Anda di halaman 1dari 26

Laporan Kasus

Case Report:
Tn. M 71 Tahun dengan PPOK Eksaserbasi Akut

Disusun Oleh:
dr. Afifah Nabilah

Pembimbing : dr. Ellidya Mustika, Sp.PD.

INTERNSHIP PERIODE 2023-2024


RUMKIT BHAYANGKARA JITRA
KOTA BENGKULU

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan Utama
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
2.2.4 Riwayat Pemakaian Obat
2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga
2.2.6 Riwayat Sosial
2.3 Pemeriksaan Fisik
2.3.1 Status Present
2.3.1 Status Gizi
2.3.1 Status Generalis
2.4 Pemeriksaan Penunjang
2.4.1 Laboratorium
2.4.2 Elektrokardiografi
2.4.3 Foto Thorax PA
2.5 Resume
2.6 Diagnosa Kerja
2.7 Diagnosa Banding
2.8 Terapi
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
3.2 Etiologi dan Faktor Risiko
3.3 Patofisiologi
3.4 Diagnosis
3.5 Diagnosis Banding
3.6 Klasifikasi
3.7 Tatalaksana
3.8 Komplikasi
3.9 Prognosis
BAB IV PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan salah satu penyakit


yang memilki beban kesehatan tertinggi. World Health Organization (WHO)
dalam Global Status of Non-communicable Diseases tahun 2010 mengkategorikan
PPOK ke dalam empat besar penyakit tidak menular yang memiliki angka
kematian yang tinggi setelah penyakit kardiovaskular, keganasan dan diabetes.
GOLD Report 2023 menjelaskan bahwa biaya untuk kesehatan yang diakibatkan
PPOK adalah 56% dari total biaya yang harus dibayar untuk penyakit respirasi.
Biaya yang paling tinggi adalah diakibatkan kejadian eksaserbasi dari penyakit
ini.1,2
PPOK merupakan salah satu penyakit tidak menular utama dengan
prevalensi PPOK di negara-negara Asia Tenggara diperkirakan 6,3% dan
prevalensi tertinggi terdapat di Vietnam (6,7%) serta China (6,5%). 4 Berdasarkan
parameter Disability-Adjusted Life Year (DALY), yaitu hasil dari penjumlahan
antara Years of Life Lost (YLL) dan Years Lived with Disability (YLD),
diperkirakan pada tahun 2030 PPOK akan menempati peringkat ketujuh, dimana
sebelumnya pada tahun 1990 penyakit ini menempati urutan kedua belas.1,3
PPOK akan berdampak negatif dengan kualitas hidup penderita, termasuk
pasien yang berumur > 40 tahun akan menyebabkan disabilitas penderitanya.
Padahal mereka masih dalam kelompok usia produktif namun tidak dapat bekerja
maksimal karena sesak napas yang kronik. Komorbiditas PPOK akan
menghasilkan penyakit kardiovaskuler, kanker bronkial, infeksi paru-paru, trombo
embolik disorder, keberadaan asma, hipertensi, osteoporosis, sakit sendi, depresi
dan anxiety.4

3
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
Nama : Tn. M
Umur : 71 Tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Pekerjaan :-
Alamat : Jl. Siti Khadijah
Agama : Islam
No. RM : 055236
Masuk RS : 4 April 2023
2.2 Anamnesis

2.2.1 Keluhan Utama


Sesak memberat sejak 1 jam smrs.
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan memberat sejak
satu jam smrs, sesak dirasakan terus menerus. Pasien sering mengeluhkan sesak
dan pasien rutin berobat ke dokter dengan keluhan sesak. Sesak tidak dipengaruhi
oleh makanan dan minuman, cuaca ataupun debu, biasanya sesak akan sedikit
berkurang bila pasien beristirahat, namun saat ini pasien merasakan sesak tidak
membaik dengan beristirahat dan sesak dirasakan bertambah jika beraktivitas.
Keluhan disertai batuk berdahak sejak 1 minggu, dahak berwarna putih
kekuningan tanpa disertai darah. Selain itu pasien juga mengeluhkan nyeri dada,
rasanya seperti dadanya tertekan dan berdenyut, rasa nyeri dada tidak ada
menjalar ke leher, lengan, ataupun punggung, saat nyeri tidak disertai dengan
keluhan mual/keringat dingin, nyeri dada dirasakan > 20 menit, kalau istirahat
rasa nyeri berkurang. Pasien mengatakan terganggu dalam melakukan aktivitasnya
sehari-hari sejak keluhan sesak nafas, batuk, dan nyeri dada ini muncul. Tidak
terdapat keluhan mual dan muntah, demam, dan berkeringat malam, nyeri ulu hati,
penurunan berat badan tidak ada. BAB dan BAK dalam batas normal.

4
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
- Kurang lebih 1 bulan SMRS pasien sempat masuk rumah sakti dengan
riwayat PPOK dan HHD, pasien rutin berobat ke RS Bhayangkara dan
kontrol ke poli penyakit dalam.
- Riwayat diabetes mellitus disangkal
- Riwayat penyakit ginjal disangkal
2..2.4. Riwayat pemakaian obat
- Seretide 2x2 puff
- Berotec 1x2 puff
- Digoksin 1x0,25 mg
- CPG 1x25 mg
- Candesartan 1x16 mg
2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak terdapat anggota keluarga yang memiliki keluhan serupa
2.2.6 Riwayat Sosial
- Berdasarkan alloanamnesis dengan keluarga pasien, pasien memiliki
riwayat merokok 1 bungkus per hari sejak usia muda, namun berhenti
merokok sejak kurang lebih 5 tahun yang lalu.
- Pasien tidak pernah meminum alkohol
2.3 Pemeriksaan Fisik
2.3.1 Status Present
Kesadaran : Compos Mentis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Tekanan Darah : 173/97 mmHg
Nadi : 81x/menit, terabakuat dan isi tegangan cukup
Pernafasan : 32 x/menit
Suhu : 36,5 ˚C
SpO2 : 98% room air
2.3.2 Status Gizi
Berat badan : ±55 Kg

5
Tinggi badan : 158 cm
BMI : 22,08 kg/cm2 (Normoweight)
2.3.3 Status Generalis

Kepala : Normocephali, jejas (-), rambut tidak rontok

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), isokor (+/+), reflek
cahaya (+/+)

Telinga : Nyeri tekan (-/-)

hidung : Deformitas septum nasi (-/-), napas cuping hidung (-/-),

mukosa hiperemis (-/-),sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan (-)

Mulut :Bibir kering (+), pucat (-), sianosis (-), mukosa mulut merah (-),
sariawan (-), lidah kotor (+), typhoid tongue (-), papil atrofi (-),
tremor (-),faring hiperemis (-), tonsil T1/T1

Leher :JVP 5-2 cmH2O, trakea teraba letak ditengah, deviasi (-), kelenjar
tiroid dalam batas normal, pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thorax-Paru

Inspeksi : bentuk dinding dada simetris kiri=kanan, pernapasan saat statis


dan dinamis kiri=kanan, retraksi dinding dada (+), deformitas (-),
pemakaian otot bantu pernapasan (+)

Palpasi : Stem fremitus lapang dada sama kiri-kanan, ekspansi dinding


dada simetris kiri=kanan, nyeri tekan (-)

Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru

Auskultasi : Vesikuler(+/+), Rhonki (+/-), Wheezing (+/+)

Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis tidak teraba

6
Perkusi : Batas jantung kanan linea sternalis dekstra ICS V, batas jantung
kiri linea klavikularis sinistra ICS V, batas pinggang jantung linea
parasternalis sinistra ICS II

Auskultasi : Bunyi jantung I – II reguler (+), murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : Datar (+), ruam (-), scar (-), spider nevi (-)

Palpasi : Supel (+), nyeri tekan epigastrium, hepatomegali (-),


Splenomegali (-), ballotemen (-), undulasi (-), distensi (-)

Perkusi : Timpani (+), Shifting dullness (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Ekstremitas Superior: Akral hangat (+/+), edema (-/-),CRT < 2 detik.

Ekstremitas Inferior : Akral hangat (+/+), edema (-/-),CRT < 2 detik.

2.4 Pemeriksaan Penunjang

2.4.1 Laboratorium

1. Laboratorium Tanggal 4 April 2023

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Hemoglobin : 11,8 14-16 g/dL
Leukosit : 5.700 5000-10000/uL
Trombosit : 180.000 150.000-450.000/uL
Hematokrit : 30% 42-52 %
GDS : 103 60-140 mg%
Ureum : 23 10-50 mg%
Creatinin : 0,6 0,6-1,2 mg%

7
2.4.2 Elektrokardiografi

• Irama: Sinus
• Laju : 81x/menit
• Reguler
• Axis: normal
• Gel P: lebar 2 mm, tinggi 2 mm (normal)
• Interval PR: normal (<0,20 detik)
• Kompleks QRS: normal (<0,12 detik)
• Segment ST: ST elevasi di V3 (> 2mm)
• Gel T : normal
• S V1 + R V6 = 32 mm
• Kesan: sinus rithem

8
2.4.3 Foto Thorax PA

Kesan: CTR >50%

2.5 Resume
Tn. M datang dengan keluhan sesak yang dirasakan memberat sejak 1 jam
SMRS. Pasien sudah lama merasakan sesak dan sering masuk rumah sakit dengan
keluhan sesak, sesak biasanya membaik jika pasien minum obat dan istirahat
namun pada tanggal 4 April 2023 pasien merasakan sesak yang memberat
sehingga pasien datang ke IGD RS Bhayangkara Kota Bengkulu. Pasien riwayat
dirawat ± 1 bulan yll dengan PPOK dan HHD/CAD.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tekanan darah 173/94 mmHg, nadi
81x/menit, pernafasan 32x/menit, dan suhu 36,5 oC. Pada pemeriksaan fisik paru
ditemukan auskultasi bunyi wheezing kanan dan kiri, serta rhonki kanan. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil hemoglobin 11,8 g/dl, hematokrit
30%, leukosit 5.700 mm, trombosit 180.000 g/dl, creatinin 0,6 mg/dl, ureum 23
mg, GDS 103 mg/dl. Pada pemeriksaan EKG kesan LVH dan pada foto toraks PA
tampak CTR>50%.

9
2.6 Diagnosis Kerja

PPOK eksaserbasi akut

2.7 Diagnosis Banding

- HHD

- CAD

2.8 Terapi
- O2 4 lpm k/p
- IVFD RL gtt xx/menit
- nebu ventolin 2,5 mg  RR: 26x/menit, wheezing (-/-), Rhonki (+/-)
- nebu ventolin + pulmicort /12 jam
- Inj. Omeprazole 40 mg/24 jam
- Inj. Metilprednisolon 2x62,5 mg
- Erdostein syr 3x1 C
- Candesartan 1x16 mg
- Digoksin 1x0,25 mg
- inj. Furosemide 20 mg/12 jam

10
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD)
revisi tahun 2023 mendefinisikan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
sebagai penyakit respirasi kronis akibat adanya hambatan aliran udara yang
persisten dan biasanya bersifat progresif. Pada penderita PPOK mengalami
hambatan jalan napas yang disebabkan oleh penyakit pada saluran napas dan
rusaknya parenkim paru. PPOK merupakan sebuah kelompok penyakit dengan
gejala klinis yang hampir serupa dengan bronkitis kronis, emfisema, asma,
bronkiektasis, dan bronkiolitis.1,4

3.2 Etologi dan Faktor Risiko


Identifikasi faktor risiko merupakan langkah penting dalam pencegahan dan
penatalaksanaan PPOK, beberapa faktor risiko PPOK antara lain:1,5
1. Asap Rokok
Kebiasaan merokok adalah satu-satunya penyebab kausal yang terpenting.
Asap rokok mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai penyebab gejala
respirasi dan gangguan fungsi paru. Derajat berat merokok dengan Indeks
Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap
sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
 Ringan : 0-200
 Sedang : 200-600
 Berat : > 600
2. Stres Oksitdatif
Paru selalu terpajan oleh oksidan endogen dan eksogen. Oksidan endogen
timbul dari sel fagosit dan tipe sel lainnya sedangkan oksidan eksogen dari
polutan dan asap rokok. Stres oksidatif tidak hanya menimbulkan efek
kerusakan pada paru tetapi juga menimbulkan aktifitas molekuler sebagai
awal inflamasi paru.
3. Asma

11
Asma kemungkinan sebagai faktor risiko terjadinya PPOK, walaupun
belum dapat disimpulkan. Pada laporan “The Tucson Epidemiological
Study” didapatkan bahwa orang dengan asma 12 kali lebih tinggi risiko
terkena PPOK daripada bukan asma meskipun telah berhenti merokok.

3.3 Patofisiologi
Saat ini telah diketahui dengan jelas tentang mekanisme patofisiologis
yang mendasari PPOK sampai terjadinya gejala yang karakteristik. Misalnya
penurunan FEV1 yang terjadi disebabkan peradangan dan penyempitan saluran
napas perifer, sementara transfer gas yang menurun disebabkan kerusakan
parenkim yang terjadi pada emphysema.5
Keterbatasan Aliran Udara dan Air Trapping
Tingkat peradangan, fibrosis, dan eksudat luminal dalam saluran udara
kecil berkorelasi dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC. Penurunan FEV1
merupakan gejala yang khas pada PPOK, obstruksi jalan napas perifer ini
menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan hiperinflasi.
Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan kapasitas
residual fungsional. Hiperinflasi yang berkembang pada awal penyakit merupakan
mekanisme utama timbulnya dyspnea pada aktivitas. Bronkodilator yang bekerja
pada saluran napas perifer mengurangi perangkap udara, sehingga mengurangi
volume paru residu dan gejala serta meeningkatkan dan kapasitas berolahraga.
Mekanisme Pertukaran Gas
Ketidak seimbangan pertukaran gas menyebabkan kelainan hipoksemia
dan hypercapnia yang terjadi karena beberapa mekanisme. Secara umum,
pertukaran gasakan memburuk selama penyakit berlangsung. Tingkat keparahan
emfisema berkorelasi dengan PO2 arteri dan tanda lain dari ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi (VA/Q). Obstruksi jalan napas perifer juga menghasilkan
ketidakseimbangan VA/Q, dan penggabungan dengan gangguan fungsi otot
ventilasi pada penyakit yang sudah parah akan mengurangi ventilasi, yang
menyebabkan retensi karbon dioksida. Kelainan pada ventilasi alveolar dan
berkurangnya pembuluh darah paru akan lebih memperburuk kelainan VA / Q.
Eksaserbasi

12
Eksaserbasi merupakan amplifikasi lebih lanjut dari respon inflamasi
dalam saluran napas pasien PPOK, dapat dipicu oleh infeksi bakteri atau virus
atau oleh polusi lingkungan. Mekanisme inflamasi yang mengakibatkan
eksaserbasi PPOK, masih banyak yang belum diketahui. Dalam eksaserbasi
ringan dan sedang terdapat peningkatan neutrophil, beberapa studi lainnya juga
menemukan eosinofil dalam dahak dan dinding saluran napas. Hal ini berkaitan
dengan peningkatan konsentrasi mediator tertentu, termasuk TNF, LTB4 dan IL-
8, serta peningkatan biomarker stres oksidatif.
Pada eksaserbasi berat masih banyak hal yang belum jelas, meskipun salah
satu penelitian menunjukkan peningkatan neutrofil pada dinding saluran nafas dan
peningkatan ekspresi kemokin. Selama eksaserbasi terlihat peningkatan
hiperinflasi dan terperangkapnya udara, dengan aliran ekspirasi berkurang,
sehingga terjadi sesak napas yang meningkat. Terdapat juga memburuknya
abnormalitas VA / Q yang mengakibatkan hipoksemia berat.5,8

3.4 Diagnosis
Dispnea kronis adalah gejala PPOK yang paling khas. Batuk berdahak
terjadi pada 30% pasien. Gejala-gejala ini dapat bervariasi dari hari ke hari hingga
membentuk obstruksi aliran udara selama bertahun-tahun.1,6
Tabel 1. Gejala Klinis
Gejala Keterangan
Sesak Progresif
Bertambah berat dengan aktivitas
Persistent (menetap sepanjang hari)
Dijelaskan oleh bahasa pasien sebagai
"Perlu usaha untuk bernapas,"
Berat, sukar bernapas, terengah-engah
Batuk Kronik Hilang timbul dan mungkin tidak berdahak.
Batuk kronik berdahak: Setiap batuk kronik berdahak dapat
mengindikasikan PPOK.
Wheezing/Mengi Mengi inspirasi dan/atau ekspirasi disertai sesak
dada hingga membuat retraksi otot dada
Gejala lainnya dan Kelelahan, penurunan berat badan, kehilangan

13
Riwayat terpajan faktor massa otot merupakan masalah umum pada pasien
resiko PPOK berat.
Faktor resiko seperti asap rokok, debu dan bahan
kimia di tempat kerja, asap dapur.

Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi
- Barrel chest
- Penggunaan otot bantu napas, hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di
leher dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer pada emfisema atau blue bloater pada bronkitis
kronik
- Pursed-lips breathing adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut
mencucu dan ekspirasi yang memanjan sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik
 Palpasi : Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
 Perkusi : Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
 Auskultasi
- Suara napas vesikuler normal, atau melemah
- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
- Ekspirasi memanjang
- Bunyi jantung terdengar jauh
Pemeriksaan Penunjang

- Spirometri

Klasifikasi PPOK berdasarkan hasil pengukuran FEV1 dengan spirometri


setelah pemberian bronkodilator dibagi menjadi GOLD 1, 2, 3, dan 4.
Pengukuran spirometri harus memenuhi kapasitas udara yang dikeluarkan

14
secara paksa dari titik inspirasi maksimal (Forced Vital Capacity (FVC)),
kapasitas udara yang dikeluarkan pada detik pertama (Forced Expiratory
Volume in one second (FEV1)), dan rasio kedua pengukuran tersebut
(FEV1/FVC).
- Radiologi
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop)
Pada bronkitis kronik :
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21% kasus

3.5 Diagnosis Banding

Tabel 2. Diagnosis Banding

Diagnosis Gejala
PPOK Onset pada usia pertengahan.
Gejala progresif lambat.
Lamanya riwayat merokok.
Sesak saat aktivitas
Sebagian besar hambatan aliran udara ireversibel.
ASMA Onset awal sering pada anak.
Gejala bervariasi dari hari ke hari.
Gejala pada malam / menjelang pagi.
Disertai alergi, rinitis atau eksim .
Riwayat keluarga dengan asma.
Sebagian besar keterbatasan aliran udara reversibel
Gagal Jantung Auskultasi,terdengar ronchi halus di bagian basal.
Kongestif Foto toraks tampak jantung membesar, edema paru.

15
Uji fungsi paru menunjukkan restriksi bukan obstruksi
Broniotaksis Sputum produktif dan purulen.
Umumnya terkait dengan infeksi bakteri.
Auskultasi terdengar ronki kasar
Foto toraks /CT-scan toraks menunjukkan pelebaran
dan penebalan bronkus.
Tuberkolosis Onset segala usia
Foto toraks menunjukkan infiltrat di paru.
Konfirmasi mikrobiologi (sputum BTA)
Prevalensi tuberkulosis tinggi di daerah endemis

Meskipun PPOK dan asma berhubungan dengan inflamasi kronis saluran


napas namun terdapat perbedaan dalam hal sel inflamasi dan mediator yang
terlibat di dalamnya, yang akan menyebabkan perbedaan dalam efek fisiologis,
gejala, dan respon terhadap terapi. Terdapat kemiripan inflamasi antara asma berat
dan PPOK. Beberapa pasien PPOK memiliki gambaran seperti asma dan mungkin
memiliki pola inflamasi yang ditandai dengan peningkatan eosinofil. Sebaliknya,
pasien asma yang merokok memiliki gambaran patologis mirip dengan PPOK

3.6 Klasifikasi

PPOK dapat diklasifikasikan berdasarkan gejala dan spirometri (nilai


FEV1) setelah pemberian bronkodilator pada rasio FEV1/FVC < 0,7.

Tabel 3. Klasifikasi berdasarkan spirometri tingkat keparahan GOLD berdasarkan


hasil pengukuran spirometri.8
Pada pasien dengan FEV1/FVC < 0,7

Gold 1 Ringan Dengan atau tanpa batuk kronik dan FEV1 ≥ 80%
sputum produktif prediksi

Gold 2 Sedang Dengan keluhan napas pendek, terutama 50% ≤ FEV1<


saat latihan fisik, kadangkadang disertai 80% prediksi
batuk dan sputum produktif

16
Gold 3 Berat Keluhan napas pendek bertambah, 30% ≤ FEV1<
kemampuan latihan berkurang, lelah, 50% prediksi
eksaserbasi berulang, hingga
mempengaruhi kualitas hidup pasien
Gold 4 Sangat Gagal jantung kanan/kor pulmonal, FEV1< 30%
Berat kualitas hidup sangat terganggu, prediksi
eksaserbasi yang bisa menyebabkan
kematian

PPOK juga dapat diklasifikasikan berdasarkan mMRC (Modified British


Medical Research Council) (Gambar 1), CAT (COPD Assessment Test)
(Gambar 2) dan Gold ABE Assesment tool (Gambar 3).8

mMRC (Modified British Medical Research Council) (Gambar 1)

17
CAT (COPD Assessment Test) (Gambar 2)

Gold ABE Assesment tool (Gambar 3)

Saat ini GOLD 2023 merevisi ABCD menjadi ABE, Kelompok A dan B
tidak berubah, tetapi kelompok C dan D sekarang digabungkan menjadi satu
kelompok yang disebut "E" untuk eksaserbasi.1

18
3.7 Tatalaksana
Terapi farmakologi digunakan untuk mengurangi gejala, menurunkan
frekuensi dan tingkat keparahan eksaserbasi, serta memperbaiki toleransi terhadap
latihan fisik dan status kesehatan. Berdasarkan ABE Assesment tool, maka
tatalaksana sesuai dengan 3 kelompok yang ada (Gambar 4) , yaitu :

Kelompok A
Semua pasien diberi terapi bronkodilator berdasarkan efeknya terhadap
sesak napas, bisa berupa bronkodilator kerja singkat atau kerja panjang. Terapi
bisa dilanjutkan jika ditemukan manfaat simtomatik.
Kelompok B
Terapi awal bronkodilator kerja panjang karena lebih unggul dibanding
bronkodilator kerja singkat. Namun tidak ada bukti rekomendasi salah satu
bronkodilator kerja panjang untuk terapi awal gejala. Pemilihan obat tergantung
persepsi pasien, untuk kategori B, dapat direkomendasikan terapi awal
menggunakan dua bronkodialtor LABA + LAMA.
Kelompok E
Direkomendasikan terapi awal menggunakan kombinasi LABA/LAMA karena
studi menunjukkan LABA/LAMA lebih unggul dibanding obat tunggal. LAMA
lebih dipilih untuk mencegah eksaserbasi dibandingkan dengan LABA.

19
Kombinasi LABA/LAMA lebih unggul dibanding kombinasi LABA/ICS dalam
mencegah eksaserbasi. Pada beberapa pasien, pilihan pertama untuk terapi awal
adalah kombinasi LABA/ICS, seperti pada riwayat dan/ atau penemuan yang
menunjukkan tumpang tindih antara asma dengan PPOK. Tingginya eosinofil
darah juga dipertimbangkan sebagai parameter yang mendukung penggunaan ICS,
meskipun masih diperdebatkan.
a) Bronkodilator 1,6,8
Bonkodilator merupakan obat yang meningkatkan FEV1 dan/atau
memperbaiki variabel spirometri lainnya dengan mempengaruhi tonus otot polos
jalan napas dan memperbaiki aliran udara ekspirasi. Peningkatan dosis
bronkodilator, khususnya yang diberikan dengan nebulizer, tampaknya
memberikan manfaat subjektif pada episode akut, tetapi tidak membantu pada
penyakit stabil. Obat bronkodilator paling sering diberikan reguler untuk
mencegah atau mengurangi gejala. Bronkodilator yang digunakan pada PPOK
adalah agonis β2 dan antikolinergik (antagonis muskarinik)
1. Agonis β2
Kerja utama agonis β2 adalah merelaksasi otot polos jalan napas dengan
menstimulasi reseptor adrenergik beta-2, yang meningkatkan cAMP dan
menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokonstriksi. Efek samping
berupa sinus takikardia saat istirahat dan berpotensi mencetuskan gangguan irama
9
jantung, dan tremor somatik. Agonis β2 terdiri dari short-acting (SABA) dan
long-acting (LABA) beta2-agonist.
- SABA (short acting beta2-agonist), efek SABA biasanya hilang dalam 4-6
jam. Penggunaan SABA dapat memperbaiki FEV1 dan gejala. Contoh:
salbutamol, albuterol, terbutaline
- LABA (long acting beta2-agonist), durasi kerja 12 jam atau lebih. Contoh:
Formoterol, salmeterol, indacaterol, oladaterol, vilanterol (inhalasi).
Formoterol & salmeterol merupakan LABA yang diberikan dua kali sehari
yang secara bermakna memperbaiki FEV1 dan volume paru, sesak napas,
status kesehatan, frekuensi eksaserbasi dan jumlah perawatan di rumah sakit,
tetapi tidak mempunyai efek dalam penurunan mortalitas dan fungsi paru.
2. Anti Kolinergik

20
Bekerja memblokade efek bronkokonstriktor asetilkolin pada reseptor
muskarinik M3 yang diekspresikan pada otot polos jalan napas. Secara umum
obat ini relatif aman, dengan efek samping utama mulut kering. Antikolinergik
terdiri dari short-acting (SAMA) dan long-acting (LAMA) muscarinic antagonist.
- SAMA (short acting muscarinic antagonist) bekerja dengan menghambat
reseptor neuron M2 yang berpotensi menyebabkan bronkokonstriksi secara
vagal. Efek bronkodilator SAMA inhalasi lebih lama dibanding SABA,
Contoh: Ipratropium, oxitropium
- LAMA (long acting muscarinic antagonist) mempunyai ikatan yang lama
pada reseptor muskarinik M3, dengan disosiasi yang lebih cepat dari reseptor
muskarinik M2, sehingga memperpanjang durasi efek bronkodilator, dapat
mengurangi eksaserbasi dan perawatan di rumah sakit, memperbaiki gejala
dan status kesehatan. Contoh: Tiotropium, aclidinium, umeclidinium,
glycopyrronium bromide
3. Derivat Xanthine
Efek pasti obat golongan ini masih kontroversi, bisa bekerja sebagai
penghambat phosphodiesterase nonselektif, tetapi juga dilaporkan mempunyai
efek bronkodilator yang kemaknaannya masih diperdebatkan. Contoh derivat
xanthin adalah theophylline dan doxofylline yang diberikan per oral.6
4. Antiinflamasi
Antiinflamasi yang dapat digunakan pada PPOK seperti corticosteroid
inhalasi. Corticosteroid yang diberikan regular dapat memperbaiki gejala, fungsi
paru, kualitas hidup, frekuensi eksaserbasi pada pasien dengan FEV1 diprediksi <
60%. Namun kebanyakan studi telah menemukan bahwa terapi reguler dengan
corticosteroid inhalasi tidak memodifikasi penurunan FEV1 atau mortalitas jangka
panjang pada pasien PPOK. Contoh: Fluticasone, Budesonide.1
5. Terapi Kombinasi
Mengkombinasikan bronkodilator dengan mekanisme dan lama kerja berbeda
dapat meningkatkan derajat bronkodilatasi dengan risiko efek samping lebih
rendah dibanding meningkatkan dosis bronkodilator tunggal. Kombinasi SABA
dan SAMA lebih unggul dibanding obat tunggal dalam memperbaiki FEV1 dan
gejala PPOK. Terapi dengan formoterol dan tiotropium dalam inhaler terpisah

21
memberikan dampak yang lebih besar dibanding obat tunggal. Saat ini sudah
tersedia kombinasi LABA dengan LAMA dalam satu inhaler. Kombinasi ini
memperbaiki fungsi paru dibandingkan dengan plasebo, dan perbaikan ini secara
konsisten lebih besar dibanding efek monoterapi bronkodilator kerja panjang.
Kombinasi LABA dengan LAMA juga menghasilkan perbaikan yang lebih besar
dalam kualitas hidup dibanding dengan plasebo dan bronkodilator tunggal pada
pasien dengan gejala basal yang lebih berat. Kombinasi LABA/LAMA dengan
dosis yang lebih rendah yang diberikan dua kali sehari juga menunjukkan
perbaikan gejala dan status kesehatan pada pasien PPOK. Triple terapi yaitu
LABA + LAMA + ICS dapat diberikan pada kasus berat dan telah terbukti
meningkatkan fungsi paru-paru, mengurangi eksaserbasi bila dibandingkan
dengan LAMA saja, LABA+LAMA dan LABA +ICS.1 Prinsip farmakoterapi
pada eksaserbasi akut dapat dilihat di Gambar 5.

3.8 Komplikasi
PPOK merupakan penyakit progresif, fungsi paru memburuk dari waktu
ke waktu, bahkan dengan perawatan yang terbaik. Gejala dan perubahan obstruksi
saluran napas harus dipantau untuk menentukan modifikasi terapi dan
menentukan adanya komplikasi. Pada penilaian awal saat kunjungan harus
mencakup gejala khususnya gejala baru atau perburukan dan pemeriksaan fisik.
Komplikasi pada PPOK merupakan bentuk perjalanan penyakit yang progresif
dan tidak sepenuhnya reversibel seperti:3

22
 Infeksi berulang
 Kor pulmonal
 Gagal napas
a. Gagal napas kronik
Hasil analisis gas darah PO2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH
normal, penatalaksanaan :
- Jaga keseimbangan PO2 dan PCO2
- Bronkodilator adekuat
- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu aktiviti atau waktu
tidur
- Antioksidan
- Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
b. Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :
- Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
- Sputum bertambah dan purulen
- Demam
- Kesadaran menurun
3.9 Prognosis
Beberapa penelitian menunjukkan predictor mortalitas pasien PPOK adalah usia
tua dan penurunan forced expiratory volume per detik (FEV1). Pasien usia muda
dengan PPOK memiliki tingkat mortalitas lebih rendah kecuali pada keadaan
defisiensi alpha1-antitrypsin, suatu abnormalitas genetik yang menyebabkan
panlobular emfisema pada usia dewasa muda. Defisiensi alpha1-antitrypsin harus
dicurigai ketika PPOK muncul pada lebih muda dari 45 tahun dan tidak ada
riwayat bronchitis kronis atau penggunaan tembakau, atau ada anggota keluarga
dengan riwayat penyakit paru obstruktif pada usia muda.9

23
BAB IV

PEMBAHASAN

Diagnosis PPOK ditegakkan berdasarkan dari hasil anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari hasil anamnesis didapatkan
bahwa pasien laki-laki berusia 71 tahun datang dengan keluhan sesak, sesak sudah
dirasakana lama namun memberat 1 hari smrs. Dari pemeriksaan fisik paru
ditemukan auskultasi bunyi wheezing kanan dan kiri, serta rhonki kanan. Pada
pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan kelainan bermakna. Pada pemeriksaan
EKG dan foto toraks PA tampak pembesaran jantung. Pasien memiliki riwayat
merokok 1 bungkus/hari sedari usia muda, dan pada riwayat penyakit dahulu
pasien sering berobat dengan keluhan yang sama. Pada kasus ini pasien sesuai
dengan faktor risiko PPOK yaitu kelompok usia tua, jenis kelamin laki-laki dan
riwayat merokok.
Keluhan nyeri dada juga dirasakan oleh pasien, nyeri dada dapat
disebabkan oleh PPOK karena hilangnya elastisitas pleura parietal yang
mengakibatkan perlengketan dengan pleura visceral akibat dari proses jaringan
parut yang disebabkan oleh lingkungan inflamasi kronis, perlengketan ini dapat
menjadi sumber rasa sakit. Namun pada pasien ini nyeri dada juga dapat
disebabkan oleh HHD (Hypertensive heart disease).
Hypertensive heart disease (HHD) adalah istilah yang diterapkan untuk
menyebutkan penyakit jantung secara keseluruhan, mulai dari left ventricle
hyperthrophy (LVH), aritmia jantung, penyakit jantung koroner, dan penyakit
jantung kronis, yang disebabkan kerana peningkatan tekanan darah, baik secara
langsung maupun tidak langsung. HHD merupakan suatu penyakit yang berkaitan
dengan dampak sekunder pada jantung karena hipertensi sistemik yang lama dan
berkepanjangan.
Hipertrofi ventrikel kiri (LVH) merupakan kompensasi jantung
menghadapi tekanan darah tinggi ditambah dengan faktor neurohumoral yang
ditandai oleh penebalan konsentrik otot jantung (hipertrofi konsentrik). Fungsi
diastolik akan mulai terganggu akibat dari gangguan relaksasi ventrikel kiri,
kemudian disusul oleh dilatasi ventrikel kiri (hipertrofi eksentrik). Gejala pada
HHD antara lain rasa berdebar, melayang, rasa cepat capek, sesak napas, sakit

24
dada, bengkak pada kedua kaki atau perut. Pemeriksaan jantung untuk mencari
pembesaran jantung ditujukan untuk menilai HVK dan tanda-tanda gagal jantung.
Tatalaksana yang telah diberikan pada pasien ini adalah dengan pemberian
nutrisi dan hidrasi yang cukup melalui pemberian cairan serta pemberian oksigen,
tindakan nebulisasi ventolin 2,5 mg yang mengandung salbutamol 2,5 mg.
Salbutamol merupakan agonis β2 golongan short-acting (SABA). Pulmicort
mengandung budesonide yang merupakan kortikosteroid inhalasi.
Berdasarkan GOLD 2023, pada saat eksaserbasi akut penatalaksanaan
awal dapat diberikan bronkodilator beta 2 agonis dengan atau tanpa
antikolinergik. Selain kortikosteroid inhalasi, pasien juga diberikan kortikosteroid
sistemik yang dapat meningkatkan FEV1, meningkatkan oksigenasi dan
memperpendek waktu perawatan dirumah sakit, pemberian erdostein berperan
sebagai mukolitik.
Pasien juga diberikan terapi untuk HHD seperti candesartan untuk
penurunan tekanan darah, furosemide merupakan agen diuretik untuk mengurangi
beban cairan atau kongesti. Digoksin digunakan untuk mengobati penyakit
jantung, seperti aritmia dan gagal jantung.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Agusti A, Beasley R, Celli BR, et al.Global strategy for the diagnosis,


management, and prevention of chronic obstructive pulmonary disease (2023
Report). Available from: www.goldcopd.org
2. WHO. Global status report on noncommunicable diseases 2010 : Description
of the global burden of NCDs, their risk factors and determinants. 2011.
3. Lopez AD, Shibuya K, Rao C, Mathers CD, Hansell AL, Held LS, et al.
Chronic obstructive pulmonary disease: current burden and future projections.
European Respiratory Journal. 2012;27(2):397-412.
4. Ratih O,. Kajian Epidemiologi Penyakit Paru Kronik (PPOK). Media
Litbangkes Vol. 23 No. 2, Juni 2013: 82-88
5. Mangunnegoro H, dkk. PPOK, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia: 2011. hal 1-56 3.
6. Ikhsan, Furqan TM. Penyakit Paru Obstruksi Kronis: Laporan Kasus. J Ilm
Sains, Teknol Ekon Sos dan Budaya. 2023;7(1):6–11.
7. Elizabeth G. Nabel, M.D 2007 NHLBI Morbidity and Mortality Chart Book"
(PDF). Retrieved 2008-06-06.
8. Kristiningrum E,. Farmokoterapi Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK).
Departemen Medical PT Kalbe Darma Jakarta 2019 : CDK-275/ vol. 46 no. 4
th. 2019
9. Yang IA, Clarke MS, Sim EH, Fong KM. Inhaled corticosteroids for stable
chronic obstructive pulmonary disease. Cochrane Database Syst Rev
2012;7(7):CD002991.

26

Anda mungkin juga menyukai