Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS KEPANITERAAN

SEORANG WANITA USIA 39 TAHUN DENGAN


RINOSINUSITIS KRONIS (PANSINUSITIS) DENGAN POLIP NASI DAN
RINITIS ALERGI

Diajukan untuk melengkapi tugas kepaniteraan Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Penguji Kasus : dr. Nur Iman Nugroho, Sp. THT-KL


Pembimbing : dr. Lidya Sabig
Dibacakan Oleh : Sabrina Aulia Zahra 22010117220085
Dibacakan tanggal : April 2019

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO RSUP DR
KARIADI SEMARANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Melaporkan kasus “Seorang wanita 39 tahun dengan Rinosinusitis Kronis


(Pansinusitis) dengan Polip Nasi dan Rinitis Alergi”
Penguji Kasus : dr. Nur Iman Nugroho, Sp. THT-KL
Pembimbing : dr. Lidya Sabig
Dibacakan Oleh : Sabrina Aulia Zahra 22010117220085
Dibacakan tanggal : April 2019
Diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Semarang, April 2019


Mengetahui

Penguji Pembimbing

dr. Nur Iman, Sp. THT-KL, M.Si.Med. dr. Lidya Sabig


BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Rinosinusitis kronik (RSK) didefinisikan sebagai radang atau
inflamasi pada hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan dua atau
lebih gejala. Salah satu gejala yang harus dialami berupa
sumbatan/obstruksi/kongesti nasal atau nasal discharge baik anterior maupun
posterior nasal drip. Gejala tersebut disertai dengan satu atau lebih gejala
nyeri wajah, gangguan/penurunan penciuman (pada dewasa), atau batuk
(pada anak-anak) dan berlangsung selama ≥12 minggu.1,2 Gejala yang
dikeluhkan ini sangat mengganggu dan menurunkan kualitas hidup penderita.
Rinosinusitis sendiri dapat mengenai semua kelompok umur baik anak
maupun dewasa.2
Rinosinusitis adalah salah satu penyakit yang paling sering dialami
oleh penderita yang datang berobat ke dokter umum maupun spesialis THT.
Prevalensi kejadian rinosinusitis kronik di Amerika tahun 2009 mencapai 146
kasus/1000 populasi yang ada.3 Di Indonesia data epidemiologi yang pasti
mengenai prevalensi rinosinusitis kronik masih belum jelas. Data dari Divisi
Rinologi Departemen THT RSCM menunjukkan terdapat 435 pasien dengan
kasus rinosinusitis selama periode Januari – Agustus 2005. Sementara itu,
data dari poliklinik THT-KL RSUP dr. Sardjito tahun 2004 menunjukkan
terdapat 565 kasus rinosinusitis kronik dari 13366 kasus THT. Jumlah ini
semakin meningkat di tahun 2005 menjadi 578 kasus dari 13507 kasus, tahun
2006 terdapat 607 kasus dari 13508 kasus, tahun 2007 terdapat 756 kasus dari
13533 kasus.
Diagnosis rinosinusitis ditegakkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Oleh karena peradangan pada rinosinusitis dapat
dipengaruhi berbagai faktor, di antaranya alergi, kelainan anatomi rongga
hidung, polip, gangguan mukosiliar dan lain-lain, maka anamnesis dan
pemeriksaan THT perlu dilakukan dengan cermat dan teliti. Terjadinya
rinosinusitis akibat alergi, infeksi, dan kelainan anatomi di dalam hidung
memerlukan terapi yang berlainan satu sama lain.4
Berdasarkan data diatas, penulis memilih untuk melaporkan dan
mengkaji kasus seorang wanita usia 39 tahun dengan rinosinusitis kronis
karena angka kejadian yang tinggi dan dapat menimbulkan penurunan kualitas
hidup di masa depan jika tidak ditangani dengan benar.

1.2.Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami faktor risiko rinosinusitis
2. Untuk mengetahui dan memahami pemeriksaan dan diagnosis
rinosinusitis
3. Untuk mengetahui tatalaksana rinosinusitis

1.3.Manfaat
1. Mengetahui dan memahami faktor risiko rinosinusitis
2. Mengetahui dan memahami pemeriksaan dan diagnosis rinosinusitis
3. Mengetahui dan memahami tatalaksana rinosinusitis
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. S
Umur : 39 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Blora
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : Tamat SMA
Datang ke poli : 21 Maret 2019
No. CM : C745xxx
MASALAH AKTIF MASALAH PASIF
1. Hidung tersumbat  13, 14 1. Riwayat polipektomi tahun
2. Ingus encer jernih  14 2010 di RS Blora
3. Nyeri kepala  14
4. Merasakan ada lendir di
tenggorok  13
5. Ingus kental berwana putih 
13
6. Gangguan penghidu  13,14
7. Hidung gatal dan bersin
bila terpapar debu dan
asap  14
8. Nyeri tekan dahi dan
pipi13
9. Nyeri ketok dahi13
10. Konka inferior dextra et
sinistra hipertrofi  13
11. Massa pada konka media
dextra et sinistra  13
12. Post nasal drip  13
13. Rinosinusitis kronis
(pansinusitis) dengan polip
nasi
14. Rhinitis alergi
15. Septum deviasi (+)
II. ANAMNESIS
Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 21 Maret 2019 pukul 10.30 WIB di
Poli THT RSDK Semarang.
Keluhan Utama : Hidung tersumbat

Perjalanan penyakit sekarang :


Pasien perempuan usia 39 tahun datang ke Poliklinik THT RSUP Dr.
Kariadi dengan keluhan hidung tersumbat (VAS 5/5) pada kedua sisi hidung. ±
3 tahun sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan hidung tersumbat,
keluhan dirasakan hilang timbul di kedua sisi hidung. Keluhan dirasakan
semakin memberat seiring berjalannya waktu. Keluhan dirasa memberat
terutama bila terpapar debu dan asap. Keluhan hingga mengganggu tidur pasien
dan mengganggu melakukan aktivitas sehari- hari seperti biasanya. Pasien juga
mengeluhkan nyeri pada kepala (VAS 3) dan kemeng didaerah dahi. Nyeri
dirasakan hilang timbul dan semakin nyeri saat pasien sujud. Nyeri wajah
disangkal. Pasien juga mengeluhkan terkadang keluar ingus kental dan terdapat
lendir mengalir di tenggorokannya, ketika lendir dikeluarkan pasien mengaku
lendir putih, terkadang berwarna kuning kental. Gangguan penciuman (+/+)
(VAS 5/5). Keluhan sering bersin (+) bila menghirup debu dan asap, bersin
hingga >4x/minggu dengan >4x/hari, hidung gatal (+), nyeri telan (-), batuk (-),
demam (-), nyeri pada gigi (-), bicara sengau (+), telinga gremebeg (-/-), nyeri
telinga (-/-), telinga berdenging (-/-), gangguan pendengaran (-/-).
± 3 minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan hidung
tersumbat yang semakin memberat (VAS 8/8). Sebelumnya pasien sudah
memeriksakan diri ke puskesmas dekat rumah pasien dan mendapatkan terapi
dari puskesmas namun keluhan tidak membaik, kemudian di rujuk ke RSUD
Blora dan diberikan obat untuk hidung tersumbatnya, pasien lupa nama
obatnya. Keluhan tidak membaik. Pasien kemudian diminta untuk melakukan
CT-Scan di RS Keluarga Sehat Pati, dikatakan pasien menderita pansinusitis
berat. Pasien kemudian di rujuk ke poli THT-KL RSDK untuk pemeriksaan
dan penatalaksanaan lebih lanjut.
Riwayat Penyakit Dahulu :
• Pasien pernah mengalami sakit seperti ini 9 tahun yang lalu
• Riwayat operasi (+) polipektomi nasal sinistra tahun 2010 di RS Blora
• Riwayat alergi makanan disangkal, minuman disangkal, obat disangkal
• Riwayat trauma pada wajah disangkal
• Riwayat asma disangkal
• Riwayat darah tinggi disangkal
• Riwayat kencing manis disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


- Riwayat anggota keluarga yang mengalami sakit serupa disangkal
- Riwayat alergi pada keluarga disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi :


Pasien merupakan seorang wiraswasta, pendidikan terakhir tamat SMTA,
tinggal bersama anak dan suami. Pembiayaan menggunakan BPJS.
Kesan Ekonomi: Cukup
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik pada tanggal 21 Maret 2019 pukul 10.35 WIB di Poli THT
Kariadi, Semarang.

A.1 Status Generalis


Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Aktivitas : Normoaktif
Kooperativitas : Kooperatif
Status gizi : Kesan normoweight
Tanda - tanda vital : TD : 120/80 mmHg BB : 52 kg
Suhu : 36,7°C TB : 150 cm
Nadi : 80 x/menit RR : 20 x/menit
VAS : 3
Kepala : Mesosefal
Kulit : Turgor cukup
Mata : Konjungtiva palpebra anemis (-/-), ikterik (-/-)
Thorax : tidak diperiksa
Abdomen : tidak diperiksa
Ekstremitas :
Superior Inferior
Oedem -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Capillary refill <2” / <2” <2” / <2”
Ulkus -/- -/-
Lain-lain :-

A.2 Status Lokalis (THT)


1. Telinga
Gambar:
Bagian Telinga Telinga Kanan Telinga Kiri
Hiperemis (-), nyeri Hiperemis (-), nyeri tekan
Mastoid tekan (-), nyeri ketok (-), (-), nyeri ketok (-),
fistel(-), abses (-) fistel(-), abses (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Pre–aurikula fistula (-), abses (-), nyeri fistula (-), abses (-), nyeri
tekan tragus (-) tekan tragus (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Retro–aurikula fistula (-), abses (-), nyeri fistula (-), abses (-), nyeri
tekan (-) tekan (-)
Aurikula Normotia, Normotia,
Hiperemis (-), Hiperemis (-),
edema (-), nyeri tarik (-) edema (-), nyeri tarik (-)
Serumen (-), edema (-), Serumen (-), edema (-),
CAE / MAE hiperemis (-), furunkel (-), hiperemis (-), furunkel (-),
discharge (-), granulasi (-) discharge (-), granulasi (-)
Warna putih mengkilat, Warna putih mengkilat,
Membran retraksi (-), perforasi (-), retraksi (-), perforasi (-),
timpani reflek cahaya (+) reflek cahaya (+)
anteroinferior, granulasi(-) anteroinferior, granulasi(-)

2. Hidung dan Sinus Paranasal:


Gambar:

Pemeriksaan Luar
Hidung Inspeksi : Bentuk (N), deformitas (-),warna kulit
sama dengan sekitar
Palpasi : os nasal : deformitas (-/-), krepitasi (-/-),
nyeri tekan (-/-), oedem (-/-)
Sinus Nyeri tekan dahi (+), nyeri tekan pipi (+), nyeri
ketok dahi (+), dan nyeri ketok pipi (-)
Rinoskopi Anterior Kanan Kiri
Discharge (+) mukopurulen (+) mukopurulen
Mukosa Hiperemis (-), livid (-) Hiperemis (-), livid (-)
Konka Inferior Sulit dinilai Sulit dinilai
Tumor Massa (+) keputihan Massa (+) keputihan pda
mengkilat memenuhi 2/3 konka media mengkilat
cavum nasi kanan, licin, memenuhi ½ cavum nasi
bening kiri, licin, bening
Septum nasi Deviasi (-/+)
Fenomena palatal Sulit dinilai Sulit dinilai
Diafanoskopi tidak dilakukan

3. Tenggorok:
Gambar:

Orofaring Post nasal drip (+)


Palatum Simetris, bombans (-), hiperemis (-), fistula (-),
stomatitis (-)
Arkus Faring Simetris, uvula di tengah, hiperemis (-)
Mukosa Hiperemis (-), granulasi (-), eksudat (-)
Ukuran T1, hiperemis (-), Ukuran T1, hiperemis (-),
edema (-), permukaan rata, edema (-), permukaan rata,
Tonsil kripte melebar (-), kripte melebar (-),
detritus (-), membran (-) detritus (-), membran (-)
Peritonsil Hiperemis (-), edema (-), abses (-)
Refleks (+)
muntah
Nasofaring (Rinoskopi Posterior) : tidak dilakukan pemeriksaan
Laringofaring (Laringoskopi Indirek) : tidak dilakukan pemeriksaan
Laring (Laringoskopi Indirek) : tidak dilakukan pemeriksaan

4. Kepala dan Leher:


Kepala : Mesosefal
Wajah : Perot (-), simetris, deformitas (-)
Leher anterior : Pembesaran nnll (-)
Leher lateral : Pembesaran nnll (-)
Lain-lain : Dalam batas normal

5. Gigi dan Mulut


Gigi geligi : Karies (-), gigi lubang (-)
Lidah : Simetris, deviasi (-), stomatitis (-)
Palatum : Simetris, bombans (-), hiperemis (-)
Pipi : Mukosa buccal: hiperemis(-), stomatitis (-)
Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-)
Lain-lain : Dalam batas normal
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. CT-Scan Sinus Paranasalis (dengan irisan axial dengan rekonstruksi
coronal) tanggal 4/3/2019
Kesan :
- Agenesis sinus frontalis kanan-kiri
- Massa di cavum nasi kanan – kiri, mengarah ke polip
- Pansinusitis berat
- Tak tampak conchae nasalis bullosa
- Hipertrofi conchae nasalis dupleks
- Kedalaman fossa olfactorius kanan-kiri >7 mm (Keros tipe 3)
- Ostio – meatal compleks kanan-kiri dan ostium sinus maksilaris
kanan-kiri obliterasi
- A. carotis interna kanan – kiri dilapisi tulang tebal dengan sinus
sphenoidalis
- Tak tampak penonjolan a. carotis ke dalam lumen sinus sphenoidalis
- Deviasi septum nasi ke kiri
- Tak tampak defleksi processus uncinatus
- Tak tampak destruksi tulang
- Tak tampak variasi anatomis SPN
- Ductus nasolacrimalis kanan-kiri terbuka
- Mastoid kanan-kiri: air cells baik, tak tampak lesi sklerotik dan
destruksi tulang
- Nasofaring kanan-kiri: torus tubarius dan fossa rossenmuller tampak
normal, tak tampak massa

V. RINGKASAN :
Seorang wanita umur 39 tahun. ± 3 tahun yang lalu pasien mulai
mengeluh hidung tersumbat dan keluar ingus terutama bila terpapar udara
debu dan asap. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada kepala (VAS 3) dan
kemeng didaerah dahi, hilang timbul dan semakin nyeri saat pasien sujud,
keluhan nyeri muncul bersamaan dengan memberatnya keluhan hidung
tersumbat. ± 3 minggu lalu keluhan semakin memberat, disertai keluar
lendir kental dari hidung. Post nasal drip (+) mukopurulen berwarna putih
kadang kuning kental dan berbau. Anosmia (+) dikedua sisi. Bersin (+)
bila menghirup debu dan asap, bersin hingga >4x/minggu dengan >4x/hari.
Keluhan hingga mengganggu tidur dan aktivitas sehari-hari pasien. Bicara
sengau (+).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum, tanda vital, dan
status generalis dalam batas normal. Pada pemeriksaan status lokalis hidung
discharge mukopurulen (+/+), massa pada cavum nasi (+/+), septum
deviasi (-/+). Pada pemeriksaan status lokalis tenggorok, didapatkan post
nasal drip (+). Pemeriksaan status lokalis telinga dalam batas normal.
Pada pemeriksaan penunjang CT Scan sinus paranasalis didapatkan
massa di cavum nasi kanan – kiri, mengarah ke polip, pansinusitis berat,
hipertrofi conchae nasalis dupleks, dan deviasi septum nasi ke kiri.

VI. DIAGNOSIS BANDING


- Rinosinusitis kronik
- Rhinitis alergika
- Rhinitis Vasomotor

VII. DIAGNOSIS SEMENTARA


- Rinosinusitis kronik (pansinusitis) dengan polip nasi
- Hipertrofi konka nasi inferior dextra et sinistra
- Septum deviasi
- Rhinitis alergika persisten sedang berat
VIII. RENCANAPENGELOLAAN :
IpDx : S: -
O:
- Nasoendoskopi
- Skin prick test
- kadar IgE serum
- kadar eosinophil serum
IpRx :
Resep

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KESEHATAN
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. KARIADI
Jl. Dr. Soetomo No. 16 Semarang
Telp (024) 8413476

Semarang, 21 Maret 2019

R/ Infus NaCl 0,9% 500 ml fl No.VII


S. u. c

R/ Spuit 50 cc No. I
S. u. c

R/ Fluticasone propionate nasal spray 50 mcg/puff fl No. I


S. 1 dd. Puff II. om

R/ Cetirizin tab 10 mg No. X


S. 1 dd. tab I. on

Pro : Ny. S
Usia : 39 tahun
BB : 52 kg
Alergi :-
Surat Rujukan

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KESEHATAN
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. KARIADI
Jl. Dr. Soetomo No. 16 Semarang
Telp (024) 8413476

Semarang, 21 Maret 2019


Yth. dr. Nur Iman Nugroho, Sp.THT-KL.

Dengan hormat,
Mohon pemeriksaan lebih lanjut pasien atas nama :
Nama : Ny S.
Usia : 39 th
Anamnesis : Keluhan utama: hidung tersumpat
Pemeriksaan : Tampak hipertrofi konka dextra et sinistra
Tampak massa di cavum nasi media dextra et
sinistra
Diagnosis : Rhinosinusitis kronik (pansinusitis) dengan
polip nasi
Terapi yang telah diberikan : Irigasi nasal
Fluticasone propionate
Cetirizine
Diagnosis : Rhinosinusitis kronik (pansinusitis) dengan
polip nasi
Mohon pemeriksaan dan penatalaksanaan lebih lanjut untuk pasien
tersebut.
Atas bantuannya kami ucapkan terima kasih.

Salam sejawat,

dr. Sabrina Aulia Zahra


SIP. 22010117220085

Medikamentosa
 Fluticasone propionate nasal spray 50 mcg/puff 1 kali sehari 2 puff
pagi hari
 Cetirizine 10 mg/24jam malam hari
Non-medikamentosa
 Irigasi nasal (cuci hidung) rutin dengan NaCl 0.9% 2 kali sehari.
 Pro: FESS + polipektomi + konkoplasti + submucosal rescection
Ip Mx :
 Mengawasi keadaan umum, tanda vital, evaluasi discharge berupa
warna, konsistensi, jumlah, bau, serta evaluasi keluhan nyeri pada
kepala, hidung, dan wajah.
 Mengevaluasi apakah pasien sudah mengaplikasikan cara cuci hidung
dengan benar dan teratur
Ip Ex :
 Menjelaskan pada pasien mengenai penyakit yang dialami pasien
yaitu rinosinusitis kronik beserta kemungkinan penyebabnya.
 Mengedukasi pasien untuk menghindari paparan alergen
 Mengedukasi pasien untuk melakukan memeriksaan lanjutan
 Mengedukasi pasien mengenai penatalaksanaan yang mungkin
dilakukan yaitu dengan operasi, menjelaskan tujuan tindakan,
prosedur tindakan operasi, risiko, dan komplikasi tindakan operasi.
 Mengedukasi pasien untuk senantiasa rutin menjaga kebersihan
hidung dengan melakukan cuci hidung secara rutin sebanyak 2 kali
sehari.
 Mengedukasi pasien untuk meminum obat teratur
 Mengedukasi pasien untuk senantiasa rutin menjaga kebersihan
hidung.
 Menjelaskan kepada pasien untuk istirahat yang cukup, tidak bekerja
terlalu keras sehingga membuat kebugaran menurun, dan senantiasa
mengonsumsi makanan sehat dan multivitamin.

IX. PROGNOSIS :
 Quo ad vitam : Ad bonam
 Quo ad sanam : Dubia ad bonam
 Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Rinosinusitis Kronik


Rhinosinusitis merupakan suatu kondisi peradangan yang melibatkan
hidung dan sinus paranasal. Rinosinusitis kronik didefinisikan sebagai suatu
inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama
dua belas minggu atau lebih dan/atau dalam 6 bulan terakhir kambuh lebih
dari 3 episode.1 Inflamasi pada mukosa disertai dua atau lebih gejala dimana
salah satunya adalah hidung buntu (nasal blockage / obstruction /
congestion) atau nasal discharge (anterior / posterior nasal drip, gejala
tersebut disertai dengan satu atau lebih gejala nyeri wajah,
gangguan/penurunan penciuman (pada dewasa), atau batuk (pada anak-
anak). Diagnosis rinositunitis dapat didukung oleh pemeriksaan endoskopi
dan CT-scan.1,2

Gambar 1. Sinus paranasalis

3.2. Etiologi Rinosinusitis Kronik


Etiologi rinosinusitis kronik bersifat multifaktorial dan belum
sepenuhnya diketahui. Ada tiga faktor yang mempengaruhi terjadinya
rinosinusitis kronik diantaranya faktor genetik/fisiologik, lingkungan dan
struktural dapat dilihat pada tabel berikut :2,5
Tabel 1. Faktor Etiologi Rinosinusitis Kronik
Faktor Faktor lingkungan Faktor anatomi/
genetik/fisiologik struktural
Disfungsi mukosiliar Alergi Septum deviasi
Hiperaktivitas saluran Merokok Konka bullosa
nafas Polutan/iritan Paradoxic middle
Immunodefisiensi Virus turbinate
Sensitivitas aspirin Bakteri Haller cells (ethmoidal
Kistik fibrosis Jamur infraorbital)
Penyakit autoimun Stress Prosesus uncinatus
Gangguan horizontal
granulomatosa Skar
Anomali kraniofasial
Benda asing
Penyakit gigi
Trauma mekanik

3.3. Patogenesis Rinosinusitis Kronik


Sel epitel pernapasan secara normal saling terhubung oleh adanya
tight junction untuk membentuk pelindung. Apabila terdapat patogen yang
terinhalasi maka akan diikat oleh mucus pada saluran pernapasan kemudian
dikeluarkan melalui mekanisme mucociliary clearance, dimana
menyebabkan pergerakan patogen ke arah orofaring, kemudian melalui
mekanisme batuk untuk dikeluarkan atau melalui mekanisme penelanan.
Mekanisme mukociliary clearance diatur oleh sekresi mucus, juga transpor
ion dan cairan, yang menentukan viskositas dari mukus. Transpor
mukosilier dapat terjadi karena pembentukan reactive oxygen species (ROS)
dan reacive nitrogen species (RNS), serta pembentukan peptida
antimikroba. Selama pajanan yang kronik terhadap patogen, sel epitel
mensekresi sitokin untuk mengaktifkan respon inflamasi dan menghasilkan
respon sel-sel imun.6
Pada RSK terjadi disregulasi lapisan barrier epitel sehingga
menyebabkan peningkatan pajanan kepada alergen-alergen misalnya
bakteri, jamur, dan virus hingga terjadi kolonisasi. Kasus RSK dengan nasal
polip, sel epitel dapat melepaskan berbagai macam mediator inflamasi,
paling sering thymic stromal lymphoietin (TSLP), yang dapat menginisiasi
pengaktifan respon imun tipe 2. Sel-sel yang berkontribusi pada kekebalan
tubuh alami termasuk Innate type-2 Lymphoid Cells (ILC2), sel mast, dan
eosinofil mengalami peningkatan pada kasus nasal polip. Sel-sel tersebut
dapat melepaskan sitokin tipe 2 yang dapat mengaktifkan respon inflamasi
akibat perlukaan jaringan. Kekebalan tubuh adaptif termasuk sel B dan sel
plasma juga meningkat pada nasal polip dan menyebabkan peningkatan
produksi antibodi oleh jaringan sinonasal.6

Gambar 2. Respon imun pada rinosinusitis kronik2,6


3.4. Klasifikasi Rhinosinusitis Kronik
Rhinosinusitis kronik dibedakan menjadi 2 berdasarkan hasil
pemeriksaan nasoendoscopi, yaitu:2
1. Rhinosinusistis kronik dengan nasal polip
2. Rhinosinusistis kronik tanpa nasal polip
Polip nasal secara mikroskopis merupakan struktur edema yang
berisi jaringan ikat yang lepas, kelenjar, dan sel inflamasi. Polip nasal
muncul sebagai lesi inflamasi yang berasal dari mukosa sinus ethmoid dan
mengarah ke komplek osteomeatal. Pasien rinosinusitis kronik dengan nasal
polip umumnya memiliki gejala sinonasal lebih berat dibandingkan dengan
rinosinusitis kronik tanpa polip nasal. Pada penelitian Banerji dkk
didapatkan bahwa gejala hidung tersumbat dan gangguan penciuman secara
bermakna berhubungan dengan pasien rinosinusitis kronik dengan polip
nasal, sedangkan gejala nyeri/rasa tertekan pada wajah lebih banyak pada
pasien dengan rinosinusitis kronik tanpa polip nasal.2

3.5. Diagnosis Rhinosinusitis Kronik


Berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyps (EPOS) 2012, rinosinusitis kronik dengan atau tanpa polip nasi pada
dewasa didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung dan sinus paranasalis
yang ditandai dengan dua atau lebih gejala dengan satu diantaranya berupa
hidung tersumbat atau adanya sekret pada hidung (anterior/post nasal drip)
yang disertai dengan nyeri wajah atau berkurang/hilangnya penciuman
selama ≥ 12 minggu.2
Diagnosis rinosinusitis kronik didapatkan dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik, serta dapat dipastikan dengan pemeriksaan penunjang
yang dilakukan pada pasien. Dari anamnesis didapatkan gejala utama
berupa ingus mukopurulen, ingus belakang hidung, hidung tersumbat, nyeri
wajah, dan hiposmia / anosmia. Serta gejala tambahan berupa nyeri kepala,
halitosis/bau mulut, nyeri pada daerah gusi atau gigi rahang atas, batuk,
nyeri telinga, dan kelelahan. Jika ada gejala disertai faktor risiko: curiga
rinitis alergi (gejala ingus encer, bersin, hidung gatal jika terpajan alergen),
dan curiga refluks laringofaringeal (gejala suara serak, mendehem, ingus
belakang hidung, kesukaran menelan, batuk setelah makan/berbaring, rasa
tercekik, rasa mengganjal di tenggorok, rasa panas di dada (skor reflux
sumptom index lebih dari 13). Keluhan dapat disertai gangguan kualitas
tidur yaitu sesuai Epworth sleepiness scale (skor lebih dari 4). Jika terdapat
keluhan bengkak di mata, penglihatan ganda, penurunan penglihatan, nyeri
dan bengkak di dahi yang berat, nyeri kepala berat, tanda
meningitis/gangguan neurologik dapat menjadi komplikasi ke orbita atau
intrakranial.1,7
Pemeriksaan fisik dilakukan rinoskopi anterior, rinoskopi posterior,
dan atau nasoendoskopi. Temuan dapat meliputi sekret mukopurulen dari
meatus medius, sekret mukopurulen dari meatus superior dan/atau edema
dan/atau hiperemis dan/atau polip di meatus medius, sekret purulen pada
nasofaring, septum deviasi/konka paradoks/defleksi prosesus uncinatus ke
lateral.1 Temuan berupa sekret purulen pada nasofaring apabila terdapat di
depan muara tuba eustachii, maka berasal dari sinus bagian anterior
(maksila, frontal, dan ethmoidalis anterior), sedangkan bila sekret mengalir
di belakang muara tuba eustachii, maka berasal dari sinus bagian posterior
(sphenoid dan ethmoidalis posterior). Pemeriksaan fisik juga meliputi
pemeriksaan rongga mulut, orofaring (dapat ditemukan mukosa hiperemis
dan granulasi), telinga (untuk melihat komplikasi yang mungkin muncul
pada telinga misalnya pada kasus oklusi tuba).2,8
Pemeriksaan penunjang meliputi transiluminasi; radiologis dengan
foto sinus paranasal (posisi water’s, caldwel, dan lateral), CT Scan, dan
MRI; dan laboratorium darah (C-reactive protein, kadar eosinophil, kadar
IgE, dan uji genetik. Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang terdapat
massa atau cairan, transmisi sinar tidak terjadi (suram atau gelap). Temuan
yang mungkin didapatkan pada pemeriksaan radiologis meliputi penebalan
mukosa, air fluid level, dan opasifikasi.8 Pemeriksaan CT Scan sinus
paranasal potongan koronal aksial soft tissue setting ketebalan 3 mm tanpa
kontras dilakukan jika pasien telah diberikan antibiotik selama 2 minggu
namun tidak terdapat perbaikan atau setelah pengobatan medikamentosa
maksimal 6-8 minggu jika terdapat faktor risiko rinitis alergi atau refluks
laringofaringeal. Dilakukan tes cukit kulit/ skin prick test dan pemeriksaan
eosinofil darah tepi untuk menentukan tipe inflamasi dan diagnosis faktor
risiko rinitis alergi. Dilakukan pemeriksaan rinofaringolaringoskopi serat
optik sebagai pemeriiksaan untuk skor temuan refluks (Reflukx Finding
Score/RFS) untuk menegakkan diagnosis faktor risiko refluks
laringofaringeal. Dilakukan pemeriksaan kultur bakteri dan tes resistensi
sekret hidung jika perlu. Pasien juga perlu dikonsultasikan ke bidang terkait
apabila terdapat komplikasi.1,7

3.6. Penatalaksanaan Rhinosinusitis Kronik


Penatalaksanaan rinosinusitis tergantung dari jenis, derajat, dan lama
penyakit yang diderita. Penatalaksanaan rhinosinusitis kronik, dibutuhkan
pengendalian/ kontrol faktor-faktor predisposisi mengingat banyaknya
faktor resiko dan potensial etiologi.1,2 Tujuan terapi pada rhinosinusitis
kronik adalah mengurangi edema mukosa, memperbaiki aliran sinus dan
mengeradikasi infeksi yang mungkin tejadi. Biasanya memerlukan
kombinasi topikal dan oral kortikosteroid, antibiotik, dan nasal irigasi NaCl
0,9%.2,9
Penatalaksanaan meliputi 2 hal yaitu medikamentosa dan
pembedahan. Medikamentosa meliputi:1
1. Dilakukan cuci hidung dengan larutan garam fisiologis (NaCl
0,9%). Pemberian irigasi nasal dengan Nacl 0,9% dapat membantu
mengurangi edema mukosa, mengurangi viskositas mukous,
meningkatkan kecepatan aliran mucosiliar,dan mengurangi jumlah
bakteri, bahan iritan dan alergen di dalam hidung.10
2. Steroid topikal intranasal. Kortikosteroid berfungsi untuk
mengurangi inflamasi, obstruksi aliran udara hidung dan drainase
sinus dan dapat membersihkan mukosiliar dari alergen, bahan
iritan, bakteri dan jamur. Kortikosteroid topikal pada rhinosinusitis
kronik lebih direkomendasikan dibandingkan kortikosteroid oral
karena efektif memperbaiki gejala yang dikeluhkan pasien dan
minimalnya efek samping yang ditimbulkan. Kortikosteroid oral
dapat digunakan apabila dalam beberapa kondisi seperti pasien
direncanakan untuk operasi, digunakan untuk masa perioperasi
guna mengurangi inflamasi ada saat operasi dan mempercepat
penyembuhan luka operasi, dan saat eksaserbrasi rhinosinusitis
kronik.9
3. Dekongestan, analgetik, mukolitik. Dekongestan digunakan
sebagai pereda sumbatan hidung, bekerja melalui reaksi
simpatomimetik menyebabkan vasokonstriksi dan kongesti
mukosa.
4. Terapi medikamentosa terhadap faktor risiko yaitu antihistamin
dan steroid topikal intranasal untuk rinitis alergi persisten sedang
dan proton pump inhibitor untuk refluks laringoesofageal.
Khususnya pada hasil tes alergi positif, pengggunaan antihistamin
dianjurkan. Pengurangan paparan antigen dengan menghindari dan
pemakaian irigasi nasal dapat memberikan perbaikan gejala secara
signifikan.9
5. Antibiotika, umumnya digunakan antibiotic empiris kecuali pada
pasien yang gagal merespon terapi sebelumnya. Antibiotik
diberikan jika terdapat 3 gejala dan tanda infeksi bakteri dari 5
kriteria sebagai berikut:
1. Ingus mukopurulen dominan satu sisi
2. Nyeri wajah dominan satu sisi
3. Demam >380C
4. Terdapat ‘double sickening’- gejala yang memberat sesudah
terjadi perbaikan
5. Untuk kasus dengan pemeriksaan CRP dan LED meningkat.
Antibiotik yang digunakan adalah antibiotic spectrum luas
meliputi Amoksisilin Klavulanat 3 x 625 mg, klindamisin 4 x 500
mg, kotrimoksasol 2 x 960 mg, golongan sefalosporin oral
generasi 2 dan 3, golongan fluoroquinolon meliputi levofloxacin/
ciprofloxacin, metronidazole, golongan macrolide yaitu
eritromisin 4 x 500 mg / klaritromisin 2 x 500 mg selama 10-14
hari/ azitromisin 1 x 500 mg selama 5 hari. Atau antibiotika sesuai
hasil kultur dan resistensi dan/atau dengan pemberian dosis sesuai
umur, berat badan serta penyakit penyerta.
Pembedahan dengan bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF atau
FESS); anthral lavage; Caldwell luc surgery.1 Antrostomi nasal dilakukan
atas indikasi infeksi kronik, infeksi rekuren, dan oklusi ostium sinus.
Anthral lavage ditujukan untuk mengangkat jaringan nekrotik yang berasal
dari rusaknya mucociliary blanket serta debris yang ada, selain itu dapat
membantu ventilasi dan oksigenasi sinus. Caldwell luc surgery dilakukan
dengan membuka dinding depan sinus maksilaris dan membuat nasoanthral
window melalui meatus medius.10 Menjelang operasi, selama 4 atau 5 hari
pasien diberi antibiotik dan kortikosteroid sistemik dan lokal. Hal ini
penting untuk mengeliminasi bakteri dan mengurangi inflamasi, karena
inflamasi akan menyebabkan edema dan perdarahan yang banyak, yang
akan mengganggu kelancaran operasi.2
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/Functional Endoscopic
Sinus Surgery/FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang
memerlukan operasi. BSEF meliputi intranasal antrotomy, frontal
sinusectomy, ethmoidectomy, sphenoidectomy. Tindakan ini telah
menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena
memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan
tidak radikal.10 Indikasinya meliputi : sinusitis akut rekuren atau kronis pada
semua sinus paranasalis, sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi
adekuat; rhinosinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel;
polip ekstensif, mukokel pada sinus paranasalis, mikosis, benda asing,
osteoma, fistula luquorserebrospinalis dan meningoensefalokel.10
Penatalaksanaan tetap diberikan selama 3 hari setelah operasi,
meliputi:
1. Pemberian antibiotik yaitu seftriakson 1 x 2 gram intravena selama
1-3 hari, dilanjutkan dengan antibiotik oral 7-14 hari
2. Parasetamol 3 x 500-1000 mg intravena atau tramadol 2 x 50-100
mg intravena atau ketorolac 3 x 10-30 mg intravena
3. Jika diperlukan ranitidine 2 x 150 mg intravena
4. Jika diperlukan metilprednisolon 3 x 125 mg intravena
5. Jika diperlukan pseudoefedrin HCl 2 x 30 mg oral
6. Jika diperlukan loratadin 1 x 10 mg oral
7. Jika diperlukan asam tranexamat 3 x 50 mg intravena

Gambar 3. Skema Penatalaksanaan Rhinosinusitis Kronik tanpa Polip


Hidung di Layanan Primer2
Gambar 4. Skema Manajemen Rhinosinusitis Kronis tanpa Polip Hidung di
spesialis THT2

Gambar 5. Skema Manajemen Rhinosinusitis Kronis dengan Polip Hidung


di spesialis THT2
Gambar 4. Skema Manajemen Rhinosinusitis Kronis tanpa Polip Hidung
pada anak-anak.2

3.7. Komplikasi
Komplikasi rhinosinusitis telah menurun secara nyata sejak
ditemukannya antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada
Rhinosinusitis akut atau pada rhinosinusitis kronis dengan eksaserbasi akut,
berupa komplikasi orbita atau intrakranial.2,3
a. Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan
dengan mata (orbita). Yang paling sering ialah rhinosinusitis ethmoid,
kemudian rhinosinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi
melalui thromboflebitis dan perikontinuitatum. Kelainan yang dapat
timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses
orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus.
b. Kelainan intra kranial, dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau
subdural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus.
Komplikasi juga dapat terjadi pada rhinosinusitis kronis, berupa:2
a. Kelainan tulang, meliputi osteomyelitis dan abses periostal
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya
ditemukan pada anak- anak. Pada osteomyelitis sinus maksila dapat
timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi.
b. Kelainan paru, seperti bronkitis kronis dan bronkiektasis. Adanya
kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut
sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma
bronkial yang sukar dihilangkan sebelum rhinosinusitisnya
disembuhkan.

3.8. Prognosis
Prognosis penderita rhinosinusitis umumnya baik. Prognosis untuk
penderita rhinosinusitis kronik bergantung pada penatalaksanaan yang
dilakukan, semakin dini maka akan mendapatkan hasil yang baik.1
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil anamnesis terhadap pasien, seorang wanita umur 39


tahun. ± 3 tahun yang lalu pasien mulai mengeluh hidung gersumbat dan keluar
ingus terutama bila terpapar udara debu dan asap. Pasien juga mengeluhkan nyeri
pada kepala (VAS 3) dan kemeng didaerah dahi, hilang timbul dan semakin nyeri
saat pasien sujud, keluhan nyeri muncul bersamaan dengan memberatnya keluhan
hidung tersumbat. ± 3 minggu lalu keluhan semakin memberat, disertai keluar
lendir kental dari hidung. Post nasal drip (+) mukopurulen berwarna putih kadang
kuning kental dan berbau. Anosmia (+) dikedua sisi. Bersin (+) >4x/minggu dan
4x/hari, mengganggu tidur dan mengganggu aktivitas. Bicara sengau (+). Hasil
anamnesis sesuai dengan pedoman diagnosis rinosinusitis kronik yaitu dengan
adanya gejala hidung tersumbat, discharge mukopurulen, post nasal drip, anosmia
dengan onset lebih dari 12 minggu.1,2
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum, tanda vital, dan status
generalis dalam batas normal. Pada pemeriksaan status lokalis hidung didapatkan
discharge mukopurulen (+/+), massa pada cavum nasi (+/+), septum deviasi (-/+),
nyeri tekan dahi (+), nyeri tekan pipi (+), nyeri ketok dahi (+). Pada pemeriksaan
status lokalis tenggorok, didapatkan post nasal drip (+). Pemeriksaan status lokalis
telinga dalam batas normal. Hasil pemeriksaan sesuai dengan pedoman diagnosis
rinosinusitis kronik dengan polip yaitu dengan adanya discharge mukopurulen,
septum deviasi, dan massa keputihan mengkilat pada cavum nasi.1,2
Pasien dianjurkan untuk rutin melakukan cuci hidung/irigasi nasal dengan
NaCl minimal 2 kali sehari untuk membersihkan mukus, patogen infektif, dan
mediator inflamasi serta meningkatkan frekuensi laju silia. Pasien juga dianjurkan
untuk menghindari paparan allergen. Pasien juga diberikan steroid topical
intranasal yaitu fluticasone propionate dengan tujuan mengurangi proses inflamasi
serta cetirizine untuk mengurangi reaksi alergi yang timbul pada pasien sehingga
dapat memperbaiki fungsi penghidu pasien. Pasien diprogramkan untuk dilakukan
pembedahan dengan FESS (Functional Endoscophic Sinus Surgery), polipektomi,
konkoplasti, dan submucosal rescection. Dilakukan tindakan pembedahan sesuai
dengan indikasi tindakan yaitu rinosinusitis kronik dengan polip. Pembedahan
dengan tujuan mengeradikasi penyakit, memperbaiki aliran udara, dan drainase
sinus. Pasien juga perlu kontrol untuk evaluasi persiapan operasi, serta menjaga
kebugaran tubuh dengan istirahat cukup dan konsumsi makanan sehat.
BAB V
PENUTUP

5.1.Kesimpulan
Rhinosinusitis merupakan penyakit inflamasi yang banyak ditemukan di
layanan primer. Rhinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup
ringan hingga berat serta dapat berpengaruh ke kondisi kesehatan bagian tubuh
yang lain, sehingga penting bagi dokter umum untuk memiliki pengetahuan yang
baik mengenai definisi, gejala, diagnosis, serta tatalaksana dari penyakit ini.
Rhinosinusitis kronis adalah kondisi inflamasi pada mukosa hidung dan
sinus paranasal yang persisten selama minimal 12 minggu dan ditandai dengan
adanya dua atau lebih gejala nasal/sinus, melibatkan salah satu dari obstruksi
nasal dan discharge nasal disertai nyeri pada wajah atau disfungsi olfaktori.
Pada pemeriksaan fisik dari RSK dapat ditemukan obstruksi/blockade nasal,
discharge nasal purulent/tak berwarna, dan post nasal drip. Untuk pemeriksaan
lebih lanjut dapat dilakukan pemeriksaan penunjang seperti: diafanoskopi,
nasoendoskopi, foto rontgen posisi Water, kultur sensitivitas dan CT scan kepala.
Telah dilaporkan seorang wanita usia 39 tahun dengan gejala rinosinuistis
dan rhinitis alergi persisten sedang berat dikonfirmasi dengan pemeriksaan fisik
dan didiagnosis rhinosinusitis kronis (pansinusitis) dengan polip nasi dan rhinitis
alergi.

5.2.Saran
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik yang membangun bagi makalah ini,
agar penulis dapat berbuat lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhati-KL. Panduan Praktik Klinis Prosedur Tindakan di Bidang Telinga


Hidung Tenggorok Kepala Leher. Vol. 1. Jakarta; 2015.
2. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J. European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps. 2012;50.
3. Itzhak Brook. Chronic Sinusitis. In: Medscape Reference. 2018.
4. Jr File. Sinusitis : Epidemiology. In: Sinusitis from Microbiology to
Management. I. New York; 2006.
5. Beule A. Epidemiology of chronic rhinosinusitis, selected risk factors,
comorbidities, and economic burden. GMS Curr Top Otorhinolaryngol
Head Neck Surg. 2015;14:1–31.
6. Whitney et al. Chronic Rhinosinusitis Pathogenesis. J Allergy Clin
Immunol. 2015;136(6):1442–53.
7. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI; 2007.
8. Ikatan Dokter Indonesia dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Panduan Praktik Klinik Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer. 2014. 415-422 p.
9. Thaler ER KD. Rhinosinusitis: a guide for diagnosis and management.
Philadelphia: Department of Otorhinolaryngology- Head and Neck Surgery
University of Penssylvania Philadelphia; 2008.
10. Byron J Bailey. Head & Neck Surgery - Otolaryngology. Byron J. Md.
Bailey, Karen H. Md. Calhoun, M. Eugene Jr Md. Tardy, Md. Jackler
Robert K, Jonas T. Md. Johnson, Harold C. Iii Md. Pillsbury, et al., editors.
Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 2001.

Anda mungkin juga menyukai