Anda di halaman 1dari 55

LAPORAN KASUS

Satu Kasus Sepsis et Causa Selulitis Pedis Dekstra Dengan Pneumonia Nosokomial
dan Stress Hiperglikemik Yang Disertai Sequele Stroke
Kata Pengantar

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas kekuatan,
kesempatan dan hidayah yang Dia berikan, maka saya dapat menyelesaikan laporan
kasus yang berjudul “Satu Kasus Sepsis et Causa Selulitis Pedis Dekstra Dengan
Pneumonia Nosokomial dan Stress Hiperglikemik Yang Disertai Sequele Stroke” ini
tepat pada waktunya.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi Tugas sebagai Salah Satu Syarat
Mengikuti Ujian Akhir Kepanitraan Klinik Madya Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit
Umum Daerah Jayapura.
Dalam tulisan ini, saya menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dan
ketidaklengkapan. Dan saya menyadari bahwa dalam penulisan Referat ini masih jauh
dari kata sempurna, karena saya masih dalam tahap belajar. Untuk itu saya mohon saran
dan masukannya. Dengan ditulisnya Laporan Kasus ini diharapkan dapat memberikan
manfaat kepada siapapun yang membacanya.
BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang masuk
ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan kerusakan
jaringan disebut penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi jejas sehingga timbulah
reaksi inflamasi. Inflamasi akut dapat terbatas pada tempat jejas saja atau dapat meluas
serta menyebabkan tanda dan gejala sistemik. Inflamasi akut merupakan respon
langsung yang dini terhadap terhadap agen penyebab jejas dan kejadian yang
berhubungan dengan inflamasi akut sebagian besar dimungkinkan oleh produksi dan
pelepasan berbagai macam mediator kimia. Meskipun jenis jaringan yang mengalami
inflamasi berbeda, mediator yang dilepaskan adalah sama. Manifestasi klinik yang
berupa inflamasi sistemik disebut sistemic inflammation respons syndrome (SIRS).
Sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa sepsis adalah SIRS dengan dugaan
infeksi.1
Selama lebih dari dua dekade terakhir infeksi kulit dan jaringan lunak menempati
7-10% pasien yang masuk rumah sakit di Amerika Utara. Suatu studi epidemiologi di
Clinical Center of University of Sarajevo selama 3 tahun didapatkan 123 pasien
menderita infeksi kulit dan jaringan lunak, dimana 71,55% diantaranya menderita
selulitis dan sisanya 28,45% dengan erisipelas. Selulitis adalah infeksi pada kulit yang
meliputi dermis dan jaringan subkutan dengan karakteristik klinis berupa gejala akut,
eritema, nyeri, edematosa, inflamasi supuratif pada kulit, jaringan lemak subkutan, atau
otot dan sering disertai gejala sistemik berupa malaise, demam, menggigil, dan nyeri
lokal. Ekstremitas bawah merupakan lokasi tersering terjadinya selulitis yaitu 71,56%
diikuti kepala dan leher (13,08%), ekstremitas atas (12,19%) dan badan (3,25%).2
Pada masa yang lalu pneumonia diklasifikasikan sebagai pneumonia tipikal yang
disebabkan oleh S. pneumonia dan atipikal yang disebabkan kuman atipik seperti halnya
M. pneumonia. Pada perkembangannya pengelolaan pneumonia telah dikelompokkan
pneumonia yang terjadi di rumah sakit (pneumonia nosocomial-PN) kepada kelompok
pneumonia yang berhubungan dengan pemakaian ventilator (ventilator associated
pneumonia-VAP) dan yang didapat di pusat perawatan kesehatan (PPK) (healthcare-
associated pneumonia-HCAP). Di samping kedua bentuk utama ini terdapat pula
pneumonia bentuk khusus yang masih sering dijumpai.3
Pneumonia nosokomial atau hospital acquired pneumonia (HAP) adalah
pneumonia yang didapat di rumah sakit menduduki peringkat ke-2 sebagai infeksi
nosokomial di Amerika Serikat, hal ini berhubungan dengan peningkatan angka
kesakitan, kematian dan biaya perawatan di rumah sakit. Pneumonia nosokomial terjadi
5-10 kasus per 1000 pasien yang masuk ke rumah sakit dan menjadi lebih tinggi 6-20x
pada pasien yang memakai alat bantu napas mekanis. Angka kematian pada pneumonia
nosokomial 20-50%. Angka kematian ini meningkat pada pneumonia yang disebabkan
P. aeruginosa atau yang mengalami bakteremia sekunder. Angka kematian pasien pada
pneumonia yang dirawat di istalansi perawatan intensif (IPI) meningkat 3-10x
dibandingkan dengan pasien tanpa pneumonia. Beberapa penelitian menyebutkan
bahwa lama perawatan meningkat 2-3x dibandingkan pasien tanpa pneumonia, hal ini
tentu akan meningkatkan biaya perawatan di rumah sakit. Di Amerika Serikat
dilaporkan bahwa lama perawatan bertambah rata-rata 7-9 hari.4
Angka kejadian pneumonia nosokomial di Jepang adalah 5 – 10 per 1000 kasus
yang dirawat. Lebih kurang 10% pasien yang dirawat di IPI akan berkembang menjadi
pneumonia dan angka kejadian pneumonia nosokomial pada pasien yang menggunakan
alat bantu napas meningkat sebesar 20 – 30%. Angka kejadian dan angka kematian pada
umumnya lebih tinggi di rumah sakit yang besar dibandingkan dengan rumah sakit yang
kecil.4
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Identitas
Nama : A.T
Tanggal Lahir :
Umur :
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat :
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : IRT
Suku :
Ruangan : Penyakit Dalam Wanita
Tanggal Masuk RS :
Tanggal Keluar RS :
Jaminan :
No. DM :

2.2. Anamnesa
Keluhan utama : Nyeri pada kaki kanan

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Armopa diantar oleh keluarga dengan
keluhan nyeri dan bengkak pada kaki kanan ± 4 hari sebelum masuk rumah
sakit, nyeri yang dirasakan berlangsung terus menerus, rasanya seperti ditusuk.
Keluhan disertai demam ± 1 hari yang lalu, demam hilang timbul. Pasien juga
mengeluhkan mual dan muntah sejak 1 hari yang lalu, muntah 2 kali dalam 1
hari, muntahan berisi sisa-sisa makanan bercampur air, muntah darah, nyeri ulu
hati, dan mencret disangkal. Pasien mengeluh sering sesak napas, batuk
disangkal, bicara pelo (-).
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat hipertensi (+) terkontrol
Riwayat stroke iskemik sejak Juli 2019
Riwayat kolesterol sejak tahun 2015
Riwayat asam urat sejak tahun 2019
Riwayat diabetes melitus disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat penyakit ginjal disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat alergi disangkal

Riwayat penyakit keluarga


Riwayat hipertensi (+)
Riwayat diabetes melitus disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat penyakit ginjal disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat alergi disangkal

Riwayat kebiasaan/pekerjaan
Sehari-hari pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga. Riwayat konsumsi
alkohol dan riwayat merokok disangkal.

Riwayat pengobatan
Simvastatin 1 x 20 mg (p.o)
Allupurinol 1 x 300 mg (p.o)
Clopidegrol 1 x 75 mg (p.o)
Natrium diclofenac 2 x 50 mg (p.o)
Amlodipin 1 x 10 mg (p.o)

2.3. Pemeriksaan fisik


1. Status Generalis
a. Tanda-Tanda Vital dan Keadaan Umum
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Tekanan darah : 110/70 mmHg
4. Nadi : 85 x/menit
5. Respirasi : 22 x/menit
6. Suhu : 36,3˚C
7. SpO2 : 95 % spontan

b. Kepala dan Leher


1. Kepala : Normocefali, simetris, tidak ada kelainan, warna
rambut hitam, kulit kepala normal, alopesia (-).
2. Muka : Simetris, parese nervus VII (-).
3. Mata : Exoftalmus (-/-), endoftalmus (-/-), konjungtiva
anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-),
pupil bulat isokor, diameter pupil Ø 2.5 mm ODS,
reflex cahaya (+/+), gerakan bola mata baik ke segala
arah.
4. Hidung : Deformitas (-), deviasi (-), krepitasi (-), secret (-/-),
darah (-/-), napas cuping hidung (-), nyeri tekan sinus
(-).
5. Telinga : Deformitas (-), sekret (-),nyeri tekan tragus (-), nyeri
tarik (-), tidak teraba benjolan/pembesaran KGB
lokal.
6. Mulut : Mukosa bibir kering, sianosis (-), stomatitis (-), caries
(+), oral candidiasis (- ).
7. Tenggorokan : Uvula ditengah, tonsil T1-T1 tenang, faring hiperemis
(-).
c. Thorax
1. Paru
Inspeksi : Pergerakan dada simetris, tidak terdapat kelainan pada
dinding dada, retraksi (-/-).
Palpasi : Ekspansi dada (+) dextra = sinistra
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru.
Auskultasi : Suara nafas vesikuler/vesikuler, wheezing (-/-), rhonki
(-/-).
2. Jantung
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi.
Palpasi : Thrill (-).
Perkusi : Pekak, batas jantung normal.
Auskultasi : BJ I dan BJ II reguler, murmur (-), gallop (-).

d. Abdomen
Inspeksi : Datar, jejas (-).
Auskultasi : Bising usus (+) normal 3-4 x/menit.
Palpasi : Distensi (-), nyeri tekan (-), hepar tidak teraba
membesar, lien tidak teraba membesar
Perkusi : Thimpani.

e. Ekstremitas
Inspeksi : Massa (-), jejas (-), ulkus (+)
Palpasi : Akral hangat, CRT < 2 detik, udem tungkai (+).

Gambar 1. Foto klinis selulitis pedis dextra


2.4. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Hematologi

Tanggal
Parameter Nilai Normal
22/01/2020
RBC (106/mm3) 4.26 3.69–5.46
Hb (g/dL) 11 11-14.7
HCT (%) 30.5 35.2-46.7
WBC (103/mm3) 24.65 3.37-8.38
Eosinofil (%) 0.0 0.6-5.4
Basofil (%) 0.2 0.3-1.4
Neutrofil (%) 92.8 39.8-70.5
Lymfosit (%) 3.4 23.1-49.9
Monosit (%) 3.6 4.3-10.0
Trombosit (103/mm3) 176 150-500
SGOT (U/L) 28.5 ≤40
SGPT (U/L) 21.9 ≤40
BUN (mg/dL) 15.8 7-18
Creatinin (mg/dL) 0.65 ≤0.95
GDS (mg/dL) 182 ≤ 140
Malaria Negatif Negatif

Tanggal
Parameter Nilai Normal
27/01/2020
RBC (106/mm3) 4.45 3.69–5.46
Hb (g/dL) 11.5 11-14.7
HCT (%) 31.1 35.2-46.7
WBC (103/mm3) 12.68 3.37-8.38
Eosinofil (%) 1.0 0.6-5.4
Basofil (%) 0.2 0.3-1.4
Neutrofil (%) 79.5 39.8-70.5
Lymfosit (%) 10.5 23.1-49.9
Monosit (%) 8.8 4.3-10.0
Trombosit (103/mm3) 240 150-500
GDS (mg/dL) 99 ≤ 140
HbA1C (%) 5.2 4.5-6.5

2. Pemeriksaan thorax
Cor : Besar prominent elongasi aorta
Pulmo : Tampak infiltrate perihiler dengan air brochogram (+)
Hilus menebal//kasar
Sinus phrenicocostalis kanan-kiri tajam
Kesan: Bronchopneumonia dengan HHD

3. Pemeriksaan USG tidak dilakukan.

2.5. Diagnosis
1. Diagnosis kerja
 Sepsis e.c selulitis pedis dekstra
 Pneumonia suspek hospital associated pneumonia late onset
 Stress hiperglikemik
 Sequele stroke e.c cerebrovascular disease stroke ischemic
2. Diagnosis banding: erisipelas, deep vein thrombosis, tuberkulosis paru,
diabetes mellitus.
2.6. Terapi
 IVFD NaCl 0,9% 500 cc 20 tpm/8 jam
 Drip ceftriaxone 2 x 2 gr dalam 100 cc NaCl 0.9%
 Drip neurobion 1 x 1 ampul
 Inj. levofloxacine 1 x 500 mg i.v
 Inj. omeprazole 1 x 40 mg i.v
 Inj. dexamethasone 1 x 5 mg i.v
 Amlodipin 1 x 10 mg p.o
 Atorvastatin 1 x 20 mg p.o
 Clopidogrel 1 x 75 mg p.o

2.7. Prognosis
Ad Vitam: Bonam
Ad Fungtionam: Dubia ad bonam
Ad Sanationam: Bonam

2.8. Follow up

Hari/Tanggal Follow UP
S :Pasien mengeluhkan nyeri dan bengkak pada kaki
24/01/2020 kanan (+), sesak (+), batuk (-), demam (-), mual
(-), muntah (-), BAB dan BAK baik, Makan dan
minum baik.
O : KU: Tampak sakit sedang
Kesadaran: Compos mentis
TD: 110/60 mmHg, N:84 x/m, R: 24 x/m, SB: 36,3 0 C,
SpO 2 : 97% spontan
K/L : CA (-/-), SI (-/-), OC (-), P>KGB (-)
Paru  I: Simetris, ikut gerak napas
P: Taktil fremitus D=S
P: Sonor
A: Suara napas vesikuler (+/+), rhonki (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung  I: Iktus cordis tidak tampak
P: Iktus cordis teraba
P: Batas jantung dalam batas normal
A: Bunyi Jantung I-II reguler,murmur (-),
gallop (-)
Abdomen  I: Datar, jejas (-)
A: Bising usus (+) normal
P: Supel, nyeri tekan abdomen (-),
shifting dullnes (-), hepar: tidak teraba
besar, lien: tidak teraba besar
P: Timpani
Ekstremitas  akral hangat, edema tungkai (+), CRT
<2”
A: Sepsis e.c selulitis pedis dekstra
Pneumonia suspect human associated pneumonia late
onset
Sequele stroke e.c cerebrovascular disease
P:
- IVFD NaCl 0,9% 500 cc 20 tpm/8 jam
- Drip ceftriaxone 2 x 2 gr dalam NaCl 0.9% 100 cc
- Drip neurobion 1 x 1 amp
- Inj. levofloxacine 1 x 500 mg i.v
- Inj. omeprazole 1 x 40 mg i.v
- Inj. dexamethasone 1 x1 amp. i.v
- Amlodipine 1 x 10 mg p.o
- Atorvastatin 1 x 20 mg p.o
- Clopidogrel 1 x 75 mg p.o
25/01/2020 S :Pasien mengeluhkan nyeri dan bengkak pada kaki
kanan (+), sesak (-), batuk (-), demam (-), mual
(-), muntah (-), BAB dan BAK baik, Makan dan
minum baik.
O : KU: Tampak sakit sedang
Kesadaran: Compos mentis
TD: 120/70 mmHg, N: 75 x/m, R: 20 x/m, SB: 36,3 0 C,
SpO 2 : 99% spontan
K/L : CA (-/-), SI (-/-), OC (-), P>KGB (-)
Paru  I: Simetris, ikut gerak napas
P: Taktil fremitus D=S
P: Sonor
A: Suara napas vesikuler (+/+), rhonki (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung  I: Iktus cordis tidak tampak
P: Iktus cordis teraba
P: Batas jantung dalam batas normal
A: Bunyi Jantung I-II reguler,murmur (-),
gallop (-)
Abdomen  I: Datar, jejas (-)
A: Bising usus (+) normal
P: Supel, nyeri tekan abdomen (-),
shifting dullnes (-), hepar: tidak teraba
besar, lien: tidak teraba besar
P: Timpani
Ekstremitas  akral hangat, edema tungkai (+), CRT
<2”
A: Sepsis e.c selulitis pedis dekstra
Hipertensi
Pneumonia suspect human associated pneumonia late
onset
Sequele stroke e.c cerebrovascular disease
P:
- IVFD NaCl 0,9% 500 cc 20 tpm/8 jam
- Drip ceftriaxone 2 x 2 gr dalam NaCl 0.9% 100 cc
- Drip neurobion 1 x 1 amp
- Inj. levofloxacine 1 x 500 mg i.v
- Inj. omeprazole 1 x 40 mg i.v
- Inj. dexamethasone 1 x1 amp. i.v
- Amlodipine 1 x 10 mg p.o
- Atorvastatin 1 x 20 mg p.o
- Clopidogrel 1 x 75 mg p.o
27/01/2020 S :Pasien mengeluhkan nyeri dan bengkak pada kaki
kanan (+), sesak (-), batuk berdahak (+), demam
(-), mual (-), muntah (-), BAB dan BAK baik,
Makan dan minum baik.
O : KU: Tampak sakit sedang
Kesadaran: Compos mentis
TD: 150/80 mmHg, N: 92 x/m, R: 19 x/m, SB: 36,4 0 C,
SpO 2 : 96% spontan
K/L : CA (-/-), SI (-/-), OC (-), P>KGB (-)
Paru  I: Simetris, ikut gerak napas
P: Taktil fremitus D=S
P: Sonor
A: Suara napas vesikuler (+/+), rhonki (+/+)
di apex dan medial paru, wheezing (-/-)
Jantung  I: Iktus cordis tidak tampak
P: Iktus cordis teraba
P: Batas jantung dalam batas normal
A: Bunyi Jantung I-II reguler,murmur (-),
gallop (-)
Abdomen  I: Datar, jejas (-)
A: Bising usus (+) normal
P: Supel, nyeri tekan abdomen (-),
shifting dullnes (-), hepar: tidak teraba
besar, lien: tidak teraba besar
P: Timpani
Ekstremitas  akral hangat, edema tungkai (+), CRT
<2”
A: Sepsis e.c selulitis pedis dekstra dd DVT
Hipertensi
Pneumonia suspect human associated pneumonia late
onset
Sequele stroke e.c cerebrovascular disease
P:
- IVFD NaCl 0,9% 500 cc 20 tpm/8 jam
- Drip ceftriaxone 2 x 2 gr dalam NaCl 0.9% 100 cc
- Drip neurobion 1 x 1 amp
- Inj. levofloxacine 1 x 500 mg i.v
- Inj. omeprazole 1 x 40 mg i.v
- Inj. dexamethasone 1 x1 amp. i.v
- Amlodipine 1 x 10 mg p.o
- Atorvastatin 1 x 20 mg p.o
- Clopidogrel 1 x 75 mg p.o
- Pro USG Doppler tungkai kanan bawah
- Cek DL, GDS, HbA1C
28/01/2020 S :Pasien mengeluhkan nyeri dan bengkak pada kaki
kanan (+), nyeri perut (+), pusing (+), sesak (-),
batuk berdahak (+), demam (-), mual (-), muntah
(-), BAB dan BAK baik, Makan dan minum baik.
O : KU: Tampak sakit sedang
Kesadaran: Compos mentis
TD: 160/80 mmHg, N: 87 x/m, R: 22 x/m, SB: 37,1 0 C,
SpO 2 : 95% spontan
K/L : CA (-/-), SI (-/-), OC (-), P>KGB (-)
Paru  I: Simetris, ikut gerak napas
P: Taktil fremitus D=S
P: Sonor
A: Suara napas vesikuler (+/+), rhonki (+/+)
di medial paru, wheezing (-/-)
Jantung  I: Iktus cordis tidak tampak
P: Iktus cordis teraba
P: Batas jantung dalam batas normal
A: Bunyi Jantung I-II reguler,murmur (-),
gallop (-)
Abdomen  I: Datar, jejas (-)
A: Bising usus (+) normal
P: Supel, nyeri tekan abdomen (+),
shifting dullnes (-), hepar: tidak teraba
besar, lien: tidak teraba besar
P: Timpani
Ekstremitas  akral hangat, edema tungkai (+), CRT
<2”
A: Selulitis pedis dekstra suspect DVT
TGT dd DM type 2 dd hiperglikemia reaktif
Sequele stroke e.c cerebrovascular disease
P:
- IVFD NaCl 0,9% 500 cc 20 tpm/8 jam
- Drip ceftriaxone 2 x 2 gr dalam NaCl 0.9% 100 cc
- Drip neurobion 1 x 1 amp
- Inj. levofloxacine 1 x 500 mg i.v
- Inj. omeprazole 1 x 40 mg i.v
- Inj. dexamethasone 1 x1 amp. i.v
- Amlodipine 1 x 10 mg p.o
- Atorvastatin 1 x 20 mg p.o
- Clopidogrel 1 x 75 mg p.o
- Valsartan 1 x 80 mg p.o
29/01/2020 S :Pasien mengeluhkan nyeri dan bengkak pada kaki
kanan (+), batuk berdahak (+), sesak (+), demam
(-), mual (-), muntah (-), BAB dan BAK baik,
Makan dan minum baik.
O : KU: Tampak sakit sedang
Kesadaran: Compos mentis
TD: 140/70 mmHg, N: 74 x/m, R: 20 x/m, SB: 36,6 0 C,
SpO 2 : 96% O 2 nasal 3 lpm
K/L : CA (-/-), SI (-/-), OC (-), P>KGB (-)
Paru  I: Simetris, ikut gerak napas
P: Taktil fremitus D=S
P: Sonor
A: Suara napas vesikuler (+/+), rhonki (+/+)
di apex dan medial paru, wheezing (-/-)
Jantung  I: Iktus cordis tidak tampak
P: Iktus cordis teraba
P: Batas jantung dalam batas normal
A: Bunyi Jantung I-II reguler,murmur (-),
gallop (-)
Abdomen  I: Datar, jejas (-)
A: Bising usus (+) normal
P: Supel, nyeri tekan abdomen (-),
shifting dullnes (-), hepar: tidak teraba
besar, lien: tidak teraba besar
P: Timpani
Ekstremitas  akral hangat, edema tungkai (+), CRT
<2”
A: Selulitis pedis dekstra suspect DVT
Pneumonia suspect human associated pneumonia late
onset
Sequele stroke e.c cerebrovascular disease
P:
- IVFD NaCl 0,9% 500 cc 20 tpm/8 jam
- Drip ceftriaxone 2 x 2 gr dalam NaCl 0.9% 100 cc
- Drip neurobion 1 x 1 amp
- Inj. levofloxacine 1 x 500 mg i.v
- Inj. omeprazole 1 x 40 mg i.v
- Amlodipine 1 x 10 mg p.o
- Atorvastatin 1 x 20 mg p.o
- Clopidogrel 1 x 75 mg p.o
- Valsartan 1 x 80 mg p.o
- Vestein 3 x 300 mg p.o
- Inhalasi combivent/12 jam
- Pro foto thorax PA
30/01/2020 S :Pasien mengeluhkan nyeri dan bengkak pada kaki
kanan (+), batuk berdahak (+), sesak (+), demam
(-), mual (-), muntah (-), BAB dan BAK baik,
Makan dan minum baik.
O : KU: Tampak sakit sedang
Kesadaran: Compos mentis
TD: 120/60 mmHg, N: 82 x/m, R: 24 x/m, SB: 36,7 0 C,
SpO 2 : 96% spontan O 2 nasal 3 lpm
K/L : CA (-/-), SI (-/-), OC (-), P>KGB (-)
Paru  I: Simetris, ikut gerak napas
P: Taktil fremitus D=S
P: Sonor
A: Suara napas vesikuler (+/+), rhonki (+/+)
di apex dan medial paru, wheezing (-/-)
Jantung  I: Iktus cordis tidak tampak
P: Iktus cordis teraba
P: Batas jantung dalam batas normal
A: Bunyi Jantung I-II reguler,murmur(-),
gallop (-)
Abdomen  I: Datar, jejas (-)
A: Bising usus (+) normal
P: Supel, nyeri tekan abdomen (-),
shifting dullnes (-), hepar: tidak teraba
besar, lien: tidak teraba besar
P: Timpani
Ekstremitas  akral hangat, edema tungkai (+), CRT
<2”
A: Selulitis pedis dekstra suspect DVT
Pneumonia suspect human associated pneumonia late
onset
Sequele stroke e.c cerebrovascular disease
P:
- IVFD NaCl 0,9% 500 cc 20 tpm/8 jam
- Drip ceftriaxone 2 x 2 gr dalam NaCl 0.9% 100 cc
- Drip neurobion 1 x 1 amp
- Inj. levofloxacine 1 x 500 mg i.v
- Inj. omeprazole 1 x 40 mg i.v
- Inj. dexamethasone 1 x1 amp. i.v
- Amlodipine 1 x 10 mg p.o
- Atorvastatin 1 x 20 mg p.o
- Clopidogrel 1 x 75 mg p.o
- Valsartan 1 x 80 mg p.o
- Vestein 3 x 300 mg p.o
- Inhalasi combivent/12 jam
- Pro USG Doppler tungkai kanan bawah
31/01/2020 S :Pasien mengeluhkan nyeri dan bengkak pada kaki
kanan (+), batuk berdahak (+), sesak (+), demam
(-), mual (-), muntah (-), BAB dan BAK baik,
Makan dan minum baik.
O : KU: Tampak sakit sedang
Kesadaran: Compos mentis
TD: 120/60 mmHg, N: 82 x/m, R: 19 x/m, SB: 36,3 0 C,
SpO 2 : 98% O 2 nasal 3 lpm
K/L : CA (-/-), SI (-/-), OC (-), P>KGB (-)
Paru  I: Simetris, ikut gerak napas
P: Taktil fremitus D=S
P: Sonor
A: Suara napas vesikuler (+/+), rhonki (+/+)
di apex dan medial paru, wheezing (-/-)
Jantung  I: Iktus cordis tidak tampak
P: Iktus cordis teraba
P: Batas jantung dalam batas normal
A: Bunyi Jantung I-II reguler,murmur (-),
gallop (-)
Abdomen  I: Datar, jejas (-)
A: Bising usus (+) normal
P: Supel, nyeri tekan abdomen (-),
shifting dullnes (-), hepar: tidak teraba
besar, lien: tidak teraba besar
P: Timpani
Ekstremitas  akral hangat, edema tungkai (+), CRT
<2”
A: Selulitis pedis dekstra suspect DVT
Pneumonia suspect human associated pneumonia late
onset
Sequele stroke e.c cerebrovascular disease
P:
- IVFD NaCl 0,9% 500 cc 20 tpm/8 jam
- Drip ceftriaxone 2 x 2 gr dalam NaCl 0.9% 100 cc
- Drip neurobion 1 x 1 amp
- Inj. levofloxacine 1 x 500 mg i.v
- Inj. omeprazole 1 x 40 mg i.v
- Amlodipine 1 x 10 mg p.o
- Atorvastatin 1 x 20 mg p.o
- Clopidogrel 1 x 75 mg p.o
- Valsartan 1 x 80 mg p.o
- Vestein 3 x 300 mg p.o
- Inhalasi combivent/12 jam
- Pro USG Doppler tungkai kanan baawah
01/02/2020 S :Pasien mengeluhkan nyeri dan bengkak pada kaki
kanan (+), batuk berdahak (+), sesak (-), demam
(-), mual (-), muntah (-), BAB dan BAK baik,
Makan dan minum baik.
O : KU: Tampak sakit sedang
Kesadaran: Compos mentis
TD: 130/70 mmHg, N: 78 x/m, R: 23 x/m, SB: 36,8 0 C,
SpO 2 : 96% spontan
K/L : CA (-/-), SI (-/-), OC (-), P>KGB (-)
Paru  I: Simetris, ikut gerak napas
P: Taktil fremitus D=S
P: Sonor
A: Suara napas vesikuler (+/+), rhonki (+/+)
di apex dan medial paru, wheezing (-/-)
Jantung  I: Iktus cordis tidak tampak
P: Iktus cordis teraba
P: Batas jantung dalam batas normal
A: Bunyi Jantung I-II reguler,murmur (-),
gallop (-)
Abdomen  I: Datar, jejas (-)
A: Bising usus (+) normal
P: Supel, nyeri tekan abdomen (-),
shifting dullnes (-), hepar: tidak teraba
besar, lien: tidak teraba besar
P: Timpani
Ekstremitas  akral hangat, edema tungkai (+), CRT
<2”
A: Sepsis e.c selulitis pedis dekstra suspect DVT
Pneumonia suspect human associated pneumonia late
onset
Sequele stroke e.c cerebrovascular disease
P:
- Co amoxiclave 3 x 625 mg p.o
- Lanzoprasole 1 x 30 mg p.o
- Atorvastatin 1 x 20 mg p.o
- Clopidogrel 1 x 75 mg p.o
- Valsartan 1 x 80 mg p.o
- Vestein 3 x 300 mg p.o
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Sepsis
a. Definisi
Systemic inflammatory response syndrome (SIRS) adalah pasien yang
memiliki dua atau lebih kriteria sebagai berikut:1
1. Suhu >38°C atau < 36°C.
2. Denyut jantung > 90 denyut/menit.
3. Respirasi > 20/menit atau Pa CO2 < 32 mmHg.
4. Hitung leukosit > 12.000/mm³ atau > 10% sel imatur (band).
Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui (ditentukan
dengan biakan positip terhadap organisme dari tempat tersebut). Biakan darah
tidak harus positif. Meskipun SIRS, sepsis dan syok septik biasanya
berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus terdapat bakteriemia.
Bakteriemia adalah keberadaan bakteri hidup dalam komponen cairan darah.
Bakteriemia bersifat sepintas, seperti biasanya dijumpai setelah jejas pada
permukaan mukosa, primer (tanpa fokus infeksi teridentifikasi) atau seringkali
sekunder terhadap fokus infeksi intravaskuler atau ekstravaskular.1
Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ,
kelainan hipoperfusi, atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi (tetapi tidak
terbatas) pada:1
1. Asidosis laktat
2. Oliguria
3. Atau perubahan akut pada status mental.
Berdasarkan konferensi international pada tahun 2001, terdapat tambahan
terhadap kriteria sebelumnya. Dimana pada koferensi tahun 2001
menambahkan beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis. Bagian yang
terpenting adalah dengan memasukkan penanda biomolekular yaitu
procalcitonin (PCT) dan C-reactive protein (CRP) sebagai langkah awal dalam
diagnosa sepsis. Rekomendasi yang utama adalah implementasi dari suatu
sistem tingkatan Predisposition, insult Infection, Response, and Organ
disfunction (PIRO) untuk menentukan pengobatan secara maksimum
berdasarkan karakteristik pasien dengan statifikasi gejala dan risiko yang
individual.1
Pada kasus ditemukan tanda-tanda SIRS pada pasien berupa
frekuensi pernapasan 22 kali/menit dan hitungan jumlah leukosit
24.650/mm3. Meskipun tidak dilakukan uji biakan darah, tetapi tempat
infeksi diduga berasal dari selulitis pada tungkai kanan bawah.
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram negatif dengan
presentase 60 sampai 70% kasus yang menghasilkan berbagai produk yang
dapat menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan terpacu untuk melepaskan
mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah
lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan
komponen utama membrane terluar dari bakteri gram negatif. LPS merangsang
peradangan jaringan, demam dan syok pada penderita yang terinfeksi. Struktur
lipid A dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam tubuh penderita.
Staphylococci, Pneumococci, Streptococci dan bakteri gram positip lainnya
jarang menyebabkan sepsis, dengan angka kejadian 20 sampai 40% dari
keseluruhan kasus. Selain itu jamur opurtunistik, virus (Dengue dan Herpes)
atau protozoa (Falciparum malariae) dilaporkan dapat menyebabkan sepsis,
walaupun jarang.1
Peptidoglikan merupakan komponen dinding sel dari semua kuman,
pemberian infuse substansi ini pada binatang akan memberikan gejala mirip
pemberian endotoksin. Peptidoglikan diketahui dapat menyebabkan agregasi
trombosit.1
Eksotosin yang dihasilkan oleh berbagai macam kuman, misalnya a-
hemolisin (S.Aureus), E.Coli haemolisin (E.Coli) dapat merusak integritas
membrane sel imun secara langsung.1
Dari semua faktor diatas, faktor yang paling penting adalah LPS
endotoksin gram negatif dan dinyatakan mengaktifkan sistem imun selular dan
humoral, yang dapat menimbulkan perkembangan gejala septicemia. LPS
sendiri tidak mempunyai sifat toksik, tetapi merangsang pengeluaran mediator
inflamasi yang bertanggung jawab terhadap sepsis. Makrofag mengeluarkan
polipeptida, yang disebut faktor nekrosis tumor (tumor necrosis factor/TNF)
dan interleukin 1 (IL-1), IL-6 dan IL-8 yang merupakan mediator kunci dan
sering meningkat sangat tinggi pada penderita immunocompromise (IC) yang
mengalami sepsis.1
b. Patogenesis
Sebagian besar penderita sepsis menunjukkan fokus infeksi jaringan
sebagai sumber bakteriemia, hal ini disebut sebagai bakteriemia sekunder.
Sepsis gram negatif merupakan komensal normal dalam saluran
gastrointestinal, yang kemudian menyebar ke struktur yang berdekatan, seperti
pada peritonitis setelah perforasi ke urethra atau kandung kemih. Selain itu
sepsis gram negatif fokus primernya dapat berasal dari saluran
genitourinarium, saluran empedu dan saluran gastrointestinum. Sepsis gram
positif biasanya timbul dari infeksi kulit, saluran respirasi dan juga berasal dari
luka terbuka, misalnya pada luka bakar.1
Pada kasus pasien ditemukan sepsis gram positif karena tempat
infeksi kemungkinan berasal dari infeksi kulit pada kaki kanan.
Inflamasi sebagai tanggapan imunitas tubuh terhadap berbagai macam
stimulasi imunogen dari luar. Inflamasi sesungguhnya merupakan upaya tubuh
untuk menghilangkan dan eradikasi orgasnisme penyebab. Berbagai jenis sel
akan teraktivasi dan memproduksi berbagai jenis mediator inflamasi termasuk
berbagai sitokin. Mediator inflamasi sangat komplek karena melibatkan banyak
sel dan mediator yang dapat mempengaruhi satu sama lain.1
Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis.
Masih banyak faktor lain (non sitokin) yang sangat berperan dalam
menentukan perjalanan suatu penyakit. Respon tubuh terhadap suatu patogen
melibatkan bermacam-macam komponen sistem imun dan berbagai macam
sitokin baik itu yang bersifat proinflamasi dan antiinflamasi. Termasuk sitokin
baik itu yang bersifat proinflamasi adalah TNF, IL-1, Interferon (IFN-γ) yang
bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang
menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin 1 reseptor
antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi
atau represi terhadap respon yang berlebihan. Apabila keseimbangan kerja
antara pro-inflamasi dan anti-inflamasi mediator ini tidak tercapai dengan
sempurna maka dapat memberikan kerugian bagi tubuh.1
Penyebab sepsis dan syok septik yang paling banyak berasal dari
stimulasi toksin, baik dari endotoksin gram (-) maupun eksotosin gram (+).
Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama dengan
antibody dalam serum darah penderita membentuk LPSab (Lipo Poli Sakarida
Antibodi). LPSab yang berada dalam darah penderita akan bereaksi dengan
makrofag melalui TLRs4 (Toll Like Receptors 4) sebagai reseptor
transmembran dengan perantaraan reseptor CD 14+ dan makrofag
mengekspresikan imunoo modulator, hal ini hanya dapat terjadi pada bakteri
gram negatif yang mempunyai LPS dalam dindingnya.1
Pada bakteri gram positif eksotosin dapat merangsang langsung terhadap
makrofag dengan melalui TLRs2 (Toll Like Receptors 2) tetapi ada juga
eksotosin sebagai superantigen. Padahal sepsis dapat terjadi pada rangsangan
endotoksin, eksotosin, virus dan parasit, maka mekanisme tersebut diatas masih
kurang lengkap dan tidak dapat menerangkan pathogenesis sepsis dalam arti
keseluruhan, oleh karena konsep tersebut tidak melibatkan peran limfosit T
dalam keeadaan sepsis dan kejadian syok septic.1
Di Indonesia dan negara berkembang sepsis tidak hanya disebakan oleh
gram negatif saja, tetapi juga disebabkan oleh gram positif yang mengeluarkan
eksotosin. Eksotosin, virus, dan parasit yang dapat berperan sebagai
superantigen setelah di fagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan
sebagai Antigen Processing Cell dan kemudian ditampilkan dalam Antigen
Presenting Cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik
yang berasal dari Major Histocompatibility Complex (MHC). Antigen yang
bermuatan peptida MCH kelas II akan berkaitan dengan CD4+ (limfosit Th1
dan Th2) dengan perantaraan TCR (T Cell Receptor).1
Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limfosit T akan
mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai imuno modulator
yaitu : IFN-γ, IL-2 dan M-CSF (Macrophage colony stimulating factor).
Limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. IFN-γ
merangsang makrofag mengeluarkan IL-1b dan TNF-α. IFN-γ, IL-1β dan TNF-
α serum penderita. Pada beberapa kajian biasanya selama terjadi sepsis tingkat
IL-1β dan TNF-α berkolerasi dengan keparahan penyakit dalam kematian,
tetapi ternyata sitokin IL-2 dan TNF-α selain merupakan reaksi terhadap sepsis
dapat pula merusakkan endotel pembuluh darah yang mekanismenya sampai
dengan saat ini belum jelas. IL-1β sebagai imuno regulator utama juga
mempunyai efek pada sel endothelial termasuk di dalamnya pembentukan
prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresi intercellular adhesion
molecule-1 (ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang
telah tersensitasi oleh granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-
CSF) akan mudah mengadakan adhesi. Interaksi endotel dengan neutrofil
terdiri dari tiga langkah, yaitu:1

1. Bergulirnya neutrofil, P dan E-selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan


L-selektin neutrofil dalam mengikat ligan respektif.
2. Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil yang
mengikat intergretin CD-11 atau CD-18, yang melekatkan neutrofil pada
endotel dengan molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel.
3. Transmigrasi neutofil menembus dinding endotel.
Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisosim
yang akan menyebabkan dinding endotel lisis, akibatnya endotel terbuka.
Neutrofil juga membawa superoksidan yang termasuk dalam radikal bebas
yang akan mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs.
Akibat dari proses tersebut endotel menjadi nekrosis, sehingga terjadi
kerusakan endotel pembuluh darah. Ternyata kerusakan endotel pembuluh
darah tersebut akan menyebabkan terjadinya gangguan pembuluh vaskuler
(Vascular leak) sehingga menyebabkan kerusakan organ multiple sesuai
pendapat Bone bahwa kelainan organ multipel tidak disebabkan oleh infeksi
tetapi akibat inflamasi yang sistemik dengan sitokin sebagai mediator.
Pendapat tersebut diperkuat oleh Cohen bahwa kelainan organ multipel
disebabkan karena thrombosis dan koagulasi dalam pembuluh darah kecil
sehingga terjadi syok septic yang berakhir dengan kematian.1
Syok septik merupakan diagnosis klinik sesuai dengan sindroma sepsis
disertai dengan hipotensi (tekanan darah turun <90 mmHg) atau terjadi
penurunan tekanan darah sistolik >40 mmHg dari tekanan darah sebelumnya.
Organ yang paling penting adalah hati, paru dan ginjal, angka kematian sangat
tinggi bila terjadi kerusakan lebih dari tiga organ tersebut. Dalam suatu
penelitian disebutkan angka kematian syok septik adalah 72% dan 50%
penderita meninggal bila terjadi syok lebih dari 72 jam, 30% - 80% penderita
dengan syok sepstik menderita ARDS.1
Menurut Dale DC, bahwa pada penderita diabetes mellitus, sirosis hati,
gagal ginjal kronik dan usia lanjut yang merupakan kelompok IC lebih mudah
menderita sepsis. Pada penderita IC bila mengalami sepsis sering terjadi
komplikasi yang berat yaitu syok septic dan berakhir dengan kematian. Untuk
mencegah terjadinya sepsis yang berkelanjutan, Th-2 mengekspresikan IL-10
sebagai sitokin anti inflamasi yang akan menghambat ekspresi IFN-γ, TNF-α
dan fungsi APC. IL-10 juga memperbaiki jaringan yang rusak akibat
peradangan. Apabila IL-10 meningkat lebih tinggi, kemungkinan kejadian syok
septik pada sepsis dapat dicegah.1
c. Gejala Klinik

Gejala klinik sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului oleh


tanda-tanda sepsis non spesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala
konstitutif seperti lelah, malaise, gelisah atau kebingungan. Gejala tesebut tidak
khusus untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak macam kondisi inflamasi
non-infeksius. Tempat infeksi yang paling sering: paru, traktus digestifus,
traktus urinaris, kulit, jaringan lunak dan saraf pusat. Sumber infeksi
merupakan diterminan penting untuk terjadinya berat dan tidaknya gejala-
gejala sepsis. Gejala sepsis tersebut akan menjadi lebih berat pada penderita
usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan
granulospenia. Yang sering diikuti gejala MODS sampai dengan terjadinya
syok sepsis.1
Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi:1
 Sindrom disres pernapasan pada dewasa
 Koagulasi intravascular,
 Gagal ginjal akut,
 Perdarahan usus,
 Gagal hati,
 Disfungsi sistem daraf pusat,
 Gagal jantung

d. Diagnosis

Diagnosis sepsis memerlukan indeks dugaan tinggi, pengambilan riwayat


medis yang cermat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium yang sesuai, dan tindak
lanjut status hemodinamik.1
 Riwayat
Membantu menentukan apakah infeksi didapatkan dari komunitas
atau nosokomial dan apakah pasien imunokompromis. Rincian yang harus
diketahui meliputi paparan pada hewan, perjalanan, gigitan tungau, bahaya
di tempat kerja, penggunaan alkohol, seizure, hilang kesadaran, medikasi
dan penyakit dasar yang mengarahkan pasien kepada agen infeksius
tertentu. Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:1
1. Demam atau tanda yang tak terjelaskan disertai keganasan atau
instrumental.
2. Hipotensi, oliguria atau anuria.
3. Takipnea atau hiperpnea, hipotermi tanpa penyebab jelas.
4. Perdarahan.
 Pemeriksaan fisis
Perlu dilakukan pemeriksaan fisis yang menyeluruh. Pada semua
pasien neutropenia dan pasien dengan dugaan infeksi pelvis, pemeriksaan
fisik harus meliputi pemeriksaan rektum, pelvis, dan genital. Pemeriksaan
tersebut akan mengungkapkan abses rectal, periektal, dan perineal, penyakit
dan/ atau abses inflamasi pelvis, atau prostatitis.1
Uji laboratorium meliputi Complete Blood Count (CBC) dengan
hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, glukosa, urea darah,
nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah
arteri, elektrokardiogram, dan ronsen dada. Biakan darah, sputum, urin, dan
tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan. Lakukan Gram strain di tempat
yang biasanya steril (darah, CSF, cairan artukular, ruang pleura) dengan
aspirasi. Minimal 2 set (ada yang menganggap 3) biakan darah harus
diperoleh dalam periode 24 jam. Volume sampel sering terdapat kurang dari
1 bakterium/ml pada dewasa (pada anak lebih tinggi). Ambil 10-20 ml per
sampling pada dewasa (1-5 ml pada anak) dan inokulasikan dengan
trypticase soy broth dan thioglycolate soy broth. Waktu sampel untuk spike
demam intermiten, bakteriemia dominan 0,5 jam sebelum spike. Jika terapi
antibiotik sudah dimulai, beberapa macam antibiotik dapat dideaktivasi di
laboratorium klinis.1
Tergantung pada status klinis pasien dan risiko terkait, penelitian
dapat juga menggunakan foto ronsen abdomen, CT Scanning, MRI,
elektrokardiogafi, dan/ atau lumbar puncture.1
 Temuan laboratorium lainnya
Sepsis awal. Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia,
hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat terjadi leucopenia. Neutrofil
mengandung granulasi toksik, badan Dohle, atau vakuola sitoplasma.
Hiperventilasi menimbulkan alkalosis respirator. Hipoksemia dapat
dikoreksi dengan oksigen. Penderita diabetes dapat mengalami
hiperglikemia. Lipida serum meningkat.1
Selanjutnya. Trombositopenia memburuk disertai perpanjangan
waktu thrombin, penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang
menunjukkan DIC. Azotemia dan hiperbilirubinemia lebih dominan.
Aminotransferase (enzim liver) meningkat. Bila otot pernapasan lelah,
terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis metabolic (peningkatan gap anion)
terjadi setelah alkalosis respirator. Hipoksemia tidak dapat dikoreksi bahkan
dengan oksigen 100%. Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan
ketoasidosis yang memburuk hipotensi. Mortalitas meningkat sejalan
dengan peningkatan jumlah gejala SIRS dan berat proses penyakit.1

e. Terapi
Tiga prioritas utama dalam terapi sepsis, yaitu:1
1. Stabilisasi Pasien Langsung
Masalah mendesak yang dihadapi pasien dengan sepsis berat adalah
pemulihan abnormalitas yang membahayakan jiwa (ABC - airway,
breathing, circulation). Pemberian resusitasi awal sangat penting pada
penderita sepsis, dapat diberikan kristaloid atau koloid untuk
mempertahankan stabilitas hemodinamik. Perubahan status mental atau
penurunan tingkat kesadaran akibat sepsis memerlukan perlindungan
langsung terhadap jalan napas pasien. Intubasi diperlukan juga untuk
memberikan kadar oksigen lebih tinggi. Ventilasi mekanis dapat membantu
menurunkan konsumsi oksigen oleh otot pernapasan dan peningkatan
ketersediaan oksigen jaringan lain. Peredaran darah terancam, dan
penurunan bermakna pada tekanan darah memerlukan terapi empirik
gabungan yang agresif dengan cairan (ditambah kristaloid atau koloid) dan
inotrop/ vasopresor (dopamine, dobutamin, fenilefrin, epinefrin, atau
norepinefrin). Pada sepsis berat diperlukan pemantauan peredaran darah.
CVP 8-12 mmHg; Mean arterial pressure ≥ 65 mmHg; Urine output ≥ 0,5
mL/kg/jam; Central venous (superior vena cava) oxygen saturation ≥ 70%
atau mixed venous ≥ 65%.
Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vital
pasien (tekanan darah, denyut jantung, laju napas dan suhu badan) harus
dipantau. Frekuensinya tregantung pada berat sepsis. Pertahankan curah
jantung dan ventilasi yang memadai dengan obat. Pertimbangkan dialisis
untuk membantu fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri pada pasien
hipotensif dengan obat vasokatif, missal, dopamin, dobutamin, atau
norepinefrin.
2. Pemberian Antibiotik yang Adekuat
Agen antimikrobial tertentu dapat memperburuk keadaan pasien.
Diyakini bahwa antimicrobial tertentu menyebabkan pelepasan lebih banyak
LPS sehingga menimbulkan lebih banyak masalah bagi pasien.
Antimikrobial yang tidak menyebabkan pasien memburuk adalah:
karbapenem, ceftriaxone, sefepim, glikopeptida, aminoglikosida, dan
quinolon.
Perlu segera diberikan terapi empirik dengan antimikrobial, artinya
bahwa diberikan antibiotika sebelum hasil kultur dan sensitivitas tes
terhadap kuman didapatkan. Pemberian antimicrobial secara dini diketahui
menurunkan perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah hasil kultur
dan sensitivitas didapatkan maka terapi empiric dirubah menjadi terapi
rasional sesuai dengan kultur dan sensitivitas, pengobatan tersebut akan
mengurangi jumlah antibiotika yang diberikan sebelumnya (dieskalasi).
Diperlukan regimen antimikrobial dengan spectrum aktivitas luas sesuai
dengan hasil kultur. Hal ini karena terapi antimicrobial hampir selalu
diberikan sebelum organisme yang menyebabkan sepsis diidentifikasi.
Obat yang digunakan tergantung sumber sepsis*
1. Untuk pneumonia dapatan komunitas biasanya digunakan 2 regimen
obat. Biasanya sefalosporin generasi ketiga (seftriakson) atau
keempat (sefepim) diberikan dengan aminoglikosida (biasanya
gentamisin)
2. Pneumonia nosokomial: sefepim atau iminemsilastatin dan
aminoglisida
3. Infeksi abdomen: imipenem-silastatin atau pipersilintazobaktam dan
aminoglokosida
4. Infeksi abdomen nosokomial: imipenem-silastatin dan
aminoglokosida atau pipersilin-tazobaktam dan amfoterisin B
5. Kulit/jaringan lunak: vankomisin dan imipenem-silastatin atau
piperasilin-tazobaktam
6. Kulit/jaringan lunak nosokomial: vankomisin dan sefipim
7. Infeksi traktus urinaris: siproloksasin dan aminoglikosida
8. Infeksi traktus urinaris nosokomial: vankomisin dan sefipim
9. Infeksi CNS: vankomisin dan sefalosporin generasi ketiga atau
meropenem
10. Infeksi CNS nosokomial: meropenem dan vankomisin
Obat berubah sejalan dengan waktu. Pilihan obat tersebut hanya untuk
menunjukkan bahwa bahan antimicrobial yang berbeda dipilih tergantung
pada penyebab sepsis.
Regimen obat tunggal biasanya hanya diindikasikan bila organism penyebab
sepsis telah diidentifikasi dan uji sensitivitas antibiotik organism memiliki
sensitivitas.
Pada kasus ini, pasien diberikan terapi antibiotik golongan
sefalosporin (ceftriaxone) 2 gram/12 jam intravena dan antibiotik
golongan quinolone (levofloxacine) 500 mg/24 jam intravena selama
hari pertama hingga hari terakhir perawatan (10 hari). Pasien juga
diberikan Co amoxiclav 625 mg/8 jam per oral untuk terapi lanjutan di
rumah. Ceftriaxone dan levofloxacine merupakan antibiotik spectrum
luas yang diberikan tanpa menunggu hasil kultur bakteri penyebab
sepsis pada kasus ini.
3. Fokus Infeksi Awal Harus Dieliminasi
Hilangkan benda asing. Salurkan eksudat purulen, khsususnya untuk infeksi
anaerobik. Angkat organ yang terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan
yang gangrene.
4. Pemberian Nutrisi yang Adekuat
Pemberian nutrisi merupakan terapi tambahan yang sangat penting berupa
makro dan mikronutrient. Makronutrient terdiri dari omega-3 dan golongan
nukletida yaitu glutamine sedangkan mikronutrient berupa vitamin dan
trace element.
5. Terapi Suportif
Eli Lily and Company mengumumkan bahwa hasil uji klinis Phase III
menunjukan drotrecogin alfa (protein C teraktifkan rekombinan, Zovant)
menurunkan risiko relative kematian akibat sepsis dengan dsifungsi organ
akut terkait (dikenal sebagai sepsis berat) sebesar 19,4 persen. Zovant
merupakan antikoagulan.
6. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid masih banyak kontroversial, ada yang
menggunakan pada awal terjadinya sepsis, ada yang menggunakan terapi
steroid seusai dengan kebutuhan dan kekurangan yang ada di dalam darah
dengan memeriksa kadar steroid pada saat itu (pengobatan suplementasi).
Penggunaan steroid ada yang menganjurkan setelah terjadi septic shock.
Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan adalah dengan low doses
cortosteroid > 300 mg hydrocortisone per hari dalam keadaan septic shock.
Penggunaan high dose cortico-steroid tidak efektif sama sekali pada
keadaan sepsis dan septic shock.
Pada kasus ini pasien diberikan kortikosteroid berupa injeksi
dexamethasone dengan dosis 5 mg/24 jam intravena sejak hari pertama
hingga hari kedelapan perawatan di rumah sakit.
7. Glukosa Kontrol
Pada penderita sepsis sering terjadi peningkatan gula darah yang tidak
mengalami dan yang mengalami diabetes mellitus. Sebaliknya kadar gula
darah dipertahankan sampai dengan <150 mg/dL. Dengan melakukan
monitoring pada gula darah setiap 1-2 jam dan dipertahankan minimal
sampai dengan 4 hari.
Pada kasus ini, pasien tidak memiliki riwayat penyakit diabetes
mellitus namun mengalami peningkatan kadar glukosa darah sewaktu
(GDS) mencapai 182 mg/dl pada hari pertama perawatan di rumah
sakit. Pada hari perawatan keenam, GDS turun menjadi 99 mg/dl dan
kadar HbA1c adalah 5.2%.
Mencegah terjadinya stress ulcer dapat diberikan profilaksis dengan
menggunakan H2 blockers dan proton pump inhibitors.
Apabila terjadi kesulitan pernapasan penderita memerlukan ventilator
dimana tersedia di ICU.
Pada kasus ini, pasien diberikan obat golongan proton pump inhibitors
berupa injeksi omeprazole 40 mg/24 jam intravena dan lanzoprazole 30
mg/24 jam per oral untuk mencegah stress ulcer.

f. Pencegahan
 Hindarkan trauma pada permukaan mukosa yang biasanya dihuni bakteri
Gram-negatif
 Gunakan trimetoprim-sulfametoksazol secara profilaktik pada anak
penderita leukemia
 Gunakan nitrat perak tipikal, sulfadiazine perak, atau sulfamilon secara
profilaktik pada pasien luka bakar
 Berikan semprotan (spray) polimiksin pada faring posterior untuk mencegah
pneumonia Gram-negatif nosokomial
 Sterilisasi flora aerobik lambung dengan polimiksin dan gentamisin dengan
vankomisin dan nistatin efektif dalam mengurangi sepsis Gram-negatif pada
pasien neutropenia
 Lingkungan yang protektif bagi pasien berisiko kurang berhasil karena
sebagian besar infeksi berasal dari dalam (endogen).
 Untuk melindungi neonates dari sepsis strep Grup B ambil apusan (swab)
vagina/rectum pada kehamilan 35 hingga 37 minggu. Biakkan untuk
Streptococcus agalactiae (penyebab utama sepsis pada neonatus). Jika
positif untuk streo Grup B, berikan penisilin intrapartum pada ibu hamil.
Hal ini akan menurunkan infeksi Grup B sebesar 78%.1

3.2. Selulitis
1. Definisi
Selulitis adalah peradangan akut dan meluas dari dermis dan jaringan
subkutan yang berkaitan. Selulitis mempunyai angka morbiditas yang tinggi
dan biaya perawatan medis yang besar. Selulitis paling sering mengenai
ekstremitas bawah. Faktor risiko yang mengakibatkan terjadinya selulitis
adalah trauma (laserasi, luka bakar, abrasi, luka remuk, fraktur terbuka),
penggunaan obat-obatan intravena, gigitan binatang atau manusia, riwayat
infeksi selulitis oleh Streptococcus, tinea pedis, masektomi radikal dengan
diseksi kelenjar limfe aksilaris, graft yang diambil dari vena Saphena magna.
Kondisi yang meningkatkan predisposisi dari selulitis antra lain diabetes,
insufisiensi arteri, insufisiensi vena kronik, penyakit ginjal kronik, sirosis,
neutropenia, hipogamaglobulinemia, kehamilan, limfedema, imunosupresi dan
obesitas.5

2. Etiologi
Selulitis disebabkan oleh organisme yang beragam, paling sering
disebabkan oleh Streptococcus aureus dan Streptococcus pyogenes. Organisme
penyebab selulitis yang lain seperti golongan batang Gram negatif dan bersifat
aerob (Enterobacteriaceae, Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter),
golongan anaerob (Bacteroides, Peptococcus), H. influenza, Pneumococcus,
E.colli, Aeromonas hydrophila, Erysipelothrix rhusio-pathiae, Vibro
vulnificus.2

3. Gejala Klinik
Gejala klinis selulitis berupa eritema dengan batas yang tidak tegas dan
cepat meluas, nyeri, edema atau bengkak yang teraba hangat dan kencang
(jarang namun bisa terjadi fluktuasi). Pada beberapa kasus selulitis dapat
terjadi pembentukan bula ataupun nekrosis pada jaringan epidermis,
menyebabkan erosi superfisial pada epidermis dan tampak sloughing. Gejala
sistemik seperti demam, menggigil dan malaise bervariasi. Hanya sekitar 66%
ditemukan port d’entre infeksi. Erisipelas juga merupakan bagian dari infeksi
kulit dan jaringan lunak, walaupun banyak mempunyai kesamaan klinis dengan
selulitis namun mempunyai gambaran eritema yang berbatas tegas dengan
warna merah terang yang klasik dengan permukaan menyerupai gambaran
peau d’orange. Hal ini disebabkan keterlibatan jaringan yang lebih superfisial
dan batas antara kulit normal dan sakit yang lebih jelas.5
Pada kasus pasien ini, ditemukan gejala klinik selulitis berupa
eritema dengan batas tidak tegas, nyeri, bengkak dan teraba hangat dan
kencang pada tungkai kanan bawah disertai gejala sistemik berupa
demam yang berlangsung terus menerus.

4. Diagnosis
Secara umum diagnosis dari selulitis berdasarkan dari gambaran
morfologi lesi dan gejala klinis. Pemeriksaan laboratorium berguna dalam
menentukan derajat keparahan infeksi dan sebagai penuntun dalam pemberian
terapi. Pemeriksaan laboratorium ini termasuk didalamnya adalah kultur darah,
pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis, kimia darah, fungsi ginjal,
glukosa darah, elektrolit, kalsium dan albumin. Pemeriksaan histologi melalui
biopsi dari lesi berguna dalam menyingkirkan kecurigaan penyakit lain seperti
eritema nodosum, vaskulitis atau selulitis eosinofilik. Pengecatan Gram
membantu sebagai identifikasi awal morfologi dari bakteri yang paling
signifikan sedangkan pemeriksaan kultur dan sensitivitas bertujuan untuk
mengidentifikasi organisme penyebab infeksi.5

5. Terapi
Pengobatan pada selulitis secara umumnya meliputi tirah baring, elevasi
dari tungkai yang terkena, antibiotika yang sesuai, analgetik untuk mengatasi
nyeri, pertimbangkan hidrasi cairan oral dan intravena dan observasi demam
serta perkembangan kemajuan pengobatan setiap hari. Tujuan penatalaksanaan
adalah mengatasi gejala, mengurangi durasi rawat inap dan menghindari
komplikasi. Kompres bertujuan untuk mengurangi eritema dan menjaga ulkus
tetap lembab namun tidak basah. Jika diperlukan debridement dengan
menggunakan scalpel, scissor atau kuret lebih cepat dan tepat untuk
mengangkat pus, eschar dan biofilm bakteri dari ulkus.2
Antibiotika bertujuan untuk mengeliminasi kuman penyebab infeksi dan
diberikan secara intravena atau intramuskular. Pemilihan antibiotika yang tepat
mengurangi kemungkinan terjadinya resistensi antibiotika. Terapi empiris
dapat diberikan pada awal pengobatan. Durasi pengobatan selama 7 hari untuk
infeksi ringan dan 10 hari untuk infeksi berat. Biasanya pasien selulitis dengan
infeksi berat mendapatkan pengobatan selama 10 sampai 14 hari atau sampai
peradangan teratasi.2
Pada kasus ini, pasien diberikan antibiotik spectrum luas berupa
ceftriaxone 2 gram/12 jam intravena dan levofloxacine 500 mg/24 jam
intravena selama 10 hari untuk mengeleminasi kuman penyebab infeksi.
Kompres luka dan ganti verban juga dilakukan pada pasien untuk
mengurangi eritema dan menjaga ulkus tetap lembab.

3.3. Pneumonia Nosokomial (Human Associated Pneumonia)


1. Definisi
lnfeksi saluran napas bawah akut (ISNBA) menimbulkan angka
kesakitan dan kematian yang tinggi serta kerugian produktivitas kerja. ISNBA
dapat dijumpai dalam berbagai bentuk, tersering adalah dalam bentuk
pneumonia. Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru,
distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan
alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran
gas setempat. Pada pemeriksaan histologis terdapat pneumonitis atau reaksi
inflamasi berupa alveolitis dan pengumpulan eksudat yang dapat ditimbulkan
oleh berbagai penyebab dan berlangsung dalam jangka waktu yang bervariasi.
Bila proses infeksi teratasi, terjadi resolusi dan biasanya struktur paru normal
kembali. Namun pada pneumonia nekrotikans yang disebabkan antara lain oleh
Staphylococcus atau kuman gram negatif terbentuk jaringan parut atau
fibrosis.3
Pneumonia komunitas (PK) adalah pneumonia yang terjadi akibat infeksi
diluar RS, sedangkan pneumonia nosocomial (human associated pneumonia –
HAP) adalah pneumonia yang terjadi > 48 jam atau lebih setelah dirawat di
rumah sakit, baik di ruang rawat umum ataupun ICU tetapi tidak sedang
memakai ventilator. Pneumonia yang berhubungan dengan pemakaian
ventilator (ventilator associated pneumonia-VAP) adalah pneumonia yang
terjadi setelah 48-72 jam atau lebih setelah intubasi tracheal. Pada pneumonia
yang didapatkan di pelayanan kesehatan (healthcare associated pneumonia-
HCAP) termasuk pasien yang dirawat oleh perawatan akut di rumah sakit
selama 2 hari atau lebih dalam waktu 90 hari dari proses infeksi, tinggal di
rumah perawatan (nursing home atau long-term care facility), mendapat
antibiotik intravena, kemoterapi atau perawatan luka dalam waktu 30 hari
proses infeksi ataupun datang ke klinik rumah sakit atau klinik hemodialisa.3
Pada kasus ini, gejala klinik pneumonia mulai tampak sejak hari
perawatan kelima di ruang rawat intensif rumah sakit. Pada hari pertama
dan kedua perawatan belum ditemukan gejala klinis pneumonia, batuk
berdahak (-), rhonki (-/-), sesak (-).

2. Faktor Risiko
Kejadian pneumonia nosocomial di ICU lebih sering daripada pneumonia
nosocomial di ruangan umum, yaitu dijumpai pada hampir 25% dari semua
infeksi di ICU, dan 90% terjadi pada saat ventilasi mekanik. VAP didapat pada
9-27% dari pasien yang diintubasi. Risiko VAP tertinggi pada saat awal masuk
ke ICU.3
Pneumonia dapat terjadi pada orang normal tanpa kelainan imunitas yang
jelas. Namun pada kebanyakan pasien dewasa yang menderita pneumonia
didapati adanya satu atau lebih penyakit dasar yang mengganggu daya tahan
tubuh. Pneumonia semakin sering dijumpai pada orang orang lanjut usia
(lansia) dan sering terjadi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Juga
dapat terjadi pada pasien dengan penyakit lain seperti diabetes mellitus (DM),
payah jantung, penyakit arteri koroner, keganasan, insufisiensi renal, penyakit
syaraf kronik, dan penyakit hati kronik. Faktor predisposisi lain antara lain
berupa kebiasaan merokok, pasca infeksi virus, keadaan imunodefisiensi,
kelainan atau kelemahan struktur organ dada dan penurunan kesadaran. Juga
adanya tindakan invasif seperti infus, intubasi, trakeostomi, atau pemasangan
ventilator. Perlu diteliti faktor lingkungan khususnya tempat kediaman
misalnya di rumah jompo, penggunaan antibiotic dan obat suntik intravena,
serta keadaan alkoholik yang meningkatkan kemungkinan terinfeksi kuman
gram negative. Pasien-pasien pneumonia nosocomial juga dapat terinfeksi oleh
berbagai jenis patogen yang baru.3
Pada kasus ini, pasien memiliki faktor risiko pneumonia, yaitu
pasien sudah berusia 77 tahun (usia lanjut), memiliki riwayat penyakit
saraf (stroke iskemik), dan sepsis.

3. Etiologi
Patogen penyebab pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia
komuniti. Pneumonia nosokomial dapat disebabkan oleh kuman bukan multi
drug resistance (MDR) misalnya S.pneumoniae, H. Influenzae, Methicillin
Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA) dan kuman MDR misalnya
Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae,
Acinetobacter spp dan Gram positif seperti Methicillin Resistance
Staphylococcus aureus (MRSA). Pneumonia nosokomial yang disebabkan
jamur, kuman anaerob dan virus jarang terjadi. Angka kejadian sebenarnya dari
pneumonia nosokomial di Indonesia tidak diketahui disebabkan antara lain data
nasional tidak ada dan data yang ada hanya berasal dari beberapa rumah sakit
swasta dan pemerintah serta angkanya sangat bervariasi. Bahan pemeriksaan
untuk menentukan bakteri penyebab dapat diambil dari dahak, darah, cara
invasif misalnya bilasan bronkus, sikatan bronkus, biopsi aspirasi transtorakal
dan biopsi aspirasi transtrakea.4

4. Patogenesis
Patogenesis pneumonia nosokomial pada prinsipnya sama dengan
pneumonia komuniti. Pneumonia terjadi apabila mikroba masuk ke saluran
napas bagian bawah. Ada empat rute masuknya mikroba tersebut ke dalam
saluran napas bagian bawah yaitu: 1) aspirasi, merupakan rute terbanyak pada
kasus-kasus tertentu seperti kasus neurologis dan usia lanjut, 2) inhalasi,
misalnya kontaminasi pada alat-alat bantu napas yang digunakan pasien, 3)
hematogenik, dan 4) penyebaran langsung.4
Patogen yang sampai ke trakhea terutama berasal dari aspirasi bahan
orofaring, kebocoran melalui mulut saluran endotrakheal, inhalasi, dan sumber
bahan patogen yang mengalami kolonisasi di pipa endotrakeal. Pneumonia
nosocomial terjadi akibat proses infeksi bila patogen yang masuk saluran napas
bagian bawah tersebut mengalami kolonisasi setelah dapat melewati hambatan
mekanisme pertahanan inang berupa daya tahan mekanik (epitel cilia dan
mukus), humoral (antibodi dan komplemen) dan selular (lekosit polinuklir,
makrofag, limfosit dan sitokinnya). Kolonisasi terjadi akibat adanya berbagai
faktor inang dan terapi yang telah dilakukan yaitu adanya penyakit penyerta
yang berat, tindakan bedah, pemberian antibiotik, obat-obatan lain dan
tindakan invasif pada saluran pernapasan. Mekanisme lain adalah pasasi
bakteri pencernaan ke paru, penyebaran hematogen, dan akibat tindakan
intubasi.3

5. Faktor risiko
Faktor risiko terjadinya pneumonia nosocomial dapat dikelompokkan
atas 2 golongan yaitu yang tidak bisa dirubah yaitu berkaitan dengan inang
(seks pria, penyakit paru kronik, atau gagal organ jamak), dan terkait tindakan
yang diberikan (intubasi atau selang nasaogastrik). Pada faktor yang dapat
dirubah dapat dilakukan upaya berupa mengontrol infeksi, disinfeksi dengan
alkohol, pengawasan patogen resisten (multidrug resistant-MDR), penghentian
dini pemakaian alat yang invasif, dan pengaturan tatacara pemakaian
antibiotik. Faktor risiko kritis adalah ventilasi mekanik > 48 jam, lamanya
perawatan di ICU, skor APACHE, adanya ARDS (acute respiratory distress
syndrome).3
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2003) faktor risiko pada
pneumonia sangat banyak dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
1. Faktor yang berhubungan dengan daya tahan tubuh
Penyakit kronik (misalnya penyakit jantung, PPOK, diabetes, alkoholisme,
azotemia), perawatan di rumah sakit yang lama, koma, pemakaian obat
tidur, perokok, intubasi endotrakeal, malnutrisi, umur lanjut, pengobatan
steroid, pengobatan antibiotik, waktu operasi yang lama, sepsis, syok
hemoragik, infeksi berat di luar paru dan cidera paru akut (acute lung
injury) serta bronkiektasis.4
Faktor risiko yang berhubungan dengan daya tubuh pada kasus pasien
ini adalah usia lanjut, pengobatan steroid (dexamethasone 5 mg/24
jam) intravena, pengobatan antibiotic dan sepsis.
2. Faktor eksogen adalah:4
a. Pembedahan:
Besar risiko kejadian pneumonia nosokomial tergantung pada jenis
pembedahan, yaitu torakotomi (40%), operasi abdomen atas (17%) dan
operasi abdomen bawah (5%).

b. Penggunaan antibiotik :
Antibiotik dapat memfasilitasi kejadian kolonisasi, terutama antibiotik
yang aktif terhadap Streptococcus di orofaring dan bakteri anaerob di
saluran pencernaan. Sebagai contoh, pemberian antibiotik golongan
penisilin mempengaruhi flora normal di orofaring dan saluran
pencernaan. Sebagaimana diketahui Streptococcus merupakan flora
normal di orofaring melepaskan bacterocins yang menghambat
pertumbuhan bakteri gram negatif. Pemberian penisilin dosis tinggi akan
menurunkan sejumlah bakteri gram positif dan meningkatkan kolonisasi
bakteri gram negatif di orofaring.
c. Peralatan terapi pernapasan
Kontaminasi pada peralatan ini, terutama oleh bakteri Pseudomonas
aeruginosa dan bakteri gram negatif lainnya sering terjadi.
d. Pemasangan pipa/selang nasogastrik, pemberian antasid dan alimentasi
enteral
Pada individu sehat, jarang dijumpai bakteri gram negatif di lambung
karena asam lambung dengan pH < 3 mampu dengan cepat membunuh
bakteri yang tertelan. Pemberian antasid / penyekat H2 yang
mempertahankan pH > 4 menyebabkan peningkatan kolonisasi bakteri
gram negatif aerobik di lambung, sedangkan larutan enteral mempunyai
pH netral 6.4 – 7.0.
e. Lingkungan rumah sakit
o Petugas rumah sakit yang mencuci tangan tidak sesuai dengan
prosedur
o Penatalaksanaan dan pemakaiaan alat-alat yang tidak sesuai
prosedur, seperti alat bantu napas, selang makanan, selang infus,
kateter dll
o Pasien dengan kuman MDR tidak dirawat di ruang isolasi.

6. Diagnosis
Menurut kriteria dari The Centers for Disease Control (CDC-Atlanta),
diagnosis pneumonia nosokomial adalah sebagai berikut:4
1. Onset pneumonia yang terjadi 48 jam setelah dirawat di rumah sakit dan
menyingkirkan semua infeksi yang inkubasinya terjadi pada waktu masuk
rumah sakit
2. Diagnosis pneumonia nosokomial ditegakkan atas dasar:
 Foto toraks : terdapat infiltrat baru atau progresif
 Ditambah 2 diantara kriteria berikut:
o suhu tubuh > 38oC
o sekret purulent
o leukositosis
Pada kasus ini ditemukan kriteria pneumonia nosocomial berupa
onset penyakit muncul di hari perawatan ke-lima (> 48 jam), dari foto
thorax didapatkan infiltrate di perihiler dengan airbronchogram (+),
sekret purulent (+) dan leukositosis (12.68/mm3).
Penegakan diagnosis dibuat dengan maksud pengarahan kepada
pemberian terapi yaitu dengan cara mencakup bentuk dan luas penyakit,
tingkat berat penyakit, dan perkiraan jenis kuman penyebab infeksi. Dugaan
mikroorganisme penyebab infeksi akan mengarahkan kepada pemilihan terapi
empiris antibiotik yang tepat. Diagnosis pneumonia didasarkan kepada riwayat
penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisis yang teliti dan pemeriksaan
penunjang.3
a. Anamnesis
Ditujukan untuk mengetahui kemungkinan kuman penyebab yang
berhubungan dengan faktor infeksi: a) Evaluasi faktor pasien/predisposisi:
PPOK (H. influenzae), penyakit kronik (kuman jamak), kejang/tidak sadar
(aspirasi Gram negatif, anaerob), penurunan imunitas (kuman Gram
negatif), Pneumocystic carinii, CMV, Legionella, jamur, Mycobacterium),
kecanduan obat bius (Staphylococcus); b) Bedakan lokasi infeksi:
pneumonia komunitas (Streptococcus pneumoniae, H. influenzae,
M. pneumoniae), pneumonia nosocomial (Staphylococcus aureus), Gram
negative; c) Usia pasien: bayi (virus), muda (M. pneumoniae), dewasa
(S. pneumoniae); d) Awitan: cepat, akut dengan rusty coloured sputum
(S. Pneumoniae), perlahan, dengan batuk, dahak sedikit (M. pneumoniae).3
b. Pemeriksaaan fisis
Presentasi bervariasi tergantung etiologi, usia dan keadaan klinis.
Perhatikan gejala klinis yang mengarah pada tipe kuman penyebab/
patogenitas kuman dan tingkat berat penyakit: a). Awitan akut biasanya oleh
kuman patogen seperti S. pneumonia, Streptococcus spp, Staphyloccus.
Pneumonia virus ditandai dengan mialgia, malaise, batuk kering dan
nonproduktif; b). Awitan lebih insidious dan ringan pada orang tua/imunitas
menurun akibat kuman yang kurang patogen/oportunistik, misalnya;
Klebsiella, Pseudomonas, Enterobacteriaceae, kuman anaerob, jamur; c).
Tanda-tanda fisis pada tipe pneumonia klasik bisa didapatkan berupa
demam, sesak napas, tanda-tanda konsolidasi paru (perkusi paru yang
pekak, ronki nyaring, suara pernapasan bronkial). Bentuk klasik pada
pneumonia komunitas primer berupa bronkopneumonia, pneumonia lobaris
atau pleuropneumonia. Gejala atau bentuk yang tidak khas dijumpai pada
pneumonia komunitas yang sekunder (didahului penyakit dasar paru)
ataupun pneumonia nosokomial. Dapat diperoleh bentuk manifestasi lain
infeksi paru seperti efusi pleura, pneumotoraks/hidropneumotoraks. Pada
pasien pneumonia nosocomial atau dengan gangguan imun dapat dijumpai
gangguan kesadaran oleh hipoksia; d). Warna, konsistensi dan jumlah
sputum penting untuk diperhatikan.3
c. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan radiologis
Pola radiologis dapat berupa pneumonia alveolar dengan gambaran
air bronchogram (airspace disease) misalnya oleh Streptococcus
pneumoniae, bronkopneumonia (segmental disease) oleh antara lain
Staphylococcus, virus atau mikoplasma; dan pneumonia interstisial
(interstitial disease) oleh virus dan mikoplasma.4
Bentuk lesi berupa kavitasi dengan air-fluid level sugestif untuk
abses paru, infeksi anaerob, Gram negatif atau amiloidosis. Efusi pleura
dengan pneumonia sering ditimbulkan S.pneumoniae. Dapat juga oleh
kuman anaerob, S.pyogenes, E.coli dan Staphylococcus (pada anak).
Kadang-kadang oleh K. pneumonia dan P.pseudomallei.4
Pembentukan kista terdapat pada pneumonia nekrotikans
/supurativa, abses dan fibrosis akibat terjadinya nekrosis jaringan paru
oleh kuman S.aureus, K.pneumoniae dan kuman-kuman anaerob
(Streptococcus anaerob, Bacteroides, Fusobacterium). Ulangan foto
perlu dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya infeksi
sekunder/tambahan, efusi pleura penyerta yang terinfeksi atau
pembentukan abses. Pada pasien yang mengalami perbaikan klinis
ulangan foto dada dapat ditunda karena resolusi pneumonia berlangsung
4-12 minggu.4
 Pemeriksaan bakteriologis
Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal,
aspirasi jarun transtorakal, torakosentesis, bronkoskopi, atau biopsi.
Untuk tujuan terapi empiris dilakukan pemeriksaan apus Gram, Burri
Gin, Quellung test dan Z. Nielsen. Jika fasiliti memungkinkan dapat
dilakukan pemeriksaan biakan kuman secara semikuantitatif atau
kuantitatif dan dianggap bermakna jika ditemukan ≥ 106 colony-forming
units/ml dari sputum, ≥ 105 – 106 colony-forming units/ml dari aspirasi
endotrracheal tube, ≥ 104 – 105 colony-forming units/ml dari
bronchoalveolar lavage (BAL), ≥ 103 colony-forming units/ml dari
sikatan bronkus dan paling sedikit 102 colony-forming units/ml dari vena
kateter sentral. Dua set kultur darah aerobik dan anaerobik dari tempat
yang berbeda (lengan kiri dan kanan) sebanyak 7 ml. Kultur darah dapat
mengisolasi bakteri patogen pada > 20% pasien. Jika hasil kultur darah
(+) maka sangat penting untuk menyingkirkan infeksi di tempat lain.
Pada semua pasien pneumonia nosokomial harus dilakukan pemeriksaan
kultur darah.4
Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan
langsung dan biakan yaitu bila ditemukan sel PMN > 25/lapangan
pandang kecil (lpk) dan sel epitel < 10/lpk.4

Gambar 2. Kriteria diagnosis pneumonia nosocomial menurut CDC 3


7. Terapi
Beberapa pedoman dalam pengobatan pneumonia nosokomial menurut
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2003) ialah:
a. Semua terapi awal antibiotik adalah empirik dengan pilihan antibiotik yang
harus mampu mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen yang
mungkin sebagai penyebab, perhitungkan pola resistensi setempat.4
b. Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan
dosis dan cara pemberian yang adekuat untuk menjamin efektiviti yang
maksimal. Pemberian terapi emperis harus intravena dengan sulih terapi
pada pasien yang terseleksi, dengan respons klinis dan fungsi saluran cerna
yang baik.4
c. Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan setelah ada
hasil kultur yang berasal dari saluran napas bawah dan ada perbaikan
respons klinis.4
d. Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan terinfeksi
kuman MDR.4
e. Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis
memburuk.4
f. Data mikroba dan sensitiviti dapat digunakan untuk mengubah pilihan
empirik apabila respons klinis awal tidak memuaskan. Modifikasi
pemberian antibiotik berdasarkan data mikrobial dan uji kepekaan tidak
akan mengubah mortaliti apabila terapi empirik telah memberikan hasil
yang memuaskan.4
Pasien yang mendapat antibiotik empirik yang tepat, optimal dan
adekuat, penyebabnya bukan P.aeruginosa dan respons klinis pasien baik serta
terjadi resolusi gambaran klinis dari infeksinya maka lama pengobatan adalah
7 hari atau 3 hari bebas panas. Bila penyebabnya adalah P.aeruginosa dan
Enterobacteriaceae maka lama terapi 14 – 21 hari.3
Gambar 3. Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP pada pasien tanpa
faktor risiko patogen MDR, onset dini dan semua derajat penyakit (mengacu ATS /
IDSA).3
Pada kasus ini, pasien diberikan terapi antibiotic ceftriaxone 2 gram/12 jam
dan levofloxacine 500 mg/24 jam.
Gambar 4. Terapi antibiotic awal secara empirik untuk HAP atau VAP untuk semua
derajat penyakit pada pasien dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen
MDR (mengacu ATS /IDSA).3

Gambar 5. Dosis antibiotik intravena awal secara empiric untuk HAP dan VAP pada
pasien dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen MDR (mengacu pada
ATS/IDSA).3
Respons terhadap terapi dapat didefinisikan secara klinis maupun
mikrobiologi. Respons klinis terlihat setelah 48 – 72 jam pertama pengobatan
sehingga dianjurkan tidak merubah jenis antibiotik dalam kurun waktu tersebut
kecuali terjadi perburukan yang nyata.3
Setelah ada hasil kultur darah atau bahan saluran napas bawah maka
pemberian antibiotik empirik mungkin memerlukan modifikasi. Apabila hasil
pengobatan telah memuaskan maka penggantian antibiotik tidak akan
mengubah mortality tetapi bermanfaat bagi strategi de-eskalasi. Bila hasil
pengobatan tidak memuaskan maka modifikasi mutlak diperlukan sesuai hasil
kultur dan kepekaan kuman. Respons klinis berhubungan dengan faktor pasien
(seperti usia dan komorbid), faktor kuman (seperti pola resisten, virulensi dan
keadaan lain).3
Hasil kultur kuantitatif yang didapat dari bahan saluran napas bawah
sebelum dan sesudah terapi dapat dipakai untuk menilai resolusi secara
mikrobiologis. Hasil mikrobiologis dapat berupa: eradikasi bakterial,
superinfeksi, infeksi berulang atau infeksi persisten.3
Parameter klinis adalah jumlah leukosit, oksigenasi dan suhu tubuh.
Perbaikan klinis yang diukur dengan parameter ini biasanya terlihat dalam 1
minggu pengobatan antibiotik. Pada pasien yang memberikan perbaikan klinis,
foto toraks tidak selalu menunjukkan perbaikan, akan tetapi apabila foto toraks
memburuk maka kondisi klinis pasien perlu diwaspadai.4
 Terapi suportif3
1. Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96%
berdasarkan pemeriksaan analisis gas darah
2. Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental,
dapat disertai nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat
bronkaspasme
3. Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya anjuran untuk
batuk dan napas dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk
melancarkan ekspirasi dan pengeluaran CO2. Posisi tidur setengah duduk
untuk melancarkan pernapasan
4. Pengaturan cairan. Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada
pneumonia, dan paru lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama
bila terdapat pneumonia bilateral. Pemberian cairan pada pasien harus
diatur dengan baik, termasuk pada keadaan gangguan sirkulasi dan gagat
ginjal. Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan
5. Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikanJ’erapi ini
tidak bermanfaat pada keadaan renjatan septic
6. Pertimbangkan obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-
kadang diperIukan bila terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal
ginjal prerenal
7. Ventilasi mekanis. Indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada
pneumonia adalah: a). Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O 2
100% dengan menggunakan masker. Konsentrasi O2 yang tinggi
menyebabkan penurunan kompliens paru hingga tekanan inflasi
meninggi. Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk memperbaiki
oksigenisasi dan menurunkan FiOZ menjadi 50% atau lebih rendah; b).
Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan CO2 didapat asidosis, henti
napas retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8. Drainase empiema bila ada
9. Bila terdapat gagal napas, diberikan nutrisi yang cukup kalori terutama
didapatkan dari lemak (50%), hingga dapat dihindari produksi CO 2 yang
berlebihan.

8. Prognosis
Angka mortalitas pneumonia nosocomial dapat mencapai 33-50%, yang
bisa mencapai 70% bila termasuk yang meninggal akibat penyakit dasar yang
dideritanya. Penyebab kematian biasanya adalah akibat bakteriemi terutama
oleh Ps. Aeruginosa atau Acinobacter spp.4

3.4. Stress Hiperglimik


1. Definisi
Secara tradisional hiperglikemia didefinisikan jika kadar glukosa darah ≥
200 mg/dl. Sejak tahun 2010, American Diabetes Association dalam Standards
of Medical Care in Diabetes mendefinisikan hiperglikemia pada pasien yang
dirawat adalah jika kadar glukosa darah >140 mg/dl.6
Stress hiperglikemia adalah hiperglikemia yang timbul pada saat
seseorang menderita sakit dimana pada individu tersebut terbukti tidak
menderita diabetes sebelumnya. American Diabetes Association (ADA) dalam
review teknisnya membagi penderita dengan hiperglikemia menjadi tiga
kelompok:6
 Penderita yang memiliki riwayat diabetes: Penderita sudah terdiagnosis
menderita diabetes dan mendapat terapi dari dokter
 Penderita yang tidak diketahui menderita diabetes: Hiperglikemia yang
terdeteksi pada saat penderita dirawat dan dikonfirmasi sebagai diabetes
setelah dilakukan pemeriksaan tertentu dengan kata lain penderita yang
baru terdiagnosis menderita diabetes.
 Hospital-related hiperglikemia: Hiperglikemia yang timbul selama
penderita dirawat di rumah sakit dan kembali normal setelah pasien
pulang. Inilah yang dikenal sebagai stress hiperglikemia.
Kondisi hiperglikemia yang terjadi pada pasien yang diketahui tidak
menderita diabetes, harus dilengkapi dengan pemeriksaan HbA1C.
Peningkatan kadar HbA1C >6,5 persen mengindikasikan bahwa pasien sudah
menderita diabetes sebelumya.6
Pada kasus didapatkan bahwa pasien tidak memiliki riwayat
diabetes mellitus, namun mengalami peningkatan kadar gula darah
sewaktu (182 mg/dl) pada hari pertama perawatan di rumah sakit. GDS
turun 99 mg/dl dan kadar HbA1c normal 5.2% pada hari perawatan ke-
lima.
2. Patofisiologi
Penyebab hiperglikemia pada diabetes tipe 2 adalah kombinasi dari
resistensi insulin dan gangguan pada sekresi sel β pankreas. Sedangkan
timbulnya stress hiperglikemia disebabkan oleh interaksi yang sangat kompleks
dari beberapa hormon kontraregulasi seperti katekolamin, growth hormone,
kortisol dan sitokin. Penyakit yang diderita pasien juga dapat mempengaruhi
tingkat produksi sitokin dan gangguan hormonal. Munculnya mekanisme
feedforward dan feedback yang kompleks antara beberapa hormon dan sitokin
tersebut pada akhirnya akan menimbulkan produksi glukosa hati yang
berlebihan dan resistensi insulin. Produksi glukosa di hati yang berlebihan
terutama melalui proses glukoneogenesis, tampaknya memegang peranan
terpenting dalam menimbulkan stress hiperglikemia. Sekresi glukagon yang
berlebihan adalah mediator utama timbulnya glukoneogenesis, meskipun
epinefrin dan kortisol juga ikut berperan. Tumor nekrosis faktor-α (TNF-α)
juga dapat memicu glukoneogenesis dengan merangsang produksi glucagon.6
Stress hiperglikemia ditandai dengan peningkatan ambilan glukosa di
seluruh tubuh,terutama disebabkan transport glukosa yang tidak diperantarai
insulin via GLUT-1 ke jaringan tubuh. Turunnya ambilan glukosa yang
diperantarai insulin (resistensi insulin), terutama akibat gangguan sinyal post
reseptor insulin yang menghasilkan penurunan transport glukosa yang
diperantarai GLUT-4 pada jaringan sensitif insulin seperti hati,otot dan lemak.
Penyimpanan glikogen otot juga berkurang. Produksi glukosa secara umum
meningkat,terutama akibat glukoneogenesis di hati. Akhirnya, glukosa dapat
dioksidasi di dalam sel tetapi metabolisme glukosa nonoksidatif (terutama
penyimpanan glikogen) terganggu.6
Timbulnya resistensi insulin pada saat sakit ditandai dengan kegagalan
dalam menghambat produksi glukosa di hati secara sentral. Sedangkan di
perifer, resistensi insulin terjadi melalui dua jalur utama.Berkurangnya ambilan
glukosa yang diperantarai oleh insulin sebagai akibat dari adanya gangguan
sinyal pada post-receptor insulin dan menurunnya peran glukosa transporter
(GLUT)-4.Sebagai tambahan, penyimpanan glukosa non-oksidatif juga
terganggu kemungkinan disebabkan oleh adanya penurunan sintesis glikogen
pada otot rangka. Sekresi hormon kortisol dan epinefrin yang berlebihan juga
akan menurunkan ambilan glukosa yang diperantarai oleh insulin. Beberapa
sitokin seperti TNFα dan interleukin 1 menghambat sinyal post-reseptor
insulin. Keparahan dari penyakit berkaitan dengan peningkatan kadar sitokin
dan resistensi insulin secara proporsional. Lebih jauh lagi, kondisi
hiperglikemia akan memperberat respons inflamasi, stress oksidatif dan sitokin
yang secara potensial akan menciptakan suatu siklus yang “mematikan” di
mana hiperglikemia akan menimbulkan hiperglikemia lebih lanjut. Resolusi
dari hiperglikemia berkaitan dengan kembali normalnya respons inflamasi.6
Resistensi insulin lebih lanjut akan mendorong timbulnya kondisi
katabolik di mana mulai berperannya proses lipolisis. Meningkatnya kadar
asam lemak bebas dalam sirkulasi pada gilirannya akan memperberat resistensi
insulin melalui gangguan sinyal insulin pada end-organ dan sintesis glikogen.
Lipotoksisitas dapat meningkatkan kondisi inflamasi sama halnya dengan
pengaruh glukotoksisitas. Glukotoksisitas, lipotoksisitas dan inflamasi dapat
dianggap sebagai komponen kunci yang berperan dengan timbulnya syndrome
resistensi insulin global pada penyakit akut. Ketiga komponen tersebut juga
dapat menimbulkan disfungsi endotel melalui proses sebab akibat yang rumit
terkait dengan resistensi insulin. Hiperinsulinemia memberikan konsekwensi
tambahan terhadap hiperglikemia yang terjadi, meliputi peningkatan inflamasi
dan respons hormone kontraregulator serta gangguan fibrinolisis. Meskipun
terjadi penurunan ambilan glukosa yang diperantarai insulin, tetap terdapat
peningkatan ambilan glukosa di seluruh tubuh,ini disebabkan oleh peran
GLUT-1 yang diperantarai oleh sitokin. GLUT-1 adalah transporter glukosa
yang terlibat dalam ambilan glukosa yang tidak diperantarai oleh insulin.Jadi
meskipun metabolisme glukosa non-oksidatif terganggu (sintesis glikogen),
metabolisme glukosa oksidatif tetap berlangsung.Intervensi terapeutik tertentu
seperti pemberian infus katekolamin, kortikosteroid, dan nutrisi enteral maupun
parenteral dapat menimbulkan hiperglikemia. Belum ada penelitian yang
membandingkan antara pasien sakit kritis yang menderita diabetes dengan
yang mengalami stress hiperglikemia. Oleh karena itu, masih belum jelas
apakah perbedaan dalam patofisiologi dapat menjelaskan perbedaan pada hasil
akhir.6

BAB IV
KESIMPULAN

Telah dilaporkan satu kasus sepsis e.c selulitis pedis dekstra pada seorang
pasien dengan pneumonia nosocomial, stress hiperglikemik dan sequel stroke.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Ditemukan tanda-tanda SIRS pada pasien berupa frekuensi pernapasan
22 kali/menit dan hitungan jumlah leukosit 24.650/mm3. Meskipun tidak
dilakukan uji biakan darah, tetapi tempat infeksi diduga berasal dari selulitis pada
tungkai kanan bawah. Selulitis dibuktikan dengan ditemukan gejala klinik berupa
eritema dengan batas tidak tegas, nyeri, bengkak dan teraba hangat dan kencang
pada tungkai kanan bawah disertai gejala sistemik berupa demam yang
berlangsung terus menerus. Pada kasus ini juga ditemukan kriteria pneumonia
nosocomial berupa onset penyakit muncul di hari perawatan ke-lima (> 48 jam),
dari foto thorax didapatkan infiltrate di perihiler dengan airbronchogram (+),
sekret purulent (+) dan leukositosis (12.68/mm3), dan terdapat stress
hiperglikemik yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah sewaktu (182
mg/dl) pada hari pertama perawatan di rumah sakit, padahal pasien tidak memiliki
riwayat penyakit diabetes mellitus sebelumnya. GDS turun 99 mg/dl dan kadar
HbA1c normal 5.2% pada hari perawatan ke-lima. Pemberian terapi dan
tatalaksana sesuai dengan penegakan diagnosis yaitu sepsis dan selulitis
menunjukkan perbaikan klinis. Penggunaan antibiotika diberikan spectrum luas
tanpa dilakukan kultur bakteri dapat digunakan secara empiris. Prognosis bonam
untuk sepsis dan selulisnya dimana didapatkan perbaikan klinis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hermawan S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Sepsis. 2014.
Jakarta: InternaPublishing.
2. Chlebicki M.P, Oh C.C. Recurrent cellulitis: risk factors, etiology, pathogenesis
and treatment. Curr Infect Dis Rep. 2014: 16(9):422-30.
3. Dahlan Z. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Pneumonia. 2014.
Jakarta: InternaPublishing.
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia. 2003.
5. Wiraguna A. Satu Kasus Selulitis Pedis Dekstra Dengan Onikomikosis Digiti I-V
Pedis Dekstra Et Sinistra Yang Disertai Gangguan Bipolar. 2018. Program
Pendidikan Dokter Spesialis I Bagian/Smf Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Unud/RSUP Sanglah Denpasar.
6. Dungan K.M, Braithwaite S.S, Preiser J.C. Stress hyperglycaemia. 2009: 373:1798-
807.

Anda mungkin juga menyukai