Dosen Pembimbing:
dr. Anna Mailasari Kusuma Dewi, Sp.THT-KL(K), M.Si.Med
Residen Pembimbing:
dr. Andra
Dibacakan Oleh:
Erick Trianto, S.Ked 22010122220077
Karlina Harsono Ilham, S.Ked 22010122210003
Melaporkan kasus “Seorang Wanita Usia 32 tahun dengan Rhinosinusitis Kronik dan
Septum Deviasi”
Nama :
1. Erick Trianto, S.Ked
2. Karlina Harsono Ilham, S.Ked
Dosen Pembimbing : dr. Anna Mailasari Kusuma Dewi, Sp.THT-KL(K), M.Si.Med
Residen Pembimbing : dr. Andra
1. 1. Latar Belakang
Sumbatan hidung merupakan sensasi ketidaknyamanan yang dirasakan saat seseorang
menghirup udara akibat adanya gangguan aliran udara pada hidung. Sumbatan hidung dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, seperti infeksi, alergi, obat- obatan, rhinitis vasomotor,
gangguan endokrin, dan bahan iritan. Walaupun Flu merupakan penyebab sumbatan jalan
napas yang paling sering ditemui, sumbatan jalan napas dapat disebabkan oleh gangguan yang
lebih serius seperti Rhinosinusitis.
Rinosinusitis adalah penyakit yang ditandai oleh inflamasi mukosa hidung dan sinus
paranasal. Secara umum, rhinosinusitis dapat dibagi menjadi akut dan kronik berdasarkan
onsetnya. Apabila terjadi selama lebih dari 12 minggu, pasien dapat dikatakan mengalami
rhinosinusitis kronik (RSK).1 Hal ini umumnya disebabkan oleh Rhinosinusitis akut yang
tidak mendapat penanganan yang adekuat. Rhinosinusitis kronik merupakan penyakit yang
umum terjadi pada masyarakat dan merupakan masalah kesehatan bermakna yang mengenai
5 sampai 12% populasi umum.2
RSK yang tidak segera ditangani juga dapat menimbulkan beragam komplikasi mulai
dari cellulitis periorbital hingga infeksi intrakranial yang mengancam nyawa. Selain itu, nyeri
dan gejala lain yang dirasakan oleh penderita RSK juga dapat mengganggu kualitas hidup.3
Untuk itu, dokter umum diharapkan mampu menggali riwayat serta faktor risiko,
mengidentifikasi manifestasi klinis dan temuan-temuan pemeriksaan fisik pada pasien dengan
rhinitis alergi sehingga selanjutnya dokter umum dapat menegakkan diagnosis, melakukan
penatalaksanaan, dan melakukan rujukan (kompetensi 3A).4
1. 2. Tujuan
Laporan kasus ini bertujuan untuk mempelajari secara komprehensif mengenai
definisi, etiologi, faktor predisposisi, patofisiologi, diagnosis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang, komplikasi, serta tatalaksana pada pasien rhinosinusitis, khususnya rhinosinusitis
kronik dengan septum deviasi.
1. 3. Manfaat
Laporan kasus ini bermanfaat untuk mengetahui definisi, etiologi, faktor predisposisi,
patofisiologi, diagnosis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, komplikasi, serta
tatalaksana pada pasien rhinosinusitis, khususnya rhinosinusitis kronik dengan septum deviasi.
BAB II
LAPORAN KASUS
2. 1. Identitas Pasien
Nama : Ny. E
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 32 tahun
Alamat : Tembalang
Agama : Islam
Pendidikan : S1
Pekerjaan : IRT
Ruang : CDC RSUP Kariadi Semarang
Masuk RS : 08/03/2023
No.CM : C978xxx
Pembiayaan : JKN Non PBI
2. 2. Data Subjektif
Autoanamnesis dengan Nn.D pada tanggal 8 Maret 2023 pukul 11.00 WIB di Poli
Merpati RSUP Dr.Kariadi
● Keluhan Utama: Hidung tersumbat
● Perjalanan Penyakit Sekarang:
± 4 bulan SMRS pasien mengeluhkan hidung tersumbat kanan dan kiri dirasakan terus
menerus (VAS 7), semakin memberat dan keluar cairan dari kedua lubang hidung berwarna
putih bening. Keluhan nyeri pada pipi dan dahi dirasakan semakin bertambah terutama saat
sujud ketika sholat (VAS 4). Keluhan lendir mengalir di tenggorokan, demam, batuk, bersin-
bersin disangkal.
± 3 hari SMRS pasien mengeluhkan nyeri pada pipi kanan dan kiri semakin memberat.
Keluhan dirasakan terus menerus (VAS 7). Hidung kanan kiri masih tersumbat, masih keluar
ingus kental berwarna kuning, dan terasa ada cairan mengalir di tenggorokan (VAS 5). Pasien
masih mengeluhkan sering tercium bau busuk. Hidung gatal, bersin-bersin, telinga berdenging
maupun keluar cairan dari telinga disangkal.
Saat ini pasien mengeluhkan hidung masih tersumbat pada hidung kanan dan kiri
secara terus menerus (VAS 9). Keluhan masih disertai dengan cairan keluar dari kedua lubang
hidung berwarna kuning kehijauan dan berbau (VAS 5). Pasien juga merasakan terdapat lendir
mengalir di tenggorokan. keluhan nyeri pada pipi dirasakan semakin bertambah terutama saat
sujud ketika sholat. Pasien juga mengeluhkan gangguan menghidu (VAS 7). Pasien sesekali
melakukan cuci hidung. namun keluhan tidak berkurang. Keluhan nyeri kepala, demam,
batuk, bersin-bersin disangkal.
Bagian
Telinga Kanan Telinga Kiri
Telinga
Pemeriksaan Luar
Inspeksi
Bentuk (N)
Simetris
Warna kulit sama dengan sekitar
Deformitas (-)
Hidung Luar Benjolan (-)
Discharge (-/-)
Palpasi:
Os.Nasal: deformitas (-/-), krepitasi (-/-), nyeri
tekan (-/-), edema (-/-)
Konka Inferior Hipertrofi (+), edema (-) Hipertrofi (+), edema (-)
Refleks
(+)
muntah
2. 3. 2. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan MSCT Sinus Paranasalis Non Kontras (06/04/2023)
38
• Jarak lamina cribosa dengan atap sinus ethmoida sesuai dengan Keros 3
• Carotis comunis kanan dilapisi tulang tebal, kiri dilapisi tulang tipis
terhadap sinus sphenoidalis, kanan kiri tak tampak menonjol terhadap
sinus sphenoid
2. Nasofaringoskopi (11/04/2023)
39
• Septum deviasi : -/+ (caudal septum) dan superior (menutupi KOM),
krista +/+. perforasi -/-
• Meatus media: udem -/-, polip -/-, discharge -/-, hiperemis -/-
• Konka media: dbn/ sulit dinilai karena tertutup septum deviasi
• sinus ethmoid: tidak tampak/tidak tampak
• Ostium maksila: tidak tampak/tidak tampak
• Resesus frontalis: tidak tampak/tidak tampak
• Resesus sfenoethmoidalis: tidak tampak/tidak tampak
• Nasofaring: post nasal drip +/+ (anterior torus), mukosa edem -/-,
hiperemis -/-, adenoid -/-, tumor -/-
Kesimpulan:
• Pansinusitis kronik bilateral
• Septum deviasi (caudal septum)
Hematologi Paket
Hematokrit 26.8 % 32 - 62
MCH 28.3 pg 27 - 32
MCV 86.9 fL 76 - 96
2. 4. Diagnosis Kerja
• Rhinosinusitis kronik sekunder
• Septum deviasi
2. 5. Diagnosis Banding
• Rhinosinusitis kronik primer
2. 6. Rencana Pengelolaan
• IpDx
S:-
O: Lab darah hitung jenis
• IpTx:
- Irigasi hidung NaCl 0,9% 2 kali sehari
- Fluticasone furoate Nasal Spray 2 puff/24 jam kanan kiri
- Levofloxacin 750 mg/24 jam IV
- Pro FESS
• Ip Mx:
- Mengawasi keadaan umum dan tanda-tanda vital, skala nyeri
- Mengawasi progresivitas penyakit antara lain keluhan hidung tersumbat,
hidung gatal.
• IpEx:
- Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang diderita pasien
- Edukasi pasien mengenai rencana tindakan yang akan dilakukan dan rencana
41
merujuk pasien ke dokter spesialis THT-KL
- Edukasi kepada pasien mengenai cara yang tepat melakukan irigasi hidung.
- Edukasi kepada pasien mengenai prognosis penyakit yang diderita pasien.
2.2 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
42
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
45
d. Tipe IV: septum berbentuk “S” (posterior ke sisi lain dan anterior ke sisi
lainnya)
e. Tipe V: tonjolan besar unilateral pada dasar septum, tetapi sisi lain masih
normal
f. Tipe VI: tipe V disertai sulkus unilateral dari kaudal hingga ventral, sehingga
menunjukkan rongga yang asimetri
g. Tipe VII: kombinasi lebih dari satu tipe
Operatif
a. Septoplasty
Septoplasti adalah tindakan operasi pilihan pada deviasi septum nasal
yang dapat juga dikombinasi dengan rhinoplasti. Septoplasti dapat dilakukan
apabila terjadi dislokasi pada bagian kaudal dari kartilago septum. Septoplasti
bertujuan untuk memperbaiki atau mereposisi kartilago pada deviasi septum.
Operasi ini juga dapat dikerjakan bersamaan dengan reseksi septum bagian
tengah atau posterior. Pada pasien deviasi septum akibat riwayat trauma baru
46
(<7 hari), tulang hidung dan septum yang mengalami deviasi dapat dikoreksi
dengan realignment dan anestesi lokal. Jika deviasi septum tidak dapat
diperbaiki dengan cara ini atau jika deformitas septum berlangsung lama, maka
direkomendasikan untuk melakukan septoplasti.
b. Reseksi Submukosa
Pada reseksi submukosa, mukoperikondrium dan mukoperiosteum
kedua sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang
rawan dari septum kemudian diangkat, sehingga mukoperikondrium dan
mukoperiosteum sisi kiri dan kanan akan langsung bertemu di garis tengah.
Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi seperti saddle nose
karena bagian atas tulang rawan septum diangkat terlalu banyak. Tindakan ini
tidak dianjurkan untuk dilakukan pada anak karena dapat mempengaruhi
pertumbuhan wajah dan menyebabkan runtuhnya dorsum nasi.
48
Gambar 1 Patogenesis Rhinosinusitis Kronik
3.3.4. Klasifikasi
Secara umum, RSK dapat dibedakan menjadi RSK primer dan RSK sekunder.
RSK Primer didefinisikan sebagai inflamasi primer dari sistem respiratori. Pasien
dikatakan memiliki RSK primer bila gangguan yang dialami terbatas pada saluran
pernapasan saja. RSK sekunder disebabkan oleh adanya penyakit sistemik atau kondisi
patologis lokal (misalnya odontogenik atau neoplasma).9 Pasien dapat dikatakan
memiliki RSK sekunder bila dalam pemeriksaan ditemukan perdarahan/krusta, nyeri
berat, hilangnya jaringan kulit atau keterlibatan organ lain.2
RSK primer dibedakan kembali berdasarkan distibusi anatominya
(unilateral/bilateral) dan dominansi endotype-nya (tipe 2/non tipe 2). Endotype tipe 2
di sini memiliki makna adanya proses inflamasi eosinofilik pada pasien, sehingga lebih
mengarah pada etiopatologi alergi. RSK sekunder dibedakan lagi berdasarkan
distribusi anatominya, apakah unilateral (localized) atau bilateral (difus), yang masing-
masing memiliki etiopatologi yang berbeda dengan gambaran fenotip yang berbeda.1
Klasifikasi lebih lanjut dapat dilihat pada diagram berikut.
49
Gambar 2 Klasifikasi RSK primer
3.3.5. Diagnosis
a. Anamnesis
Dokter Umum di layanan primer dapat menegakkan diagnosis
rinosinusitis berdasarkan anamnesis yaitu didapatkannya dua gejala RSK yang
salah satunya harus berupa hidung tersumbat dan/atau sekret
mukopurulen, dapat disertai gejala nyeri/rasa tertekan pada wajah dan
berkurangnya atau hilangnya penciuman yang berlangsung ≥12 minggu.
Pasien dengan gejala sumbatan hidung, sekret, tekanan, nyeri, barotrauma dan
berkurangnya indera penciuman yang menetap didiagnosis banding dengan
rinitis.2 Bila rhinosinusitis yang dialami pasien memiliki etiologi odontogenik,
pasien juga dapat mengeluhkan adanya bau mulut (malodor/bad breath).10
50
Gejala dan tanda penting (alarm symptoms) yang harus diperhatikan
antara lain ada/tidaknya edema periorbital, pergeseran bola mata, diplopia,
ophtalmoplegia, penurunan ketajaman penglihatan, nyeri kepala hebat,
bengkak pada area frontal, tanda-tanda sepsis, tanda-tanda meningitis,
gangguan neurologi, gejala unilateral, perdarahan, krusta, dan kakosmia.1 Bila
didapati gejala tersebut, dicurigai sudah terdapat komplikasi dari RSK yang
dialami pasien dan perlu untuk segera merujuk ke dokter spesialis THT-KL.2
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan rhinosinusitis kronik dapat
dijumpai adanya demam disertai dengan nyeri tekan dan nyeri ketok pada
daerah sinus paranasal. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior, dapat dijumpai
adanya edema mukosa difus, septum deviasi, penyempitan meatus media,
hipertrofi konka, dan adanya discharge purulen. Pada pemeriksaan tenggorok,
dapat ditemui adanya post nasal drip pada dinding posterior faring.
Pemeriksaan khusus yang dapat dilakukan antara lain diafanoskopi.
Diafanoskopi merupakan pemeriksaan dengan cara menyinari daerah sinus
paranasal (utamanya sinus maksilaris dan sinus frontalis) dengan
menggunakan senter untuk dapat menilai ada/tidaknya kesuraman sinus.
Adanya kesuraman menandakan bahwa terdapat cairan atau pembengkakan
mukosa dalam sinus paranasal pasien, sehingga mengarahkan diagnosis
rhinosinusitis.
c. Pemeriksaan Penunjang
• X-foto sinus paranasal
X-foto sinus paranasal dapat dilakukan sebagai pemeriksaan awal
untuk mengonfirmasi kecurigaan rhinosinusitis. Terdapat 2 proyeksi
yang paling sering digunakan: waters (occipitomental) dan caldwell
(occipitofrontal). Rhinosinusitis pada x foto polos sinus paranasal akan
nampak sebagai kesuraman pada daerah sinus dengan atau tanpa air
fluid level di dalamnya. Pemeriksaan ini juga dapat menunjukkan
ada/tidaknya septum deviasi.
• Nasoendoskopi
Nasoendoskopi adalah pemeriksaan secara visual dan langsung pada
rongga hidung, sinus paranasal sampai nasofaring mempergunakan alat
51
endoskopi. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya polip nasal,
discharge mukopurulen (utamanya muncul dari meatus media), dan
edem atau obstruksi mukosa pada meatus media.11
• CT-scan sinus paranasal
CT-scan adalah pemeriksaan gold standard untuk diagnosis
rhinosinusitis. Pemeriksaan ini dapat menilai anatomi hidung dan sinus,
penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya.
Gambaran yang baik terhadap penebalan mukosa, air fluid level,
struktur tulang, dan kompleks osteomeatal dapat dilihat menggunakan
CT-scan. Rhinosinusitis dapat memberikan adanya gambaran
perubahan mukosa pada kompleks osteomeatal maupun sinus paranasal
berupa kesuraman.11
• Pemeriksaan kadar CRP dan Procalcitonin
CRP dan procalcitonin merupakan biomarker hematologi yang
meningkat pada infeksi bakteri. Walaupun demikian, peningkatan
kadar CRP dan procalcitonin tidak bersifat spesifik dalam
mendiagnosis rhinosinusitis kronik.
• Pemeriksaan X-Foto Panoramik
Pemeriksaan x foto panoramik pada pasien dengan rhinosinusitis
dilakukan untuk mengkonfirmasi kecurigaan adanya penyebab
odontogenik. Penyebab odontogenik sendiri secara umum dapat
dikelompokkan menjadi infaksi, implantologik, traumatik, dan
iatrogenik, dengan penyebab predominan berupa ekstraksi gigi.12
3.3.6. Tatalaksana
Pada layanan primer, terapi RSK yang direkomendasikan adalah cuci hidung
dan kortikosteroid intranasal. Pemberian antibiotik di layanan primer sebaiknya
dihindari. Pemberian edukasi terutama pada cara pemakaian terapi obat cuci hidung,
obat tetes atau obat semprot hidung serta kepatuhan penggunaannya. Terapi
medikamentosa diberikan selama 6-12 minggu, dengan dilakukan evaluasi secara
teratur untuk melihat progresivitas penyakit. Apabila terdapat perbaikan maka terapi
dilanjutkan, tetapi bila tidak ada perbaikan atau terjadi perburukan maka pasien harus
dirujuk ke Dokter Spesialis T.H.T.K.L. di layanan sekunder atau tersier.2
52
Tatalaksana medikamentosa yang dapat diberikan pada kasus rhinosinusitis kronik
antara lain:
a. Antibiotik jangka pendek
b. Antibiotik jangka panjang
c. Kortikosteroid intranasal
d. Kortikosteroid sistemik
e. Antihistamin
f. Dekongestan
g. Irigasi hidung dengan larutan saline
h. Antifungal lokal dan sistemik
Tatalaksana operatif dipertimbangkan apabila pasien mengalami penyakit
sinus refrakter setelah diberikan terapi medikamentosa optimal. Operasi sinus
bertujuan untuk memperbaiki gejala yang diderita pasien, sehingga operasi seharusnya
diindikasikan pada pasien RSK yang memiliki gejala, ataupun pasien dengan
komplikasi atau ancaman terjadi komplikasi. Indikasi operasi berdasarkan skor gejala
dan hasil CT scan sinus paranasal:
a. Indikasi operasi pasien RSK dengan polip tanpa komplikasi adalah bila skor
CT Lund-Mackay ≥1 dan telah diberikan kortikosteroid intranasal topikal
selama minimal delapan minggu, ditambah kortikosteroid sistemik jangka
pendek dengan total skor SNOT-22 pascaterapi ≥20.
b. Indikasi operasi pasien RSK tanpa polip tanpa komplikasi adalah bila skor CT
Lund-Mackay ≥1 dan telah diberikan kortikosteroid intranasal topikal selama
delapan minggu, ditambah antibiotik spektrum luas/antibiotik sistemik yang
sesuai kultur dalam jangka pendek, atau antibiotik inflamasi dosis rendah
jangka panjang, dengan total skor SNOT-22 total pascaterapi ≥ 20.
53
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang ke Poli THT untuk kontrol keluhan hidung tersumbat. Hidung
tersumbat telah dirasakan sejak 4 Bulan SMRS. Keluhan dirasakan terus-menerus.
Keluhan disertai dengan pilek keluar ingus berwarna putih bening. Pasien mengeluhkan
nyeri pada dahi dan pipi semakin memberat saat sujud ketika sholat. Keluhan dirasakan
tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Keluhan lender mengalir di tenggorokan,
demam, batuk, bersin-bersin disangkal. 3 hari SMRS keluhan pasien mengeluhkan
nyeri pada pipi dan dahi kanan dan kiri semakin memberat setelah sebelumnya
dirasakan membaik. Keluhan dirasakan terus menerus, dengan skala VAS 7. Hidung
kanan kiri masih tersumbat, masih keluar ingus kental berwarna kuning, dan terasa ada
cairan mengalir di tenggorokan. Pasien masih mengeluhkan sering tercium bau busuk.
Timbul demam dengan suhu terukur 38,2oC. Demam mereda dengan konsumsi
parasetamol namun nyeri dirasakan tidak berkurang.
Saat ini, pasien mengeluhkan hidung masih tersumbat pada hidung kanan dan kiri
secara terus menerus. keluhan masih disertai dengan pilek dengan ingus dari kedua lubang
hidung berwarna kuning kehijauan dan berbau. Pasien juga merasakan terdapat lendir
mengalir di tenggorokan. keluhan nyeri pada dahi dan pipi dirasakan semakin bertambah
terutama saat sujud ketika shalat. Pasien juga mengeluhkan gangguan menghidu. Pasien
sesekali melakukan cuci hidung. namun keluhan tidak berkurang. Keluhan nyeri kepala,
demam, batuk, bersin-bersin disangkal.
Pemeriksaan fisik telinga dan tenggorok dalam batas normal. Pemeriksaan luar
hidung diperoleh hasil bentuk normal, simetris, deformitas (-), warna kulit sama dengan
kulit sekitar, nyeri tekan (-). Pemeriksaan rinoskopi anterior diperoleh hasil mukosa
pucat pada hidung kanan dan kiri, konka inferior hidung kanan kiri hipertrofi, discharge
(+/+), massa (-/-), deviasi septum (+/-). Pada pemeriksaan leher, tidak didapatkan
adanya pembesaran kelenjar getah bening. Pemeriksaan gigi dan mulut dalam batas
normal.
54
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan,
pasien didiagnosis sebagai rhinosinusitis kronik dan septum deviasi yang
didukung oleh pemeriksaan fisik dan pemeriksaan nasoendoskopi. Serta deviasi
septum yang didukung oleh pemeriksaan MSCT Sinus paranasal dan
Nasofaringoskopi menunjukkan hasil terdapat hipertrofi konka inferior hidung
kanan dan kiri serta deviasi septum kearah kiri
Pasien diberikan tatalaksana berupa irigasi hidung menggunakan NaCl
0,9% 2 kali sehari, Levofloxacin 750 mg tiap 24 jam, Fluticasone furoate Nasal
Spray 2 puff/24 jam kanan kiri, dan dijadwalkan untuk dilakukan operasi berupa
FESS.
55
BAB V
PENUTUP
56
DAFTAR PUSTAKA
1. Fokkens WJ, Lund VJ, Hopkins C, Hellings PW, Kern R, Reitsma S, et al. Executive
summary of EPOS 2020 including integrated care pathways. Rhinology.
2020;58(2):82–111.
3. Khan A, Huynh TMT, Vandeplas G, Joish VN, Mannent LP, Tomassen P, et al. The
GALEN rhinosinusitis cohort: chronic rhinosinusitis with nasal polyps affects health-
related quality of life. Rhinology. 2019;57(5):343–51.
5. Dalley AF, Agur AMR. Moore’s Clinically Oriented Anatomy [Internet]. Wolters
Kluwer Health; 2021. Available from:
https://books.google.co.id/books?id=SHhTEAAAQBAJ
6. Gamerra M, Luca RD. Airflow in paranasal sinuses. Biomed Sci Res. 2019;1(5):197–
201.
57
11. Watkinson JC, Clarke RW. Scott-Brown’s Otorhinolaryngology and Head and Neck
Surgery, Eighth Edition: 3 volume set [Internet]. CRC Press; 2018. Available from:
https://books.google.co.id/books?id=NjZlDwAAQBAJ
12. Workman AD, Granquist EJ, Adappa ND. Odontogenic sinusitis: developments in
diagnosis, microbiology, and treatment. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg. 2018
Feb;26(1):27–33.
58