Anda di halaman 1dari 57

Laporan Kasus

CHF, ANEMIA APLASTIK


Preceptor:
Dr. Iswandi Darwis, Sp.PD
Dr. Awal Bachtera Barus, Sp.PD

Bimo Husodo 2118012044


Agustinus Evrianto I. 2118012023
Hafshah 2118012025
Catur Ambar Wati 2118012033
Yulia Puspita Sari 2118012004

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
2021
01
Status Pasien
Identitas Pasien
Nama : Ms. H
Usia : 29 tahun
No. RM : 00.66.37.81
Alamat : Jl. Manunggal, Metro
Agama : Islam
Pekerjaan:
Perkawinan : Menikah
Pendidikan :
MRS : 16 November 2021
Ruangan : Kenanga
Diagnosis : CHF, Anemia Aplastik
Anamnesis
Ms. F mengeluhkan sesak napas sejak tanggal 16 Oktober 2021, yaitu setelah 1
minggu pasien mengonsumsi obat antituberkulosis (OAT) yang didapatkan dari
puskesmas. Sesak dirasakan oleh pasien terus menerus dan semakin memberat.
Pasien memutuskan untuk berobat ke puskesmas. Setelah dua hari menjalani rawat
inap, pasien dirujuk ke RSUD Pesawaran dan menjalani rawat inap selama 1
minggu. Setelah itu pasien dirujuk ke RSUD Abdoel Moeloek untuk dilakukan
pemasangan WSD.

Sebelumnya, pada pertengahan tahun 2021 pasien mengeluhkan batuk dan


penurunan berat badan secara drastis. Penurunan berat badan tertinggi yaitu
sebanyak 4 kg dalam 10 hari. Pasien juga mengaku mengalami keringat malam.
Pasien kemudian berobat ke RS Advent pada bulan September 2021 dan terdiagnosa
TB paru. Pasien mengonsumsi OAT hingga sekarang.
Keluhan Utama
Sesak terus menerus sejak tanggal 30 September 2021, pasien mengalami
keterbatasan aktivitas akibat sesak yang dirasakan.
Keluhan Tambahan
Penurunan berat badan, keringat malam dan batuk sejak pertengahan tahun 2021.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien terdiagnosa TB paru sejak September 2021 dan menjalankan pengobatan
dengan OAT. Pasien mengaku tidak pernah melewatkan jadwal minum obatnya.
Namun setelah seminggu mengonsumsi OAT pasien mengeluhkan sesak terus
menerus yang kadang disertai nyeri pada dada bagian atas. Sesak tidak
dipengaruhi oleh cuaca maupun posisi dan tidak ada faktor pencetus. Selain sesak,
pasien juga mengeluhkan batuk. Batuk tidak disertai adanya dahak dan darah.
Pasien tidak mengalami pilek dan hidung tersumbat.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak memiliki riwayat alergi, asma, dan tidak
pernah mengalami trauma dada. Diabetes melitus dan
hipertensi disangkal. Pasien juga belum pernah
dirawat di rumah sakit sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga penyakit asam urat, kolesterol,
diabetes melitus, dan hipertensi disangkal. Gejala
yang sama seperti pasien disangkal. Penyakit paru
pada keluarga disangkal.
Riwayat Sosial dan Pribadi
Pasien tinggal di rumah yang memiliki sinar matahari cukup
dan sirkulasi udara baik. Pasien bekerja sebagai
penambang emas dan lingkungan kerjanya berasap saat
proses peleburan emas. Setiap bekerja pasien tidak
menggunakan masker. Teman kerja pasien memiliki
keluhan batuk yang sama dengan pasien namun tidak
dianggap serius karena pasien mengira hanya batuk biasa.
Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak muda sekitar
tahun 2000 dengan rata-rata per hari sebanyak 2 bungkus.
Pasien telah berhenti merokok sejak bulan Agustus 2021.
Pasien mengaku jarang berolahraga. Konsumsi obat
tertentu dan kebiasaan minum alkohol disangkal.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis, GCS 15
Suhu : 36,60C
Tekanan darah : 125/80 mmHg
SpO2 : 94%
Laju nadi : 90x/menit
Laju nafas : 20x/menit
Kulit
Warna : Sawo matang]
Jaringan parut : Tidak ada
Suhu raba : Hangat
Efloresensi: Tidak ada
Pigmentasi: Tidak ada
Lembab/kering : Kering
Turgor : Normal
Ikterus : Tidak Ada
Edema : Tidak ada
Kepala Leher
Ekspresi Wajah: Wajar Kelenjar tiroid: Pembesaran (-), nyeri (-)
Trakea: Deviasi (-)
Rambut: Tersebar merata KGB: Bengkak (-), nyeri(-)
Simetri Wajah: Simetris JVP: 5 + 2 cm H2O

Mata Telinga Mulut & Hidung


Eksoftalmus (-/-) Pernapasan cuping hidung (-)
Endoftalmus (-/-) Tuli (-/-)
Serumen (-/-) Sianosis (-)
Konjungtiva: Anemis (-/-)
Sklera: Ikterik (-/-) Cairan/darah (-/-)
Refleks Cahaya: (+/+)
Pupil: Isokor
Thoraks
Paru Jantung

I: Normochest, retraksi (-) I: Pulsasi ictus cordis tidak terlihat


P: Fremitus taktil simetris, nyeri (-/-) P: Pulsasi ictus cordis teraba
P: sonor (+/+) P: Batas jantung
A: Vesikuler (+/+) Kanan: linea parasternalis dextra ICS IV
Atas: linea midclavicula sinistra ICS III
Kiri: linea midclavicula sinistra ICS V
A: BJ I dan BJ II normal, gallop (-), murmur (-)
Abdomen Ekstremitas
I: Datar, lesi (-) Superior: edema (-/-), atrofi (-/-), CRT <2s
A: BU (+) normal Inferior: edema (-/-), atrofi (-/-), CRT <2s
P: Nyeri epigastrium, organomegali
(-)
P: Timpani
Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium
Parameter Hasil Nilai Rujukan Satuan
HEMATOLOGI (22/10/2021)
Hemoglobin 8,6 13,2-17,3 g/dL
Leukosit 10.200 3.800-10.600 /µL
Eritrosit 3,1 4,4-5,9 juta/µL
Hematokrit 26 40-52 %
Trombosit 169.000 150.000-440.00 /µL
MCV 82 80-100 fL
MCH 28 26-34 pg
MCHC 33 32-36 g/dL
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 2 2-4 %
Neutrofil batang 0 3-5 %
Neutrofil segmen 88 50-70 %
Limfosit 5 25-40 %
Monosit 5 2-8 %
Hasil Laboratorium
Parameter Hasil Nilai Rujukan Satuan
FAAL KOAGULASI (22/10/2021)
APTT 33.4 28,6-42,2 sec
Kontrol APTT 36.3 27,0-38,0 detik
PT 22.2 11,6-14,5 sec
Kontrol PT 13.6 12,0-16,5 detik
INR 1.70 0,85-1,15 INR
Kontrol INR 0.96 INR
ECHOCARDIOGRAFI
Kesan:

o Pneumothorax kanan
o TB paru lama aktif dengan infeksi
sekunder
o Tidak tampak kardiomegali
EKG
02
Kajian Masalah
Anamnesis
Keluhan utama berupa sesak nafas mendada, pasien juga mengeluhkan batuk terus menerus.
Batuk terus menerus dimulai pada bulan Agustus 2021, kemudian pasien merasakan
penurunan berat badan sebanyak 4 kg selama 10 hari. Pada 14 september 2021 pasien
melakukan pemeriksaan foto rontgen thorax ke RS advent. Hasil rontgen didapatkan adanya
TB paru aktif, lalu pak hendar mengambil obat paket TB di puskes, setalah minum obat
seminggu kondisinya menurun dan sesak nafas, pak hendar ke RS pesawaran dan dirawat
selama satu minggu kemudian dirujuk ke RSAM karena sesak semakin memberat.

Pemeriksaan Fisik
Pasien mengalami takipneu dengan RR 28 x. Pada pemeriksaan thoraks, terdapat gerakan
nafas tertinggal pada dada kiri, saat di perkusi pada paru kiri redup. Saat auskultasi, bunyi
nafas vesikuler menurun pada dada kiri dan terdengar juga bunyi ronkhi basah halus pada
bagian atas paru.

Pemeriksan Penunjang
Hemoglobin menurun 11,3 g/dl, leukosit meningkat 17 rb/ul, LED meningkat 103 mm/jam
Atas Dasar:
Anamnesa: Batuk, Sesak
PF: Sela iga melebar, pergerkan dada kanan tertinggal, hipersonor paru kanan, fremitus taktil
kanan menurun, egofoni(+), dan vesikuler sebelah kanan menurun

Dipikirkan:
- Pneumothorax

Rencana Diagnosis:
- Rontgen Thoraks
- CT Scan

Rencana Tatalaksana:
- Pemasangan WSD pada anterolateral ICS 4
Atas Dasar:
- Anamnesis: Batuk berdahak, Keringat malam, Berat badan menurun
- PP: Rontgen Thoraks gambaran TB paru aktif, tes sputum BTA (+), uji kepekaan obat TCM (-)

Dipikirkan:
- Tuberkulosis

Rencana Evaluasi:
- Tes Sputum

Rencana Tatalaksana:
- OAT 2HRZE (Tuberkulosis)
03
Tinjauan Pustaka
Definisi CHF
Gagal jantung didefinisikan sebagai abnormalitas dari dari struktur jantung atau
fungsi yang menyebabkan kegagalan dari jantung untuk mendistribusikan oksigen
ke seluruh tubuh. Secara klinis, gagal jantung merupakan kumpulan gejala yang
kompleks dimana seseorang memiliki tampilan berupa: gejala gagal jantung; tanda
khas gagal jantung dan adanya bukti obyektif dari gangguan struktur atau fungsi
jantung saat istrahat (PERKI, 2020).
Etiologi
1. ABNORMALITAS STRUKTURAL
2. ABNORMALITAS FUNGSIONAL
3. FAKTOR PEMICU LAINNYA
KLASIFIKASI
Skema
Diagnostik
CHF
CONGESTIF HEART FAILURE
kriteria Framingham
MAYOR MINOR
• Sesak saat tidur terlentang (Orthopnoe) • Edema tungkai bawah (biasanya dekat
• Sesak terutama malam hari mata kaki)
(Paroxysmal Nocturnal Dyspnoe) • Batuk-batuk malam hari
• Peningkatan Tekanan Vena Jugularis • Sesak nafas saat aktifitas lebih dari
• Ronki basah halus sehari hari
• Pembesaran Jantung • Pembesaran hati
• Edema Paru • Efusi Pleura
• Gallop S3 • Takikardia
• Waktu sirkulasi memanjang >25 detik
• Refluks hepato jugular
• Penurunan berat badan karena respons
dengan
• Pengobatan
Framingham Score
&
Jakarta Cardiovascular Score

Merupakan skoring untuk memprediksi risiko


kejadian kardiovaskular dalam 10 tahun

Interpretasi Skor
- 7 s/d 1 -> low risk
2 s/d 4 -> moderate risk
5 -> high risk
Tatalaksana
1. Diuretik: Furosemidoral / IV bila tanda dan gejala kongesti masih ada, dengan
dosis 1 mg/kg BB atau lebih
2. ACE inhibitor (atau ARB bila batuk) bila tidak ada kontra indikasi; dosis
dinaikan bertahap sampai dosis optimal tercapai
3. Beta blocker dosis kecil bila tidak ada kontra indikasi, dosis naik bertahap Bila
dosis sudah optimal tetapi laju nadi masih cepat (>70x/menit), dengan:
• Irama sinus, dapat ditambahkan Ivabradin mulai dosis kecil 2x2,5mg,
maksimal 2 X 5mg.
• Irama atrialfibrilasi - respons ventrikel cepat serta fraksi ejeksi rendah,
tetapi fungsi ginjal baik, berikan digoxin dosis rumat 0,25mg pagi.
4. Mineralocorticoid Receptor Blocker (Aldosterone Antagonist) dosis kecil bila
tidak ada kontra indikasi.
Klasifikasi TB Berdasarkan Riwayat Pengobatan

1. Kasus baru  belum pernah mendapat OAT sebelumnya atau riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan
(< dari 28 dosis bila memakai obat program).
2. Kasus dengan riwayat pengobatan  pernah mendapatkan OAT 1 bulan atau lebih (>28 dosis bila memakai
obat program). Kasus ini diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan hasil pengobatan terakhir sebagai berikut:
a. Kasus kambuh  pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap pada
akhir pengobatan dan saat ini ditegakkan diagnosis TB episode kembali (karena reaktivasi atau episode
baru yang disebabkan reinfeksi).
b. Kasus pengobatan setelah gagal  pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir
pengobatan.
c. Kasus setelah loss to follow up  pernah menelan OAT 1 bulan atau lebih dan tidak meneruskannya
selama lebih dari 2 bulan berturut-turut dan dinyatakan loss to follow up sebagai hasil pengobatan.
d. Kasus lain-lain  pernah mendapatkan OAT dan hasil akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak
didokumentasikan.
e. Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui  tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya
sehingga tidak dapat dimasukkan dalam salah satu kategori di atas.
Klasifikasi TB Berdasarkan Kepekaan Obat
Monoresisten
• Resistensi terhadap salah satu jenis OAT lini pertama.

Poliresisten
• Resistensi terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain isoniazid (H) dan rifampisin (R) bersamaan.

Multidrug resistant (TB MDR)


• Minimal resistan terhadap isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.

Extensive drug resistant (TB XDR)


• TB-MDR yang juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT lini kedua
jenis suntikan (kanamisin, kapreomisin, dan amikasin).
Rifampicin resistant (TB RR)
• Terbukti resistan terhadap Rifampisin baik menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip
(konvensional), dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi. Termasuk dalam kelompok TB RR
adalah semua bentuk TB MR, TB PR, TB MDR dan TB XDR yang terbukti resistan terhadap rifampisin.
Alur
Diagnosis
TB
Tatalaksana TB Paru
Kategori Kasus Paduan Obat Keterangan

I TB Paru BTA + 2RHZE/4RH atau 2RHZE/6HE


BTA -, lesi luash *2RHZE/4R3H3

II Kambuh dan gagal pengobatan • RHZES/1RHZE/sesuai hasil uji Bila streptomisin alergi, dapat diganti
resistensi atau Kanamisin
2RHZES/1RHZE/5RHE
• 3 – 6 kanamisin, ofloksasin,
etionamid, sikloserin/ 15 – 18
ofloksasin, etionamid, sikloserin
atau 2RHZES/1RHZE/5RHE
II TB paru putus berobat Sesuai lama pengobatan sebelumnya,
lama berhenti minum obat dan
keadaan klinis, bakteriologi dan
radiologi saat ini (lihat uraiannya) atau
2RHZE/5R3H3
III TB paru BTA – dengan lesi minimal 2RHZE/4RH atau 6RHE atau
*RHZE/4R3H3

IV Kronik RHZES/sesuai hasil uji resistensi


(minimal OAT yang sensitive) + obat
lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan)
MDR TB Sesuai uji resistensi + OAT lini 2 atau
H seumur hidup
Dosis rekomendasi OAT lini pertama untuk dewasa

Dosis rekomendasi harian 3 kali per minggu

Dosis (mg/kgBB) Maksimum (mg) Dosis (mg/kgBB) Maksimum (mg)

Isoniazid 5 (4 – 6) 300 10 (8 – 12) 900

Rifampisin 10 (8 – 12) 600 10 (8 – 12) 600

Pirazinamid 25 (20 – 30) - 35 (30 – 40) -

Etambutol 15 (15 – 20) - 30 (25 – 35) -

Streptomisin 15 (12 – 18) - 15 (12 – 18) -


Efek Samping Kemungkinan Penyebab Penanganan
Minor Teruskan obat, periksa
Anoreksia, mual, sakit perut Rifampisin Berikan obat pada malam
hari sesudah makan
Efek Samping Nyeri sendi Pirazinamid Aspirin
Rasa panas di kaki INH Piridoksin 100mg/hari
Urin kemerahan Rifampisin Terangkan kepada pasien
Mayor Hentikan obat penyebab
Gatal-gatal, kemerahan di kulit Tiasetazon Hentikan obat
Ketulian Streptomisin Hentikan streptomisin,
ganti dengan etambutol
Pusing, vertigo, nistagmus Streptomisin Hentikan streptomisin,
ganti dengan etambutol
Ikterus (tanpa sebab lain) Berbagai antiTB Hentikan antiTB
Muntah, bingung (kecurigaan Berbagai antiTB Hentikan obat, segera
gagal hati) periksa fungsi hati dan
waktu protrombin
Gangguang penglihatan Etambutol Hentikan etambutol
Syok, purpura, gagal ginjal akut Rifampisin Hentikan Rifampisin
Evaluasi Tatalaksana
• Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama
Evaluasi pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan
• Evaluasi respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping
Klinik obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit
• Evaluasi klinik meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik

Evaluasi • Untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak


• Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik:
Bakteriologik • Sebelum pengobatan dimulai
• Setelah 2 bulan pengobatan
(0-2-6/9)
Evaluasi
Radiologik (0
• Dilakukan: sebelum pengobatan, setelah 2 bulan pengobatan,
pada akhir pengobatan

-2 - 6/9)
Evaluasi Efek Samping Secara Klinik
• Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal, dan darah lengkap

• Fungsi hati; SGOT, SGPT, bilirubin, fungsi ginjal: ureum, kreatinin, dan gula darah, asam urat
untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan

• Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid

• Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol

• Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri

• Pada anak dan deasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang paling
penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinik
dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk
memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman
Evaluasi Ketidakteraturan berobat akan
Keteraturan menyebabkan timbulnya resistensi
Obat

• Penderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi


Evaluasi minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh untuk mengetahui
terjadinya kekambuhan.
Penderita
yang Telah • Evaluasi: mikroskopik BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopik BTA
Sembuh dahak 3, 6, 12 dan 24 bulan setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi
foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.
Pneumothorax
Pneumothorax
Pneumothorax adalah terisinya rongga pleura dengan udara, yang
menyebabkan paru pada bagian yang terkena kolaps.

Diklasifikasikan menjadi:
1. Pneumothorax spontan, yang terdiri dari:
i. Pneumothorax spontan primer  “no obvious lung disease”
ii. Pneumothorax spontan sekunder  “obvious lung disease”
2. Pneumothorax traumatik
3. Pneumothorax iatrogenic  akibat tindakan medis
Patogenesis dan Patofisiologi
Adanya Adanya
hubungan antara hubungan antara
pleura dan atmosfer dan
alveolus rongga pleura

Adanya
organisme
penghasil gas
pada pleura
Pneumothorax Spontan
Pneumothorax Spontan Primer (PSP) Pneumothorax Spontan Sekunder (SSP)
Etiologi Tidak diketahui, tanpa ada penyakit Ada penyakit dasar sebagai penyebab,
paru yang jelas contohnya:
1. Penyakit paru obstruktif: PPOK, asma
2. Penyakit paru interstisial: sarcoidosis,
Langerhans cell histiositosis
3. Infeksi: Pneumonia P.jiroveci, TB,
pneumonia bakterialis
4. Malignansi: carcinoma primer,
metastasis
5. Lainnya: Katamenial, infark pulmoner
Epidemiologi Laki-laki:perempuan=3:1 Terjadi pada usia yang lebih tua
Banyak pada perawakan kurus dan Risiko rekurensi 40-80%
tinggi Insidensi laki-laki > perempuan
Risiko meningkat pada perokok
Mortalitas pada usia 15-34 tahun sekitar
0,06-0.09%
Pneumothorax Traumatik
• Merupakan penyebab paling umum pneumothorax

• Dapat terjadi dari 2 mekanisme

a. Trauma tajam: udara dari luar masuk ke rongga pleura melalui


dinding dada  open pneumothorax
b. Trauma tumpul: menyebabkan laserasi pleura visceral akibat fraktur
costae atau dislokasi 🡪 udara dari alveolus mengisi rongga pleura
Pneumothorax Iatrogenik
• Pneumothorax yang diakibatkan prosedur diagnostic dan terapeutik yang
invasive.

• Terjadi akibat komplikasi prosedur seperti:


- transthoracic needle aspiration
- insersi kateter vena subklavia
- thoracocentesis
- transbronchial biopsy
- positive-pressure ventilation
Manifestasi Klinis
Anamnesis
Gejala Klinis:
• Nyeri dada  bersifat akut, terlokalisir pada sisi pneumothorax, pleuritik
• Sesak napas  biasanya memberat saat posisi tidur
• Batuk
• Hemoptisis

Pneumothorax spontan biasanya terjadi saat istirahat, hanya 10% terjadi saat
aktivitas berat. Gejala dispnea dan nyeri dada biasanya bereda dalam 24 jam
pertama.
Manifestasi Klinis
Pemeriksaan Fisik
• Takikardia atau normal, hipotensi, sianosis, gelisah, terdapat deviasi trakea
ke sisi yang sehat (pada tension pneumothorax)
• Inspeksi dan palpasi: gerak napas tertinggal, fremitus taktil menurun pada
sisi yang sakit
• Perkusi: hipersonor
• Auskultasi: suara napas menurun atau menghilang

Pneumothorax <20% biasanya tidak dapat teridentifikasi dari pemeriksaan fisik


Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium EKG Radiologi

Analisa Gas Darah 


seringkali Rontgen Thorax 
Pneumothorax kiri 
menunjukkan terdapat gambaran
Anterolateral MI,
hipoksemia dan lusensi avascular dan
inversi gelombang T
hipokarbia akibat pleural line
hiperventilasi

CT-Scan  dapat
membedakan bullae,
kista, dan
pneumothorax, pada
20-25% kasus dapat
disertai efusi pleura

Ultrasonografi 
dapat dilakukan
secara bedside untuk
diagnosis secara
cepat
Menghitung Luas Pneumothorax
Prinsip Tatalaksana
Mengeluarkan udara
dari rongga pleura Pemilihan jenis terapi dipengaruhi oleh:
1. Klinis pasien
Mengembangkan paru 2. Penyebab pneumothorax
yang kolaps 3. Penyakit penyerta
4. Riwayat pneumothorax sebelumnya
5. Risiko berulang
6. Pengalaman tenaga kesehatan
Menutup kebocoran

Mencegah
pneumothorax berulang
Tatalaksana
Terapi

Observasi Dekompresi Operasi

Jarum
Bila luas <20% Thoracoscopy
kontraventil

Aspirasi
dengan selang Thoracotomy
infus

Chest
tube+WSD
Tatalaksana
Jarum kontraventil Aspirasi dengan selang infus Chest Tube + WSD

• Jarum/abbocath • Jarum/abbocath yang telah • Dibuat insisi kulit di


ditusukkan di ditusukkan dimasukkan ke ICS IV garis midaxilla
dinding dada pada dalam rongga pleura atau posterior atau
ICS IV/V garis disambungkan ke selang ICS II garis
axilla anterior infus midklavikula
• Ujung • Pipa plastik penetes dipotong • Chest tube steril
jarum/abbocath dan dimasukkan ke dalam dimasukkan ke
dibiarkan terbuka botol berisi air sedalam dalam rogga pleura
kurang lebih 2 cm dengan trokar/klem
penjepit
• Ujung selang dada
disambungkan ke
botol WSD
Daftar Pustaka
Amanda PS, Wijayanti O. 2015. Pneumothorax pada TB milier: Sebuah Laporan Kasus. Indonesian Journal of Chest.
2(4): p. 191-4.
Arifputera A, Tanto C. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Media Aesculapius. Jilid 2. hal. 271-4.
Ganong W.F. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: EGC.
KEMENKES RI. 2020. Pedoman nasional pelayanan kedokteran tata laksana tuberkulosis. Jakarta: KEMENKES RI.
KEMENKES RI. 2020. Petunjuk teknis penatalaksanaan tuberkulosis resisten obat di indonesia. Jakarta:Direktorat
jenderal pencegahan dan pengendalian penyakit KEMENKES RI 2020.
Simamora RP, Rasyidah R. 2020 Radiografi Thorax pada Pasien Tb Paru dengan Pneumothorax Spontan Sekunder.
Departemen Radiologi RSUD DR H. Abdul Moeloek Lampung vol.9.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing.
Suharta MT. 2019. Pneumothorax Sekunder Ec Tb Paru. Rumah Sakit Tk. II 02.05.01 dr. AK Gani Palembang.
Thank You

Anda mungkin juga menyukai