SINDROM NEFROTIK
Disusun oleh:
Joshua Ardhito Danudoro Harmani
1261050286
Dosen Pembimbing:
Presentasi kasus dengan judul Sindrom Nefrotik ini diajukan untuk memenuhi persyaratan
dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi
Periode 12 Desember 2016 25 Februari 2017
Oleh:
Joshua Ardhito Danudoro Harmani
1261050286
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing,
Bekasi, 12 Januari 2017
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling sering
ditemukan. Insiden SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah
2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar 12 16 kasus per
100.000 anak.1 Di negara berkembang insiden nya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per
100.000 anak per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. 1 Perbandingan anak laki-laki
dan perempuan 2:1.1
Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer atau idiopatik, dan sekunder mengikuti
penyakit sistemik, antara lain lupus eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch Schonlein,
dan lain lain. Pada makalah ini akan membicarakan sebuah kasus yang mengarah ke SN
idiopatik. Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibial. Bila lebih berat
akan disertai asites, efusi pleura, dan edema genitalia. Kadang-kadang disertai oliguria dan
gejala infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare. Bila disertai sakit perut, hati-hati terhadap
kemungkinan terjadinya peritonitis atau hipovolemia.
Dalam laporan ISKDC (International Study for Kidney Diseases in Children), pada
sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) ditemukan 22% dengan hematuria mikroskopik,
15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah
yang bersifat sementara. Pada anak, sebagian besar (80%) SN idiopatik mempunyai
gambaran patologi anatomi kelainan minimal (SNKM). Gambaran patologi anatomi lainnya
2
adalah glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-8%, mesangial proliferatif difus (MPD)
2-5%, glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) 4-6%, dan nefropati membranosa
(GNM) 1,5%.1
BAB II
LAPORAN KASUS
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
RSUD KOTA BEKASI
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. J
Umur : 6 tahun 2 bulan
Tempat/Tanggal Lahir : Bekasi / 10 Oktober 2010
Alamat : Kp. Kapling Baru RT 001 Kelurahan Setia Makmur
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Suku Bangsa : Batak
Agama : Islam
Tanggal Masuk RS : 2 Januari 2017
Ayah Ibu
3
Nama : Tn. RP Nama : Ny. DD
Umur : 30 Tahun Umur : 26 Tahun
Suku Bangsa : Batak Suku Bangsa : Batak
Agama : Islam Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan Swasta Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Penghasilan : Rp. 2.000.000,- Penghasilan :-
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA
Alamat : Kp. Kapling Baru RT 001 Alamat : Kp. Kapling Baru RT 001
Kelurahan Setia Makmur. Kelurahan Setia Makmur.
III. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan Tn.RP yang
merupakan ayah kandung pasien.
A. KELUHAN UTAMA
Pasien datang dengan keluhan bengkak pada kelopak mata, perut dan
skrotum sejak 3 hari SMRS.
B. KELUHAN TAMBAHAN
Kenaikan berat badan secara tiba-tiba, batuk berdahak.
Tuberkulosis (-)
5
KELAHIRAN Tempat Kelahiran Rumah bersalin
Panjang lahir : 47 cm
Merah (+)
Pucat (-)
Biru (-)
Kuning (-)
F. RIWAYAT PERKEMBANGAN
6
Kesimpulan riwayat perkembangan: Pada pasien tidak didapatkan
keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan termasuk gangguan
perkembangan mental.
G. RIWAYAT MAKANAN
Umur (bulan) ASI / PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
0-2 ASI - - -
2-4 ASI - - -
Tahu -
Tempe -
Lain Lain :
7
Kesulitan makan: Ada saat dimana pasien sulit untuk makan.
Kesimpulan riwayat makanan: Asupan makanan pasien cukup baik, dengan menu
bervariasi dan bergizi.
H. RIWAYAT IMUNISASI
BCG 2 bulan - - - - -
Campak - - 9 bulan - - -
I. RIWAYAT KELUARGA
a. Corak Reproduksi
No. Tanggal Jenis Hidup Lahir Abortu Mati Keteranga
Lahir Kelamin Mati s (Sebab) n
(Umur) Kesehatan
1. 3 Tahun Laki-laki - - - Adik pasien
(Sehat)
b. Riwayat Pernikahan
Ayah / Wali Ibu / Wali
Nama Tn. RP Ny. DD
Perkawinan ke- 1 1
Pendidikan terakhir (tamat SMA SMA
kelas/tingkat)
Agama Islam Islam
Suku Bangsa Batak Batak
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas - -
Penyakit , bila ada - -
Data Antropometri
Berat badan : 20 kg Lingkar kepala : 47,5 cm
Tinggi badan : 105 cm Lingkar perut : 42 cm
Tanda Vital
Tekanan Darah :100 /70 mmHg ( prehipertensi)
Nadi :100x/ menit, irama teratur, kuat, isi cukup, ekual kanan kiri.
Pernapasan :20 x /menit , tipe torako-abdominal
Suhu Tubuh :36,6 0C, suhu axilla
10
Mulut : Trismus (-), oral hygiene cukup baik, tidak terdapat caries
gigi- geligi, mukosa gusi berwarna merah muda , mukosa
pipi berwarna merah muda, arkus palatum simetris dengan
mukosa palatum berwarna merah muda.
Lidah : Normoglosia, mukosa berwarna merah muda, hiperemis (-) ,
atrofi papil (-), tremor (-), lidah kotor (-).
Tenggorokan :Tonsil T1/T1, tidak hiperemis, faring tidak hiperemis, uvula
terletak di tengah.
Leher : Bentuk tidak tampak adanya kelainan, edema (-), massa (-),
tidak tampak dan tidak teraba pembesaran tiroid maupun
KGB tidak tampak deviasi trakea.
Thoraks :Bentuk thoraks simetris saat inspirasi dan ekspirasi,
deformitas (-), retraksi suprasternal (-), retraksi intercostal (-),
retraksi subkostal (-).
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak nampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra
Perkusi : Batas atas jantung ICS III linea parasternal sinistra
Batas kiri jantung ICS V linea midklavikula sinistra
Batas kanan jantung ICS III-IV linea sternalis kanan
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru :
Inspeksi : Bentuk thoraks simetris, tidak ada pernafasan yang
tertinggal , pernafasan tipe torako-abdomial, deformitas (-),
retraksi suprasternal (-), retraksi interkostal (-), retraksi
subkostal (-).
Palpasi : Nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak nafas simetris kanan dan
kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, regular, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : Perut buncit, warna kulit kuning langsat, tidak dijumpai
adanya efloresensi pada kulit perut, kulit keriput (-),
11
umbilikus normal, gerak dinding perut saat pernafasan
simetris , tidak tampak bagian yang tertinggal, gerakan
peristaltik (-).
Auskultasi : Bising usus (+), frekuensi 3 x / menit
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-) di 9 kuadran abdomen, turgor kulit
kembali cepat, hepar tidak teraba membesar, lien tidak teraba
membesar.
Perkusi : Shifting dullness (+)
Anogenitalia :
Jenis kelamin laki-laki, fimosis (-), parafimosis (-), hipospadia(-), epispadia (-)
, testis sudah di skrotum , rugae baik , oedem skrotum (+), belum
disirkumsisi.
Kelenjar Getah Bening :
Preaurikuler : Tidak teraba membesar
Postaurikuler : Tidak teraba membesar
Submandibula : Tidak teraba membesar
Axilla : Tidak teraba membesar
Inguinal : Tidak teraba membesar
Anggota Gerak :
Ekstremitas : Akral hangat pada keempat ekstremitas, sianosis (-/-), oedem
kaki (+/+)
Tangan Kanan Kiri
Tonus otot Normotonus Normotonus
Sendi Aktif Aktif
Kaki Kanan Kiri
Tonus otot Normotonus Normotonus
Sendi Aktif Aktif
Oedem (+), pitting (+), pitting
Kulit : Warna kulit kuning langsat, merata diseluruh tubuh, pucat
(-) , sianosis (-), ikterik (-), turgor kulit baik, lembab ,
pengisian kapiler 1 detik.
Tulang Belakang :Bentuk normal, tidak terdapat deviasi, benjolan (-), ruam (-)
12
Status Neurologis :
Refleks fisiologis Kanan Kiri
Biceps + +
Triceps + +
Patella + +
Achilles + +
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
KIMIA KLINIK
GINJAL
Ureum 29 mg/dl 11-39
Kreatinin 0.29 mg/dl <1.0
GDS 75 mg/dl 60-110
URINALISIS
Urine Lengkap
Warna Kuning Kuning
VI. RESUME
Anak J, usia 6 tahun 2 bulan dibawa oleh kedua orang tuanya ke IGD RSUD Kota
Bekasi dengan keluhan bengkak pada daerah perut dan skrotum sejak 3 hari
SMRS. Orang tua pasien mengaku bengkak pada kelopak mata muncul pada saat
pagi hari setelah pasien bangun tidur. Kemudian semakin menjelang siang hari,
keluhan bengkak pada kedua kelopak mata, kedua kantung mata dan wajah pasien
berangsur menghilang Namun kelama-lamaan saat siang bengkak berpindah ke
perut dan skrotum, ayah pasien merasa perut pasien semakin membuncit. Pasien
juga mengeluh batuk berdahak berwarna putih sejak 1 minggu SMRS. Hal ini
merupakan keluhan ketiga kali yang pernah dialami oleh pasien.
Pasien menyangkal adanya demam (-), sesak (-), kebiruan pada bibir dan
ekstremitas (-), mudah lelah (-), jantung berdebar-debar (-), mual(-), muntah (-),
napsu makan pasien baik, BAK dan BAB pasien dalam batas normal. Karena
pasien merasa khawatir akan kondisi anaknya, akhirnya ibu pasien membawa
pasien datang berobat ke rumah sakit kabupaten. Sesudah mengalami pemeriksaan
di rumah sakit kabupaten dikatakan bahwa pasien mengalami gangguan ginjal. Di
rumah sakit pasien mendapatkan pengobatan berupa kortikosteroid.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang ,
compos mentis , kesan gizi baik. Tanda vital didapatkan TD: 100/80 mmHg ,
15
Nadi: 100 x/menit , Suhu: 36,5 0C , Frekuensi pernafasan: 20 x / menit. Pada
abdomen terdapat shifting dullness, edema skrotum.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan adanya leukosit dan trombosit
meningkat dan albuminuria.
X. PENATALAKSANAAN
Terapi Non Medika Mentosa
1. Tirah baring untuk mengurangi edema.
2. Kalori BB-ideal x RDA TB/U2074 kkal
3. Diet protein 1,52 kg/BB/hari berdasarkan RDA (recommended daily allowances)
untuk mencegah terjadinya proteinuria.
4. Diet rendah garam 1-2 g/hari untuk mencegah terjadinya hipertensi.
5. Menghindarkan pasien dari orang yang sedang menderita penyakit menular,
contohnya : Varicella , pneumonia dan ISPA.
6. Menghindari mengkonsumsi makanan berlemak, instan, junk food, mengandung
bahan pengawet dan pewarna buatan.
Terapi Medika Mentosa
1. Kaen 3B
16
2. Prednison 3-3-2 tab
3. Furosemid 1x10 mg (i.v)
4. Ambroxol 3 x 1 cth
5.
XI. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
XII. FOLLOW UP
Tanggal S O A P
Tanggal S O A P
18
hiperemis (-)
Leher: KGB
tidak teraba
membesar
Thoraks :
C: BJ I-II
regular, M (-),
G (-)
P:SN vesikuler
,Wh -/- , Rh -/-
Abdomen :
Shifting
dullness (+),
pembesaran
organ (-),
bising usus
4x/menit .
Genitalia:
edema skrotum
(-/-)
Extremitas :
Akral hangat
+ +
+ +
Oedem kaki :
-/-
Tanggal S O A P
Tanggal S O A P
7/1 /2017 Bengkak pada KU:CM, TSS Sindrom -Dextrose 5%- 8tpm
kelopak mata Nefrotik
Hari dan skrotum TD:80/50 Idiopatik + -Furosemid 1x10 mg
perawatan tidak ada , mmHg prehipertensi (iv)
ke-6 perut masih Perbaikan
20
BB : 18,5 kg sedikit buncit, N: 86 x/m Gizi kurang - Ceftriaksone 1 x 1g
batuk
I : 950 cc berdahak S: 36,6 0C Hipoalbumine PO:
mia
O : 1150 cc RR: 22 x/m - Prednisone 3-3-2
Balance: Kepala: -Cetirizine 1 x 1 cth
+200 Normosefali
- Ambroxol 3 x 1 cth
Diuresis : Mata: CA-/-,
2.7 SI -/- , cekung
cc/kgbb/jam -/-, oedem
palpebra -/-,
RCL +/+,
RCTL +/+
Hidung: NCH
(-), Sekret (-/-).
Mulut : Kering
(-), Sianosis (-)
,Faring
hiperemis (-)
Leher: KGB
tidak teraba
membesar
Thoraks :
C:BJI-II
regular, M (-) ,
G (-)
P:SN vesikuler
, Wh -/- , Rh
-/-.
Abdomen:
supel,datar,
BU(+)3x/menit
Extremitas
Akral hangat
+ +
+ +
Oedem kaki:
-/-
Albumin: 0,43
21
Tanggal S O A P
9/1 /2017 Bengkak pada KU:CM, TSS Sindrom -Dextrose 5%- 8tpm
kelopak mata Nefrotik
Hari dan skrotum TD:70/50 Idiopatik + -Furosemid 1x10 mg
perawatan tidak ada , mmHg prehipertensi (iv)
ke-8 perut masih Perbaikan
N: 84 x/m - Ceftriaksone 1 x 1g
sedikit buncit,
BB : 18,5 kg Gizi kurang
batuk S: 36,5 0C PO:
I : 850 cc berdahak
Hipoalbumine
RR: 22 x/m - Prednisone 60 mg 3-
mia
O : 1050 cc 2-2
Kepala:
Balance: Normosefali -Cetirizine 1 x 1 cth
+100
Mata: CA-/-, - Ambroxol 3 x 1 cth
Diuresis : SI -/- , cekung
2.7 -/-, oedem BLPL
cc/kgbb/jam palpebra -/-,
RCL +/+,
RCTL +/+
Hidung: NCH
(-), Sekret (-/-).
Mulut : Kering
(-), Sianosis (-)
,Faring
hiperemis (-)
Leher: KGB
tidak teraba
membesar
Thoraks :
C:BJI-II
regular, M (-) ,
G (-)
P:SN vesikuler
, Wh -/- , Rh
-/-.
Abdomen:
supel,datar,
BU(+)3x/menit
Extremitas
Akral hangat
22
+ +
+ +
Oedem kaki:
-/-
Anak J, usia 6 tahun 2 bulan dibawa oleh kedua orang tuanya ke IGD RSUD Kota
Bekasi dengan keluhan bengkak pada daerah perut dan skrotum sejak 3 hari SMRS.
Menurut ayah pasien , kedua kelopak mata, kedua kantung mata dan wajah pasien tampak
sembab , hal tersebut muncul pada saat pagi hari setelah pasien bangun tidur. Bengkak atau
edema dapat didefiniskan sebagai adanya cairan yang berlebihan pada jaringan interstisial
dan rongga tubuh.1. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bahwa terdapat edema periorbital,
ascites, edema skrotum. Hipotesis terjadinya edema terbagi antara lain penyebab primer:
adanya obstruktif limfatik atau vena, penurunan curah jantung, hipoalbuminemia, atau
peningkatan permeabilitas kapiler. Sedangkan penyebab sekunder: retensi garam dan air pada
ginjal dalam usaha untuk memperbaiki volume plasma. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui
skema dibawah ini.2
Menurut ibu pasien, kedua kelopak mata, kedua kantung mata dan wajah pasien
tampak sembab , hal tersebut muncul pada saat pagi hari setelah pasien bangun tidur.
Kemudian semakin menjelang siang hari, perut, skrotum menjadi bengkak. Hal ini
23
menandakan bahwa terjadi redistribusi gravitasi cairan dalam posisi horizontal. 3 Pada
pemeriksaan fisik di bangsal pada siang harinya edema periorbital berkurang, namun masih
didapatkan ascites, edema skrotum. Pasien mengatakan bahwa dirinya tidak mengalami sesak
nafas , cepat lelah , perasaan berdebar-debar , nyeri perut, mual, muntah, penurunan
aktivitas , dan penurunan BB . Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan TD: 100/70 mmHg,
N: 100 x/menit, RR: 20 x/menit, S:36,5% , kesan gizi pasien kurang, dan status generalis
dalam batas normal. Sehingga kemungkinan edema karena gangguan fungsi jantung dan
gangguan fungsi hati dapat disingkirkan namun edema karena malnutrisi belum dapat
disingkirkan karena status gizi pasien kurang.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD pasien 100/70 mmHg hal ini menandakan
bahwa telah terjadi prehipertensi karena menurut dari hasil perhitungan kurva tekanan darah,
angka tersebut sudah melewati nilai TD yang normal.
Secara umum, penyebab hipertensi pada anak dapat disebabkan penyebab renal,
vaskular, endokrin, dan lain-lain.
Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan albuminuria (2+), hal ini disebabkan
karena adanya peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan
glomerulus dan yang terutama di eksresikan adalah albumin. Hipoalbuminemia yang terjadi
disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan katabolisme albumin di
ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat namun tidak memadai untuk mengganti
kehilangan albumin dalam urin. Sebagai akibat dari hipoalbuminemia, maka tekanan onkotik
plasma akan menurun , menyebabkan peningkatan filtrasi transkapiler cairan keluar tubuh
sehingga menimbulkan edema. Hiperlipidemia yang terjadi pada kasus ini akibat penurunan
tekanan onkotik, disertai pula oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya -
glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik
secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali
normal. Pada status nefrosis, hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan
lipoprotein serum meningkat. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL
(low density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang
tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL ( very low density lipoprotein).4
Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid
dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Tingginya kadar LDL pada SN
disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati
dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada
SN. Menurunnya aktivitas enzim LPL ( lipoprotein lipase ) diduga merupakan penyebab
berkurangnya katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi
akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Sedangkan kadar HDL turun
diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT ( lecithin cholesterol acyltransferase )
yang berfungsi sebagai katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut
kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme. Penurunan aktivitas LCAT diduga
terkait dengan hipoalbuminemia yang terjadi pada SN.4
25
Berdasarkan hasil anamnesis , pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang , maka
dapat diambil diagnosis kerja sementara yaitu Sindrom Nefrotik Idiopatik berulang yang
disertai dengan prehipertensi. Pada kasus ini pasien diberikan tatalaksana diet 2074 kkal, diet
protein 1,52 gr/kgbb/hari berdasarkan RDA (recommended daily allowances) untuk
mencegah terjadinya proteinuria, diet rendah garam 1-2 g/hari untuk mencegah terjadinya
hipertensi, dan untuk medikamentosa nya diberikan prednison 3-3-2 tab dimana dosis
seharusnya 2 mg/kgBB/hari. Selain itu dapat pula diberikan furosemide 1x10 mg (i.v) dimana
dosis seharusnya yaitu 1 mg/kgBB/kali diberikan 2 kali.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
SINDROM NEFROTIK
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara
primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain.
Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik
primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik
yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.
27
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
SumSumber : Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T,
Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.p. 381-426.
Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari
berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering
dijumpai adalah :
28
d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: Lupus Eritematosus Sistemik,
Purpura Henoch-Schnlein, Sarkoidosis.
e. Neoplasma : Tumor paru, Penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.
Terdapat dua mekanisme yang berperan pada patogenesis SN, yaitu pertama secara
imunologis sel T memproduksi circulating factor, berupa vascular permeability factor
(VPF) yang merupakan asam amino identik dengan vascular endothelial growth factor
(VEGF). Hal ini menyebabkan meningkatnya permeabilitas kapiler gromelurus sehingga
terjadi kebocoran protein. Mekanisme kedua adalah terdapatnya defek primer pada barier
filtrasi glomerulus yang mengakibatkan celah diafragma melebar.
Zat zat terlarut yang dapat melewati sawar gromelurus ditentukan oleh besarnya
molekul. Molekul > 10 kDa akan ditahan sehingga tidak dapat melewati sawar tersebut
(size selectivity barrier ). Bila ada gangguan pada mekanisme ini menyebabkan
proteinuria baik protein dengan berat molekul besar (proteinuria nonselektif). Faktor lain
yang dapat mempengaruhi adalah adanya daya elektrostatik dari muatan negatif
29
permukaan molekul pada epitel foot processes yang dibentuk oleh sialoprotein kapiler,
heparan sulfat membran basalis gromelurus dan podokaliksin (charge-selectivity barrier).
Gangguan pada daya elektrostatik tersebut menyebabkan proteinuria selektif (protein
dengan berat molekul < berat molekul albumin dapat melewati membran filtrasi
gromelurus). Kerusakan struktur dan sawar elektrostatik ini menyebabkan banyaknya
protein plasma yang melewati filtrasi gromelurus. Pada penderita SNRS diduga selain
charge selectivity barrier juga berperan size selectivity barrier yang menyebabkan
proteinuria yang keluar selain berat molekul rendah (selektif) juga protein dengan berat
molekul tinggi (non-selektif). 11
30
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik
dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan atau pada
waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus
mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu. 2,1
Hipoalbuminemia
Volume Plasma >>>
Edema
Manifestasi klinik utama adalah sembab, yang tampak pada sekitar 95% anak
dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab timbul secara lambat sehingga keluarga
mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten;
biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang
rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab menjadi
menyeluruh dan masif (anasarka).3,5,12
31
Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai sembab muka
pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas
bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan
(pitting edema). Pada penderita dengan sembab hebat, kulit menjadi lebih tipis dan
mengalami oozing. Sembab biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM
dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena
proteinuria dan hipoalbuminemia lebih hebat pada pasien SNKM. 3,5,12
Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak, maka
pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat
diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik. 3,5,12
Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit berat
dan kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang sedang
berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan respons
emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri.
Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu sering dan lama menyebabkan
perkembangan dunia sosial anak menjadi terganggu. 3,5,12 Manifestasi klinik yang paling
sering dijumpai adalah sembab, didapatkan pada 95% penderita. Sembab paling parah
biasanya dijumpai pada sindrom nefrotik tipe kelainan minimal (SNKM). Bila ringan,
sembab biasanya terbatas pada daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah,
misal daerah periorbita, skrotum, labia. Sembab bersifat menyeluruh, dependen dan
pitting. Asites umum dijumpai, dan sering menjadi anasarka. Anak-anak dengan asites
akan mengalami restriksi pernafasan, dengan kompensasi berupa takipnea. Akibat sembab
kulit, anak tampak lebih pucat.
32
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian
International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30% pasien
SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil umur.6
Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu > 40
mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam; biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari. Pasien
SNKM biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien dengan tipe
yang lain. 3,5,12
Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum < 2.5
g/dL. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan umumnya,
berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol LDL dan VLDL
meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-
3 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria.
Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal penyakit.
Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin serum biasanya terjadi
pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan SNKM.
Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik. Pada
pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi pleura dan hal tersebut
berkorelasi secara langsung dengan derajat sembab dan secara tidak langsung dengan
kadar albumin serum. Sering pula terlihat gambaran asites. USG ginjal sering terlihat
normal meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan dari kedua ginjal dengan
ekogenisitas yang normal
Komplikasi pada SN dapat terjadi sebagai bagian dari penyakitnya sendiri atau
sebagai akibat pengobatan.
4. Hipokalsemia
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena:
5. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat terjadi
hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan sering
disertai sakit perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl fisiologis dengan cepat
sebanyak 15-20 mL/kgbb dalam 20-30 menit, dan disusul dengan albumin 1 g/kgbb
34
atau plasma 20 mL/kgbb (tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah
teratasi dan pasien tetap oliguria, diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb intravena.
6. Pertumbuhan abnormal dan nutrisi
Penyebab utama retardasi pertumbuhan pada pasien SN yang tidak diberikan
kortikosteroid adalah malnutrisi protein, kurang nafsu makan sekunder, hilangnya
protein dalam urin, dan malabsorbsi karena edema saluran gastrointestinal. Sekarang
penyebab utamanya adalah pengobatan kortikosteroid. Pengobatan kortikosteroid
dosis tinggi dan waktu lama dapat memperlambat maturasi tulang dan terhentinya
pertumbuhan linier.
7. Infeksi
Penyebab meningkatnya kerentanan terhadap infeksi adalah :
a. Kadar immunoglobulin yang rendah
b. Defisiensi protein secara umum
c. Gangguan opsonisasi terhadap bakteri
d. Hipofungsi limfa
e. Akibat pengobatan imunosupresif
8. Peritonitis
9. Infeksi Kulit
10. Anemia
11. Gangguan tubulus renal
35
Kambuh sering Kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal,
atau 4 kali kambuh pada setiap periode 12 bulan
Responsif- Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja
steroid
Dependen- Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi
steroid steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan
Resisten-steroid Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison
60 mg/m2/hari selama 4 minggu
Responder Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari
lambat tanpa tambahan terapi lain
Nonresponder Resisten-steroid sejak terapi awal
awal
Nonresponder Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-
lambat steroid
3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus
eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein
5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6
bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat
antituberkulosis (OAT).
36
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema
anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau
syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan
kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh sekolah.
Diitetik1
Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop
diuretik seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan
spironolakton (antagonis aldosteron, diuretic hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari.
Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada
pemakaian diuretic lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit
kalium dan natrium darah.
37
diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi
kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian
berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.1
Imunisasi
PROTOKOL PENGOBATAN
International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan
untuk memulai dengan pemberian prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2
mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/ hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi.
38
Dosis prednisone dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap
tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu.
Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua
dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara
alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu
pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai
resisten steroid.1
a. Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke bagian
gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan penurunan
fungsi ginjal.
b. Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau
albumin konsentrat
c. Berantas infeksi.
e. Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema anasarka.
Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu aktivitas. Jika ada
hipertensi, dapat ditambahkan obat antihipertensi.
39
2. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah
diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita
mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan,
prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi
pemburukan keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu waktu 14 hari.
a. Prednison 2 mg/kgBB per hari, diberikan sampai proteinuria negatif atau hasil
proteinuria negatif selama tiga hari.
b. Kemudian dilanjutkan prednison dengan dosis 1,5 mg/kg BB per hari, diberikan
hingga 4 minggu. Penggunaan prednison 2 mg/kgBB per hari, pada keadaan
kambuhan dapat diberikan hingga nilai proteinuria normal selama 3 hari.
40
perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut
dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara
0,1 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat
dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya
anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb,
sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb secara alternating.1
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 0,5 mg/kgbb
alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam
dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka
prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating,
kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2
mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya
atau relaps yang terakhir.1
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb al-
ternating, tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat,
dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb
selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).1
41
Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari
dalam dosis tunggal ,maupun secara intravena atau puls . CPA puls diberikan
dengan dosis 500 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan
NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis,
dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan).
Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia,
sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan
keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu
kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah
leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat
dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit >5.000/uL,
hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.1
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total
kumulatif mencapai 200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan
mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak.
42
4. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil/ MMF (opsi
terakhir)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau
sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5
mg/kgbb/hari (100-150 mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan
kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering
atau dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi,
sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA
dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek
samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan
SN resisten steroid.1
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau
sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 1200
mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid
43
selama 12 - 24 bulan.16 Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare,
leukopenia.
- Siklofosfamid (CPA)
44
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan
remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian CPA, bila
terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena SN yang resisten steroid
dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh tidak
terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid kembali, dapat
diberikan siklosporin.
- Siklosporin (CyA)
45
Indikasi pemulangan pasien dirawat:
46
Disamping terapi utama, juga diberikan terapi supportif untuk membantu memperbaiki
keadaan, antara lain:1
1. Manajemen hipertensi
- Kontrol tekanan darah sistolik < 90 mmHg
- Diet rendah garam, olahraga atau aktivitas dan kurangi BB pada anak dengan
obesitas.
- ACE Inhibitor atau ARB dapat digunakan untuk manajemen hipertensi, dan
merupakan lini pertama sebagai antihipertensi. Efeknya dapat menurunkan proteinuria
karena sifatnya sebagai nefroprotektan dan mengontrol tekanan darah.
- ACE Inhibitor atau ARB direkomendasikan pada sindrom nefrotik resisten-steroid.
2. Manajemen edema
- Diet rendah sodium 1500 2000 mg per hari.
- Penggunaan diuretik ; loop diuretik, tiazide diuretik
- Dan infus albumin 25%
1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6
tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
Pada umumnya sebagian besar ( + 80% ) sindrom nefrotik primer memberi respon
yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya
akan relaps berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan
steroid.
DAFTAR PUSTAKA
1. Trihono PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede S. Konsensus Sindrom Nefrotik Idiopatik
Pada Anak. 2nd ed.Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia ; 2012.
2. Isselbacher KJ, et al. Edema. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Vol.1.
Jakarta : EGC ; 2000.p.213-7.
47
3. Behrman R, Kliegman R , Arvin AM. Penyakit Glomerulus. Nelson Ilmu Kesehatan
Anak. 15th ed. Vol.3. Jakarta : EGC ; 2000.
4. McCance KL, Huether SE, Brashers VL, and Rote NS. Pathophysiology The Biologic
Basic for Disease in Adults and Children.6th edition. Philadhelpia: Elsevier.2009.
5. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Sindrom Nefrotik. Lecture Notes Kedokteran
Klinis. 6th ed. Jakarta : EMS ; 2003.p.223.
6. International Study of Kidney Disease in Children, 1978. Nephrotic syndrome in
children. Prediction of histopathology from clinical and laboratory chracteristics at
time of diagnosis. Kidney Int 13 : 159.
7. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI pp. 381-426.
8. Feehally J, Johnson RJ, 2000. Introduction to Glomerular Disease : Clinical
Presentations. In : Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive Clinical
Nephrology. London : Mosby.p. 5 : 21.1-4.
9. Wila Wirya IGN, 1992. Penelitian Beberapa Aspek Klinis dan Patologi Anatomis
Sindrom Nefrotik Primer Pada Anak di Jakarta. Jakarta : Universitas Indonesia.
10. Noer MS, 1997. Sindrom Nefrotik. In: Putra ST, Suharto, Soewandojo E, editors.
Patofisiologi Kedokteran. Surabaya : GRAMIK FK Universitas Airlanggap. p.137-46.
11. Schwartz , MW. Sindrom Nefrotik.Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta : EGC ;
2005.p.308.
12. Travis L, 2002. Nephrotic Syndrome. Emed J [on line] 2002, 3 : 3 [2002 Mar 18]
[(20) : screens]. Available from: URL:http//www.emedicine.com/PED/topic1564.htm .
Accessed 4 November 2014.
13. Behrman, Kliegemen, Jenson. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. EGC.Jakarta:2000
14. Mantan M, Bangga A. Nephrotic Syndrome in Children . Indian Journal Medicine.
2005. Available at : http://medind.nic.in/iby/t05/i7/ibyt05i7p13.pdf . Accessed 4
November 2014.
48