Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS BESAR

SEORANG WANITA 32 TAHUN DENGAN RHINOSINUSITIS KRONIK DAN SEPTUM


DEVIASI

Diajukan Guna Melengkapi Tugas Kepaniteraan Senior Ilmu Kesehatan THT-KL

Dosen Pembimbing:
dr. Anna Mailasari Kusuma Dewi, Sp.THT-KL(K), M.Si.Med

Residen Pembimbing:
dr. Andra

Dibacakan Oleh:
Erick Trianto, S.Ked 22010122220077
Karlina Harsono Ilham, S.Ked 22010122210003

Dibacakan tanggal: 18 April 2023

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS DIPONEGORO
RSUP DR KARIADI SEMARANG 2023
HALAMAN PENGESAHAN

Melaporkan kasus “Seorang Wanita Usia 32 tahun dengan Rhinosinusitis Kronik dan
Septum Deviasi”

Nama :
1. Erick Trianto, S.Ked
2. Karlina Harsono Ilham, S.Ked
Dosen Pembimbing : dr. Anna Mailasari Kusuma Dewi, Sp.THT-KL(K), M.Si.Med
Residen Pembimbing : dr. Andra

Diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan Senior Ilmu Kesehatan THT-KL

Semarang, 12 April 2023

Residen Pembimbing Dosen Pembimbing

dr. Andra dr. Anna Mailasari Kusuma Dewi,


Sp.THT-KL(K), M.Si.Med
BAB I
PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang
Sumbatan hidung merupakan sensasi ketidaknyamanan yang dirasakan saat seseorang
menghirup udara akibat adanya gangguan aliran udara pada hidung. Sumbatan hidung dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, seperti infeksi, alergi, obat- obatan, rhinitis vasomotor,
gangguan endokrin, dan bahan iritan. Walaupun Flu merupakan penyebab sumbatan jalan
napas yang paling sering ditemui, sumbatan jalan napas dapat disebabkan oleh gangguan yang
lebih serius seperti Rhinosinusitis.
Rinosinusitis adalah penyakit yang ditandai oleh inflamasi mukosa hidung dan sinus
paranasal. Secara umum, rhinosinusitis dapat dibagi menjadi akut dan kronik berdasarkan
onsetnya. Apabila terjadi selama lebih dari 12 minggu, pasien dapat dikatakan mengalami
rhinosinusitis kronik (RSK).1 Hal ini umumnya disebabkan oleh Rhinosinusitis akut yang
tidak mendapat penanganan yang adekuat. Rhinosinusitis kronik merupakan penyakit yang
umum terjadi pada masyarakat dan merupakan masalah kesehatan bermakna yang mengenai
5 sampai 12% populasi umum.2
RSK yang tidak segera ditangani juga dapat menimbulkan beragam komplikasi mulai
dari cellulitis periorbital hingga infeksi intrakranial yang mengancam nyawa. Selain itu, nyeri
dan gejala lain yang dirasakan oleh penderita RSK juga dapat mengganggu kualitas hidup.3
Untuk itu, dokter umum diharapkan mampu menggali riwayat serta faktor risiko,
mengidentifikasi manifestasi klinis dan temuan-temuan pemeriksaan fisik pada pasien dengan
rhinitis alergi sehingga selanjutnya dokter umum dapat menegakkan diagnosis, melakukan
penatalaksanaan, dan melakukan rujukan (kompetensi 3A).4
1. 2. Tujuan
Laporan kasus ini bertujuan untuk mempelajari secara komprehensif mengenai
definisi, etiologi, faktor predisposisi, patofisiologi, diagnosis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang, komplikasi, serta tatalaksana pada pasien rhinosinusitis, khususnya rhinosinusitis
kronik dengan septum deviasi.
1. 3. Manfaat
Laporan kasus ini bermanfaat untuk mengetahui definisi, etiologi, faktor predisposisi,
patofisiologi, diagnosis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, komplikasi, serta
tatalaksana pada pasien rhinosinusitis, khususnya rhinosinusitis kronik dengan septum deviasi.
BAB II
LAPORAN KASUS
2. 1. Identitas Pasien
Nama : Ny. E
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 32 tahun
Alamat : Tembalang
Agama : Islam
Pendidikan : S1
Pekerjaan : IRT
Ruang : CDC RSUP Kariadi Semarang
Masuk RS : 08/03/2023
No.CM : C978xxx
Pembiayaan : JKN Non PBI

MASALAH AKTIF MASALAH PASIF

1. Hidung kanan dan kiri 1. Anemia aplastik


tersumbat
2. Cairan keluar dari hidung
berwarna kuning kehijauan
3. Nyeri pada pipi
4. Lendir mengalir di tenggorkan
5. Gangguan menghidu

2. 2. Data Subjektif
Autoanamnesis dengan Nn.D pada tanggal 8 Maret 2023 pukul 11.00 WIB di Poli
Merpati RSUP Dr.Kariadi
● Keluhan Utama: Hidung tersumbat
● Perjalanan Penyakit Sekarang:
± 4 bulan SMRS pasien mengeluhkan hidung tersumbat kanan dan kiri dirasakan terus
menerus (VAS 7), semakin memberat dan keluar cairan dari kedua lubang hidung berwarna
putih bening. Keluhan nyeri pada pipi dan dahi dirasakan semakin bertambah terutama saat
sujud ketika sholat (VAS 4). Keluhan lendir mengalir di tenggorokan, demam, batuk, bersin-
bersin disangkal.
± 3 hari SMRS pasien mengeluhkan nyeri pada pipi kanan dan kiri semakin memberat.
Keluhan dirasakan terus menerus (VAS 7). Hidung kanan kiri masih tersumbat, masih keluar
ingus kental berwarna kuning, dan terasa ada cairan mengalir di tenggorokan (VAS 5). Pasien
masih mengeluhkan sering tercium bau busuk. Hidung gatal, bersin-bersin, telinga berdenging
maupun keluar cairan dari telinga disangkal.
Saat ini pasien mengeluhkan hidung masih tersumbat pada hidung kanan dan kiri
secara terus menerus (VAS 9). Keluhan masih disertai dengan cairan keluar dari kedua lubang
hidung berwarna kuning kehijauan dan berbau (VAS 5). Pasien juga merasakan terdapat lendir
mengalir di tenggorokan. keluhan nyeri pada pipi dirasakan semakin bertambah terutama saat
sujud ketika sholat. Pasien juga mengeluhkan gangguan menghidu (VAS 7). Pasien sesekali
melakukan cuci hidung. namun keluhan tidak berkurang. Keluhan nyeri kepala, demam,
batuk, bersin-bersin disangkal.

● Riwayat Penyakit Dahulu


• Riwayat keluhan serupa sebelumnya disangkal
• Riwayat Anemia aplastic (+) sejak 2010
• Riwayat hipertensi disangkal
• Riwayat penyakit keganasan disangkal
• Riwayat gigi berlubang disangkal
• Riwayat alergi disangkal
• Riwayat penggunaan obat herbal disangkal
● Riwayat Penyakit Keluarga
• Riwayat anggota keluarga dengan keluhan serupa disangkat
• Riwayat DM di keluarga disangkal.
• Riwayat hipertensi di keluarga disangkal.
• Riwayat penyakit keganasan di keluarga disangkal.
• Riwayat alergi pada keluarga disangkal.
● Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga. Pasien bukan merupakan perokok aktif
maupun pasif. Pasien tinggal bersama anak dan suami. Pembiayaan pasien dengan JKN
Non PBI. Kesan sosial ekonomi cukup.
2. 3. Data Objektif
2. 3. 1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 11 April 2023 pukul 11.30 di CDC
RSDK.
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis, GCS E4V5M6
Aktivitas : Normoaktif
Kooperativitas : Kooperatif
Status gizi : Kesan normoweight (IMT 20,5 kg/m2)
BB 48 kg, TB 153 cm
Tanda Vital
Tekanan darah : 112/72 mmHg
Nadi : 80x/menit, reguler isi dan tegangan cukup
RR : 20x/menit
Suhu : 36,6˚C
SpO2 : 99% room air
Status Internus
Kulit : Turgor kulit cukup
Jantung : Tidak dilakukan pemeriksaan
Paru : Tidak dilakukan pemeriksaan
Thorax : Tidak dilakukan pemeriksaan
Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Tidak dilakukan pemeriksaan
Status Lokalis (THT)
1. Telinga

Tabel 4. Pemeriksaan Telinga

Bagian
Telinga Kanan Telinga Kiri
Telinga

Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),


Pre-aurikula fistula (-), abses (-), nyeri fistula (-), abses (-), nyeri
tekan tragus (-) tekan tragus (-)

Normotia, hiperemis (-), Normotia, hiperemis (-),


Aurikula
edema (-), nyeri tarik (-) edema (-), nyeri tarik (-)

Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),


Retroaurikula fistula (-), abses (-), nyeri fistula (-), abses (-), nyeri
tekan (-) tekan (-)

Hiperemis (-), nyeri tekan Hiperemis (-), nyeri tekan


Mastoid (-), nyeri ketok (-), fistula (-), nyeri ketok (-), fistula
(-), abses (-) (-), abses (-)

Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),


sekrert (-), granula (-), sekrert (-), granula (-),
CAE/MAE
furunkel (-), serumen (-), furunkel (-), serumen (-),
bau (-) bau (-)

Intak, refleks cahaya (+), Intak, refleks cahaya (+),


Membrana
Warna putih mengkilat, Warna putih mengkilat,
Timpani
retraksi (-), perforasi (-) retraksi (-), perforasi (-)
2. Hidung dan Sinus Paranasal
Tabel 5. Pemeriksaan Hidung dan Sinus Paranasal

Pemeriksaan Luar
Inspeksi
Bentuk (N)
Simetris
Warna kulit sama dengan sekitar
Deformitas (-)
Hidung Luar Benjolan (-)
Discharge (-/-)

Palpasi:
Os.Nasal: deformitas (-/-), krepitasi (-/-), nyeri
tekan (-/-), edema (-/-)

Frontalis : nyeri tekan (+/+), nyeri ketok


Sinus (+/+) Maxilla : nyeri tekan (+/+), nyeri
ketok (+/+) Ethmoid : nyeri tekan (+/+),
nyeri ketok (+/+)
Rinoskopi
Kanan Kiri
Anterior

Discharge (+) (+)

Hiperemis (-) Hiperemis (-)


Mukosa Pucat (+) Pucat (+)
Livid (-) Livid (-)

Konka Inferior Hipertrofi (+), edema (-) Hipertrofi (+), edema (-)

Tumor Massa (-) Massa (-)

Deviasi (+) kearah kiri


Septum nasi
Perdarahan (-)

Diafanoskopi Tidak dilakukan


3. Tenggorok
Tabel 6. Pemeriksaan Tenggorok

Orofaring Post nasal drip (+), hiperemis (-)

Simetris, bombans (-), hiperemis (-), fistula (-),


Palatum
stomatitis (-)

Arkus Faring Simetris, uvula di tengah, hiperemis (-)

Mukosa Hiperemis (-). granulasi (-), eksudat (-)

Ukuran T1, hiperemis (- Ukuran T1, hiperemis (-


), edema (-), permukaan ), edema (-), permukaan
Tonsil rata, kripte melebar (-), rata, kripte melebar (-),
detritus (-), detritus (-),
pseudomembran (-) pseudomembran (-)

Peritonsil Hiperemis (-), edema (-), abses (-)

Refleks
(+)
muntah

Pemeriksaan rinoskopi posterior dan laringoskopi indirek tidak dilakukan.


● Kepala dan Leher
Kepala : Mesosefal
Wajah : Simetris, deformitas (-)
Mata : Edema periorbital (-), proptosis (-), injeksi konjungtiva (-),
kemosis (-).
Leher : pembesaran nnll (-), nyeri tekan (-), deviasi trakea (-)

● Gigi dan Mulut


Bibir : Simetris, sianosis (-), ulkus (-)
Gigi geligi : Gigi karies (-), sisa akar (-), impaksi (-)
Lidah : Simetris, deviasi (-), stomatitis (-)
Palatum : Simetris, bombans (-), hiperemis (-)
Mukosa buccal : simetris, bombans, hiperemis (-)

2. 3. 2. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan MSCT Sinus Paranasalis Non Kontras (06/04/2023)

Klinis: RHINOSINUSITIS KRNOIK

• Tampak kesuraman (CT number ± 23 – 34 HU) pada sinus maksilaris,


ethmoidalis, sphenoidalis kanan kiri dan frontalis kiri

• Tampak deviasi septum nasi ke kiri

• Tampak penebalan concha nasalis inferior kanan

38
• Jarak lamina cribosa dengan atap sinus ethmoida sesuai dengan Keros 3

• Tak tampak pneumatisasi concha nasalis

• Osteomeatal kompleks kanan kiri baik

• Carotis comunis kanan dilapisi tulang tebal, kiri dilapisi tulang tipis
terhadap sinus sphenoidalis, kanan kiri tak tampak menonjol terhadap
sinus sphenoid

• Tak tampak variasi anatomi pada sinus paranasal

• Tak tampak kesuraman pada lamina papiracea

• Tak tampak defleksi pada prosesus uncinatus

• Tak tampak limfadenopati regio colli kanan kiri

• Tak tampak destruksi tulang


Kesan:
• Pansinustis
• Deviasi septum nasi ke kiri
• Hipertrofi concha nasalis inferior kanan

2. Nasofaringoskopi (11/04/2023)

• Meatus inferior : terbuka +/+, discharge -/-


• Konka inferior: hipertrofi -/-, udem -/-

39
• Septum deviasi : -/+ (caudal septum) dan superior (menutupi KOM),
krista +/+. perforasi -/-
• Meatus media: udem -/-, polip -/-, discharge -/-, hiperemis -/-
• Konka media: dbn/ sulit dinilai karena tertutup septum deviasi
• sinus ethmoid: tidak tampak/tidak tampak
• Ostium maksila: tidak tampak/tidak tampak
• Resesus frontalis: tidak tampak/tidak tampak
• Resesus sfenoethmoidalis: tidak tampak/tidak tampak
• Nasofaring: post nasal drip +/+ (anterior torus), mukosa edem -/-,
hiperemis -/-, adenoid -/-, tumor -/-
Kesimpulan:
• Pansinusitis kronik bilateral
• Septum deviasi (caudal septum)

3. Laboratorium Patologi Klinik (08/04/2023)

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL KET.

Hematologi Paket

Hemoglobin 8.6 gr/dL 11,7 - 15,5

Hematokrit 26.8 % 32 - 62

Eritrosit 3.09 10^6/uL 4.4 - 5.9

MCH 28.3 pg 27 - 32

MCV 86.9 fL 76 - 96

MCHC 32.6 g/dL 29 - 36

Leukosit 1.3 10^3/uL 3.6 - 11

Trombosit 312 10^3/uL 150 - 400

RDW 15.3 % 11.6 - 14.8

MPV 9.6 fL 4.00 - 11.00


40
Kimia Klinik

Glukosa Sewaktu 83 mg/dL 80-180

Ureum 13 mg/dL 15-39 L

Kreatinin 0.8 mg/dL 0.6-1.3

Natrium 137 mmol/L 136-145

Kalium 3.9 mmol/L 3.5-5.0

Chlorida 107 mmol/L 95-105 H

2. 4. Diagnosis Kerja
• Rhinosinusitis kronik sekunder
• Septum deviasi
2. 5. Diagnosis Banding
• Rhinosinusitis kronik primer
2. 6. Rencana Pengelolaan
• IpDx
S:-
O: Lab darah hitung jenis
• IpTx:
- Irigasi hidung NaCl 0,9% 2 kali sehari
- Fluticasone furoate Nasal Spray 2 puff/24 jam kanan kiri
- Levofloxacin 750 mg/24 jam IV
- Pro FESS
• Ip Mx:
- Mengawasi keadaan umum dan tanda-tanda vital, skala nyeri
- Mengawasi progresivitas penyakit antara lain keluhan hidung tersumbat,
hidung gatal.
• IpEx:
- Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang diderita pasien
- Edukasi pasien mengenai rencana tindakan yang akan dilakukan dan rencana

41
merujuk pasien ke dokter spesialis THT-KL
- Edukasi kepada pasien mengenai cara yang tepat melakukan irigasi hidung.
- Edukasi kepada pasien mengenai prognosis penyakit yang diderita pasien.
2.2 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

42
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal


Hidung merupakan organ berbentuk piramida yang bagian luarnya terdiri atas pangkal
hidung, batang hidung, puncak hidung, ala nasi, kolumela, dan lubang hidung. Rangka hidung
sendiri tersusun atas bagian tulang dan tulang rawan. Bagian tulang pada hidung mencakup
tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal.
Sedangkan bagian yang termasuk tulang rawan adalah sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala mayor), dan tepi anterior
kartilago septum. Rongga pada hidung yang disebut kavum nasi berbentuk terowongan yang
memanjang dari lubang hidung (nares anterior) sampai koana (nares posterior). Nares
posterior menghubungkan antara kavum nasi dan nasofaring. Kavum nasi dibagi menjadi
kavum nasi kanan dan kiri oleh septum nasi.
Kavum nasi atau yang sering disebut sebagai rongga hidung dipisahkan oleh septum
nasi pada bagian tengahnya sehingga akan menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum
nasi ini mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding lateral, medial, superior dan inferior.
Dinding lateral hidung mempunyai struktur-struktur penting yaitu konka nasalis, orifisium
duktus lakrimal dan ostium sinus. Konka nasalis terbagi atas konka superior, konka media dan
konka inferior. Konka nasalis mempunyai segmen yang terbagi atas 3 segmen yaitu segmen
anterior atau head, segmen media atau body dan segmen posterior atau tail. Konka suprema,
superior dan media merupakan bagian dari labirin ethmoid. Konka inferior merupakan tulang
tersendiri yang melekat pada labirin etmoid dan tulang maksila. Diantara tiap konka dan
dinding lateral hidung terdapat rongga kecil atau yang sering disebut sebagai meatus.
Berdasarkan letaknya terdapat tiga macam meatus yaitu meatus superior, media dan inferior.
Di meatus inilah terdapat muara dari sinus paranasalis.
Konka berperan penting dalam sistem fisiologi hidung. Hal ini dikarenakan struktur
konka terdiri atas lapisan mukosa pada bagian luar dan lapisan tulang pada bagian dalam.
Lapisan mukosa konka merupakan mukosa respiratory (mukosa pernapasan) yang tersusun
atas epitel kolumnar pseudostratified bersilia yang mengandung sel goblet 10%. Epitel
mukosa konka ini dipisahkan dari lamina propria oleh lamina basalis. Bagian medial dari epitel
43
mukosa konka lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian lateralnya, dikarenakan pada
bagian tengah lebih sering terkena aliran udara. Mukosa konka juga mengandung sedikit
limfosit, sedikit arteri, kelenjar seromukus dan sinus venous pada dinding lateral konka.
Lapisan tulang konka tersusun atas tulang cancellous. Bagian anterior lapisan tulangnya lebih
tebal dari bagian posterior. Ketebalan lapisan tulang secara histologi rata-rata yaitu 1,2 mm.
Di sekitar dari cavum nasi terdapat 4 pasang sinus paranasalis, yaitu sinus frontalis,
sinus ethmoidalis, sinus sphenoidalis, dan sinus maksilaris, yang masing-masing dinamai
menurut lokasinya. Masing-masing sinus memiliki ostium yang bermuara ke cavum nasi.
Sinus frontalis, ethmoidalis anterior dan maksilaris bermuara di meatus nasi media, sedangkan
sinus ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis bermuara di meatus nasi superior.5
Keberadaan sinus paranasal di sini memiliki peran dalam membantu dinamika udara dalam
proses inhalasi serta juga berperan dalam termoregulasi udara di cavum nasi.6

3.2. Deviasi Septum


3.2.1. Definisi Deviasi Septum
Deviasi septum nasi didefinisikan sebagai deviasi baik tulang maupun tulang
rawan septum ataupun keduanya dari garis tengah. Sekitar 65% dari orang dewasa
mengalami deviasi septum nasi. Rentang prevalensi deviasi septum nasi pada neonatus
adalah 1 sampai 20%. Di sekolah anak-anak umur 6 sampai 15 tahun,
didokumentasikan 20% mengalami deviasi septum nasi.
Deviasi septum nasi memainkan peranan penting dalam gejala obstruksi
hidung, penampilan estetika hidung, peningkatan resistensi hidung dan kebiasaan
mendengkur. Gejala-gejala diatas cenderung akan mengganggu pasien saat melakukan
aktifitas dan akan membuat pasien tidak nyaman. Selain itu deviasi septum nasi dapat
menyebabkan hidung menjadi kering dan mengeras sehingga dapat terjadi mimisan
dan sinusitis pada hidung yang mengalami deviasi septum nasi. Deviasi septum nasi
akan mengurangi asupan udara melalui hidung sehingga akan dilakukan pernafasan
melalui mulut yang akibatnya akan terjadi pernafasan mulut kronis.

3.2.2. Etiologi Deviasi Septum


Etiologi dari deviasi septum nasi sering tidak jelas. Namun sejumlah teori telah
dikemukakan yaitu deviasi septum nasi anterior dikenal sebagai teori external forces
sementara deviasi septum nasi posterior dikenal sebagai teori internal force. Deviasi
44
septum nasi juga dapat disebabkan oleh tidak seimbangnya antara tulang septum dan
kartilago septum. Selain itu, traumatik seperti fraktur nasal atau fraktur septum yang
terjadi ketika jalan lahir dimana posisi intra uterin yang abnormal dapat menyebabkan
tekanan pada hidung sehingga menyebabkan deviasi septum nasi.

3.2.3. Diagnosis Deviasi Septum


a. Anamnesis
Keluhan tersering pada septum deviasi adalah sumbatan hidung,
dimana dapat terjadi unilateral maupun bilateral. Keluhan tambahannya dapat
berupa nyeri kepala dan nyeri disekitar mata. Gangguan penciuman dapat juga
terganggu jika septum Deviasi tejadi pada bagian atas septum.
b. Pemeriksaan Fisik
Prosedur yang dianjurkan adalah pemeriksaan rinoskopi anterior.
Langkah pertama, lihatlah vestibulum nasi tanpa menggunakan spekulum
karena ujung speculum nantinya akan dapat menutupi deviasi pada bagian
kaudal. Kemudian selanjutnya lihatlah menggunakan spekulum dan pakailah
senter kepala untuk dapat melihat hidung bagian dalam. Periksalah hidung
lateral dengan seksama untuk menentukan besarnya konka. Jangan lupa untuk
memeriksa juga bagian piramid hidung, palatum dan gigi karena struktur-
struktur tersebut sering terjadi gangguan yang berhubungan dengan deformitas
septum.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang penting dilakukan untuk mengkonfirmasi
diagnosa. CT-scan dan x foto sinus paranasalis dapat dilakukan untuk
memastikan diagnosis.

3.2.4. Klasifikasi Deviasi Septum


Terdapat 7 jenis septum deviasi menurut klasifikasi deviasi septum Mladina:7
a. Tipe I: benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara
b. Tipe II: benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, tetapi belum
menunjukkan adanya gejala klinis yang bermakna
c. Tipe III: deviasi pada konka media (area osteomeatal dan meatus media)

45
d. Tipe IV: septum berbentuk “S” (posterior ke sisi lain dan anterior ke sisi
lainnya)
e. Tipe V: tonjolan besar unilateral pada dasar septum, tetapi sisi lain masih
normal
f. Tipe VI: tipe V disertai sulkus unilateral dari kaudal hingga ventral, sehingga
menunjukkan rongga yang asimetri
g. Tipe VII: kombinasi lebih dari satu tipe

3.2.5. Tatalaksana Deviasi Septum


Medikamentosa
Pemberian obat–obatan pada deviasi septum nasal bersifat suportif atau
simptomatik. Analgesik dapat diberikan untuk mengurangi keluhan nyeri.
Dekongestan, seperti pseudoefedrin, dapat dipertimbangkan bila didapatkan adanya
kongesti atau edema pada mukosa nasal. Akan tetapi, penggunaannya harus dihindari
apabila pasien direncanakan menjalankan operasi seperti septoplasti untuk
meminimalisir perdarahan. Selain itu, durasi maksimal pemberian dekongestan adalah
7 hari untuk menghindari rebound phenomenon.
Apabila terdapat penyakit penyerta lain, seperti sinusitis dan rhinitis alergi, tata
laksana dilakukan sesuai indikasi dan pedoman klinis penyakit penyerta tersebut.
Kortikosteroid intranasal juga dapat dipertimbangkan bila didapatkan adanya
rhinosinusitis kronis.
Penggunaan kortikosteroid intranasal dengan indikasi obstruksi nasal saja
sebaiknya dihindari, karena dinilai kurang benefisial dan tidak memberikan efek
terapeutik yang signifikan dibandingkan plasebo.

Operatif
a. Septoplasty
Septoplasti adalah tindakan operasi pilihan pada deviasi septum nasal
yang dapat juga dikombinasi dengan rhinoplasti. Septoplasti dapat dilakukan
apabila terjadi dislokasi pada bagian kaudal dari kartilago septum. Septoplasti
bertujuan untuk memperbaiki atau mereposisi kartilago pada deviasi septum.
Operasi ini juga dapat dikerjakan bersamaan dengan reseksi septum bagian
tengah atau posterior. Pada pasien deviasi septum akibat riwayat trauma baru
46
(<7 hari), tulang hidung dan septum yang mengalami deviasi dapat dikoreksi
dengan realignment dan anestesi lokal. Jika deviasi septum tidak dapat
diperbaiki dengan cara ini atau jika deformitas septum berlangsung lama, maka
direkomendasikan untuk melakukan septoplasti.
b. Reseksi Submukosa
Pada reseksi submukosa, mukoperikondrium dan mukoperiosteum
kedua sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang
rawan dari septum kemudian diangkat, sehingga mukoperikondrium dan
mukoperiosteum sisi kiri dan kanan akan langsung bertemu di garis tengah.
Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi seperti saddle nose
karena bagian atas tulang rawan septum diangkat terlalu banyak. Tindakan ini
tidak dianjurkan untuk dilakukan pada anak karena dapat mempengaruhi
pertumbuhan wajah dan menyebabkan runtuhnya dorsum nasi.

3.3. Rhinosinusitis Kronik


3.3.1. Definisi
Rhinosinusitis adalah suatu kondisi peradangan yang melibatkan cavum nasi
dan sinus paranasal dengan terjadinya pembentukan cairan atau adanya kerusakan
pada tulang di bawahnya. Rhinosinusitis ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala,
dengan salah satunya yaitu hidung tersumbat/obstruksi/kongesti atau sekret hidung
anterior maupun posterior nasal drip dan dapat disertai nyeri atau rasa tertekan di wajah
dan/atau penurunan sensitivitas penghidu.2
Rhinosinusitis berdasarkan onsetnya dapat dibagi menjadi rhinosinusitis akut
dan rhinosinusitis kronik. Rhinosinusitis dikatakan akut apabila onsetnya <12 minggu,
sedangkan bila onsetnya > 12 minggu, dapat dikatakan sebagai rhinosinusitis kronik
(RSK).1
3.3.2. Etiologi
Penyebab utama dari RSK adalah obstruksi ostium sinus, mengingat obstruksi dapat
menyebabkan tekanan negatif pada sinus yang menstimulasi produksi mukus dan
retensi pada sinus.8 Hal ini akhirnya akan menyebabkan infeksi pada pasien. Berbagai
faktor yang dapat menyebabkan inflamasi atau kondisi yang mengarah pada obstruksi
ostium sinus:
• Infeksi saluran nafas atas
47
• Alergi
• Paparan bahan iritan
• Kelainan anatomi
• Defisiensi imun
3.3.3. Patogenesis
Rhinosinusitis kronik dikatakan memiliki patofisiologi dan patogenesis yang
kompleks. Hingga saat ini, pendapat yang dipercayai adalah bahwa munculnya RSK
merupakan akibat dari proses inflamasi kompleks yang melibatkan faktor genetik dan
faktor lingkungan.2 Faktor genetik yang dimaksud di sini antara lain variasi anatomi
dan adanya defek anatomi kongenital. Faktor lingkungan yang dimaksud utamanya
adalah pajanan infeksi, baik viral maupun bakterial, dan pajanan alergen.
Proses inflamasi yang terjadi pada kompleks osteomeatala akan menyebabkan
edema dan peningkatan produksi mukus. Hal ini akan menimbulkan obstruksi akut
dari kompleks osteomeatal, sehingga terdapat gangguan dari mucocilliary clearance
dan menimbulkan inflamasi akut pada sinus paranasal dan cavum nasi yang biasa
disebut rhinosinusitis akut.
Bila tidak segera ditangani, proses inflamasi akan berlanjut dan terus
menyebabkan edema dan meningkatkan produksi mukus. Hal ini akan menyebabkan
obstruksi kronik dari kompleks osteomeatal. Obstruksi akan mengakibatkan
penurunan aerasi dan opasifikasi dari sinus yang mana dapat digolongkan sebagai
rhinosinusitis kronik. Rhinosinusitis kronik umumnya memiliki keterlibatan infeksi
bakterial, sehingga inflamasi yang terus berlanjut akan memperburuk mucocilliary
clearance dan menyebabkan stasis dari sekresi mukus pada sinus. Hal ini akan
menimbulkan penumpukan cairan pada sinus paranasal. Keseluruhan proses inflamasi
yang berlanjut dan terus berulang inilah yang disebut sebagai vicious cycle of sinus
disease.8

48
Gambar 1 Patogenesis Rhinosinusitis Kronik

3.3.4. Klasifikasi
Secara umum, RSK dapat dibedakan menjadi RSK primer dan RSK sekunder.
RSK Primer didefinisikan sebagai inflamasi primer dari sistem respiratori. Pasien
dikatakan memiliki RSK primer bila gangguan yang dialami terbatas pada saluran
pernapasan saja. RSK sekunder disebabkan oleh adanya penyakit sistemik atau kondisi
patologis lokal (misalnya odontogenik atau neoplasma).9 Pasien dapat dikatakan
memiliki RSK sekunder bila dalam pemeriksaan ditemukan perdarahan/krusta, nyeri
berat, hilangnya jaringan kulit atau keterlibatan organ lain.2
RSK primer dibedakan kembali berdasarkan distibusi anatominya
(unilateral/bilateral) dan dominansi endotype-nya (tipe 2/non tipe 2). Endotype tipe 2
di sini memiliki makna adanya proses inflamasi eosinofilik pada pasien, sehingga lebih
mengarah pada etiopatologi alergi. RSK sekunder dibedakan lagi berdasarkan
distribusi anatominya, apakah unilateral (localized) atau bilateral (difus), yang masing-
masing memiliki etiopatologi yang berbeda dengan gambaran fenotip yang berbeda.1
Klasifikasi lebih lanjut dapat dilihat pada diagram berikut.

49
Gambar 2 Klasifikasi RSK primer

Gambar 3 Klasifikasi RSK Sekunder

3.3.5. Diagnosis
a. Anamnesis
Dokter Umum di layanan primer dapat menegakkan diagnosis
rinosinusitis berdasarkan anamnesis yaitu didapatkannya dua gejala RSK yang
salah satunya harus berupa hidung tersumbat dan/atau sekret
mukopurulen, dapat disertai gejala nyeri/rasa tertekan pada wajah dan
berkurangnya atau hilangnya penciuman yang berlangsung ≥12 minggu.
Pasien dengan gejala sumbatan hidung, sekret, tekanan, nyeri, barotrauma dan
berkurangnya indera penciuman yang menetap didiagnosis banding dengan
rinitis.2 Bila rhinosinusitis yang dialami pasien memiliki etiologi odontogenik,
pasien juga dapat mengeluhkan adanya bau mulut (malodor/bad breath).10
50
Gejala dan tanda penting (alarm symptoms) yang harus diperhatikan
antara lain ada/tidaknya edema periorbital, pergeseran bola mata, diplopia,
ophtalmoplegia, penurunan ketajaman penglihatan, nyeri kepala hebat,
bengkak pada area frontal, tanda-tanda sepsis, tanda-tanda meningitis,
gangguan neurologi, gejala unilateral, perdarahan, krusta, dan kakosmia.1 Bila
didapati gejala tersebut, dicurigai sudah terdapat komplikasi dari RSK yang
dialami pasien dan perlu untuk segera merujuk ke dokter spesialis THT-KL.2
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan rhinosinusitis kronik dapat
dijumpai adanya demam disertai dengan nyeri tekan dan nyeri ketok pada
daerah sinus paranasal. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior, dapat dijumpai
adanya edema mukosa difus, septum deviasi, penyempitan meatus media,
hipertrofi konka, dan adanya discharge purulen. Pada pemeriksaan tenggorok,
dapat ditemui adanya post nasal drip pada dinding posterior faring.
Pemeriksaan khusus yang dapat dilakukan antara lain diafanoskopi.
Diafanoskopi merupakan pemeriksaan dengan cara menyinari daerah sinus
paranasal (utamanya sinus maksilaris dan sinus frontalis) dengan
menggunakan senter untuk dapat menilai ada/tidaknya kesuraman sinus.
Adanya kesuraman menandakan bahwa terdapat cairan atau pembengkakan
mukosa dalam sinus paranasal pasien, sehingga mengarahkan diagnosis
rhinosinusitis.
c. Pemeriksaan Penunjang
• X-foto sinus paranasal
X-foto sinus paranasal dapat dilakukan sebagai pemeriksaan awal
untuk mengonfirmasi kecurigaan rhinosinusitis. Terdapat 2 proyeksi
yang paling sering digunakan: waters (occipitomental) dan caldwell
(occipitofrontal). Rhinosinusitis pada x foto polos sinus paranasal akan
nampak sebagai kesuraman pada daerah sinus dengan atau tanpa air
fluid level di dalamnya. Pemeriksaan ini juga dapat menunjukkan
ada/tidaknya septum deviasi.
• Nasoendoskopi
Nasoendoskopi adalah pemeriksaan secara visual dan langsung pada
rongga hidung, sinus paranasal sampai nasofaring mempergunakan alat
51
endoskopi. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya polip nasal,
discharge mukopurulen (utamanya muncul dari meatus media), dan
edem atau obstruksi mukosa pada meatus media.11
• CT-scan sinus paranasal
CT-scan adalah pemeriksaan gold standard untuk diagnosis
rhinosinusitis. Pemeriksaan ini dapat menilai anatomi hidung dan sinus,
penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya.
Gambaran yang baik terhadap penebalan mukosa, air fluid level,
struktur tulang, dan kompleks osteomeatal dapat dilihat menggunakan
CT-scan. Rhinosinusitis dapat memberikan adanya gambaran
perubahan mukosa pada kompleks osteomeatal maupun sinus paranasal
berupa kesuraman.11
• Pemeriksaan kadar CRP dan Procalcitonin
CRP dan procalcitonin merupakan biomarker hematologi yang
meningkat pada infeksi bakteri. Walaupun demikian, peningkatan
kadar CRP dan procalcitonin tidak bersifat spesifik dalam
mendiagnosis rhinosinusitis kronik.
• Pemeriksaan X-Foto Panoramik
Pemeriksaan x foto panoramik pada pasien dengan rhinosinusitis
dilakukan untuk mengkonfirmasi kecurigaan adanya penyebab
odontogenik. Penyebab odontogenik sendiri secara umum dapat
dikelompokkan menjadi infaksi, implantologik, traumatik, dan
iatrogenik, dengan penyebab predominan berupa ekstraksi gigi.12

3.3.6. Tatalaksana
Pada layanan primer, terapi RSK yang direkomendasikan adalah cuci hidung
dan kortikosteroid intranasal. Pemberian antibiotik di layanan primer sebaiknya
dihindari. Pemberian edukasi terutama pada cara pemakaian terapi obat cuci hidung,
obat tetes atau obat semprot hidung serta kepatuhan penggunaannya. Terapi
medikamentosa diberikan selama 6-12 minggu, dengan dilakukan evaluasi secara
teratur untuk melihat progresivitas penyakit. Apabila terdapat perbaikan maka terapi
dilanjutkan, tetapi bila tidak ada perbaikan atau terjadi perburukan maka pasien harus
dirujuk ke Dokter Spesialis T.H.T.K.L. di layanan sekunder atau tersier.2
52
Tatalaksana medikamentosa yang dapat diberikan pada kasus rhinosinusitis kronik
antara lain:
a. Antibiotik jangka pendek
b. Antibiotik jangka panjang
c. Kortikosteroid intranasal
d. Kortikosteroid sistemik
e. Antihistamin
f. Dekongestan
g. Irigasi hidung dengan larutan saline
h. Antifungal lokal dan sistemik
Tatalaksana operatif dipertimbangkan apabila pasien mengalami penyakit
sinus refrakter setelah diberikan terapi medikamentosa optimal. Operasi sinus
bertujuan untuk memperbaiki gejala yang diderita pasien, sehingga operasi seharusnya
diindikasikan pada pasien RSK yang memiliki gejala, ataupun pasien dengan
komplikasi atau ancaman terjadi komplikasi. Indikasi operasi berdasarkan skor gejala
dan hasil CT scan sinus paranasal:
a. Indikasi operasi pasien RSK dengan polip tanpa komplikasi adalah bila skor
CT Lund-Mackay ≥1 dan telah diberikan kortikosteroid intranasal topikal
selama minimal delapan minggu, ditambah kortikosteroid sistemik jangka
pendek dengan total skor SNOT-22 pascaterapi ≥20.
b. Indikasi operasi pasien RSK tanpa polip tanpa komplikasi adalah bila skor CT
Lund-Mackay ≥1 dan telah diberikan kortikosteroid intranasal topikal selama
delapan minggu, ditambah antibiotik spektrum luas/antibiotik sistemik yang
sesuai kultur dalam jangka pendek, atau antibiotik inflamasi dosis rendah
jangka panjang, dengan total skor SNOT-22 total pascaterapi ≥ 20.

53
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang ke Poli THT untuk kontrol keluhan hidung tersumbat. Hidung
tersumbat telah dirasakan sejak 4 Bulan SMRS. Keluhan dirasakan terus-menerus.
Keluhan disertai dengan pilek keluar ingus berwarna putih bening. Pasien mengeluhkan
nyeri pada dahi dan pipi semakin memberat saat sujud ketika sholat. Keluhan dirasakan
tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Keluhan lender mengalir di tenggorokan,
demam, batuk, bersin-bersin disangkal. 3 hari SMRS keluhan pasien mengeluhkan
nyeri pada pipi dan dahi kanan dan kiri semakin memberat setelah sebelumnya
dirasakan membaik. Keluhan dirasakan terus menerus, dengan skala VAS 7. Hidung
kanan kiri masih tersumbat, masih keluar ingus kental berwarna kuning, dan terasa ada
cairan mengalir di tenggorokan. Pasien masih mengeluhkan sering tercium bau busuk.
Timbul demam dengan suhu terukur 38,2oC. Demam mereda dengan konsumsi
parasetamol namun nyeri dirasakan tidak berkurang.
Saat ini, pasien mengeluhkan hidung masih tersumbat pada hidung kanan dan kiri
secara terus menerus. keluhan masih disertai dengan pilek dengan ingus dari kedua lubang
hidung berwarna kuning kehijauan dan berbau. Pasien juga merasakan terdapat lendir
mengalir di tenggorokan. keluhan nyeri pada dahi dan pipi dirasakan semakin bertambah
terutama saat sujud ketika shalat. Pasien juga mengeluhkan gangguan menghidu. Pasien
sesekali melakukan cuci hidung. namun keluhan tidak berkurang. Keluhan nyeri kepala,
demam, batuk, bersin-bersin disangkal.
Pemeriksaan fisik telinga dan tenggorok dalam batas normal. Pemeriksaan luar
hidung diperoleh hasil bentuk normal, simetris, deformitas (-), warna kulit sama dengan
kulit sekitar, nyeri tekan (-). Pemeriksaan rinoskopi anterior diperoleh hasil mukosa
pucat pada hidung kanan dan kiri, konka inferior hidung kanan kiri hipertrofi, discharge
(+/+), massa (-/-), deviasi septum (+/-). Pada pemeriksaan leher, tidak didapatkan
adanya pembesaran kelenjar getah bening. Pemeriksaan gigi dan mulut dalam batas
normal.

54
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan,
pasien didiagnosis sebagai rhinosinusitis kronik dan septum deviasi yang
didukung oleh pemeriksaan fisik dan pemeriksaan nasoendoskopi. Serta deviasi
septum yang didukung oleh pemeriksaan MSCT Sinus paranasal dan
Nasofaringoskopi menunjukkan hasil terdapat hipertrofi konka inferior hidung
kanan dan kiri serta deviasi septum kearah kiri
Pasien diberikan tatalaksana berupa irigasi hidung menggunakan NaCl
0,9% 2 kali sehari, Levofloxacin 750 mg tiap 24 jam, Fluticasone furoate Nasal
Spray 2 puff/24 jam kanan kiri, dan dijadwalkan untuk dilakukan operasi berupa
FESS.

55
BAB V
PENUTUP

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang


dilakukan, pasien didiagnosis rhinosinusitis kronik bilateral dengan deviasi septum. Diagnosis
RSK dan deviasi septum ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang berupa MSCT Sinusparanasal dan nasoendoskopi.
Pasien dan keluarga pasien perlu diedukasi terkait penyakit yang diderita pasien, cara
menghindari faktor pencetus serta tatalaksana yang akan dilakukan, rencana tindakan yang
akan dilakukan dan rencana merujuk pasien ke dokter spesialis THT-KL, edukasi mengenai
cara melakukan irigasi hidung, dan prognosis penyakit yang diderita pasien. Terapi yang
diberikan pada pasien ini adalah irigasi hidung menggunakan NaCl 0.9% untuk menjaga
kebersihan dan kelembapan mukosa hidung, fluticasone furoate nasal spray 2 puff/12 jam
kanan dan kiri, dan rencana operasi FESS.

56
DAFTAR PUSTAKA
1. Fokkens WJ, Lund VJ, Hopkins C, Hellings PW, Kern R, Reitsma S, et al. Executive
summary of EPOS 2020 including integrated care pathways. Rhinology.
2020;58(2):82–111.

2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran


Tata Laksana Rinosinusitis Kronik . Kementerian Kesehatan Republik Indonesia ;
2022.

3. Khan A, Huynh TMT, Vandeplas G, Joish VN, Mannent LP, Tomassen P, et al. The
GALEN rhinosinusitis cohort: chronic rhinosinusitis with nasal polyps affects health-
related quality of life. Rhinology. 2019;57(5):343–51.

4. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta : Konsil


Kedokteran Indonesia; 2012.

5. Dalley AF, Agur AMR. Moore’s Clinically Oriented Anatomy [Internet]. Wolters
Kluwer Health; 2021. Available from:
https://books.google.co.id/books?id=SHhTEAAAQBAJ

6. Gamerra M, Luca RD. Airflow in paranasal sinuses. Biomed Sci Res. 2019;1(5):197–
201.

7. Alghamdi FS, Albogami DB, Alsurayhi A, Alshibely Sr AY, Alkaabi T, Alqurashi L,


et al. Nasal Septal Deviation: A Comprehensive Narrative Review. Cureus Journal of
Medical Science. 2022;14(11).

8. Heath J, Hartzell L, Putt C, Kennedy JL. Chronic Rhinosinusitis in Children:


Pathophysiology, Evaluation, and Medical Management. Curr Allergy Asthma Rep.
2018 Jul 29;18(7):37.

9. Grayson JW, Hopkins C, Mori E, Senior B, Harvey RJ. Contemporary Classification


of Chronic Rhinosinusitis Beyond Polyps vs No Polyps. JAMA Otolaryngology–Head
& Neck Surgery. 2020 Sep 1;146(9):831.

10. Simuntis R, Vaitkus J, Kubilius R, Padervinskis E, Tušas P, Leketas M, et al.


Comparison of sino-nasal outcome test 22 symptom scores in rhinogenic and
odontogenic sinusitis. Am J Rhinol Allergy. 2019;33(1):44–50.

57
11. Watkinson JC, Clarke RW. Scott-Brown’s Otorhinolaryngology and Head and Neck
Surgery, Eighth Edition: 3 volume set [Internet]. CRC Press; 2018. Available from:
https://books.google.co.id/books?id=NjZlDwAAQBAJ

12. Workman AD, Granquist EJ, Adappa ND. Odontogenic sinusitis: developments in
diagnosis, microbiology, and treatment. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg. 2018
Feb;26(1):27–33.

58

Anda mungkin juga menyukai