Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

DYSPEPSIA

Penguji:
dr. Kartika Radianti Wardhani

Disusun Oleh:
Fadhil Mayudha

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PESANGGRAHAN
JAKARTA SELATAN, DKI JAKARTA
PERIODE 12 MEI 2022 – 11 NOVEMBER 2022
STATUS PASIEN
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. F
Umur : 20 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Mahasiswa
Status perkawinan : Belum menikah
Alamat : Jalan Kesehatan Bawah, Bintaro
Tanggal masuk RS : 30 Juni 2022

ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis di IGD RSUD Pesanggrahan
Tanggal : 30 Juni 2022 Jam : 15.30 WIB

Keluhan Utama
Pasien datang ke IGD RSUD Pesanggrahan dengan keluhan muntah-muntah sejak 8 jam
SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Pesanggrahan dengan keluhan muntah-muntah sebanyak ±
10 kali sejak 1 hari SMRS, muntah berupa makanan dan air. Muntah menyembur dan darah tidak
ditemukan.
Sebelumnya 3 hari SMRS, pasien sudah merasa nyeri pada ulu hati dan mual tapi tidak
sampai muntah dan tidak menganggu aktivitas. Lalu selanjutnya 2 hari sebelumnya pasien mulai
muntah tapi hanya 2 kali/hari. Muntah berisi makanan yang sudah dimakan dan 1 hari yang lalu
Pasien mengeluhkan muntah – muntah dengan frekuensi 10 X/ hari. muntah berupa makanan dan
air. Muntah darah tidak ada. Muntah menyembur tidak ada. Pasien juga mengeluh mual dan
nyeri ulu hati sejak 3 hari SMRS sehingga pasien menjadi tidak nafsu makan. Pasien juga
mengeluhkan badan terasa lemas.
Keluhan demam tidak ada, nyeri dada tidak ada, rasa terbakar pada dada tidak ada, sesak
tidak ada. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengaku memiliki riwayat penyakit Maag. Riwayat penyakit seperti Asma, TB
Paru, Hipertensi, Diabetes Melitus disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga


Dalam keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat penyakit dengan gejala yang
sama.
Riwayat penyakit hipertensi, DM, dan jantung tidak ada..

Riwayat Pengobatan
Pasien sudah mengonsumsi obat promaag sebelum datang ke rumah sakit tetapi keluhan
tidak membaik.

Riwayat Alergi
Alergi debu, makanan dan obat tidak ada

Riwayat Psikososial
Riwayat konsumsi rokok, sejak 2 tahun yang lalu.
Riwayat konsumsi minuman beralkohol tidak ada.
Pasien memiliki kebiasaan makan tidak teratur, dan gemar makanan pedas dan asam.
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran                 : Compos Mentis
GCS                           : E4M6V5 = 15
Tekanan darah          : 120/80 mmHg
Nadi                            : 88 x/menit
Suhu                           : 36,7 oC 
Respirasi                   : 20 x/menit
Saturasi Oksigen : 98 % RA
Berat badan : 62 kg
Tinggi Badan : 165 cm
IMT : 22,05 (Normoweight)
Warna Kulit                : Sawo matang
Kepala : Normocephal, deformitas (-).
Mata : Mata cekung (+/+), konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik
(-/-), reflex cahaya (+/+).
Hidung : Septum deviasi (-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)
Telinga : Normotia, sekret (-/-)
Mulut : Mukosa kering, sianosis (-), lidah kotor (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Pemeriksaan Thorax
Paru 
Inspeksi : Normochest, Pergerakan dinding dada simetris,
Retraksi dinding dada (-)
Palpasi : Vokal Fremitus kanan dan kiri simetris
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung 
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V linea
midcalvicularis sinistra
Perkusi : Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Batas kanan : ICS IV linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi: Bunyi Jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pemeriksaan Abdomen :
Inspeksi : Permukaan datar, distensi (-), sikatrik (-)
Auskultasi : Bising usus (+) 10 x/menit
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (+), turgor kulit (+)
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Ekstremitas :
Atas : Akral hangat (+/+), CRT < 2 detik, edema (-/-), sianosis (-)
Bawah :Akral hangat (+/+), CRT < 2 detik, edema (-/-), sianosis (-)

Diagnosis

Dyspepsia Fungsional

Tatalaksana

Non-Medikammentosa :

Rawat Jalan

Edukasi

Medikamentosa :

Inj. Ranitidine 1 amp (50 mg)

Inj. Ondancentron 1 amp (8 Mg)


Obat pulang:

- Lansoprazole tab 1x1 AC

- Domperidone tab 3x1

- Ondansentrone tab 3x1

(Alwi, I. E. (2015). Dyspepsia Fungsional. Penatalaksanaan Di Bidang Ilmu Penyakit Dalam


Panduan Praktis Klinis Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indoneisa. Halaman
682.)

Prognosis

Ad Vitam : Dubia ad bonam

Ad Sanationam : Dubia ad bonam

Ad Fungtionam : Dubia ad bonam


TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI

Kata dispepsia berasal dari Bahasa Yunani dys (bad = buruk) dan peptein (digestion=
pencernaan). Jika digabungkan dispepsia memiliki arti indigestion yang berarti sulit atau
ketidaksanggupan dalam mencerna. Jadi dispepsia didefinisikan sebagai kesulitan dalam
mencerna yang ditandai oleh rasa nyeri atau terbakar di epigastrium yang persisten atau
berulang atau rasa tidak nyaman dari gejala yang berhubungan dengan makan (rasa penuh
setelah makan atau cepat kenyang – tidak mampu menghabiskan makanan dalam porsi
normal) (Talley & Holtmann, 2008). Pada dispepsia organik ditemukan adanya suatu
kelainan struktural setelah dilakukan pemeriksaan endoskopi, Sedangkan definisi dispepsia
fungsional berdasarkan konsensus kriteria Roma III, harus memenuhi satu atau lebih gejala
tersebut, serta tidak ada bukti kelainan struktural melalui pemeriksaan endoskopi, yang
berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal gejala sedikitnya timbul 6 bulan
sebelum diagnosis. Definisi lain dari dispepsia fungsional adalah penyakit yang bersifat
kronik, gejala yang berubah-ubah, mempunyai riwayat gangguan psikiatrik, nyeri yang tidak
responsif dengan obat-obatan, dapat ditunjukkan letaknya oleh pasien, serta secara klinis
pasien tampak sehat, berbeda dengan dispepsia organik yang gejala cenderung menetap,
jarang mempunyai riwayat gangguan psikiatri, serta secara klinis pasien tampak kesakitan.1

Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak
enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan. Keluhan refluks
gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam lambung,
kini tidak lagi termasuk dyspepsia.1

Ada berbagai macam definisi dispepsia. Salah satu definisi yang dikemukakan oleh
suatu kelompok kerja internasional adalah: Sindroma yang terdiri dari keluhan - keluhan
yang disebabkan karena kelainan traktus digestivus bagian proksimal yang dapat berupa
mual atau muntah, kembung, dysphagia, rasa penuh, nyeri epigastrium atau nyeri
retrosternal dan ruktus(sendawa), yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Dengan demikian
dispepsia merupakan suatu sindrom klinik yang bersifat kronik. Pengertian dispepsia terbagi
dua, yaitu :
1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Sindroma dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata terhadap
organ tubuh misalnya tukak (luka) lambung, usus dua belas jari, radang pankreas,
radang empedu, dan lain-lain.2
2. Dispepsia non organik atau dispepsia fungsional, atau dispesia non ulkus, bila tidak
jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur
organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi setelah
3 bulan dengan gejala dispepsia.2

EPIDEMIOLOGI
Dispepsia merupakan masalah umum yang sering ditemukan pada klinik pengobatan.
Ketika pasien selama pengobatan mempunyai gejala tanpa penyebab yang jelas sering
didiagnosa non-ulcer dispepsia. Beberapa laporan menyebutkan presentase dispepsia
karena kelainan organik sekitar 25%-33% dan 67%-75% tanpa penyebab yang jelas. Di
seluruh dunia mempunyai prevalensi sekitar 10%- 40%. Hal itu menunjukan bahwa
diagnosis dan evaluasi harus segera dilakukan. Keterlambatan diagnosis akan
menyebabkan pasien dalam penderitaan dan peningkatan biaya pemeliharaan kesehatan.3
Prevalensi dispepsia fungsional bervariasi mulai 7%-45% di seluruh dunia dan semua
penelitian epidemiologi selalu mengacu pada klasifikasi kriteria Roma III. Menurut studi
berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan peningkatan prevalensi dispepsia
fungsional dari 1,9% pada tahun 1988 menjadi 3,3% pada tahun 2003. Sedangkan pada
tahun 2010, dispepsia fungsional dilaporkan memiliki tingkat prevalensi tinggi, yakni 5%
dari seluruh kunjungan ke sarana layanan kesehatan primer.4
Beberapa penelitian yang dilakukan dalam beberapa populasi hasilnya menunjukkan
perbandingan wanita lebih banyak menderita dispepsia fungsional daripada laki-laki yaitu
1,4 : 1 di Hongkong, 1,12 : 1,04 di Korea, 1,35 : 1,15 di Malaysia dan 1,16 : 1,01 di
Singapura. Sedangkan pada ulkus peptikum perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Insiden
ulkus meningkat pada usia pertengahan. Namun, suatu penelitian di Jepang menunjukkan
perbandingan prevalensi lebih besar pada laki-laki daripada wanita yaitu 2:1. Prevalensi
dispepsia fungsional berdasarkan kriteria umur ditemukan meningkat secara signifikan
yaitu : 7,7% pada umur 15-17 tahun, 17,6% pada umur 18-24 tahun, 18,3% pada umur 25-
34 tahun, 19,7% pada umur 35-44 tahun, 22,8% pada umur 45-54 tahun, 23,7% pada umur
55-64 tahun, dan 24,4% pada umur di atas 65 tahun.5
Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia yang belum diinvestigasi dan tanpa tanda
bahaya merupakan dispepsia fungsional. Berdasarkan hasil penelitian di negara-negara Asia
(Cina, Hong Kong, Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan
Vietnam) didapatkan 43-79,5% pasien dengan dispepsia adalah dispepsia fungsional.1
Dispepsia merupakan salah satu masalah pencernaan yang paling umum ditemukan.
Dialami sekitar 20%-30% populasi di dunia setiap tahun. Data Depkes tahun 2004
menempatkan dispepsia di urutan ke 15 dari daftar 50 penyakit dengan pasien rawat inap
terbanyak di Indonesia dengan proporsi 1,3%. Dispepsia yang oleh orang awam sering
disebut dengan “sakit maag” merupakan keluhan yang sangat sering kita jumpai sehari hari.
Sebagai contoh dalam masyarakat di negara negara barat dispepsia dialami oleh sedikitnya
25% populasi. Di negara negara Asia belum banyak data tentang dispepsia tetapi
diperkirakan dialami oleh sedikitnya 20% dalam populasi umum.1
Mengenai jenis kelamin, ternyata baik lelaki maupun perempuan bisa terkena penyakit
itu. Penyakit itu tidak mengenal batas usia, muda maupun tua, sama saja. Padahal, menurut
penelitian- masih dari luar negeri-ditemukan bahwa dari mereka yang memeriksakan diri ke
dokter, hanya 1/3 yang tidak memiliki ulkus (borok) pada lambungnya atau dispepsia non-
ulkus. Angka di Indonesia sendiri, penyebab dispepsi adalah 86 persen dispepsia
fungsional, 13 persen ulkus dan 1 persen disebabkan oleh kanker lambung.1
Pada dispepsia fungsional, umur penderita dijadikan pertimbangan, oleh karena 45
tahun ke atas sering ditemukan kasus keganasan, sedangkan dispepsia fungsional diatas 20
tahun. Begitu pula wanita lebih sering daripada laki-laki.1
Pada ulkus peptik perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Insiden ulkus meningkat
pada usia pertengahan. Penyakit ulkus memperlihatkan interaksi kompleks dari berbagai
faktor lingkungan dan genetik yang menghasilkan penyakit.1

ETIOLOGI
Gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna; tukak gaster atau duodenum,
gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori.2
Obat – obatan seperti anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa antibiotic,
digitalis, teofilin dan sebagainya. 2
Penyakit pada hati, pankreas, system bilier, hepatitis, pancreatitis, kolesistetis kronik.
Penyakit sistemik: diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner. 2
Bersifat fungsional, yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti
adanya kelainan atau gangguan organic atau structural biokimia, yaitu dispepsia fungsional
atau dispepsia non ulkus. Klasifikasi dispepsia berdasarkan etiologi:
Organik
Obat-obatan
Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), Antibiotik (makrolides, metronidazole),
Besi, KCl, Digitalis, Estrogen, Etanol (alkohol), Kortikosteroid, Levodopa, Niacin,
Gemfibrozil, Narkotik, Quinidine, Theophiline.
Idiosinkrasi makanan (intoleransi makanan)
a. Alergi susu sapi, putih telur, kacang, makanan laut, beberapa jenis produk
kedelai dan beberapa jenis buah-buahan
b. Non-alergi
 produk alam : laktosa, sucrosa, galactosa, gluten, kafein.
 bahan kimia : monosodium glutamate (vetsin), asam benzoat, nitrit, nitrat.
Kelainan struktural
a. Penyakit oesophagus
 Refluks gastroesofageal dengan atau tanpa hernia
 Akhalasia
 Obstruksi esophagus
b. Penyakit gaster dan duodenum
 Gastritis erosif dan hemorhagik; sering disebabkan oleh OAINS dan sakit
keras (stres fisik) seperti luka bakar, sepsis, pembedahan, trauma, shock
 Ulkus gaster dan duodenum
 Karsinoma gaster
c. Penyakit saluran empedu
 Kholelitiasis dan Kholedokolitiasis
 Kholesistitis
d. Penyakit pankreas
 Pankreatitis
 Karsinoma pankreas
e. Penyakit usus
 Malabsorbsi
 Obstruksi intestinal intermiten
 Sindrom kolon iritatif
 Angina abdominal
 Karsinoma kolon
Penyakit metabolik / sistemik
a. Tuberculosis
b. Gagal ginjal
c. Hepatitis, sirosis hepatis, tumor hepar
d. Diabetes melitius
e. Hipertiroid, hipotiroid, hiperparatiroid
f. Ketidakseimbangan elektrolit
g. Penyakit jantung kongestif
Idiopatik atau Dispepsia Non Ulkus
Dispepsia fungsional
Keluhan terjadi kronis, tanpa ditemukan adanya gangguan struktural atau organik
atau metabolik tetapi merupakan kelainan fungsi dari saluran makanan.Termasuk
ini adalah dispepsia dismotilitas, yaitu adanya gangguan motilitas diantaranya;
waktu pengosongan lambung yang lambat, abnormalitas kontraktil, abnormalitas
mioelektrik lambung, refluks gastroduodenal. Penderita dengan dispepsia
fungsional biasanya sensitif terhadap produksi asam lambung yaitu kenaikan asam
lambung.6
Kelainan psikis, stress dan faktor lingkungan juga dapat menimbulkan dispepsia
fungsional.
Kelainan non organik saluran cerna:
a. Gastralgia
b. Dispepsia karena asam lambung
c. Dispepsia flatulen
d. Dispepsia alergik
e. Dispepsia essensial
f. Pseudoobstruksi intestinal kronik
g. Kelainan susunan saraf pusat (CVD, epilepsi).

Gambar 1. Anatomi Gaster: 1. Esofagus, 2. Kardia, 3. Fundus, 4.Selaput Lendir,


5.Lapisan Otot, 6.Mukosa Lambung, 7.Korpus, 8.Antrum Pilorik, 9.Pilorus,
10.Duodenum

Tabel 1. Penyebab dyspepsia


Esofagogastroduodenal Tukak peptic, gastritis, tumor dan lain-
lain
Obat-obatan Antiinflamasi non steroid, teofilin,
digitalis, antibiotic dan sebagainya.
Hepatobilier Hepatitis, kolesistitis, tumor, disfungsi
sphincter odii dan sebagainya.
Pancreas Pankreatitis, keganasan
Penyakit sistemik Diabetes melitus, penyakit tiroid, gagal
ginjal, penyakit jantung koroner, dll.
Gangguan fungsional Dyspepsia fungsional, irritable
bowel syndrome
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi ulkus peptikum yang disebabkan oleh Hp dan obat-obatan anti-inflamasi
non-steroid (OAINS) telah banyak diketahui. Dispepsia fungsional disebabkan oleh
beberapa faktor utama, antara lain gangguan motilitas gastroduodenal, infeksi Hp, asam
lambung, hipersensitivitas viseral, dan faktor psikologis. Faktor-faktor lainnya yang dapat
berperan adalah genetik, gaya hidup, lingkungan, diet dan riwayat infeksi gastrointestinal
sebelumnya.1
Peranan gangguan motilitas gastroduodenal
Gangguan motilitas gastroduodenal terdiri dari penurunan kapasitas lambung dalam
menerima makanan (impaired gastric accommodation), inkoordinasi antroduodenal,
dan perlambatan pengosongan lambung. Gangguan motilitas gastroduodenal
merupakan salah satu mekanisme utama dalam patofisiologi dispepsia fungsional,
berkaitan dengan perasaan begah setelah makan, yang dapat berupa distensi abdomen,
kembung, dan rasa penuh.1
Peranan hipersensitivitas viseral
Hipersensitivitas viseral berperan penting dalam patofisiologi dispepsia fungsional,
terutama peningkatan sensitivitas saraf sensorik perifer dan sentral terhadap
rangsangan reseptor kimiawi dan reseptor mekanik intraluminal lambung bagian
proksimal. Hal ini dapat menimbulkan atau memperberat gejala dispepsia.1
Peranan faktor psikososial
Gangguan psikososial merupakan salah satu faktor pencetus yang berperan dalam
dispepsia fungsional. Derajat beratnya gangguan psikososial sejalan dengan tingkat
keparahan dispepsia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa depresi dan ansietas
berperan pada terjadinya dispepsia fungsional.1
Peranan asam lambung
Asam lambung dapat berperan dalam timbulnya keluhan dispepsia fungsional. Hal ini
didasari pada efektivitas terapi anti-sekretorik asam dari beberapa penelitian pasien
dispepsia fungsional. Data penelitian mengenai sekresi asam lambung masih kurang,
dan laporan di Asia masih kontroversial.1
Peranan infeksi Hp
Prevalensi infeksi Hp pasien dispepsia fungsional bervariasi dari 39% sampai 87%.
Hubungan infeksi Hp dengan ganggguan motilitas tidak konsisten namun eradikasi Hp
memperbaiki gejala-gejala dispepsia fungsional. Penanda biologis seperti ghrelin dan
leptin , serta perubahan ekspresi muscle-specific microRNAs berhubungan dengan
proses patofisiologi dispepsia fungsional, yang masih perlu diteliti lebih lanjut.1

MANIFESTASI KLINIS7
Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan, membagi dispepsia
menjadi tiga tipe :
Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dyspepsia):
a. Nyeri epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodik
Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspesia):
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e.Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan
Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas).

Dispepsia belum
diinvestigasi

Pemeriksaan peniunjang
(sesuai indikasi) :
o Laboraturium darah
o Endoskopi
o Urea breath test
o USG abdomen
- Dispepsia diagnostik Dispepsia fungsional
- Ulkus peptikum
- Gastritis erosif
- Gastritis sedang berat
- Kanker lambung Sindroma distress Sindroma nyeri
setelah makan epigastrium

Bagan 1. Alur diagnosis dispepsia belum di Investigasi


Evaluasi tanda bahaya harus selalu menjadi bagian dari evaluasi pasien-pasien yang
datang dengan keluhan dispepsia. Tanda bahaya pada dispepsia yaitu: 6
a. Penurunan berat badan (unintended)
b. Disfagia progresif
c. Muntah rekuren atau persisten
d. Perdarahan saluran cerna
e. Anemia
f. Demam
g. Massa daerah abdomen bagian atas
h. Riwayat keluarga kanker lambung
i. Dispepsia awitan baru pada pasien di atas 45 tahun
Pasien-pasien dengan keluhan seperti di atas harus dilakukan investigasi terlebih
dahulu dengan endoskopi.

DISPEPSIA

Investigasi
Kelainan organik - biokimiawi

+ -

Penyakit organik
Dispepsia fungsional
(gastritis), ulkus, dll

Bagan 2. Pendekatan diagnostik dispepsia2


ALUR DIAGNOSIS
ANAMNESIS
Pada anamnesis jangan lupa tanyakan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan
dengan tanda alarm dispepsia, seperti usia pasien, adakah muntah darah , apakah
warna BAB menjadi hitam cair, apakah pasien merasa lemah letih lesu, apakah ada
penurunan berat badan, muntah yang sangat sering. Jika didapatkan tanda-tanda
alarm berarti keadaan tersebut mengarah pada gangguan organik terutama keganasan
sehingga memerlukan endoskopi segera. Tidak lupa ditanyakan pernahkah mengalami
gangguan jantung atau gangguan paru.
Harus diingat gambaran khas dari beberapa penyebab dispepsia. Pasien ulkus
peptikum biasanya berumur lebih dari 45 tahun, merokok dan nyeri berkurang
dengan mencerna makanan tertentu atau antasid. Nyeri sering membangunkan
pasien pada malam hari banyak ditemukan pada ulkus duodenum. Gejala
esofagitis sering timbul pada saat berbaring dan membungkuk setelah makan kenyang
yaitu perasan terbakar pada dada, nyeri dada yang tidak spesifik (bedakan dengan
pasien jantung koroner), regurgitasi dengan gejala perasaan asam pada mulut. Bila
gejala dispepsia timbul segera setelah makan biasanya didapatkan pada penyakit
esofagus, gastritis erosif dan karsinoma. Sebaliknya bila muncul setelah beberapa jam
setelah makan sering terjadi pada ulkus duodenum. Pasien dispepsia non ulkus lebih
sering mengeluhkan gejala di luar GI, ada tanda kecemasan atau depresi, atau
mempunyai riwayat pemakaian psikotropik.

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra-abdomen atau intra
lumen yang padat misalnya tumor, organomegali, atau nyeri tekan sesuai dengan
adanya ransang peritoneal/peritonitis. Tumpukan pemeriksaan fisik pada bagian
abdomen. Inspeksi akan distensi, asites, parut, hernia yang jelas, ikterus, dan lebam.
Auskultasi akan bunyi usus dan karekteristik motilitasnya. Palpasi dan perkusi
abdomen, perhatikan akan tenderness, nyeri, pembesaran organ dan timpani.
Pemeriksaan tanda vital bisa ditemukan takikardi atau nadi yang tidak regular.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan untuk penanganan dispepsia terbagi beberapa bagian, yaitu:

1. Pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya faktor infeksi


(leukositosis), pakreatitis (amylase, lipase), keganasan saluran cerna (CEA, CA 19-
9, AFP). Biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan pemeriksaan
darah dalam tinja, dan urine. Dari hasil pemeriksaan darah bila ditemukan
lekositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair
berlendir atau banyak mengandung lemak berarti kemungkinan menderita
malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsia tukak, sebaiknya
diperiksa asam lambung. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa
petanda tumor, misalnya dugaan karsinoma kolon perlu diperiksa CEA, dugaan
karsinoma pancreas perlu diperiksa CA 19-9.8

2.
Barium enema untuk memeriksa esophagus, Lambung atau usus halus dapat
dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan
berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita
makan. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi kelainan struktural dinding/mukosa
8
saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak atau gambaran ke arah tumor.

3. Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa esofagus, lambung atau usus halus dan
untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari lapisan lambung.

Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk mengetahui apakah


lambung terinfeksi oleh Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan
baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik. Pemeriksaan ini sangat
dianjurkan untuk dikerjakan bila dispepsia tersebut disertai oleh keadaan yang
disebut alarm symptoms, yaitu adanya penurunan berat badan, anemia, muntah
hebat dengan dugaan adanya obstruksi, muntah darah, melena, atau keluhan sudah
berlangsung lama, dan terjadi pada usia lebih dari 45 tahun.8

`. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah:

A. CLO (rapid urea test)


B. Patologi anatomi (PA)
C. Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan
D. PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian.9

4. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD


kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test
tersedia di Indonesia). Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap
makan bagian atas dan sebaiknya dengan kontras ganda. Pada gastroesofageal akan
tampak peristaltik di esofagus yang menurun terutama di bagian distal, tampak anti-
peristaltik di antrum yang meninggi serta sering menutupnya pilorus, sehingga
sedikit barium yang masuk ke intestin. Pada tukak baik di lambung, maupun di
duodenum akan terlihat gambar yang disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak
yang terisi kontras media. Bentuk niche dari tukak yang jinak umumnya reguler,
semisirkuler, dengan dasar licin). Kanker di lambung secara radiologis, akan
tampak massa yang ireguler tidak terlihat peristaltik di daerah kanker, bentuk dari
lambung berubah. Pankreatitis akut perlu dibuat foto polos abdomen, yang akan
terlihat tanda seperti terpotongnya usus besar (colon cut off sign), atau tampak
dilatasi dari intestine terutama di jejunum yang disebut sentina loops.8

. Dispepsia melalui simptom-simptomnya sahaja tidak dapat membedakan antara


dispepsia fungsional dan dispepsia organik. Diagnosis dispepsia fungsional adalah
diagnosis yang telah ditetapkan, dimana pertama sekali penyebab kelainan organik
atau struktural harus disingkirkan melalui pemeriksaan. Pemeriksaan yang pertama
dan banyak membantu adalah pemeriksaan endoskopi. Oleh karena dengan
pemeriksaan ini dapat terlihat kelainan di oesophagus, lambung dan duodenum.
Diikuti dengan USG (Ultrasonography) dapat mengungkapkan kelainan pada
saluran bilier, hepar, pankreas, dan penyebab lain yang dapat memberikan
perubahan anatomis. Pemeriksaan hematologi dan kimia darah akan dapat
mengungkapkan penyebab dispepsia seperti diabetes, penyakit tyroid dan gangguan
saluran bilier. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa pertanda tumor.8

Kriteria Diagnostik Dispepsia Fungsional berdasarkan Kriteria Rome III yaitu:

1. Berasa terganggu setelah makan

2. Cepat kenyang

3. Nyeri epigastrik

4. Panas/ rasa terbakar di epigastrik

Terbukti tidak ada penyakit struktural termasuk endoskopi proksimal yang


dapat menjelaskan penyebab terjadinya gejala klinis tersebut. Kriteria haruslah
terjadi dalam masa 3 bulan terakhir dengan onset gejala klinis sekurang-kurangnya
6 bulan sebelum diagnosis.8

DIFERENSIAL DIAGNOSIS

Dispepsia adalah merupakan suatu simptom atau kelompok keluhan atau


gejala dan bukan merupakan suatu diagnosis. Diferensial diagnosis dyspepsia
adalah seperti box 1. Sangat penting mencari clue atau penanda akan gejala dan
keluhan yang merupakan etiologi yang bisa ditemukan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. 50%–60% kasus, didapati tidak ada penyebab yang terdeteksi di
mana pasien dikatakan merupakan dispepsia fungsional. Prevalensi ulkus peptikum
adalah 15%- 25% dan prevalensi esofagitis adalah 5%-15%. Kanker digestif bagian
atas < 2%. Disebabkan kanker digestif bagian atas jarang pada umur <50 tahun,
pemeriksaan endoskopi direkomendasi pada pasien yang berusia > 50 tahun. Juga
direkomendasi pada pasien yang mangalami penurunan berat badan yang
signifikan, terjadi pendarahn, dan muntah yang terlalu teruk.2

Diagnosis banding dispepsia

 Dispepsia non ulkus


 Gastro-oesophageal reflux disease.
 Ulkus peptikum.
 Obat-obatan: obat anti inflamasi non-steroid, antibiotik, besi, suplemen kalium,
digoxin.
 Malabsorbsi Karbohidrat (lactose, fructose, sorbitol).
 Cholelithiasis or choledocholithiasis.
 Pankreatitis Kronik.
 Penyakit sistemik (diabetes, thyroid, parathyroid, hypoadrenalism, connective
tissue disease).
 Parasit intestinal.
 Keganasan abdomen (terutama kanser pancreas dan gastrik).

TATALAKSANA
Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu:
1. Antasid
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir
sekresi asam lambung. Antasid biasanya mengandungi Na bikarbonat, Al(OH)3,
Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antasid jangan terus- menerus, sifatnya
hanya simtomatis, untuk mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam
waktu lebih lama, juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik,
namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa
MgCl2. Sering digunakan adalah gabungan Aluminium hidroksida dan magnesium
hidroksida.Aluminum hidroksida boleh menyebabkan konstipasi dan penurunan
fosfat; magnesium hidroksida bisa menyebabkan BAB encer. Antacid yang sering
digunakan adalah seperti Mylanta, Maalox, merupakan kombinasi Aluminium
hidroksida dan magnesium hidroksida. Magnesium kontraindikasi kepada pasien
gagal ginjal kronik karena bisa menyebabkan hipermagnesemia, dan aluminium
9
bisa menyebabkan kronik neurotoksik pada pasien tersebut.

2. Antikolinergik

Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak

selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat

menekan seksresi asam lambung sekitar 28-43%.


Pirenzepin juga memiliki efek

sitoprotektif.10

3. Antagonis reseptor H2

Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik

atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis

reseptor H
2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidine, dan famotidin.9,10

4. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI).

Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari
proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah
omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol. Waktu paruh PPI adalah ~18jam ;
jadi, bisa dimakan antara 2 dan 5 hari supaya sekresi asid gastrik kembali kepada
ukuran normal. Supaya terjadi penghasilan maksimal, digunakan sebelum makan
yaitu sebelum sarapan pagi kecuali omeprazol.1

5. Sitoprotektif

Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2).


Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel
parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang
selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan
meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif
(site protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran
cerna bagian atas. Toksik daripada obat ini jarang, bisa menyebabkan konstipasi
(2–3%). Kontraindikasi pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis standard adalah 1
g per hari.9

6. Golongan prokinetik

Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan


metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia
fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki
bersihan asam lambung (acid clearance).10

7. Antibiotik untuk infeksi helicobacter pylori

Eradikasi bakteri Helicobacter pylori membantu mengurangi symptom pada

sebagian pasien dan biasanya digunakan kombinasi antibiotic seperti


amoxicillin
(Amoxil), clarithromycin (Biaxin), metronidazole (Flagyl) dan tetracycline

(Sumycin).6 Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmakoterapi


(obat anti- depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena
tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti

cemas dan depresi.11

Terapi Dispepsia Fungsional :


1. Farmakologis

Pengobatan jangka lama jarang diperlukan kecuali pada kasus-kasus berat.


(regular medication) mungkin perlu pengobatan jangka pendek waktu ada
keluhan. (on demand medication)

2. Psikoterapi
• Reassurance

• Edukasi mengenai penyakitnya

3. Perubahan diet dan gaya hidup


o Dianjurkan makan dalam porsi yang lebih kecil tetapi lebih sering.
o Makanan tinggi lemak dihindarkan

Pengobatan terhadap dispepsia fungsional adalah bersifat terapi


simptomatik. Pasien dengan dispepsia fungsional lebih dominan gejala dan
keluhan seperti nyeri pada abdomen bagian atas (ulcer - like) bisa diobati dengan
PPI (Proton Pump Inhibitors). Pasien dengan keluhan yang tidak jelas di bagian
abdomen atas di mana yang gagal dengan pengobatan PPI, bisa diobati dengan
tricyclic antidepressants, walaupun data yang yang menyongkong masih
kurang.11

Pasien dengan keluhan dismotility – like symptom bisa diobati dengan sama
ada dengan acid suppressive therapy, prokinetic agents, atau 5-HT1 agonists.
Metoclopramide dan domperidone menunjukkan antara obat placebo dalam
11
pengobatan dispepsia fungsional.

PENCEGAHAN
a. Makan secara benar. Hindari makanan yang dapat mengiritasi terutama
makanan yang pedas, asam, gorengan atau berlemak. Yang sama pentingnya
dengan pemilihan jenis makanan yang tepat bagi kesehatan adalah
bagaimana cara memakannya. Makanlah dengan jumlah yang cukup, pada
waktunya dan lakukan dengan santai.
b. Hindari alkohol. Penggunaan alkohol dapat mengiritasi dan mengikis
lapisan mukosa dalam lambung dan dapat mengakibatkan peradangan dan
pendarahan.
c. Jangan merokok. Merokok mengganggu kerja lapisan pelindung lambung,
membuat lambung lebih rentan terhadap gastritis dan borok. Merokok juga
meningkatkan asam lambung, sehingga menunda penyembuhan lambung
dan merupakan penyebab utama terjadinya kanker lambung.
d. Lakukan olah raga secara teratur. Aerobik dapat meningkatkan kecepatan
pernapasan dan jantung, juga dapat menstimulasi aktifitas otot usus
sehingga membantu mengeluarkan limbah makanan dari usus secara lebih
cepat.
e. Kendalikan stress. Stress meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke,
menurunkan sistem kekebalan tubuh. Stress juga meningkatkan produksi
asam lambung dan melambatkan kecepatan pencernaan. Karena stress bagi
sebagian orang tidak dapat dihindari, maka kuncinya adalah
mengendalikannya secara effektif dengan cara diet yang bernutrisi, istirahat
yang cukup, olah raga teratur.
f. Ganti obat penghilang nyeri. Jika dimungkinkan, hindari penggunaan
OAINS, obat-obat golongan ini akan menyebabkan terjadinya peradangan
dan akan membuat peradangan yang sudah ada menjadi lebih parah. Ganti
dengan penghilang nyeri yang mengandung acetaminophen.
g. Ikuti rekomendasi dokter.

PROGNOSIS
Dispepsia fugnsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan
penunjang yang akurat mempunyai prognosis yang baik.
Statistik menunjukkan sebanyak 20% pasien dispepsia mempunyai
ulkus peptikum, 20% mengidap Irritable Bowel Syndrome, kurang daripada
1% pasien terkena kanker, dan dispepsia fungsional dan dyspepsia non
ulkus adalah 5-40%.6
Terkadang dispepsia dapat menjadi tanda dari masalah serius,
contohnya penya kit ulkus lambung yang parah. Tak jarang, dispepsia
disebabkan karena kanker lambung, sehingga harus diatasi dengan serius.
Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan bila terdapat salah satu
dari tanda ini, yaitu: Usia 50 tahun ke atas, kehilangan berat badan tanpa
disengaja, kesulitan menelan, terkadang mual-muntah, buang air besar tidak
lancar dan merasa penuh di perut.6
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdullah, M. dan Gunawan, J. Dispepsia. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Divisi Gastroenterologi. 2012
2. Dharmika J. Dispepsia Fungsional. Ilmu Penyaki dalam jilid 6. Jakarta : 2015. Hal : 1804-
809
3. Randall, C.W., Zaga-Galante, J., Vergara-Suarez, A. 2014. Non-Ulcer Dispepsia: A Review
of the Pathophysiology, Evaluation, and Current Management Strategies. Retreved Mei 15,
2015, Availablle on http://dx.doi.org/10.4172/2165-8048.S1-002.
4. Lee, H., Jung, H., Huh, K. B. 2014. Current status of functional dispepsia in Korea. The
Korean Journal of Internal Medicine, 29(2): 156-165. Retreved Mei 15, 2015, Availablle on
http://dx.doi.org/10.3904/kjim.2014.29.2.156.
5. Cahyanto, M. E., Ratnasari, N., Siswanto, A. 2014. Symptoms of depression and quality of
life in functional dispepsia patients . J Med SSccii, 46(2) : 88 – 93.
6. Gene, N. 2012. Borderline personality disorder : an evaluation of its connection to the brain
and clinical issues. London: Traumatic Stres Service Clinical Treatment Centre Maudsley
Hospital.
7. Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W.L, dan Setiowulan,
W.1999.  Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Edisi 1. Jakarta: Media Aesculapi
8. Indigestion (Dyspepsia, Upset Stomach). Edition 2010. Available from:
http://www.medicinenet.com/dyspepsia/article.htm, 5 Juni 2010.
9. Fauci AS, Braunwald, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson LJ et al. Peptic ulcer

th
disease in Harrison’s Principle of Internal Medicine, 17 ed, Vol.II.2008. USA: Mc Graw
Hill Medical, p.287
10. Greenburger NJ. Dyspepsia. The Merck Manuals Online M from:
http://www.merck.com/mmpe/sec02/ch007/ch007c.html.

David JB. Test and Treat or PPI Therapy for Dyspepsia? Journal Watch Gastroenterology. 2008
april;

Anda mungkin juga menyukai