cara dan manfaat cuci hidung dengan larutan saline
Medikamentosa
Rhinos SR
Avamys Nasal Spray
Cetirizine
16
2.8. Anjuran Pemeriksaan
2.9. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad funtionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Dinding lateral kavum nasi terdiri atas konka. Terdapat 3 konka yakni
konka inferior, media dan superior. Inferior terhadap masing-masing konka,
terdapat celah yang disebut sebagai meatus (meatus inferior, meatus media dan
meatus superior). Masing-masing meatus merupakan muara dari struktur tertentu.
Meatus inferior merupakan muara dari duktus nasolakrimalis. Meatus medius
19
merupakan muara dari sinus maksilaris, sinus frontalis dan etmoidalis anterior.
Meatus superior merupakan muara dari sel-sel etmoidalis posterior.13
Vaskularisasi Septum
Plexus Kiesselbach berlokasi pada septum nasalis bagian anterior inferior.
Plexus kiesselbach merupakan anastomosis dari beberapa arteri yakni arteri
etmoidalis anterior, arteri sfenopalatina, arteri palatina mayor dan cabang septal
dari arteri labialis superior.13
Persarafan Septum
⅔ Posterior Septum nasi dipersarafi oleh cabang ganglion nervus
sfenopalatina. Sedangkan, ⅓ anterosuperior septum nasi dipersarafi oleh cabang
dari nervus etmoidalis anterior.13
3.1 Rhinosinusitis Kronis
3.2.1 Definisi
Istilah sinusitis merujuk pada keadaan inflamasi pada sinus, sedangkan
rhinitis merupakan inflamasi pada membrane mukosa hidung. Letak sinus yang
berdekatan dengan membran mukosa hidung dan struktur epitel yang sama antara
keduanya menyebabkan hampir setiap keadaan sinusitis bersamaan dengan
rhinitis, sehingga penyebutan rhinosinusitis lebih sering digunakan untuk
mendeskripsikan kondisi ini. Rhinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi
hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah
satunya termasuk hidung tersumbat atau kongesti disertai dengan nyeri pada
wajah dan atau penurunan sensitivitas pembau.1 Rhinosinusitis kronis adalah
inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung >12 minggu.2
3.2.2 Etiologi
Rhinosinusitis sering bermula dari infeksi virus yang dapat pula
berkembang menjadi infeksi bakterial. Penyebab lainnya adalah infeksi jamur,
infeksi gigi, alergi, reflusk laringofaring, fraktur, dan tumor1. Penyebab
rhinosinusitis juga dibedakan berdasarkan jenisnya, rhinosinusitis akut dan kronis.
Rhinosinusitis akut dikaitkan dengan infeksi virus dan dan bakteri patogen.
20
Biasanya diawali dengan infeksi virus dan diikuti oleh infeksi bakteri. 2
Rhinosinusitis kronik dikaitkan dengan adanya faktor ciliary impairment, alergi,
asma, immunocompromised, faktor genetik, kehamilan dan endokrin, faktor lokal,
mikroorganisme, jamur, osteitis, faktor lingkungan, faktor iatrogenik, H. pylori,
dan refluks laringofaringeal.1 Singkatnya, rhinosinusitis kronis merupakan hasil
akhir dari proses inflamasi akibat faktor sistemik, faktor lokal, dan faktor
lingkungan.3
Etiologi rinosinusitis kronis antara lain adalah ISPA akibat virus, bermacam
rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung,
variasi anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks
ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia
silia seperti pada sindroma Kartagener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis
kistik.4
Rinosinusitis biasanya didahului oleh adanya infeksi saluran pernafasan atas
seperti batuk dan influenza. Infeksi saluran pernafasan atas dapat menyebabkan
edema pada mukosa hidung, hipersekresi dan penurunan aktivitas mukosiliar.
Rinosinusitis kronis yang tidak diobati secara adekuat akan menyebabkan
regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap, akibatnya terjadi
kegagalan mengeluarkan sekret sinus dan menciptakan predisposisi infeksi.
Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya obstruksi mekanik
seperti septum deviasi, hipertrofi konka media, benda asing di hidung, polip serta
tumor di dalam rongga hidung. Faktor sistemik yang mempengaruhi seperti
malnutrisi, terapi steroid jangka panjang, diabetes, kemoterapi dan defisiensi
imun. Faktor lingkungan yang terjadi pada rinosinusitis kronis seperti polusi
udara, debu, udara dingin dan kering dapat mengakibatkan perubahan pada
mukosa dan kerusakan silia.4
3.2.3 Epidemiologi
Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktik
doktersehari-hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan
21
tersering di dunia.Berdasarkan data National Health Interview Survey (2007),
rinosinusitis menjadi salah satu dari sepuluh diagnosis penyakit terbanyak di
Ameriksa Serikat. Dan untuk pertama kalinya diadakan studi epidemiologi
populasi di Eropa (2011) menggunakan kuisioner, sekitar 10.9% orang memiliki
gejala rinosinusitis kronik. Survei dari beberapa daerah di Kanada melaporkan
prevalensi rinosinusitis kronik mengenai rata-rata 5% dari populasi umum.
Depkes RI (2003) menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada
urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita
rawatjalan dirumah sakit.
Di Indonesia, pada bulan Januari hingga Agustus 2005 tercatat data dari
Divisi Rinologi Departemen THT RSCM menyebutkan jumlah pasien rinologi
pada kurun waktu tersebut sebanyak 435 pasien dan 69% (300 pasien) menderita
rinosinusitis. Pada penelitian di poliklinik THTKL RS. Hasan Sadikin Bandung
periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 didapatkan 168 pasien
(64,29%) dari seluruh pasien rinologi. Dari data survei pendahuluan didapati
penderita rhinosinusitis kronik yang datang ke RSUP H. Adam Malik tahun 2008
sebesar 296 penerita dari783 pasien yang datang ke Devisi Rinologi Departemen
THTKL RSUP H. Adam MalikMedan.
3.2.4 Patofisiologi
Faktor yang berperan dalam pemeliharaan fungsi sinus paranasal adalah
kompleks ostiomeatal (KOM), fungsi transport mukosilia, dan komposisi lapisan
gel dan lapisan sol pada palut lendir. Adanya gangguan dari salah satu ketiga
faktor tersebut dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan atau homeostasis
sinonasal.2
Rinosinusitisdimulai dengan inflamasi pada mukosa hidungterutama pada
bagian kompleks osteomeatal (KOM). Letak dari organ-organ pembentuk KOM
yang berdekatan menyebabkan mukosa yangberhadapan akan saling bertemu
apabila mengalami edema sehinggaterjadi obstruksi KOM4. Inflamasi pada
mukosasinus berupa hipersekresi mukosa dan edema juga dapat
menyebabkanobstruksi aliran mukus ke luar sinus.Keadaan ini menyebabkan silia
22
tidak dapat bergerak secara efektif danostium sinus tersumbat sehingga terjadi
retensi sekret di sinus.3
3.2.7 Diagnosis
Dalam penegakan diagnosis rinosinusitis, anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang baik dan benar sangat dibutuhkan ditambah dengan pemeriksaan penunjang
seperti endoskopi, foto polos, dan computed tomography scan (CT Scan).11
a. Anamnesis
Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam
menilai gejala-gejala yang ada pada kriteria diatas, mengingat patofisiologi
rinosinusitis kronik yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri
maupun virus, adanya latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomis
rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap.
Informasi lain yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita
mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat
serta riwayat pengobatan yang sudah dilakukan. Menurut EP3OS 2007, keluhan
subyektif yang dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah:12
- Obstruksi nasal
24
Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran
udara mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan
sekitarnya
- Sekret/discharge nasal
Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip
- Abnormalitas penciuman
Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang
mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius
dengan/tanpa alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius
- Nyeri/tekanan fasial
Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada
rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif.
b. Pemeriksaan fisik6,11
Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan
posterior. Yang menjadi pembeda antara kelompok rinosinusitis kronik
tanpa dan dengan nasal polip adalah ditemukannya jaringan polip/jaringan
polipoid pada pemeriksaan rinoskopi anterior.
1. Pemeriksaan rinoskopi anterior dan/atau nasoendoskopi dapat
ditemukan:
Sekret mukopurulen dari meatus medius
Edema dan/atau hiperemis dan/atau polip di meatus medius
25
Ingus dibelakang hidung
Septum deviasi/konka paradox/defleksi prosesus unsinatus ke
lateral
2. Pemeriksaan rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi
di belakang rongga hidung.
3. Dapat ditemukan bengkak dan nyeri tekan di pipi dan kelopak mata
bawah (pada sinus maksila)
4. Dapat dijumpai bengkak dan nyeri di dahi dan kelopak mata atas pada
sinusitis frontal
c. Pemeriksaan penunjang11
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain endoskopi
nasal, sitologi dan bakteriologi nasal, pencitraan (foto polos sinus,
transiluminasi, CT-scan dan MRI), pemeriksaan fungsi mukosiliar,
penilaian nasal airway, fungsi penciuman dan pemeriksaan laboratorium.
1. CT scan sinus paranasal potongan koronal aksial soft tissue setting
ketebalan 3 mm tanpa kontras dilakukan jika:
Setelah pemberian antibiotika selama 2 minggu tidak ada
perbaikan terhadap infeksi bakteri, dan atau
Setelah pengobatan medikamentosa maksimal selama 6-8 minggu
jika terdapat faktor risiko rinitis alergi
2. Jika diperlukan pemeriksaan alergi dapat dilakukan tes cukit kulit dan
pemeriksaan eosinofil darah tepi untuk diagnosis faktor resiko rinitis
alergi
3. Pemeriksaan kultur bakteri dan tes resistensi dari sekret hidung
4. Jika terdapat tanda infeksi bakteri, dilakukan pemeriksaan laju endap
darah dan c-reactive protein
3.3.2 Etiologi
1. Etiologi
a. Trauma
Septum nasi merupakan struktur yang keras namun fleksibel
karena terdiri atas kartilago dan mukosa. Hal ini yang menyebabkan
mengana septum nasi sangat rentan untuk mengalami deviasi pasca
trauma. Trauma yang berasal dari arah lateral akan menyebabkan
dislokasi kartilago septum dari os vomer dan krista maksilaris.
Sedangkan trauma yang berasal dari anterior akan menyebabkan
kartilago untuk mengalami fraktur, melintir atau menekuk.
Setelah trauma terjadi, patahan kartilago dapat tumbuh kembali.
Namun dapat terjadi pertumbuhan kondrosit yang eksesif dan
pembentukan jaringan parut pada proses ini. Hal tersebut
menyebabkan hasil akhir dimana permukaan septum nasi tidak halus
seperti seharusnya.16
b. Gangguan Pertumbuhan
Pertumbuhan septum nasi berawal sejak masa kanak-kanakhingga
dewasa. Kondisi dimana batas superior dan inferior septum nasi sudah
menetap namun septum nasi masih bertumbuh juga dapat
menyebabkan deviasi septum nasi.13
3.3.3 Epidemiologi
28
Berdasarkan artikel oleh Reitzen, et al. prevalensi deviasi septum pada
kelompok dewasa mencapai 90%. Pada kelompok neonatus prevalensi mencapai 0,93%–
22% dan pada kelompok anak prevalensi mencapai 26%. Penelitian oleh Taghiloo et al
pada tahun 2019 menemukan bahwa deviasi septum ditemukan pada 75% populasi.
Pada populasi dewasa, 74,5% laki-laki yang diteliti mengalami deviasi septum sedangkan
75,51% wanita yang diteliti mengalami deviasi septum. Secara statistik, tidak ada
perbedaan yang bermakna antara jenis kelamin terkait prevalensi deviasi septum.
Berdasarkan klasifikasi Tipe I-VII, Tipe I dan VII lebih sering terjadi pada pria, sedangkan
Tipe II, III, IV, V dan VI lebih sering terjadi pada wanita.
Wanita Pria
Jenis Septum
Persentase (%) Persentase (%)
I 26,53 33,33
II 14,29 13,73
III 2,04
IV 8,16 1,96
V 18,37 17,65
VI 4,08 1,96
VII 2,04 5,88
Tabel 1. Prevalensi Jenis Deviasi Septum berdasarkan Jenis Kelamin
3.3.4 Patofisiologi
Septum nasi, dengan komponen tulang rawan kartilagonya, adalah struktur
yang kokoh namun memiliki fleksibilitas. Kapasitas tensil yang dimiliki septum
nasi memberikan struktur tersebut kekuatan terhadap gaya eksternal hingga
29
tingkat tertentu. Walaupun demikian, adanya fleksibilitas tersebut mengakibatkan
septum nasi rentan terhadap deformitas atau deviasi. Stimulus mekanis terhadap
septum nasi tersebut, khususnya pada masa pertumbuhan (anak-anak hingga
remaja), dapat mengakibatkan pertumbuhan abnormal yang kemudian diimbangi
dengan pembentukan jaringan parut, mengakibatkan gangguan terhadap ukuran,
bentuk, dan arah pertumbuhan kartilago septum.
Kartilago memiliki komponen struktural yang terdiri atas kondrosit dan
matriks ekstraseluler, tanpa struktur vaskular intrinsik. Dengan demikian,
viabilitas jaringan tersebut bergantung kepada difusi oksigen dan nutrisi melalui
matriks ekstraseluler yang diregulasi oleh para kondrosit. Selain itu, kartilago
tidak memiliki kapasitas reparatif karena tidak memiliki sel punca mesenkimal.
Dengan demikian, paparan trauma terhadap jaringan tersebut akan mengakibatkan
cedera kartilago, mengganggu fungsi kondrosit dalam meregulasi matriks,
mengganggu difusi nutrisi dan oksigen sehingga mengganggu viabilitas jaringan,
dan meningkatkan degradasi dari jaringan.
Selain gangguan pada kartilago yang menjadi rangka septum, patofisiologi
yang terjadi melibatkan pula mukosa septum. Mukosa septum diketahui terbentuk
atas epitel respirasi, yang tersusun atas sel epitel kolumnar pseudostratifikasi.
Perubahan histopatologis seperti infiltrasi limfosit dan metaplasia skuamosa,
menyerupai gambaran inflamasi dan atrofi, dapat teramati pada kasus deviasi
septum dengan gangguan dinamika aliran udara nasal. Derajat keparahan dari
perubahan tersebut lebih parah pada sisi cekung septum, dengan waktu clearance
mukosiliar yang lebih lambat dan destruksi silia yang lebih banyak pada sisi
tersebut dibandingkan sisi cembung. Secara histologis, teramati infiltrasi sel
inflamasi yang lebih intens serta penurunan jumlah kelenjar serosa dan mukosa di
sisi cekung. Sisi cekung dari septum yang berdeviasi menunjukkan penipisan
mukosa akibat adanya gaya mekanik terus-menerus akibat tulang atau kartilago
yang melengkung. Secara klinis, perubahan pada lapisan mukosa ini
mengakibatkan signifikansi klinis munculnya gejala rhinitis, sinusitis, dan
peningkatan kerentanan infeksi.
30
3.3.5 Klasifikasi
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi septum
nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh.
Deviasi septum dibagi atas beberapa klasifikasi berdasarkan letak deviasi,
yaitu:
a. Tipe I : benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.
b. Tipe II : benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara,
namun masih belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.
c. Tipe III : deviasi pada konka media (area osteomeatal dan meatus
media).
d. Tipe IV : “S” septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi
lainnya).
e. Tipe V : tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi
lain masih normal.
f. Tipe VI : tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral,
sehingga menunjukkan rongga yang asimetri.
g. Tipe VII : kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.19,20
31
Bentuk-bentuk dari deformitas septum nasi berdasarkan lokasinya,
yaitu :
1) Spina dan Krista
Merupakan penonjolan tajam tulang atau tulang rawan septum
yang dapat terjadi pada pertemuan vomer di bawah dengan
kartilago septum dan atau os ethmoid di atasnya. Bila memanjang
dari depan ke belakang disebut krista, dan bila sangat runcing dan
pipih disebut spina. Tipe deformitas ini biasanya merupakan hasil
dari kekuatan kompresi vertikal.
2) Deviasi
32
Lesi ini lebih karakteristik dengan penonjolan berbentuk „C‟ atau
„S‟ yang dapat terjadi pada bidang horisontal atau vertikal dan
biasanya mengenai kartilago maupun tulang.
3) Dislokasi
Batas bawah kartilago septum bergeser dari posisi medialnya dan
menonjol ke salah satu lubang hidung. Septum deviasi sering
disertai dengan kelainan pada struktur sekitarnya
4) Sinekia
Bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka
di hadapannya. Bentuk ini akan menambah beratnya obstruksi.19,21
33
Jin RH dkk membagi deviasi septum berdasarkan berat atau ringannya
keluhan:
1) Ringan Deviasi kurang dari setengah rongga hidung dan belum ada
bagian septum yang menyentuh dinding lateral hidung.
2) Sedang Deviasi kurang dari setangah rongga hidung tetapi ada
sedikit bagian septum yang menyentuh dinding lateral hidung.
3) Berat Deviasi septum sebagian besar sudah menyentuh dinding
lateral hidung.22
2. Gejala
3.3.6 Klinis
Gejala yang sering timbul biasanya adalah sumbatan hidung yang
unilateral atau juga bilateral. Hal ini terjadi karena pada sisi hidung yang
mengalami deviasi terdapat konka yang hipotrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya
terjadi konka yang hipertrofi sebagai akibat 16 mekanisme kompensasi. Keluhan
lainnya ialah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Selain itu, penciuman juga
bisa terganggu apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum. Deviasi septum
34
juga dapat menyumbat ostium sinus sehingga merupakan faktor predisposisi
terjadinya sinusitis.9Jadi deviasi septum dapat menyebabkan satu atau lebih dari
gejala berikut ini:
a. Sumbatan pada salah satu atau kedua nostril
b. Kongesti nasalis biasanya pada salah satu sisi
c. Perdarahan hidung (epistaksis)
d. Infeksi sinus (sinusitis)
e. Kadang-kadang juga nyeri pada wajah, sakit kepala, dan postnasal
drip.
f. Mengorok saat tidur (noisy breathing during sleep), terutama pada bayi
dan anak.20,23
Pada beberapa kasus, seseorang dengan deviasi septum yang ringan hanya
menunjukkan gejala ketika mengalami infeksi saluran pernapasan atas, seperti
common cold. Dalam hal ini, adanya infeksi respiratori akan mencetuskan
terjadinya inflamasi pada hidung dan secara perlahan-lahan menyebabkan
gangguan aliran udara di dalam hidung. Kemudian terjadilah sumbatan/obstruksi
yang juga terkait dengan deviasi septum nasi. Namun, apabila common cold telah
sembuh dan proses inflamasi mereda, maka gejala obstruksi dari deviasi septum
nasi juga akan menghilang.23
3.3.7 Diagnosis
Deviasi septum biasanya sudah dapat dilihat melalui inspeksi langsung
pada batang hidungnya. Dari pemeriksaan rinoskopi anterior, dapat dilihat
penonjolan septum ke arah deviasi jika terdapat deviasi berat, tapi pada deviasi
ringan, hasil pemeriksaan bisa normal.19
Penting untuk pertama-tama melihat vestibulum nasi tanpa spekulum,
karena ujung spekulum dapat menutupi deviasi bagian kaudal. Pemeriksaan
seksama juga dilakukan terhadap dinding lateral hidung untuk menentukan
besarnya konka. Piramid hidung, palatum, dan gigi juga diperiksa karena struktur-
35
struktur ini sering terjadi gangguan yang berhubungan dengan deformitas
septum.19,21
Namun, diperlukan juga pemeriksaan radiologi untuk memastikan
diagnosisnya. Pada pemeriksaan Rontgen kepala posisi antero-posterior tampak
septum nasi yang bengkok. Pemeriksaan nasoendoskopi dilakukan bila
memungkinkan untuk menilai deviasi septum bagian posterior atau untuk melihat
robekan mukosa. Bila dicurigai terdapat komplikasi sinus paranasal, dilakukan
pemeriksaan X-ray sinus paranasal.19
3.3.8 Tatalaksana
Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu dilakukan
tindakan koreksi septum.
a. Analgesik, digunakan untuk mengurangi rasa sakit.
b. Dekongestan, digunakan untuk mengurangi sekresi cairan hidung.
c. Pembedahan :
1) Septoplasty (Reposisi Septum)
Septoplasty merupakan operasi pilihan (i) pada anak-anak, (ii)
dapat dikombinasi dengan rhinoplasty, dan (iii) dilakukan bila
terjadi dislokasi pada bagian caudal dari kartilago septum. Operasi
ini juga dapat dikerjakan bersama dengan reseksi septum bagian
tengah atau posterior. Pada operasi ini, tulang rawan yang bengkok
direposisi. Hanya bagian yang berlebihan saja yang dikeluarkan.
Dengan cara operasi ini dapat dicegah komplikasi yang mungkin
timbul pada operasi reseksi submukosa, seperti terjadinya perforasi
septum dan saddle nose. Operasi ini juga tidak berpengaruh banyak
terhadap pertumbuhan wajah pada anak-anak.
3.3.9 Komplikasi
Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan
faktor predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi septum juga
menyebabkan ruang hidung sempit, yang dapat membentuk polip. Sedangkan
komplikasi post-operasi, diantaranya :
a. Uncontrolled Bleeding.
Hal ini biasanya terjadi akibat insisi pada hidung atau berasal dari
perdarahan pada membran mukosa.
b. Septal Hematoma.
Terjadi sebagai akibat trauma saat operasi sehingga menyebabkan
pembuluh darah submukosa pecah dan terjadilah pengumpulan darah.
Hal ini umumnya terjadi segera setelah operasi dilakukan.
c. Nasal Septal Perforation.
Terjadi apabila terbentuk rongga yang menghubungkan antara kedua
sisi hidung. Hal ini terjadi karena trauma dan perdarahan pada kedua
sisi membran di hidung selama operasi.
d. Saddle Deformity.
Terjadi apabila kartilago septum terlalu banyak diangkat dari dalam
hidung.
e. Recurrence of The Deviation.
Biasanya terjadi pada pasien yang memiliki deviasi septum yang berat
yang sulit untuk dilakukan perbaikan.23,24
3.3.10 Prognosis
37
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari
septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Prognosis pada
pasien deviasi septum setelah menjalani operasi cukup baik dan pasien dalam 10-
20 hari dapat melakukan aktivitas sebagaimana biasanya. Hanya saja pasien harus
memperhatikan perawatan setelah operasi dilakukan. Termasuk juga pasien harus
juga menghindari trauma pada daerah hidung.19
38
BAB IV
ANALISIS KASUS
40
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior juga didapatkan deviasi septum tipe
S-shaped. Deviasi septum adalah bentuk septum nasi yang tidak lurus. Sering
menyebabkan keluhan obstruksi hidung dan dapat terjadi pada semua usia.
Deviasi septum tipe S-shaped terjadi deviasi kedua sisi, bisa di bidang vertical
maupun bidang horizontal. Selain itu, ditemukan hipertrofi konka inferior dan
konka media, tanda-tanda rinosinusitis berupa meatus inferior dan meatus media
sempit yang menunjukkan adanya edema mukosa atau obstruksi daerah tersebut,
serta dari inspeksi hidung didapatkan deviasi tulang dan/ atau kartilago dorsum
nasi. Penegakan diagnosis melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Hasil
anamnesis pada pasien ini didapatkan keluhan hidung tersumbat bilateral, sakit
kepala, dan hilang penciuman. Pada anamnesis pasien dengan deviasi septum
ditemukan gejala klinis yaitu:
1. Hidung tersumbatdapat unilateral atau bilateral (Deviasi septum tipe S-
shaped).
2. Sakit kepalaterjadi jika deviasi septum terutama spina menekan dinding
lateral.
3. Gejala sinusitisdeviasi septum menyebabkan obstruksi kompleks
ostiomeatal sehingga mengganggu aliran udara dan drainase secret dari
sinus. Hal ini menyebabkan sinusitis kronis berulang.
4. Epistaksismukosa pada permukaan tonjolan septum lebih terkena efek
aliran udara yang dapat menyebabkan mukosa kering dan timbulnya krusta
yang jika diangkat mudah berdarah. Perdarahan juga dapat terjadi akibat
spina yang menusuk mukosa dihadapannya saat membengkak.
5. Gangguan penghidudeviasi septum dapat menghalangi udara pernapasan
mencapai daerah olfaktorius di regio superior kavum nasi, sehingga
menyebabkan hiposmia dan anosmia.
6. Deformitas bentuk hidung luardeviasi septum sering disertai deviasi
tulang dan/ atau kartilago dorsum nasi, deformitas puncak hidung (nasal
tip), atau kolumela.
7. Infeksi telinga tengahdeviasi septum sering merupakan factor
predisposisi gangguan tuba eustachius, atau otitis media.
41
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan:
1. Tampak deviasi, spina atau krista septum
2. Hipertrofi konka.
3. Tanda-tanda rhinitis alergi atau rinosinusitis.
Tatalaksana yang diberikan berupa tatalaksana non-farmakologis dan
farmakologis. Tatalaksana non-farmakologis berupa edukasi pasien untuk cuci
hidung dengan larutan garam (salin). Cuci hidung membantu membersihkan silia,
mengurangi koloni bakteri dalam rongga hidung, dan membuang sitokin-sitokin
produk inflamasi. Sedangkan tatalaksana farmakologis berupa:
1. Rhinos SR mengandung loratadine dan pseudoephedrine. Loratadine
merupakan antihistamin yang bekerja dengan cara menghambat efek
histamine yang memicu munculnya reaksi alergi saat tubuh terpapar
allergen. Sedangkan pseudoephedrine merupakan dekongestan oral.
Dekongestan dapat diberikan sebagai terapi simtomatik, terutama
untuk mengatasi keluhan hidung tersumbat. Obat ini memiliki efek
vasokontriksi, bekerja mengatasi reaksi vasodilatasi sinusoid mukosa
hidung yang terjadi akibat kerja histamine. Pemberian dekongestan
sediaan oral harus mempertimbangkan kondisi penyakit hipertensi,
infark miokard, glaucoma, hyperplasia prostat, dan ibu hamil. Dosis
untuk dewasa dan anak di atas 12 tahun 1 kapsul, 2 kali sehari atau
setiap 12 jam. Tiap kapsul mengandung loratadine 5 mg dan
pseudoephedrine HCl 60 mg. Obat ini diminum sebelum atau sesudah
makan
2. Avamys nasal spray yang merupakan golongan obat steroid intranasal.
Steroid intranasal dapat menekan jumlah sel-sel radang seperti sel
Langerhans, sel mast, makrofag, influx eosinophil dan basophil, serta
dapat menekan produksi histamine, prostaglandin, dan leukotriene
pada mukosa hidung. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah
rasa kering, terbentuk krusta, dan epistaksis ringan. Dosis untuk
dewasa dan remajadosis awal 2 sprays sekali sehari. Dosis
pemeliharaan 1 spray sekali sehari. Tiap spray/semprot mengandung
42
fluticasone furoate 27,5 mcg. Aturan pakai yaitu kocok perlahan
terlebih dahulu lalu semprotkan pada lubang hidung. Tutup lubang
hidung yang sebelah kiri jika lubang hidung sebelah kanan akan
disemprot, begitu juga sebaliknya. Setelah disemprot hirup dalam-
dalam.
3. Cetirizine merupakan golongan obat antihistamin generasi 2 yang
bersifat non-sedatif dan selektif terhadap reseptor H1, tidak memiliki
efek antikolinergik dan relative aman diberikan pada penderita
penyakit hati, ginjal, dan usia lanjut.
43
4. Tindakan bedah. Operasi dipertimbangkan untuk: 1) kasus yang gejalanya
tidak dapat dikontrol dengan terapi medikamentosa (maksimal selama 8-
12 minggu); atau 2) ada kelainan anatomi yang mengganggu drainase; atau
3) jika ada komplikasi.
Prognosis pada pasien ini adalah bonam untuk quo ad vitam, karena pada
pasien rhinosinusitis tidak disertai dengan polip. Disebutkan pada referensi
bahwa risiko mortalitas lebih tinggi pada rhinosinusitis kronis dengan polip
dibandingkan dengan tanpa polip.2 Sedangkan untuk prognosis quo ad
functionam adalah dubia ad bonam karena Jika tidak diobati, dapat
mengurangi kualitas hidup dan produktivitas pasien. Dan dapat menyebabkan
komplikasi orbital dan intrakranial yang merupakan gejala sisa yang paling
serius dari rinosinusitis kronis tetapi sangat jarang, biasanya timbul pada
pasien dengan superimposed acute sinusitis. Komplikasi orbital termasuk
selulitis periorbital, selulitis orbital, dan abses orbital. Komplikasi intrakranial
termasuk trombosis sinus kavernosa, meningitis, dan abses epidural. 3 Dan
untuk prognosis quo ad sanationam adalah dubia ad bonam karena pasien
dengan sinusitis kronis yang dirawat biasanya memiliki hasil yang
memuaskan. Gejala mereda dapat diperoleh setelah operasi sinus endoskopi
fungsional pada sekitar 75% pasien yang gagal merespons manajemen medis.4
44
DAFTAR PUSTAKA
45