Anda di halaman 1dari 29

PRESENTASI KASUS

Laki – laki 16 Tahun Post Laparotomi Adhesiolisis plus Release Band plus
Ileostomi a.i Peritonitis Generalisata ec Perforasi Multiple Ileum plus
Divertikel Meckel plus Adhesi Ileum

Oleh :
Naqiyya Syahidah Azman
G992102100
Periode : 11 – 17 Oktober 2021

Pembimbing :
dr. Suwardi, Sp. B, Sp. BA

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI


PROFESI DOKTER BAGIAN ILMU BEDAH ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu
Bedah Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret / RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Presentasi kasus dengan judul:

Laki – laki 16 Tahun Post Laparotomi Adhesiolisis plus Release Band plus
Ileostomi a.i Peritonitis Generalisata ec Perforasi Multiple Ileum plus
Divertikel Meckel plus Adhesi Ileum

Hari, tanggal: Jumat, 15 Oktober 2021

Disusun Oleh:
Naqiyya Syahidah Azman
G992102100

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing

dr. Suwardi, Sp. B, Sp. BA


BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. MF
Usia : 16 tahun
Jenis Kelamin : Laki – laki
Alamat : Tanon, Sragen
No. RM : 01551911
Masuk RS : 12 Oktober 2021

B. ANAMNESA
1. Keluhan Utama
Nyeri di seluruh lapang perut
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSDM dengan keluhan nyeri di seluruh
lapang paru. Keluhan nyeri sudah dirasakan 1 bulan SMRS hilang timbul,
memberat satu hari SMRS. Pasien mengeluh mual, muntah dan demam
hilang timbul. Keluhan pusing disangkal. Pasien juga mengeluh nyeri di
perut sebelah kanan. Buang air besar dan buang air kecil dalam batas
normal. Pasien kadang merasa kesulitan untuk membuang angin.
Pasien lahir secara normal dengan berat lahir 3000 gram, panjang badan
47 cm, usia kehamilan 40 minggu dan langsung menangis spontan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Keluhan Serupa : disangkal
Riwayat Kecelakaan/Trauma : disangkal
Riwayat Operasi : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Keluhan Serupa : disangkal
Riwayat Tumor : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
5. Riwayat Kehamilan
Selama hamil ibu tidak mengonsumsi alkohol, merokok atau
konsumsi obat-obatan diluar anjuran dokter. Ibu pasien rutin
memeriksakan kehamilan.
6. Riwayat Nutrisi
Pasien makan kurang teratur.
7. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien berobat dengan BPJS.

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Assessment Pre Operasi (12/10/2021)
a. Tanda Vital
Kesan Umum : tampak sakit sedang, pasien sadar penuh
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Suhu : 36,8℃
SpO2 : 97% udara ruangan
Nadi : 80 kali/menit
RR : 24 kali/menit
BB : 46 kg
TB : 160 cm
b. Pemeriksaan Fisik
Kepala : mesocephal, jejas (-)
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : secret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-),
Tragus pain (-)
Hidung : darah (-), nafas cuping hidung (-), secret (-)
Mulut : mukosa basah, sianosis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), jejas (-)
Thorax : bentuk normo chest, gerak pernafasan
simetris
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I & II reguler, bising (-), BJ tambahan (-)
Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : fremitus raba dada kanan dan kiri sama
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+/+), RBK (-/-), Wheezing (-/-) Egofoni (-/-)
Abdomen
Inspeksi : distensi (+), bekas luka operasi (-)
Auskultasi : bising usus (+) menurun
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan (+), defans muscular (+), mc burney
sign (+)
Ekstremitas

2. Assessment Post Operasi (13/12/2021)


a. Tanda Vital
Kesan Umum : pasien sadar penuh
Tekanan Darah : 121/79 mmHg
Suhu : 36,4℃
SpO2 : 98% udara ruangan
Nadi : 100 kali/menit
RR : 20 kali/menit
b. Pemeriksaan Fisik
Kepala : mesocephal, jejas (-)
Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Telinga : secret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-),
Tragus pain (-)
Hidung : darah (-), nafas cuping hidung (-), secret (-)
Mulut : mukosa basah, sianosis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), jejas (-)
Thorax : bentuk normo chest, gerak pernafasan
simetris
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I & II reguler, bising (-), BJ tambahan (-)
Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : fremitus raba dada kanan dan kiri sama
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+/+), RBK (-/-), Wheezing (-/-) Egofoni (-/-)
Abdomen
Inspeksi : distensi (-), bekas luka operasi (+)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan (+), defans muscular (+), mc burney
sign (+), nyeri bekas jahitan
Ekstremitas

D. FOTO KLINIS
1. Pre Op (12/10/21)
2. Durante Op (12/10/21)

3. Post Op (13/10/21)
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium (12 Oktober 2021)

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


Hematologi
Hemoglobin 11.8 g/dl 14.0-17.5
Hematokrit 35 % 33-45
Leukosit 24.0 103/ L 4.5-14.5

Trombosit 400 103/ L 150-450


Eritrosit 4.34 106/ L 3.80-5.80

Indeks Eritrosit
MCV 80.4 fL 80.0-96.0
MCH 27.2 Pg 28-33
MCHC 33.8 % 33.0-36.0
RDW 13.7 % 11.6-14.6
MPV 7.4 Fl 7.2-11.1
PDW 15 % 25-65
Hitung Jenis
Eosinofil 0.00 % 0.00-4.00
Basofil 0.20 % 0.00-1.00
Neutrofil 92.80 % 18.00-74.00
Limfosit 3.80 % 60.00-66.00
Monosit 3.20 % 0.00-6.00
Golongan Darah A AGLUTINASI
KIMIA KLINIK
Albumin 3.4 g/dl 3.2-4.5
GDS 127 mg/dl 60-100
Creatinine 1.1 mg/dl 0.5-1.0
Ureum 85 mg/dl <48
ELEKTROLIT DARAH
Natrium Darah 131 mmol/L 129-147
Kalium Darah 4.7 mmol/L 3.6-6.1
Chlorida Darah 91 mmol/L 98-106

2. X-Ray Abdomen 3 Posisi (12 Oktober 2021)


Klinis : Peritonitis Generalisata
Foto Abdomen 3 posisi :
a. Pre peritoneal fat line tak tampak jelas
b. Tampak dilatasi Sistema usus halus dengan diameter terbesar 5.3 cm
membentuk gambaran coiled spring dan herring bone serta dilatasi
colon dengan diameter terbesar 6.5 cm membentuk gambaran incisura
dan haustra
c. Psoas sign kanan kiri tak tampak jelas
d. Tampak gambaran udara di rectum
e. Tampak terpasang gastric tube dengan tip terproyeksi di gaster
f. Tampak gambaran udara bebas di anterior subhepatic space

Pada Foto LLD :


a. Tampak gambaran udara bebas di suprahepatal membentuk gambaran
lateral decubitus sign
b. Tampak multiple air fluid level panjang panjang

Kesimpulan :
a. Pneumoperitoneum
b. Menyokong gambaran ileus paralitik
c. Terpasang gastric tube dengan tip terproyeksi di gaster

F. ASSESSMENT PRE OPERASI


1. Peritonitis generalisata ec suspek perforasi appendix
2. Pneumoperitoneum
3. Ileus paralitik

G. ASSESSMENT POST OPERASI


Post laparotomy adhesiolisis plus release band plus ileostomi a.i peritonitis
generalisata ec perforasi multiple ileum plus divertikel meckel plus adhesi
ileum.
H. PLANNING PRE OPERASI
1. Oksigenasi NK 2 lpm
2. Infus ringer laktat loading 250 cc
3. Pasang DC + NGT
4. Inj metamizole 1 gram / 6 jam
5. Inj ranitidine 50 mg / 12 jam
6. Pro cito laparotomy eksplorasi

I. PLANNING POST OPERASI


1. Infus RL 1500 cc / 24 jam
2. Diet puasa sementara NGT dialirkan
3. Inj Ampicilin 1 g / 8 jam
4. Inj Metronidazole 500 mg / 8 jam
5. Inj Gentamicin 80 mg / 12 jam
6. Inj Asam Traneksamat 500 mg / 12 jam
7. Inj Ketorolac 30 mg / 8 jam
8. Inj Ranitidine 50 mg / 12 jam
9. Medikasi DPH 2
10. Cek darah lengkap, albumin, elektrolit post op
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PERITONITIS

A. Definisi
Peritonitis didefinisikan sebagai peradangan pada membran serosa yang
melapisi rongga perut dan organ-organ yang terdapat di dalamnya. Peritoneum
yang merupakan lingkungan steril, bereaksi terhadap berbagai rangsangan
patologis dengan respons inflamasi yang cukup seragam. Berdasarkan pada
patologi yang mendasarinya, peritonitis dapat mungkin infeksius atau steril
(yaitu, kimiawi atau mekanis) (Leppaniemi et al., 2015).

B. Epidemiologi
Hasil survey pada tahun 2008, angka kejadian peritonitis di sebagian
wilayah Indonesia hingga saat ini masih tinggi. Di Indonesia, jumlah pasien
yang menderita penyakit peritonitis berjumlah sekitar 7% dari jumlah
penduduk di Indonesia atau sekitar 179.000 orang (Depkes RI, 2008).
Angka kejadian peritonitis di Amerika pada tahun 2011 diperkirakan 750
ribu pertahun dan akan meningkat bila pasien jatuh dalam keadaan syok.
Dalam setiap jamnya didapatkan 25 pasien mengalami syok dan satu dari tiga
pasien syok berakhir dengan kematian. Data mengenai tingkat insidensi
peritonitis sangat terbatas, namun yang pasti diketahui adalah diantara seluruh
jenis peritonitis, peritonitis sekunder merupakan peritonitis yang paling sering
ditemukan (Lata et al., 2012).

C. Etiologi
Berdasarkan etiologinya, peritonitis bakterial adalah jenis peritonitis yang
tersering dijumpai dan dapat terjadi secara primer, sekunder, dan tersier.
Peritonitis primer disebabkan infeksi bakteri monobakterial yang mengalami
translokasi dari traktus gastrointestinal atau penyebaran hematogenik dari
organ lain. Peritonitis sekunder disebabkan oleh penyebaran bakteri akibat
perforasi organ berongga, terutama organ gastrointestinal sehingga terjadi
infeksi polibakterial. Peritonitis tersier terjadi pada pasien-pasien dengan
peritonitis sekunder yang telah menjalani pembedahan, namun peritonitis tetap
terjadi (persisten) oleh karena sistem immunitas tubuhnya tidak mampu
melakukan eradikasi sisa kontaminan dan bakteria yang semula tidak
patogenis (Menkes, 2017).

D. Patofisiologi
Peritoneum terbentuk dari monolayer sel mesothelial yang melapisi
dinding perut (peritoneum parietal) dan visera perut (peritoneum visceral).
Lapisan tunggal ini dengan lamina basal dan stroma submesotelnya
menciptakan penghalang yang semipermeable, di mana air dan zat terlarut
dipertukarkan secara pasif. Partikel yang lebih besar dan bakteri dibersihkan
melalui stomata dan saluran limfatik antara sel mesotel yang terkonsentrasi
pada permukaan diafragma (gambar 2). Pembersihan cepat mikroba intra-
abdomen melalui limfatik ini merupakan pusat patofisiologi infeksi perut,
karena kontaminasi yang tidak terkendali dapat menyebabkan bakteremia dan
sepsis yang cepat (Ross, James T et al., 2018).
Peritonitis merupakan komplikasi akibat penyebaran infeksi dari organ-
organ abdomen, ruptur saluran cerna, atau luka tembus abdomen. Reaksi awal
peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa,
kantong-kantong nanah (abses) terbentuk diantara perlekatan fibrinosa yang
membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sehingga menimbulkan obstruksi usus. Dapat terjadi
secara terlokalisasi, difus, atau generalisata (Van Baal JO et al., 2017).
Pada peritonitis lokal dapat terjadi karena adanya daya tahan tubuh yang
kuat serta mekanisme pertahanan tubuh dengan melokalisir sumber peritonitis
dengan omentum dan usus. Pada peritonitis yang tidak terlokalisir dapat
terjadi peritonitis difus, kemudian menjadi peritonitis generalisata dan terjadi
perlengketan organ-organ intra abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan
parietal. Timbulnya perlengketan ini menyebabkan aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam
usus mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Pada
keadaan lanjut dapat terjadi sepsis, akibat bakteri masuk ke dalam pembuluh
darah (Sartelli M. et al., 2012).

E. Klasifikasi
1. Peritonitis Primer
Peritonitis primer mengacu pada kondisi inflamasi spontan tanpa
adanya patologi intraabdominal yang mendasari atau riwayat cedera
penetrasi peritoneum. Penyebaran hematogen dari agen infeksi telah
disebutkan sebagai mekanisme perkembangan peritonitis primer dan
kemungkinan diperparah oleh gangguan pertahanan imun pasien (Volk,
2015).
2. Peritonitis Sekunder
Peritonitis sekunder merupakan konsekuensi dari kondisi patologis
intraabdominal aseptik atau septik yang sudah ada sebelumnya. Karena
banyaknya kondisi yang dapat menyebabkan peritonitis, jenis tanda klinis
dan tingkat keparahannya bervariasi. Peritonitis sekunder paling sering
akibat kontaminasi dari saluran gastrointestinal (GI). Kebocoran isi GI
dapat terjadi melalui dinding lambung dan usus yang telah terganggu oleh
ulserasi, obstruksi benda asing, neoplasia, trauma, kerusakan iskemik, atau
dehiscence dari sayatan bedah sebelumnya (Grimes et al., 2011).
3. Peritonitis Tersier
Peritonitis generalisata yang menetap biasanya sebagai lanjutan
perawatan awal pada peritonitis sekunder. Keadaan ini akibat adanya
kegagalan respon tubuh dan superinfeksi (Menkes, 2017).

F. MANIFESTASI KLINIS
1. Demam dan menggigil
2. Nyeri perut atau rasa tidak nyaman pada perut
3. Diare
4. Ileus
5. Ascites yang tidak membaik setelah pemberian diuretik
6. Mual kadang dengan muntah
7. Tidak dapat BAB atau buang angin

Nyeri perut yang mungkin akut adalah keluhan utama yang biasa ada pada
pasien dengan peritonitis. Awalnya, rasa sakit mungkin tumpul dan kurang
terlokalisasi (peritoneum viseral) seringkali, berkembang menjadi nyeri yang
menetap, parah, dan lebih terlokalisasi (peritoneum parietal). Nyeri perut
dapat diperburuk oleh gerakan apa pun (misalnya, batuk, fleksi pinggul) dan
tekanan lokal. Jika tidak ada proses yang mendasari, rasa sakit menjadi
menyebar. Pada entitas penyakit tertentu (misalnya, perforasi lambung,
pankreatitis akut berat, iskemia usus), nyeri perut dapat digeneralisasi dari
awal (Daley, 2019).

Distensi perut dapat terjadi, serta tanda-tanda disfungsi organ lain. Gejala
mungkin tidak terlihat pada pasien yang menggunakan kortikosteroid, pada
pasien diabetes dengan neuropati lanjut, dan pada pasien yang dirawat di
rumah sakit, terutama yang sangat muda dan sangat tua. Dehidrasi dapat
terjadi yang didahului dengan hipovolemik intravaskular. Dalam keadaan
lanjut dapat terjadi hipotensi, penurunan output urin dan syok (Daley, 2019).

G. DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis umumnya
tampak tidak sehat dan dalam distres akut. Banyak dari mereka memiliki
suhu yang melebihi 38°C, meskipun pasien dengan sepsis berat dapat
menjadi hipotermia. Takikardia mungkin ada, sebagai akibat dari
pelepasan mediator inflamasi, hipovolemia intravaskular dari anoreksia,
muntah dan demam. Dengan dehidrasi progresif, pasien dapat menjadi
hipotensi (5-14% pasien), serta oliguri atau anurik. Apabila dengan
peritonitis berat, dapat jatuh dalam keadaan syok septik yang jelas
(Tolonen et al., 2019).
Dapat terlihat adanya distensi abdomen dengan penurunan bising
usus sampai tidak terdengar suara bising usus. Rigiditas abdomen atau
sering disebut perut papan, terjadi akibat kontraksi otot dinding abdomen
secara volunter sebagai respon terhadap penekanan pada dinding abdomen
ataupun involunter sebagai respon terhadap iritasi peritoneum. Pada
palpasi dapat ditemukan nyeri tekan, nyeri lepas dan defense muskuler.
Pada perkusi dapat ditemukan nyeri ketuk positif, hipertimpani
akibat dari perut yang kembung, pekak hepar hilang akibat perforasi usus
yang berisi udara sehingga udara akan mengisi rongga peritoneal, pada
perkusi hepar terjadi perubahan suara pekak menjadi timpani.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
 Peningkatan jumlah sel darah putih adalah tanda umum dari infeksi
bakteri. Namun leukositosis adalah respon non-spesifik terhadap
stress fisiologis. Karena spesifitasnya yang buruk, sel darah putih
belum dievaluasi secara ketat dalam diagnosis (Cerny & Rosmarin,
2012).
 Asidosis metabolik dengan alkalosis respiratorik.
b. Pencitraan
 Pasien dengan peritonitis generalisata atau peritonitis lokalisata
dengan ketidakstabilan hemodinamik tidak memerlukan
pencitraan, karena tidak akan mengubah kebutuhan laparotomi.
Kecuali pasien dengan hemodinamik stabil dengan peritonitis dan
kecurigaan tinggi untuk iskemia mesenterika akut. Dalam kasus
ini, angiografi computed tomography pra operasi dapat memandu
intervensi vaskular yang cepat, yang harus disertai dengan
laparotomy (Tilsed et al., 2016).
 Pada foto polos abdomen mungkin didapatkan bayangan peritoneal
fat yang kabur karena infiltrasi sel radang. Tampak udara usus
merata. Tampak gambaran udara bebas. Adanya eksudasi cairan ke
rongga peritoneum.
H. TATALAKSANA
1. Intervensi Pembedahan
Manajemen operatif bertujuan untuk mengendalikan sumber
infeksi dan untuk membersihkan dari bakteri dan racun. Jenis dan luasnya
operasi tergantung pada proses penyakit yang mendasari dan tingkat
keparahan infeksi intra-abdomen. Sebagai intervensi definitif untuk
mengembalikan anatomi fungsional, menghilangkan sumber kontaminasi
antimikroba dan memperbaiki kelainan anatomi atau fungsional yang
menyebabkan infeksi. Terkadang dapat dicapai dengan satu operasi,
namun dalam situasi tertentu, prosedur kedua atau ketiga mungkin
diperlukan. Pada beberapa pasien, intervensi definitif ditunda sampai
kondisi pasien membaik dan penyembuhan jaringan cukup untuk
memungkinkan prosedur yang (terkadang) lama (Tartaglia et al., 2019).
2. Non Pembedahan
Dukungan medis meliputi terapi antibiotik sistemik, menstabilkan
hemodinamik, berikan nutrisi yang cukup, terapi modulasi respons
inflamasi. Pengobatan peritonitis dan sepsis intra-abdominal selalu dimulai
dengan resusitasi cairan, koreksi elektrolit potensial dan kelainan
koagulasi, dan cakupan antibiotik empiris parenteral spektrum luas.
Pemberian cairan memerlukan pemantauan tekanan darah, nadi,
pengeluaran urin, analisa gas darah, hemoglobin dan hematokrit, elektrolit,
dan fungsi ginjal (Leppaniemi et al., 2015).

I. PROGNOSIS
Tergantung dari umur penderita, penyebab, ketepatan dan keefektifan
terapi. Prognosa baik pada peritonitis lokal dan ringan. Prognosa mungkin
buruk pada peritonitis general.
PERFORASI ILEUM

Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang


kompleks dari dinding lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi
dari usus ke dalam rongga perut. Perforasi dari usus mengakibatkan secara
potensial untuk terjadinya kontaminasi bakteri dalam rongga perut (keadaan ini
dikenal dengan istilah peritonitis). Perforasi dalam bentuk apapun yang mengenai
saluran cerna merupakan suatu kasus kegawatan bedah. Pada anak-anak cedera
yang mengenai usus halus akibat dari trauma tumpul perut sangat jarang dengan
insidensinya 1-7 %. Sekitar 10-15 % penderita dengan divertikulitis akut dapat
berkembang menjadi perforasi bebas. Pada pasien yang lebih tua appendicitis acut
mempunyai angka kematian sebanyak 35 % dan angka kesakitan 50 %. Perforasi
pada saluran cerna sering disebabkan oleh penyakit-penyakit seperti ulkus gaster,
appendicitis, keganasan pada saluran cerna, divertikulitis, sindroma arteri
mesenterika superior dan trauma.
Pada tahap awal, distensi intraluminal menyebabkan peningkatan
sementara peristaltik ke arah proksimal dan penghambatan ke arah distal, hal ini
merupakan upaya meningkatkan tekanan intraluminal untuk mengatasi obstruksi
(Shi, Lin dan Hegde, 2018). Namun lama kelamaan kelelahan otot terjadi
sehingga aktivitas peristaltik berhenti (Griffiths dan Glancy, 2020). Pada tahapan
selanjutnya usus tersebut mengalami dilatasi disebabkan oleh berkumpulnya gas
dan cairan dari isi yang tertelan, dan fermentasi bakteri di bagian proksimal
(Faryniuk, MacDonald dan van Boxel, 2015). Setelah 8-10 L cairan melewati
saluran gastrointestinal (GI), gangguan reabsorpsi menyebabkan sekuestrasi
cairan ke dalam lumen usus (spasi ketiga), dan menyebabkan hilangnya volume
intravaskular sebagai predisposisi dehidrasi, elektrolit gangguan, dan syok
hipovolemik. Penurunan asupan oral dan muntah menyebabkan defisit cairan
elektrolit semakin berat (Kiela dan Ghishan, 2016; Griffiths dan Glancy, 2020).
Kompresi vena usus dan limfatik menyebabkan edema mural (arteriol dan kapiler
mengalami kompresi) sehingga menyebabkan penurunan perfusi jaringan. Hal ini
menyebabkan Iskemia, sehingga menjadi predisposisi nekrosis dan perforasi. Hal
ini dapat berkembang menjadi peritonitis dan sepsis (Reddy dan Cappell, 2017).
DIVERTIKEL MECKEL

A. Definisi
Divertikel Meckel pertama kali dideskripsikan oleh Johan Meckel, pada
1809, merupakan kelainan kongenital saluran pencernaan paling sering,kira-
kira 2% dari seluruh populasi. Dalam kandungan, vitelline duct yang
menghubungkan usus bayi dengan yolk sac, seharusnya mengalami involusi
pada minggu 5-6. Saat vitelline duct pada antimesenterik gagal regresi, akan
membentuk true divertikel. Disebut true karena dindingnya meliputi seluruh
lapisan yang menyusun usus halus.Lokasi nya bervariasi antar individu,
namun pada umumnya ditemukan pada ileum sekitar 100 cm dari katup
ileocecal (Schropp et al., 2010).

B. Etiologi
Divertikulum meckel disebabkan oleh obliterasi yang tidak sempurna dari
duktus omphalomesenterika yang menghubungkan usus janin dengan yolk sac
dan pada kondisi normal akan mengalami involusi saat gestasi antara minggu
ke-5 dan ke-7. Ductus omphalomesenterika berperan untuk menyediakan
nutrisi hingga terbentuknya plasenta. Saat sekitar gestasi minggu ke -7, duktus
akan berpisah dari intestinal. Jika ductus gagal sebagian atau secara
keseluruhan untuk berpisah dan involusi, hal tersebut akan menghasilkan kista
omphalomesenterika, fistula omphalomesenterika yang mengalir melalui
umbilicus, atau pita fibrosa(fibrous band) dari divertikulum ke umbilicus,
yang dapat menyebabkan obstruksi (An dan Zabbo, 2021).

C. Epidemiologi
Sebuah laporan berdasarkan data dari Pediatric Health Information System
database menemukan bahwa 53 % Meckel divertikulektomi dilakukan
sebelum usia 4 tahun, dengan rasio laki-laki dan perempuan yaitu 2.3:1 secara
keseluruhan dan 3:1 pada pasien yang simptomatik. (Ashcraft et al., 2020).
D. Manifestasi Klinis
Variasi dari gejala dapat berkembang bergantung pada bentuk struktur sisa
dan adanya mukosa ektopik. Tiga gejala yang paling seringa da pada anak-
anak yaitu perdarahan intestinal (30-56%), obstruksi intestinal (14-42%) dan
inflamasi divertikular (6-14%). Tanda lainnya termasuk massa kistik
abdominal dan bayi baru lahir dengan fistula umbilikal dari duktus vitelline
( omphalomesenterika) yang paten. Pada dewasa, khususnya usia lanjut,
neoplasia dapat berkembang dengan Divertikulum Meckel. Manifestasi klinis
neonatal dari Divertikulum Meckel jarang dan biasanya akibat perforasi atau
obstruksi (Ashcraft et al., 2020).

E. Diagnosis
Pada pasien dengan manifestasi klinis obstruksi atau inflamasi, diagnosis
Divertikulum Meckel biasanya tidak secara pasti ditentukan sebelum operasi.
Pada beberapa kasus, CT scan atau USG pre operative dapat ditemukan
adanya massa garis tengah yang mengalami inflamasi dengan appendix yang
normal, mengusulkan diagnosis yang benar. Pada anak usia lebih dari 5 tahun
yang tidak menjalani operasi abdominal dan menunjukkan gejala dan tanda
obstruksi, Divertikulum Meckel harus sangat dipertimbangkan sebagai
etiologi.

F. Tatalaksana
Tatalaksana utama pada divertikulum Meckel adalah reseksi bedah
( surgical resection). Namun, apakah reseksi harus diaplikasikan pada semua
Divertikulum Meckel yang tidak sengaja ditemukan atau asimptomatik masih
menjadi kontroversi. Beberapa ahli bedah menggunakan skor risiko sebagai
panduan untuk menentukan keputusan dilakukannya reseksi. Robijin et al
(2006), merekomendasikan sistema skoring berdasarkan 4 faktor risiko yaitu
pasien usia <45 tahun, jenis kelamin laki-laki, adanya pita fibrosa ( fibrous
band) , dan panjang divertikula >2cm ( Kuru dan Kesmit, 2018).
Berdasarkan data dari literatur yang relevan, semua diverticula yang tidak
sengaja ditemukan jika memiliki salah satu kriteria berikut harus di lakukan
reseksi ( Kuru dan Kesmit, 2018):
1. Usia < 50 tahun
2. Jenis kelamin laki2
3. Panjang divertikulum >2cm
4. Adanya jaringan abnormal pada pemeriksaan histopatologi
5. Diverticulum yang bersifat broad-based, yang rentan terhadap
komplikasi
6. Adanya pita fibrosa ( fibrous band) yang menempel ke diverticulum
Simptomatik Divertikulum Meckel harus ditatalaksana dengan laparatomi
atau laparoskopi ( Kuru dan Kesmit, 2018).
ADHESI ILEUM

A. Definisi
Adhesi abdomen secara definisi adalah melekatnya jaringan fibrosa
intraperitoneal secara abnormal yang menghubungkan permukaan (yang
biasanya terpisah) satu sama lain (Reddy dan Cappell, 2017). Usus halus
merupakan organ yang memiliki panjang beberapa meter, intraperitoneal,
bebas, mobile, dan viskus pan-kuadrantik. Oleh karena itu, usus halus
merupakan organ yang paling berisiko mengalami adhesi terhadap usus halus
itu sendiri maupun pada dinding perut (Tong, Lingam dan Shelat, 2020).

B. Epidemiologi
ASBO merupakan gangguan usus halus yang paling sering ditemui. Dalam
suatu review yang dilakukan pada 87 penelitian yang terdiri dari 110.076
pasien, insiden ASBO muncul sebanyak 2,4% dari seluruh operasi-operasi
abdomen. Di Amerika Utara, ada lebih dari 300.000 penerimaan rumah sakit
tahunan untuk ASBO, 850.000 hari perawatan rawat inap, menghabiskan lebih
dari $1,3 miliar dalam pengeluaran medis dan berkontribusi terhadap lebih
dari 2000 kematian setiap tahun (Loftus et al., 2015).

C. Etiologi
Adhesi intraabdominal mulai muncul setelah operasi perut sebagai bagian
dari proses penyembuhan normal yang terjadi setelah kerusakan pada
peritoneum. Adhesi pascaoperasi terbentuk setelah trauma pada rongga
peritoneum dan merupakan hasil dari respons biokimia dan seluler yang
terjadi dalam upaya untuk memperbaiki peritoneum. Etiologi ASBO dapat
muncul karena didapat maupun karena bawaan; namun, sebagian besar
muncul disebabkan oleh operasi abdomino-panggul. Selain itu etiologi ASBO
yang lain dapat terbentuk sebagai akibat dari kondisi inflamasi, infeksi
intraperitoneal, atau trauma abdomen (Attard dan MacLean, 2007).
D. Patofisiologi
Kerusakan pada mesothelium peritoneal mengakibatkan inflamasi lokal
sehingga mengaktifkan jalur fibrinokoagulasi (Hellebrekers dan Kooistra,
2011). Hal ini menyebabkan peningkatan pergantian sel, infiltrasi sel
inflamasi, dan deposisi fibrinogen (Mutsaers et al., 2015). Saat matriks fibrin
terbentuk, hal ini menciptakan sambungan-sambungan gelatin dengan struktur
sekitarnya. Kemudian fibroblas tersebut menginfiltrasi untuk membentuk
adhesi permanen, dan juga terjadi perubahan fibrinogen menjadi fibrin. Dalam
keadaan normal, faktor fibrinolitik (misalnya, tissue plasminogen activators
[tPA]) akan mendegradasi fibrin menjadi fragmen yang lebih kecil yang
dikenal sebagai produk degradasi fibrin. Namun, ketidakseimbangan dalam
proses pembentukan fibrin dan fibrinolisis mengarah pada pembentukan
adhesive bands (Arung, Meurisse dan Detry, 2011).

E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinsi dari tanda-tanda dehidrasi dan hipovolemia adalah
takikardia, hipotensi, oliguria, dan membran mukosa kering . Trias pada
ASBO adalah nyeri berat, nyeri yang tidak sebanding dengan temuan klinis,
dan adanya bekas luka abdomen (Moran, 2007). Selain itu pada pasien dengan
ASBO juga bisa mengalami demam yang dapat disebabkan oleh iskemia
mukosa dengan translokasi bakteri dan sepsis. Pada pasien juga ditemukan
suara usus yang nyaring dan bernada tinggi disebabkan adanya obstruksi
mekanik pada penyakit tersebut (Breum et al., 2015). Tanda-tanda peritonitis,
seperti nyeri tekan perut, menunjukkan adanya strangulasi (Huang et al.,
2018).

F. Pemeriksaan Fisik Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan hitung darah lengkap, protein C-reaktif, nitrogen urea
darah, kreatinin, dan elektrolit memiliki kegunaan diagnostik yang terbatas
tetapi membantu menilai dampak yang disebabkan oleh ASBO pada tubuh
dan risiko gangguan usus. Peningkatan protein C-reaktif >75 unit dan
jumlah sel darah putih >10 000/mm3 menunjukkan peritonitis atau
perforasi (Huang et al., 2018).
2. Pemeriksaan Tomografi Komputer
Computed tomography (CT) scan memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan film biasa dan
direkomendasikan oleh pedoman Bologna (Ten Broek et al., 2018).
Kriteria utama SBO pada CT scan meliputi dilatasi usus halus dengan
diameter 3 cm tanpa dilatasi kolon yang signifikan (diameter <6 cm), dan
adanya titik transisi mendadak/tidak halus dari bagian usus halus yang
mengalami dilatasi ke bagian yang kolaps. Kriteria minor meliputi air-
fluid level dan dekompresi kolon. Untuk ASBO, CT scan memiliki akurasi
diagnostik yang lebih tinggi dibandingkan dengan radiografi x ray dalam
mengidentifikasi titik transisi (93%) dan etiologi obstruksi (85-90%). Pada
ASBO dapat ditemui “beak sign”, yaitu sebuah pola yang dibentuk oleh
dilatasi usus proksimal dan titik transisi.
3. Pencitraan Resonansi Ultrasonik dan Magnetik
Utilitas USG tergantung pada keterampilan operator, sedangkan
visibilitas USG dipengaruhi faktor-faktor seperti gas intraluminal dan
habitus tubuh pasien. Ultrasound memiliki utilitas yang terbatas dalam
mendiagnosis ASBO. Pencitraan resonansi magnetik berguna dalam
situasi di mana CT scan tidak tersedia atau tidak memungkinkan
(misalnya, kehamilan dan alergi zat pewarna). Namun, biaya, akses, dan
resolusi spasial dan temporal yang lebih rendah dibandingkan dengan CT
scan menyebabkan USG lebih terbatas dalam diagnosis ASBO (Tong,
Lingam dan Shelat, 2020)
G. Hubungan dengan Peritonitis
Peritonitis juga menjadi salah satu penyebab adhesi pada peritoneal. Pada
tahun 2008, Departemen Kesehatan Republik Indonesia menemukan bahwa
Indonesia mempunyai tingkat kasus yang tinggi pada penyakit peritonitis yaitu
sebanyak 7% dari keseluruhan penduduk Indonesia vaitu 197.000 jiwa.
Sehubungangan dengan tingginya kasus peritonitis yang mengalami
komplikasi dapat menjadi indikator tingginya adhesi peritoneal yang tejadi.
Pengobatan atau preventif dari adhesi peritoneal dapat menjadi salah satu
solusi pengobatan peritonitis. Data eksperimental menunjukkan bahwa
penggunaan agen anti-adhesif dalam peritonitis mengurangi adhesi dan abses
serta mortalitas terkait (Van Goor, 2007).
DAFTAR PUSTAKA

An J, Zabbo CP. Meckel Diverticulum. [Updated 2021 May 10]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499960/

Arung, W., Meurisse, M. dan Detry, O. (2011) “Pathophysiology and prevention


of postoperative peritoneal adhesions.,” World journal of gastroenterology, hal.
4545–4553. doi: 10.3748/wjg.v17.i41.4545.

Ashcraft KW, Gatti JM, Holcomb GW, Murphy JP, St. Peter SD. Holcomb and
Ashcraft’s Pediatric Surgery E-Book Seventh edition. Elsevier

Attard, J.-A. P. dan MacLean, A. R. (2007) “Adhesive small bowel obstruction:


epidemiology, biology and prevention.,” Canadian journal of surgery. Journal
canadien de chirurgie, 50(4), hal. 291–300.

Bordeianou, L. dan Yeh, D. D. (2014) “Epidemiology, clinical features, and


diagnosis of mechanical small bowel obstruction in adults,” UpToDate Online.

Breum, B. M. et al. (2015) “Accuracy of abdominal auscultation for bowel


obstruction,” World Journal of Gastroenterology: WJG, 21(34), hal. 10018.

Ten Broek, R. P. G. et al. (2018) “Bologna guidelines for diagnosis and


management of adhesive small bowel obstruction (ASBO): 2017 update of the
evidence-based guidelines from the world society of emergency surgery ASBO
working group,” World Journal of Emergency Surgery, 13(1), hal. 1–13.

Catena, F. et al. (2016) “Adhesive small bowel adhesions obstruction: Evolutions


in diagnosis, management and prevention,” World journal of gastrointestinal
surgery, 8(3), hal. 222–231. doi: 10.4240/wjgs.v8.i3.222.
Faryniuk, A., MacDonald, A. dan van Boxel, P. (2015) “Amnesia in modern
surgery: revisiting Wangensteen’s landmark studies of small bowel obstruction,”
Canadian Journal of Surgery, 58(2), hal. 83.

Van Goor, H. (2007) “Consequences and complications of peritoneal adhesions,”


Colorectal disease, 9, hal. 25–34.

Griffiths, S. dan Glancy, D. G. (2020) “Intestinal obstruction,” Surgery (Oxford),


38(1), hal. 43–50.

Hellebrekers, B. W. J. dan Kooistra, T. (2011) “Pathogenesis of postoperative


adhesion formation,” Journal of British Surgery, 98(11), hal. 1503–1516.

Huang, X. et al. (2018) “A prediction model for recognizing strangulated small


bowel obstruction,” Gastroenterology research and practice, 2018.

Kiela, P. R. dan Ghishan, F. K. (2016) “Physiology of intestinal absorption and


secretion,” Best practice & research Clinical gastroenterology, 30(2), hal. 145–
159.

Kittaka, H. et al. (2014) “Usefulness of intestinal fatty acid-binding protein in


predicting strangulated small bowel obstruction,” PLoS One, 9(6), hal. e99915.

Kuru, S., & Kismet, K. (2018). Meckels diverticulum: clinical features, diagnosis


and management. Revista Española de Enfermedades Digestivas,
110.doi:10.17235/reed.2018.5628/2018

Loftus, T. et al. (2015) “A protocol for the management of adhesive small bowel
obstruction.,” The journal of trauma and acute care surgery, 78(1), hal. 13–21.
doi: 10.1097/TA.0000000000000491.

Millet, I. et al. (2014) “Adhesive small-bowel obstruction: value of CT in


identifying findings associated with the effectiveness of nonsurgical treatment.,”
Radiology, 273(2), hal. 425–432. doi: 10.1148/radiol.14132872.

Moran, B. J. (2007) “Adhesion‐related small bowel obstruction,” Colorectal


Disease, 9, hal. 39–44.
Mutsaers, S. E. et al. (2015) “Mesothelial cells in tissue repair and fibrosis. Front
Pharmacol. 2015; 6: 113.”

Reddy, S. R. R. dan Cappell, M. S. (2017) “A systematic review of the clinical


presentation, diagnosis, and treatment of small bowel obstruction,” Current
gastroenterology reports, 19(6), hal. 28.

Seriau, L. et al. (2012) “Abdominal adhesions: from formation to prevention‐part


one,” Soc. Ital. di Chir. Color, 42, hal. 275–288.

Shi, X.-Z., Lin, Y.-M. dan Hegde, S. (2018) “Novel insights into the mechanisms
of abdominal pain in obstructive bowel disorders,” Frontiers in integrative
neuroscience, 12, hal. 23.

Sun, D.-L. et al. (2016) “Accuracy of the serum intestinal fatty-acid-binding


protein for diagnosis of acute intestinal ischemia: a meta-analysis,” Scientific
reports, 6(1), hal. 1–7.

Tong, J. W. V., Lingam, P. dan Shelat, V. G. (2020) “Adhesive small bowel


obstruction–an update,” Acute Medicine & Surgery, 7(1), hal. e587.

Zhang, Z. et al. (2011) “Biodegradable and thermoreversible PCLA–PEG–PCLA


hydrogel as a barrier for prevention of post-operative adhesion,” Biomaterials,
32(21), hal. 4725–4736.

Anda mungkin juga menyukai