o Pneumothorax kanan
o TB paru lama aktif dengan infeksi
sekunder
o Tidak tampak kardiomegali
EKG
02
Kajian Masalah
Anamnesis
Keluhan utama berupa sesak nafas mendada, pasien juga mengeluhkan batuk terus menerus.
Batuk terus menerus dimulai pada bulan Agustus 2021, kemudian pasien merasakan
penurunan berat badan sebanyak 4 kg selama 10 hari. Pada 14 september 2021 pasien
melakukan pemeriksaan foto rontgen thorax ke RS advent. Hasil rontgen didapatkan adanya
TB paru aktif, lalu pak hendar mengambil obat paket TB di puskes, setalah minum obat
seminggu kondisinya menurun dan sesak nafas, pak hendar ke RS pesawaran dan dirawat
selama satu minggu kemudian dirujuk ke RSAM karena sesak semakin memberat.
Pemeriksaan Fisik
Pasien mengalami takipneu dengan RR 28 x. Pada pemeriksaan thoraks, terdapat gerakan
nafas tertinggal pada dada kiri, saat di perkusi pada paru kiri redup. Saat auskultasi, bunyi
nafas vesikuler menurun pada dada kiri dan terdengar juga bunyi ronkhi basah halus pada
bagian atas paru.
Pemeriksan Penunjang
Hemoglobin menurun 11,3 g/dl, leukosit meningkat 17 rb/ul, LED meningkat 103 mm/jam
Atas Dasar:
Anamnesa: Batuk, Sesak
PF: Sela iga melebar, pergerkan dada kanan tertinggal, hipersonor paru kanan, fremitus taktil
kanan menurun, egofoni(+), dan vesikuler sebelah kanan menurun
Dipikirkan:
- Pneumothorax
Rencana Diagnosis:
- Rontgen Thoraks
- CT Scan
Rencana Tatalaksana:
- Pemasangan WSD pada anterolateral ICS 4
Atas Dasar:
- Anamnesis: Batuk berdahak, Keringat malam, Berat badan menurun
- PP: Rontgen Thoraks gambaran TB paru aktif, tes sputum BTA (+), uji kepekaan obat TCM (-)
Dipikirkan:
- Tuberkulosis
Rencana Evaluasi:
- Tes Sputum
Rencana Tatalaksana:
- OAT 2HRZE (Tuberkulosis)
03
Tinjauan Pustaka
Definisi CHF
Gagal jantung didefinisikan sebagai abnormalitas dari dari struktur jantung atau
fungsi yang menyebabkan kegagalan dari jantung untuk mendistribusikan oksigen
ke seluruh tubuh. Secara klinis, gagal jantung merupakan kumpulan gejala yang
kompleks dimana seseorang memiliki tampilan berupa: gejala gagal jantung; tanda
khas gagal jantung dan adanya bukti obyektif dari gangguan struktur atau fungsi
jantung saat istrahat (PERKI, 2020).
Etiologi
1. ABNORMALITAS STRUKTURAL
2. ABNORMALITAS FUNGSIONAL
3. FAKTOR PEMICU LAINNYA
KLASIFIKASI
Skema
Diagnostik
CHF
CONGESTIF HEART FAILURE
kriteria Framingham
MAYOR MINOR
• Sesak saat tidur terlentang (Orthopnoe) • Edema tungkai bawah (biasanya dekat
• Sesak terutama malam hari mata kaki)
(Paroxysmal Nocturnal Dyspnoe) • Batuk-batuk malam hari
• Peningkatan Tekanan Vena Jugularis • Sesak nafas saat aktifitas lebih dari
• Ronki basah halus sehari hari
• Pembesaran Jantung • Pembesaran hati
• Edema Paru • Efusi Pleura
• Gallop S3 • Takikardia
• Waktu sirkulasi memanjang >25 detik
• Refluks hepato jugular
• Penurunan berat badan karena respons
dengan
• Pengobatan
Framingham Score
&
Jakarta Cardiovascular Score
Interpretasi Skor
- 7 s/d 1 -> low risk
2 s/d 4 -> moderate risk
5 -> high risk
Tatalaksana
1. Diuretik: Furosemidoral / IV bila tanda dan gejala kongesti masih ada, dengan
dosis 1 mg/kg BB atau lebih
2. ACE inhibitor (atau ARB bila batuk) bila tidak ada kontra indikasi; dosis
dinaikan bertahap sampai dosis optimal tercapai
3. Beta blocker dosis kecil bila tidak ada kontra indikasi, dosis naik bertahap Bila
dosis sudah optimal tetapi laju nadi masih cepat (>70x/menit), dengan:
• Irama sinus, dapat ditambahkan Ivabradin mulai dosis kecil 2x2,5mg,
maksimal 2 X 5mg.
• Irama atrialfibrilasi - respons ventrikel cepat serta fraksi ejeksi rendah,
tetapi fungsi ginjal baik, berikan digoxin dosis rumat 0,25mg pagi.
4. Mineralocorticoid Receptor Blocker (Aldosterone Antagonist) dosis kecil bila
tidak ada kontra indikasi.
Klasifikasi TB Berdasarkan Riwayat Pengobatan
1. Kasus baru belum pernah mendapat OAT sebelumnya atau riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan
(< dari 28 dosis bila memakai obat program).
2. Kasus dengan riwayat pengobatan pernah mendapatkan OAT 1 bulan atau lebih (>28 dosis bila memakai
obat program). Kasus ini diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan hasil pengobatan terakhir sebagai berikut:
a. Kasus kambuh pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap pada
akhir pengobatan dan saat ini ditegakkan diagnosis TB episode kembali (karena reaktivasi atau episode
baru yang disebabkan reinfeksi).
b. Kasus pengobatan setelah gagal pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir
pengobatan.
c. Kasus setelah loss to follow up pernah menelan OAT 1 bulan atau lebih dan tidak meneruskannya
selama lebih dari 2 bulan berturut-turut dan dinyatakan loss to follow up sebagai hasil pengobatan.
d. Kasus lain-lain pernah mendapatkan OAT dan hasil akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak
didokumentasikan.
e. Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya
sehingga tidak dapat dimasukkan dalam salah satu kategori di atas.
Klasifikasi TB Berdasarkan Kepekaan Obat
Monoresisten
• Resistensi terhadap salah satu jenis OAT lini pertama.
Poliresisten
• Resistensi terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain isoniazid (H) dan rifampisin (R) bersamaan.
II Kambuh dan gagal pengobatan • RHZES/1RHZE/sesuai hasil uji Bila streptomisin alergi, dapat diganti
resistensi atau Kanamisin
2RHZES/1RHZE/5RHE
• 3 – 6 kanamisin, ofloksasin,
etionamid, sikloserin/ 15 – 18
ofloksasin, etionamid, sikloserin
atau 2RHZES/1RHZE/5RHE
II TB paru putus berobat Sesuai lama pengobatan sebelumnya,
lama berhenti minum obat dan
keadaan klinis, bakteriologi dan
radiologi saat ini (lihat uraiannya) atau
2RHZE/5R3H3
III TB paru BTA – dengan lesi minimal 2RHZE/4RH atau 6RHE atau
*RHZE/4R3H3
-2 - 6/9)
Evaluasi Efek Samping Secara Klinik
• Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal, dan darah lengkap
• Fungsi hati; SGOT, SGPT, bilirubin, fungsi ginjal: ureum, kreatinin, dan gula darah, asam urat
untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan
• Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri
• Pada anak dan deasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang paling
penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinik
dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk
memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman
Evaluasi Ketidakteraturan berobat akan
Keteraturan menyebabkan timbulnya resistensi
Obat
Diklasifikasikan menjadi:
1. Pneumothorax spontan, yang terdiri dari:
i. Pneumothorax spontan primer “no obvious lung disease”
ii. Pneumothorax spontan sekunder “obvious lung disease”
2. Pneumothorax traumatik
3. Pneumothorax iatrogenic akibat tindakan medis
Patogenesis dan Patofisiologi
Adanya Adanya
hubungan antara hubungan antara
pleura dan atmosfer dan
alveolus rongga pleura
Adanya
organisme
penghasil gas
pada pleura
Pneumothorax Spontan
Pneumothorax Spontan Primer (PSP) Pneumothorax Spontan Sekunder (SSP)
Etiologi Tidak diketahui, tanpa ada penyakit Ada penyakit dasar sebagai penyebab,
paru yang jelas contohnya:
1. Penyakit paru obstruktif: PPOK, asma
2. Penyakit paru interstisial: sarcoidosis,
Langerhans cell histiositosis
3. Infeksi: Pneumonia P.jiroveci, TB,
pneumonia bakterialis
4. Malignansi: carcinoma primer,
metastasis
5. Lainnya: Katamenial, infark pulmoner
Epidemiologi Laki-laki:perempuan=3:1 Terjadi pada usia yang lebih tua
Banyak pada perawakan kurus dan Risiko rekurensi 40-80%
tinggi Insidensi laki-laki > perempuan
Risiko meningkat pada perokok
Mortalitas pada usia 15-34 tahun sekitar
0,06-0.09%
Pneumothorax Traumatik
• Merupakan penyebab paling umum pneumothorax
Pneumothorax spontan biasanya terjadi saat istirahat, hanya 10% terjadi saat
aktivitas berat. Gejala dispnea dan nyeri dada biasanya bereda dalam 24 jam
pertama.
Manifestasi Klinis
Pemeriksaan Fisik
• Takikardia atau normal, hipotensi, sianosis, gelisah, terdapat deviasi trakea
ke sisi yang sehat (pada tension pneumothorax)
• Inspeksi dan palpasi: gerak napas tertinggal, fremitus taktil menurun pada
sisi yang sakit
• Perkusi: hipersonor
• Auskultasi: suara napas menurun atau menghilang
CT-Scan dapat
membedakan bullae,
kista, dan
pneumothorax, pada
20-25% kasus dapat
disertai efusi pleura
Ultrasonografi
dapat dilakukan
secara bedside untuk
diagnosis secara
cepat
Menghitung Luas Pneumothorax
Prinsip Tatalaksana
Mengeluarkan udara
dari rongga pleura Pemilihan jenis terapi dipengaruhi oleh:
1. Klinis pasien
Mengembangkan paru 2. Penyebab pneumothorax
yang kolaps 3. Penyakit penyerta
4. Riwayat pneumothorax sebelumnya
5. Risiko berulang
6. Pengalaman tenaga kesehatan
Menutup kebocoran
Mencegah
pneumothorax berulang
Tatalaksana
Terapi
Jarum
Bila luas <20% Thoracoscopy
kontraventil
Aspirasi
dengan selang Thoracotomy
infus
Chest
tube+WSD
Tatalaksana
Jarum kontraventil Aspirasi dengan selang infus Chest Tube + WSD