Pembimbing :
Penyusun:
Praluki Herliawan
12100117025
PENDAHULUAN
1
BAB II
ILUSTRASI KASUS
2.2 Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis
Keluhan Utama : Nyeri pada sendi
2
sejak 2 minggu SMRS dengan konsistensi dahak yang kental dan berwarna
kehijauan. OS juga mengeluhkan terdapat demam sejak 1 minggu SMRS,
demam dirasakan tidak terlalu tinggi dan hilang-timbul. OS juga mengeluhkan
nyeri pada kedua pinggang yang menjalar ke punggung sejak 2 minggu
SMRS. OS juga mengeluhkan lemas secara terus menerus sejak 2 minggu
SMRS.
Keluhan tidak disertai dengan demam tinggi yang terus menerus, nyeri
saat berkemih, dan bengkak pada kaki. OS juga menyangkal sering timbul
keringat malam dan adanya penurunan berat badan selama beberapa bulan
terakhir. Pasien mengaku pernah didiagnosis tuberkulosis paru dan meminum
obat selama 6 bulan dan sudah tuntas pengobatan. Pasien mengaku terdapat
tetangga disamping rumahnya yang mengalami keluhan serupa selama kurang
lebih 1 tahun dan belum mendapat pengobatan.
3
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (+/+), pupil bulat
isokor , refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung
(+/+)
Hidung : Deformitas (-), sekret (-/-), massa (-/-)
Telinga : Deformitas (-/-), sekret (-/-), massa (-/-)
Mulut : Mukosa oral basah, faring hiperemis (-), stomatitis (+)
Lidah : frenulum lingua ikterik
Leher : Trakea ditengah, pembesaran KGB (-), JVP 5 + 2 cm H2O
Thorax
Inspeksi : Pergerakan napas tampak simetris statis dan dinamis
Palpasi : Pergerakan napas teraba simetris statis dan dinamis,
fremitus taktil kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor pada lapang paru kanan dan kiri, batas paru hepar
pada sela iga ke-5, dengan peranjakan 1 sela iga
Auskultasi : Vesikuler pada lapang paru kanan dan kiri, ronkhi (+/-),
wheezing (-/-)
COR
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba pulsasi, tidak ada vibrasi
Perkusi :
Batas atas : Sela iga II garis parasternalis kiri
Batas kanan : linea parasternalis dekstra ICS V
Batas kiri : linea midklavikularis sinistra ICS V
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II terdengar regular, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen
inspeksi: Tampak datar
Auskultasi: Bising usus (+) 6 kali per menit
Perkusi: Timpani pada seluruh regio abdomen
Palpasi: Supel, hepar dan lien tidak teraba
Punggung: Nyeri ketuk CVA +/+
4
Ekstremitas atas: tenderness dan edema pada proximal phalanges 2 dan 3
Ekstremitas bawah: akral hangat, CRT < 2s, edema -/-/-/-, pada kaki
tungkai bawah baal (-)
2. 4 Resume
Seorang wanita berusia 35 tahun datang ke IGD RS Syamsudin SH dengan
keluhan keluhan nyeri pada sendi sejak 2 minggu SMRS. Nyeri dirasakan
secara terus menerus terutama pada sendi kecil seperti pada jari tangan. OS
juga mengeluhkan terdapat bengkak pada sendi pada jari tangan ketiga kanan,
keluhan disertai juga dengan batuk berdahak yang terus menerus sejak 2
minggu SMRS dengan konsistensi dahak yang kental dan berwarna kehijauan.
OS juga mengeluhkan terdapat demam sejak 1 minggu SMRS, demam
dirasakan tidak terlalu tinggi dan hilang-timbul. OS juga mengeluhkan nyeri
pada kedua pinggang yang menjalar ke punggung sejak 2 minggu SMRS. OS
juga mengeluhkan lemas secara terus menerus sejak 2 minggu SMRS. Pasien
juga mengeluhkan adanya nyeri pada kedua pinggang yang menjalar ke
punggung sejak 2 minggu SMRS.
1 tahun SMRS pasien sempat mengeluhkan batuk disertai dengan adanya
darah, keringat malam, merasa lemas dan demam selama 14 hari dan minum
pengobatan selama 6 bulan dan sudah tuntas pengobatan.
Pemeriksaan generalis:
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda-tanda vital
Tekanan darah: 100/70 mmHg
Laju Nadi : 80 x/menit
Laju Nafas : 24 x/menit
Suhu : 36,7°C
Pemeriksaan fisik:
Mata : konjungtiva anemis (+/+)
Mulut : Stomatitis (+)
5
Auskultasi Thorax: Ronkhi (+/-)
Punggung: Nyeri ketuk CVA +/+
Ekstremitas atas: tenderness dan edema pada proximal phalanges 2 dan 3
6
Radiologi
Kesimpulan :
Infiltrat di kedua paru, perselubungan di lapang tengah kanan DD/ pneumonia
kanan, massa paru.
7
2.7 Diagnosa Kerja
1. Systemic Lupus Erythematosus
2. Community-Acquired Pneumonia Kanan
3. Susp. Anemia of Inflammation
2.8 Tatalaksana
Hidromal
Ceftriaxone vial 1gr 2x1
Streptomycin 1x 750 mg
Omeprazole vial 1x1
Ondansendtron 3x1
RHZE dalam FDC 3x1
2.9 Prognosis
Quo ad vitam : Ad bonam
Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanatioam : Dubia ad bonam
8
Follow Up Pasien
Tgl S O A P
9
Tgl S O A P
10
Tgl S O A P
Trombosit: 762.000
11
Tgl S O A P
12
BAB III
KAJIAN KASUS
13
Perempuan, 35 tahun dengan Susp. Anemia of Inflammation
14
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Definisi
Sistemik lupus eritematosus (SLE) adalah penyakit otoimun yang
mengakibatkan kerusakan organ, jaringan, dan sel yang dimediasi karena
kompleks imun dan autoantibodi yang berikatan dengan antigen jaringan.2
4.1.1 Epidemiologi
Sistemik lupus eritematosus terutama menyerang wanita muda dengan
insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi dengan ratio
wanita: laki-laki 5:1. Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu
penyakit rematik utama di dunia. Prevalensi SLE di berbagai negara sangat
bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi antara 2,9/100.000 – 400/100.000.
SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, China, dan
mungkin juga Filipina. Terdapat juga tendensi familial. Prevalensi SLE di
Amerika 15-50 per 100.000 penduduk dengan etnis terbanyak yakni Amerika
Afrika. Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. 1,2
Beberapa data di Indonesia dari pasien yang dirawat di Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ditemukan 37,7 %
kasus pada tahun 1998-1990.1
4.1.2 Patogenesis
Etiologi dan pathogenesis SLE belum diketahui dengan jelas. Meskipun
demikian, terdapat banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktor, dan
ini mencakup pengaruh faktor genetik, lingkungan dan hormonal terhadap respon
imun. Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan serta ekspresi
penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE mempunya kerabat dekat yang juga
menderita SLE. Angka terdapatnya SLE pada kembar identik 24-69% lebih tinggi
dari saudara kembar non identik 2-9%.1
Penelitian terakhir yang menunjukkan beberapa gen berikut HLA_DR 2
dan HLA-DR 3 berperan dalam mengkode unsur sistem imun. Gen lain yang ikut
15
berperan seperti gen yang mengkode sel reseptor T, imunoglobulin, dan sitokin.
Sistem neuroendokrin ikut berperan melalui pengaruhnya terhadap sistem imun.
Penelitian menunjukkan bahwa sistem neuroendokrin dengan sistem imun saling
mempunyai hubungan timbal balik. Beberapa penelitian berhasil menunjukkan
bahwa hormon prolaktin dapat merangsang respon imun.1
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu pada individu yang mempunyai
predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal pada sel CD4
mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self antigen. Akibatnya
muncullah sel T autoreaktif yang menyebabkan induksi dan ekspansi sel B, baik
yang memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Wujud pemicu
ini masih belum jelas. Sebagian diduga hormon seks, sinar UV, infeksi. 1
Pada SLE autoantibodi terbentuk ditujukan terhadap antigen yang
terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein
histon dan non histon. Kebanyakan di antaranya adalah dalam keadaan alamiah
terdapat dalam bentuk agregat protein dan kompleks protein RNA. Ciri khas
autoantigen ini mereka tidak tissue spesific dan merupakan komponen integrasi
dari semua jenis sel. 1
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti nuclear antibodi).
Dengan antigen spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar di
sirkulasi. Klirens kompleks imun menurun, meningkatnya kelarutan kompleks
imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan uptake
kompleks imun pada limpa terjadi pada SLE. Sehingga kompleks imun tersebut
deposit ke luar sistem fagosit mononuklear. Endapannya di berbagai organ
mengakibatkan aktivasi komplemen sehingga terjadi peradangan. Organ tersebut
bisa berupa ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dll. 1
16
Manifestasi renal. Komplikasi ini mengancam jiwa dan terjadi pada 30%
pasien dengan SLE. Nefritis terjadi pada beberapa tahun awal SLE. Gejala awal
bisa asimtomatik, sehingga pemeriksaan urinalisis dan tekanan darah penting.
Karakteristik manifestasi renal berupa proteinuria >500 mg/urin 24 jam, sedimen
eritrosit. Klasifikasi glomerulonefritis akibat SLE terdiri dari beberapa kelas. 3
1. Minimal mesangial lupus nefritis
2. Mesangial proliferatif lupus nefritis
3. Fokal lupus nefritis
4. Difus lupus nefritis
5. Membranosa lupus nefritis
6. Sklerosis lupus nefritis
Manifestasi neuropsikiatrik. Terdapat 19 manifestasi lupus
neuropsikiatrik yang bisa dibuktikan hanya dengan biopsi. Gejala yang dirasakan
berupa nyeri kepala, kejang, depresi, psikosis, neuropati perifer. Manifestasi
sistem saraf pusat berupa aseptik meningitis, penyakit serebrovaskuler, sindrom
demielinasi, nyeri kepala, gangguan gerakan, mielopati, kejang, penurunan
kesadaran akut, kecemasan, disfungsi kognitif, gangguan mood, psikosis.
Manifestasi sistem saraf perifer berupa polineuropati perifer akut, gejala autonom,
mononeuropati, miastenia gravis, neuropati kranial, pleksopati. 3
Manifestasi muskuloskeletal. Manifestasi yang satu ini merupakan
manifestasi yang paling sering mengungkap terjadi SLE pada pasien. Atralgia dan
mialgia merupakan gejala tersering. Keluhan ini sering kali dianggap mirip
dengan artritis reumatoid dan bisa disertai dengan faktor reumatoid positif.
Perbedaannya SLE biasanya tidak menyebabkan deformitas, durasi kejadian
hanya beberapa menit.1,3
Manifestasi kulit. Gejala yang terjadi berikut berupa rash malar dan
diskoid. Sering dicetuskan oleh fotosensitivitas. Bisa terjadi alopesia. Manifestasi
oral berupa terbentuknya ulkus atau kandidiasis, mata dan vagina kering.
Perhatikan gambar 1 berikut malar rash dan gambar 2 alopesia berat akibat
SLE.3,4
17
Gambar 1. Rash malar4
18
Manifestasi vaskuler. Fenomena raynaud, livedo reticularis yang
merupakan abnormalitas mikrovaskuler pada ekstremitas, trombosis merupakan
komplikasi yang terjadi. Gambar berikut 3 menunjukkan livedo reticularis. 3-6
4.1.4 Diagnosis
Kriteria diagnosis yang digunakan adalah dari American College of
Rheumatology 1997 yang terdiri dari 11 kriteria, dikatakan pasien tersebut SLE
jika ditemukan 4 dari 11 kriteria yang ada. Berikut ini adalah 11 kriteria
tersebut.1,7
No Kriteria Batasan
1 Rash malar Eritema, datar atau timbul di atas eminensia
malar dan bisa meluas ke lipatan nasolabial
2 Discoid rash Bercak kemerahan dengan keratosis bersisik
dan sumbatan folikel. Pada SLE lanjut
19
ditemukan parut atrofi
3 Fotosensitivitas Ruam kulit akibat reaksi abnormal terhadap
sinar matahari
4 Ulkus oral Ulserasi oral atau nasofaring yang tidak nyeri
5 Artritis nonerosif Melibatkan 2 atau lebih sendi perifer dengan
karakteristik efusi, nyeri, dan bengkak
6 Pleuritis atau a. Pleuritis: nyeri pleuritik, ditemukannya
perikarditis pleuritik rub atau efusi pleura
b. Perikarditis: EKG dan pericardial friction
rub
7 Gangguan renal a. Proteinuria persisten > 0,5 gr per hari atau
kualifikasi >+++
b. Sedimen eritrosit, granular, tubular atau
campuran
8 Gangguan a. Kejang- tidak disebabkan oleh gangguan
neurologis metabolik maupun obat-obatan seperti
uremia, ketoasidosis, ketidakseimbangan
elektrolit
b. Psikosis- tanpa disebabkan obat maupun
kelainan metabolik di atas
9 Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulositosis
hematologi b. Leukopenia < 4000/uL
c. Limfopenia < 1500/uL
d. Trombositopenia< 100,000/uL
10 Gangguan imunologi a. antiDNA meningkat
b. anti Sm meningkat
c. antibodi antifosfolipid: IgG IgM
antikardiolipin meningkat, tes koagulasi
lupus (+) dengan metode standar, hasil (+)
palsu dan dibuktikan dengan pemeriksaan
imobilisasi T.pallidum 6 bulan kemudian
20
atau fluoresensi absorsi antibodi
11 Antibodi antinuklear Titer ANA meningkat dari normal
(ANA)
4.1.5 Penatalaksanaan
Tidak ada kata sembuh untuk SLE, remisi komplit pun jarang terjadi. Oleh
karena itu perlu diperhatikan untuk mengendalikan serangan akut dan mengatur
stratefi sehingga dapat mensupresi terjadinya kerusakan target organ. Tatalaksana
diberikan sesuai manifestasi klinis yang terjadi dan dibagi dalam kelompok yang
mengancam nyawa dan tidak mengancam nyawa.2,3
21
kortikosteroid dosis rendah 15mg tiap pagi. Atau metrotreksat 7,5-15 mg/minggu.
Atau bisa dipertimbangkan pemberian cox-2 inhibitor.1,7
Lupus kutaneus. Menggunakan sunscreen untuk melindungi tubuh
sehingga mengurangi gejala fotosensitivitas. Sunscreen topikal berupa krem,
minyak, lotio atau gel yang mengandung PABA, ester, benzofenon, salisilat dan
sinamat. Sunscreen dipakai ulang setelah mandi atau berkeringat. Dermatitis lupus
diberikan kortikosteroid topikal krem, salep atau injeksi. Antimalaria juga dapat
digunakan karena memiliki efek sunblock dan sunscreen. 1,7
Fatigue dan keluhan sistemik. Tidak memerlukan terapi spesifik. Cukup
menambah waktu istirahat dan menunjukkan empati. 1,7
Serositis. Nyeri dada dan abdomen merupakan tanda serositis. Keadaan
ini diatasi dengan NSAID, antimalaria atau glukokortikoid dosis 15 mg/hari. Pada
keadaan berat memerlukan kostikosteroid sistemik. 1,7
22
Gastrointestinal: vaskulitis mesenterika, pankreatitis
Renal: nefritis persisten, glomerulonefritis progresif, sindroma nefrotik
Kulit: vaskulitis, ruam dengan ulserasi difus
Konstitusional: demam tinggi tanpa infeksi yang jelas
Glukokortikoid. Prednison oral 1-1,5 mg/kg/hari atau metilprednisolon
bolus 1gram selama 3-5 hari yang dilanjutkan dengan prednison oral. Respon
terapi dilihat selama 6 minggu pertama, jika respon baik maka dosis steroid
diturunkan 5-10% tiap minggu. Setelah sampai dosis 30 mg/hari diberikan
penurunan 2,5 mg/minggu, jika sudah sampai dosis 10-15 mg/hari, turunkan dosis
1mg/minggu. Jika terjadi eksaserbasi berikan dosis efektif, lalu turunkan lagi.1,7
Imunosupresan. Imunosupresan ini diberikan jika hanya tidak respon
dengan terapi steroid, setelah 4 minggu pemberian. Contoh imunosupresan yang
bisa diberikan berupa siklofosfamid, azatioprin, metotreksat, klorambusil,
siklosporin. Pilihan obat tergantung keadaan. Untuk artritis berat pilihannya
adalah metotreksat. Nefritis lupus diberikan siklofosfamid atau azatioprin.
Siklofosfamid bolus 0,5-1 gr/m2 dalam 250 cc NS selama 1 jam diikuti pemberian
cairan 2-3 L/24 jam. Jika ada nefritis, dosis siklofosfamid hanya 500-750 mg/m2.
Pemberiannya selama 6 bulan, kemudian dalam 3 bulan selama 2 tahun.
Azatioprin oral 1-3 mg/kg/hari selama 6-12 bulan. Siklosporin 3-6 mg/kg/hari
untuk nefritis SLE. Metotreksat 7,5-20 mg/minggu terbagi 3 dosis oral atau
injeksi. 1,7
Terapi lain seperti imunoglobulin 300-400 mg/kg/hari selama 5 hari
berturut-turut untuk mencegah kekambuhan masih dalam proses penelitian. Selain
itu, plasmaferesis juga masih dalam penelitian. 1,7
4.1.7 Prognosis
Studi di Eropa pada 1000 pasien SLE menunjukkan 92% dengan terapi
optimal memiliki survival rate 10 tahun, dan menurun 88% pada pasien dengan
nefropati. Usia rata-rata kematian 44 tahun, dan usia tertua untuk kematian 81
tahun. Penyebab kematian terbesar adalah lupus nefritis.3
23
4.2 Community Acquired Pneumonia
4.2.1 Definisi
Pneumonia merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim
dari paru-paru. Di samping penyakit ini merupakan penyebab yang
signifikan morbiditas dan mortalitas, pneumonia kadang salah
terdiagnosis, salah dalam penatalaksanaannya dan kadang dianggap
penyakit yang tidak penting.1
CAP sendiri adalah suatu infeksi yang menyerang alveoli, jalan
nafas distal dan jaringan intersisial dari paru-paru yang terjadi di luar
lingkup rumah sakit. Karakteristik secara klinis dari penyakit ini ialah
demam, menggigil, batuk, nyeri dada pleuritik, produksi sputum dan
ditemukannya minimal 1 opasitas dari foto rontgen thorax. Terdapat empat
bentuk umum dari pneumonia, yaitu pneumonia lobaris,
bronkopneumonia, pneumonia interstitial, dan pneumonia miliar.
Pneumonia lobaris terjadi di satu lobus paru secara menyeluruh,
bronkopneumonia merupakan konsolidasi yang bersifat tidak menyeluruh
pada satu atau beberapa lobus yang biasanya terdapat di bagian posterior
sekitar bronkus dan bronkiolus. Pneumonia intersisial merupakan
inflamasi dari intersisial, termasuk dinding alveolus dan jaringan ikat di
sekitar cabang dari bronkovaskular. Pneumonia miliar merupakan lesi
pada paru yang disebabkan oleh penyebaran hematogen.1
4.2.2 Epidemiologi
Pneumonia merupakan salah satu penyebab utama kematian di
seluruh dunia dan merupakan penyebab kematian ke tujuh di Amerika
Serikat. Penyakit ini adalah penyebab kematian nomor satu dari golongan
penyakit menular di Amerika Serikat. Setiap tahun di Amerika Serikat, ada
sekitar 1-2.000.000 kasus Community Acquired Pneumonia mengarah ke
sebanyak 1,1 juta pasien di rawat inap dan 45.000 mengalami kematian.2
Insidens CAP adalah yang tertinggi pada kelompok usia ekstrim,
yaitu sekitar 915.900 kasus pada pasien berusia > 65 tahun setiap tahun di
Amerika Serikat. Angka kematian kurang dari 1% untuk orang dengan
24
CAP yang tidak memerlukan rawat inap, namun rata-rata angka kematian
dari 12% sampai 14% di antara sakit pasien dengan CAP yang dirawat di
rumah sakit. Di antara pasien yang dirawat di unit perawatan intensif
(ICU), atau pasien bacteremic, atau yang berasal dari panti jompo, rata-
rata angka kematian meningkat menjadi 30% sampai 40%. Oleh karena
itu, sangat penting bahwa dokter mengenali dan mengobati CAP tepat.2
25
Paparan terhadap kelelawar Histoplasma capsulatum
Paparan terhadap unggas Chlamydia psittaci,
Cryptococcus neoformans,
H. Capsulatum
Paparan terhadap kelinci Francisella tularensis
Demensia, Stroke, penurunan Bakteri anaerob oral, bakteri gram
kesadaran negatif enteric
Paparan terhadap hewan ternak atau Coxiella burnetii (Q fever)
kucing yang melahirkan
Influenza aktif di lingkungan sekitar Influenza, S. pneumoniae,
S. aureus, H. Influenzae
Penyakit paru P. aeruginosa, Pseudomonas
struktural (bronchiectasis, cystic cepacia, atau S. Aureus
fibrosis, etc.)
Pengguna obat jarum suntik S. aureus, bakteri anaerob,
Mycobacterium
tuberculosis, Pneumocystis carinii
Obstruksi endobronkial Bakteri anaerob
Pengobatan antibiotik sebelumnya Drug-resistant pneumococci, P.
Aeruginosa
4.2.3 Klasifikasi
Klasifikasi dan penentuan tingkat keparahan pada CAP ditentukan
terutama ditentukan untuk mengetahui rekomendasi rawat inap dan untuk
menentukan prognosis dari CAP ini. Ada 2 macam grading yang digunakan pada
CAP yaitu CURB – 65 / CRB – 65 dan Pneumonia Severity Index (PSI).4,5
26
Faktor Klinis Poin
Confusion (terlihat bingung) 1
Blood Urea nitrogen > 19 mg per dL (BUN) 1
Respiratory rate > 30 breaths per minute 1
(frekuensi napas)
Systolic Blood pressure < 90 mm Hg (tekanan 1
darah sistolik)
or
Diastolic Blood pressure < 60 mm Hg ( tekanan
darah diastolik)
Age > 65 years (usia) 1
Total poin:
Skor CURB-65 Tingkat kematian (%) Rekomendasi
0 0.6 Resiko rendah, dipertimbangkan untuk rawat di
1 2.7 rumah.
2 6.8 Rawat inap sementara atau rawat jalan dengan
pengawasan ketat.
3 14.0 Pneumonia berat; rawat inap dan pertimbangkan
4 or 5 27.8 untuk rawat di ICU
CURB-65 = Confusion, Urea nitrogen, Respiratory rate, Blood pressure, 65 years
of age and
older.
27
CRB-65 = Confusion, Respiratory rate, Blood pressure, 65 years of age and older.
Usia
Pemeriksaan Fisik
28
pH darah (arterial) <7.35 +30
Efusi pleura 10
I 0 0.1
II <70 0.6
IV 91-130 8.2
V >130 29.2
29
Pasien dengan CAP grade I dan II menurut PSI dapat menjalani
rawat jalan saja apabila tidak ada instabilitas hemodinamik, tidak
memerlukan oksigen tambahan secara kronis, imunokompeten, dan dapat
mengkonsumsi obat oral. Pasien grade III harus dipertimbangkan untuk
rawat inap sementara atau dapat rawat jalan, diputuskan sesuai dengan
kondisi klinisnya, sedangkan pasien grade IV dan V direkomendasikan
untuk rawat inap.
Sedangkan berdasarkan CURB – 65, pasien dengan skor 0 – 1
dirawat jalan, skor 2 dirawat dalam bangsal biasa, dan skor >= 3 dirawat
inap dalam pelayanan ICU.
Namun ada beberapa kategori sehingga pasien dengan resiko
kematian rendah perlu di rawat jalan:
1. Terdapat komplikasi dari pneumonia tersebut
2. Terdapat eksaserbasi dari penyakit lain yang mendasarinya misalnya
PPOK, Dekompensasio Kordis, atau Diabetes Melitus.
3. Tidak mampu untuk mengkonsumsi obat oral atau menjalani
pengobatan rawat jalan
4. Faktor resiko multipel yang mendekati batas skor
Selain itu dapat pula seorang pasien yang perlu dirawat inap karena
hipoksemia, atau pasien dengan skor PSI rendah (I-III) yang perlu dirawat
inap karena syok, dekompensasi dari penyakit lain, effusi pleura, masalah
sosial dan masalah pengasuhan di rumah karena pasien memerlukan
pengasuhan khusus, serta riwayat respon yang tidak adekuat terhadap
antibiotik empiris. Pada pasien pengguna jarum suntik, muntah terus
menerus yang sulit diatasi, penyakit psikiatri berat, homelessness, tidak
dapat berfungsi dengan baik secara sosial dan kognitif.
4.2.4 Etiologi
30
ketika diagnostik secara ekstensif dilakukan. Tidak ada tes tunggal yang tersedia
untuk mengidentifikasi seluruh pathogen potensial dan setiap diagnostic
mempunyai keterbatasan. Seperti misalnya, kultur sputum untuk bakteri gram
kurang dapat menunjukkan adanya bakteri Streptococcus pneumonia dan tesi ini
juga tidak dapat mendeteksi pathogen lain seperti Mycoplasma pneumoniae,
Chlamydia pneumoniae, Legionella spp., dan virus-virus respiratori.
Pada saat ini juga terjadi peningkatan kewaspadaan pada pathogen terbaru
(seperti hantavirus) dan pathogen “atipikal”. Pada beberapa penelitian, sejumlah
besar pasien tidak memiliki etiologi yang jelas. Hal ini bisa disebabkan karena
penanganan sebelumnya dengan antibiotic, pathogen yang tidak biasa ditemui
seperti fungi, Coxiella burnetii, infeksi virus, dan munculnya pathogen yang
sekarang tidak dikenal atau tidak teridentifikasi.
31
3. Jenis kelamin : Dengan alasan yang tidak diketahui, hepatitis jenis ini lebih
sering terjadi pada perempuan.
4. Konsumsi alkohol : orang yang mengkonsumsi alkohol lebih rentan
terhadap hepatiis karena obat karena kerusakn hati mengubah metabolisme
obat-obatan. Alkohol menyebabkan penipisan glutathione (hepatoprotektif)
yang membuat orang lebih rentan.
5. Faktor resiko lain : Orang dengan AIDS, malnutrisi, dan berpuasa mungkin
rentan terhadap narkoba karena rendahnya glutathione.
4.2.6 Gejala
Presentasi klinis hepatitis akibat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terkait
mirip dengan hepatitis virus akut. OAT bisa menyebabkan hepatotoksisitas
dengan tingkat gejala yang bervariasi dari asimtomatik hingga simptomatik
seperti mual, muntah, anoreksia, jaundice, dll. Enzim hati transaminase
mengalami kenaikan seperti pada kegagalan hati akut. (Kishore, dkk, 2010).
Jika dalam pasien tuberculosis yang sedang dalam pengobatan OAT dan
memberikan gejala hepatitis akut seperti di bawah ini, maka hal ini dapat
dijadikan acuan diagnose hepatotoksisitas imbas OAT telah terjadi. Individu yang
dijangkiti akan mengalami sakit seperti kuning, keletihan, demam, hilang selera
makan, muntah-muntah, sclera ikterik, jaundice, pusing dan kencing yang
berwarna hitam pekat1
4.2.7 Diagnosis
Manisfestasi klinis berupa batuk, demam, produksi sputum, dan
nyeri dada pleuritik. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan suara nafas
bronkial dan ronkhi (rales) pada paru – paru, namun kurang sensitif dan
tidak spesifik sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang yaitu dengan
radiografi paru (chest x-ray). Pemeriksaan radiologi ini penting untuk
menegakkan diagnosis, serta membedakan CAP dari penyakit paru lain
yang juga memberikan gambaran batuk dan demam seperti bronkitis akut.
Selain itu dari pemeriksaan radiologi kita dapat menduga agen penyebab
infeksi, prognosis, diagnosis banding, dan kondisi lain yang berhubungan.
32
Pada pasien yang dirawat inap dengan kecurigaan pneumonia namun
dengan hasil radiologi negatif, boleh diberikan terapi secara presumptif
dengan antibiotik, lalu dilakukan pemeriksaan ulang radiologi 24 – 48 jam
kemudian. Etiologi pasti perlu ditentukan apabila ada resistensi terhadap
antibiotik yang digunakan secara empiris dan terapi antibiotik akan diganti
sesuai dengan etiologinya. Antibiotik spektrum luas yang
direkomendasikan pada umumnya tidak berguna pada psittacosis dan
tularemia. Selain itu diagnosis etiologi juga perlu dilakukan bila akan
menimbulkan implikasi epidemiologis yang penting karena sangat
menular. Misalnya pada SARS ( Severe Acute Respiratory Syndrome),
influenza, legionnaires disease atau bioterorisme agent. Menentukan
etiologi pasti dapat dilakukan dengan cara kultur darah, kultur sputum,
atau kultur cairan pleura. Selain itu dapat pula dilakukan non
bronchoscopic bronchovascular lavage (BAL). 87% kultur dari BAL
adalah positif, bahkan pada pasien yang telah menerima pengobatan
antibiotik. Indikasi untuk melakukan BAL, protected specimen brushing,
dan transthoracic lung aspiration ini adalah pada pasien
immunocompromise dan CAP gagal pengobatan.6
4.2.8 Patogenesis
33
yang lebih besar yang terinhalasi sebelum mereka mencapai saluran pernafasan
bawah, dan cabang dari trakeobronkial menangkap juga partikel dari saluran
pernafasan tersebut, dimana klirens mukosiliar dan factor local antibacterial juga
membersihkan atau membunuh pathogen potensial. Reflex dan mekanisme batuk
juga dapat melindungi dari aspirasi. Flora normal yang menempel pada sel
mukosa dari oropharynx juga dapat mencegah bakteri pathogen dalam mengikat
dan dapat menurunkan risiko pneumonia.
34
Peningkatan pernafasan pada Systemic Inflammatory Response Syndrome
(SIRS) dapat menyebabkan alkalosis respiratori. Penurunan compliance karena
kebocoran kapiler, hypoxemia, peningkatan pernafasan, peningkatan sekresi dan
bronkospasm dapat memicu terjadinya dyspnea. Jika terjadi cukup parah,
perubahan struktur mekanis dari paru juga dapat terjadi seperti penurunan dari
volume paru dan komplians dan shunting aliran darah intrapulmoner dapat
menyebabkan kematian pada pasien.
4.2.10 Tatalaksana
Pasien dengan CAP seringkali datang dengan gejala demam,batuk
berdahak, dan nyeri dada (pleuritic pain). Pasien disarankan untuk beristirahat dan
terutama berhenti merokok serta bila disertai demam maka pasien dianjurkan
untuk meminum banyak air. Bila pasien mengeluh nyeri dada, maka penting
untuk diberikan penghilang rasa sakit seperti parasetamol atau NSAID. Status gizi
juga penting untuk menunjang hasil dari terapi dan untuk pencegahan penyakit
agar tidak berkelanjutan. Pada pasien dengan CAP dapat terjadi keadaan hipoksia
karena aliran darah paru tidak disertai jaringan paru yang ventilasinya baik. Gejala
klinis yang timbul dapat berupa takipneu, dispneu dan perubahan status mental.
Semua pasien harus menerima terapi oksigen yang sesuai dengan pemantauan
saturasi oksigen dan konsentrasi oksigen terinspirasi dengan tujuan untuk
mempertahankan PaO2 di >8 kPa dan SpO2 94-98%. Temperatur, laju
pernafasan, denyut nadi, tekanan darah, status mental, saturasi oksigen dan
konsentrasi oksigen inspirasi harus dipantau dan dicatat setidaknya dua kali sehari
dan dapat lebih sering pada mereka dengan pneumonia berat atau membutuhkan
terapi oksigen biasa. Pasien harus ditinjau dalam 24 jam dari bila direncanakan
35
untuk pulang, dan mereka tidak boleh memiliki lebih dari satu dari karakteristik
berikut ini : suhu >37.8 0C, denyut jantung >100x/menit, laju pernapasan
>24/min, tekanan darah sistolik <90 mmHg, saturasi oksigen <90%, serta
ketidakmampuan untuk mempertahankan asupan oral dan status mental yang
abnormal.
Tujuan utama terapi dengan antibiotik adalah untuk mengeradikasi
organisme patogen sehingga terjadi perbaikan klinis pasien. Penggunaan obat anti
mikroba harus disesuaikan dengan patogen penyebab dan kerentanannya dengan
antibiotik. Namun, sampai tersedia metode diagnostik yang lebih akurat dan
cepat, pengobatan awal yang diberikan berdasarkan empiris. Pemilihan untuk
terapi antimikrobial empiris didasarkan pada patogen yang sering dan pola
patogen daerah setempat. Walaupun patogen penyebab telah teridentifikasi,
banyak perdebatan mengenai antibiotik spesifik karena studi terbaru menemukan
adanya koinfeksi dengan patogen atipikal seperti C.pneumoniae, Legionella sp.
dan virus.
Terapi secara empiris ini terutama diarahkan pada S.pneumoniae yang
tetap menjadi penyebab utama CAP. Selain dari M pneumoniae, patogen atipikal,
Legionella sp dan bakteri b-laktamase yang jarang menginfeksi pada penumonia
komunitas. Untuk alasan ini, maka pemilihan antiobiotik amoksisilin masih sering
digunakan. Terapi alternatif lainnya bila pasien mengalami hipersensitiftas
terhadap penisilin yaitu dapat digunakan Doksisiklin dan makrolide seperti
clarithromycin dan erithromycin. Pasien yang dirujuk ke rumah sakit dengan
suspek CAP dimana penyakitnya ini dianggap dapat mengancam jiwa, maka
dokter umum harus memberikan antibiotik untuk golongan pneumococcal
pneumonia (penyebab tersering CAP berat) dengan memberikan penisilin G 1,2 g
secara IV atau dengan amoksisilin 1 g oral.
Rekomendasi antibiotik umumnya bukan kelas obat tertentu, kecuali hasil
data jelas mendukung satu obat. Obat yang lebih poten diutamakan karena
keuntungannya dalam menurunkan angka resiko terjadi resistensi antibiotik.
Faktor-faktor lain untuk pertimbangan antimikroba spesifik termasuk
farmakokinetik/ farmakodinamik, kepatuhan, keamanan, dan biaya.
Terapi antimikrobial empiris
36
I. Pasien rawat jalan
a) Untuk pasien yang sebelumnya sehat dan tidak terdapat resiko
resisten dengan obat S.pneumonia dapat diberikan makrolide
(azithromycin, clarithromycin, erythromycin) atau Doxycycline
b) Pasien dengan komorbid penyakit jantung, paru-paru, hati, atau
ginjal kronis; diabetes melitus, kecanduan alkohol, keganasan,
asplenia, kondisi atau penggunaan obat immunosupresif,
penggunaan antimikroba dalam 3 bulan sebelumnya atau bila
terdapat faktor resiko terjadinya resistensi obat dapat diberikan
obat golongan fluoroquinolone (moxifloxacin, gemifloxacin, or
levofloxacin (750 mg) atau dengan gabungan β-lactam dan
macrolide (amoxicillin, amoxicillin-clavulanate) dengan
alternatif ceftriaxone, cefpodoxime, and cefuroxime
II. Pasien rawat inap bangsal
a) fluoroquinolone
b) β-lactam (cefotaxime, ceftriaxone, dan ampicillin; ertapenem)
dan macrolide (doxycycline)
III. Pasien rawat inap ICU
a) β-lactam(cefotaxime, ceftriaxone, atau ampicillin-sulbactam)
ditambah azithromycin atau fluoroquinolon (untuk pasien yang
alergi penisilin, fluoroquinolon dan aztreonam dapat
direkomendasikan)
b) Untuk infeksi oleh Pseudomonas, digunakan antipneumococcal,
antipseudomonal β-lactam (piperacillin-tazobactam,cefepime,
imipenem, atau meropenem) ditambah dengan ciprofloxacin or
levofloxacin (750mg)
37
4.2.11 Terapi patogen spesifik
Pilihan pengobatan dapat disederhanakan jika etiologi telah diidentifikasi.
Prosedur diagnostik untuk menentukan etiologi spesifik dalam 24-72 jam berguna
untuk terapi lanjutan. Terapi antibiotik harus diberikan sesegera mungkin bila ada
kecurigaan tentang pneumonia karena penundaan pemberian antibiotik dapat
memberi konsekuensi yang buruk. Untuk pasien dengan sakit parah dan keadaan
hemodinamik yang tidak stabil, pemberian antibiotik sangat dianjurkan.
38
Tabel 1. Rekomendasi antibiotik untuk patogen spesifik
39
4.3. Anemia
4.3.1 Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa
eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.
4.3.2 Epidemiologi
4.3.3 Kriteria
Parameter yang paling umum untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah
kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Harga normal
hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologis tergantung jenis kelamin, usia, kehamilan
dan ketinggian tempat tinggal.
4.3.4 Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi. Klasifikasi morfologi
didasarkan pada ukuran dan kandungan hemoglobin.
40
1. Anemia makrositik - Bentuk eritrosit yang - Anemia Pernisiosa
normokromik besar dengan - Anemia defisiensi folat
konsentrasi hemoglobin
yang normal
1. Hipoproliferatif
Hipoproliferatif merupakan penyebab anemia yang terbanyak. Anemia
hipoproliferatif ini dapat disebabkan karena:
b. Defisiensi besi
c. Stimulasi eritropoietin (EPO) yang inadekuat
Keadaan ini terjadi pada gangguan fungsi ginjal
41
e. Penurunan kebutuhan jaringan terhadap oksigen (misalnya pada keadaan
hipotiroid)
Pada jenis ini biasanya ditemukan eritrosit yang normokrom normositer, namun
dapat pula ditemukan gambaran eritrosit yang hipokrom mikrositer, yaitu pada
defisiensi besi ringan hingga sedang dan penyakit inflamasi. Kedua keadaan tersebut
dapat dibedakan melalui pemeriksaan persediaan dan penyimpanan zat besi.
2. Gangguan pematangan
Pada keadaan anemia jenis ini biasanya ditemukan kadar retikulosit yang “rendah”,
gangguan morfologi sel (makrositik atau mikrositik), dan indeks eritrosit yang
abnormal. Gangguan pematangan dapat dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu:
42
besi yang berat, gangguan sintesa globin (misalnya pada thalasemia), dan
gangguan sintesa heme (misalnya pada anemia sideroblastik)
43
4.3.5 Gejala
B. Indeks eritrosit
a. Mean Cell Volume (MCV) = hematokrit x 10
Jumlah eritrosit x 10 6
(N: 90 + 8 fl)
(N: 30 + 3 pg)
(N: 33 + 2%)
44
4. Persediaan Zat Besi
a. Kadar Fe serum ( N: 9-27µmol/liter )
b. Total Iron Binding Capacity ( N: 54-64 µmol/liter)
Bila MCV < 80, maka disebut mikrositosis dan bila > 100 dapat disebut sebagai
makrositosis. Sedangkan MCH dan MCHC dapat menilai adanya defek dalam sintesa
hemoglobin (hipokromia)
45
tulang. Retikulosit mengandung residual RNA yang akan dimetabolisme dalam waktu
24-36 jam (waktu hidup retikulosit dalam sirkulasi). Kadar normal retikulosit 1-2%
yang menunjukkan penggantian harian sekitar 0,8-1% dari jumlah sel darah merah di
sirkulasi.
Indeks retikulosit merupakan perhitungan dari produksi sel darah merah. Nilai
retikulosit akan disesuaikan dengan kadar hemoglobin dan hematokrit pasien
berdasarkan usia, gender, sarta koreksi lain bila ditemukan pelepasan retikulosit
prematur (polikromasia). Hal ini disebabkan karena waktu hidup dari retikulosit
prematur lebih panjang sehingga dapat menghasilkan nilai retikulosit yang seolah-
olah tinggi.
Ht 35% : 1,5
Ht 25% : 2,0
Ht 15% : 2,5
Keterangan: RI < 2-2,5% : produksi atau pematangan eritrosit yang tidak adekuat
46
Serum feritin digunakan untuk menilai cadangan total besi tubuh. Namun, feritin
juga merupakan suatu reaktan fase akut, dan pada keadaan inflamasi baik akut
maupun kronis, kadarnya dapat meningkat.
47
BAB V
KESIMPULAN
Rangkuman terapi
1. Hidromal
2. Ceftriaxone vial 1gr 2x1
3. Streptomycin 1x 750 mg
4. Omeprazole vial 1x1
5. Ondansendtron 3x1
6. Ketoroloac
7. RHZE dalam FDC 3x1
8. O2 2 litre/menit
Dengan prognosis:
48
DAFTAR PUSTAKA
49
11. Shah, Purvin B, et al. The newer guidelines for the management of
community – acquired pneumonia. J Am Osteopath Assoc December 1,
2004 vol. 104 no. 12 521-526
12. Aujesky D, Auble TE, Yealy DM, Stone RA, Obrosky DS, Meehan TP,
Graff LG, Fine MJ. Prospective comparison of three validated prediction
rules for prognosis in community-acquired pneumonia. Am J Med. 2005
Apr;118(4):384-92.
13. Lim WS, van der Eerden MM, Laing R, Boersma WG, Karalus N, Town
GI, Lewis SA, Macfarlane JT. Defining community acquired pneumonia
severity on presentation to hospital: an international derivation and
validation study. Thorax. 2003 May;58(5):377-82.
14. The IDSA/ATS consensus guideline on the management of CAP in adults.
2007.
15. Wedzicha J.A, Johnston S.L, Brown J.S, et al. Guidelines for the
management of community acquired pneumonia in adults: update 2009.
BMJ 2009:64
16. Weiss G and Goodnough, 2005, Anemia of Chronic Disease, download
from www.nejm.org on june 22, 2006.
50