Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN KASUS

SINDROM NEFROTIK

Disusun oleh:
Joshua Ardhito Danudoro Harmani
1261050286

Dosen Pembimbing:

dr. Charles Antoni Silalahi, M.Kes, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD KOTA BEKASI
PERIODE 12 DESEMBER 2016 - 25 FEBRUARI 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi kasus dengan judul Sindrom Nefrotik ini diajukan untuk memenuhi persyaratan
dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi
Periode 12 Desember 2016 25 Februari 2017

Oleh:
Joshua Ardhito Danudoro Harmani
1261050286
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing,
Bekasi, 12 Januari 2017

dr. Charles Antoni Silalahi, M.Kes, Sp.A

BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling sering
ditemukan. Insiden SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah
2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar 12 16 kasus per
100.000 anak.1 Di negara berkembang insiden nya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per
100.000 anak per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. 1 Perbandingan anak laki-laki
dan perempuan 2:1.1

Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer atau idiopatik, dan sekunder mengikuti
penyakit sistemik, antara lain lupus eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch Schonlein,
dan lain lain. Pada makalah ini akan membicarakan sebuah kasus yang mengarah ke SN
idiopatik. Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibial. Bila lebih berat
akan disertai asites, efusi pleura, dan edema genitalia. Kadang-kadang disertai oliguria dan
gejala infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare. Bila disertai sakit perut, hati-hati terhadap
kemungkinan terjadinya peritonitis atau hipovolemia.

Dalam laporan ISKDC (International Study for Kidney Diseases in Children), pada
sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) ditemukan 22% dengan hematuria mikroskopik,
15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah
yang bersifat sementara. Pada anak, sebagian besar (80%) SN idiopatik mempunyai
gambaran patologi anatomi kelainan minimal (SNKM). Gambaran patologi anatomi lainnya

2
adalah glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-8%, mesangial proliferatif difus (MPD)
2-5%, glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) 4-6%, dan nefropati membranosa
(GNM) 1,5%.1

Pada pengobatan kortikosteroid inisial sebagian besar SNKM (94%) mengalami


remisi total (responsif), sedangkan pada GSFS 80-85% tidak responsif (resisten steroid).
Prognosis jangka panjang SNKM selama pengamatan 20 tahun menunjukkan hanya 4-5%
menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada GSFS 25% menjadi gagal ginjal terminal
dalam 5 tahun dan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal.

BAB II
LAPORAN KASUS
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
RSUD KOTA BEKASI

STATUS PASIEN KASUS I

Nama Mahasiswa : Joshua Ardhito D. H. Pembimbing : dr. Charles A. S, M.Kes, Sp.A


NIM : 1261050286 Tanda tangan :

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. J
Umur : 6 tahun 2 bulan
Tempat/Tanggal Lahir : Bekasi / 10 Oktober 2010
Alamat : Kp. Kapling Baru RT 001 Kelurahan Setia Makmur
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Suku Bangsa : Batak
Agama : Islam
Tanggal Masuk RS : 2 Januari 2017

II. IDENTITAS ORANG TUA / WALI

Ayah Ibu

3
Nama : Tn. RP Nama : Ny. DD
Umur : 30 Tahun Umur : 26 Tahun
Suku Bangsa : Batak Suku Bangsa : Batak
Agama : Islam Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan Swasta Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Penghasilan : Rp. 2.000.000,- Penghasilan :-
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA
Alamat : Kp. Kapling Baru RT 001 Alamat : Kp. Kapling Baru RT 001
Kelurahan Setia Makmur. Kelurahan Setia Makmur.

III. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan Tn.RP yang
merupakan ayah kandung pasien.

Lokasi : Bangsal Melati, kamar no. 3

Tanggal / pukul : 3 Januari 2017 / 08.00 WIB

A. KELUHAN UTAMA
Pasien datang dengan keluhan bengkak pada kelopak mata, perut dan
skrotum sejak 3 hari SMRS.

B. KELUHAN TAMBAHAN
Kenaikan berat badan secara tiba-tiba, batuk berdahak.

C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Anak J, usia 6 tahun 2 bulan dibawa oleh kedua orang tuanya ke IGD
RSUD Kota Bekasi dengan keluhan bengkak pada daerah perut dan skrotum sejak
3 hari SMRS. Orang tua pasien mengaku bengkak pada kelopak mata muncul
pada saat pagi hari setelah pasien bangun tidur. Kemudian semakin menjelang
siang hari, keluhan bengkak pada kedua kelopak mata, kedua kantung mata dan
wajah pasien berangsur menghilang Namun kelama-lamaan saat siang bengkak
berpindah ke perut dan skrotum, ayah pasien merasa perut pasien semakin
membuncit. Pasien juga mengeluh batuk berdahak berwarna putih sejak 1 minggu
SMRS
Pasien menyangkal adanya demam (-), sesak (-), kebiruan pada bibir dan
ekstremitas (-), mudah lelah (-), jantung berdebar-debar (-), nyeri (-), mual (-),
muntah (-), napsu makan pasien baik, BAK dan BAB pasien dalam batas normal.
Hal ini merupakan keluhan ketiga kali yang pernah dialami oleh pasien. Karena ibu
4
pasien merasa khawatir akan kondisi anaknya, akhirnya ibu pasien membawa
pasien datang berobat ke Rumah sakit. Sesudah mengalami pemeriksaan di
Puskesmas dikatakan bahwa pasien mengalami gangguan ginjal. Di Puskesmas
pasien mendapatkan pengobatan berupa obat golongan kortikosteroid dan dirujuk
ke RSUD Budhi Asih.

D. RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DI DERITA

Penyakit Umur Penyakit Umur

Alergi (-) Difteria (-)

Cacingan (-) Diare (-)

Demam Berdarah (-) Kejang (-)

Demam Tifoid (-) Kecelakaan (-)

Otitis (-) Morbili (-)

Parotitis (-) Operasi (-)

ISPA (-). Ikterus (-)

Penyakit Jantung (-) Penyakit Sindrom Nefrotik


Ginjal sejak 6 bulan yang
lalu

Penyakit Darah (-) Radang Paru (-)

Tuberkulosis (-)

Kesimpulan penyakit yang pernah diderita: Pasien pernah mengalami sindrom


nefrotik dan mendapatkan sudah mendapatkan pengobatan rutin.

E. RIWAYAT KEHAMILAN / KELAHIRAN

KEHAMILAN Morbiditas Kehamilan Hipertensi (-), Diabetes Mellitus (-),


Anemia (-), Penyakit Jantung (-),
Penyakit Paru (-), Infeksi Saat
Kehamilan (-), Keputihan (-).

Perawatan Antenatal ANC rutin ke bidan , ibu pasien


menerima vitamin , dan melakukan
imunisasi TT 2x

5
KELAHIRAN Tempat Kelahiran Rumah bersalin

Penolong Persalinan Bidan

Cara Persalinan Partus pervaginam

Masa Gestasi 37 minggu ( cukup bulan )

Keadaan Bayi Berat lahir : 3000 gram

Panjang lahir : 47 cm

Lingkar kepala : Ibu pasien tidak tahu

Langsung menangis (+)

Merah (+)

Pucat (-)

Biru (-)

Kuning (-)

Nilai APGAR : Ibu pasien tidak tahu

Kelainan bawaan : Tidak ada

Kesimpulan riwayat kehamilan / kelahiran : Selama mengandung pasien , ibu


pasien sehat dan tidak terdapat penyulit proses kelahiran, pasien lahir secara
spontan dan cukup bulan.

F. RIWAYAT PERKEMBANGAN

Pertumbuhan gigi :6 bulan (Normal: 59 bulan)


Psikomotor :
Tengkurap :3 bulan (Normal: 34 bulan)
Duduk :6 bulan (Normal: 69 bulan)
Berdiri :11 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Berjalan :15 bulan (Normal: 13 bulan)
Bicara :18 bulan, 2 kata (Normal: 912 bulan)
Membaca dan menulis :belum bisa (Normal: 67 tahun)
Gangguan perkembangan mental / emosi: -

6
Kesimpulan riwayat perkembangan: Pada pasien tidak didapatkan
keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan termasuk gangguan
perkembangan mental.

G. RIWAYAT MAKANAN

Umur (bulan) ASI / PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim

0-2 ASI - - -

2-4 ASI - - -

4-6 ASI + Susu + - -


formula

6-8 ASI + Susu + + -


formula

8-10 ASI + Susu + + +


formula

10-12 ASI + Susu + + +


formula

Jenis Makanan dan Minuman Frekuensi dan Jumlah

Nasi / Pengganti Nasi 2x, 1/2 sepiring / hari

Sayur Setiap hari , 2-3 x/ hari

Daging Kadang-kadang , 1x/minggu

Telur 2-3x / minggu

Ikan Sering , 4 x / minggu ,1 ekor kecil/ hari

Tahu -

Tempe -

Susu ( merk / tambahan ) Susu Frisian Flag 5x180 cc/ hari

Lain Lain :

Air putih 1 liter / hari

7
Kesulitan makan: Ada saat dimana pasien sulit untuk makan.

Kesimpulan riwayat makanan: Asupan makanan pasien cukup baik, dengan menu
bervariasi dan bergizi.

H. RIWAYAT IMUNISASI

Vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur)

BCG 2 bulan - - - - -

DPT / DT 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -

Polio 0 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan 18 bulan -

Campak - - 9 bulan - - -

Hepatitis B 0 bulan 1 bulan 6 bulan - - -

Kesimpulan riwayat imunisasi: Pasien telah mendapatkan imunisasi dasar lengkap


dan sesuai jadwal yang ada.

I. RIWAYAT KELUARGA
a. Corak Reproduksi
No. Tanggal Jenis Hidup Lahir Abortu Mati Keteranga
Lahir Kelamin Mati s (Sebab) n
(Umur) Kesehatan
1. 3 Tahun Laki-laki - - - Adik pasien
(Sehat)

b. Riwayat Pernikahan
Ayah / Wali Ibu / Wali
Nama Tn. RP Ny. DD
Perkawinan ke- 1 1
Pendidikan terakhir (tamat SMA SMA
kelas/tingkat)
Agama Islam Islam
Suku Bangsa Batak Batak
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas - -
Penyakit , bila ada - -

c. Riwayat keluarga orang tua pasien: Tidak ada


d. Riwayat anggota keluarga lain yang serumah : Tidak ada
8
Kesimpulan riwayat keluarga: Tidak terdapat riwayat keluarga yang mengalami
sindroma nefrotik.

J. RIWAYAT LINGKUNGAN PERUMAHAN


Pasien tinggal bersama ayah , ibu dan adiknya. Status rumah menyewa . Di
rumah pasien terdapat 1 lantai. Ibu pasien mengatakan ventilasi di rumah cukup baik,
pencahayaannya baik, sumber air bersih berasal dari air PAM dan sumber air minum
berasal dari air galon, setiap hari sampah rumah tangga diangkut oleh petugas
pembuangan sampah. Kondisi lingkungan sekitar cukup padat, rumah pasien di
kelilingi oleh bangunan bangunan sekolah. Tempat bermain pasien biasanya di luar
rumah , pasien memiliki kesenangan bermain sepeda.
Kesimpulan keadaan lingkungan: Lingkungan rumah cukup baik, pasien tinggal di
lingkungan yang cukup padat penduduk.

IV. PEMERIKSAAN FISIK

Lokasi : Bangsal melati , kamar no. 3


Tanggal / pukul : 3 Januari 2017 / 08.00 WIB
A. Status Generalis :
Keadaan Umum :
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan lain : Pucat (-), sianosis (-), ikterik (-), dyspnoe (-)

Data Antropometri
Berat badan : 20 kg Lingkar kepala : 47,5 cm
Tinggi badan : 105 cm Lingkar perut : 42 cm

Status Gizi (CDC)


BB/U = 20/24 x 100% = 83,71 % = Gizi kurang
TB/U = 105/122 x 100% = 86% = Gizi kurang
BB/TB = 20/17 x 100 % = 117,71% = Overweight
Status gizi diatas berdasarkan kurva NCHS , sehingga dapat disimpulkan
bahwa status gizi pada pasien ini kurang. LK= 50,5 cm berdasarkan kurva
9
Nellhaus termasuk dibawah (-2 SD) s/d (+2 SD) yang menunjukkan kondisi
normosefali.

Tanda Vital
Tekanan Darah :100 /70 mmHg ( prehipertensi)
Nadi :100x/ menit, irama teratur, kuat, isi cukup, ekual kanan kiri.
Pernapasan :20 x /menit , tipe torako-abdominal
Suhu Tubuh :36,6 0C, suhu axilla

Kepala : Normosefali, ubun-ubun besar sudah menutup.


Rambut : Warna hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut
Wajah : Simetris, tampak pembengkakan pada mata, luka dan jaringan parut
serta kelainan dismorfik
Mata :
Visus : Baik Ptosis : -/-
Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-
Konjungtiva anemis : -/- Cekung : -/-
Exophthalmus : -/- Oedem palpebra: +/+
Kornea Jernih : +/+ Nistagmus : -/-
Bercak Bitot : -/- Pupil : Bulat, isokor, d=2 mm
Refleks cahaya : Langsung +/+ , Tidak langsung +/+
Telinga :
Bentuk : Normotia Tuli : -/-
Nyeri tarik aurikula : -/- Nyeri tekan tragus : -/-
Liang telinga : Lapang +/+ Membran timpani : Sulit dinilai
Serumen : -/- Refleks cahaya : Sulit dinilai
Cairan : -/-
Hidung :
Bentuk : Simetris Napas cuping hidung : -/-
Sekret : -/-, jernih Deviasi septum :-
Mukosa hiperemis : -/- Hipertrofi konka : +/-
Bibir : Mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-).

10
Mulut : Trismus (-), oral hygiene cukup baik, tidak terdapat caries
gigi- geligi, mukosa gusi berwarna merah muda , mukosa
pipi berwarna merah muda, arkus palatum simetris dengan
mukosa palatum berwarna merah muda.
Lidah : Normoglosia, mukosa berwarna merah muda, hiperemis (-) ,
atrofi papil (-), tremor (-), lidah kotor (-).
Tenggorokan :Tonsil T1/T1, tidak hiperemis, faring tidak hiperemis, uvula
terletak di tengah.
Leher : Bentuk tidak tampak adanya kelainan, edema (-), massa (-),
tidak tampak dan tidak teraba pembesaran tiroid maupun
KGB tidak tampak deviasi trakea.
Thoraks :Bentuk thoraks simetris saat inspirasi dan ekspirasi,
deformitas (-), retraksi suprasternal (-), retraksi intercostal (-),
retraksi subkostal (-).
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak nampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra
Perkusi : Batas atas jantung ICS III linea parasternal sinistra
Batas kiri jantung ICS V linea midklavikula sinistra
Batas kanan jantung ICS III-IV linea sternalis kanan
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru :
Inspeksi : Bentuk thoraks simetris, tidak ada pernafasan yang
tertinggal , pernafasan tipe torako-abdomial, deformitas (-),
retraksi suprasternal (-), retraksi interkostal (-), retraksi
subkostal (-).
Palpasi : Nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak nafas simetris kanan dan
kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, regular, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : Perut buncit, warna kulit kuning langsat, tidak dijumpai
adanya efloresensi pada kulit perut, kulit keriput (-),

11
umbilikus normal, gerak dinding perut saat pernafasan
simetris , tidak tampak bagian yang tertinggal, gerakan
peristaltik (-).
Auskultasi : Bising usus (+), frekuensi 3 x / menit
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-) di 9 kuadran abdomen, turgor kulit
kembali cepat, hepar tidak teraba membesar, lien tidak teraba
membesar.
Perkusi : Shifting dullness (+)
Anogenitalia :
Jenis kelamin laki-laki, fimosis (-), parafimosis (-), hipospadia(-), epispadia (-)
, testis sudah di skrotum , rugae baik , oedem skrotum (+), belum
disirkumsisi.
Kelenjar Getah Bening :
Preaurikuler : Tidak teraba membesar
Postaurikuler : Tidak teraba membesar
Submandibula : Tidak teraba membesar
Axilla : Tidak teraba membesar
Inguinal : Tidak teraba membesar
Anggota Gerak :
Ekstremitas : Akral hangat pada keempat ekstremitas, sianosis (-/-), oedem
kaki (+/+)
Tangan Kanan Kiri
Tonus otot Normotonus Normotonus
Sendi Aktif Aktif
Kaki Kanan Kiri
Tonus otot Normotonus Normotonus
Sendi Aktif Aktif
Oedem (+), pitting (+), pitting
Kulit : Warna kulit kuning langsat, merata diseluruh tubuh, pucat
(-) , sianosis (-), ikterik (-), turgor kulit baik, lembab ,
pengisian kapiler 1 detik.
Tulang Belakang :Bentuk normal, tidak terdapat deviasi, benjolan (-), ruam (-)

12
Status Neurologis :
Refleks fisiologis Kanan Kiri
Biceps + +
Triceps + +
Patella + +
Achilles + +

Refleks patologis Kanan Kiri


Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Tanda Rangsang Meningeal :
Kaku kuduk :-
Kernig : -/-
Brudzinski 1 : -/-
Brudzinksi 2 : -/-
Laseque : -/-
Saraf Kranialis :
- N. I (Olfaktorius)
Tidak dilakukan pemeriksaan
- N. II dan III (Optikus dan Okulomotorius)
Pupil bulat isokor 2 mm / 2 mm , RCL +/+ , RCTL +/+
- N. IV dan VI (Troklearis dan Abdusen)
Gerakan bola mata baik ke segala arah, kedudukan mata kanan dan kiri
esotrofia
- N. V ( Trigeminus )
Tidak ada gangguan sensibilitas wajah
N. VII ( Fasialis )
Wajah simetris
Motorik : dapat menutup mata sempurna dan dapat tersenyum dengan
baik
Sensorik : tidak dilakukan pemeriksaan
N. VIII ( Vestibulo-koklearis )
Bisa mendengar suara bisikan
N. IX dan X ( Glosofaringeus dan Vagus )
13
Tidak ada gangguan menelan
N. XI ( Aksesorius )
Gerakan bahu dan leher tidak terganggu
N. XII ( Hipoglosus )
Gerakan lidah tidak terganggu

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil Laboratorium Tanggal 2 Januari 2016

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal


HEMATOLOGI
Leukosit 18.9 Ribu/ul 5.5-15.5
Hemoglobin 14.8 g/dl 10.8-12.8
Hematrokit 45 % 35-43
Trombosit 811 Ribu/ul 217-497

KIMIA KLINIK
GINJAL
Ureum 29 mg/dl 11-39
Kreatinin 0.29 mg/dl <1.0
GDS 75 mg/dl 60-110
URINALISIS
Urine Lengkap
Warna Kuning Kuning

Kejernihan Jernih Jernih


Negatif Negatif
Glukosa
Negatif Negatif
Bilirubin
Negatif Negatif
Keton
6.0 4.6-8
PH 1020 1005-1030
14
Berat Jenis 3+ Negatif

Albumin Urine 0.2 E.U./dl 0.1-1


Negatif Negatif
Urobilinogen
Negatif Negatif
Nitrit
Negatif Negatif
Darah
Esterase Lekosit
Sedimen Urine
Leukosit 0-5 /LPB <5

Eritrosit 0-2 /LPB <2


Positif /LPB Positif
Epitel
Negatif /LPK Negatif
Silinder
Amorf (+) Negatif
Kristal
Positif 1 Negatif
Bakteri

VI. RESUME
Anak J, usia 6 tahun 2 bulan dibawa oleh kedua orang tuanya ke IGD RSUD Kota
Bekasi dengan keluhan bengkak pada daerah perut dan skrotum sejak 3 hari
SMRS. Orang tua pasien mengaku bengkak pada kelopak mata muncul pada saat
pagi hari setelah pasien bangun tidur. Kemudian semakin menjelang siang hari,
keluhan bengkak pada kedua kelopak mata, kedua kantung mata dan wajah pasien
berangsur menghilang Namun kelama-lamaan saat siang bengkak berpindah ke
perut dan skrotum, ayah pasien merasa perut pasien semakin membuncit. Pasien
juga mengeluh batuk berdahak berwarna putih sejak 1 minggu SMRS. Hal ini
merupakan keluhan ketiga kali yang pernah dialami oleh pasien.
Pasien menyangkal adanya demam (-), sesak (-), kebiruan pada bibir dan
ekstremitas (-), mudah lelah (-), jantung berdebar-debar (-), mual(-), muntah (-),
napsu makan pasien baik, BAK dan BAB pasien dalam batas normal. Karena
pasien merasa khawatir akan kondisi anaknya, akhirnya ibu pasien membawa
pasien datang berobat ke rumah sakit kabupaten. Sesudah mengalami pemeriksaan
di rumah sakit kabupaten dikatakan bahwa pasien mengalami gangguan ginjal. Di
rumah sakit pasien mendapatkan pengobatan berupa kortikosteroid.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang ,
compos mentis , kesan gizi baik. Tanda vital didapatkan TD: 100/80 mmHg ,
15
Nadi: 100 x/menit , Suhu: 36,5 0C , Frekuensi pernafasan: 20 x / menit. Pada
abdomen terdapat shifting dullness, edema skrotum.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan adanya leukosit dan trombosit
meningkat dan albuminuria.

VII. DIAGNOSA BANDING


1. Sindroma Nefrotik Idiopatik + prehipertensi
2. Sindroma Nefrotik karena penyakit sistemik + prehipertensi
3. Nefropati IgA + prehipertensi

VIII. DIAGNOSA KERJA


Sindroma Nefrotik Idiopatik + prehipertensi
Gizi kurang

IX. ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan USG Ginjal
2. Pemeriksaan Titer ANA
3. Pemeriksaan Anti ds DNA
4. Pemeriksaan kadar C3 serum
5. Pemeriksaan Biopsi Ginjal
6. Pemeriksaan elektrolit

X. PENATALAKSANAAN
Terapi Non Medika Mentosa
1. Tirah baring untuk mengurangi edema.
2. Kalori BB-ideal x RDA TB/U2074 kkal
3. Diet protein 1,52 kg/BB/hari berdasarkan RDA (recommended daily allowances)
untuk mencegah terjadinya proteinuria.
4. Diet rendah garam 1-2 g/hari untuk mencegah terjadinya hipertensi.
5. Menghindarkan pasien dari orang yang sedang menderita penyakit menular,
contohnya : Varicella , pneumonia dan ISPA.
6. Menghindari mengkonsumsi makanan berlemak, instan, junk food, mengandung
bahan pengawet dan pewarna buatan.
Terapi Medika Mentosa
1. Kaen 3B
16
2. Prednison 3-3-2 tab
3. Furosemid 1x10 mg (i.v)
4. Ambroxol 3 x 1 cth

5.

XI. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

XII. FOLLOW UP

Tanggal S O A P

4/1/2017 KU : CM, TSS Sindrom -Kaen 3B


Nefrotik
Hari Kelopak mata TD: 100/70 mmHg Idiopatik + -Prednison 3-3-2
perawatan ke dan skrotum prehipertensi tab
2 masih bengkak, N : 90 x/m
perut pasien Gizi kurang - Ambroxol 3 x 1
BB : 20 kg S : 36,6 0C cth
masih buncit,
batuk berdahak RR : 22 x/m
I : 950 cc -Furosemid 1x10
mg (i.v)
O : 1000 cc Kepala:
Normosefali
Balance:
+50cc Mata: CA-/-, SI
-/-, cekung -/-,
Diuresis : 2.08 oedem palpebra +/
cc/kgbb/jam +, RCL +/+, RCTL
+/+
Hidung: NCH (-),
Sekret (-/-)
Mulut: Kering (-),
Sianosis (-), Faring
hiperemis (-)
Leher: KGB tidak
teraba membesar
Thoraks:
C : BJ I-II regular ,
M (-), G (-)
P :SN vesikuler
17
,Wh -/-, Rh -/-
Abdomen: buncit,
shifting dullness
(+), BU 3x/menit.
Extremitas :Akral
hangat
+ +
+ +
Genitalia: edema
skrotum (+/+)
Oedem kaki : -/-

Tanggal S O A P

5/1 /2017 Bengkak pada KU: CM, TSS Sindrom - Kaen 3B


kelopak mata Nefrotik
Hari dan skrotum TD:80/60 Idiopatik+ - Prednisone 3-3-2 tab
perawatan mulai mmHg prehipertensi
ke -4 - Furosemid 2x10 mg
berkurang , perbaikan
N: 90 x/m (i.v)
perut masih
BB : 19 kg Gizi kurang
sedikit buncit. S: 36,4 0C -Ambroxol 3 x 1 cth
I : 850 cc Batuk
berdahak RR: 20 x/m - Transfusi Albumin
O : 1450 cc 20% 100 cc
Kepala:
Balance: Normosefali
-600 cc
Mata: CA-/-,
Diuresis: SI -/-, cekung
-/-,oedem
2,5 palpebra +/+,
cc/kgbb/jam RCL +/+,
RCTL +/+
Hidung: NCH
(-), Sekret (-/-)
Mulut: Kering
(-), Sianosis (-)
,Faring

18
hiperemis (-)
Leher: KGB
tidak teraba
membesar
Thoraks :
C: BJ I-II
regular, M (-),
G (-)
P:SN vesikuler
,Wh -/- , Rh -/-
Abdomen :
Shifting
dullness (+),
pembesaran
organ (-),
bising usus
4x/menit .
Genitalia:
edema skrotum
(-/-)
Extremitas :
Akral hangat
+ +
+ +
Oedem kaki :
-/-

Tanggal S O A P

6/1 /2017 Bengkak pada KU:CM, TSS Sindrom -Kaen 3B


kelopak mata Nefrotik
Hari dan skrotum TD:80/60 Idiopatik + -Prednisone 3-3-2
perawatan tidak ada , mmHg prehipertensi
ke-5 -Furosemid 1x10 mg
perut masih Perbaikan
N: 88 x/m (iv)
sedikit buncit.
BB : 18,5 kg Gizi kurang
S: 36,6 0C - Ceftriaksone 1 x 1g
I : 700 cc
RR: 22 x/m - Ambroxol 3 x 1 cth
O : 1000 cc
Kepala: -Cek albumin post
Balance: Normosefali transfusi
-300
19
Diuresis : 2.7 Mata: CA-/-,
cc/kgbb/jam SI -/- , cekung
-/-, oedem
palpebra -/-,
RCL +/+,
RCTL +/+
Hidung: NCH
(-), Sekret (-/-).
Mulut : Kering
(-), Sianosis (-)
,Faring
hiperemis (-)
Leher: KGB
tidak teraba
membesar
Thoraks :
C:BJI-II
regular, M (-) ,
G (-)
P:SN vesikuler
, Wh -/- , Rh
-/-.
Abdomen:
supel,datar,
BU(+)3x/menit
Extremitas
Akral hangat
+ +
+ +
Oedem kaki:
-/-

Tanggal S O A P

7/1 /2017 Bengkak pada KU:CM, TSS Sindrom -Dextrose 5%- 8tpm
kelopak mata Nefrotik
Hari dan skrotum TD:80/50 Idiopatik + -Furosemid 1x10 mg
perawatan tidak ada , mmHg prehipertensi (iv)
ke-6 perut masih Perbaikan

20
BB : 18,5 kg sedikit buncit, N: 86 x/m Gizi kurang - Ceftriaksone 1 x 1g
batuk
I : 950 cc berdahak S: 36,6 0C Hipoalbumine PO:
mia
O : 1150 cc RR: 22 x/m - Prednisone 3-3-2
Balance: Kepala: -Cetirizine 1 x 1 cth
+200 Normosefali
- Ambroxol 3 x 1 cth
Diuresis : Mata: CA-/-,
2.7 SI -/- , cekung
cc/kgbb/jam -/-, oedem
palpebra -/-,
RCL +/+,
RCTL +/+
Hidung: NCH
(-), Sekret (-/-).
Mulut : Kering
(-), Sianosis (-)
,Faring
hiperemis (-)
Leher: KGB
tidak teraba
membesar
Thoraks :
C:BJI-II
regular, M (-) ,
G (-)
P:SN vesikuler
, Wh -/- , Rh
-/-.
Abdomen:
supel,datar,
BU(+)3x/menit
Extremitas
Akral hangat
+ +
+ +
Oedem kaki:
-/-
Albumin: 0,43

21
Tanggal S O A P

9/1 /2017 Bengkak pada KU:CM, TSS Sindrom -Dextrose 5%- 8tpm
kelopak mata Nefrotik
Hari dan skrotum TD:70/50 Idiopatik + -Furosemid 1x10 mg
perawatan tidak ada , mmHg prehipertensi (iv)
ke-8 perut masih Perbaikan
N: 84 x/m - Ceftriaksone 1 x 1g
sedikit buncit,
BB : 18,5 kg Gizi kurang
batuk S: 36,5 0C PO:
I : 850 cc berdahak
Hipoalbumine
RR: 22 x/m - Prednisone 60 mg 3-
mia
O : 1050 cc 2-2
Kepala:
Balance: Normosefali -Cetirizine 1 x 1 cth
+100
Mata: CA-/-, - Ambroxol 3 x 1 cth
Diuresis : SI -/- , cekung
2.7 -/-, oedem BLPL
cc/kgbb/jam palpebra -/-,
RCL +/+,
RCTL +/+
Hidung: NCH
(-), Sekret (-/-).
Mulut : Kering
(-), Sianosis (-)
,Faring
hiperemis (-)
Leher: KGB
tidak teraba
membesar
Thoraks :
C:BJI-II
regular, M (-) ,
G (-)
P:SN vesikuler
, Wh -/- , Rh
-/-.
Abdomen:
supel,datar,
BU(+)3x/menit
Extremitas
Akral hangat

22
+ +
+ +
Oedem kaki:
-/-

XIII. ANALISA KASUS

Anak J, usia 6 tahun 2 bulan dibawa oleh kedua orang tuanya ke IGD RSUD Kota
Bekasi dengan keluhan bengkak pada daerah perut dan skrotum sejak 3 hari SMRS.
Menurut ayah pasien , kedua kelopak mata, kedua kantung mata dan wajah pasien tampak
sembab , hal tersebut muncul pada saat pagi hari setelah pasien bangun tidur. Bengkak atau
edema dapat didefiniskan sebagai adanya cairan yang berlebihan pada jaringan interstisial
dan rongga tubuh.1. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bahwa terdapat edema periorbital,
ascites, edema skrotum. Hipotesis terjadinya edema terbagi antara lain penyebab primer:
adanya obstruktif limfatik atau vena, penurunan curah jantung, hipoalbuminemia, atau
peningkatan permeabilitas kapiler. Sedangkan penyebab sekunder: retensi garam dan air pada
ginjal dalam usaha untuk memperbaiki volume plasma. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui
skema dibawah ini.2

Menurut ibu pasien, kedua kelopak mata, kedua kantung mata dan wajah pasien
tampak sembab , hal tersebut muncul pada saat pagi hari setelah pasien bangun tidur.
Kemudian semakin menjelang siang hari, perut, skrotum menjadi bengkak. Hal ini
23
menandakan bahwa terjadi redistribusi gravitasi cairan dalam posisi horizontal. 3 Pada
pemeriksaan fisik di bangsal pada siang harinya edema periorbital berkurang, namun masih
didapatkan ascites, edema skrotum. Pasien mengatakan bahwa dirinya tidak mengalami sesak
nafas , cepat lelah , perasaan berdebar-debar , nyeri perut, mual, muntah, penurunan
aktivitas , dan penurunan BB . Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan TD: 100/70 mmHg,
N: 100 x/menit, RR: 20 x/menit, S:36,5% , kesan gizi pasien kurang, dan status generalis
dalam batas normal. Sehingga kemungkinan edema karena gangguan fungsi jantung dan
gangguan fungsi hati dapat disingkirkan namun edema karena malnutrisi belum dapat
disingkirkan karena status gizi pasien kurang.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD pasien 100/70 mmHg hal ini menandakan
bahwa telah terjadi prehipertensi karena menurut dari hasil perhitungan kurva tekanan darah,
angka tersebut sudah melewati nilai TD yang normal.

Anak M.N.U , TB = 105 cm berada di garis persentil 50

Interpretasi Tekanan Darah Sistol dan Tekanan Hasil TD = Sistolik /


Darah Diastolik menurut Persentil Diastolik mmHg

Normal < 90th 88 / 42 mmHg

Pre Hipertensi 90th sampai < 95th atau 102 / 57 mmHg

Hipertensi Stage I 95th sampai 99th plus 5 mmHg 106 / 61 mmHg

Hipertensi Stage II >99th plus 5 mmHg 113 / 69 mmHg

Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi , antara lain :

Faktor Yang Mempengaruhi Yang membuat tekanan Yang menurunkan


Tekanan Darah tekanan

Curah Jantung Atrial Natriuretic hormon


Tahanan Perifer Angiotensin II Endothelial Relaxing
Baroreseptor Kalsium (intraseluler) Factors
Volume ekstraseluler
Katekolamin Kinin
Volume sirkulasi
24
Atrial Natriuretik hormon Sistem Saraf Simpatis Prostaglandin E2
Mineralokortikoid Prostaglandin I2
Angiotensin
Katekolamin
Sistem Saraf Simpatis

Secara umum, penyebab hipertensi pada anak dapat disebabkan penyebab renal,
vaskular, endokrin, dan lain-lain.
Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan albuminuria (2+), hal ini disebabkan
karena adanya peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan
glomerulus dan yang terutama di eksresikan adalah albumin. Hipoalbuminemia yang terjadi
disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan katabolisme albumin di
ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat namun tidak memadai untuk mengganti
kehilangan albumin dalam urin. Sebagai akibat dari hipoalbuminemia, maka tekanan onkotik
plasma akan menurun , menyebabkan peningkatan filtrasi transkapiler cairan keluar tubuh
sehingga menimbulkan edema. Hiperlipidemia yang terjadi pada kasus ini akibat penurunan
tekanan onkotik, disertai pula oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya -
glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik
secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali
normal. Pada status nefrosis, hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan
lipoprotein serum meningkat. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL
(low density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang
tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL ( very low density lipoprotein).4
Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid
dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Tingginya kadar LDL pada SN
disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati
dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada
SN. Menurunnya aktivitas enzim LPL ( lipoprotein lipase ) diduga merupakan penyebab
berkurangnya katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi
akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Sedangkan kadar HDL turun
diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT ( lecithin cholesterol acyltransferase )
yang berfungsi sebagai katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut
kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme. Penurunan aktivitas LCAT diduga
terkait dengan hipoalbuminemia yang terjadi pada SN.4

25
Berdasarkan hasil anamnesis , pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang , maka
dapat diambil diagnosis kerja sementara yaitu Sindrom Nefrotik Idiopatik berulang yang
disertai dengan prehipertensi. Pada kasus ini pasien diberikan tatalaksana diet 2074 kkal, diet
protein 1,52 gr/kgbb/hari berdasarkan RDA (recommended daily allowances) untuk
mencegah terjadinya proteinuria, diet rendah garam 1-2 g/hari untuk mencegah terjadinya
hipertensi, dan untuk medikamentosa nya diberikan prednison 3-3-2 tab dimana dosis
seharusnya 2 mg/kgBB/hari. Selain itu dapat pula diberikan furosemide 1x10 mg (i.v) dimana
dosis seharusnya yaitu 1 mg/kgBB/kali diberikan 2 kali.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
SINDROM NEFROTIK

4.1 DEFINISI SINDROM NEFROTIK

Sindrom nefrotik adalah merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang


terdiri dari proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia serta edema. Yang
dimaksud proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kg
berat badan/hari atau lebih. Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari
2,5 gram/dl. Selain gejala-gejala klinis di atas, kadang-kadang dijumpai pula hipertensi,
hematuria, bahkan kadang-kadang azotemia.3,5
26
4.2 ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI SINDROM NEFROTIK

Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :

4.2.1 Sindrom Nefrotik Primer

Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara
primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain.
Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik
primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik
yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.

Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer


dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney
Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui
pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan
pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Tabel di bawah ini
menggambarkan klasifikasi histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan
istilah dan terminologi menurut rekomendasi ISKDC (International Study of Kidney
Diseases in Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht (1971).6

Tabel 1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer7

Kelainan minimal (KM)


Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran

27
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

SumSumber : Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T,
Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.p. 381-426.

Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa


sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik
tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak.8

Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak berbeda


dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya menemukan hanya 44.2% tipe kelainan
minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan
Noer di Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari 401 anak dengan
sindrom nefrotik primer yang dibiopsi.9,10

4.2.2 Sindrom Nefrotik Sekunder

Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari
berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering
dijumpai adalah :

a. Penyakit metabolik atau kongenital: Diabetes Mellitus, Amiloidosis, Sindrom


Alport, Miksedema.
b. Infeksi : Hepatitis B, Malaria, Schistosomiasis, Lepra, Sifilis, Streptokokus,
AIDS.
c. Toksin dan alergen: Logam berat (Hg), Penisillamin, Probenesid, racun
serangga, bisa ular.

28
d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: Lupus Eritematosus Sistemik,
Purpura Henoch-Schnlein, Sarkoidosis.
e. Neoplasma : Tumor paru, Penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.

4.3 PATOFISIOLOGI SINDROM NEFROTIK

Penyebab proteinuria pada SN adalah kerusakan fungsi atau struktur membran


filtrasi glomerulus. Membran filtrasi glomerulus terdiri dari endotel fenestra sebelah
dalam, membran basalis dan sel epitel khusus dibagian luar yang dikenal dengan podosit.
Podosit memiliki tonjolan tonjolan menyerupai kaki (foot processes), diantara
tonjolan tonjolan tersebut, terdapat celah diafragma, yang berperan penting dalam
pemeliharan fungsi filtrasi glomerulus.

Terdapat dua mekanisme yang berperan pada patogenesis SN, yaitu pertama secara
imunologis sel T memproduksi circulating factor, berupa vascular permeability factor
(VPF) yang merupakan asam amino identik dengan vascular endothelial growth factor
(VEGF). Hal ini menyebabkan meningkatnya permeabilitas kapiler gromelurus sehingga
terjadi kebocoran protein. Mekanisme kedua adalah terdapatnya defek primer pada barier
filtrasi glomerulus yang mengakibatkan celah diafragma melebar.
Zat zat terlarut yang dapat melewati sawar gromelurus ditentukan oleh besarnya
molekul. Molekul > 10 kDa akan ditahan sehingga tidak dapat melewati sawar tersebut
(size selectivity barrier ). Bila ada gangguan pada mekanisme ini menyebabkan
proteinuria baik protein dengan berat molekul besar (proteinuria nonselektif). Faktor lain
yang dapat mempengaruhi adalah adanya daya elektrostatik dari muatan negatif
29
permukaan molekul pada epitel foot processes yang dibentuk oleh sialoprotein kapiler,
heparan sulfat membran basalis gromelurus dan podokaliksin (charge-selectivity barrier).
Gangguan pada daya elektrostatik tersebut menyebabkan proteinuria selektif (protein
dengan berat molekul < berat molekul albumin dapat melewati membran filtrasi
gromelurus). Kerusakan struktur dan sawar elektrostatik ini menyebabkan banyaknya
protein plasma yang melewati filtrasi gromelurus. Pada penderita SNRS diduga selain
charge selectivity barrier juga berperan size selectivity barrier yang menyebabkan
proteinuria yang keluar selain berat molekul rendah (selektif) juga protein dengan berat
molekul tinggi (non-selektif). 11

Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma


intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding
kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema.
Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya
retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi
tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan
selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan
tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang
interstitial.

Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu


rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium dan
air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah.
Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan
kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata
tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa
penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan
penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru
yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena
mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi
natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler.
Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen
interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan
kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia.2,11

30
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik
dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan atau pada
waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus
mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu. 2,1

Teori Underfilled Teori Overfilled

Kelainan Glomerolus Kelainan Glomerolus

Albuminuria Retensi Na renal primer

Hipoalbuminemia
Volume Plasma >>>

Tek.Onkotik koloid plasma <<<

Volume Plasma >>> Edema

Retensi Na renal sekunder >>>

Edema

4.4 MANIFESTASI KLINIS SINDROM NEFROTIK

Manifestasi klinik utama adalah sembab, yang tampak pada sekitar 95% anak
dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab timbul secara lambat sehingga keluarga
mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten;
biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang
rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab menjadi
menyeluruh dan masif (anasarka).3,5,12

31
Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai sembab muka
pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas
bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan
(pitting edema). Pada penderita dengan sembab hebat, kulit menjadi lebih tipis dan
mengalami oozing. Sembab biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM
dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena
proteinuria dan hipoalbuminemia lebih hebat pada pasien SNKM. 3,5,12

Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom


nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang disebabkan sembab
mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema
atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi
pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh karena sembab dinding perut atau
pembengkakan hati. Nafsu makan menurun karena edema. Anoreksia dan terbuangnya
protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-
steroid. Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani. 3,5,12

Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak, maka
pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat
diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik. 3,5,12

Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit berat
dan kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang sedang
berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan respons
emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri.
Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu sering dan lama menyebabkan
perkembangan dunia sosial anak menjadi terganggu. 3,5,12 Manifestasi klinik yang paling
sering dijumpai adalah sembab, didapatkan pada 95% penderita. Sembab paling parah
biasanya dijumpai pada sindrom nefrotik tipe kelainan minimal (SNKM). Bila ringan,
sembab biasanya terbatas pada daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah,
misal daerah periorbita, skrotum, labia. Sembab bersifat menyeluruh, dependen dan
pitting. Asites umum dijumpai, dan sering menjadi anasarka. Anak-anak dengan asites
akan mengalami restriksi pernafasan, dengan kompensasi berupa takipnea. Akibat sembab
kulit, anak tampak lebih pucat.

32
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian
International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30% pasien
SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil umur.6

Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu > 40
mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam; biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari. Pasien
SNKM biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien dengan tipe
yang lain. 3,5,12

Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum < 2.5
g/dL. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan umumnya,
berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol LDL dan VLDL
meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-
3 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria.

Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun


tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik. 3,5,12

Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal penyakit.
Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin serum biasanya terjadi
pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan SNKM.

Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik. Pada
pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi pleura dan hal tersebut
berkorelasi secara langsung dengan derajat sembab dan secara tidak langsung dengan
kadar albumin serum. Sering pula terlihat gambaran asites. USG ginjal sering terlihat
normal meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan dari kedua ginjal dengan
ekogenisitas yang normal

4.5 KOMPLIKASI SINDROM NEFROTIK

Komplikasi pada SN dapat terjadi sebagai bagian dari penyakitnya sendiri atau
sebagai akibat pengobatan.

1. Kelainan koagulasi dan timbulnya thrombosis


Kelainan ini timbul dari dua mekanisme yang berbeda :
a. Peningkatan permeabilitas glomerolus mengakibatkan :
Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein didalam urin seperti
antirombin III, protein S bebas, plasminogen dan alfa antiplasmin.
33
Hipoalbuminemia, menimbulkan aktivasi trombosit melalui tromboksan A2,
meningkatnya sintesis protein pro-koagulan karena hiporikia dan tertekannya
fibrinolisis.
b. Aktivasi sistem homeostatis di dalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan
monosit dan oleh paparan matriks subendotelial pada kapiler glomerolus yang
selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi trombosit.
2. Perubahan hormon dan mineral
Kelainan ini timbul karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya
globulin pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada beberapa pasien SN dan laju ekskresi
globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria.
3. Hipertensi
Merupakan salah satu komplikasi dari SN yang dapat ditemukan baik pada awitan
penyakit ataupun dalam perjalanan penyakit akibat toksisitas steroid. Pemberian
steroid jangka panjang sendiri dapat menimbulkan efek samping yang signifikan
terhadap penderita. Dengan demikian edukasi terhadap penderita dan orang tuanya
menjadi sangat penting. Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE-i
(Angiotensin Converting Enzyme inhibitors), ARB (Angiotensin Receptor Blocker),
CCB (Calcium Channel Blockers), atau antagonis adrenergik, hingga tekanan darah
anak di bawah persentil 90. Pada semua pasien rawat jalan SN dengan pengobatan
steroid, maka harus dilakukan pemantauan tekanan darah setiap 6 bulan sekali.13

4. Hipokalsemia
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena:

- Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan 1. osteoporosis dan


osteopenia
- Kebocoran metabolit vitamin D2.
Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka lama
(lebih dari 3 bulan) dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan
vitamin D (125-250 IU). Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas
10% sebanyak 0,5 mL/kgbb intravena.

5. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat terjadi
hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan sering
disertai sakit perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl fisiologis dengan cepat
sebanyak 15-20 mL/kgbb dalam 20-30 menit, dan disusul dengan albumin 1 g/kgbb

34
atau plasma 20 mL/kgbb (tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah
teratasi dan pasien tetap oliguria, diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb intravena.
6. Pertumbuhan abnormal dan nutrisi
Penyebab utama retardasi pertumbuhan pada pasien SN yang tidak diberikan
kortikosteroid adalah malnutrisi protein, kurang nafsu makan sekunder, hilangnya
protein dalam urin, dan malabsorbsi karena edema saluran gastrointestinal. Sekarang
penyebab utamanya adalah pengobatan kortikosteroid. Pengobatan kortikosteroid
dosis tinggi dan waktu lama dapat memperlambat maturasi tulang dan terhentinya
pertumbuhan linier.
7. Infeksi
Penyebab meningkatnya kerentanan terhadap infeksi adalah :
a. Kadar immunoglobulin yang rendah
b. Defisiensi protein secara umum
c. Gangguan opsonisasi terhadap bakteri
d. Hipofungsi limfa
e. Akibat pengobatan imunosupresif
8. Peritonitis
9. Infeksi Kulit
10. Anemia
11. Gangguan tubulus renal

4.6 PENATALAKSANAAN SINDROM NEFROTIK

Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesa-


gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10%
kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari
Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan sindrom
nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel berikut:1,14

Table 2. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak


dengan sindrom nefrotik

Remisi Proteinuria negatif atau seangin, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam


selama 3 hari berturut-turut
Kambuh Proteinuria 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari
berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi
Kambu Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode
h tidak 12 bulan
sering

35
Kambuh sering Kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal,
atau 4 kali kambuh pada setiap periode 12 bulan
Responsif- Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja
steroid
Dependen- Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi
steroid steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan
Resisten-steroid Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison
60 mg/m2/hari selama 4 minggu
Responder Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari
lambat tanpa tambahan terapi lain
Nonresponder Resisten-steroid sejak terapi awal
awal
Nonresponder Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-
lambat steroid

Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah


sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit,
penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Sebelum
pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan berikut:1

1.Pengukuran berat badan dan tinggi badan

2. Pengukuran tekanan darah

3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus
eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein

4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi


perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai

5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6
bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat
antituberkulosis (OAT).

36
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema
anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau
syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan
kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh sekolah.

Diitetik1

Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan


menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein
akan terjadi malnutrisi energy protein (MEP) dan menyebabkan hambatan
pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2
g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.

Diuretik

Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop
diuretik seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan
spironolakton (antagonis aldosteron, diuretic hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari.
Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada
pemakaian diuretic lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit
kalium dan natrium darah.

Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi


karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat ( 1 g/dL), dapat diberikan infus
albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari
jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb.
Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari
secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi
dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-
sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan.
Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu intravena 1-2 mg/kgbb. Bila
pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat pernapasan dapat dilakukan pungsi asites
berulang. Skema pemberian diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10
tetes/menit untuk diuretik untuk mengatasi edema tampak pada Gambar 1. Bila

37
diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi
kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian
berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.1

Imunisasi

Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/kgbb/ hari


atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien
imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat
dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated polio
vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin
virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN
sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan
varisela.1

Pengobatan dengan kortikosteroid

Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila


ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednisone atau prednisolon.

PROTOKOL PENGOBATAN
International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan
untuk memulai dengan pemberian prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2
mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/ hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi.
38
Dosis prednisone dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap
tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu.
Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua
dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara
alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu
pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai
resisten steroid.1

4.6.1 Sindrom Nefrotik Serangan Pertama

1. Perbaiki keadaan umum penderita :

a. Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke bagian
gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan penurunan
fungsi ginjal.

b. Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau
albumin konsentrat

c. Berantas infeksi.

d. Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi.

e. Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema anasarka.
Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu aktivitas. Jika ada
hipertensi, dapat ditambahkan obat antihipertensi.

39
2. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah
diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita
mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan,
prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi
pemburukan keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu waktu 14 hari.

4.6.2 Sindrom nefrotik kambuh (relapse)


1. Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse
ditegakkan.
2. Perbaiki keadaan umum penderita.

Sindrom nefrotik kambuh tidak sering

a. Prednison 2 mg/kgBB per hari, diberikan sampai proteinuria negatif atau hasil
proteinuria negatif selama tiga hari.
b. Kemudian dilanjutkan prednison dengan dosis 1,5 mg/kg BB per hari, diberikan
hingga 4 minggu. Penggunaan prednison 2 mg/kgBB per hari, pada keadaan
kambuhan dapat diberikan hingga nilai proteinuria normal selama 3 hari.

Sindrom nefrotik kambuh sering atau dependen steroid

a. Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:


1. Pemberian steroid jangka panjang
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid,
setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis
1,5 mg/kgbb secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan

40
perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut
dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara
0,1 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat
dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya
anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb,
sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb secara alternating.1

Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 0,5 mg/kgbb
alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam
dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka
prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating,
kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2
mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya
atau relaps yang terakhir.1

Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb al-
ternating, tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat,
dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb
selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).1

` Bila terjadi keadaan keadaan di bawah ini:

1. Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternating atau


2. Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:
a. Efek samping steroid yang berat
b. Pernah relaps dengan gejala berat antara lain hipovolemia,
trombosis, dan sepsis . Diberikan siklofosfamid (CPA) dengan dosis 2-3
mg/kgbb/hari selama 8-12 minggu.
2. Pemberian levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol
diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12
bulan. Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic
rash, dan neutropenia yang reversibel.
3. Pengobatan dengan sitostatik

Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN


anak adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil.

41
Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari
dalam dosis tunggal ,maupun secara intravena atau puls . CPA puls diberikan
dengan dosis 500 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan
NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis,
dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan).
Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia,
sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan
keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu
kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah
leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat
dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit >5.000/uL,
hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.1

Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total
kumulatif mencapai 200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan
mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak.

Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 0,3 mg/kg bb/hari selama 8


minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek
toksik berupa kejang dan infeksi.

42
4. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil/ MMF (opsi
terakhir)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau
sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5
mg/kgbb/hari (100-150 mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan
kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering
atau dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi,
sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA
dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek
samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan
SN resisten steroid.1
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau
sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 1200
mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid

43
selama 12 - 24 bulan.16 Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare,
leukopenia.

4.6.3 Sindrom Nefrotik Resisten Steroid

Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan.


Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal
untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi anatomi
mempengaruhi prognosis. Sindrom nefrotik resisten steroid meningkatkan resiko
mengalami komplikasi dan secara progresif dapat berkembang menjadi gagal ginjal
terminal. Tujuan terapi pada sindrom nefrotik resisten steroid adalah pengendalian
proteinuria dan memelihara fungsi ginjal. 1

- Siklofosfamid (CPA)

44
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan
remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian CPA, bila
terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena SN yang resisten steroid
dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh tidak
terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid kembali, dapat
diberikan siklosporin.

- Siklosporin (CyA)

Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total


sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.

Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi


gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial.

Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam


literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau
sangat selektif.

45
Indikasi pemulangan pasien dirawat:

Edema anasarka menghilang

Nafsu makan baik.

Proteinuria negatif pada 3 kali pemeriksaan selama 1 minggu

46
Disamping terapi utama, juga diberikan terapi supportif untuk membantu memperbaiki
keadaan, antara lain:1
1. Manajemen hipertensi
- Kontrol tekanan darah sistolik < 90 mmHg
- Diet rendah garam, olahraga atau aktivitas dan kurangi BB pada anak dengan
obesitas.
- ACE Inhibitor atau ARB dapat digunakan untuk manajemen hipertensi, dan
merupakan lini pertama sebagai antihipertensi. Efeknya dapat menurunkan proteinuria
karena sifatnya sebagai nefroprotektan dan mengontrol tekanan darah.
- ACE Inhibitor atau ARB direkomendasikan pada sindrom nefrotik resisten-steroid.
2. Manajemen edema
- Diet rendah sodium 1500 2000 mg per hari.
- Penggunaan diuretik ; loop diuretik, tiazide diuretik
- Dan infus albumin 25%

4.7 PROGNOSIS SINDROM NEFROTIK

Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :

1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6
tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.

Pada umumnya sebagian besar ( + 80% ) sindrom nefrotik primer memberi respon
yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya
akan relaps berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan
steroid.

DAFTAR PUSTAKA
1. Trihono PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede S. Konsensus Sindrom Nefrotik Idiopatik
Pada Anak. 2nd ed.Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia ; 2012.
2. Isselbacher KJ, et al. Edema. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Vol.1.
Jakarta : EGC ; 2000.p.213-7.

47
3. Behrman R, Kliegman R , Arvin AM. Penyakit Glomerulus. Nelson Ilmu Kesehatan
Anak. 15th ed. Vol.3. Jakarta : EGC ; 2000.
4. McCance KL, Huether SE, Brashers VL, and Rote NS. Pathophysiology The Biologic
Basic for Disease in Adults and Children.6th edition. Philadhelpia: Elsevier.2009.
5. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Sindrom Nefrotik. Lecture Notes Kedokteran
Klinis. 6th ed. Jakarta : EMS ; 2003.p.223.
6. International Study of Kidney Disease in Children, 1978. Nephrotic syndrome in
children. Prediction of histopathology from clinical and laboratory chracteristics at
time of diagnosis. Kidney Int 13 : 159.
7. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI pp. 381-426.
8. Feehally J, Johnson RJ, 2000. Introduction to Glomerular Disease : Clinical
Presentations. In : Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive Clinical
Nephrology. London : Mosby.p. 5 : 21.1-4.
9. Wila Wirya IGN, 1992. Penelitian Beberapa Aspek Klinis dan Patologi Anatomis
Sindrom Nefrotik Primer Pada Anak di Jakarta. Jakarta : Universitas Indonesia.
10. Noer MS, 1997. Sindrom Nefrotik. In: Putra ST, Suharto, Soewandojo E, editors.
Patofisiologi Kedokteran. Surabaya : GRAMIK FK Universitas Airlanggap. p.137-46.
11. Schwartz , MW. Sindrom Nefrotik.Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta : EGC ;
2005.p.308.
12. Travis L, 2002. Nephrotic Syndrome. Emed J [on line] 2002, 3 : 3 [2002 Mar 18]
[(20) : screens]. Available from: URL:http//www.emedicine.com/PED/topic1564.htm .
Accessed 4 November 2014.
13. Behrman, Kliegemen, Jenson. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. EGC.Jakarta:2000
14. Mantan M, Bangga A. Nephrotic Syndrome in Children . Indian Journal Medicine.
2005. Available at : http://medind.nic.in/iby/t05/i7/ibyt05i7p13.pdf . Accessed 4
November 2014.

48

Anda mungkin juga menyukai